16212-Article Text-32139-1-10-20170808 PDF
16212-Article Text-32139-1-10-20170808 PDF
Prodi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Abstrac
Self-assessment is needed for self-reflection of clinical competence for students as a basis for self-development.
Unfortunately, self-assessment has not been able to accurately provide an overview of student clinical
competence. The aims of the study is to develop a valid, reliable, and effective self-assessment instrument of
clinical competence.The study used a mixed method. The study was conducted in 4 stages. The identification of
clinical competence’s dimensions in medical students was done through in-depth interview and literature study.
The instrument compilation was performed by defining conceptual definitions, dimensions, and indicators,
arranging the instrument blueprint, writing instrument items, and determining the measurement scale. The
validation was performed by expert in medical education, and analyzed using Content Validity Ratio (CVR).
Instrument implemented and tested quantitatively its reliability. Reliability was analyzed with Alpha
Cronbach's. The dimensions of clinical competence consisted of: physician-patient relationships, anamnesis,
physical examination, diagnostic ability, management, communication skills, and professionalism. CVR
obtained positive values on each item so the instrument is valid. Test reliability of the instrument shows Alpha
0.949 so the instrument is reliable. Self-Assessment Instrument of Clinical Competence for Medical The items
within the instrument have reflected the overall component of competence and have consistency in measuring
the same constructs, so that students can use it to measure their own clinical competence as a self-development
material.
Alamat korespondensi: P-ISSN 2252-6420
Kampus Pascasarjana Unnes, Jalan Kelud Utara III Semarang 50237
E-ISSN 2503-1732
E-mail: andrascorner@yahoo.com
81
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
82
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
83
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
kenyamanan pasien merupakan hal yang utama. Anamnesis atau wawancara merupakan
Inti dalam hubungan dokter dan pasien adalah langkah pertama dalam tata cara kerja yang
kehangatan, ketulusan, pemahaman yang harus ditempuh untuk membuat diagnosis.
empatik, serta perhatian positif. Seorang dokter akan dapat mengarahkan
Fourianalistyawati (2012) menjelaskan kemungkinan diagnostik pada seorang pasien
hubungan dokter dengan pasien dimulai saat melalui anamnesis yang baik. Anamnesis yang
pasien masuk ke ruang praktik dokter . Pada baik harus mengacu pada pertanyaan yang
saat pasien datang, dokter perlu memberikan sistematis, yaitu dengan berpedoman pada
kesan yang baik dengan menyapa pasien dan empat pokok pikiran (The Fundamental Four) dan
memperkenalkan diri kepada pasien, seperti tujuh butir mutiara anamnesis (The Sacred
yang disampaikan oleh salah satu responden: Seven). Mengumpulkan riwayat penyakit yang
“Jadi sebetulnya kita ilustrasikan pada lengkap merupakan langkah penting untuk
suatu kasus misalkan, jadi di sebuah ruang mengerti dan memahami pasien. Nilai kualitas
praktek itu, misalkan ada pasien yang masuk ke riwayat pasien tentunya akan bergantung pada
dalam ruang praktek kita, nah itu, kompetensi kemampuan dalam mengkaji informasi yang
kita bagaimana kita bisa menyapa pasien itu relevan. Alasan pasien datang kepada dokter
dengan baik, kita berikan salam pada pasien itu, adalah merupakan keluhan utama (chief
….” (R2. 9-15) complaint). Dokter harus mampu
Hal ini merupakan salah satu upaya yang mengidentifikasi keluhan utama yang membawa
dapat dilakukan untuk membuat pasien merasa pasien tersebut untuk datang ke dokter, karena
rileks dan bebas dari kekhawatiran pada suasana sering kali pasien mengeluhkan banyak hal.
ruang praktek. Rasa saling pengertian antara Seorang responden menyampaikan
dokter dan pasien dimulai dengan keduanya pendapatnya demikian:
saling memberi salam. Salam yang ramah dan “…. kita tanyakan kepada pasien bahwa
terbuka dari keduanya merupakan proses awal sebetulnya apa sih keluhan yang membuat
membangun saling pengertian dan keakraban pasien itu untuk datang ke dokter, itu karena
sehingga menimbulkan rasa nyaman. kadang memang ada beberapa pasien akan
Hubungan antara dokter pasien dijalin mengeluhkan kan banyak, mungkin karena saya
dengan suatu keterbukaan, sebab hal ini dapat di bidang mata ada yang keluhan mata kabur,
menumbuhkan rasa percaya dari pasien merah, nerocos, nah sebetulnya mana sih yang
(Fourianalistyawati, 2012). Keterbukaan yang paling dikeluhkan oleh pasien, itu harus kita
dilakukan oleh dokter berhubungan dengan kejar terus.” (R2. 82-89)
kepentingan dokter untuk memberikan Sebagai upaya penegakkan diagnosis,
informasi tentang segala hal yang berhubungan seorang klinisi harus menguasai bagaimana
dengan upaya penegakan diagnosis, diagnosis, melakukan anamnesis (wawancara) dan
dan upaya untuk perencanaan langkah-langkah pemeriksaan fisik yang sistematis dan benar.
penyembuhan pasien. Keterbukaan dapat Hal ini seperti yang disampaikan oleh
menghasilkan pemahaman pasien terhadap responden sebagai berikut.
keadaan kesehatannya, peluang dan “Tetapi kalau yang kita juga harus ngajari
kendalanya, sehingga dapat bersama-sama juga pemeriksaan yang taktis. Taktis itu sesuai
dokter mencari alternatif untuk mengatasi dengan keluhan, sesuai dengan tumbuh
permasalahannya. Jujur dan terbuka terhadap kembang anak. Katakanlah begini kadang, bayi
pasien merupakan salah satu bentuk rasa misalnya, anak besar, anak 5 tahun,
hormat dokter terhadap pasien (General Medical pemeriksaan umum kepala, dia melakukan
Council 2013). pemeriksaan ubun-ubun, ngapain ubun-ubun
dilaporkan? Gitu.. Rambut mudah dipilah,
84
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
keadaan umumnya tidak gizi buruk. Jadi harus tentang mekanisme patofisologi. Pola hipotetik
bisa memilih juga supaya namanya pemeriksaan deduktif memiliki ciri pada interpretasi data
fisik yang tidak cuma sistimatis, tetapi juga klinis, setiap data yang masuk dilakukan
taktis.” (R1. 103-113) persangkaan atau penarikan hipotesis. Hal ini
Banyak hal yang dapat digali pada dilakukan secara terus-menerus sampai hipotesis
anamnesis sehingga dengan anamnesis yang menjadi semakin sempit dan data klinis habis,
baik, seorang dokter dapat mengarahkan sehingga diperoleh suatu diagnosis kerja dan
kemungkinan diagnostik pada seorang diagnosis banding.
penderita, sehingga dalam melakukan Hardjodisastro (2006), menjelaskan
pemeriksaaan fisik dapat melakukannya secara bahwa setelah menegakkan diagnosis langkah
cermat dan sistematis. Saat melakukan berikutnya adalah menyusun rencana
pemeriksaan, penting bagi dokter untuk penatalaksanaan. Tata laksana penyakit dapat
memperhatikan respon pasien. Hal ini dibedakan menjadi dua, yaitu farmakologis dan
berhubungan dengan kenyamanan pasien selain non farmakologis, seperti yang disampaikan
bahwa, respon tersebut menunjukkan kelainan oleh responden:
yang dimiliki. Pada saat dokter melakukan “…. ya dari situ mengarah ke terapi,
pemeriksaan, dokter perlu melakukan tindakan terapinya apa? Menurut saya ada dua, yaitu
proteksi diri, baik bagi dokter maupun pasien. farmakologis dan non farmakologis. Mulai dari
Hal ini dilakukan untuk mencegah penularan upaya preventif, promotif, kuratif, kalau
penyakit antara dokter-pasien. memang nanti tahapannya nanti ke rehabilitatif
Kemampuan yang penting untuk dimiliki ....” (R1. 14-18)
oleh seorang dokter adalah kemampuan Penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan
diagnostik atau kemampuan untuk menegakkan kondisi pasien pasien dan dapat berupa
diagnosis. Selama melakukan anamnesis dan tatalaksana farmakologis atau non
pemeriksaan fisik, dokter harus cermat dalam farmakologis. Tatalaksana farmakologis adalah
menganalisis fakta-fakta yang ditemukan yang pemberian terapi dengan menggunakan obat-
dapat menggiring ke arah penegakkan diagnosis. obatan, sedang tatalaksana non farmakologi
“…. menyusun tadi runtutan diagnosis, merupakan upaya pelengkap untuk
diagnosis yang sudah diajari, dari anamnesis, mendapatkan efek pengobatan farmakologis
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, yang lebih baik.
kemudian diagnosis” (R1. 10-13) Komunikasi yang efektif antara dokter
“Cuma nanti kecurigaannya kita melihat dan pasien merupakan salah satu kompetensi
lagi ke anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dari yang harus dikuasai oleh dokter. Kompetensi
pemeriksaan penunjang, yang paling menunjang komunikasi menentukan keberhasilan dalam
itu ke arah mana itulah kita pastikan menjadi menyelesaikan masalah kesehatan pasien
diagnose pasti.” (R2. 270-275) (Rusmana 2009). Komunikasi dokter-pasien
Seorang dokter harus mampu membuat perlu dilakukan dengan bahasa yang lugas
keputusan berdasarkan apa yang menjadi sehingga mudah dipahami oleh pasien. Hal ini
masalah, apa diagnosisnya, apa yang akan seperti yang disampaikan oleh beberapa
dilakukan, dan apa yang harus dilakukan. responden, seperti:
Penalaran klinis merupakan suatu proses “Jadi menjelaskan temuan klinis, temuan
dimana seorang dokter memusatkan pikiran yang didapat dari pasien, yang kita temukan apa
mereka ke arah diagnosis yang memungkinkan, saja harus disampaikan dengan bahasa yang
berdasarkan campuran pola pengenalan dan lugas, diagnosanya apa juga harus kita jelaskan
penalaran deduktif hipotetik (Schell 2008). dengan bahasa yang praktis, yang mudah
Proses ini dipengaruhi pengetahuan medis dimengerti, ....” (R2. 314-319)
85
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
86
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
Hasil identifikasi dimensi kompetensi sejauh mana pencapaian kriteria atau standar,
klinis selanjutnya digunakan untuk menyusun mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang
instrumen penilaian diri kompetensi klinis bagi dimiliki untuk perbaikan di masa mendatang.
mahasiswa kedokteran. Penilaian diri adalah Instrumen penilaian diri kompetensi klinis
suatu proses penilaian yang bersifat formatif mahasiswa kedokteran adalah suatu alat yang
dimana mahasiswa merefleksi dan mengevaluasi dapat digunakan untuk mengumpulkan data
kualitas pekerjaan dan belajarnya, menilai hasil proses penilaian kompetensi klinis yang
87
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
dilakukan oleh mahasiswa kedokteran yang Tabel 2. Uji Reliabilitas Alpha Cronbach
bersangkutan setelah sebelumnya mahasiswa Alpha Cronbach N
tersebut memperoleh paparan klinis yang
0.949 25
sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan aspek
psikologi dan merupakan sesuatu yang tidak
Instrumen penilaian diri yang telah
dapat diamati secara langsung. Skala sikap
disusun dan diuji validitas internal, selanjutnya
merupakan pilihan yang tepat, sebab dianggap
diuji reliabilitasnya. Hasil uji reliabilitas
lebih lengkap, tepat, dan konsisten dalam
menggunakan Alpha Cronbach pada Tabel 2.
mengukur aspek psikologis. Model skala Likert
menunjukkan hasil nilai Alpha 0.949 > rtabel
merupakan skala sikap yang sering digunakan
0.361 (signifikansi 5%). Hal ini menunjukkan
untuk menggali aspek psikologis karena mudah
bahwa butir-butir pada instrumen penilaian diri
digunakan dan dapat disesuaikan dengan
kompetensi klinis bagi mahasiswa kedokteran
bermacam-macam konstruk. Skor dari semua
dapat dikatakan reliabel. Instrumen ini memiliki
butir selanjutnya dapat dihitung dan dianalisis
konsistensi dalam mengukur konstruk yang
(Artino et al. 2014).
sama.
Uji validitas terhadap instrumen penilaian
diri yang telah disusun, dilakukan dengan
SIMPULAN
meminta pertimbangan dari 3 orang ahli di
bidang pendidikan kedokteran. Hasil CVR pada
Analisis hasil wawancara mendalam
Tabel 1 menunjukkan bahwa keseluruhan aspek
terhadap dosen pembimbing klinis, diperoleh
penilaian memiliki CVR positif. Hal ini berarti
hasil bahwa kompetensi klinis terdiri atas
seluruh butir telah disetujui oleh sebagian besar
beberapa dimensi, yaitu: hubungan dokter-
ahli.
pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik,
Aspek penilaian tata bahasa instrumen
kemampuan diagnostik, tata laksana,
memiliki nilai CVR 1,00, hal ini berarti seluruh
ketrampilan komunikasi, dan profesionalitas.
ahli setuju bahwa instrumen penilaian diri yang
Uji validitas instrumen penilaian diri kompetensi
disusun sudah menggunakan tata bahasa yang
klinis bagi mahasiswa kedokteran yang
benar. Aspek penggunaan skala memiliki nilai
dilakukan dengan meminta pertimbangan para
CVR 0,33. Hal ini berarti 2 dari 3 ahli setuju
ahli pendidikan kedokteran dan dianalisis
penggunaan model skala Likert pada instrumen
menggunakan analisis CVR diperoleh hasil
penilaian diri. Meskipun demikian, terdapat
seluruh butir telah disetujui oleh ahli dan
catatan dari ahli 1 dan 2, yang menyebutkan
instrumen dinyatakan valid. Uji reliabilitas
bahwa penggunaan model skala Likert pada
instrumen penilaian diri kompetensi klinis bagi
instrumen penilaian diri akan lebih baik jika
mahasiswa kedokteran menunjukkan hasil
menghilangkan nilai tengah, sehingga hanya
instrumen reliabel.
menjadi 4 skala, yaitu sangat kurang, kurang,
baik, dan sangat baik. Hal ini untuk
DAFTAR PUSTAKA
menghindari kecenderungan untuk memilih
nilai tengah. Bias tendensi sentral sering terjadi Artino, AA. et al., 2014. Developing Questionnaires
karena responden cenderung menghindari for Educational Research: AMEE Guide No.
penilaian yang ekstrim. Responden lebih 87. Medical Teacher 36, pp. 463-474.
menyukai untuk memilih nilai tengahnya Boud, D. & Falchikov, N., 2006. Aligning assessment
(Schwartz 1999). with long‐term learning. Assessment &
Evaluation in Higher Education, 31(4), pp.399–
413.
88
Andra Novitasari, Saiful Ridlo & Tri Nur Kristina / Jere 6 (1) 81-89 (2017)
Creswell, J. W. 2014. Research Design: Pendekatan Musolino, G.M., 2006. Fostering reflective practice:
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Self-assessment abilities of physical therapy
Pustaka Pelajar. students and entry-level graduates. Journal of
Davis, D. et al., 2006. CLINICIAN ’ S CORNER Allied Health, 35(1), pp.30–42.
Accuracy of Physician Self-assessment Orsmond, P., 2004. Self- and Peer-Assessment
Compared A Systematic Review. JAMA : the Guidance on Practice in the Biosciences.
journal of the American Medical Association, Teaching Bioscience - Enhancing Learning Series,
296(9), pp.1094–1102. pp.12–26.
Deakin-Crick, R. et al., 2005. Systematic review of Pisklakov, S., Rimal, J. & McGuirt, S., 2014. Role of
research evidence of the impact on students of Self-Evaluation and Self-Assessment in
self- and peer-assessment. Protocol. Research Medical Student and Resident Education.
Evidence in Education Library, (October), pp.1– British Journal of Education, Society &
22. Behavioural Science, 4(1), pp.1–9.
Duffy, D.F. et al., 2006. Self-assessment in Lifelong Rusmana. 2009. Komunikasi Efektif Dokter Gigi vs
Learning and Improving Performance in Pasien.
Practice. Jama, 296(9), p.1137. Available at: Saud, S., Jufri, A., Rahman, M. A., & Salam. 2014.
http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?d Learning Devices Development on
oi=10.1001/jama.296.9.1137. Descriptive Writing for Foreign Language
Fourianalistyawati, E. 2012. Komunikasi yang Based on Berlo’s SMCR Communication
Relevan dan Efektif antara Dokter dan Pasien. Model of Secondary School Student. Journal of
Jurnal Psikogenesis. Vol 1, pp. 82-87. Language Teaching and Research, 5(5), pp.1035.
General Medical Council. 2013. Good Medical Practice : Schell, B. A. & Schell, J. W. (Eds). 2008. Clinical and
Working with doctors Working for Patients. Professional Reasoning in Occupational Therapy.
London: General Medical Council. Philadelphia, PA: Walters Kluwer/
www.gmc.uk.org/guidance. (diunduh 12 Juni Lippincott, Williams & Wilkins.
2017) Schwartz, N. 1999. Self Report : How the questions
Gillespie, B.M. et al., 2011. Education and shape the answers. Psychol 54, pp. 93-105.
Experience Make a Difference: Results of a Senger, J.-L., 2012. Student Evaluations:
Predictor Study. AORN Journal, 94(1), pp.78– Synchronous Tripod of Learning Portfolio
90. Available at: Assessment—Self-Assessment, Peer-
http://dx.doi.org/10.1016/j.aorn.2010.11.037 Assessment, Instructor-Assessment. Creative
Hardjodisastro, D. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedokteran: Education, 03(01), pp.155–163.
Bagaimana Dokter Berpikir, Bekerja dan Wear, D. & Aultman, J. M., (Eds). 2006.
Menampilkan Diri. Gramedia pustaka utama: Professionalism in Medicine Critical Perspectives.
Jakarta, pp. 60 – 118. USA: Springer.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Wimmers, P. F., 2006. Developing Clinical Competence.
Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Netherlands: Print partners Impskamp B. V.
Kedokteran Indonesia.
89