Anda di halaman 1dari 9

JERE 6 (1) (2017)

Journal of Educational Research and Evaluation


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jere

Instrumen Penilaian Diri Kompetensi Klinis Mahasiswa Kedokteran

Andra Novitasari, Saiful Ridlo, Tri Nur Kristina

Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________
Sejarah Artikel: Penilaian diri dibutuhkan untuk refleksi diri kompetensi klinis bagi mahasiswa sebagai dasar
Diterima 13 Februari pengembangan diri. Penilaian diri yang selama ini dilakukan belum mampu secara akurat
2017 memberikan gambaran kompetensi klinis mahasiswa. Penelitian bertujuan mengembangkan
Disetujui 8 Mei 2017 instrumen yang valid, reliabel, dan efektif untuk melakukan penilaian diri kompetensi klinis.
Dipublikasikan 7 Agustus Penelitian menggunakan metode campuran dengan rancangan sekuensial eksploratoris. Penelitian
2017 dilakukan dalam 4 tahap. Tahap identifikasi dimensi kompetensi klinis dilakukan melalui
wawancara mendalam dan studi pustaka. Tahap penyusunan instrumen dilakukan dengan
________________
menyusun definisi konseptual, dimensi, dan indikator, penyusunan kisi-kisi instrumen, menulis
Keywords:
butir-butir instrumen, dan penentuan skala pengukuran. Tahap validasi instrumen dilakukan
Instrument; Clinical
dengan meminta pertimbangan ahli dalam bidang pendidikan kedokteran dan dianalisis
Competency; Medical
menggunakan Content Validity Ratio (CVR). Tahap implementasi, instrumen diuji reliabilitasnya.
Student; Self-Assessment Reliabilitas instrumen dianalisis menggunakan Alpha Cronbach’s. Hasil penelitian menunjukkan
____________________ bahwa dimensi kompetensi klinis terdiri dari hubungan dokter-pasien, anamnesis, pemeriksaan
fisik, kemampuan diagnostik, tata laksana, ketrampilan komunikasi, dan profesionalitas. CVR
diperoleh nilai positif pada semua butir sehingga instrumen dinyatakan valid. Uji reliabilitas
instrumen menunjukkan nilai Alpha 0.949 sehingga instrumen dinyatakan reliabel. Butir-butir di
dalam instrumen telah mencerminkan keseluruhan komponen kompetensi dan memiliki
konsistensi dalam mengukur konstruk yang sama, sehingga dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk
mengukur kompetensi klinisnya masing-masing sebagai bahan pengembangan diri.

Abstrac

Self-assessment is needed for self-reflection of clinical competence for students as a basis for self-development.
Unfortunately, self-assessment has not been able to accurately provide an overview of student clinical
competence. The aims of the study is to develop a valid, reliable, and effective self-assessment instrument of
clinical competence.The study used a mixed method. The study was conducted in 4 stages. The identification of
clinical competence’s dimensions in medical students was done through in-depth interview and literature study.
The instrument compilation was performed by defining conceptual definitions, dimensions, and indicators,
arranging the instrument blueprint, writing instrument items, and determining the measurement scale. The
validation was performed by expert in medical education, and analyzed using Content Validity Ratio (CVR).
Instrument implemented and tested quantitatively its reliability. Reliability was analyzed with Alpha
Cronbach's. The dimensions of clinical competence consisted of: physician-patient relationships, anamnesis,
physical examination, diagnostic ability, management, communication skills, and professionalism. CVR
obtained positive values on each item so the instrument is valid. Test reliability of the instrument shows Alpha
0.949 so the instrument is reliable. Self-Assessment Instrument of Clinical Competence for Medical The items
within the instrument have reflected the overall component of competence and have consistency in measuring
the same constructs, so that students can use it to measure their own clinical competence as a self-development
material.

© 2017 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: P-ISSN 2252-6420
Kampus Pascasarjana Unnes, Jalan Kelud Utara III Semarang 50237
E-ISSN 2503-1732
E-mail: andrascorner@yahoo.com

81
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

PENDAHULUAN Beberapa peneliti menyebutkan bahwa


penilaian diri kompetensi klinis masih menjadi
Penilaian diri atau self assessment suatu masalah, sebab belum akurat dalam
merupakan salah satu cara penilaian hasil proses pengukurannya (Gillespie et al. 2011).
belajar yang berpusat pada mahasiswa. Deakin-Crick et al (2005) dan Ryan (2007) di
Mahasiswa perlu menilai sendiri kemajuan dan dalam penelitiannya yang membandingkan hasil
pencapaian mereka terhadap keterampilan yang self assessment dan teacher assessment
dilatihkan kepada mereka. Rogers mengatakan mengungkapkan bahwa mahasiswa cenderung
seseorang akan belajar lebih baik apabila menilai dirinya lebih tinggi dibandingkan
mereka memahami tujuan, kriteria penilaian, dengan kompetensi yang sebenarnya. Penilaian
dan mampu membuat penilaian apakah mereka tinggi ini dilakukan oleh mahasiswa dengan
sudah memenuhi kriteria tersebut atau belum prestasi akademik yang lemah. Mahasiswa tidak
(Orsmond 2004). Mahasiswa memiliki tanggung dilatih ketrampilan untuk melakukan penilaian
jawab untuk menilai hasil belajarnya masing- diri, maka penafsiran pengetahuan dan
masing. Melibatkan mahasiswa dalam proses ketrampilan yang dimilikinya akan berpotensi
penilaian hasil belajarnya akan membantu untuk menyesatkan (Musolino 2006). Penilaian
mahasiswa untuk secara aktif belajar dan diri yang kurang tepat dapat menyebabkan
membangun makna dari pengalaman yang seseorang kehilangan motivasi untuk mengubah
diperoleh untuk meningkatkan pemahaman memperbaiki konsep belajarnya (Duffy et al.
(Deakin-Crick et al. 2005). 2006). Selain itu, penilaian diri yang kurang
Mahasiswa yang terlibat dalam proses akurat dapat berisiko membahayakan pasien
penilaian dirinya akan lebih siap dalam (Davis et al. 2006). David mengantisipasi
menghadapi tantangan ke depan (Boud & kondisi ini dengan menekankan perlunya
Falchikov 2006). Lebih jauh, manfaat penilaian pedoman penilaian berupa gold standart untuk
diri dalam pendidikan kedokteran, mahasiswa membandingkan performa dirinya dengan
diharapkan mampu menilai pencapaian ukuran eksternal yang reliabel pada instrumen
kompetensi klinisnya yang harus dikuasai, penilaian diri kompetensi klinis (Senger 2012).
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan diri, Belum banyak data dan penelitian yang
untuk selanjutnya bisa melakukan upaya-upaya mendukung penilaian diri dalam pencapaian
perbaikan untuk mencapai kompetensi klinis kompetensi klinis di bidang kedokteran
tersebut. Penilaian diri bagi seorang dokter (Pisklakov et al. 2014), dan sampai saat ini
dibutuhkan untuk merefleksi dirinya sebagai masih menjadi tantangan dalam menyusun
dasar pengembangan diri untuk mencapai instrumen penilaian kompetensi klinis yang
tujuan kompetensinya. valid dan reliabel.
Kompetensi klinis adalah kompetensi Adanya instrumen penilaian diri
yang harus dikuasai oleh lulusan dokter sebagai kompetensi klinis mahasiswa kedokteran ini
syarat untuk melakukan praktik kedokteran di diharapkan mampu memberikan informasi yang
masyarakat. Pendidikan Kedokteran Indonesia akurat tentang kompetensi klinis yang telah
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Konsil dikuasai oleh mahasiswa kedokteran. Informasi
Kedokteran Indonesia Nomor 11 tahun 2012 yang akurat nantinya akan dapat digunakan
tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia sebagai dasar pengembangan diri. Tujuan
mewajibkan sejumlah kompetensi klinis (Konsil penelitan ini adalah untuk mengidentifikasi dan
Kedokteran Indonesia 2012). Kompetensi- mendeskripsi dimensi-dimensi kompetensi
kompetensi ini harus dikuasai oleh lulusan klinis, menganalisis validitas dan reliabilitas
setelah mengikuti pendidikan dokter. instrumen penilaian diri kompetensi klinis pada
mahasiswa kedokteran.

82
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

METODE dilakukan dengan meminta pertimbangan 3


orang ahli dalam bidang pendidikan kedokteran
Penelitian menggunakan metode (expert judgement). Analisis untuk menentukan
campuran rancangan sekuensial eksploratoris validitas isi dihitung mengunakan rumus
dengan model 4-D Thiagarajan yang Content Validity Ratio (CVR).
dimodifikasi menjadi 4 tahap: identifikasi Tahap implementasi instrumen dilakukan
dimensi kompetensi, penyusunan instrumen, dengan mengujicobakan instrumen penilaian
validasi, dan implementasi instrument (Saud diri kompetensi klinis kepada mahasiswa
2014). Tahap identifikasi dilakukan untuk kedokteran. Pada tahap ini instrumen akan diuji
mengetahui dimensi-dimensi kompetensi klinis secara kuantitatif untuk menilai reliabilitasnya.
pada mahasiswa kedokteran. Tahap ini Reliabilitas instrumen dianalisis menggunakan
dilakukan menggunakan pendekatan metode uji reliabilitas Alpha Cronbach’s.Sampel
penelitian kualitatif, melalui wawancara penelitian adalah 30 mahasiswa kedokteran
mendalam dan studi pustaka untuk mengkaji tahap pendidikan profesi Fakultas Kedokteran
konsep-konsep atau teori-teori yang Universitas Muhammadiyah Semarang yang
berhubungan dengan komponen kompetensi telah menempuh kepaniteraan klinik pada tahun
klinis bagi mahasiswa kedokteran. Studi pustaka akademik 2015/2016.
dilakukan terhadap Standar Kompetensi Dokter
Indonesia tahun 2012 dan pustaka lain yang HASIL DAN PEMBAHASAN
mengkaji konsep dan teori tentang kompetensi
klinis mahasiswa kedokteran. Wawancara Hasil wawancara mendalam terhadap
dilakukan terhadap 7 responden, yaitu dosen dosen pembimbing klinis untuk
pembimbing klinis dari Bagian Ilmu Penyakit mengidentifikasi komponen kompetensi klinis,
Dalam (2 responden), Bagian Ilmu Kebidanan menunjukkan bahwa dimensi kompetensi klinis
dan Penyakit Kandungan (1 responden), Bagian terdiri dari hubungan dokter-pasien, anamnesis,
Ilmu Kesehatan Anak (2 responden), dan pemeriksaan fisik, kemampuan diagnostik, tata
Bagian Ilmu Kesehatan Mata (2 responden). laksana, ketrampilan komunikasi, dan
Instrumen yang digunakan adalah profesionalitas. Dokter yang memiliki
panduan wawancara. Analisis keabsahan data kompetensi klinis menurut Burg et al adalah
dilakukan melalui teknik triangulasi sumber dan dokter yang memiliki pengetahuan, penilaian,
metode. Analisis data menggunakan teknik ketrampilan, dan pengalaman untuk
analisis data kualitatif, melalui beberapa tahap mendiagnosis dengan benar dan mampu
(Creswell 2014): mengolah dan mempersiapkan memberikan intervensi pengobatan yang tepat
data, membaca keseluruhan data, menganalisis (Wimmers 2006). Kompetensi klinis
lebih detail dengan meng-coding data, deskripsi berhubungan dengan proses mendiagnosis
seluruh informasi yang diperoleh, pendekatan masalah dan memecahkannya. Hal ini serupa
naratif dalam menyampaikan hasil analisis, dan dengan hasil wawancara dengan dosen
interpretasi atau memaknai data. Penyusunan pembimbing klinis, dimana kompetensi klinis
instrumen penilaian diri kompetensi klinis seorang dokter berhubungan dengan
dilakukan berdasarkan data yang diperoleh pada kemampuan dokter untuk mengidentifikasi
tahap identifikasi dimensi kompetensi klinis. masalah pasien dan melakukan upaya untuk
Skala pengukuran menggunakan model skala mengatasi masalah tersebut. Terdapat beberapa
Likert. hal yang perlu diperhatikan dalam proses
Tahap validasi instrumen dilakukan tersebut.
untuk menguji ketepatan instrumen dalam Pasien adalah pihak yang mendapatkan
melakukan fungsi ukurnya. Validasi instrumen pelayanan kesehatan dari dokter. Kepuasan dan

83
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

kenyamanan pasien merupakan hal yang utama. Anamnesis atau wawancara merupakan
Inti dalam hubungan dokter dan pasien adalah langkah pertama dalam tata cara kerja yang
kehangatan, ketulusan, pemahaman yang harus ditempuh untuk membuat diagnosis.
empatik, serta perhatian positif. Seorang dokter akan dapat mengarahkan
Fourianalistyawati (2012) menjelaskan kemungkinan diagnostik pada seorang pasien
hubungan dokter dengan pasien dimulai saat melalui anamnesis yang baik. Anamnesis yang
pasien masuk ke ruang praktik dokter . Pada baik harus mengacu pada pertanyaan yang
saat pasien datang, dokter perlu memberikan sistematis, yaitu dengan berpedoman pada
kesan yang baik dengan menyapa pasien dan empat pokok pikiran (The Fundamental Four) dan
memperkenalkan diri kepada pasien, seperti tujuh butir mutiara anamnesis (The Sacred
yang disampaikan oleh salah satu responden: Seven). Mengumpulkan riwayat penyakit yang
“Jadi sebetulnya kita ilustrasikan pada lengkap merupakan langkah penting untuk
suatu kasus misalkan, jadi di sebuah ruang mengerti dan memahami pasien. Nilai kualitas
praktek itu, misalkan ada pasien yang masuk ke riwayat pasien tentunya akan bergantung pada
dalam ruang praktek kita, nah itu, kompetensi kemampuan dalam mengkaji informasi yang
kita bagaimana kita bisa menyapa pasien itu relevan. Alasan pasien datang kepada dokter
dengan baik, kita berikan salam pada pasien itu, adalah merupakan keluhan utama (chief
….” (R2. 9-15) complaint). Dokter harus mampu
Hal ini merupakan salah satu upaya yang mengidentifikasi keluhan utama yang membawa
dapat dilakukan untuk membuat pasien merasa pasien tersebut untuk datang ke dokter, karena
rileks dan bebas dari kekhawatiran pada suasana sering kali pasien mengeluhkan banyak hal.
ruang praktek. Rasa saling pengertian antara Seorang responden menyampaikan
dokter dan pasien dimulai dengan keduanya pendapatnya demikian:
saling memberi salam. Salam yang ramah dan “…. kita tanyakan kepada pasien bahwa
terbuka dari keduanya merupakan proses awal sebetulnya apa sih keluhan yang membuat
membangun saling pengertian dan keakraban pasien itu untuk datang ke dokter, itu karena
sehingga menimbulkan rasa nyaman. kadang memang ada beberapa pasien akan
Hubungan antara dokter pasien dijalin mengeluhkan kan banyak, mungkin karena saya
dengan suatu keterbukaan, sebab hal ini dapat di bidang mata ada yang keluhan mata kabur,
menumbuhkan rasa percaya dari pasien merah, nerocos, nah sebetulnya mana sih yang
(Fourianalistyawati, 2012). Keterbukaan yang paling dikeluhkan oleh pasien, itu harus kita
dilakukan oleh dokter berhubungan dengan kejar terus.” (R2. 82-89)
kepentingan dokter untuk memberikan Sebagai upaya penegakkan diagnosis,
informasi tentang segala hal yang berhubungan seorang klinisi harus menguasai bagaimana
dengan upaya penegakan diagnosis, diagnosis, melakukan anamnesis (wawancara) dan
dan upaya untuk perencanaan langkah-langkah pemeriksaan fisik yang sistematis dan benar.
penyembuhan pasien. Keterbukaan dapat Hal ini seperti yang disampaikan oleh
menghasilkan pemahaman pasien terhadap responden sebagai berikut.
keadaan kesehatannya, peluang dan “Tetapi kalau yang kita juga harus ngajari
kendalanya, sehingga dapat bersama-sama juga pemeriksaan yang taktis. Taktis itu sesuai
dokter mencari alternatif untuk mengatasi dengan keluhan, sesuai dengan tumbuh
permasalahannya. Jujur dan terbuka terhadap kembang anak. Katakanlah begini kadang, bayi
pasien merupakan salah satu bentuk rasa misalnya, anak besar, anak 5 tahun,
hormat dokter terhadap pasien (General Medical pemeriksaan umum kepala, dia melakukan
Council 2013). pemeriksaan ubun-ubun, ngapain ubun-ubun
dilaporkan? Gitu.. Rambut mudah dipilah,

84
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

keadaan umumnya tidak gizi buruk. Jadi harus tentang mekanisme patofisologi. Pola hipotetik
bisa memilih juga supaya namanya pemeriksaan deduktif memiliki ciri pada interpretasi data
fisik yang tidak cuma sistimatis, tetapi juga klinis, setiap data yang masuk dilakukan
taktis.” (R1. 103-113) persangkaan atau penarikan hipotesis. Hal ini
Banyak hal yang dapat digali pada dilakukan secara terus-menerus sampai hipotesis
anamnesis sehingga dengan anamnesis yang menjadi semakin sempit dan data klinis habis,
baik, seorang dokter dapat mengarahkan sehingga diperoleh suatu diagnosis kerja dan
kemungkinan diagnostik pada seorang diagnosis banding.
penderita, sehingga dalam melakukan Hardjodisastro (2006), menjelaskan
pemeriksaaan fisik dapat melakukannya secara bahwa setelah menegakkan diagnosis langkah
cermat dan sistematis. Saat melakukan berikutnya adalah menyusun rencana
pemeriksaan, penting bagi dokter untuk penatalaksanaan. Tata laksana penyakit dapat
memperhatikan respon pasien. Hal ini dibedakan menjadi dua, yaitu farmakologis dan
berhubungan dengan kenyamanan pasien selain non farmakologis, seperti yang disampaikan
bahwa, respon tersebut menunjukkan kelainan oleh responden:
yang dimiliki. Pada saat dokter melakukan “…. ya dari situ mengarah ke terapi,
pemeriksaan, dokter perlu melakukan tindakan terapinya apa? Menurut saya ada dua, yaitu
proteksi diri, baik bagi dokter maupun pasien. farmakologis dan non farmakologis. Mulai dari
Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan upaya preventif, promotif, kuratif, kalau
penyakit antara dokter-pasien. memang nanti tahapannya nanti ke rehabilitatif
Kemampuan yang penting untuk dimiliki ....” (R1. 14-18)
oleh seorang dokter adalah kemampuan Penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan
diagnostik atau kemampuan untuk menegakkan kondisi pasien pasien dan dapat berupa
diagnosis. Selama melakukan anamnesis dan tatalaksana farmakologis atau non
pemeriksaan fisik, dokter harus cermat dalam farmakologis. Tatalaksana farmakologis adalah
menganalisis fakta-fakta yang ditemukan yang pemberian terapi dengan menggunakan obat-
dapat menggiring ke arah penegakkan diagnosis. obatan, sedang tatalaksana non farmakologi
“…. menyusun tadi runtutan diagnosis, merupakan upaya pelengkap untuk
diagnosis yang sudah diajari, dari anamnesis, mendapatkan efek pengobatan farmakologis
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, yang lebih baik.
kemudian diagnosis” (R1. 10-13) Komunikasi yang efektif antara dokter
“Cuma nanti kecurigaannya kita melihat dan pasien merupakan salah satu kompetensi
lagi ke anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dari yang harus dikuasai oleh dokter. Kompetensi
pemeriksaan penunjang, yang paling menunjang komunikasi menentukan keberhasilan dalam
itu ke arah mana itulah kita pastikan menjadi menyelesaikan masalah kesehatan pasien
diagnose pasti.” (R2. 270-275) (Rusmana 2009). Komunikasi dokter-pasien
Seorang dokter harus mampu membuat perlu dilakukan dengan bahasa yang lugas
keputusan berdasarkan apa yang menjadi sehingga mudah dipahami oleh pasien. Hal ini
masalah, apa diagnosisnya, apa yang akan seperti yang disampaikan oleh beberapa
dilakukan, dan apa yang harus dilakukan. responden, seperti:
Penalaran klinis merupakan suatu proses “Jadi menjelaskan temuan klinis, temuan
dimana seorang dokter memusatkan pikiran yang didapat dari pasien, yang kita temukan apa
mereka ke arah diagnosis yang memungkinkan, saja harus disampaikan dengan bahasa yang
berdasarkan campuran pola pengenalan dan lugas, diagnosanya apa juga harus kita jelaskan
penalaran deduktif hipotetik (Schell 2008). dengan bahasa yang praktis, yang mudah
Proses ini dipengaruhi pengetahuan medis dimengerti, ....” (R2. 314-319)

85
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

Komunikasi dalam interaksi antara pencegahan dalam penggunaan istilah medis


dokter dan pasien diartikan sebagai tercapainya dan gunakan gambaran bahasa yang familier.
pengertian dan kesepakatan yang dibangun Profesionalitas (Wear & Aultman 2006)
dokter bersama pasien pada setiap langkah diartikan sebagai pemeliharaan kompetensi
penyelesaian masalah pasien. Komunikasi yang yang sangat penting untuk praktik, pembinaan,
efektif, pasien akan memberikan keterangan serta pemajuan ilmu pengetahuan, etik, dan
yang benar dan lengkap sehingga dapat perawatan penuh kasih dalam melayani pasien
membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit dan masyarakat. Profesionalitas digambarkan
pasien secara baik dan memberi obat yang tepat sebagai penghubung antara kelompok profesi
bagi pasien. Untuk sampai pada tahap tersebut, kedokteran dengan masyarakat yang ditandai
diperlukan berbagai pemahaman seperti dengan adanya ekspektasi dari kelompok
pemanfaatan jenis komunikasi (lisan, tulisan), masyarakat dan kewajiban melayani dari
menjadi pendengar yang baik, adanya kelompok profesi. Profesionalitas tidak terbatas
penghambat proses komunikasi, pemilihan alat pada hubungan antara dokter dengan pasien
penyampai pikiran atau informasi yang tepat, secara individu, tetapi juga hubungan dokter
dan mengekspresikan perasaan dan emosi. dengan institusinya, kelompok profesi dokter
Di dalam praktiknya, baik dokter dengan masyarakat, dan hubungan dokter
maupun pasien dapat berperan sebagai sumber dengan pembuat kebijakan publik. Salah satu
atau pengirim pesan dan penerima pesan secara bagian dari bentuk profesionalisme seorang
bergantian. Pasien sebagai pengirim pesan, dokter adalah dokter harus jujur tentang segala
menyampaikan apa yang dirasakan atau pengalaman serta kualifikasi yang kita miliki
menjawab pertanyaan dokter sesuai (General Medical Council 2013). Hal ini memiliki
pengetahuannya. Sementara dokter sebagai arti bahwa dokter harus memahami kompetensi
pengirim pesan, berperan pada saat apa saja yang dimiliki serta batasannya.
menyampaikan penjelasan penyakit, rencana Tindakan merujuk pasien kepada sejawat yang
pengobatan dan terapi, efek samping obat yang memiliki kompetensi lebih tinggi merupakan
mungkin terjadi, serta dampak dari dilakukan bentuk pemahaman dokter terhadap
atau tidak dilakukannya terapi tertentu. kompetensinya. Hal ini sesuai dengan apa yang
Dokter bertanggung jawab untuk disampaikan oleh responden sebagai berikut.
memastikan pasien memahami apa yang “…. harus bisa menentukan apakah
disampaikan. Sebagai penerima pesan, dokter pasien perlu pemeriksaan lanjutan atau
perlu berkonsentrasi dan memperhatikan setiap mungkin perlu referral, tatalaksana yang sesuai
pernyataan pasien. Untuk memastikan apa yang kompetensinya. Apabila memang kompeten
dimaksud oleh pasien, dokter sesekali perlu untuk melakukan tatalaksana yang paripurna,
membuat pertanyaan atau pernyataan berarti harus sampai ke follow up tatalaksana
klarifikasi. Mengingat kesenjangan informasi yang sudah diberikan.” (R4. 30-36)
dan pengetahuan yang ada antara dokter dan Bentuk profesionalitas yang lain adalah
pasien, dokter perlu mengambil peran aktif. prinsip otonomi pasien. Dokter menunjukkan
Ketika pasien dalam posisi sebagai penerima rasa hormat terhadap keputusan yang diambil
pesan, dokter perlu secara proaktif memastikan oleh pasien. Dokter harus menghormati dan
apakah pasien benar benar memahami pesan menghargai hak pasien untuk terlibat penuh
yang telah disampaikannya. Idealnya, dalam pengambilan keputusan, diawali dengan
dengarkan pasien ketika menggambarkan dokter menjelaskan apa dan mengapa perlu
masalah dengan kata-katanya sendiri. Tidak ada dilakukan suatu tindakan, risiko atau efek
cara yang terbaik untuk menanyai pasien. samping, dan permintaan persetujuan atas
Kesuksesan dalam interview memerlukan tindakan tersebut (General Medical Council 2013).

86
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

Tabel 1. Hasil Content Validity Ratio


Aspek Penilaian CVR
Kesesuaian butir dengan indikator
Butir 1 Menyapa pasien 0.33
Butir 2 Memperkenalkan diri kepada pasien 1.00
Butir 3 Terbuka dengan pasien terkait kondisi medisnya 1.00
Butir 4 Melakukan anamnesis dengan urutan yang logis 1.00
Butir 5 Mampu menggali fakta yang mendukung penegakan diagnosis (sacred 1.00
seven, fundamental four)
Butir 6 Melakukan pemeriksaan fisik yang tepat dan relevan 1.00
Butir 7 Melakukan pemeriksaan fisik secara sistimatis 1.00
Butir 8 Memperhatikan respon pasien saat melakukan pemeriksaan fisik 1.00
Butir 9 Melakukan tindakan proteksi diri 1.00
Butir 10 Cermat menganalisis masalah pasien (hasil anamnesis dan pemeriksaan 0.33
fisik)
Butir 11 Menentukan diagnosis banding/diagnosis 1.00
Butir 12 Melakukan tata laksana farmakologis yang tepat 1.00
Butir 13 Melakukan tata laksana non farmakologis yang tepat 1.00
Butir 14 Menggunakan bahasa yang mudah dipahami pasien 1.00
Butir 15 Menjadi pendengar yang baik 1.00
Butir 16 Memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya 1.00
Butir 17 Menjelaskan kepada pasien mengenai setiap tindakan yang akan 1.00
dilakukan
Butir 18 Memberikan edukasi yang berhubungan dengan kondisi medis pasien 1.00
Butir 19 Meminta persetujuan untuk setiap tindakan 0.33
Butir 20 Melakukan setiap tindakan dengan hati-hati dan teliti sehingga tidak 1.00
membahayakan pasien
Butir 21 Melakukan tindakan secara urut sesuai dengan prioritas 1.00
Butir 22 Memperhatikan kenyamanan pasien 1.00
Butir 23 Menunjukkan rasa hormat kepada pasien 0.33
Butir 24 Menyadari keterbatasan kompetensi yang dimiliki (bilamana perlu 0.33
dirujuk)
Butir 25 Penampilan keseluruhan 1.00
Instrumen menggunakan tata bahasa yang benar 1.00
Instrumen menggunakan skala yang tepat 0.33
Konten / isi instrumen telah sesuai dengan tujuan instrumen 1.00

Hasil identifikasi dimensi kompetensi sejauh mana pencapaian kriteria atau standar,
klinis selanjutnya digunakan untuk menyusun mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang
instrumen penilaian diri kompetensi klinis bagi dimiliki untuk perbaikan di masa mendatang.
mahasiswa kedokteran. Penilaian diri adalah Instrumen penilaian diri kompetensi klinis
suatu proses penilaian yang bersifat formatif mahasiswa kedokteran adalah suatu alat yang
dimana mahasiswa merefleksi dan mengevaluasi dapat digunakan untuk mengumpulkan data
kualitas pekerjaan dan belajarnya, menilai hasil proses penilaian kompetensi klinis yang

87
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

dilakukan oleh mahasiswa kedokteran yang Tabel 2. Uji Reliabilitas Alpha Cronbach
bersangkutan setelah sebelumnya mahasiswa Alpha Cronbach N
tersebut memperoleh paparan klinis yang
0.949 25
sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan aspek
psikologi dan merupakan sesuatu yang tidak
Instrumen penilaian diri yang telah
dapat diamati secara langsung. Skala sikap
disusun dan diuji validitas internal, selanjutnya
merupakan pilihan yang tepat, sebab dianggap
diuji reliabilitasnya. Hasil uji reliabilitas
lebih lengkap, tepat, dan konsisten dalam
menggunakan Alpha Cronbach pada Tabel 2.
mengukur aspek psikologis. Model skala Likert
menunjukkan hasil nilai Alpha 0.949 > rtabel
merupakan skala sikap yang sering digunakan
0.361 (signifikansi 5%). Hal ini menunjukkan
untuk menggali aspek psikologis karena mudah
bahwa butir-butir pada instrumen penilaian diri
digunakan dan dapat disesuaikan dengan
kompetensi klinis bagi mahasiswa kedokteran
bermacam-macam konstruk. Skor dari semua
dapat dikatakan reliabel. Instrumen ini memiliki
butir selanjutnya dapat dihitung dan dianalisis
konsistensi dalam mengukur konstruk yang
(Artino et al. 2014).
sama.
Uji validitas terhadap instrumen penilaian
diri yang telah disusun, dilakukan dengan
SIMPULAN
meminta pertimbangan dari 3 orang ahli di
bidang pendidikan kedokteran. Hasil CVR pada
Analisis hasil wawancara mendalam
Tabel 1 menunjukkan bahwa keseluruhan aspek
terhadap dosen pembimbing klinis, diperoleh
penilaian memiliki CVR positif. Hal ini berarti
hasil bahwa kompetensi klinis terdiri atas
seluruh butir telah disetujui oleh sebagian besar
beberapa dimensi, yaitu: hubungan dokter-
ahli.
pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik,
Aspek penilaian tata bahasa instrumen
kemampuan diagnostik, tata laksana,
memiliki nilai CVR 1,00, hal ini berarti seluruh
ketrampilan komunikasi, dan profesionalitas.
ahli setuju bahwa instrumen penilaian diri yang
Uji validitas instrumen penilaian diri kompetensi
disusun sudah menggunakan tata bahasa yang
klinis bagi mahasiswa kedokteran yang
benar. Aspek penggunaan skala memiliki nilai
dilakukan dengan meminta pertimbangan para
CVR 0,33. Hal ini berarti 2 dari 3 ahli setuju
ahli pendidikan kedokteran dan dianalisis
penggunaan model skala Likert pada instrumen
menggunakan analisis CVR diperoleh hasil
penilaian diri. Meskipun demikian, terdapat
seluruh butir telah disetujui oleh ahli dan
catatan dari ahli 1 dan 2, yang menyebutkan
instrumen dinyatakan valid. Uji reliabilitas
bahwa penggunaan model skala Likert pada
instrumen penilaian diri kompetensi klinis bagi
instrumen penilaian diri akan lebih baik jika
mahasiswa kedokteran menunjukkan hasil
menghilangkan nilai tengah, sehingga hanya
instrumen reliabel.
menjadi 4 skala, yaitu sangat kurang, kurang,
baik, dan sangat baik. Hal ini untuk
DAFTAR PUSTAKA
menghindari kecenderungan untuk memilih
nilai tengah. Bias tendensi sentral sering terjadi Artino, AA. et al., 2014. Developing Questionnaires
karena responden cenderung menghindari for Educational Research: AMEE Guide No.
penilaian yang ekstrim. Responden lebih 87. Medical Teacher 36, pp. 463-474.
menyukai untuk memilih nilai tengahnya Boud, D. & Falchikov, N., 2006. Aligning assessment
(Schwartz 1999). with long‐term learning. Assessment &
Evaluation in Higher Education, 31(4), pp.399–
413.

88
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)

Creswell, J. W. 2014. Research Design: Pendekatan Musolino, G.M., 2006. Fostering reflective practice:
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Self-assessment abilities of physical therapy
Pustaka Pelajar. students and entry-level graduates. Journal of
Davis, D. et al., 2006. CLINICIAN ’ S CORNER Allied Health, 35(1), pp.30–42.
Accuracy of Physician Self-assessment Orsmond, P., 2004. Self- and Peer-Assessment
Compared A Systematic Review. JAMA : the Guidance on Practice in the Biosciences.
journal of the American Medical Association, Teaching Bioscience - Enhancing Learning Series,
296(9), pp.1094–1102. pp.12–26.
Deakin-Crick, R. et al., 2005. Systematic review of Pisklakov, S., Rimal, J. & McGuirt, S., 2014. Role of
research evidence of the impact on students of Self-Evaluation and Self-Assessment in
self- and peer-assessment. Protocol. Research Medical Student and Resident Education.
Evidence in Education Library, (October), pp.1– British Journal of Education, Society &
22. Behavioural Science, 4(1), pp.1–9.
Duffy, D.F. et al., 2006. Self-assessment in Lifelong Rusmana. 2009. Komunikasi Efektif Dokter Gigi vs
Learning and Improving Performance in Pasien.
Practice. Jama, 296(9), p.1137. Available at: Saud, S., Jufri, A., Rahman, M. A., & Salam. 2014.
http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?d Learning Devices Development on
oi=10.1001/jama.296.9.1137. Descriptive Writing for Foreign Language
Fourianalistyawati, E. 2012. Komunikasi yang Based on Berlo’s SMCR Communication
Relevan dan Efektif antara Dokter dan Pasien. Model of Secondary School Student. Journal of
Jurnal Psikogenesis. Vol 1, pp. 82-87. Language Teaching and Research, 5(5), pp.1035.
General Medical Council. 2013. Good Medical Practice : Schell, B. A. & Schell, J. W. (Eds). 2008. Clinical and
Working with doctors Working for Patients. Professional Reasoning in Occupational Therapy.
London: General Medical Council. Philadelphia, PA: Walters Kluwer/
www.gmc.uk.org/guidance. (diunduh 12 Juni Lippincott, Williams & Wilkins.
2017) Schwartz, N. 1999. Self Report : How the questions
Gillespie, B.M. et al., 2011. Education and shape the answers. Psychol 54, pp. 93-105.
Experience Make a Difference: Results of a Senger, J.-L., 2012. Student Evaluations:
Predictor Study. AORN Journal, 94(1), pp.78– Synchronous Tripod of Learning Portfolio
90. Available at: Assessment—Self-Assessment, Peer-
http://dx.doi.org/10.1016/j.aorn.2010.11.037 Assessment, Instructor-Assessment. Creative
Hardjodisastro, D. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedokteran: Education, 03(01), pp.155–163.
Bagaimana Dokter Berpikir, Bekerja dan Wear, D. & Aultman, J. M., (Eds). 2006.
Menampilkan Diri. Gramedia pustaka utama: Professionalism in Medicine Critical Perspectives.
Jakarta, pp. 60 – 118. USA: Springer.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Wimmers, P. F., 2006. Developing Clinical Competence.
Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Netherlands: Print partners Impskamp B. V.
Kedokteran Indonesia.

89

Anda mungkin juga menyukai