Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
LAPORAN KASUS
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis (ibu pasien)
1. Keluhan utama
Kejang sejak ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit
4. Riwayat kehamilan
Ibu pasien selama hamil tidak pernah menderita sakit dan selama hamil ibu pasien
hanya mengkonsumsi obat penambah darah.
1
5. Riwayat kelahiran
Pasien lahir saat umur kehamilan cukup bulan, lahir di rumah sakit dengan
persalinan spontan.
6. Riwayat neonatal
Saat lahir pasien langsung menangis dan bergerak aktif, berwarna kemerahan, tidak
ada kebiruan, kuning, kejang, maupun kesulitan bernafas.
7. Riwayat imunisasi
Pasien mendapat imunisasi wajib lengkap hingga campak pada umur 9 bulan.
2
Status Neurologis:
Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-), lasequ/kernig (tak terbatas/tak
terbatas), Brudzinski I,II (-/-)
Refleks Fisiologis : BTR (+/+), KPR (+/+), APR (+/+)
Refleks Patologis : Babinsky (-/-), chaddock (-/-), gonda (-/-), Gordon
(-/-), Oppenheim (-/-), Schaefer (-/-)
1.5 RESUME
Pasien laki-laki, 3 tahun 9 bulan, BB 14 kg, dibawa dengan keluhan kejang ±
30 menit sebelum masuk rumah sakit terjadi 1 kali dengan lama kejang ± 1 menit
dengan seluruh badan kelonjotan serta mata melotot ke satu arah ke kiri atas dan
disertai dengan demam. Pasien juga mengalami demam disertai serta batuk berlendir
sejak 3 hari sebelum terjadinya kejang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, suhu
badan 38,30C, status generalis dan status neurologis dalam batas normal. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar leukosit 10.500 sel/mm3.
3
Kejang demam sederhana et causa tonsilofaringitis akut
1.9 PERENCANAAN
A. Perencanaan Diagnostik
Darah lengkap
Pemeriksaan DDR
B. Perencanaan Terapi
IVFD Asering 14 tpm makro
Inj. Cefotaksim 3 x 280 mg (IV)
Inj. Sanmol 3 x 150 mg (IV) jika suhu ≥ 38,5oC
Inj. Ranitidin 2 x 14 mg (IV)
C. Perencanaan Edukasi
Edukasi keluarga tentang keadaan pasien
Edukasi keluarga mengenai tatalaksana yang akan dilakukan pada pasien
Edukasi keluarga pasien mengenai tindakan yang harus dilakukan bila gejala
berulang dirumah
1.10 PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Indikasi rawat inap apabila pasien memenuhi salah satu kriteria sebagai
berikut:5
1. Saat kejang demam terjadi pada usia dibawah 6 bulan
2. Terjadi hiperpireksia
3. Merupakan kejang demam yang pertama kali
4. Merupakan kejang demam kompleks
5. Terdapat kelainan neurologis
Pada pasien ini ditemukan adanya indikasi untuk dilakukan rawat inap karena kejang
yang dialami pasien merupakan kejang demam yang terjadi pertama kali sehingga pemilihan
tindakan rawat inap pada pasien ini dapat dikatakan tepat.
Penatalaksanaan kejang demam umumnya ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu : (1)
Pengobatan pada fase akut; (2) mencari dan mengobati penyebab; (3) pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam.1,2,4,6-8
1. Pengobatan fase akut
Pada sebagian besar kasus kejang demam, sering kali kejang berhenti sendiri.
Dalam hal demikian tindakan yang perlu dilakukan ialah menghentikan kejang, mencari
penyebab demam, dan memberikan pengobatan yang adekuat terhadap penyebab
tersebut. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang kembali sebaiknya diberikan
profilaksis antikonvulsan, karena kejang masih dapat kambuh selama anak masih
demam. 1,2,4,6-8
Pada anak yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat.
Penderita dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut. Jalan
nafas dijaga agar tetap terbuka, agar suplai oksigen tetap terjamin. Bila perlu diberikan
oksigen. Fungsi vital, keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu diikuti dengan
seksama. Suhu yang tinggi harus segera diturunkan dengan kompres dan pemberian
antipiretika. 1,2,4,6-8
Kejang harus segera dihentikan, ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi
kerusakan pada otak atau meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian. Obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis intravena 0,2–0,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Apabila sukar
mencari vena dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau
6
diazepam rektal 5 mg untuk berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg bila berat badan
lebih dari 12 kg.
Apabila kejang belum berhenti, 5-10 menit kemudian dapat diulangi lagi
pemberian diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti,
diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kg/per drip selama 20-30 menit setelah
dilarutkan dalam cairan NaCl fisiologis. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-
24 jam setelah dosis awal. 1,2,4,6-8
Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakan perlu pengobatan profilaksis
atau tidak, tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada anak
tersebut.1,2,4,6-8
2. Pengobatan profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah. Dikenal 2 cara profilaksis, yaitu : (1)
profilaksis intermiten pada waktu demam; (2) profilaksis terus menerus, dengan obat
antikonvulsan tiap hari.1,2,4,6-8
a. Profilaksis intermiten
Obat antikonvulsan hanya diberikan pada waktu penderita demam dengan
ketentuan orang tua atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
penderita. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Diazepam dapat diberikan secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
atau intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg bila berat badan lebih dari 10 kg, setiap penderita menunjukkan suhu 38,5 0C atau
lebih. Efek samping diazepam (38%) ialah ataksia, mengantuk dan hipotoni.
Obat antipiretika sering dianjurkan meskipun tidak terbukti dapat mengurangi risiko
rekurensi, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi
tenang.1,2,4,6-8
b. Profilaksis terus menerus
Kontroversi masih berlanjut mengenai pemberian profilasis terus menerus
pada anak dengan kejang demam. Mengingat sebagian besar penderita kejang demam
mempunyai prognosis yang baik dan sangat rendahnya komplikasi yang diakibatkan
kejang demam serta pertimbangan akan efektifitas dan efek samping obat
antikonvulsan, maka pemberian profilaksis terus menerus hanya diberikan secara
individual atau pada kasus tertentu saja.1,2,4,6-8
Obat profilaksis terus menerus yang diberikan setiap hari adalah fenobarbital
3-5 mg/kg/hari, tetapi obat ini tidak efektif untuk profilaksis intermiten. Obat lain
7
yang digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau
bahkan lebih baik dibandingkan fenobarbital, tetapi mempunyai efek samping
hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari. Fenitoin dan
karbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam.
Di Unit Kerja Neurologi Anak IDAI, pemberian profilaksis terus menerus
direkomendasikan pada keadaan seperti dibawah ini yaitu bila ada salah satu dari
kriteria dibawah ini:1,2,4,6-8
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau kelainan
perkembangan yang nyata (CP, MR, Mikrosefali)
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis bila kejang demam terjadi pada bayi
berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode
demam, kejang demam > 4 kali / tahun.
Lama pemberian profilaksis terus menerus yang dianjurkan ialah 1 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.1,4
Pada pasien ini penanganan fase akut saat pasien tiba di UGD adalah mencari
penyebab terjadinya demam dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah karena pada saat pasien
datang pasien tidak dalam kejang. Pada pasien ini ditemukan penyebab terjadinya kejang
adalah adanya keadaan infeksi pada saluran pernafasan pasien berupa tonsilofaringitis
yang ditandai dengan adanya batuk yang tidak berlendir disertai demam yang dirasakan
sejak 3 hari dan faring yang hiperemis dan pembesaran tonsil sebelum terjadinya kejang dan
juga didukung dari pemeriksaan penunjang yang menunjukkan leukositosis sebagai tanda
adanya infeksi.
Penegakan diagnosis tonsilofaringitis akut ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dimana dari anamnesis didapatkan adanya keluhan demam, batuk tidak
berlendir dan dari pemeriksaan fisik juga ditemukan faring hiperemis dan adanya pembesaran
tonsil T2-T2. Hal ini sesuai dengan gejala klinis yang sering ditemukan pada anak yang
menderita tonsilofaringitis.
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring yang disebabkan oleh virus dan
bakteri dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya muncul bersama-sama
dengan tonsillitis dan rhinitis. Jika muncul bersama-sama dengan rhinitis maka disebut
8
dengan rinofaringitis dan jika muncul bersama-sama dengan tonsillitis maka disebut
tonsilofaringitis.9-11
Faringitis secara umum mempunyai karakterisitik gejala yaitu demam yang tiba-tiba,
nyeri tenggorokan, nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. 9 Sedangkan jika muncul
bersama-sama dengan pembesaran tonsil kita sebut tonsilofaringitis akut, gejala yang timbul
selain demam yang merupakan tanda adanya peradangan, yaitu batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan.10 Gejala yang timbul pada rhinofaringitis disebabkan karena adanya mekanisme
pertahanan tubuh untuk mengeluarkan virus atau bakteri yang menginvasi saluran
pernapasan.10
Saat virus atau bakteri menginfeksi hidung dan sinus yang merupakan system
pertahanan pertama dari saluran pernapasan, maka rongga hidung akan memproduksi lendir
yang bening. Lendir ini membantu membersihkan virus atau bakteri dari rongga hidung dan
sinus. Jika bakteri atau virus dapat lolos sampai ke saluran pernapasan selanjutnya maka akan
terjadi mekanisme perangsagan batuk. Batuk sendiri adalah bagian dari mekanisme
pertahanan tubuh di paru-paru. Batuk terjadi jika ujung serabut saraf (reseptor batuk) di
saluran napas teriritasi oleh mediator peradangan yang diproduksi sebagai respons terhadap
infeksi atau akibat adanya lendir.10
Penyebab paling sering dari infeksi saluran pernaspasan adalah virus yang bersifat
“self limiting disease” sehingga terkadang tidak membutuhkan terapi antibiotik.11 Terapi
ditujukan untuk mengatasi gejala yang timbul, membatasi penyebaran infeksi, dan membatasi
komplikasi. Antibiotik diberikan jika sumber infeksi disebabkan oleh bakteri.9-11
Berdasarkan hal tersebut pasien tidak diberikan diberikan terapi farmakologik untuk
keluhan batuk pilek yang dialami oleh pasien. Pasien hanya diberikan antibiotik cefotaksim
yang merupakan antibiotic dengan spectrum luas terhadap bakteri gram negative maupun
positf pada pasien ini dimaksudkan karena adanya kecurigaan infeksi bakteri sebagai
penyebab dari tonsilofaringitis pada pasien.
Setelah itu karena tidak ditemukan adanya indikasi rawat inap pada pasien setelah
dilakukan pemeriksaan di UGD pasien seharunya dapat dipulangkan dengan pemberian
profilaksis intermiten. Pemilihan pemberian profilaksis intermiten pada pasien dapat
dipikirkan karena pasien tidak memenuhi kriteria pemberian profilaksis terus menerus. Obat
yang dapat diberikan pada pasien sebagai profilaksis intermiten adalah Diazepam dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kg/hari dibagi 3 dosis dan hanya diberikan pada waktu penderita demam.
Obat antipiretika sering dianjurkan meskipun tidak terbukti dapat mengurangi risiko
rekurensi, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi tenang
9
sehingga pada pasien dapat ditambahkan pemberian antipiretika paracetamol dengan dosis
10 mg/kgBB/kali pemberian.
Selain itu, karena pasien pemicu terjadinya kejang pada pasien ini disebabkan oleh
demam maka saat pulang orang tua pasien juga harus diberikan edukasi mengenai bagaimana
cara mengatasi demam pada pasien dan bagaimana penanganan pasien pada saat kejang. Pada
dasarnya menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara fisik, obat-obatan maupun
kombinasi keduanya.12-14
1. Secara Fisik
a) Anak demam ditempatkan dalam ruangan bersuhu normal
b) Pakaian anak diusahakan tidak tebal
c) Memberikan minuman yang banyak karena kebutuhan air meningkat
d) Memberikan kompres.
2. Farmakologi
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama dalam menurunkan demam dan
sangat berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan kelainan
kardiopulmonal kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis dan pada anak yang
berisiko kejang demam. 12-14
Antipiretik bekerja secara sentral menurunkan pusat pengatur suhu dihipotalamus
secara difusi dari plasma ke susunan saraf pusat. Keadaan ini tercapai dengan
menghambat siklooksigenase, enzim yang berperan pada sintesis prostaglandin.
Penurunan pusat suhu akan diikuti respons fisiologi termasuk penurunan produksi panas,
peningkatan aliran darah ke kulit, serta peningkatan pelepasan panas melalui kulit
dengan radiasi, konveksi, dan penguapan. Sebagian antipiretik dan obat antiinflamasi
nonsteroid menghambat efek PGE2 pada reseptor nyeri, permeabilitas kapiler, dan
sirkulasi, migrasi leukosit, sehingga mengurangi tanda klasik inflamasi. 12-14
Efektivitas dalam menurunkan demam tergantung pada derajat demam, daya
absorpsi, dan dosis antipiretik. Pada umumnya obat antipiretik digunakan bila suhu anak
lebih dari 38,5oC. Indikasi pemberian antipiretik antara lain: 12-14
1. Demam lebih dari 39oC yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,
biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia
2. Demam lebih dari 40,5oC
3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan
malnutrisi, penyakit jantung, luka bakar, atau pascaoperasi memerlukan antipiretik
4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.
10
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila pasien kejang:1
1. Tetap tenang dan tidak panic
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lender di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih
Prognosis pasien ini dapat dikatakan bonam karena pada pasien ini ditemukan
penyebab kejang pada pasien ini adalah infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan
demma pada pasien dan memicu terjadinya kejang pada pasien sehingga dengan penanganan
yang tepat diharapkan tidak akan terjadi kejang lagi pada pasien. Selain itu tidak ditemukan
adanya gangguan neurologis sehingga dapat diasumsikan bahwa tidak terdapat gangguan
yang berarti pada system saraf pusat pasien.
11
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini
akhirnya didiagnosis menderita kejang demam sederhana et causa tonsilofaringitis
akut.
Penanganan pada pasien ini ditujukan untuk mengatasi keadaan akut, mencari
penyebab terjadinya kejang, dan juga untuk mencegah berulangnya kejang.
Prognosis pasien ini bonam karena pasien ini ditemukan penyebab kejang pada
pasien ini adalah infeksi saluran pernafasan yang menyebabkan demam pada pasien
dan memicu terjadinya kejang pada pasien sehingga dengan penanganan yang tepat
diharapkan tidak akan terjadi kejang lagi pada pasien. Selain itu tidak ditemukan
adanya gangguan neurologis sehingga dapat diasumsikan bahwa tidak terdapat
gangguan yang berarti pada system saraf pusat pasien.
1.2 SARAN
Perlunya pemahaman lebih lanjut bagi setiap petugas kesehatan mengenai
karakteristik dari tiap penyakit agar tetap dapat menentukan diagnosis dengan baik
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dari pemeriksan penunjang jika fasilitas
tersedia.
Perlunya edukasi yang tepat bagi orang tua pasien mengenai penyakit pasien,
penanganan, dan bagaimana tindak lanjut yang baik dirumah jika pasien telah dirawat
jalankan dan bagaimana mencegah agar pasien tidak menderita keluhan yang sama
dikemudian harinya.
12
DAFTAR PUSTAKA
13
13. Merdjani A, Syoeib AA, Tumbelaka AR, Chairulfatah A, Sachro ADB, Arhana BNP,
dkk. Demam: Patogenesis dan Pengobatan. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro
SRS, Satari HI, penyunting. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010. h. 21-46
14