Anda di halaman 1dari 33

LBM 2 KGD“ Sesak Nafas dan Pusing”

step 1

1. ketorolac, obat anti inflamasi nonsteroid yang digunakan dalam jangka waktu
panjang(5hari), yang brfungsi sebagai analgetik post operasi ringan-berat. efektifitasnya
sebanding dengan morfin, efsam lebih ringan.

2. wheezing, mengi aau suara yang keluar saat ekspirasi terjadi jika saluran pernafasanny
sempit, terdengar baik saat insiprasi maupun ekspirasi. suara yng dihasilkan dari vibrasi
dinding pernafasan dan jaringan sekitarnya.

3. inotropik, obat yang berperan dalam kontraksi(positif dan negatif) otot jantung

4. angiodema,reaksi vascular pada derimis bagyan dalam aau jaringan subkutan yang
disebabkan oleh dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.

5. retraksi subcosta,tarikan pada dinding dada, terliha lekukan2 dada saa kontraksi yang
menandakan susahnya saat bernafas.

6. ECG,gambaran poensial lisrik yng dihasllkan aktvtas listrik otot jantung.

step 2

1. mengapa pasien sesak nafas hebat dan pusing setelah mendapat injeksi
ketorolac?
2. interpretasi dari PF?
3. Mengapa perawat menyarnkan tungkai dielevasikan?
4. mengapa pada kelopak mata terdapat angiodema dan urtikaria?
5. mengapa perlu ijnjeksi adrenalin im. dan oksigenasi dal loading cairan infuse?
6. jelaskan derajat sesak nafas !
7. mengapa dokter memasang ECG dan pulse oxymetri, dan gambaran apa yng
mungkin didapat?
8. indikasi dan kontraindikasi pemberian kortikosteroid dan antihistamin?
9. kenapa pasien diberikat obaT inotropik dan vasopressor?indikasi kontra
indikasi,jenisnya?
10. definisi, macam, patofisiologi,tanda2,penatalaksanaan SYOK?
11. DD dan penatalaksanaan?
12. tanda2 keadaan memburuk pada scenario?

step 3

1. mengapa pasien sesak nafas hebat dan pusing setelah mendapat injeksi
ketorolac?

Ketorolac tromethamine
Indikasi
Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac adalah
untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolac selain
digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang bisa digunakan sebagai
pengganti morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang.
Farmakodinamik
Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksogenase
(prostaglandin sintetase). Selain menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat
tromboksan A2. ketorolac tromethamine memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat
pelekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine 99% diikat oleh protein. Sebagian besar ketorolac tromethamine
dimetabolisme di hati. Metabolismenya adalah hidroksilate, dan yang tidak dimetabolisme
(unchanged drug) diekresikan melalui urin.
Dosis
Ketorolac tromethamine tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi. Pemberian injeksi lebih
dianjurkan. Pemberian Ketorolac tromethamine hanya diberikan apabila ada indikasi sebagai
kelanjutan dari terapi Ketorolac tromethamine dengan injeksi. Terapi Ketorolac tromethamine
baik secara injeksi ketorolac ataupun tablet hanya diberikan selama 5 hari untuk mencegah
ulcerasi peptic dan nyeri abdomen. Efek analgesic Ketorolac tromethamine selama 4-6 jam
setelah injeksi.
Untuk injeksi intramuscular :
- pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 60 mg Ketorolac tromethamine/dosis.
- Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat badannya
kurang dari 50 kg, diberikan dosis 30 mg/dosis.
Untuk injeksi intravena :
- pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg Ketorolac tromethamine/dosis.
- Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat badannya
kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15 mg/dosis.
Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun oral maksimal :
- pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari. Bila diberikan dengan injeksi
intravena, maka diberikan setiap 6 jam sekali.
- Pasien dengan umur >65 tahun  maksimal 60 mg/hari.
Efek Samping
Selain mempunyai efek yang menguntungkan, Ketorolac tromethamine juga mempunyai efek
samping, diantaranya :
a.          Efek pada gastrointestinal
Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi peptic, perdarahan dan perlubangan
lambung. Sehingga Ketorolac tromethamine dilarang untuk pasien yang sedang atau
mempunyai riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic.
b.         Efek pada ginjal
Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau kegagalan depresi volume pada ginjal,
sehingga dilarang diberikan pada pasien dengan riwayat gagal ginjal.
c.          Resiko perdarahan
Ketorolac tromethamine menghambat fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan hemostasis
yang mengakibatkan risiko perdarahan dan gangguan hemostasis.
d.         Reaksi hipersensitivitas
Dalam pemberian Ketorolac tromethamine bias terjadi reaksi hypersensitivitas dari hanya
sekedar spasme bronkus hingga shock anafilaktik, sehigga dalam pemberian Ketorolac
tromethamine harus diberikan dosis awal yang rendah.
Kontra Indikasi
ketorolac tromethamine dikontra indikasikan untuk pasien dengan riwayat gagal ginjal, riwayat
atau sedang menderita ulcerasi peptic, angka trombosit yang rendah. Untuk menghindari
terjadinya perdarahan lambung, maka pemberian ketorolac tromethamine hanya selama 5 hari
saja.
http://kuliah-fk.blogspot.com/2012/02/ketorolac.html

a) Proses imunologik
 Hipersensitifitas tipe I
- Fase sensitisasi :

Alergen
(masuk)

Alergen + Ig E melekat Sel mast /


basofil

- Fase alergi :

Menimbulkan reaksi

Sel mast /
melekat basofil
Alergen + Ig E Granula (sitoplasma)

mediator kimiawi
Proses Degranulasi
Histamin,Serotonin,SRSA,
ECFA,Bradikinin,NCFA,dsb
1. Spasme bronkus
2. Peningkatan permeabilitas PD penyempitan saluran nafas
 SESAK NAFAS
3. Sekresi mukus berlebih

ASMA BRONKIAL

 Hipersensitifitas tipe II
Timbul reaksi setelah 4-6 jam sesudah terpapar alergen

Alergen masuk aktifkan


Alergen + Ig G / Ig M
System komplemen
(C3a & C5a)

Reaksi anfilatoksin  sel mas  degranulasi  mediator

 tipe I
1. fase sensitisasi pembentukan IgE (sesudah alergen/Ag masuk tubuh
pertama kali) IgE melekat pada permukaan sel mast/basofil pada lumen
bronkus, submukosa (terjadi pd individu dengan genetik atopik)

2. fase alergi pd pemaparan ulang berikutnya dengan alergen/Ag yang sama


sesudah melewati fase laten terjadi pengikatan alergen oleh IgE yang
melekat pada permukaan sel mast/basofil tadi timbul reaksi hipersensitifitas
tipe I

ikatan alergen denan igE pada permukaan sel mast/basofil proses


pembentukan granul2 dalam sitoplasma proses degranulasi
dikeluarkan mediator kimiawi: histamin, serotinin, bradikinin.efeknya
spasme bronkus, peningkatan permeabilitas PD, sekresi mukus
berlebihan  penyempitan saluran napas  gx asma bronkial
 Tipe II
- timbulnya 4-6 jam sesudah terpapar alergen

- sesudah alergen masuk tubuh dan diikat oleh IgG atau IgM aktikan sistem
komplemen C3a dan C5a sifat anafilatoksin sel mast/sel basofil
mengalami degranulasi dan mengeluarkan vasoaktif amin (mediator kimia)
2. Mengapa perawat menyarnkan tungkai dielevasikan?
3. interpretasi dari PF?
 kesdaran, Kurangnya O2  perfusi ke otak berkurang 
kesadaran menurun
 Takikardi : nadi > 100 x/menit.
Penyebab umum :
1)   Sistem saraf otonom & endokrin
- Stress (Fight or flight)
- Stimulant (caffeine)
-   Penyakit endokrin (pneucromocytoma)
2)   Haemodinamik
- Dehidrasi
-   Perdarahan
- Hipotensi ortostatik
-   Postural ortostatic tachycardia syndrome (POTS)
3)   Cardiac Aritmia
- Supraventrikular takikardi
- Ventrikular takikardiai
http://ismirayanti.blogspot.com/2010/10/sesak-napas.html

 RR,meningkat sebagai kompensasi sesaknya


 td, menurun karena vasodilatasi sebagai respon tubuh terhadap alergen
 N,meningkat sebagai kompensasi tubuh, kontraksi otot jantung yang
meningkat
 Ekspirasi memanjang,karena spasme sehingga ekspirasinya susah.
 muka kebiruan, sianosis sebagai tanda adanya ganggungan perfusi
oksigen pada perifer

4. mengapa pada kelopak mata terdapat angiodema dan urtikaria?

Definisi
Hives, yang disebut juga urticaria, merupakan suatu gangguan pada kulit yang ditandai dengan
adanya pembengkakan yang agak meninggi (wheals), pucat, dikelilingi oleh area kemerahan
dengan batas yang tegas. Angioedema merupakan pembengkakan yang terjadi pada jaringan
yang lebih luas di bawah kulit, kadangkala mengenai wajah dan tenggorokan. 

Penyebab

Hives dan angioedema bisa terjadi bersamaan dan bisa menjadi berat. Pemicu yang paling
sering adalah obat-obatan, sengatan atau gigitan serangga, suntikan alergi (imunoterapi
alergen), dan makanan tertentu-terutama telur, kerang, kacang-kacangan, dan buah-buahan.
Ada makanan tertentu yang dalam jumlah sedikit saja jika dimakan bisa tiba-tiba menimbulkan
hives atau angioedema. Tetapi ada juga makanan lain (seperti stroberi) yang dapat
menimbulkan reaksi ini hanya setelah dimakan dalam jumlah besar. Hives kadangkala diikuti
oleh adanya infeksi virus seperti hepatitis, mononucleosis, dan campak jerman.

Hives atau angioedema bisa menjadi kronis, berulang lebih dari seminggu atau sebulan. Pada
kebanyakan kasus tidak ada penyebab khusus yang teridentifikasi, kemungkinan karena adanya
asupan bahan-bahan tertentu yang tidak disadari, misalnya pewarna makanan atau bahan
pengawet. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti aspirin atau obat-obat anti-peradangan
non-steroid lain (NSAID), bisa juga menyebabkan hives atau angioedema kronis. Angioedema
kronis yang terjadi tanpa hives kemungkinan suatu angioedema menurun.

Gejala

Hives biasanya diawali dengan timbulnya rasa gatal pada kulit, kemudian terbentuk
pembengkakan yang biasanya kecil (kurang dari ½ inci). Pembengkakan yang lebih besar
(sampai 4 inci melintang) bisa tampak seperti cincin kemerahan dengan warna pucat di tengah.
Biasanya, hives hilang dan timbul. Suatu bercak bisa menetap untuk beberapa jam, kemudian
hilang, dan kemudian bercak lainnya bisa muncul di mana saja. Setelah hives hilang, kulit
biasanya tampak benar-benar normal.

Angioedema bisa mempengaruhi sebagian atau seluruh tangan, kaki, kelopak mata, bibir, atau
kelamin. Kadangkala pembengkakan mengenai selaput lapisan mulut, tenggorokan, dan saluran
pernafasan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk bernafas.

Pengobatan

Biasanya, jika hives muncul secara tiba-tiba, hives akan cepat mereda dengan sendirinya tanpa
pengobatan, bahkan kadangkala dalam hitungan menit. Jika penyebabnya jelas, maka penderita
sebisa mungkin harus menghindari penyebab terjadinya hives dan angioedema. Tetapi jika
penyebabnya tidak jelas, orang tersebut harus menghentikan penggunaan semua obat-obatan
yang tidak penting sampai hives tersebut reda.

Untuk hives dan angioedema ringan, pemberian antihistamin dapat meringankan rasa gatal dan
mengurangi pembengkakan. Kortikosteroid diberikan untuk reaksi yang berat, ketika semua
pengobatan lainnya tidak efektif. Kortikosteroid diberikan sesingkat mungkin, karena
pemberian kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya berbagai efek
samping.

Pada sebagian penderita hives kronis, hives tersebut dapat hilang tanpa pengobatan dalam
waktu sampai 2 tahun. Untuk beberapa orang dewasa, pemberian antidepresan doxepin, yang
juga sebuah antihistamin kuat, dapat membantu meringankan hives kronis.

Jika angioedema berat mengakibatkan kesulitan menelan atau bernafas atau pingsan, maka
perlu dilakukan tindakan penanganan darurat. Penderita perlu segera dibawa ke unit gawat
darurat rumah sakit, agar dapat diperiksa dan diobati. Pemberian epinephrine suntik dan
antihistamin diperlukan segera setelah reaksi berat terjadi. 

http://m.medicastore.com/index.php?mod=pengobatan&id=3289
5. mengapa perlu ijnjeksi adrenalin im. dan oksigenasi dan loading cairan infuse?
Knp adrenalin ?

Adrenalin (Epinefrin) mempunyai efek meningkatkan tekanan darah melalui aktivasi


adrenoseptor - 1 jantung yang terjadi setelah pelepasan atau pemberian adrenalin (Epinefrin)
berhubungan dengan kerja kronotropik positif dan inotropik positif atas jantung. Dengan
demikian adrenalin (Epinefrin) juga mempunyai efek kronotropik positif (meningkatkan
kecepatan denyut jantung) dan inotropik positif (memperkuat kontraksi myokardium) sehingga
cardiac out put (curah jantung) meningkat. Adrenalin (Epinefrin) juga berefek pada timbulnya
vasokontriksi karena stimulasi adrenoseptor- pada otot polos dinding pembuluh darah perifer.
Kedua hal tersebut berakibat tekanan darah meningkat. Efek adrenalin (Epinefrin) terutama
pada arteriola kecil dan sfingter prekapiler sehingga tahanan perifer meningkat.
Pada dosis kecil adrenalin (Epinefrin) juga mengaktivasi adrenoseptor - 2 pada otot polos
dinding pembuluh darah dalam bundel otot lurik dan pembuluh koroner berakibat vasodilatasi
pembuluh darah tersebut, akibatnya tahanan perifer total sebenarnya bisa turun, hal ini
menjelaskan penurunan dalam tekanan diastolik yang kadang-kadang terlihat pada
penyuntikan adrenalin (Epinefrin).
Dalam dosis besar terjadi dominasi aktivasi adrenoseptor -  sehingga tahanan perifer
meningkat, aktivasi adrenoseptor - 1 sehingga curah jantung juga naik. Kedua hal tersebut
meningkatkan tekanan darah. Jika sebelum diberi adrenalin sudah lebih dahulu diberi obat
penyekat adrenoseptor -  maka adrenalin justru menurunkan tekanan darah.
Pada saluran nafas adrenalin (Epinefrin) mempunyai efek bronkodilatasi melalui stimulasi
adrenoseptor - 2 pada otot polos bronkhus. Efek tersebut tampak jelas jika sebelumnya sudah
ada bronkokonstriksi (misalnya pada serangan asma bronkial). Adrenalin (Epinefrin) yang
mempunyai efek vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi kongesti mukosa dan dapat
memperkuat efek pelebaran saluran nafas.
Adrenalin (Epinefrin) merupakan senyawa endogen yang amat penting dalam pengaturan
metabolisme, terutama metabolisme karbohidrat. Adrenalin meningkatkan glikogenolisis di
hepar dan otot rangka, menghambat sekresi insulin melalui aktivasi adrenoseptor -  (lebih
dominan dibanding peningkatan sekresi insulin melalui aktivasi adrenoseptor - 2). Adrenalin
(Epinefrin) juga memacu pemecahan lemak (lipolisis) melalui aktivasi adrenoseptor - 1 dan
meningkatkan aktivitas lipase.
Adapun efek samping dari adrenalin (Epinefrin) adalah Disritmia ventrikel, angina pektoris,
nyeri kepala, tremor, pengeluaran urine berkurang, ketakutan serta ansietas.
http://medlinux.blogspot.com/2011/10/efek-efek-adrenalin-epinefrin.html

6. jelaskan derajat sesak nafas!

Klasifikasi berdasarkan Derajat

Tingkat Derajat Kriteria

0 Normal Tidak ada kesulitan bernafasn kecuali dengan


aktifitas berat

1 Ringan Terdapat kesulitan bernafas, nafas pendek-pendek


ketika terburu-buru atau ketika berjalan menuju
puncak landai

2 Sedang Berjalan lebih lambat daripada kebanyakan orang


berusia sama karena sulit bernafas atau harus
berhenti berjalan untuk bernafas

3 Berat Berhenti berjalan setelah 90 meter (100 yard) untuk


bernafas atau setelah berjalan beberapa menit

4 Sangat berat Terlalu sulit untuk bernafas bila meninggalkan


rumah atau sulit bernafas ketika memakai
baju/membuka baju
(Prinsip Gawat Paru, dr. H. Tabrani, EGC)

7. mengapa dokter memasang ECG dan pulse oxymetri, dan gambaran apa yng
mungkin didapat?
8. indikasi dan kontraindikasi pemberian kortikosteroid dan antihistamin?
9. kenapa pasien diberikat obaT inotropik dan vasopressor?indikasi kontra
indikasi,jenisnya?

Inotropik adalah agen obat yang berperan dalam kontraksi otot jantung (miokardium).
Inotropik dibagi dalam dua agen yaitu :
1.      Agen inotropik positif : agen yang meningkatkan kontraktilitas miokard, dan digunakan untuk
mendukung fungsi jantung dalam kondisi seperti gagal jantung, syok kardiogenik, syok septic,
kardiomiopati.

Contoh agen inotropik positif meliputi : Berberine, Omecamtiv, Dopamin, Epinefrin (adrenalin),
isoprenalin (isoproterenol), Digoxin, Digitalis, Amrinon, Teofilin

2.      Agen inotropik negative : agen menurunkan kontraktilitas miokard, dan digunakan untuk
mengurangi beban kerja jantung.

Contoh agen inotropik negative meliputi : Carvedilol, Bisoprolol, metoprolol, Diltiazem,


Verapamil, Clevidipine, Quinidin.

Kronotropik adalah agen obat yang berperan dalam denyut jantung. Kronotropik dibagi dalam
dua agen yaitu :

1.      Agen kronotropik positif : agen yang meningkatkan denyut jantung dengan mempengaruhi
saraf mengendalikan hati, atau dengan mengubah irama yang dihasilakan oleh node sinoatrial

Contoh agen kronotropik positif meliputi : sebagian Adrenergic agonic, Antropin, Dopamin,
Epinefrin, Isoproterenol.

2.      Agen kronotropik negative : agen yang menurunkan denyut jantung dengan cara
mempengaruhi saraf mengendalikan hati, atau dengan carah mengubah irama yang dihasilakn
oleh node sinoatrial.

Contoh agen kronotropik negative meliputi : Metoprolol. Asetilkolin, Digoxin, Diltiazem dan
Verapamil.

http://pharmacist-bobone.blogspot.com/2012/07/obat-initropik-dan-
kronotropik.html
10. tanda2 keadaan memburuk pada scenario?
terjadinya syok
11. definisi, macam, patofisiologi,tanda2,penatalaksanaan SYOK?

Definisi

Syok adalah suatu keadaan/syndrom gangguan ferfusi ke jaringan yang menyeluruh sehingga
tidak terpenuhinya kebutuhan metabolisme jaringan. Faktor yang penting dalam syok adalah
Hipoferfusi dan Hipoksia jaringan.

Macam-macam syok:

1.Syok Hipovolemik : Yaitu syok akibat volume intra vaskuler yang kurang.

Terjadi penurunan cardiac output. Contoh : syok akibat perdarahan, syok akibat muntah berak
 2.Syok Kardiogenik :Yaitu syok akibat gangguan kontraksi otot jantung. Contoh : syok akibat
infark miokard akut, syok akibat kardiomiopati

 3.Syok Distributive : Yaitu syok akibat gangguan penyebaran cairan intravaskuler.

Contoh :   syok pada sepsis, syok anafilaktik, syok pada trauma medulla spinalis

4.Syok Obstruktif : Yaitu syok akibat terganggunya aliran darah balik/kembali ke jantung akibat
obsttruksi. Contoh : syok pada tamponade jantung, syok pada perikarditis, syok pada emboli
paru yang massive, Pneumothorax

Gambaran Hemodinamika dari syok :

Jenis Syok Curah Jantung/ Cardiac Tahanan Pemb. Darah


Out put sistemik

Hipovolemik ↓ ↑

Kardigenik ↓ ↑

Distributif ↑ atau normal atau ↓ ↓

Obstruktif
↓ ↑
~  Tamponade
↓ ↑
~  Emboli paru

Pengelolaan

Tujuan /target pengelolaan adalah meningkatkan curah jantung /cardiac out put ,dengan
harapan penyediaan dan pelepasan oksigen ke jaringan tercukupi.Oleh karena itu secara
ideal/legal artis pengobatan ditujukan terhadap penyebab dasar terjadinya syok.Namun pada
kasus tertentu mengetahui penyebab terjadinya syok tidah mudah shg pengobatan secara
kasual sulit dilaksanakan. Secara umum obat-obatan yang sering dipakai dalam mengelola syok
adalah cairan,obat-obat inotropik serta obat-obat vasoaktif.

Cairan

Tujuan pemberian cairan pada sssyokialah mencukupi volume intravaskuler agar jumlah darah
yang kembali ke jantiungcukup,sehingga curah jantung  (CO ) cukup.
Macam-macam cairan

Berdasar partikel dalam cairan maka ada dua macam cairan,yaitu:

1.Kristaloid

Yaitu cairan yang mempunyai partikel kecil yaitu ion Na+  yang menentukan  osmolaritas
cairan.  a.l: NaCL, RL, Ringer Solusion

.        Berdasar osmolaritasnya ada 3 macam ialah:

 HIPOTONIS     : osmolaritasnya <285 mOsmol/L


 ISOTONIS                : osmolaritasnya =285 mOsmol/L

 HIPERTONIS    : osmolaritasnya >285 mOsmol/L

2.Koloid

Cairan yang mempunyai partikel besar  misalnya: Dextran, HES, Albumin,dimana agak  sulit
menembus membrane semipermiabel/dinding pembuluh darah.

 Obat-obat Inotropik

Adalah obat yang berpengaruh terhadap kontraksi otot jantung.

1. memperkuat kontrksi (inotropik positif )

2. memperlemah kontraksi ( inotropik negative )

contoh: Dopamin,Dobutamin,Adrenalin dll.

Obat Vasoaktif

Golongan yang bekerja di system pembuluh darah ( arteri atau vena )dan bisa menyebabkan
kontriksi ( vasokontriksi ) atau dilatasi (vasodilatasi ). Contoh penilephrine, Nor-adrenaline dll.

Target Pengelolaan syok

Adalah mencukupi curah jantung agar ferfusi jaringan  “cukup” sehingga mencukupi kebutuhan
metabolisme jaringan.Disamping ferfusi jaringan yang cukup ,kandungan oksigen dalam
darahpun harus cukup.

Pedoman keberhasilan pengelolaan tsb .ialah berfungsinya sebagian besar organ tubuh secara
optimal a l :
 Kesadaran yang membaik.
 Akral yang hangat

 Respirasi yang mencukupi.

 Fungsi saluran cerna yang membaik.

 Produksi urine yang cukup dsb.

Kesimpulan

 Syok adalah keadaan gangguan ferfusi ke jaringan sehingga tidak tercukupinya


 kebutuhan metabolisme jaringan.

 Target pengelolaan syok adalah mencukupi penyediaan oksigen ke jaringan.

 Untuk mencapai target tsb penglolaan ditujukan mencaripenyebab dan mengatasinya.

 Pada kasus yang meragukan ,tahap awal pengelolaan adalah pemberian cairan /loading
dilanjutkan dengan pemberian obat inotropik dan bila perlu dengan obatvasoaktif.

 Setiap pengelola syok ,kandungan oksigen dalam darah harus dimaksimalkan yaitu
dengan memberikan terapi oksigen dan bila perlu membantu pernapasan.

http://healthyenthusiast.com/gangguan-sirkulasi-syok.html

12. DD dan penatalaksanaan?


a. asma Bronkial

 Definisi

Gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodic berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodic tersebut
berhubungan engan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan.
(Ilmu Penyakit Paru, Prof. Dr. Pasiyan Rachmatullah, Sp. PD, FK UNDIP)

 Etiologi

Etiologi Asma bronkial belum diketahui dengan jelas

o Tiap serangan biasanya didahului dengan factor pencetus


o Terdapat banyak factor pencetus, biasanya bekerja sendiri2, atau
mengalami kombinasi

o Faktor2 penetusnya antara lain :

 Faktor infeksi (ISPA atas/bawah), oleh virus, kuman, dll,


misalnya : common cold, sinusitis, bronchitis, pneumonia.

 Alergen

 Inhalant  serbuk sari, debu rumah, bulu binatang, spora


jamur, tungau, dll.

 Ingestant  susu, telur, coklat, ikan laut, dll.

 Kontaktan  arloji (logam), bedak, parfum, obat oles, dll.

 Iritan  cat, bensin, asap rokok, asap obat nyamuk, bahan kimia
dari industri, polusi udara, udara dingin/panas.

 Stress psikis  setelah dimarahi, setelah menangis, dll.

 Obat – obatan  vaksin, aspirin, penisilin, obat anestesi, salicylat,


dll.

 Olah raga  latihan, tertawa berlebihan, dll.

 Lain – lain  perubahan temperature (dari siang ke malam), tempat


pekerjaan (berhubungan dengan inhalant tempat pekerjaan)

(Ilmu Penyakit Paru, Prof. Dr. Pasiyan Rachmatullah, Sp. PD, FK UNDIP)

 Klasifikasi

RINGAN SEDANG BERAT


Aktifitas Dpt berjalan Jln terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk membungkuk
kedepan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin terganggu Biasanya terganggu Biasanya terganggu
Frekuensi napas Meningkat meningkat Sering >30kali/menit
Retraksi otot2 bantu Umumnya tidak ada Kadang kala ada Ada
napas
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus paradoksus Tidak ada Mungkin ada (10-25 Sering ada (>25
(<10mmHg) mmHg) mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
PaCo2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg

Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)


Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermiten Bulanan ≤ 2 kali sebulan APE ≥ 80%
- Gejala - VEP1 ≥ 80%
< 1x/minggu nilai prediksi
- Tanpa gejala APE ≥ 80%
diluar nilai terbaik
serangan - Variabiliti
- Serangan APE < 20%
singkat
Persisten ringan Mingguan - > 2 kali APE ≥ 80%
- Gejala sebulan - VEP1 ≥ 80%
>1x/minggu, nilai prediksi
tetapi < 1x/hari APE ≥ 80%
- Serangan nilai terbaik
dapat - Variabiliti
mengganggu APE 20-30%
aktiviti dan tidur
Persisten sedang Harian > 1x/seminggu APE 60-80%
- Gejala setiap - VEP1 60-80%
hari nilai prediksi
- Serangan APE 60-80%
mengganggu nilai terbaik
aktiviti dan tidur - Variability
- Membutuhkan APE > 30%
bronkodilator
setiap hari
Persisten berat Kontinyu Sering APE 60-80%
- Gejala terus - VEP1 ≤ 60%
menerus nilai prediksi
- Sering APE≤60% nilai
kambuh terbaik
- Aktiviti fisik - Variability
terbatas APE > 30%

Klasifikasi derajat berar asma pada penderita dalam pengobatan


Gejala dan faal Tahap I Tahap II Tahap III
paru dalam Intermiten Persisten ringan Persisten sedang
pengobatan
Tahap I : intermiten Intermiten Persisten ringan Persisten sedang
Gejala < 1x/mgg
Serangan singkat
Gjl malam <2x/bln
Faal paru N diluar
serangan

Tahap II : persisten Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat


ringan
Gjl >1x/mgg, tetapi
<1x/hari
Gjl malam >2x/bln,
tetapi < 1x/mgg
Faal paru N diluar
serangan

Tahap III : persisten Persisten sedang Persisten berat Persisten berat


sedang
Gejala tiap hari
Serangan
mempengaruhi
aktiviti dan tidur
Gjl malam >
1x/mgg
60% < VEP1< 80%
nilai prediksi
60% < APE< 80%
nilai tebaik

Tahap IV : persisten Persisten berat Persisten berat Persisten berat


berat
Gjl terus menerus
Serangan sering
Gjl malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai
prediksi, atau APE
≤60% nilai terbaik
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. ASMA Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia

 Patogenesis

patogenesis hiperaktif/hipersensitif bronkus


 keadaan dimana bronkus sangat peka terhadap berbagai rangsang.

 ada rangsang berupa rangsangan spesifik (alergen atau zat kimia), nonspesifik
(histamin, metakolin), fisik (latihan fisik , udara dingin), emosi penyempitan
saluran napas (bronkospasme)
 mekanisme terjadinya kondisi hipersensitif atau hiperaktif bronkus belum jelas
bisa berkurang, jarang bisa hilang, berhubungan dengan keturunan dan bisa juga
didapat.
teori patogenesis asma bronkial
 bronkokonstriksi terjadi akibat:
o proses imunollogik asma ekstrinsik reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe III
 tipe I
1. fase sensitisasi pembentukan IgE (sesudah alergen/Ag masuk tubuh
pertama kali) IgE melekat pada permukaan sel mast/basofil pada lumen
bronkus, submukosa (terjadi pd individu dengan genetik atopik)
2. fase alergi pd pemaparan ulang berikutnya dengan alergen/Ag yang sama
sesudah melewati fase laten terjadi pengikatan alergen oleh IgE yang melekat
pada permukaan sel mast/basofil tadi timbul reaksi hipersensitifitas tipe I

ikatan alergen denan igE pada permukaan sel mast/basofil proses


pembentukan granul2 dalam sitoplasma proses degranulasi dikeluarkan
mediator kimiawi: histamin, serotinin, bradikinin.efeknya spasme bronkus,
peningkatan permeabilitas PD, sekresi mukus berlebihan  penyempitan
saluran napas  gx asma bronkial
 Tipe II
- timbulnya 4-6 jam sesudah terpapar alergen

- sesudah alergen masuk tubuh dan diikat oleh IgG atau IgM aktikan sistem
komplemen C3a dan C5a sifat anafilatoksin sel mast/sel basofil
mengalami degranulasi dan mengeluarkan vasoaktif amin (mediator kimia)

o proses inflamasi bronkus.


 sel mast mengandung enzim triptase yang mempunyai bermacam2
aktivitas proteolitik
 makrofag banyak ditemukan pada lumen saluran napas, diaktifkan oleh
IgE. makrofag  keluarkan mediator tromboksan A2, prostaglandin,
TNF, IL-1
 eosinofil radikal O2, PAF, eosinofil derived neurotoxin merusak epitel
 neutrofil prostaglandin, tromboksan, PAF
limfosit T Ag masuk ke dalam tubuh mll CD3 CD4 dan CD8
( Sumber :Buku Imunologi Dasar edisi ke 7)

 Faktor resiko

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara :

a. Factor pejamu :
Factor pejamu disini termasuk predisposisi genetic yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetic asma, alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus,
jenis kelamin dan ras

b. Factor lingkungan :
Factor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Termasuk dalam factor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status social ekonomi dan
besarnya keluarga

Interaksi factor genetic/pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

a. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetic
asma
b. Baik lingkungan maupun genetic masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma
(Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. ASMA Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.)

 Manifestasi klinis

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.


Gejala awal berupa :
a. Batuk terutama pada malam atau dini hari
b. Sesak napas
c. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
d. Rasa berat di dada
e. Dahak sulit keluar

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa.
Yang termasuk gejala yang berat adalah :
a. Serangan batuk yang hebat
b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
e. Kesadaran menurun
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. ASMA Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia

 Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodic, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variability yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik,
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pengukuran faal
paru terutama reversibility kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostic.

Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit/gejala :
- Bersifat episodic, seringkali dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/memburuk terutama malam hari/dini hari
- Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator
b. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
- Riwayat keluarga (atopi)
- Riwayat alergi/atopi
- Penyakit lain yang memperberat
- Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan fisik
a. Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
b. Kelianan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi
c. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas
d. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan
kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi
e. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa
f. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.

Pemeriksaan objektif
FAAL PARU
Digunakan untuk menilai :
a. Obstruksi jalan napas
b. Reversibility kelainan faal paru
c. Variability faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan napas
Dua parameter faal paru :
a. Spirometri
Manfaat :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi
- Reversibility, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator) atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14
hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibility ini
dapat membantu diagnosis asma
- Menilai derajat asma
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Manfaat :
- Reversibility, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respon terapi kortikosteroid
(inhalasi/oral, 2 minggu)
- Variability, digunakan untuk menilai derajat berat penyakit
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. ASMA Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia

 Penatalaksanaan

Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :


 Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
 Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
 Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya
sehingga penderita mengerti tujuan pnngobatan yang diberikan dan bekerjasama
dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
 Pengobatan non farmakologik:
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisiotherapy  breathing control, maneuver huff, postural drainage, vibrasi pada
dinding dada, perkusi
e. Beri O2 bila perlu.
 Pengobatan farmakologik :
a. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
 Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
1) Orsiprenalin (Alupent)
2) Fenoterol (berotec)
3) Terbutalin (bricasma)
 Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,
suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose
inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin
Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent,
Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi
aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
 Xantin (teofilin)
Nama obat :
1) Aminofilin (Amicam supp)
2) Aminofilin (Euphilin Retard)
3) Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik,
tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini
dikombinasikan efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai
pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung
ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk
tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah
sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya
berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk
supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus.
Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak
dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
b. Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan
asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-
anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang
lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
c. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya
diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. ASMA Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia

b. syok anafilaktik

DEFINISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin
E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah
suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps
pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan
kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan,
karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis
dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
 ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan
aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi
merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel
Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif
lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon
yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian
terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

 
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala
sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan
yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala
disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma
jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan
yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai
pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi
gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic
crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa
untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi
septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin,
lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran
nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor.
Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal
merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen,
mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia
atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit,
dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis
terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent
Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih
ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes
fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan
pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu
dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya
sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari
anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast
dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada
setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi
histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard
akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut
sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun
tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik
ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-
tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan
makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan
gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang
disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan
menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera
baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi
jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas.
Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita
yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi
jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-
tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter
/menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat
terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin
mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi
pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan
tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan.
Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak.
Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan
100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi
dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi
intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok
anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara
penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang
lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin
berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung
beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis
berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH 2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai
gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga
berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB
yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar
15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan
melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui
cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4
mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus
mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin
2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%
dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan
dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial,
dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan
onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah
sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan
penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia
dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam
posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita
jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam
berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi
adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas
darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac
arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan
angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga
pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus
dirawat di rumah sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan
cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang
mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak
obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif
pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak
berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif
dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan
alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik
adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali
akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah
terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas
lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit,
obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari
mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang ditandai
dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang
dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-
obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya
anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase
sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok
anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-
obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan
terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan
kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

Anda mungkin juga menyukai