Anda di halaman 1dari 20

Pendekatan Klinis Pasien Dengan Grave’s Disease

Devi Meutia Laksani


102015193/E1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Jalan Arjuna Utara No.16,Jakarta Barat 11510
devi.2015fk193@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Kelenjar tiroid adalah salah satu dari kelenjar endokrin terbesar pada tubuh manusia. Kelenjar ini
berfungsi untuk mengatur kecepatan tubuh membakar energy, membuat protein dan mengatur
kesensitifan tubuh terhadap hormone lainnya. Struma adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Dampak struma terhadap tubuh
terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di
sekitarnya. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita
suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap
gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka
akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan
bernapas dan disfagia. Struma merupakan penyakit kelenjar tiorid yang dapat dijumpai dalam
praktek sehari-hari. Anamnesis yang tepat ,pemeriksaan fisik dan penilaian klinis memiliki peran
yang sangat penting dalam menentukan diagnosis penyakit tiroid baik yang disertai dengan
hipotiroid atau hipertiroid.
Kata kunci: Kelenjar tiroid, Struma, penatalaksanaan grave’s disease

Abstract
The thyroid gland is one of the largest endocrine glands in the human body. This gland serves to
regulate the body's speed of burning energy, making proteins and regulating the body's
sensitivity to other hormones. Struma is a swelling of the neck due to the enlargement of the
thyroid gland due to glandular abnormalities of the thyroid may be a malfunction or alteration
of the glandular structure and its morphology. The impact of struma on the body lies in the
enlargement of the thyroid gland that can affect the position of the surrounding organs. Struma
can lead inward to encourage the trachea, esophagus and vocal cords resulting in difficulty
breathing and dysphagia. This will have an impact on oxygen fulfillment, nutrition and fluid and
electrolyte. When enlarged out it will give a large neck shape can be asymmetrical or not, rarely
accompanied by difficulty breathing and dysphagia. Struma is a disease of the thoracic glands
that can be found in everyday practice. An appropriate history, physical examination and
clinical judgment have a very important role in determining the diagnosis of a good thyroid
disease that is accompanied by hypothyroidism or hyperthyroidism.
Keywords: Thyroid gland, Struma, management of grave's disease
Pendahuluan
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Dampak struma terhadap tubuh terletak pada
pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di
bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas
dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta
cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat
asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia.1

Anamnesis
Kompetisi dalam keterampilan klinik dasar, yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik, harus
dimiliki oleh seorang dokter yang baik. Kunci dalam menegakkan diagnosa seringkali ditemukan
dalam anamnesis. Pada akhir anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dudah jelas mengenai
masalah klinis yang dihadapi pasien, yaitu rangkuman terstruktur dari semua gejala dan tanda
yang ditemukan pada pasien. Diagnosis banding dari masalah tersebut dan dampak masalah ini
terhadap pasien serta rencana tindakan termasuk pemeriksaan penunjang, terapi dan apa yang
akan anda katakan pada pasien mengeni diagnosis dan prognosis. Membuka wawancara dengan
beberapa patah kata perkenalan yang ramah membuat hubungan dengan pasien adalah penting.
Ada dua jenis anamnesis, yaitu autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis adalah
anamnesis yang dilakukan langsung terhadap pasiennya sedangkan alloanamnesis adalah
anamnesis yang tidak dilakukan langsung terhadapa pasiennya melainkan melalui
kerabat/saudara/orang terdekat pasien. Pada anak-anak dilakukan anamnesis secara
alloanamnesis.3
Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting, yaitu:
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama
3. Riwayat penyakit sekarang
Onset (mendadak atau bertahap), perjalanan penyakit (terus menerus atau intermiten:
membaik, memburuk atau tetap)
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga bias berhubungan dengan diagnosis
6. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya.
Riwayat pekerjaan dan gaya hidup pasien

Pemeriksaan Fisik
Tiroid melekat erat pada trakea anterior, dipertengahan antara cekungan sternum dan
kartilago tiroid, biasanya mudah dilihat dan diraba. Pada pemeriksaan fisik, bagian bulbus
masing-masing lobus yang teraba dari kelenjar tiroid normal berukuran kira-kira 2 cm pada
dimensi vertikal. dan kira-kira 1 cm pada dimensi horizontal di atas istmus. Pembesaran
kelenjar tiroid disebut goiter. Pembesaran yang menyeluruh disebut goiter difus; pembesaran
yang tidak beraturan atau bertonjol-tonjol disebut goiter nodular.
Ada tiga langkah pemeriksaan:
1. Dengan penerangan baik yang datang dari belakang pemeriksa, pasien disuruh menelan
seteguk air. Perhatikan kelenjar saat naik atau -turun. Pembesaran dan penonjolan (nodul)
biasanya dapat dilihat.
2. Raba kelenjar dari anterior. Secara lembut tekan dengan jempol satu sisi kelenjar untuk
memutar lobus lain ke depan dan raba saat pasien menelan.
3. Raba kelenjar dari belakang pasien dengan tiga jari tengah masing-masing lobus
sementara pasien menelan. Suatu gambaran kelenjar dapat diketahui pada kulit leher dan
diukur. Nodul-nodul dapat diukur dengan cara yang sama. Jadi perubahan-perubahan
ukuran pada kelenjar atau pada nodul nodul dapat diikuti.
Pemeriksaan Oftalmopati

1. Jofroy sign
2. Von Stelwag sign
3. Von Grave sign
4. Rosenbach sign
5. Moebius sign
6. Exophtalmus
Pemeriksaan khusus
1.Pamberton sign
2.Tremor sign

Pemeriksaan Penunjang
1. Thyroid stimulating hormone (TSH)
TSH merupakan hormon yang diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan
dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative
feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid axis.
Apabila kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi normal, maka hipofisis akan
mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid
kembali normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan
mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid. Pemeriksaan serum TSH sebagai
pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon
tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga
pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan darah
lainnya untuk menegakkan diagnosis gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroidisme
(kecuali hipertiroidisme sekunder atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum
TSH akan sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi
b. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) direkomendasikan sebagai
pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada
bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh
adalah bentuk tak terikatnya. Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif
dan tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi
sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap free T4, total
T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan
setiap satu bulan hingga pasien euthyroid. Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat
digunakan untuk mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien
hipertiroidisme akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20
karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4
sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-partum
thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20. monitoring pada pasien hipertiroidisme yang
menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan pemeriksaan kadar TSH.
Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme terutama Graves’ disease kadar TSH
ditemukan tetap rendah pada awal 15 pemakaian obat anti tiroid sehingga untuk melihat
efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 bebas.
c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau Graves’ disease perlu
dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang biasanya diukur dalam penegakan
diagnosis Graves’ disease adalah antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid
stimulating antibody (TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya
TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’
disease. TPOAb ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb pada
70–95% pasien (Joshi, 2011). Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi
hipertiroidisme pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan
tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan TPOAb dan TgAb
pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 – 50% menderita tiroiditis post partum.
d. Radioactive Iodine
Uptake Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui berapa banyak
iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+ /Idi kelenjar tiroid. Pada metode ini
pasien diminta menelan 16 kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur
setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer
seperti Graves’ disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan
uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil atau
menyusui.
e. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan menggunakan unsur
radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid scintiscanning adalah radioiodine
(I131) dan technetium (99mTcO4-). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada
iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat.
Namun kekurangannya risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang
baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine. Karena pemeriksaan dengan
ultrasonography dan FNAC lebih efektif dan akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi
pemeriksaan utama dalam hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya
dilakukan scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan kadar
TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan scintiscanning dapat
diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi) atau cold
(fungsinya rendah).
Working Diagnosis
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusamtoksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi
dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan
medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma multinoduler toksik). Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Penyakit
Graves (goiter difusa toksika) dipercaya disebabkan oleh suatu antibody yang merangsang tiroid
untuk menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan.5,6

Differents Diagnosis
Toxic Multinodular Goiter
Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter merupakan salah
satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia. Secara patologis toxic multinodular
goiter mirip dengan toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon
tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang
dapat dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini
adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic
multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan
kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan pada
pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6 bulan.
Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai
fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan hipertiroid. Struma nodular toksik
merupakan penyebab hipertiroid terbanyak kedua setelah Graves disease. Kelainan ini terjadi
pada pasien-pasien tua dengan goiter multinodular yang lama. Oftalmopati sangatlah jarang.
Klinis pasien menunjukkan takikardi, kegagalan jantung atau aritmiadan kadang-kadang
penurunan berat badan, nervous, tremor dan berkeringat. Pemeriksaan fisik memperlihatkan
goiter multinodular yang dapat kecil atau cukup besar dan bahkan membesar sampai substernal.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan TSH tersupresi dan kadar T3 serum yang sangat
meningkat, dengan peningkatan kadar T4 serum yang tidak terlalu menyolok. Scan radioiodin
menunjukkan nodul fungsional multipel pada kelenjar atau kadang-kadang penyebaran iodin
radioaktif yang tidak teratur dan bercak-bercak.
Hipertiroidisme pada pasien-pasien dengan goiter multinodular sering dapat ditimbulkan
dengan pemberian iodin (efek "jodbasedow" atau hipertiroidisme yang diinduksi oleh iodida).
Beberapa adenoma tiroid tidak mengalami efek efek ini didorong oleh kelebihan produksi
hormon karena kadar iodida sirkulasi yang tinggi. Ini adalah mekanisme untuk berkembangnya
hipertiroidisme setelah pemberian obat antiaritmia amiodaron . Penanganan goiter nodular
toksika cukup sukar. Penanganan keadaan hipertiroid dengan hipertiroid dengan obat-obat
antitiroid diikuti dengan tiroidektomi subtotal tampaknya akan menjadi terapi pilihan, namun
sering pasien-pasien ini sudah tua dan memiliki penyakit lain sehingga pasien-pasien ini
seringkali merupakan pasien dengan risiko operasi yang buruk. Nodul toksik dapat dihancurkan
dengan 131-I, tapi goiter multinodular akan tetap ada, dan nodul-nodul lain dapat menjadi toksik,
sehingga dibutuhkan dosis ulangan 131-I. Amiodaron adalah obat antiaritmia yang mengandung
37,3% iodin. Dalam tubuh, obat ini disimpan dalam lemak, miokardium, hepar dan paru-paru
dan memiliki waktu paruh kira-kira 50 hari. Kira-kira 2% pasien diobati dengan amiodaron
mengalami tirotoksis. Hal ini menimbulkan masalah yang paling sukar. Pasien yang mendapat
amiodaron mempunyai penyakif jantung serius yang mendasari, dan pada banyak kasus obat ini
tidak dapat dihentikan. Jika tirotoksikosis ringan, dapat dikendalikan dengan metimazol 40-60
mg sehari, sementara terapi amiodaron diteruskan. Jika penyakit berat, KClO dengan dosis 250
mg tiap 6 jam dapat ditambahkan untuk menjenuhkan iodida trap dan mencegah ambilan iodida
lebih lanjut. KClO jangka panjang telah dihubungkan dengan anemia aplastik dan butuh
pemamtauan. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan cadangan hormon tiroid yang besar
adalah pembedahan untuk mengangkat goiter.
Tiroiditis subakut
Tiroiditis subakut adalah kondisi ‘self limiting’ tiroid yang terkait dengan perjalanan klinis
triphasic hipertiroidisme, hipotiroidisme, dan kembali ke fungsi tiroid normal. Tiroiditis subakut
mungkin bertanggung jawab untuk 15-20% dari pasien dengan tirotoksikosis dan 10% dari
pasien dengan hypothyroidism. Dikarenakan penyakit ini adalah self limiting disease jadi tidak
ada pengobatan khusus, seperti terapi pengganti antitiroid atau hormon tiroid, diperlukan pada
sebagian besar pasien. Penyakit ini mengalami remisi dalam 2-4 bulan. Pada saat ini, tiroid
kehabisan koloid dan sekarang tidak mampu memproduksi hormon tiroid, sehingga
hipotiroidisme. Fase hipotiroid dapat bertahan hingga 2 bulan. Seringkali, hipotiroidisme ringan,
dan tidak ada terapi hormon tiroid diperlukan kecuali pasien memiliki tanda-tanda atau gejala
hipotiroidisme. Setelah folikel tiroidnya mengalami regenerasi, keadaan eutiroid dapat
dipulihkan. Sembilan puluh sampai 95% dari pasien kembali ke fungsi normal tiroid.6

Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan organ yang bentuknya seperti kupu-kupu dan terletak pada
leher bagian bawah di sebelah anterior trakea. Kelenjar ini merupakan kelenjar endokrin yang
paling banyak vaskularisasinya, dibungkus oleh kapsula yang berasal dari lamina pretracheal
fascia profunda. Kapsula ini melekatkan tiroid ke laring dan trakea. Kelenjar ini terdiri atas dua
buah lobus lateral yang dihubungkan oleh suatu jembatan jaringan isthmus tiroid yang tipis
dibawah kartilago krikoidea di leher, dan kadangkadang terdapat lobus piramidalis yang muncul
dari isthmus di depan laring.6-9 Kelenjar tiroid terletak di leher depan setentang vertebra
cervicalis 5 sampai thoracalis 1, terdiri dari lobus kiri dan kanan yang dihubungkan oleh isthmus.
Setiap lobus berbentuk seperti buah pear, dengan apeks di atas sejauh linea oblique lamina
cartilage thyroidea, dengan basis di bawah cincin trakea 5 atau 6. 9 Kelenjar tiroid mempunyai
panjang ± 5 cm, lebar 3 cm, dan dalam keadaan normal kelenjar tiroid pada orang dewasa
beratnya antara 10 sampai 20 gram. Aliran darah kedalam tiroid per gram jaringan kelenjar
sangat tinggi (± 5 ml/menit/gram tiroid).
Tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan
satu dengan lainnya oleh suatu jaringan ikat. Setiap folikel dibatasi oleh epitel kubus dan diisi
oleh bahan proteinaseosa berwarna merah muda yang disebut koloid.
Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan pelepasannya
dalam sirkulasi. Zat koloid, triglobulin, merupakan tempat hormon tiroid disintesis dan pada
akhirnya disimpan. Dua hormon tiroid utama yang dihasilkan oleh folikel-folikel adalah tiroksin
(T4) dan triiodotironin (T3). Sel pensekresi hormon lain dalam kelenjar tiroid yaitu sel
parafolikular yang terdapat pada dasar folikel dan berhubungan dengan membran folikel, sel ini
mensekresi hormon kalsitonin, suatu hormon yang dapat merendahkan kadar kalsium serum dan
dengan demikian ikut berperan dalam pengaturan homeostasis kalsium.2

Gambar 1. Kelenjar Tiroid

Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme
energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan
energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam
ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang
pertumbuhan somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak
adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik timbul pada
saat lahir dan bayi.
Klasifikasi
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi
kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH
dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan
kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis dari
hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma
yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami
atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat
destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan
lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a.Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma nodusa toksik.
Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma
diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis
sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma multinoduler toksik). Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam
darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Perjalanan
penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi
yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif. Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung
menyebabkan peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon
tersebut sebagai hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi
bukan mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa
khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan
dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma diffusa
non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan
yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter
koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium
dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia. Apabila dalam pemeriksaan
kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa
tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular
pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri
kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya endemisitas
dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang
masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis
gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %,
endemik sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.7

Etiologi
Adanya struma atau pembesaran kelenjar tiroid dapat terjadi oleh karena ukuran sel-
selnya bertambah besar atau oleh karena volume jaringan kelenjar dan sekitarnya yang
bertambah dengan pembentukan struktur morfologi baru. Yang mendasari proses itu ada 4 hal
utama, yaitu:
1.Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum untuk terkena
Graves. Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 ekspresinya mempengaruhi
perkembangan penyakit autoimun ini.
2. Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh estrogen.
3. Status gizi dan berat badan lahir rendah dikaitkan dengan prevalensi timbulnya penyakit
autoantibody tiroid.
4. Stress juga dapat sebagai factor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
5. Merokok dan defisiensi iodium
Epidemiologi
Data rekam medis Divisi Ilmu Bedah RSU Dr. Soetomo tahun 2001-2005 struma nodusa
toksik terjadi pada 495 orang diantaranya 60 orang laki-laki (12,12 %) dan 435 orang perempuan
(87,8 %) dengan usia terbanyak yaitu 31-40 tahun 259 orang (52,32%), struma multinodusa
toksik yang terjadi pada 1.912 orang diantaranya17 orang laki-laki (8,9%) dan 174 perempuan
(91,1%) dengan usia yang terbanyak pada usia 31-40 tahun berjumlah 65 orang (34,03%).7

Faktor Risiko
a.Terjadinya hipertiroidisme
faktor-faktor risiko seseorang untuk terkena hipertiroidisme sebagai berikut:
1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau pernah menjalani operasi
kelenjar tiroid.
2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan gangguan hormonal.
3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.
4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.
5) Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti amiodarone
6) Berusia lebih dari 60 tahun
b. Kambuh (relapse)
Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme terutama dengan obat antitiroid
cukup tinggi dengan persentase 30-70%. Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi
satu tahun setelah pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun 6 setelahnya. Secara umum
faktor-faktor risiko terjadi kekambuhan hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
1) Berusia kurang dari 40 tahun.
2) Ukuran goiter tergolong besar
3) Merokok
4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir pengobatan dengan obat anti
tiroid
5) Faktor psikologis seperti depresi.
Patofisiologi
Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh
hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang
berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar.
Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran
folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram.
Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa
hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh
suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma
non toksik (struma endemik).
Gambar 2. Patofisiologi Grave’s Disease

Manifestasi Klinis
Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme tubuh.
Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan kecepatan metabolisme di
seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi
panas dan berkeringat berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal
metabolic rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori
menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien
hipertiroidisme. Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejalagejala
psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia. Peningkatan
kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat merasa lapar dan nafsu
makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan berat badan secara signifikan dan
peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa
oligomenorrhea, amenorrhea bahkan penurunan libido.
Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan edema di otot
mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal (myxedema). Mekanisme terjadinya
Graves’ ophtalmopathy dan myxedema belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada
keduanya terjadi akumulasi limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast.
Komplikasi
Komplikasi dari penyakit Graves dapat berupa:
• Komplikasi Kehamilan
Kemungkinan komplikasi dari penyakit Graves selama kehamilan di antaranya kelahiran
prematur, disfungsi tiroid janin, pertumbuhan janin yang lemah dan preeklamsia. Preeklamsia
adalah suatu kondisi ibu yang mengakibatkan tekanan darah tinggi dan kenaikan jumlah protein
dalam urin.
• Gangguan jantung
Jika tidak diobati, penyakit Graves dapat menyebabkan gangguan detak jantung, perubahan
struktur serta fungsi otot-otot jantung, dan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang
mencukupi bagi tubuh (gagal jantung kongestif).
• Badai Thyroid. Sebuah komplikasi yang jarang terjadi, tetapi mengancam jiwa adalah penyakit
Graves badai tiroid, juga dikenal sebagai hipertiroidisme akselerasi atau krisis tirotoksik.
Penyakit ini lebih mungkin terjadi ketika hipertiroidisme yang parah tidak diobati atau tidak
mendapatkan pengobatan yang memadai. Kenaikan hormone tiroid secara tiba-tiba dan drastis
dapat menghasilkan sejumlah efek, termasuk demam,banyak berkeringat, kebingungan, delirium,
kelemahan yang parah, tremor, detak jantung tidak teratur, tekanan darah rendah yang parah,
hingga koma. Penyakit badai tiroid memerlukan perawatan darurat.
• Tulang rapuh
Hipertiroidisme yang tidak diobati dapat menyebabkan tulang yang lemah dan rapuh
(osteoporosis). Kekuatan tulang anda (sebagiannya) tergantung pada jumlah kalsium dan mineral
lain yang dikandungnya. Terlalu banyak hormon tiroid dapat mengganggu kemampuan tubuh
untuk memasukkan kalsium ke dalam tulang anda.
Prognosis
Jika tidak diobati , komplikasi yang lebih berat dapat terjadi , termasuk cacat lahir pada
kehamilan , peningkatan risiko keguguran , dan dalam kasus yang ekstrim , kematian . Penyakit
Graves sering disertai dengan peningkatan denyut jantung , yang dapat menyebabkan komplikasi
jantung lebih lanjut termasuk kehilangan irama normal jantung ( fibrilasi atrium ) sehingga dapat
menyebabkan stroke. Jika mata proptotic ( bodong ) yang cukup bahwa tutup tidak menutup
sepenuhnya pada malam hari , kekeringan akan terjadi dengan risiko infeksi kornea sekunder
yang dapat menyebabkan kebutaan . Tekanan pada saraf optik di bagian belakang bebola mata
dapat menyebabkan defek lapang pandang dan kehilangan penglihatan juga. Hampir 50%
penderita penyakit Graves sembuh selepas dilakukan terapi jangka panjang antitiroid.
Penatalaksanaan
Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif maupun
tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level normal serta mencapai
kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid
pasien dapat dijaga pada rentang euthyroid. Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk
mengobati pasien hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
a. Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk menekan kelebihan
hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level normal (euthyroid). Tujuan utama
penggunaan obat anti tiroid adalah untuk mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin
dengan aman dan untuk mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga
mencapai remisi bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. Pada pasien hipertiroidisme dengan toksik
nodul atau toxic multinodular goiter obat anti tiroid tidak direkomendasikan untuk
digunakan karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien ini. Sedangkan pada
pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan remisi karena efek
antitiroid dan imunosupresan.
1) Jenis Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan methimazole, termasuk
dalam golongan yang sama yaitu thionamide. Keduanya memiliki mekanisme aksi yang
sama namun memiliki profil farmakokinetika yang berbeda dalam hal durasi, ikatan
dengan albumin dan lipofilisitas. Propylthiouracil dan methimazole dapat digunakan
sebagai terapi tunggal pada hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’ Disease
maupun pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan tiroidektomi. Dalam
mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’ Disease, obat anti tiroid dapat
mengembalikan fungsi tiroid karena adanya sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat
memacu apoptosis limfosit intratiroid, menekan ekspresi HLA kelas 2, sel T dan natural
killer cells.
2) Metode Terapi Obat Anti Tiroid
a. Block and Replacement
Pada metode block and replacement pasien diberikan obat anti tiroid golongan
thionamide (propylthiouracil atau methimazole) dosis tinggi tanpa adanya penyesuaian
dosis bersamaan dengan levothyroxine. Pada penderita Graves’ Disease anti tiroid dosis
tinggi diharapkan dapat memberikan efek imunosupresan yang maksimal. Sedangkan
pemberian levothyroxine ditujukan untuk mengganti kebutuhan hormon tiroid yang
dihambat oleh obat anti tiroid dosis tinggi dan mencegah hipotiroidisme pemberian obat
anti tiroid dengan regimen dosis block and replacement lebih banyak menghasilkan efek
samping dibandingkan dengan metode titrasi karena penggunaan obat anti tiroid dosis
tinggi. Namun metode ini ini memiliki keuntungan berupa fluktuasi fungsi tiroid yang
lebih terjaga dan durasi pengobatan yang lebih pendek (6 bulan).
b) Titrasi
Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan kondisi hipertiroidisme masing-
masing pasien. Dosis awal untuk methimazole 15-40 mg/hari diberikan single dose dan
dosis awal untuk propylthiouracil 300-400 mg/hari diberikan multiple dose. Prinsip dari
regimen dosis dengan metode titrasi adalah mencapai kondisi euthyroid secepatnya dan
menghindari kondisi hipotiroidisme. Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4
telah mencapai kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga mencapai
dosis efektif minimal yang menghasilkan efek. pemberian obat anti tiroid dengan metode
titrasi memberikan efikasi yang setara dengan metode block and replacement.
Keunggulannya efek samping berupa rash dan agranulositosis lebih jarang terjadi pada
metode titrasi. Namun pada metode ini durasi pengobatan yang dibutuhkan lebih lama
dibandingkan dengan metode block and replacement, rata-rata selama 12-24 bulan, dan
perlu dilakukan kontrol rutin untuk mengetahui profil TSH dan hormon tiroid darah
untuk penyesuaian dosis.
b. Iodine Radioaktif
Pengobatan hipertiroidisme dengan iodine radioaktif atau RAI menjadi pilihan utama
dokter di Amerika Serikat. Pada metode ini digunakan isotop iodine, yang paling umum
digunakan adalah131I. Di dalam tubuh RAI akan di-uptake oleh kelenjar tiroid seperti
iodine biasa, kemudian di dalam kelenjar tiroid RAI beraksi dengan cara mencegah
sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar hormon tiroid yang berlebihan.
RAI dikontraindikasikan bagi pasien yang hamil, menyusui, kanker tiroid dan
merencanakan kehamilan 4-6 bulan setelah terapi. Efek samping pada pengobatan
hipertiroidisme dengan RAI diantaranya adalah memburuknya gejala Graves’
ophtalmopathy dan peningkatan kadar hormon tiroid akut. Sehingga pada pasien dengan
hipertiroidisme dengan kadar T4 bebas yang tinggi, pasien berusia lanjut, atau pada
pasien dengan risiko komplikasi hipertiroidisme perlu diberikan obat anti tiroid hingga
mencapai kondisi euthyroid. pasien yang menggunakan obat anti tiroid seminggu
sebelum maupun setelah pengobatan dengan iodine radioaktif memiliki tingkat kegagalan
yang lebih tinggi. Sehingga obat anti tiroid harus dihentikan 2 minggu sebelum
pemberian RAI. Kondisi euthyroid umumnya dapat tercapai tiga hingga enam bulan
pasca penggunaan RAI.
c. Tiroidektomi
Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar tiroid.Metode terapi ini
merupakan pilihan bagi pasien yang kontraindikasi atau menolak pengobatan dengan obat
anti tiroid dan iodine radioaktif. Pembedahan direkomendasikan bagi pasien dengan
multinodular goiter atau goiter yang sangat besar Secara umum prosedur tiroidektomi
dapat dibedakan menjadi dua metode berikut.
1) Tiroidektomi total
Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan seluruh bagian kelenjar tiroid. Dengan
tidak adanya kelenjar tiroid yang memproduksi hormon tiroid, pasien perlu
mengonsumsi pengganti hormon tiroid oral seumur hidup.
2) Tiroidektomi sub-total
Pada prosedur ini hanya dilakukan pengangkatan sebagian kelenjar tiroid sehingga
pasien tidak perlu mengonsumsi hormon tiroid karena kelenjar tiroid yang tersisa
masih dapat memproduksi hormon tiroid. Salah satu efek samping yang dapat muncul
akibat pembedahan ini adalah hipoparatioroidisme. Hipoparatiroidisme merupakan
kondisi dimana hormon paratiroid tubuh kurang dari normal, manifestasi klinik yang
muncul berupa hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Secara anatomis kelenjar tiroid dan
paratiroid terletak berdekatan, sehingga pada prosedur tiroidektomi kelenjar
paratiroid dapat ikut terganggu dan menyebabkan hipoparatiroidisme setelah
tiroidektomi. Hipoparatiroidisme pada pasien tiroidektomi dapat bersifat sementara
maupun permanen. Selain hipoparatiroidisme, efek samping lainnya yang dapat
muncul adalah gangguan pada produksi suara beberapa hari hingga beberapa minggu
setelah operasi7

Pencegahan
Langkah yang harus dilakukan untuk menghindari diri dari berbagai faktor resiko.
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku makan dan
memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah dimasak,
tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk menghindari hilangnya
yodium dari makanan.8

Kesimpulan
Peyakit graves merupakan penyakit autoimun dan kasus hipertiroidisme yang sering
terjadi. Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal, dan keduanya mungkin tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit
lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan yang meningkat, palpitasi dan
takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot. Manifestasi ekstratiroidal oftalmopati ditandai
dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag, dan kegagalan
konvergensi. Penyakit ini harus diobati dengan segera bagi mengelakkan komplikasi yang bisa
berakibat fatal seperti badai tiroid.
Daftar Pustaka
1. Kelenjar Tiroid. Diunduh pada 27 November 2017. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/23151/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
2. Davey, Patrick. At a glace medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2004.h.5
3. Gleadle J. At a glance : anamnesis dan pemeriksaan fisik. Erlangga pub; 2007 : 99
4. Elaine M. advances in graves disease and other hyperthyroid disorders. McFarland
Health pub; 2008: hal 48-52
5. M. James. A complete look at hyperthyroidism. New York; 2012: hal 143-6
6. Diunduh pada 27 November 2017. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20013/Chapter%20II.pdf?
sequence=4
7. Hipertiroidisme. Diunduh pada 27 November 2017. Available at
file:///C:/Users/USER/Downloads/S1-2013-280476-chapter1%20(2).pdf
8. J. Elizabeth. Buku saku patofisiologi. EGC;2007: hal 248-252

Anda mungkin juga menyukai