Anda di halaman 1dari 9

EFEKTIVITAS REGIONALISME ASEAN TERHADAP PENYELESAIAN

MASALAH ANTAR NEGARA ANGGOTA


(STUDI KASUS SENGKETA THAILAND DAN KAMBOJA)

Matahari Adihapsari Saiful Bahri


17044010015

Program Studi Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
e-mail: matahari.adi98@gmail.com
Pendahuluan
Dunia internasional tidak pernah terlepas dari adanya konflik. Konflik perbatasan
merupakan konflik yang sering mewarnai dinamika hubungan antar negara khususnya di Asia
Tenggara yang memiliki beberapa negara dengan batas wilayah yang berdempetan. Sebagai
sebuah bentuk regionalisme yang diorganisasikan sebagai ASEAN, konflik-konflik tersebut
pastilah memiliki campur tangan dari ASEAN sebagai penengah antara kedua belah pihak. Asia
Tenggara termasuk Kawasan yang memiliki banyak konflik perbatasan, diantaranya sengketa.
Sengketa yang pernah terjadi di Asia Tenggara diantaranya, antara Indonesia dengan Malaysia
tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, Malaysia dengan Singapura perihal reklamasi
Pantai Singapura dan Malaysia, serta sengketa terkait Kuil Preah Vihear antara Thailand dan
Kamboja.

Sebagai sebuah kawasan regionalisme, ASEAN selaku organisasi regional memiliki


peran dan peluang besar dalam membantu menangani masalah yang timbul antar negara
anggotanya. Hal itu dikarenakan ia merupakan organisasi yang berdiri atas asas regionalism yang
mana berdsarkan kesamaan kultur, historis, sumberdaya dan sebagainya. Besarnya kesempatan
ASEAN untuk melindungi perdamaian dalam region Asia Tenggara, menggiring penulis untuk
mengetahui seberapa efektifnya ASEAN dalam membantu negara anggota ketika terpecahnya
sebuah konflik, khususnya sengketa.

Pembahasan
a. ASEAN dan Regionalismenya
Associaton of South-East Asian Nation (ASEAN) yang didirikan pada 8 Agustus
1967 di Bangkok merupakan bentuk regionalisme yang akhirnya diorganisasikan yang
beranggotakan negara-negara di wilayah regional Asia Tenggara. Tujuan dari dibentuknya
ASEAN tertuang pada Pasal 1 Piagam ASEAN yang berisikan 15 butir, diantarannya:
Memelihara peningkatan perdamaian, keamanan dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-
nilai perdamaian di kawasan ini (Butir 1).; Untuk memastikan bahwa rakyat dan negara
anggota ASEAN hidup damai dengan dunia pada umumnya dalam lingkungan yang adil,
demokratis dan harmonis (Butir 4).; untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan tata
pemerintahan yang baik dan supremasi hukum, dan untuk mempromosikan dan melindungi
hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dengan memperhatikan hak dan tanggung jawab
negara anggota ASEAN (Butir 7).
Berdirinya organisasi ini tidak terlepas dari adanya keterkaitan antar negara dalam
faktor sejarah persamaan nasib dan kondisi geopolitik pada saat dibentuknya organisasi.
Bentuk awal ASEAN bukan sebuah organisasi karena hanya berlandaskan pada deklarasi
yang mana digunakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pembahasan di bidang
politik, hukum dan keamanan.
Barulah pada KTT ke-13 di Singapura pada tahun 2007, ASEAN mengeluarkan
sebuah piagam (charter) yang membuka pintu baru bagi ASEAN sebagai organisasi
internasional. Tanggung jawab ASEAN sebagai organisasi semakin besar karena bertujuan
menjaga stablitas dan keamanan di Asia Tenggara. Beruntungnya, pada tahun 1976, ASEAN
telah melaksanakan pertemuan tingkat tinggi pertama yang menhasilkan tiga buah
instrument, yaitu Declaration of ASEAN Concord, Agreement on the Establishment of the
ASEAN Secretariat dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC). TAC merupakan
instrument hukum pertama ASEAN yang memilki fungsi mengatur tentang penyelesaian
sengketa dengan jalan damai dan pelarangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian
sengketa (Hilton, 2011).
b. Sengketa antara Thailand dan Kamboja
Sengketa yang mewarnai hubungan bilateral antara Thaland dan Kamboja pada
kurun waktu yang lama ini, telah terjadi dua kali. Sengketa yang pertama ialah
memperebutkan hak kepemilikan dari Kuil Preah Vihear yang berada di perbatasan antara
Thailand yaitu dekat distrik Khantaralak dan Provinsi Preah Vihear yang berada di
Kamboja. Kuil Preah Vihear merupakan kuil umat Budha yang terletak di Pegunungan
Dangrek wilayah Preah Vihear di Negara Kamboja. Kuil ini juga terletak di sepanjang
wilayah Sisaket di bagian timur laut Negara Thailand. Kuil Preah Vihear mempunyai luas
wilayah keseluruhan 4,6 km persegi. (Ari Kristanto, 2011).
Pada tahun 1959, Kamboja mengeklaim Kuil Preah Vhear masuk ke dalam
wilayahnya, mendengar hal tersebut, Thailand yang merasa bahwa kuil tersebut juga berada
di wilayah kedaulatannya tidak terima. Ketegangan muncul diantara kedua negara tersebut,
hingga akhirya permasalahan tersebut dibawa pada International Court of Justice (ICJ) atau
Mahkamah Internasional pada tahun 1962. Di tahun yang sama, Mahkamah Internasional
megeluarkan putusannya bahwa Kuil Preah Vihear berada pada wilayah Kamboja dengan
dasar traktat perbatasan berjudul Annex I Maps yang dilakukan oleh Perancis (Negara yang
menjajah Kamboja) dengan Siam (Thailand) yang diantaranya berisikan Mixed Commission
yang dibentuk berdasarkan boundary treaty antara Perancis dan Thailand pada 13 Pebruari
1904 lalu disempurnakan pada tahun 1907. Dalam peta ini, daerah Dangrek yang mana
merupakan lokasi Kuil Preah Vihear berada dalam wilayah Kamboja. Menurut Traktat
perbatasan tersebut, garis batas yang tertera mengikuti garis batas air (watershed). Hasil
penyempurnaan pada tahun 1907 lalu disampaikan kepada pemerintah Thailand di tahun
berikutnya. Karena Thailand tidak menangapi atau memberikan respon penolakan terhadap
hal tersebut, Mahkamah Internasional menganggap bahwa Thailand setuju.
Sengketa kedua terjadi pada tahun 2008. Sengketa ini terjadi di sebabkan oleh
persetujuan UNESCO terhadap permintaan Kamboja agar Kuil Preah Vihear menjadi salah
satu warisan budaya dunia. Tidak hanya itu, Kamboja juga meminta pada UNESCO agar
tanah sekitar Kuil Preah Vihear dengan luas 4,6 kilometer persegi menjadi miliknya.
Thailand yang mengetahui hal tersebut menjadi geram dan menganggap bahwa putusan
Mahkamah Internasional dinilai berat sebelah dan tidak jelas. Ini mengindikasikan masih
adanya ketidaksepakatan dari kedua belah pihak atas putusan yang ditetapkan Mahkamah
Internasional mengenai Case Concerning the Temple of Preah Vihear. Ketika Kamboja
mengajukan Kuil Preah Vihear pada UNESCO, Thailand lansgung mengirim tentara dekat
kuil yang akhirnya di susul dengan Kamboja yang juga meletakkan tetaranya di sana.
Pada April 2008, terjadi baku tembak di perbatasan dekat kuil Preah Vihear yang
berdampak pada tewasnya beberapa tentara Thailand. Tak hanya sampai di situ, tentara
Thailand yang menyerang Kamboja dengan roket akhirya menghantam pasar local yang juga
terdapat rumah penduduk. Alhasil, rumah dan pasar mengalami kehancuran total dan kuil
Preah Vihear mengalami kerusakan. Keadaan terus memuncak dan kontak senjata tak
terelakkan.
c. Upaya Penyelesaian Sengketa antara Thailand dan Kamboja yang Dilakukan ASEAN
1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di ASEAN
a) Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Treaty of Amity and Cooperation
(TAC)
Treaty of Amity and Cooeration (TAC) merupakan instrument hukum
yang dibuat oleh ASEAN guna mengatur perihal tingkah laku negara anggota serta
cara penyelesaian sengketa secara damai. Dalam TAC memuat prinsip-prinsip dasar
yang harus dipegang teguh oleh negara aggota dalam menjalanan kerjasama satu
sama lain. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1) Saling menghormati, kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, kesatuan wilayah,
dan identitas nasional setiap negara;
2) Hak setiap negara untuk menjalankan eksistensi nasionalnya yang terbebas dari
pengaruh luar, subversi dan paksaan;
3) Tidak melakukan nterensi urusan dalam negeri negara lain;
4) Penyelesaian sengkea dan perselisihan secara damai;
5) Pelarangan penggunaan ancaman dan kekuatan bersenjata;
6) Kerjasama yang efektif antara sesama (Hilton, 2011).

Dalam TAC, telah diatur beberapa metode penyelesaian sengketa yang


mana dapat dilaksanakan apabila pihak yang bersengketa sepakat untuk
menyelesaikannya melalui jalur TAC, sesuai dengan Pasal 16 TAC.

1) Pencegahan
Pada Pasal 13 TAC menyatakan bahwa setiap negara harus sama-sama
memliki niat baik untuk mencegah timbulnya sengketa. Namun tidak
dijelaskan bentuk pencegahan yang harus dilakukan oleh negara peserta agar
tidak terjadi sengketa. Akan tetapi, menurut pada Pasal 13, pencegahan dapat
diartkan agar negara peserta menghormati prinsip-prinsip yang telah di
jabarkan pada Pasal 2 TAC.
2) Negosiasi
Seperti mekanisme penyelesaian sengketa dalam hukum internasional,
TAC juga menyebutkan adanya penyelesaian dengan jalur diplomatik selain
negosiasi. Mekanisme diplomat tersebut ialah mediasi, penyelidikan atau
konsiliasi (Hilton, 2011).
3) High Council (Dewan Tinggi)
Metode penanganan sengketa melalu High Council dituangkan pada Pasal
14 hngga 16 TAC:
Pasal 14 TAC menyatakan bahwa:
“To settle disputes through regional processes, the High
Contracting Parties shall constitute, as a continuing body, a
High council comprising a Representative at ministerial level
from each of the High Contracting Parties to take cognizance
of the existence of disputes or situations likely to disturb
regional peace and harmony.” (ASEAN, 2015)
Dalam Pasal 14,15 dan 16 TAC dinyatakan bahwa apabila negosiasi yang
dijalankan oleh kedua belah phak yang bersengketa menemui kegagalan maka
jalan lain untuk menyelesaikan masalah ialah melalui the High Council yang
terdiri dari setiap Negara Anggota ASEAN. the High Council memiliki
kewenangan memberikan rekomendasi mekanisme penyelesaian sengketa
berupa jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi. Namun, keikut sertanya
High Council dalam sengketa harus melalui pesetujuan pihak yang bersengketa
untuk menyerahkan sengketa mereka diselesaikan oleh the
High Council.
Namun masih banyak hal yang perlu dibenahi dari rules yang dipegang
oleh High Council, misalkan pada sifat dari putusan akhir dari High Council,
apakah itu telah final atau masih dapat diperbarui lagi dan apakah putusan itu
bersifat mengikat atau hanya sementara. Selain itu, sanksi yang berlaku masih
belum datur secara tegas. Penulis berindikasi bahwa dengan regulasi atau
aturan dari ASEAN sendiri yang belum jelas, akan berdampak pada efektivitas
ASEAN dalam menghadapi sengketa.
b) Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam Piagam ASEAN
Lahirnya Piagam ASEAN merupakan penegasan dari prinsp-prinsip dan
tujuan ASEAN yang tersebar ke dalam instrument-instrumen yang telah lahir
sebelumnya. Sebelum adanya Piagam ASEAN, mekanisme penyelesaian sengketa
di ASEAN hanya melalui perjanjian-perjanjian, negara-negara lebih memilih
menyelesaikan sengketanya secara langsung maupun melalui badan atau lembaga
lain yang di luar ASEAN. Dengan adanya Piagam ASEAN, diharapkan
kepercayaan dari negara-negara ASEAN akan tumbuh. Dalam Piagam ASEAN
terdapat enam cara penyelesaan ASEAN, yaitu:
1) Dialog, Konsultasi dan Negosiasi
Menurut Pasal 22 (1) yang berisi:
”Member State shall endeavour to resolve peacefully all disputes in a timely
manner through dialogue, consultation and negotiation” (ASEAN, 2015)
Menurut Piagam ASEAN, hal pertama yang harus dilakukan ketika
menyelesaikan sebuah sengketa ialah Dialog, Konsultasi dan Negosiasi, namun
ia tidak menjelaskan bagaimana mekanismenya. Hal itu berarti ASEAN
memberikan ruang lebih luas kepada pihak-pihak yang terlibat sengketa untuk
menyelesaikan masalahnya tanpa campur tangan dari pihak ketiga karena
pihak-pihak yang terlibat sengketa sendiri yang paling mengetahui bagaimana
sengketa yang muncul diantara keduanya.
2) Konsultasi (Consultation)
Pemohan dapat meminta konsultasi secara tertulis kepada pihak termohon
diserta dengan identifikasi materi dan dasar hukum serta menyerahkan Salinan
permohonan kepada Sekjen ASEAN. Pihak termohon wajib menjawab
permohonan yang diajukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Jangka waktu
yang diberikan sebanyak sembilan puluh hari sejak permohonan konsultasi
diajukan.
3) Jasa-Jasa Baik
Jasa-jasa baik merupakan upaya penyelesaian sengketa yang melibatkan
pihak lain dan memiliki batas waktu tertentu. Proses dan mekanisme dari jasa-
jasa baik ialah tertutup dan rahasia kecuali kesepakatan dari pihak-pihak yang
terlibat. Pihak yang berperan sebagai penangan berperan aktif mencari solusi
untuk menyelesakan sengketa yang terjadi sesuai Piagam ASEAN atau
instrument ASEAN lainnya. Guna membantu jalannya kerja jasa-jasa baik,
maka para pihak yang bersengketa wajb untuk aktif melakukan komunikasi
secara langsung pada penengah untuk mendapatkan informasi yang akurat.
4) Mediasi
Mediasi diatur pada Piagam ASEAN dalam Pasal 23. Dalam mediasi,
yang berperan sebagai penengah dapat Ketua ASEAN atau Sekjen ASEAN
tergantung permintaan dari pemohon. Mediator bertugas untuk membantu dan
memfasiltasi pihak-pihak yang terlibat sengketa untuk melakukan komunikasi
dan negosiasi dalam penyelesaian sengkata. Mediator harus bersikap netral dan
tidak berpihak pada kubu manapun.
5) Konsiliasi
Konsiliator dipilih oleh pihak-pihak yang terlibat sengketa dan bertugas
membantu serta memfasilitasi pihak yang bersengketa untuk mencari solusi
dari sengketa yang dihadapi. Konsiliatior tidak dapat menjadi arbitrator,
penasihat maupun saksi apabila sengketa naik ke meja pengadilan.
Dalam penyelesaan sengketa, konsiliator meminta pihak-pihak yang
bersengketa untuk membuat pernyataan tertulis berisi latar belakang terjadinya
sengketa serta isu yang dibahas. Disamping itu, konsiliator dapat meminta
bukti dari pihak-pihak untuk bahan investgasi, dan informasi tersebut harus
dipertukarkan satu sama lain antar pihak yang bersengketa.
6) Arbitrase
Arbitrase dapat dilakukan ketika konsliasi tidak menemukan jalan keluar
atau tdak digubris oleh pihak termohon. Surat permohonan arbitrase diajukan
pada Sekjen ASEAN dan disertai fakta-fakta dan dasar hukum yang
berhubungan dengan materi sengketa. Jangka waktu pihak termohon untuk
menjawab ialah lima belas hari sejak surat tersebut diajukan. Apabila
permohonan arbitrase tidak berhasil maka pemohon dapat mengajukan
sengketa kepada ASEAN Coordinatng Council (ACC).
d. Upaya Penyelesaian Sengketa antara Thailand dan Kamboja yang Telah Dilakukan
ASEAN
Sebagai oraganisasi yang menaung Thailand dan Kamboja ASEAN mencoba untuk
membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara kedua negara tersebut. Melalui
Sekjen ASEAN, ASEAN mendesak Thailand dan Kamboja untuk menahan diri untuk
tidak melakukan kontak senjata. Selain tu, ASEAN juga mendesak para perdana menteri
untuk melakukan dialog dan negosiasi. ASEAN juga telah menawarkan diri untuk
membantu penyelesaian sengketa diantara Thailand dan Kamboja. Namun karena salah
satu pihak, Thailand, enggan untuk mendatangkan pihak ketiga karena takut akan adanya
pengaruh politik didalamnya. Karena hal tersebut, maka ASEAN hanya dapat memantau
dan mendorong kedua negara untuk terus bernegosiasi.

Penutup
Dari analisa yang penulis paparkan di atas, kinilah saatnya membahas efektif atau tidak
ASEAN sebagai organisasi regional dalam menangani sengketa yang mewarnai hubungan antara
Thailand dan Kamboja.
Penulis meyatakan bahwa ASEAN kurang efektif dalam menangani sengketa yang terjadi
diantara Thailand dan Kamboja. Alasan yang membuat penulis beranggapan bahwa ASEAN
tidak efektif ialah;
1. Tidak mampunya ASEAN menyelesaikan sengketa yang terjadi di Thailand dan Kamboja
sesuai dengan Piagam ASEAN dan TAC yang di dalamnya mengatur tentang prosedur
penyelesaian sengketa.
2. Adaya sikap tidak percayanya Thailand pada ASEAN akan keterlibatannya dalam
penyelesaian sengketa ini. Thailand mengkhawatirkan dengan adanya keterkaitan ASEAN
di dalam penyelesaian sengketa ini juga akan berpengaruh terhadap politik dalam negeri.
3. Adanya skeptisme yang muncul diantara negara-negara pada ASEAN bahwa ia tidak netral
dalam penanganan sengketa, mengingat hambir seluruh negara anggota ASEAN selalu
memliki permasalahan batas negara.

Referensi
ASEAN. 2015. The ASEAN Charter. Jakarta: ASEAN Secretariat.

ASEAN. 2016. Treaty of Amity Cooperation n Southeast Asia Indonesia, 24 February 1976
diperoleh dari https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-
24-february-1976/ pada 8 Desember 2019

Kompas.com. 2011. Preah Vihear Masih Membara diperoleh dari


http://internasional.kompas.com/read/2011/01/29/17383664/preah.vihear.masih.me
mbara pada 9 Desember 2019

Kristanto, Ari. 2009. Skripsi dengan judul UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA
KAMBOJA DAN THAILAND MENGENAI KUIL PREAH VIHEAR OLEH
ASEAN. Universitas Sebelas Maret.

Putra, Hilton Tarnama dan Eka An Aqimuddin. 2011. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di
ASEAN. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai