Uts Bindo 11 April 2020
Uts Bindo 11 April 2020
NIM : 0711519131
KELAS : HE19Y
Pendahuluan
Kebebasan berpendapat menjadi landasan utama demokrasi modern. Namun, kali untuk
kebebasan berpendapat itu membentur peraturan atau norma yang ada.Atau ada kalanya
pendapat itu tidak sesuai dengan keinginan kita. Hanya segelintir orang mampu menerima
perbedaan pendapat.praktiknya, banyak sebagian orang, kebebasan berpendapat hanya
akan diterima kalau sejalan dengan nilai-nilainya sendiri. Ancaman nyata pada kebebasan
berpendapat bukan berasal dari segelintir kelompok kecil yang mencoba memaksakan
pembatasan pada diri kita. Tapi, ancaman sesungguhnya berasal dari politik buta yang
mengijinkan kita bicara apapun yang kita ingin katakan sambil mencoba membungkam pihak
lain.Contoh yang paling santer adalah di Amerika Serikat di mana kebebasan berpendapat
dijamin dalam Konstitusi AS. Selain individu, media di sana berhak merilis berita tanpa
tekanan penguasa.Namun, setelah Donald Trump naik jadi presiden, Orang Nomor Satu di
Negeri Paman Sam itu kerap kali melabeli media mainstream yang mengkritik kebijakannya
disebut 'media atau berita palsu.Selain itu, adanya teknologi internet yang kemudian
menciptakan media sosial, aturan berdunia maya pun mulai diterapkan. Di beberapa negara,
berkomentar buruk terhadap rezim atau siapapun dapat dikenakan undang-undang. Bahkan
di beberapa negara yang pemerintahnya otoriter, media.
Kebebasan berpendapat didepan umum ditinjau dari Hak Asasi Manusia
3. Penistaan agama
Kasus dugaan penistaan agama yang paling hangat adalah yang dialami mantan
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Hakim memvonis Ahok dua
tahun penjara dalam kasus itu.
Rupanya, kasus penistaan agama tak hanya terjadi di Indonesia. Sekitar seminggu
lalu, Irlandia membatalkan kasus penistaan yang menyeret aktor dan komedian
Stephen Fry dari Inggris. Irlandia memutuskan untuk tidak melanjutkan dakwaan
terhadap Fry yang menyebut Tuhan itu "goblok."
Yang mencengangkan adalah adanya hukum tersebut. Tapi, contoh dari Irlandia
itu hanyalah satu dari semakin banyaknya kasus penistaan yang mengancam
kebebasan berpendapat di seluruh dunia. Di negara-negara berpenduduk Muslim,
seseorang bisa dipenjara atau bahkan dihukum mati jika mencela Nabi.Tapi bukan
hanya di sana, karena, pada 2014 di Polandia, seorang penyanyi didakwa karena
merobek Alkitab di atas panggung. Pihak berwenang Yunani pernah mendakwa
seseorang yang mengunggah gambar biarawan Ortodoks dengan spageti yang
direkayasa menempel di mukanya. Dua kasus itu rontok pada tahap banding.
Tapi, yang mencengangkan adalah kenyataan adanya proses pengadilan terhadap
dua kasus itu. Hukum tentang penistaan itu sendiri tidak masuk akal, seakan
Tuhan tidak cukup kuat berhadapan dengan foto spageti menempel di muka
seorang biarawan.Sementara itu, harian Independent di Inggris mengamati bahwa
cukup banyak orang yang menanggapi pembantaian Charlie Hebdo pada 2015
dengan mempersalahkan para kartunisnya. Temuan itu dianggap menjadi
dukungan diam-diam terhadap hukum penistaan.
Pada 2008, UU ITE telah digunakan secara jamak oleh penegak hukum untuk menindak
penyalahgunaan teknologi informasi utamanya melalui media internet. Di antara beberapa
pasal yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik, UU ITE mengatur mengenai pemidanaan terhadap aktivitas berpendapat di
internet. Pembatasan tersebut berulang kali mengundang perhatian publik, selain karena
sering kali melibatkan figur publik, juga karena dianggap secara berlebihan mengekang
publik dalam berpendapat.Belakangan polemik ini muncul kembali dalam kasus penyebaran
konten pencemaran nama baik maskapai Garuda Indonesia di Youtube dan Instagram (kasus
vlogger Rius Vernandes). Terlepas dari maraknya perdebatan hukum mengenai pembuktian
kasus tersebut, publik tentunya perlu bertanya, sejauh mana negara dapat secara
proporsional membatasi hak/kebebasan warga negara dalam berpendapat.Pada kasus Rius,
video dan pernyataan yang dibuat merupakan suatu hal yang jamak dilakukan oleh para
pembuat konten di sosial media di mana Rius mengkritik pelayanan yang diterimanya
sebagai konsumen Garuda Indonesia. Namun, hal itu justru membuatnya tersangkut kasus
pidana karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Bagi publik yang awam
dengan UU ITE tentunya wajar apabila merasa hal ini dinilai berlebihan dan mengekang
kebebasan berpendapat. Pasalnya, konten yang disebarluaskan di media sosial tidak lain
adalah kritik dan berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri. di sisi lain, hakim dan
aparat penegak hukum terikat dengan ketentuan pidana yang tidak memungkinkan untuk
mempertimbangkan konten pernyataan seseorang secara objektif. Pengaturan mengenai
pencemaran nama baik dalam UU ITE memungkinkan pemidanaan seseorang karena
perkataannya secara subjektif dinilai menjatuhkan harga diri orang/pihak lain. Dalam hal ini,
perbuatan mencemarkan nama baik berbeda dengan perbuatan fitnah atau menyebarkan
berita bohong yang penilaian kontennya tidak bergantung pada salah satu pihak saja
melainkan pada benar/tidaknya isi pernyataan yang disampaikan.Padahal, kritik tidak
ubahnya pendapat seseorang berupa ketidaksetujuan yang disampaikan dalam konteks
menanggapi suatu hal/peristiwa. Secara konten, pendapat tidak dapat dinilai kebenarannya
karena berkaitan dengan apa yang diyakini oleh seseorang.Polemik mengenai pengusutan
kasus pencemaran nama baik secara pidana tidak perlu terjadi apabila pembuat undang-
undang dapat secara proporsional menyusun ketentuan pidana sehingga menutup
kemungkinan seseorang dipidana semata-mata karena menyampaikan pendapatnya. Lantas,
bagaimana sebaiknya negara mengatur mengenai aktivitas berpendapat warganya?Idealnya,
negara cukup mengatur mengenai bagaimana cara menyampaikan pendapat dan tidak
membatasi konten/isi pendapat. Yang dimaksud dengan cara adalah berkaitan dengan kapan,
di mana, dan bagaimana (time, place, manner) pendapat itu disampaikan. Dengan demikian,
negara dapat mencegah penggunaan hukum pidana untuk membungkam orang-orang yang
kritis dalam menyampaikan pendapat. Di sisi lain, meski tetap dibatasi cara
penyampaiannya, setiap orang tidak akan lagi dipenjara hanya karena pandangannya
terhadap suatu hal dinilai berseberangan dengan kelompok lain.
Garis Batas
Penyampaian pendapat tidak selalu dilakukan melalui pernyataan lisan maupun tulisan.
Dalam arti luas, pendapat juga dapat disampaikan dengan melakukan atau tidak melakukan
suatu perbuatan. Misalnya, aksi mogok kerja sebagai pernyataan sikap menolak kebijakan
pemerintah mengenai upah buruh. Dengan kata lain, elemen penting dari pendapat tidak
terletak pada apa bentuk aktivitas yang dilakukan tapi pada pesan apa yang
dikomunikasikan.Luasnya cakupan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan
"pendapat" memunculkan potensi adanya misinterpretasi. Misalnya, apakah suatu karya seni
dapat dianggap sebagai pendapat? Sederhananya, selama karya seni tersebut memiliki pesan
baik dari sudut pandang pembuat maupun siapapun yang menikmatinya, maka karya
tersebut dapat dianggap sebagai pendapat. Jika demikian, apakah seseorang dapat
melakukan tindakan tertentu untuk membungkam orang lain yang berseberangan pandangan
dengan dirinya atas nama kebebasan berpendapat? Tentu saja tidak. Hal ini dapat ditafsirkan
bahwa jaminan kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tidak berlaku
untuk semua jenis pendapat.Negara perlu secara tegas membuat garis pembatas untuk
membedakan mana saja pendapat yang secara konten dilindungi dan tidak dilindungi.
Terhadap kelompok yang pertama, berlaku pendekatan nondiskriminasi di mana negara
tidak ikut campur dan membatasi konten mana yang diperbolehkan atau tidak, baik melalui
peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.Sebaliknya,
negara wajib melarang pernyataan atau perbuatan yang masuk dalam kelompok tidak
dilindungi. Meski sulit, namun kita dapat mengambil kaidah normatif sebagai pegangan
dalam membuat pemisahan kedua jenis konten pendapat tersebut. Dalam hal ini, konten
yang dimaksud adalah konten yang secara intrinsik dianggap jahat atau tidak layak
disampaikan ke publik. Misalnya, dalam hal pornografi, meskipun hubungan seks adalah
suatu hal yang natural dan biologis, norma-norma sosial dan keagamaan menghendaki agar
hal tersebut dilarang untuk menjadi konsumsi publik.
Kesimpulan
Bebas berpendapat adalah kebebasan dalam berbicara dan berpendapat tanpat ada
batasannya. Dalam Indonesia, kebebasan berepedendapat di katakan dalam UUD 45
Pasal 28E ayat 3 yaitu "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat."Pendapat tidak hanya disampaikan secara lisan seperti
pidato namun juga dapat lewat tulisan dan lain-lain. Mengemukakan pendapat
sebenarnya adalah hak dari segala warga negara. Kenyataanya, beberapa kasus di
Indonesia terjadi karena pendapat-pendapat di masyarakat tidak di terima oleh
kelompok. apakah sebenarnya di Indonesia benar-benar bebas dalam berpendapat?
Dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 berbunyi
"Setiap orang berhak untuk mempuyai,mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalu media cetak
maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.