Anda di halaman 1dari 50

MODUL DAN PENUGASAN SELAMA MAGANG

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

KELAS XI

SMK TELKOM BANJARBARU

2019

1
BAB 6
Sistem Hukum dan Peradilan di indonesia

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi


1.15 Mensyukuri nilai-nilai 1.15.1 Menyakini nilai-nilai dalam sistem hukum dan
dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
peradilan di Indonesia sesuai Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
dengan Undang- Undang Dasar bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Negara Republik Indonesia 1.15.2 Mensyukuri nilai-nilai dalam sistem sistem
Tahun 1945 sebagai bentuk hukum dan peradilan di Indonesia sesuai dengan
pengabdian kepada Tuhan Yang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Maha Esa. Tahun 1945 sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
2.15 Menunjukkan sikap 2.15.1 Memiliki sikap disiplin terhadap aturan sebagai
disiplin terhadap aturan sebagai cerminan sistem hukum dan peradilan di Indonesia.
cerminan sistem hukum dan 2.15.2 Menunjukkan sikap disiplin terhadap aturan
peradilan di Indonesia. sebagai cerminan sistem hukum dan peradilan di
Indonesia.
3.15 Menganalisis sistem 3.15.1 Menjelaskan makna hukum.
hukum dan peradilan di 3.15.2 Menguraikan klasifikasi hukum.
Indonesia sesuai dengan 3.15.3 Menjelaskan tata hukum Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara 3.15.4 Menjelaskan makna Lembaga Peradilan.
Republik Indonesia Tahun 1945. 3.15.5 Mengidentifikasi dasar hukum Lembaga
Peradilan di Indonesia.
3.15.6 Mendiskripsikan klasifikasi Lembaga Peradilan
di Indonesia.
3.15.7 Mendiskripsikan perangkat Lembaga Peradilan
di Indonesia
3.15.8 Mendiskripsikan tingkatan Lembaga Peradilan
di Indonesia.
3.15.9 Mengidentifikasi peran Lembaga Peradilan di
Indonesia.
3.15.10 Mengategorikan perilaku yang sesuai dengan
hukum.
3.15.11 Mengategorikan perilaku yang bertentangan
dengan hukum beserta sanksinya.

4.15 Menyaji hasil penalaran 4.15.1 Menalar tentang sistem hukum dan peradilan di
tentang sistem hukum dan Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar
peradilan di Indonesia sesuai Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
dengan Undang- Undang Dasar 4.15.2 Menyaji hasil penalaran tentang sistem hukum
Negara Republik Indonesia dan peradilan di Indonesia sesuai dengan Undang-
Tahun 1945 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2
A. Sistem Hukum di Indonesia
1. Makna dan Karakteristik Hukum
Di dalam hukum terdapat beberapa unsur, di antaranya sebagai berikut.
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Adapun yang menjadi karakteristik dari hukum adalah adanya perintah dan larangan;
perintah atau larangan tersebut harus dipatuhi oleh semua orang.
Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum memiliki
sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa seseorang untuk menaati tata tertib
yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang tidak menaatinya akan diberikan
sanksi yang tegas. Dengan demikian, suatu ketentuan hukum mempunyai tugas berikut.
a. Menjamin kepastian hukum bagi setiap orang di dalam masyarakat.
b. Menjamin ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, kemakmuran, kebahagian,
dan kebenaran.
c. Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan “main hakim sendiri” dalam pergaulan
masyarakat.

2. Penggolongan Hukum
a. Berdasarkan sumbernya
1) Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-
undangan.
2) Hukum kebiasaan, yaitu hukum yang terletak dalam aturan-aturan kebiasaan.
3) Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu
perjanjian antarnegara (traktat).
4) Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.

b. Berdasarkan tempat berlakunya


1) Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam wilayah suatu negara tertentu.
2) Hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antarnegara
dalam dunia Internasional. Hukum internasional berlakunya secara universal, baik
secara keseluruhan maupun terhadap negaranegara yang mengikatkan dirinya pada
suatu perjanjian internasional (traktat).
3) Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam wilayah negara lain.
4) Hukum gereja, yaitu kumpulan-kumpulan norma yang ditetapkan oleh gereja untuk
para anggotanya

c. Berdasarkan bentuknya
1) Hukum tertulis, yang dibedakan atas dua macam berikut
a) Hukum tertulis yang dikodifikasikan, yaitu hukum yang disusun secara
lengkap, sistematis, teratur, dan dibukukan sehingga tidak perlu lagi
peraturan pelaksanaan. Misalnya, KUH Pidana, KUH Perdata, dan KUH
Dagang.
b) Hukum tertulis yang tidakdikodifikasikan yaituhukum yang meskipun tertulis,
tetapi tidak disusun secara sistematis, tidak lengkap, dan masih terpisah-
pisah sehingga sering masih memerlukan peraturan pelaksanaan dalam

3
penerapan. Misalnya undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan
presiden.
2) Hukum tidak tertulis, yaitu hukum yang hidup dan diyakini oleh warga masyarakat
serta dipatuhi dan tidak dibentuk menurut prosedur formal, tetapi lahir dan tumbuh di
kalangan masyarakat itu sendiri.

d. Berdasarkan waktu berlakunya


1) Ius Constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Misalnya, Undang- Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
2) Ius Constituendum (hukum negatif), yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada
waktu yang akan datang. Misalnya, rancangan undang-undang (RUU).

e. Berdasarkan cara mempertahankannya


1) Hukum material, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat
yang berlaku umum tentang hal-hal yang dilarang dan dibolehkan untuk dilakukan.
Misalnya, hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang, dan sebagainya.
2) Hukum formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan
dan melaksanakan hukum material. Misalnya, Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Hukum Acara Perdata, dan sebagainya.

f. Berdasarkan sifatnya
1) Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimana pun juga
harus dan mempunyai paksaan mutlak. Misalnya, melakukan pembunuhan maka
sanksinya secara paksa wajib dilaksanakan.
2) Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-
pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.
Atau dengan kata lain, hukum yang mengatur hubungan antarindividu yang baru
berlaku apabila yang bersangkutan tidak menggunakan alternatif lain yang
dimungkinkan oleh hukum (undang- undang). Misalnya, ketentuan dalam pewarisan
ab-intesto (pewarisan berdasarkan undang-undang), baru mungkin bisa
dilaksanakan jika tidak ada surat wasiat (testamen).

g. Berdasarkan wujudnya
1) Hukum objektif, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih
yang berlaku umum. Dengan kata lain, hukum dalam suatu negara yang berlaku
umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu.
2) Hukum subjektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum objektif dan berlaku
terhadap seorang atau lebih. Hukum subjektif sering juga disebut hak.

h. Berdasarkan isinya
1) Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan
individu (warga negara), menyangkut kepentingan umum (publik). Hukum publik
terbagi atas:
a) Hukum Pidana, yaitu mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan, memuat
larangan dan sanksi.

4
b) Hukum Tata Negara, yaitu mengatur hubungan antara negara dengan
bagian-bagiannya.
c) Hukum Tata Usaha Negara (administratif), yaitu mengatur tugas kewajiban
pejabat negara.
d) Hukum Internasional, yaitu mengatur hubungan antar negara, seperti hukum
perjanjian internasional, hukum perang internasional, dan sebagainya.
3) Hukum privat (sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara individu satu dengan
individu lain, termasuk negara sebagai pribadi. Hukum privat terbagi atas:
a) Hukum Perdata, yaitu hukum yang mengatur hubungan antarindividu secara
umum. Contoh, hukum keluarga, hukum kekayaan, hukum waris, hukum
perjanjian, dan hukum perkawinan.
b) Hukum Perniagaan (dagang), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antarindividu dalam perdagangan. Contoh, hukum tentang jual beli, hutang
piutang, pendirian perusahaan dagang, dan sebagainya.

B. Mencermati Sistem Peradilan di Indonesia


1. Makna Lembaga Peradilan
Di Indonesia, perwujudan kekuasaan kehakiman ini diatur sepenuhnya dalam Undang-
Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung. Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lembaga- lembaga tersebut berperan
sebagai penegak keadilan dan dibersihkan dari setiap intervensi/campur tangan, baik dari
lembaga legislatif, eksekutif maupun lembaga lainnya.
Proses peradilan dilaksanakan di sebuah tempat yang dinamakan pengadilan.
Dengan demikian, terdapat perbedaan antara konsep peradilan dengan pengadilan. Peradilan
menunjuk pada proses mengadili perkara sesuai dengan kategori perkara yang diselesaikan.
Adapun, pengadilan menunjuk pada tempat untuk mengadili perkara atau tempat untuk
melaksanakan proses peradilan guna menegakkan hukum.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa lembaga peradilan nasional sama
artinya dengan pengadilan negara yaitu lembaga yang dibentuk oleh negara sebagai bagian
dari otoritas negara di bidang kekuasaan kehakiman dengan sumber hukumnya peraturan
perundang-undangan yang berlaku di dalam negara.
2. Klasifikasi Lembaga Peradilan
a. Lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung
1) Peradilan Umum, yang meliputi:
a) Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota dan
b) Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi.
2) Peradilan Agama yang terdiri atas:
a) Pengadilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
b) Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan di ibu kota provinsi.
3) Peradilan Militer, terdiri atas:
a) Pengadilan Militer,
b) Pengadilan Militer Tinggi,
c) Pengadilan Militer Utama, dan

5
d) Pengadilan Militer Pertempuran.
4) Peradilan Tata Usaha Negara yang terdiri atas:
a) Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota kabupaten
atau kota, dan
b) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota
provinsi.
b. Mahkamah Konstitusi

3. Perangkat Lembaga Peradilan


a. Peradilan Umum
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
1) Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri mempunyai daerah hukum yang meliputi wilayah kabupaten atau kota dan
berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Pengadilan Negeri dibentuk berdasarkan
keputusan presiden. Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, Pengadilan Negeri mempunyai
perangkat yang terdiri atas pimpinan (yang terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua),
hakim (yang merupakan pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman), panitera (yang dibantu
oleh wakil panitera, panitera muda, dan panitera muda pengganti), sekretaris, dan juru sita
(yang dibantu oleh juru sita pengganti)
2) Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Perangkat Pengadilan Tinggi
terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan Pengadilan Tinggi
terdiri atas seorang ketua ketua dan seorang wakil ketua. Hakim anggota anggota Pengadilan
Tinggi adalah hakim tinggi. Pengadilan Tinggi dibentuk dengan undang-undang.

b. Peradilan Agama
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan kehakiman pada peradilan agama berpuncak
pada Mahkamah Agung.
1) Pengadilan Agama
Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten atau kota. Pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama dan
dibentuk berdasarkan keputusan presiden (kepres). Perangkat atau alat kelengkapan
pengadilan agama terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Pimpinan pengadilan agama terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Hakim dalam
pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul
Menteri Agama berdasarkan persetujuan ketua Mahkamah Agung. Ketua dan wakil ketua
pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan
ketua Mahkamah Agung. Wakil ketua dan hakim pengadilan agama diangkat sumpahnya
oleh ketua pengadilan agama.
2) Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi. Pengadilan tinggi agama merupakan pengadilan tingkat banding. Perangkat
atau alat kelengkapan pengadilan tinggi agama terdiri atas pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan sekretaris. Pimpinan pengadilan tinggi agama terdiri atas seorang ketua dan
seorang wakil ketua. Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh ketua

6
Mahkamah Agung. Hakim anggota pengadilan tinggi agama adalah hakim tinggi. Wakil ketua
dan hakim pengadilan tinggi agama diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tinggi agama.

c. Peradilan Militer
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Dalam peradilan militer dikenal adanya oditurat yaitu badan di lingkungan TNI yang
melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan
berdasarkan pelimpahan dari Panglima TNI. Oditurat terdiri atas oditurat militer, oditurat militer
tinggi, oditurat jenderal, dan oditurat militer pertempuran.

d. Peradilan Tata Usaha Negara


Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan tata usaha negara dilaksanakan oleh
pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara.
1) Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan tata usaha negara berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Pengadilan tata usaha negara merupakan
pengadilan tingkat pertama. Pengadilan tata usaha negara dibentuk berdasarkan keputusan
presiden. Perangkat atau alat kelengkapan pengadilan tata usaha negara terdiri atas pimpinan,
hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita. Pimpinan pengadilan terdiri atas seorang
ketua dan seorang wakil ketua. Hakim pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua
Mahkamah Agung. Wakil ketua dan hakim pengadilan tata usaha negara diambil sumpahnya
oleh ketua pengadilan tata usaha negara.
2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan tinggi tata usaha negara berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi. Pengadilan tinggi tata usaha negara merupakan pengadilan tingkat
banding. Perangkat atau alat kelengkapan pengadilan tinggi tata usaha negara terdiri atas
pimpinan, hakim anggota, panitera,
dan sekretaris. Pimpinan pengadilan tinggi tata usaha negara terdiri atas seorang ketua dan
seorang wakil ketua. Ketua pengadilan tinggi tata usaha negara diambil sumpahnya oleh
ketua Mahkamah Agung. Hakim anggota pengadilan ini adalah hakim tinggi. Wakil ketua dan
hakim pengadilan tinggi tata usaha negara diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tinggi
tata usaha negara.

e. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan dari pasal 24 C Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 (sembilan) orang
hakim konstitusi yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh DPR, presiden, dan
Mahkamah Agung dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan organisasinya terdiri
atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7
(tujuh) anggota hakim konstitusi.
Untuk kelancaran tugas Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan, yang susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenangnya diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.
Masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk satu kali masa jabatan. Ketua dan Wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi
untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara.

7
4. Tingkatan Lembaga Peradilan
a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)
Pengadilan tingkat pertama dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Pengadilan
tingkat pertama mempunyai kekuasaan hukum yang meliputi satu wilayah kabupaten/kota.
Fungsi pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada
ketua pengadilan dengan menyebutkan alasan-alasannya. Wewenang pengadilan tingkat
pertama adalah memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang, khususnya tentang dua hal berikut.
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau
penghentian tuntutan.
2) Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau tuntutan.

b. Pengadilan Tingkat Kedua


Pengadilan tingkat kedua disebut juga pengadilan tinggi yang dibentuk dengan
undang-undang. Daerah hukum pengadilan tinggi pada dasarnya meliputi satu provinsi.
Pengadilan tingkat kedua berfungsi sebagai berikut.
1) Menjadi pimpinan bagi pengadilan-pengadilan negeri di dalam daerah hukumnya.
2) Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya dan
menjaga supaya peradilan itu diselesaikan dengan saksama dan wajar.
3) Mengawasi dan meneliti perbuatan para hakim pengadilan negeri di daerah hukumnya.
4) Untuk kepentingan negara dan keadilan, pengadilan tinggi dapat memberi peringatan,
teguran, dan petunjuk yang dipandang perlu kepada pengadilan negeri dalam daerah
hukumnya.

Adapun wewenang pengadilan tingkat kedua adalah sebagai berikut.


1) Mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding.
2) Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-
surat untuk diteliti dan memberi penilaian tentang kecakapan dan
1) kerajinan hakim.

c. Kasasi oleh Mahkamah Agung


Mahkamah Agung berkedudukan sebagai puncak semua peradilan dan sebagai pengadilan
tertinggi untuk semua lingkungan peradilan dan memberi pimpinan kepada pengadilan-
pengadilan yang bersangkutan.

Dalam hal kasasi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung adalah membatalkan atau
menyatakan tidak sah putusan hakim pengadilan tinggi karena putusan itu salah atau tidak
sesuai dengan undang-undang. Hal tersebut dapat terjadi karena alasan berikut.
1) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh perundang- undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang bersangkutan.
2) Melampaui batas wewenang.
3) Salah menerapkan atau karena melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

8
5. Peran Lembaga Peradilan
a. Lingkungan Peradilan Umum
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Pengadilan negeri berperan dalam proses
pemeriksaan, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat
pertama. Pengadilan tinggi berperan dalam menyelesaikan perkara pidana dan perdata
pada tingkat kedua atau banding. Di samping itu, pengadilan tinggi juga berwenang mengadili
di tingkat pertama dan terakhir apabila ada sengketa kewenangan mengadili antara
pengadilan negeri dalam daerah hukumnya.
Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan tertinggi dalam lapangan peradilan di Indonesia.
Mahkamah Agung berperan dalam proses pembinaan lembaga peradilan yang berada
di bawahnya. Mahkamah Agung mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam pembinaan,
organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan. Dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang
RI Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang
berikut.
1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung.
2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang, seperti memberikan
pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi.

b. Lingkungan Peradilan Agama


Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama.
Berdasarkan pasal 49 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun
2006, pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

c. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara


Peradilan tata usaha negara berperan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha
negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

d. Lingkungan Peradilan Militer


Peradilan militer berperan dalam menyelenggarakan proses peradilan dalam lapangan hukum
pidana, khususnya bagi pihak-pihak berikut.
1) Anggota TNI.
2) Seseorang yang menurut undang-undang dapat dipersamakan dengan anggota TNI.
3) Anggota jawatan atau golongan yang dapat dipersamakan dengan TNI
1) menurut undang-undang.
4) Seseorang yang tidak termasuk ke dalam angka 1), 2), dan 3), tetapi menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang ditetapkan berdasarkan

9
persetujuan Menteri Hukum dan Perundang-undangan harus diadili oleh pengadilan
militer.

e. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4 (empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk perkara-perkara berikut.
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa


Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:
1) telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya,
2) perbuatan tercela, dan/atau
3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Repbulik Indonesia Tahun 1945.

C. Menampilkan Sikap yang Sesuai dengan Hukum


Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata
dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum
yang berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara
secara langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya. Kepatuhan hukum
mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran:
1. memahami dan menggunakan peraturan perundangan yang berlaku;
2. mempertahankan tertib hukum yang ada; dan
3. menegakkan kepastian hukum.

Adapun ciri-ciri seseorang yang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku dapat
dilihat dari perilaku yang diperbuatnya seperti:
1. disenangi oleh masyarakat pada umumnya;
2. tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain;
3. tidak menyinggung perasaan orang lain;
4. menciptakan keselarasan;
5. mencerminkan sikap sadar hukum; dan
6. mencerminkan kepatuhan terhadap hukum.

Sanksi norma hukum adalah tegas dan nyata. Hal tersebut mengandung pengertian
sebagai berikut.
1) Tegas berarti adanya aturan yang telah dibuat secara material. Misalnya,
dalam hukum pidana mengenai sanksi diatur dalam pasal 10 KUHP. Dalam

10
pasal tersebut ditegaskan bahwa sanksi pidana berbentuk hukuman yang
mencakup:
a) Hukuman Pokok, yang terdiri atas:
(1) hukuman mati
(2) hukuman penjara yang terdiri dari hukuman seumur hidup dan
hukuman sementara waktu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-
kurangnya 1 tahun)
b) Hukuman Tambahan, yang terdiri:
(1) pencabutan hak-hak tertentu
(2) perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
(3) pengumuman keputusan hakim
2) Nyata berarti adanya aturan yang secara material telah ditetapkan kadar
hukuman berdasarkan perbuatan yang dilanggarnya. Contoh: pasal 338 KUHP,
menyebutkan “barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Tugas
Perilaku yang mencerminkan sikap patuh terhadap hukum harus kita tampilkan dalam
kehidupan sehari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa, dan negara. Berkaitan
dengan hal tersebut, lakukanlah identifikasi contoh perilaku yang dapat kalian tampilkan
yang mencerminkan kepatuhan terhadap hukum di tempat kalian magang!
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

11
BAB 7
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi


1.16 Mengamalkan nilai-nilai 1.16.1 Menghayati nilai-nilai dalam sistem
dalam sistem perlindungan perlindungan tenaga kerja di Indonesia
tenaga kerja di Indonesia berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa
berlandaskan Ketuhanan 1.16.2 Mengamalkan nilai-nilai dalam sistem
Yang Maha Esa. perlindungan tenaga kerja di Indonesia
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa

2.16 Menunjukkan sikap 2.16.1 Responsif terhadap sistem perlindungan


disiplin terhadap aturan tenaga kerja di Indonesia
sebagai cerminan sistem 2.16.2 Proaktif terhadap sistem perlindungan tenaga
hukum dan peradilan di kerja di Indonesia
Indonesia.

3.16 Menganalisis sistem 3.16.1 Mendeskripsikan hakikat perlindungan tenaga


hukum dan peradilan di kerja
Indonesia sesuai dengan 3.16.2 Mendeskripsikan hakikat kontrak kerja
Undang-Undang Dasar 3.16.3 Mendeskripsikan pengupahan dalam dunia
Negara Republik Indonesia kerja
Tahun 1945. 3.16.4 Mendeskripsikan keselamatan kerja dan
asuransi tenaga kerja
3.16.5 Menganalsis pentingnya Undang-Undang
Tenaga Kerja
3.16.6 Menganalisis peran Serikat Pekerja

4.16 Menyaji hasil penalaran


tentang sistem hukum dan 4.16.1 Mempresentasikan hasil analisis tentang
peradilan di Indonesia sesuai sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia
dengan Undang- Undang 4.16.2 Menyaji secara tertulis hasil analisis tentang
Dasar Negara Republik sistem perlindungan tenaga kerja di Indonesia
Indonesia Tahun 1945

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA


A. Hakikat Perlindungan Tenaga Kerja
1. Pengertian ketenagakerjaan, kesempatan kerja, tenaga kerja dan angkatan kerja.
a. Pengertian ketenagakerjaan menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.
b. Kesempatan Kerja adalah lowongan pekerjaan atau lapangan pekerjaan yang tersedian
bagi angkatan kerja.
c. Tenaga Kerja dan angkatan Kerja
 Tenaga Kerja adalah penduduk yang telah memasuki usia kerja dan mampu untuk
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

12
 Angkatan Kerja adalah menurut UU No.20 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat 2 adalah
penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja atau mempunyai pekerjaan,
namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.
 Bukan Angkatan Kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak
mempunyai pekerjaan. dan tidak sedang mencari pekerjaan (pelajar, mahasiswa, ibu-
ibu rumah tangga) serta menerima pendapatan, tetapi bukan merupakan imbalan
langsung atas suatu kegiatan produktif (pensiunan, veteran perang, dan penderita
cacat yang menerima santunan).

2. Penggolongan Tenaga Kerja


a. Tenaga Kerja Berdasarkan Usia
1) Angkatan Kerja
Penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi
sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif mencari pekerjaan.
2) Bukan Angkatan Kerja
Penduduk yang memasuki usia kerja yang tidak ingin bekerja, tidak sedang bekerja ataupun
mencari pekerjaan.
Contoh: Ibu Rumah Tangga, Pelajar, Penerima Pensiunan.
b. Tenaga Kerja Berdasarkan Kualitas
1) Tenaga Kerja Terdidik
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau kemahiran dalam
bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan nonformal.
Contohnya: pengacara, dokter, guru, dan lain-lain.
2) Tenaga Kerja Terampil
Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerjayang memiliki keahlian dalam bidang tertentudengan
melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan secara berulang-ulang
sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut.
Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain.
3) Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terampil
Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja
kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh
angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya

3. Upaya Meningkatkan Kualitas Tenaga Kerja


 Pelatihan-pelatihan atau Job Training agar memperoleh kesempatan kerja baik.
 Mengikuti penataran dan seminar lokakarya.
 Meningkatkan tenaga kerja terampil dengan meningkatkan pendidikan formal maupun
nonformal bagi setiap penduduk.

4. Perlindungan Tenaga Kerja


Tenaga kerja merupakan pelaku ekonomi dan pembangunan, baik secara individu
maupun secara kelompok, yang memiliki peranan penting dalam aktivitas perekonomian
nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia,
tenaga kerja berperan sebagai salah satu penggerak ekonomi dan juga sebagai sumber daya
yang jumlahnya cukup melimpah. Hal ini dapat dilihat pada problema masih tingginya tingkat
pengangguran serta minimnya lapangan pekerjaan.

13
Menyadari pentingnya tenaga kerja pada setiap lapisan, yakni perusahaan, pemerintah,
dan masyarakat, maka diperlukan suatu pemikiran agar tenaga kerja/pekerja agar dapat
menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan yang diamanatkan kepadanya.
Begitu pula dengan kesehatan dan jaminan lainnya. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan
salah satu bentuk perlindungan kerja bagi para tenaga kerja. Namun demikian, begitu
besarnya potensi tenaga kerja di Indonesia tidak diimbangi dengan pemahaman konsep
perlindungan kerja. Dan ironisnya mayoritas dari mereka justru cenderung mengabaikannya.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2, yang dimaksud sebagai tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, mempunyai peranan yang sangat besar
dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan pelaksana pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan umum dan kualitas kehidupan yang semakin baik. Oleh karenanya,
upaya perlindungan tenaga kerja terhadap bahaya yang dapat timbul selama bekerja
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Dengan adanya perlindungan tersebut
diharapkan agar tenaga kerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman sehingga dapat
meningkatkan produktivitas kerja.
Tidak kalah pentingnya, perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-
hak dasar para pekerja/buruh dan menjamin kesempatan, serta menghindarkan dari
perlakuan diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan
kepentingan pengusaha. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di antara perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja ialah:
1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.”
2. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
3. Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan
Industiral.

Di antara sebab-sebab mutlak diperlukannya perlindungan bagi tenaga kerja adalah:


1) Posisi tawar yang rendah
Lemahnya kedudukan tenaga kerja dari segi ekonomi dan pendidikan, menyebabkan
rendahnya kualitas si pekerja. Tenaga kerja dengan pendidikan yang tidak memadai akan
cenderung mendominasi pekerjaan kasar. Hal ini juga disebabkan adanya kualifikasi dari
pihak penyedia lapangan kerja dalam mempersyaratkan calon tenaga kerja yang
direkrutnya.
2) Hubungan kerja yang tidak seimbang antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam
pembuatan perjanjian
Pembebanan hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara penyedia lapangan kerja
dengan pekerja/buruh ini menyebabkan suatu ketimpangan. Secara tidak langsung
pekerja/buruh hanya akan diberi pilihan-pilihan yang cenderung merugikan dirinya,
sedang di sisi lain memberi banyak keuntungan pada pengusaha.
3) Pekerja/buruh diperlakukan sebagai obyek

14
Dalam konteks ini, seorang pekerja/buruh diperlakukan tak ubahnya alat yang dapat
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga berakibat pada:
a) Kesewenang-wenangan pengusaha,
b) Tuntutan kerja maksimal,
c) Upah yang sebatas pada upah minimum regional/provinsi,
d) Kurang diperhatikannya masa kerja pekerja/buruh, dan sebagainya.
e) Diskriminasi golongan
Meskipun perbuatan diskriminasi dilarang, namun tak pelak bahwa hal ini masih sering
terjadi di kalangan masyarakat, seperti mengenai jenis kelamin, ras, latar belakang sosial,
fisik, dan sebagainya.

Secara teoretis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut.
1. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan
mengembangkan perikehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya, dan
khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Perlindungan sosial ini
disebut juga dengan kesehatan kerja.
2. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha
untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat
ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini lebih sering
disebut sebagai keselamatan kerja.
3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-
usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna
memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk dalam hal
pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan
jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang


menjadi objek utama perlindungan tenaga kerja adalah penyandang cacat, anak, dan
perempuan.
1. Penyandang cacat
Adanya perlakuan diskriminasi bagi penyandang cacat atau kaum difabel menyebabkan
undang-undang berbicara. Menurut ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang
Ketenagakerjaan, pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
2. Anak
Undang-undang Ketenagakerjaan melarang pengusaha untuk mempekerjakan anak-
anak. Pengecualian bagi anak yang telah berumur 13 tahun sampai dengan 15 tahun
untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial anak tersebut, dengan memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan. Akan tetapi syarat ini tidak berlaku bagi anak yang bekerja pada usaha
keluarganya.
3. Perempuan
Di samping perempuan pada umumnya, dalam hal pekerja/buruh perempuan ini yang
menjadi sasaran utamanya adalah perempuan di bawah 18 tahun dan perempuan hamil.
Mereka yang berumur di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00, sedangkan untuk perempuan hamil dapat dipekerjakan
apabila tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan kandungannya.

15
B. Hakikat Kontrak Kerja
Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
Menurut pasal 54 UU No 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang kurangnya harus memuat:
1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
3. jabatan atau jenis pekerjaan
4. tempat pekerjaan
5. besarnya upah dan cara pembayarannya
6. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.

Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak
maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu
dipenuhi empat syarat” yaitu
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. suatu pokok persoalan tertentu
4. suatu sebab yang tidak terlarang

Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan


bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1. kesepakatan kedua belah pihak
2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Kontrak kerja menurut bentuknya ada dua yaitu berbentuk lisan dan tulisan.
1) Berbentuk Lisan/ Tidak tertulis
 Meskipun kontrak kerja dibuat secara tidak tertulis, namun kontrak kerja jenis ini tetap
bisa mengikat pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan isi kontrak kerja tersebut.
 Tentu saja kontrak kerja jenis ini mempunyai kelemahan fatal yaitu apabila ada
beberapa isi kontrak kerja yang ternyata tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena
tidak pernah dituangkan secara tertulis sehingga merugikan pekerja.
2) Berbentuk Tulisan
 Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dapat dipakai sebagai bukti tertulis
apabila muncul perselisihan hubungan industrial yang memerlukan adanya bukti-bukti
dan dapat dijadikan pegangan terutama bagi buruh apabila ada beberapa
kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha yang merugikan buruh.

16
 Dibuat dalam rangkap 2 yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, masing-
masing buruh dengan pengusaha harus mendapat dan menyimpan Perjanjian
Kerja (Pasal 54 ayat 3 UU 13/2003).

Jenis perjanjian kerja menurut waktu berakhirnya dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
a) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang pekerjanya sering disebut karyawan kontrak
adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
 didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan
tertentu
 dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker
(Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan
sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu
 dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa
asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama;
 tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja
BATAL DEMI HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003).
b) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat
tetap. Pekerjanya sering disebut karyawan tetap
Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan
dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan
wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan,
bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja
sudah dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan
wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum
yang berlaku.

Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk UU No. 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur boleh-tidaknya perusahaan menahan
surat-surat berharga milik karyawan, seperti misalnya ijazah.
Penahanan ijazah pekerja/karyawan oleh perusahaan, diperbolehkan, sepanjang
memang menjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan antara pekerja dan
pengusaha biasa dituangkan dalam perjanjian kerja yang mengikat pekerja dan pengusaha
dalam hubungan kerja. Artinya, penahanan ijazah oleh pengusaha diperbolehkan sepanjang
Anda menyepakatinya dan Anda masih terikat dalam hubungan kerja.
Apabila ijazah Anda tetap ditahan dan tidak dikembalikan setelah Anda berhenti
bekerja, Anda dapat mengupayakan cara-cara kekeluargaan terlebih dahulu. Misalnya,
dengan mendatangi perusahaan tersebut untuk meminta kembali ijazah Anda. Namun,
apabila memang pihak perusahaan tidak mau mengembalikan ijazah Anda, Anda dapat

17
menggugat perusahaan tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum atau melaporkan ke
polisi atas tuduhan penggelapan.
Sedangkan, penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan
adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana
penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah.
Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang
tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya
petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang
ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik
orang lain.
Pada dasarnya, perjanjian kerja tidak harus dilakukan secara tertulis. Berdasarkan
Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh,
yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Akan tetapi, terdapat
pengecualian dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Dalam Pasal 57 UU
No.13/2003 ditegaskan bahwa PKWT harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT).
Selain itu, dalam hal perusahaan tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis
(PKWTT) dengan pekerjanya, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 63 UU Ketenagakerjaan). Surat pengangkatan
tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan:
1. nama dan alamat pekerja/buruh;
2. tanggal mulai bekerja;
3. jenis pekerjaan; dan
4. besarnya upah.

Jadi, dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, memang tidak harus
dilakukan dengan perjanjian kerja tertulis, akan tetapi perusahaan wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerjanya.
Dalam Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 menyatakan bahwa
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin”.
Meski para pihak adalah orang asing, hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut
adalah Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, oleh karena itu PKWT harus dibuat dalam bahasa
Indonesia, dengan terjemahan ke Bahasa Inggris. Segala ketentuan yang mengikat secara
hukum adalah ketentuan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dalam
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut hanyalah merupakan terjemahan, agar para pihak
mengerti isinya.
Penggunaan tenaga kerja asing pada representative office juga wajib tunduk pada
peraturan ketenagakerjaan Indonesia. Oleh karena itu, apabila ketentuan ketenagakerjaan
kita mengatur mengenai suatu hak bagi tenaga kerja asing yang wajib dipatuhi oleh pemberi
kerja, maka hak-hak tersebut wajib diberikan pada tenaga kerja asing tersebut. Contohnya,
mengenai jaminan sosial tenaga kerja. Seorang tenaga kerja asing juga berhak untuk
memperoleh jamsostek, seperti halnya pekerja WNI

18
C. Sistem Upah
1. Pengertian Sistem Upah
Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah disebutkan
bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh
untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilaksanakan, dinyatakan atau
dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut persetujuan atau perundang-
undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh itu sendiri maupun
keluarganya.
Sedangkan dalam pasal 1 angka 30 Undang-Undang Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima
dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.
Peranan upah disini sangat penting dan upah merupakan ciri khas suatu hubungan kerja,
bahkan dapat dikatakan upah adalah tujuan utama seseorang pekerja/buruh bekerja pada
orang lain atau badan hokum. Oleh karena itulah dibutuhkan peranan pemerintah untuk
menangani permasalahan dalam upah melalui berbagai macam kebijakan. Untuk menjaga
agar jangan sampai upah yang diterima terlalu rendah, maka pemerintah turut menetapkan
standar upah terendah melalui peraturan perundang-undangan. Dan inilah yang disebut upah
minimum.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1) menyebutkan setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Memberi upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal tidak melebihi 25% dari
nilai rupiah yang seharusnya diterimanya. Imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada
pekerjanya tidak selamnya disebut sebgai upah, karena bisa jadi imbalan tersebut tidak
masuk dalam komponen upah.
Dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 tentang pengelompokan
komponen upah dan pendapatan non upah disebut bahwa:
1. Termasuk komponen upah:
a. Upah pokok, merupakan imbalan dasar yang dibayrakan kepada pekerja menurut
jenis pekerjaan, dan mengenai besarnya ditentukan berdasarkan perjanjian.
b. Tunjangan tetap, tunjangan ini diberikan bersamaan dengan upah pokok, tunjangan
tetap ini seperti, tunjangan kesehatan, perumahan, anak dan lain-lain. Yang
diberikan kepada buruh dan keluarganya.
c. Tunjanga tidak tetap, diberikan secara tidak tetap bagi pekerja dan keluarganya, dan
tidak dibayakan bersamaan dengan upah pokok.
2. Tidak temasuk komponen upah:
a. Fasilitas, kenikmatan yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh, seperti kendaraan antar jemput.
b. Bonus, pembayaran yang diterima buruh dari hasil prestasinya di perusahaan
tempatnya bekerja.
c. Tunjangan Hari Raya dan pembagian keutungan lainnya.

Upah dapat ditentukan menurut satuan waktu atau menurut satuan produk yang
dihasilkan oleh pekerja. Upah menurut satuan waktu dapat dihitung dalam bentuk upah per

19
jam, upah per hari, upah per minggu dan seterusnya. Upah perjam biasanya digunakan untuk
pelaksanaan kegiatan yang sifatnya tidak lama, seperti konsultan, penceramah, tenaga bebas
dan sebagainya.Sedangkan upah per bulan biasanya diperuntukkan bagi pekerja yang
sifatnya tetap. Pekerja mempunyai ikatan kerja yang relative lama atau tetap sehingga disebut
pekerja tetap.
Istilah upah biasanya digunakan untuk satua waktu yang relative pendek seperti per jam,
per hari. Sedangkan istilah gaji biasanya mencakup juga tunjangan-tunjangan dan digunakan
untuk satuan waktu yang relative panjang seperti per bulan dan per tahun. Penentuan upah
menurut satuan produk masih mengandung beberapa kelemahan jika dilihat dari segi
perlindungan dan keselamatan kerja, seperti dalam pekerjaan menjahit baju.

Sistem pengupahan menurut satuan waktu pada umumnya memakai pola gaji pokok dan
tunjangan. Gaji pokok adalah gaji dasar yang ditetapkan untuk melaksanakan satu jambatan
atau pekerjaan tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu. Gaji pokok di suatu
perusahaan disusun menurut jenjang karir di perusahaan tersebut.
Sesuai dengan kondisi perusahaan masing-masing dan antara pengusaha dan para
pekerja, perusahaan memberikan berbagai macam jenis tunjangan yan mempunyai kaitan
langsung dengan pekerjaan atau produk seperti halnya tunjangan jabatan. Tunjangan adalah
suplemen terhadap upah atau gaji pokok daam tiga fungsi yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas, dalam rangka fungsi social seperti tunjangan untuk keluarga dan sebagai
insentif.
Seluruh komponen upah gaji yang dinyatakan dalam bentuk uang dinamakan upah atau
gaji bruto. Berdasarkan upah atau gaji tersebut mungkin masih dipotong pajak penghasilan
dan iuran dan apensiun atau kewajiban lain setelah pengurangan tersebut, pekerja/buruh
akan menerima upah net atau upah bersih yang dibawa ke rumah dan dinamakan take home
pay.

Perusahaan harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan waktu yang telah


ditetapkan dalam peraturan perundang undanga, jika melebihi ketentuan tersebut harus
dihitung/ dibayar sebagai upah kerja lembur.
Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari dan 40 jam 1 minggu
untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja
dalam 1 minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari istirahat
resmi yang ditetapkan pemerintah. ( pasal 1 butir 1 Kepmenakertrans No. KEP-
102/Men/VI/2004 tentang kerja lembur dan upah kerja lembur).
1) Penghitungan upah kerja lembur
(a) Dilakukan pada hari kerja
 untuk jam kerja lembur pertama dibayar upah 1,5 kali upah sejam.
 untuk jam lembur berikutnya dibayar upah 2 kali upah sejam.

Ketentuan ini sama dengan ketentuan dalam Kepmenakertrans N0. 72 Tahun 1984 yang
dicabut dengan Kepmenakertrans No. 102/Men/VI/2004.
(b) Dilakukan pada hari istirahat dan libur resmi
(1) 6 hari kerja 40 jam seminggu
 Untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.
 Untuk jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam.
 Untuk jam ke-9 dan ke-10 dibayar 4 kali upah sejam.

20
 Apabila hari libur libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, upah lembur lima
jam pertama dibayar 2 kali upah sejam. Jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam
dan kerja lembur ke-7 dan ke-8 dibayar 4 kali upah sejam.
(2) 5 hari kerja 40 jam seminggu
 Untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.
 Untuk jam ke-9 dibayar 3 kali uah sejam.
 Untuk jam ke-10 dan ke-11 dibayar 4 kali upah sejam.

Ada ketentuan yang harus diperhatikan, yaitu adanya ketentuan yang menyatakan bahwa
bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih
baik, perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.

Sistem upah merupakan kebijakan dan strategi yang menentukan kompensasi yang
diterima pekerja. Kompensasi ini merupakan bayaran atau upah yang diterima oleh pekerja
sebagai balas jasa atas hasil kerja mereka.Terdapat tiga teori pemberian upah, diantaranya:
a. Tawar Menawar
Menyatakan bahwa tingkat upah ditentukan oleh tawar menawar di pasaran tenaga kerja.
Pembeli ialah pengusaha yang membutuhkan tenaga kerja dan penjualnya ialah calon
karyawan, mungkin juga melalui organisasi tenaga kerja sebagai perwakilan mereka. Jika
penawaran lebih besar daripada permintaannya, tingkat upah cenderung turun. Hal ini banyak
terjadi di negara-negara berkembang dengan jumlah penduduk yang tinggi. Sebaliknya, jika
permintaan akan pencari kerja lebih besar daripada penawaran tenaga kerja, tingkat upah
cenderung tinggi. Kondisi ini banyak terjadi di Negara-negara maju dengan jumlah penduduk
yang rendah.

b. Kesepakatan Pemberi Kerja dan Penerima Kerja


Permintaan dan penawaran tenaga kerja bertemu pada saat wawancara seleksi kerja. Dalam
wawancara ini, pemberi kerja dan pencari kerja lazimnya melakukan tawar-menawar tentang
jam kerja dan upahnya.

3. Upah Minimum
Sebelum tahun 2000, Indonesia menganut sistem pengupahan berdasarkan kawasan
(regional). Artinya, untuk kawasan yang berbeda, upah minimum yang harus diterima oleh
pekerja juga berbeda. Ini didasarkan pada perbedaan biaya hidup pekerja di setiap daerah.
Akan tetapi, penentuan upah berdasarkan kawasan ini dirasakan masih belum cukup mewakili
angka biaya hidup sebenarnya di tiap daerah. Untuk itu pemerintah melakukan perubahan
peraturan tentang upah minimum.
Dengan adanya Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah
dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, maka pemberlakuan upah minimum
regional (UMR) berubah menjadi upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum
kota/kabupaten. Dengan adanya peraturan baru ini, provinsi-provinsi di Indonesia mulai
menyesuaikan upah minimum di wilayah mereka

21
2. Sistem Upah yang Berlaku di Indonesia
Di Indonesia dikenal beberapa sistem pemberian upah, yaitu :
1. Upah menurut waktu
Sistem upah dimana besarnya upah didasarkan pada lama bekerja seseorang. Satuan waktu
dihitung per jam, per hari, per minggu atau per bulan. Misalnya pekerja bangunan dibayar per
hari / minggu.
2. Upah menurut satuan hasil
Menurut sistem ini, besarnya upah didasarkan pada jumlah barang yang dihasilkan oleh
seseorang. Satuan hasil dihitung per potong barang, per satuan panjang, atau per satuan
berat. Misal upah pemetik daun teh dihitung per kilo.
3. Upah borongan
Menurut sistem ini pembayaran upah berdasarkan atas kesepakatan bersama antara pemberi
dan penerima pekerjaan. Sistem borongan merupakan kombinasi dari upah waktu dan upah
potongan. Sistem ini menetapkan pekerjaan tertentu yang harus diselesaikan dalam jangka
waktu tertentu. Jika selesai tepat pada waktunya ditetapkan upah sekian rupiah. Misalnya
upah untuk membangun rumah, gedung perkantoran dll.
4. Sistem bonus
Sistem bonus adalah pembayaran tambahan diluar upah atau gaji yang ditujukan untuk
merangsang (memberi insentif) agar pekerja dapat menjalankan tugasnya lebih baik dan
penuh tanggungjawab, dengan harapan keuntungan lebih tinggi. Makin tinggi keuntungan
yang diperoleh makin besar bonus yang diberikan pada pekerja.
5. Sistem mitra usaha
Dalam sistem ini pembayaran upah sebagian diberikan dalam bentuk saham perusahaan,
tetapi saham tersebut tidak diberikan kepada perorangan melainkan pada organisasi pekerja
di perusahaan tersebut. Dengan demikian hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja
dapat ditingkatkan menjadi hubungan antara perusahaan dan mitra kerja.

Tenaga kerja merupakan pelaku ekonomi dan pembangunan, baik secara individu
maupun secara kelompok, yang memiliki peranan penting dalam aktivitas perekonomian
nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia,
tenaga kerja berperan sebagai salah satu penggerak ekonomi dan juga sebagai sumber daya
yang jumlahnya cukup melimpah. Hal ini dapat dilihat pada problema masih tingginya tingkat
pengangguran serta minimnya lapangan pekerjaan.
Menyadari pentingnya tenaga kerja pada setiap lapisan, yakni perusahaan, pemerintah,
dan masyarakat, maka diperlukan suatu pemikiran agar tenaga kerja/pekerja agar dapat
menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaan yang diamanatkan kepadanya.
Begitu pula dengan kesehatan dan jaminan lainnya. Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan
salah satu bentuk perlindungan kerja bagi para tenaga kerja. Namun demikian, begitu
besarnya potensi tenaga kerja di Indonesia tidak diimbangi dengan pemahaman konsep
perlindungan kerja. Dan ironisnya mayoritas dari mereka justru cenderung mengabaikannya.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2, yang dimaksud sebagai tenaga kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, mempunyai peranan yang sangat besar
dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan pelaksana pembangunan untuk
mencapai kesejahteraan umum dan kualitas kehidupan yang semakin baik. Oleh karenanya,
upaya perlindungan tenaga kerja terhadap bahaya yang dapat timbul selama bekerja
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Dengan adanya perlindungan tersebut

22
diharapkan agar tenaga kerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman sehingga dapat
meningkatkan produktivitas kerja.
Tidak kalah pentingnya, perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-
hak dasar para pekerja/buruh dan menjamin kesempatan, serta menghindarkan dari
perlakuan diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan
kepentingan pengusaha. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di antara perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja ialah:
1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.”
2. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
3. Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan
Industiral.

D. Keselamatan kerja dan asuransi tenaga kerja


1. Keselamatan Kerja
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, keselamatan kerja termasuk dalam
perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dan terhindar
dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Berbeda dengan jenis perlindungan kerja yang lain yang umumnya ditekankan untuk
kepentingan pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan
kepada pekerja/buruh juga kepada pengusaha dan juga pemerintah.Berikut pemaparannya.
a. Bagi pekerja/buruh, dengan adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja ini akan
menciptakan suasana kerja yang tentram dan kondusif, sehingga para pekerja/buruh
akan fokus pada pekerjaannya dan tidak was-was apabila sewaktu-waktu terjadi
kecelakaan kerja.
b. Bagi pengusaha, dengan adanya pengaturan keselamatan kerja ini akan meminimalisir
terjadinya kecelakan kerja yang berakibat pada pemberian jaminan sosial.
c. Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya peraturan keselamatan kerja yang
ditaati, maka apa yang direncanakan pemerintahan untuk mensejahterakan masyarakat
akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas.

Penjagaan secara umum dari bahaya kecelakaan di tempat kerja pada mulanya diatur
dalam “Reglement houdende bepalingen tot beveiligin bij het verblijven in fabrieken en
werkplaatsen” (Peraturan tentang Pengamanan dalam Pabrik dan Tempat Kerja) atau
disingkat “Veiligheidsreglement” (Stbl. 1905 No. 521). Reglement ini pada tahun 1910 diganti
dengan peraturan baru dengan nama “Veiligheidsreglement” (Stbl. 1905 No. 406), hingga
pada akhirnya diganti dengan peraturan nasional kita sendiri, yaitu Undang-undang Nomor 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini mengatur ruang lingkup
keselamatan kerja di segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di
dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik
Indonesia, sebagaimana dijabarkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2).

23
Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Keselamatan Kerja, syarat-syarat
keselamatan kerja yang harus diperhatikan oleh pengusaha akan diatur lebih lanjut.
Berhubung peraturan perundangan yang dimaksud belum ada hingga kini, maka
perundangan warisan Hindia Belanda menjadi jalan alternatif. Penetapan syarat-syarat
keselamatan kerja di antaranya bertujuan untuk:
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan
b. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran;
c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. Memberikan pertolongan pada kecelakaan;
f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja/buruh;
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembapan, debu,
kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara, dan getaran;
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja, baik fisik maupun psikis,
peracunan, infeksi, dan penularan; dst.

Berdasarkan tujuan di atas, dibuatnya aturan penyelenggaran keselamatan kerja pada


hakikatnya adalah pembuatan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan,
pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan peralatan dalam bekerja, serta pengaturan dalam penyimpanan bahan, barang,
produk teknis, dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya
kecelakaan, sehingga potensi bahaya kecelakaan kerja tersebut dapat dieliminir. Dan syarat-
syarat tersebut diharapkan memuat prinsip teknis ilmiah yang menjadi kumpulan peraturan
yang tersusun secara sistematis, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan,
pengolahan dan pembuatan, alat-alat perlindungan, dan lain-lain.
a) Kewajiban Pengusaha
Keselamatan para pekerja/buruh di tempat kerja merupakan tanggung jawab pemimpin
atau pengurus tempat kerja atau pengusaha. Kewajiban pengusaha atau pimpinan
perusahaan dalam melaksanakan keselamatan kerja terbagi menjadi dua, sebagai berikut.
1. Terhadap tenaga kerja yang baru bekerja, iaberkewajiban menunjukkan dan menjelaskan
tentang:
a. Kondisi dan bahaya yang dapat ditimbulkan di tempat kerja.
b. Semua alat pengaman dan pelindung yang diharuskan.
c. Cara dan sikap dalam melakukan pekerjaan;
d. Memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental tenaga kerja bersangkutan.

2. Terhadap tenaga kerja yang telah/sedang dipekerjakan, ia berkewajiban:


b. Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan dan penanggulangannya.
c. Memeriksa kesehatan fisik dan mental tenaga kerja secara berkala.
d. Menyediakan secara cuma-cuma alat perlindungan diri bagi tiap pekerja.
e. Memasang gambar atau undang-undang keselamatan kerja, serta nahan pembinaannya
lainnya di tempat kerja.
f. Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan di tempat kerja ke Kantor Departemen Tenaga
Kerja setempat.
g. Membayar biaya pengawasan keselamatan kerja ke Kantor Perbendaharaan Negara.
h. Menaati semua peraturan keselamatan kerja.

24
Selain itu, menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-
15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Kerja, kewajiban
pengusaha adalah:
1. Menyediakan petugas P3K di tempat kerja;
2. Menyediakan fasilitas P3K di tempat kerja; dan
3. Melaksanakan P3K di tempat kerja.

b) Hak dan Kewajiban Pekerja/Buruh


Dari sudut si tenaga kerja, juga memiliki hak dan kewajiban dalam pelaksanaan
keselamatan kerja. Kewajiban-kewajiban tersebut di antaranya:
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh Pegawai Pengawas atau ahli
keselamatan dan kesehatan kerja;
2. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; dan
3. Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang berlaku
di tempat kerja/perusahaan yang bersangkutan.

Sedangkan hak-hak tenaga kerja adalah:


1. Meminta kepada pimpinan atau perngurus perusahaan tersebut agar dilaksanakan
semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
2. Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat keselamatan dan kesehatan
kerja serta alat perlindungan diri yang diwajibkan tidak memenuhi persyartan, kecuali
ditetapkan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.

c) Faktor Penyebab Kecelakaan


Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan kerja bertalian erat dengan kecelakaan kerja.
Namun demikian, suatu kejadian atau peristiwa pasti memiliki sebab yang
melatarbelakanginya, di mana terdapat 4 faktor penyebab, yaitu:
1. Faktor manusianya, misalnya karena kurangnya keterampilan atau pengetahuan, atau
salah penempatan.
2. Faktor materialnya/bahannya/peralatannya, misalnya bahan yang seharusnya dari besi
dibuat dari bahan yang lebih murah sehingga mudah menimbulkan kecelakaan.
3. Faktor bahaya/sumber bahaya, terdapat dua sebab:
a. Perbuatan berbahaya, misalnya metode kerja salah, keletihan, dsb.
b. Kondisi/keadaan berbahaya (keadaan yang tidak aman dari mesin/peralatan,
lingkungan, proses, dll.)
4. Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya pemeliharaan/perawatan mesin sehingga
tidak dapat bekerja sempurna.

Menurut International Labour Organization (ILO) ada beberapa cara atau langkah yang
perlu diambil untuk menanggulangi kecelakaan yang terjadi di tempat kerja, yaitu melalui:
1. Peraturan perundang-undangan.
2. Standarisasi.
3. Inspeksi.
4. Riset teknis.
5. Riset medis.
6. Riset psikologis.

25
7. Riset statistik.
8. Pendidikan.
9. Latihan.
10. Persuasi.
11. Asuransi.

2. Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja termasuk dalam jenis perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan
mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Kesehatan kerja
bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan hubungan
kerja yang dapat merugikan kesehatan atau kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh
melakukan pekerjaannya.
a) Riwayat Kesehatan Kerja
Menilik pada sejarahnya, kesehatan kerja ini dimaksudkan sebagai perlindungan bagi
buruh terhadap pemerasan (eksploitasi) tenaga buruh oleh majikan yang misalnya untuk
mendapat tenaga yang murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi, anak dan wanita untuk
pekerjaan yang berat dan waktu yang tak terbatas[ Kesehatan kerja pertama kali diatur dalam:
(1) Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de Nachtarbeid van de Vroewen, yang
biasanya disingkat Maatregelen, yaitu peraturan tentang pembatasan pekerjaan anak
dan wanita pada malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun 1925,
mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926.
(2) Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige Persoonen ann
Boorvan Scepen, biasanya disingkat “Bepalingen Betreffende”, yaitu peraturan tentang
pekerjaan anak dan orang muda di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87
Tahun 1926, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1926.

Sebagaimana diketahui, kedua peraturan ini hanya membatasi pada hal-hal tertentu, dan
merupakan tindak lanjut dari beberapa konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah
Hindia Belanda. Di samping kedua peraturan ini pemerintah Hindia Belanda juga
mengeluarkan peraturan-peraturan lainnya terkait kesehatan kerja. Namun karena sifatnya
yang tidak menyeluruh dan hanya berlaku pada tempat dan golongan tertentu, hal itu justru
menimbulkan pluralitas hukum.
Setelah Indonesia merdeka pun peraturan perundangan mengenai kesehatan kerja ini
tetap mengalami penggodokan, hingga akhirnya dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12
Tahun 1948, yang dimaksudkan sebagai undang-undang pokok yang memuat aturan-aturan
dasar tentang:
(1) Pekerjaan anak;
(2) Pekerjaan orang muda;
(3) Pekerjaan wanita;
(4) Waktu kerja, istirahat, dan mengaso;
(5) Tempat kerja dan perumahan buruh; untuk semua pekerjaan tidak membeda-bedakan
tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian,
perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.

Undang-undang ini terus berlaku berikut peraturan pelaksanaannya hingga kemudian


undang-undang kerja ini dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003.

26
b) Tujuan Kesehatan Kerja
Beberapa tujuan diterapkannya prinsip kesehatan kerja, adalah:
1. Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya,
baik fisik, mental maupun sosial.
2. Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh kondisi lingkungan kerja.
3. Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan dengan tenaga kerja.
4. Meningkatkan produktivitas kerja.

c) Sumber-sumber Bahaya bagi Kesehatan Tenaga Kerja


Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya:
1. Faktor fisik, berupa suara terlalu bising, suhu terlalu tinggi atau terlalu rendah, radiasi,
getaran mekanis, dan sebaginya.
2. Faktor kimia, berupa gas/uap, cairan, debu-debuan, butiran kristal, dan bahan-bahan
kimia yang mempunyai sifat racun.
3. Faktor biologis, berupa bakteri virus, jamur, cacing, serangga, tumbuh-tumbuhan dan
semacamnya yang hidup dalam lingkungan tempat kerja.
4. Faktor fatal, berupa sikap badan yang tidak baik pada waktu kerja, gerak yang senantiasa
duduk atau berdiri, proses, sikap dan cara kerja yang monoton, beban kerja melampaui
batas kemampuan, dan lain-lain.
5. Faktor psikologis, berupa kerja yang terpaksa/dipaksakan tidak sesuai kemampuan,
suasana kerja tidak menyenangkan, pikiran yang tertekan, dan pekerjaan yang
senderung mudah menimbulkan kecelakaan.

d) Tentang Pekerja Anak


Dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, secara tegas melarang
pengusaha mempekerjakan anak. Larangan itu sifatnya mutlak, artinya di semua perusahaan.
Tidak dibedakan apakah pekerjaan itu dilakukan di perusahaan perindustrian, di perusahaan
pertanian, ataukah di perusahaan perdagangan. Hal ini juga berkaitan dengan program wajib
belajar yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, tentunya anak-anak yang
berusia di bawah 14 tahun sedang giat-giatnya belajar, dan bukannya bekerja. Jadi, larangan
pekerjaan anak itu bermaksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya.
Namun kenyataannya, hingga saat ini masih banyak anak-anak yang terpaksa ikut
bekerja untuk membantu orang tuanya. Banyak pula dari mereka yang harus meninggalkan
bangku sekolah dan memilih bekerja karena himpitan ekonomi keluarga. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa perekonomian negara kita memang belum memungkinkan untuk
membebaskan anak-anak dari pekerjaan. Oleh karena itu, Undang-undang 13 Tahun 2003 ini
lebih lanjut mengatur mengatur tentang pekerjaan anak, yakni pada Pasal 68 sampai dengan
Pasal 75.
Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,
dan sosial. Anak juga dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat berwenang. Selain itu
pula, anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Mengenai perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan minat, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-115/MEN/VII/2004. Di samping itu, pengusaha yang

27
mempekerjakan anak untuk hal ini diwajibkan melapor ke instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota anak itu dipekerjakan. Laporan tersebut harus
dilakukan paling lambat empat belas hari sebelum pengusaha mempekerjakan anak.

e) Tentang Pekerja Perempuan


Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidak semudah yang dibayangkan. Masih ada
beberapa hal yang harus diperhatikan mengingat bahwa:
1. Para wanita umumnya bertenaga lemah, halus tapi tekun.
2. Norma-norma susila harus diutamakan, agar tenaga kerja wanita tidak terpengaruh oleh
perbuatan negatif dari tenaga kerja lawan jenisnya, terutama kalau dipekerjakan pada
malam hari.
3. Para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang halus
sesuai dengan kehalusan sifat dan tenaganya.
4. Para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami atau
berkeluarga yang dengan sendirinya mempunyai beban-beban rumah tangga yang harus
dilakukannya pula.
Semua itu harus menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan norma kerja bagi
perempuan. Untuk itu, Pasal 76 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan norma
kerja perempuan.

f) Tentang Waktu Kerja, Mengaso, dan Istirahat (Cuti)


Pada hakikatnya pemberian waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh bertujuan
untuk mengembalikan kesegaran dan kesehatan baik fisik, mental, dan sosial pekerja/buruh.
Sebagaimana manusia pada umumnya, para pekerja/buruh memiliki fungsi dan kewajiban
sosial dalam masyarakat dan keluarganya. Sehingga dalam masa istirahat atau cuti inilah
mereka dapat menunaikan fungsi dan kewajiban sosialnya. Beberapa peraturan perundangan
yang mengatur terkait hal ini adalah:
1. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 79 sampai
dengan Pasal 84 dan cuti tahunan yang berkaitan dengan PHK, yaitu Pasal 156 ayat (4).
2. Kepmenakertrans No. KEP-51/Men/IV/2004 tentang Istirahat Panjang pada Perusahaan
Tertentu.
3. Kepmenakertrans No. KEP-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor
Usaha Energi dan sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.

Penggunaan istilah “waktu kerja”, “mengaso” dan “istirahat” ini pada dasarnya bertujuan
untuk mempermudah pengertian, sebab yang dimaksud dengan:
2. Waktu kerja, adalah waktu efektif di mana pekerja/buruh hanya melakukan pekerjaannya.
Waktu kerja menurut Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003, meliputi: (a) 7 jam 1 hari dan 40
jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau (b) 8 jam 1 hari dan 40 jam 1
minggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
3. Waktu mengaso, yaitu waktu istirahat bagi pekerja/buruh setelah melakukan pekerjaan 4
jam berturut-turut yang tidak termasuk waktu kerja. Waktu mengaso paling sedikit adalah
30 menit.
4. Waktu istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu di mana pekerja/buruh diperbolehkan untuk
tidak masuk kerja karena alasan-alasan yang diperbolehkan undang-undang. Secara
yuridis, waktu cuti ini dibedakan menjadi empat:
a. Istirahat (cuti) mingguan, yaitu 1 hari untuk 6 hari kerja seminggu, atau 2 hari untuk
5 hari kerja seminggu.

28
b. Istirahat (cuti) tahunan, yaitu sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh
yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan terus-menerus (Pasal 79 ayat (2) huruf
c UU No. 13 Tahun 2003).
c. Istirahat (cuti) panjang, yaitu sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada
tahun ke-7 dan 8 masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja
selama 6 tahun berturut-turut, dan untuk 2 tahun berjalan tidak berhak mengambil
cuti tahunan lagi.
d. Istirahat (cuti) haid, hamil/bersalin. Cuti haid hanya berlaku untuk hari pertama dan
kedua bagi pekerja/buruh perempuan (dengan syarat memberitahukan kepada
pengusaha). Untuk pekerja/buruh perempuan yang sedang hamil dapat mengambil
cuti satu setengah bulan sebelum melahirkan dan setengah bulan setelah melahirkan.
Di samping itu, bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran dapat
mengambil cuti satu setengah bulan sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.

3. Jaminan Sosial
Jaminan sosial di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat diartikan sebagai suatu bentuk perlindungan sosial
untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
Sedangkan secara luas, jaminan sosial merupakan berbagai usaha yang dapat dilakukan oleh
masyarakat dan/atau pemerintah. Menurut Sentanoe Kertonegoro, usaha-usaha yang
dimaksudkan ialah usaha-usaha yang berupa pencegahan dan pengembangan, berupa
pemulihan dan penyembuhan, berupa pembinaan, dan di bidang perlindungan
ketenagakerjaan yang khusus ditujukan untuk masyarakat tenaga kerja yang merupakan inti
tenaga pembangunan dan selalu menghadapi resiko-resiko sosial ekonomis, yang
digolongkan dalam Asuransi Sosial (Sosial Insurance).
Sedangkan menurut International Labour Organization (ILO), jaminan sosial adalah
jaminan yang diberikan kepada masyarakat melalui suatu lembaga tertentu yang dapat
membantu anggota masyarakat dalam menghadapi resiko yang mungkin dialaminya. Adapun
kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai program jaminan
sosial meliputi: (a) tujuan berupa perawatan medis, (b) terdapat UU yang mengatur tentang
hak dan kewajiban lembaga, (c) kegiatan diselenggarakan oleh suatu lembaga tertentu.
Pada hakikatnya, jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian
berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau
seluruh penghasilan yang hilang karena suatu peristiwa yang menimpa tenaga kerja dalam
melakukan pekerjaan. Terdapat dua aspek penting yang tercakup dalam program jaminan
sosial, yaitu: (1) memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal
bagi tenaga kerja beserta keluarganya, (2) merupakan penghargaan kepada pekerja yang
telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan atau semacamnya.
Menurut Mondy dan Noe, jaminan sosial merupakan bentuk kompenssi atau imbalan
dalam bentuk uang yang tidak diterima oleh pekerja. Yang kemudian Redja menambahkan
bahwa terdapat beberapa teori tentang kompensasi, meliputi teori resiko kerja, teori biaya
sosial rendah, dan teori kompromi sosial.
Selain itu, jaminan sosial juga memiliki ruang lingkup yang meliputi jaminan kecelakaan
kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua.

29
a) Jaminan Kecelakaan Kerja
Jaminan kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi pada hubungan pekerjaan,
termasuk sakit akibat hubungan kerja atau kecelakaan yang terjadi ketika dari rumah menuju
tempat kerja dan pulang kembali melalui jalan yang biasa dilalui. Pekerja yang tertimpa
kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja berupa penggantian biaya berupa (a)
biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan ke rumah sakit dan/atau ke
rumahnya, termasuk biaya P3K, (b) biaya pemeriksaan dan/atau perawatan selama dirumah
sakit, termasuk rawat jalan, (c) biaya rehabilitasi berupa alat bantu dan/atau alat ganti bagi
tenaga kerja yang anggota badannya hilang atau tidak berfungsi karena kecelakaan kerja.
Selain itu, tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja juga diberikan santunan berupa
uang, meliputi:
1. Santunan sementara tidak mampu bekerja, dengan besar santunan 4 bulan pertama 100%
x upah sebulan, 4 bulan kedua 75% x upah sebulan, dan bulan seterusnya 500% x upah
sebulan.
2. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya, dibayarkan sekaligus dengan besaran
santunan % sesuai tabel x 70 bulan upah.
3. Santunan cacat total untuk selama-lamanya, dibayarkan secara sekaligus dan secara
berkala dengan besarnya santunan:
(a) sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah,
(b) berkala sebesar Rp 50.000,- selama 24 bulan.
4. Santunan cacat kekurangan fungsi, dibayarkan sekaligus dengan besaran santunan %
berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah.
5. Santunan kematian, dibayarkan sekaligus dengan besaran 60% x 70 bulan upah,
sekurang-kurangnya sebesar jaminan kematian dan secara berkala dengan besaran Rp
50.000,- selama 24 bulan, serta biaya pemakaman sebesar Rp 600.000,-.

Dalam kaitannya dengan kecelakaan kerja, terdapat suatu jenis kecelakaan yang tidak
dikategorikan sebagai kecelakaan kerja, meliputi:
1. Kecelakaan yang terjadi pada waktu cuti.
2. Kecelakaan yang terjadi di mes/perkemahan yang tidak berada di lokasi tempat kerja.
3. Kecelakaan yang terjadi dalam rangka melakukan kegiatan yang bukan merupakan tugas
dari atasan, untuk kepentingan perusahaan.
4. Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan meninggalkan tempat kerja
untuk kepentingan pribadi.

b) Jaminan Kematian
Kematian pada umumnya menimbulkan kerugian finansial bagi mereka yang
ditinggalkannya, baik berupa kehilangan mata pencaharian maupun biaya perawatan selama
di rumah sakit hingga pemakaman. Sehingga dengan adanya hal tersebut, program jaminan
sosial tenaga kerja, pemerintah mengadakan program jaminan kematian.
Kematian yang di maksudkan disini ialah meninggal pada waktu pekerja menjadi peserta
jaminan sosial atau sebelum melewati enam bulan sejak pekerja berhenti bekerja, yang
santunan tersebut diberikan kepada ahli waris pekerja yang di prioritaskan mulai dari
istri/suami yang sah, anak dibawah 21 tahun yang belum menikah dan belum bekerja, orang
tua, cucu, kakek/nenek, saudara kandung, dan mertua. Apabila pekerja yang meninggal tidak
memiliki ahli waris, maka yang diberikan hanya biaya pemakaman saja, yang diberikan
kepada para pengurus pemakaman tenaga kerja tersebut. Jaminan kematian ini diberikan
kepada ahli waris tenaga kerja yang meninggal sebelum mencapai usia 55 tahun. Karena

30
setelah mencapai usia tersebut, tenaga kerja yang bersangkutan akan mendapat jaminan hari
tua.
Besarnya jaminan kematian sebesar 0,30% dari upah pekerja selama sebulan yang
ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha yang secara rutin harus dibayar langsung oleh
pengusaha kepada Badan Penyelenggara. Jaminan yang diterima berdasarkan program ini
ialah:
1. Biaya pemakaman sebesar Rp 1.000.000,- apabila pekerja meninggal karena
kecelakaan/penyakit dalam hubungan kerja/hubungan industrial.
2. Santunan berupa uang sebesar Rp 5.000.000,- yang diberikan kepada ahli waris pekerja
tersebut.

Para ahli waris atau pihak yang berhak menerima santunan, bail berupa santunan dan
biaya pemakaman mengajukan permohonan kepada Badan Penyelenggara dengan
melampirkan bukti-bukti berupa kartu peserta dan surat keterangan kematian. Dalam hal
magang atau murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana meninggal
dunia bukan karena kecelakaan kerja yang berhubungan dengan hubungan kerja, maka
keluarga yang ditinggalkan tidak berhak atas jaminan kematian.

c) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Pemeliharaan kesehatan merupakan bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar
pekerja memperoleh kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, sehingga
memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Program pemeliharaan kesehatan merupakan
upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan
pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan, termasuk kehamilan dan persalinan.
Pemeliharaan kesehatan tersebut meliputi pelayanan medis dan pemberian obat-obatan bagi
pekerja dan bagi anggota keluarganya yang menderita sakit, misal dalam bentuk rawat jalan,
rawat inap, obat-obatan, dan penunjang diagnostik termasuk pemeliharaan kehamilan dan
persalinan. Selain pelayanan tersebut, juga terdapat pelayanan secara khusus yang hanya
diberikan kepada anggota keluarganya, antara lain pelayanan kacamata, gigi palsu, alat bantu
dengar, kaki atau tangan palsu, dan mata palsu.
Iuran jaminan pemeliharaan kesehatan sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha yang
besarnya 6% dari upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan
upah tenaga kerja sebulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga. Jaminan tersebut
diberikan kepada tenaga kerja atau suami/istri yang sah dan anak maksimal 3 orang. Dalam
penyelenggaraan paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar, Badan Penyelenggara wajib
memberikan kartu pemeliharaan kesehatan kepada setiap peserta, serta memberikan
keterangan yang perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang
diselenggarakan. Untuk memahami program jaminan sosial tenaga kerja, perlu diketahui pula
fungsi program tersebut, yaitu:
1. Perlindungan, bersifat sukarela seperti melalui asuransi komersial tidak mampu
menjamin setiap orang bersedia dan mampu menyisihkan dana untuuk ikut dalam
program asuransi. Sehingga pekerja memiliki kepastian memperoleh resiko sosial dan
ekonomi.
2. Produksi, tenaga kerja akan lebih produktif dalam bekerja dan hasil produksi pada
perusahaan juga akan baik karena adanya jaminan kesehatan.
3. Redistribusi pendapatan, tenaga kerja memberikan kontribusi sesuai dengan
penghasilannya dan memperoleh jaminan sosial sesuai dengan kebutuhannya.

31
4. Kemasyarakatan, bisa mengurangi perselisihan antara tenaga kerja dengan pemberi
kerja yang pada akhirnya dapat mencegah timbulnya keresahan sosial.

Program jaminan sosial, wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan yang


mempekerjakan pekerja dalam suatu hubungan kerja dengan ketentuan yang bersifat
alternatif sebagai berikut:
1. Minimal 10 orang dan/atau membayar upah minimal Rp 1.000.000,- sebulan atau bisa
juga pekerja dalam perusahaan kurang dari 10 orang dan/atau upah leih dari Rp
1.000.000.- sebulan, maka perusahaan tersebut wajib menjadi peserta jamsostek.
2. Lebih dari 10 pekerja dengan upah kurang dari Rp 1.000.000,- perusahaan tersebut juga
wajib menjadi peserta jamsostek.
3. Jika terdapat pelanggaran dalam hal diatas, dikenakan kurungan maksimal 6 bulan
dan/atau denda maksimal Rp 50.000.000,-.

d) Jaminan Hari Tua


Hari tua dapat diartikan sebagai umur pada saat produktivitas tenaga kerja menurun,
sehingga perlu di ganti dengan tenaga kerja yang lebih muda, termasuk apabila tenaga kerja
mengalami cacat tetap dan total. Jaminan hari tua merupakan program tabungan wajib yang
berjangka panjang, dimana iurannya ditanggung bersama antara pengusaha (3,70%) dan
pekerja (2%). Kepesertaan jaminan hari tua bersifat wajib nasional bagi semua pekerja yang
memenuhi persyaratan: pekerja harian lepas, borongan dan pekerja dengan perjanjian kerja
waktu tertentu yang harus bekerja diperusahaannya selama lebih dari tiga bulan. Apabila
kurang dari tiga bulan, maka pengusaha tidak wajib mengikutsertakan dalam program
tersebut, tetapi hanya wajib mengikutsertakan dalam program jaminan kecelakaan kerja dan
jaminan kematian.
Umumnya, jaminan haari tua diberikan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun ,
tetapi apabila tenaga kerja mengalami cacat sehingga tidak bisa bekerja lagi maka jaminan
tersebut dapat diberikan. Tetapi, apabila tenaga kerja meninggal dunia jaminan tersebut akan
diberikan kepada ahli waris. Selain itu, jika tenaga kerja di PHK sebelum usia 55 tahun,
jaminan tersebut dapat diberikan setelah yang bersangkutan memiliki masa kepesertaan
minimal lima tahun dengan masa tunggu enam bulan. Jaminan hari tua dibayarkan pada saat
pekerja mengalami cacat total untuk selama-lamanya dapat dilakukan dengan:
1. Secara sekaligus apabila jumlah seluruh jaminan hari tua yang harus dibayarkan kurang
dari Rp 3.000.000,-.
2. Secara berkala apabila seluruh jaminan hari tua yang harus dibayar mencapai lebih dari
Rp 3.000.000,- atau dilakukan paling lama 5 tahun.

E. Pentingnya Undang-Undang Tenaga Kerja


Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan mengatur tentang segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah kerja. Tujuan dari
dibentuknya hukum ketenagakerjaan adalah untuk :
 memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
 mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
 memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan;
dan
 meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

32
Selain itu, hukum ketenagakerjaan juga mengatur hubungan antara tenaga kerja
dengan pengusaha. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha
dan pekerja/buruh. Hubungan kerja terdiri dari dua macam yaitu hubungan kerja berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian kerja yang dibuat tersebut dapat dilakukan secara
tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Mengenai hubungan kerja
tersebut diatur di Bab IX Pasal 50-66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja yang dibentuk antara pengusaha dan pekerja/buruh haruslah berlandaskan
dan sesuai dengan substansi dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
peraturan hukum lainnya yang terkait.
Dalam Undang-Undang RI No. 13 Tentang Ketenagakerjaan terdapat 193 Pasal dan
18 BAB, yaitu:
1. Bab I Ketentuan Umum (Definisi-definisi ketenagakerjaan, tenaga kerja, mogok kerja
dll)
2. Bab II Landasan Asas dan Tujuan
3. Bab III Kesempatan dan Perlakuan yang Sama
4. Bab IV Perencanaan Tenaga dan Informasi
5. Bab V Pelatihan Kerja (Pelatihan kerja, magang, dll)
6. Bab VI Penempatan Tenaga Kerja (Penempatan kerja dalam dan luar negeri, pindah
kerja dll)
7. Bab VII Perluasan Kesempatan Kerja
8. Bab VIII Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Ketentuan, perizinan, kewajiban dll)
9. Bab IX Hubungan Kerja (Perjanjian Kerja, pemborongan pekerjaan, dll)
10. Bab X Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan (Perlindungan penyandang
cacat; anak; perempuan, aturan waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja,
pengupahan, kesejahteraan)
11. Bab XI Hubungan Industrial (Fungsi pemerintah, serikat pekerja/buruh, organisasi
untuk pengusaha, Bipartit, Tripartit, peraturan perusahaan, aturan pembuatan
perjanjian kerja bersama, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
mogok kerja, perusahaan lock out dll)
12. Bab XII Pemutusan Hubungan Kerja (Ketentuan dan syarat-syarat PHK, besaran
pesangon dll)
13. Bab XIII Pembinaan (Pembinaan ketenagakerjaan)
14. Bab XIV Pengawasan (Ketentuan-ketentuan pengawasan ketenagakerjaan)
15. Bab XV Penyidikan (Penyidik pegawai negeri sipil)
16. Bab XVI Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi (Ketentuan pidana, sanksi
administrasi atas pelanggaran-pelanggaran)
17. Bab XVII Ketentuan Peralihan
18. Bab XVIII Ketentuan Penutup (Ordonansi dan aturan lainnya tentang
ketenagakerjaan)

Di dalam menjalankan aktivitas perusahaan, pengusaha mempunyai kewajiban untuk


memenuhi hak dari setiap pekerja. Hak pekerja tersebut diantaranya yaitu hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi atas dasar apapun, hak untuk
mengembangkan kompetensi kerja, hak untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya, hak untuk mendapatkan upah atau penghasilan yang sesuai dengan harkat
dan martabat manusia, hak untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, kesehatan,
dan keselamatan kerja.
Apabila pekerja merasa bahwa hak-haknya yang dilindungi dan diatur di dalam UU No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut merasa tidak terpenuhi dan diabaikan oleh

33
pengusaha maka hal tersebut akan dapat menyebabkan perselisihan-perselisihan tertentu
antara pengusaha dan pekerja. Jika perselisihan itu terjadi, maka peraturan hukum di
Indonesia telah mengaturnya di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Setiap bentuk
perselisihan tersebut memiliki cara atau prosedur tersendiri untuk menyelesaikannya baik itu
melalui perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau diselesaikan di Pengadilan
Hubungan Industrial.
Peraturan-peraturan terkait Ketenagakerjaan:
 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
 Undang-Undang No. 39 Tahun 200 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
 Undang-Undang No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81
Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81
Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan)
 Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No.182
Concerning the Prohibition and Immediate Action for Elimination of the Worst Forms
of Child Labour (Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
 Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 111
concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO
mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan)
Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 Pengesahan tentang ILO Convention No. 138
concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja)
 Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 105
concerning the Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO mengenai Penghapusan
Kerja Paksa)
 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Hari Tua
 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Pensiun
 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kerja Dan Jaminan Kematian
 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pengawasan
Terhadap Penyelenggaraan Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Di Luar Negeri
 Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Serta Pelaksanaan Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping
 Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan

34
 Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan
 Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja
 Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan dan
Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia
 Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja
Indonesia
 Peraturan Presiden No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

F. Peran Serikat Pekerja


Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Tenaga Kerja tahun 2003
No.17, serikat buruh/serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Tujuan didirikannya serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk
memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dalam menciptakan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis dan berkeadilan. Dengan adanya Serikat Pekerja/Serikat Buruh
hendaknya dapat membawa dampak yang positif bagi hak-hak pekerja mengingat dalam
kasus perburuhan yang ada sering ditemukan kurangnya keperpihakan kepada buruh karena
lemahnya perlindungan dari pemerintah.
Sesuai dengan pasal 102 UU Tenaga Kerja tahun 2003, dalam melaksanakan
hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan
aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Serikat Buruh/Serikat pekerja berbeda dengan federasi, dan konfederasi serikat
pekerja. Federasi serikat pekerja adalah bentukan dari sekurang-kurangnya 5 serikat pekerja.
Dan konfederasi serikat pekerja merupakan gabungan dari sekurang-kurangnya 3 federasi
serikat pekerja. Kegunaan dari pembedaan ini adalah supaya serikat-serikat pekerja ini
memiliki kekuatan dan dukungan yang lebih besar dari bantuan serikat pekerja lainnya. Yang
kemudian mempermudah usaha serikat pekerja di perusahaan untuk memperjuangkan
kesejahteraan para pekerja.
Sesuai pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000, sebuah serikat buruh/serikat pekerja dapat
dibentuk oleh minimal 10 orang karyawan di suatu perusahaan. Dalam undang-undang yang
sama disebutkan bahwa pembentukan serikat pekerja ini tidak diperbolehkan adanya campur
tangan dari perusahaan, pemerintah, partai politik, atau pihak manapun juga. Serikat pekerja
juga harus memiliki anggaran dasar yang meliputi :
 nama dan lambang
 dasar negara, asas, dan tujuan
 tanggal pendirian
 tempat kedudukan
 keanggotaan dan kepengurusan
 sumber dan pertanggungjawaban keuangan
 ketentuan perubahan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga

35
Pada dasarnya sebuah serikat buruh/serikat pekerja harus terbuka untuk menerima
anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku dan jenis kelamin. Jadi sebagai
seorang karyawan di suatu perusahaan, anda hanya tinggal menghubungi pengurus serikat
buruh/serikat pekerja di kantor anda, biasanya akan diminta untuk mengisi formulir
keanggotaan untuk data. Ada pula sebagian serikat pekerja yang memungut iuran bulanan
kepada anggotanya yang relatif sangat kecil berkisar Rp. 1,000 - Rp. 5,000, gunanya untuk
pelaksanaan-pelaksanaan program penyejahteraan karyawan anggotanya.
Banyak sekali keuntungan menjadi anggota serikat pekerja, terlebih jika serikat
pekerja perusahaan anda sudah berafiliasi ke federasi serikat pekerja dan konfederasi serikat
pekerja. Sebagai contoh, anggota serikat pekerja akan mendapatkan program-program
training peningkatan kemampuan kerja dan diri seperti training negotiation skill, training
pembuatan perjanjian kerja bersama, dll. Selain itu, anggota serikat pekerja juga akan
mendapat bantuan hukum saat tertimpa masalah dengan perusahaan yang berkaitan dengan
hukum dan pemenuhan hak-hak sebagai karyawan.
Dalam pasal 14, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja tertera
bahwa seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh di satu perusahaan. Apabila seorang pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan namanya tercatat di lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, yang
bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh yang
dipilihnya.
pekerja dapat berhenti sebagai anggota Serikat Buruh/Serikat Pekerja dengan syarat
ada pernyataan tertulis. Pekerja juga dapat diberhentikan dari Serikat Buruh/Serikat Pekerja
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga Serikat
Buruh/Serikat Pekerja yang bersangkutan.
Pekerja, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota Serikat Buruh/Serikat
Pekerja yang berhenti atau diberhentikan tetap harus bertanggung jawab atas kewajiban yang
belum dipenuhinya terhadap Serikat Buruh/Serikat Pekerja (pasal 17 UU No. 21 tahun 2000).
UU No. 21 tahun 2000 mengenai Serikat Buruh/Serikat Pekerja mengatur tentang tata cara
pemberitahuan dan pencatatan Serikat Buruh/Serikat Pekerja dalam pasal 18-24.
 Serikat Buruh/Serikat Pekerja, federasi dan konfederasi yang telah dibentuk harus
memberitahukan keberadaannya kepada instansi pemerintah setempat yang
menangani urusan perburuhan.
 Dalam surat pemberitahuan, harus dilampirkan daftar nama anggota, pendiri dan
pengurusnya serta salinan peraturan organisasi
 Badan pemerintah setempat harus mencatat serikat yang telah memenuhi persyaratan
dan memberikan nomor pendaftaran kepadanya dalam kurun waktu 21 hari kerja
setelah tanggal pemberitahuan. (Apabila sebuah serikat belum memenuhi persyaratan
yang diminta, maka alasan penundaan pendaftaran dan pemberian nomor
pendaftaran kepadanya harus diserahkan oleh badan pemerintah setempat dalam
tenggang waktu 14 hari setelah tanggal penerimaan surat pemberitahuan)
 Serikat harus memberitahukan instansi pemerintah diatas bila terjadi perubahan
dalam peraturan organisasinya. Instansi pemerintah tersebut nantinya harus
menjamin bahwa buku pendaftaran serikat terbuka untuk diperiksa dan dapat diakses
masyarakat luas.
 Serikat Yang telah memiliki nomor pendaftaran wajib menyerahkan pemberitahuan
tertulis tentang keberadaan mereka kepada pengusaha/perusahaan yang terkait

36
Selengkapnya mengenai prosedur pendaftaran Serikat Buruh/Serikat Pekerja diatur oleh
Keputusan Menteri No.16/MEN/2001 tentang Prosedur Pendaftaran Resmi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
 Melakukan perundingan Perjanjian Kerja Bersama dengan pihak manajemen
 Mewakili pekerja dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di dewan dan
lembaga perburuhan
 Membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha
peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh.
 Mengadakan kegiatan perburuhan selama tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum perundang-undangan yang berlaku.

G. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri


1. Jaminan Keamanan TKI
Program penempatan Tenaga Kerja Indonesia atau lebih sering disingkat TKI ke luar
negeri, merupakan salah satu upaya penanggulangan pengangguran. Peranan pemerintah
dalam hal ini dititikberatkan pada aspek pembinaan, serta perlindungan dan memberikan
kemudahan kepada TKI maupun PJTKI. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam
mengatur penempatan TKI semakin jelas dan nyata dengan adanya Undang-undang No. 39
Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Undang-undang ini tentunya juga mengatur masalah perlindungan bagi TKI.
Dari sekian banyak persoalan terkait TKI, jarang yang menempatkan pendidikan sebgai
salah satu faktor terjadinya kekerasan terhadap TKI, padahal faktor pendidikan ini begitu
penting dalam menentukan nasib TKI di kemudian hari. Selain itu terdapat pula efek negatif
lainnya dari penempatan TKI ini.
Penyebab utama terjadinya ketidakamanan yang diderita oleh para TKI, khususnya
tenaga kerja wanita (TKW) adalah tingkat pendidikan yang rendah. Dari sekian banyak TKI
yang dikirim ke luar negeri rata-rata pendidikan tertinggi mereka adalah tingkat SLTA,
sehingga menyebabkan TKI kurang bisa memberikan daya tawar kepada majikan atau
perusahaan yang mempekerjakannya. Tingkat pendidikan juga sangat berpengaruh tentang
penguasaan bahasa dan budaya masyarakat di tempat mereka kerja. Karena menjadi TKI
tidak hanya bermodal keahlian teknis semata.
Transparansi informasi memiliki nilai positif agar mereka yang berkeinginan bekerja ke
luar negeri mampu membekali diri dengan keahlian atau keterampilan. Dengan demikian,
mereka tidak hanya berbondong-bondong bekerja ke luar negeri karena bayangan
menggiurkan, tetapi justru melihat pekerjaan yang aman sebagi modal untuk kehidupan masa
depan.
Perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri dimulai dan terintegrasi dalam setiap
proses penempatan TKI, dimulai dari proses penempatan, selama bekerja, hingga pulang ke
tanah air. Oleh karena itu, yang lebih diutamakan dalam rangka perlindungan maksimal bagi
TKI adalah ketaatan semua pihak dalam menjalankan prosedur yang telah ditentukan. Di sisi
lain, yang diperlukan dalam perlindungan TKI di luar negeri adalah kepastian pekerjaan
sebagaimana dinyatakan dalam job order. Dalam hal ini dituntut keseriusan dan tanggung
jawab PJTKI yang bersangkutan maupun mitra kerjanya di luar negeri.
Untuk menangulangi permasalahan-permasalahan terkait TKI, hal yang perlu dilakukan
oleh pemerintah adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan status perangkat hukum dalam penempatan tenaga kerja luar negeri.

37
b. Menjalin kerja sama bilateral dengan negara-negara penerima TKI maupun dengan
sesama negara pengirim.
c. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai proses mekanisme penempatan
tenaga kerja ke luar negeri guna memperkecil penempatan TKI tanpa dokumen (ilegal)
serta pelarian TKI dari tempat kerja.
d. Promosi dan analisis pasar kerja internasional, serta memanfaatkan pasar kerja formal
secara maksimal, dan sebagainya.

2. Jenis-jenis Perlindungan TKI


Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar
negeri menentukan ada tiga jenis perlindungan bagi TKI, yaitu: (a) Perlindungan TKI
prapenempatan, (b) Perlindungan TKI selama penempatan, dan (c) Perlindungan TKI purna
penempatan.
a) Perlindungan TKI prapenempatan
Perlindungan TKI prapenempatan dilakukan oleh pemerintah, Dinas Tenaga Kerja
Provinsi dan/atau Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota. Perlindungan ini dapat dilakukan
dalam bentuk pengawasan terhadap:
1) Permintaan tenaga kerja (job order/demand letter/visa wakalah);
2) Perjanjian Kerja Sama Penempatan;
3) Perjanjian Penempatan;
4) Perjanjian Kerja;
5) Asuransi; dan
6) Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), yaitu kartu identitas bagi TKI yang memenuhi
persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.

b) Perlindungan TKI selama penempatan


Selama penempatan di luar negeri, TKI tetap mendapat perlindungan khusus dari
pemerintah maupun pelaksana penempatan TKI swasta, meliputi:
1) Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI di tempat kerja yang tidak
sesuai dengan isi dalam surat perjanjian yang disepakati.
2) Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan TKI dengan menetapkan Atase
Ketenagakerjaan pada Perwakilan RI di luar negeri.
3) Perwakilan RI melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana
penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di luar negeri.
4) Perlindungan terhadap TKI di luar negeri dilakukan dengan memberikan bantuan hukum
sesuai peraturan perundangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.
5) Pembelaan atas pemenuhan hak sesuai perjanjian kerja atuperaturan perundangan di
negara TKI ditempatkan.

Selain perlindungan selama penempatan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi Nomor PER-22/MEN/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan
Perlindungan TKI di lUar Negeri juga menentukan bahwa perlindungan penempatan oleh
Perwakilan RI di luar negeri, meliputi:
1) Penyelesaian perselisihan antara TKI dengan pengguna jasa TKI;
2) Pemberian bantuan hukum;
3) Advokasi atau pendampingan pada TKI yang bermasalah atau berselisih dengan majikan;
4) Bantuan konsuler dan upaya diplomatik sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku; dan

38
5) Asuransi.

c) Perlindungan TKI purna penempatan


Adapun jenis perlindungan TKI purna penempatan, meliputi:
1) Kepulangan TKI yang disebabkan oleh berakhirnya perjanjian kerja, pemutusan
hubungan kerja, terjadinya perang, wabah penyakit di negara tujuan, dan sebab-sebab
lainnya.
2) Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan, pelaksana penempatan TKI
berkewajiban: (1) Memberitahukan kepada keluarga TKI, (2) Mencari informasi tentang
sebab-sebab kematian, (3) Memulangkan jenazah ke tempat asal, (4) Mengurus
pemakaman TKI di negara tujuan atas persetujuan keluarga, (5) Memberi perlindungan
atas harta TKI, dan (6) Mengurus pemenuhan hak yang seharusnya diterima TKI.
3) Mengurus kepulangan TKI dalam hal terjadi wabah penyakit, bencana alam, perang dan
dideportasi, dari negara asal hingga tiba di daerah asal.
4) Pengurusan kepulangan TKI meliputi: (1) Kemudahan atau fasilitas kepulangan; (2)
Pemberian failitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan (3) Pemberian
upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihak lain yang
tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

3. Perjanjian Bilateral
Pemerintah Indonesia sampai saat ini telah menandatangani perjanjian kerjasama
penempatan TKI (MoU) dengan tiga negara penerima, yaitu Yordania pada tahun 1996,
Kuwait tahun 1996, dan Malaysia tahun 2004. Saat ini sedang dipersiapkan perjanjian
kerjasama penempatan dengan negara Suriah, Qatar, Korea Selatan, Brunei Darussalam,
dan Taiwan.
Guna membantu para pekerja/buruh Indonesia yang berada di luar negeri, saat ini telah
ditempatkan tiga petugas ketenagakerjaan di tiga perwakilan RI, yaitu di KBRI Kuala Lumpur,
Riyadh, dan Arab Saudi. Penambahan jumlah petugas ini bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi TKI dengan mempertimbangkan jumlah penempatan, permasalahan TKI,
dan potensi pasar kerja di setiap negara. Menteri Keuangan dan Meneg PAN juga telah
menyetujui usulan penempatan petugas ketenagakerjaan di Kwait, Kinabalu, Singapura, dan
Hongkong, yang saat ini tinggal menunggu konfirmasi dari Menteri Luar Negeri.

TABEL 1: MACAM CACAT TETAP SEBAGIAN


MACAM CACAT SEBAGIAN TETAP % x UPAH
Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40
Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35
Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35
Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30
Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32
Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28
Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70
Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35
Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50
Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25
Kedua belah mata 70

39
Sebelah mata 35
Pendengaran pada kedua belah telinga 40
Pendengaran pada sebelah telinga 20
Ibu jari tangan kiri 12
Ibu jari tangan kanan 15
Telunjuk tangan kanan 9
Telunjuk tangan kiri 7
Salah satu jari lain dari tangan kanan 4
Salah satu jari lain dari tangan kiri 3
Ruas pertama dari telunjuk kanan 4,5
Ruas pertama dari telunjuk kiri 3,5
Ruas pertama jari lain dari tangan kanan 2
Ruas pertama jari lain dari tangan kiri 1,5
Salah satu ibu jari kaki 5
Salah satu telunjuk kaki 3
Salah satu jari kaki lain 2

TABEL 2: MACAM CACAT KEKURANGAN FUNGSI


CACAT LAINNYA % X UPAH
Terkelupasnya kulit kepala 10-30
Impotensi 30
Kaki memendek sebelah:
- kurang dari 5 cm 10
- 5-7,5 cm 20
- 7,7 cm atau lebih 30
Penurunan daya dengar kedua belah telinga sampai setiap 10 desibel 6
Penurunan daya dengar sebelah telinga sampai setiap 10 desibel 3
Kehilangan daun telinga sebelah 5
Kehilangan kedua belah daun telinga 10
Cacat hilangnya cuping hidung 30
Perforasi sekat rongga hidung 15
Kehilangan daya penciuman 10
Hilangnya kemampuan kerja fisik:
- 50%-70% 40
- 25%-50% 20
- 10%-25% 5
Hilangnya kemampuan kerja mental 70
· Kehilangan sebagian fungsi pengelihatan. Setiap kehilangan efisiensi 7
tajam pengelihatan 10%. Apabila efisien pengelihatan kanan dan kiri
berbeda, maka efisiensi pengelihatan binokuler dengan rumus kehilangan
efisiensi pengelihatan (3x% efisiensi pengelihatan terbaik) + % efisiensi
pengelihatan terburuk.
· Setiap kehilangan efisiensi pengelihatan 10% 7
· Kehilangan pengelihatan warna 10
· Setiap kehilangan lapangan pandang 10% 7

40
Tugas!
Identifikasilah dari berbagai sumber (buku, internet, koran, majalah, dan lain-lain) 10 masalah
ketenagakerjaan di Indonesia dan solusinya!
No. Masalah Solusi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

41
BAB 8
Sistem Hukum dan Peradilan Internasional

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi


1.17 Menghayati nilai-nilai 1.17.1 Menyakini nilai-nilai dalam sistem hukum dan
dalam sistem hukum dan peradilan Internasional sebagai rasa syukur
peradilan Internasional kepada Tuhan Yang Maha Esa.
sebagai rasa syukur 1.17.2 Mensyukuri nilai-nilai dalam sistem sistem
kepada Tuhan Yang Maha hukum dan peradilan Internasional sebagai rasa
Esa. syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.17 Disiplin terhadap aturan 2.17.1 Memiliki sikap disiplin terhadap aturan sebagai
sistem hukum dan cerminan sistem hukum dan peradilan
peradilan Internasional. Internasional
2.17.2 Menunjukkan sikap disiplin terhadap aturan
sebagai cerminan sistem hukum dan peradilan
Internasional.
3.17 Menganalisis sistem 3.17.1 Mengemukakan makna hukum internasional
hukum dan peradilan 3.17.2 Menjelaskan asas-asas hukum internasional
Internasional 3.17.3 Mengidentifikasi sumber-sumber hukum
internasional
3.17.4 Mengidentifikasikan subyek-subyek hukum
internasional
3.17.5 Mendeskripsikan peranan lembaga peradilan
internasional
3.17.6 Mengdeskripsikan kewenangan Mahkamah
Internasional
3.17.7 Mendeskripsikan kendala yang dihadapi
Mahkamah Internasional dalam memerankan
sebagai lembaga peradilan internasional
3.17.8 Mengidentifikasi penyebab timbulnya sengketa
internasional
3.17.9 Mengidentifikasi cara manyelesaikan sengketa
internasional sesuai ketentuan baik ditinjau dari
aspek politik, sosiologi, ekonomi dan hukum
3.17.10 Memberikan contoh penyelesaian sengketa
internasional melalui jasa baik konsiliasi,
arbitrase dan melalui mahkamah internasional
yang dilaksanakan secara konsisten dan
dengan penuh tanggung jawab
3.17.11 Mendeskripsikan prosedur mahkamah
internasional dalam penyelesaian masalah
internasional
3.17.12 Mengidentifikasi sistematika keputusan
mahkamah internasional
3.17.13 Menjelaskan dampak suatu negara yang tidak
mematuhi keputusan mahkamah internasional
3.17.14 Menunjukkan contoh sikap menghargai
keputusan mahkamah internasional
4.17 Menyaji hasil analisis 4.17.1 Menalar tentang sistem hukum dan peradilan
tentang sistem hukum Internasional.
dan peradilan 4.17.2 Menyaji hasil penalaran tentang sistem hukum
Internasional dan peradilan Internasional

42
1. Makna hukum internasional
Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah
hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi
menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum
yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari
hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli
ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional
didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara”. Ini
ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya. Sedang
menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan
antara negara-negara”.
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara
dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum
bukan negara satu sama lain. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran
umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya
terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku,
serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah
atau peraturan-peraturan hukumnya. Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak
bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana
pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya.
Tujuh asas utama yang harus ditegaskan dalam praktik hukum internasional sesuai
dengan resolusi Majlis Umum PBB No. 2625. Asas-asas tersebut adalah :
1. Setiap negara tidak melakukan tindakan berupa ancaman agresi terhadap keutuhan
terhadap wilayah dan kemerdekaan negara lain.
2. Setiap negara harus menyelesaiakan masalah-masalah inernasional dengan cara damai
3. Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain.
4. Negara-negara berkewajiban untuk menjalin kerja sama dengan negara lain berdasar
pada piagam PBB
5. Asas persamaan hak dan penentuan nasib sendiri
6. Asas persamaan kedaulatan dari negara
7. Setiap negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajiban

2. Sumber-sumber hukum internasional


Pada dasarnya sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti
materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah
sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum
itu sendiri. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk
atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu
tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur
suatu masalah tertentu.
Pasal 38.1 Piagam Mahkamah internasional menyebutkan 5 sumber hukum
internasional, yaitu:

43
1. Traktat (perjanjian internasional).
2. Konvensi (kebiasaan internasional).
3. Asas hukum yang diakui oleh negara-negara beradab.
4. Yurisprudensi (putusan pengadilan).
5. Doktrin (ajaran para ahli).

3. Subyek-subyek hukum internasional


Subyek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung
hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran
dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek
hukum internasional.
Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat
internasional, adalah:
1. Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi
suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
a. Penduduk yang tetap;
b. Wilayah tertentu;
c. Pemerintahan;
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
2. Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat
Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai
penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat
dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum
internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas
dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan,
sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin
tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia.
Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan
cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci
juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)
3. Palang Merah Internasiona
Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis
organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah
Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di
samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional
merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang
berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang
kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional
mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang
Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu
kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red
Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)
4. Organisasi Internasional
Kedudukan Organisasi Internasional sebagai subjek hukum internasional sudah tidak
diragukan lagi. Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan
James H. Wolfe:
a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan
maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;

44
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan
tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International onetary
Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan
tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
5. Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang
memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada
individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal
10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di
berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek
hukum
6. Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri
suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan
negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus
berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan
meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri,
walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah
negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut
pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi
atau subyek hukum internasional internasional yang mandiri.
7. Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan
hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang
tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional
mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian
melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap
eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.

4. Peranan lembaga peradilan internasional


1. Mahkamah Internasional
Berkedudukan di Den Haag, Belanda dan sebagai organ utama PBB untuk mengadili
dan mengahakimi setiap Negara yang bersengketa, oleh karena itu setiap Negara yang
bersengketa harus tunduk pada yuridiksi pengadilan sebelum kasus mereka didengar.
Mahkamah internasional ini telah didirikan tahun 1945 dan mulai berfungsi pada tahun 1946 .
Fungsi dari Pengadilan Pengadilan memiliki peran ganda: untuk menetap sesuai dengan
hukum internasional sengketa hukum itu diserahkan kepada oleh Negara, dan memberikan
pendapat konsultasi mengenai pertanyaan hukum dimaksud dengan internasional organ dan
lembaga yang berwenang sebagaimana mestinya.
Komposisi Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim. 2 diantaranya merangkap
sebagai ketua dan wakil ketua, masa jabatanya adalah 9 tahun. Pemilihan diadakan setiap
tiga tahun untuk satu-sepertiga dari kursi, dan hakim pensiun dapat dipilih kembali. Calon
hakim tersebut direkrtut dari warga Negara anggota yang dinilai cakap dibidang hukum
internasional.
Susunan Mahkamah adalah sebagai berikut: Presiden Shi Jiuyong (Cina); Wakil
Presiden Raymond Ranjeva (Madagaskar); Hakim Gilbert Guillaume (Prancis); Abdul G.
Koroma (Sirra Leone); Vladlen S.Vereshchetin (Federasi Rusia) ; Rosalyn Higgins (Inggris),
Gonzalo Parra-Aranguren (Venezuela), Pieter H. Kooijmans (Belanda), Francisco Rezek

45
(Brazil); Shawkat Al-Khasawneh AWN (Jordan); Thomas Burgenthal (Amerika Serikat);
Elaraby Nabil (Mesir); Hisashi Owada (Jepang); Bruno Simma (Jerman) dan Peter Tomka
(Slovakia).
Fungsi utama Mahkamah Internasional adalah menyeleasaikan kasus-kasus
persengketaan internasional yang subjeknya adalah Negara.pasal 34 statuta MI menyatakan
bahwa yang boleh beracara di MI hanyalah subyek hokum Negara (only states may be parties
in cases before the court). 3 kategori Negara :
1. Negara anggota PBB.
2. Negara bukan anggota PBB yang menjadi anggota statuta asal memenuhi persyaratan.
3. Negara bukan anggota statuta MI harus membuat deklarasi bahwa tunduk pada semua
ketentuan Mahkamah Internasional dan piagam PBB.

Mahkamah internasional mempunyai kewenangan untuk: 1) memutuskan perkara –


perkara pertikaian (contentiouscase) 2)Memberikan opini yang bersifat nasehat (advisory
opinion).
Selain itu para pihak yang beracara di MI harus menerima yurisdiksi (Kewenangan) MI.
ada beberapa cara penerimaan tersebut :
a. Perjanjian khusus, dalam hal ini Negara yang beracara di MI harus membuat perjanjian
khusus yang berisi subyek persengketaan. Contoh kasus yaitu pulau lugtan dan sipadan
antara Indonesia dan Malaysia.
b. Penundukan diri dalam perjanjian Internasional, para pihak yang menundukan diri pad
yurisdiksi MI sebagaimana terdapat dalam isi perjanjian internasional diantara
mereka.dan tentu saja tunduk kepada yurisdiksi masih tetap harus dilakukan.
c. Pernyataan penundukan diri Negara peserta statute MI, tetap anggota stauta mempunyai
kewajibn untuk tunduk kepada MI. tapi bedanya mereka tidak perlu membuat perjanian
khusus terlebih dahulu.
d. Keputusan MI mengenai yurisdiksinya,manakala ada sengketa pada yurisdiksi tersebut
maka di selesaikan oleh MI.para pihak dapt mengajukan keberatan awal terhadap
yuridiksi MI..
e. Penafsiran putusan, MI harus menafsirkan putusan jika diminta oleh salah satu pihak
bahkan kedua belah pihak, menurut statute pasal 26.
f. Perbaikan putusan, pengajuan permintaaan dilakukan untuk menundukan diri pada
yurisdiksi. syarat pengajuan tersebut yaitu adanya fakta baru (novum) yang belum
diketahui oleh MI ketika putusan itu dibuat. Pada menerima permintaan, Pengadilan
memutuskan Negara dan organisasi yang mungkin memberikan informasi yang
bermanfaat dan memberikan mereka kesempatan untuk menyajikan laporan tertulis atau
lisan.

2. Mahkamah Pidana Internasional (The Internasional Criminal Court)


MPI merupakan mahkamah pidana internasional yang berdiri permanent berdasarkan
traktat multilateral MPI brtujuan untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan
memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional dipidana.MPI daisahkan pada
tanggal 1 juli 2002, dan dibentuk berdasarkan statute roma lahir terlebih dahulu pada tanggal
17 juli 1998, tiga tahun kemudian, yaitu tanggal 1 juli 2005 statuta mahkamah internasional
telah diterima oleh 99 negara.
Pada awalnya MPI terdiri dari 18 oarang hakim yang bertugas selam sembilan tahun
tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara majelis Negara
pihak,y yang terdiri atas Negara-negara yang telah meratifikasi ststuta ini(pasal 35 ayat 6 dan
9).
Dalam memilih para hakim, Negara pihak harus memperhitungkan perlunya
perwakilan. Berdasarkan prinsip-prinsip system hukum di dunia, keseimbangan geografis,

46
dan keseimbangan jender. Prinsip yang mendasr dari statute Roma ini adalah ICC merupakan
pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional, berarti mahkamah internasional harus
mendahulukan system nasional.
Kewenangan yang dimiliki MPI untuk menegakan aturan hokum internasional adalh
memutus perkara terbatas terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga Negara dari Negara
yang telah meratifikasi statute MI.
1. Kejahatan genosida ( the crime of genoside), yaitu tindakan kejahatan yang berupaya
untuk memusnahkan keaseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras ataupun
kelompok keagamaan tertentu.
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan( the crimes against humanity), yaitu tindakan
penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi pensusuk sipil tertentu.
3. Kejahatn perang ( warcrimes), yaitu tindakan yang berkenaan dengan kejahatan perang,
semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan
konvensi jenewa (misalnya pembunuhan berencana, penyikasaan, dll) dan kejahatan
yang melanggar hokum konflik bersenjata internasional ( menyerang objek-objek sipil
bukan militer)
4. Kejahatan agresi ( the crime of aggression), yaitu tindakan kejahatan yang mengancam
terhadap perdamaian.

3. Panel Khusus Dan Spesialisasi Perdana Internasional (The Internasional Criminal


Tribunals And Special Courts. ICT/SC)
Adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka
kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen atau sementara (ad hoc) dalam
arti setelah selesai mengadili maka peradilan ini dibubarkan. Yuridiksi atau kewenangan darai
Panel khusus dan special pidana internasional ini, adalah menyangkut tindak kejahatan
perang dan genosida (pembersihan etnis) tanpa melihat apakah Negara dari si pelaku itu telah
meratifikasi atau belum terhadap statute panel khusus dan special pidana internasional ini.
Contoh Special Court for East Timor dan Indonesia membentuk Peradilan HAM.

5. Sengketa internasional
1. Pegertian Sengketa Internasional
Sengketa internasional (internasional dispute) adalah perselisihan yang terjadi antara
negara dengan negara, negara dengan individu-individu atau negara dengan badan-badan
/lembaga yang menjadi subjek hukum internasional. Sebab terjadi sengketa antara lain 1)
salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian internasional, 2)perbedaan
penafsiranmengenai isi perjanjian internasional, 3) perebutan sumber-sumber ekonomi, 4)
perebutan pengaruh ekonomi, politik, ataupun keamanan regional dan internasional,
5)adanya intervensi terhadap kedaulatan negara lain, 6) penghinaan terhadap harga diri
bangsa
2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah
penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh
melalui:
a. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan
sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang
memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan
hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu
sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang
bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :

47
1) Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
2) Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)

Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota
yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang
diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas
dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada.
Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
3) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
4) metode pemilihan panel arbitrase;
5) waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
6) batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
7) prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu
kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)

Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase


internasional, antara lain:
a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the
International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919;
b) Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for
Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
c) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial
Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial
Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)

b. Peyelesaian Yudisial
Penyelsaian Yudisial adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui suatu
pengadilan internasional.

c. Negosiasi, Jasa-jasa Baik, Mediasi, konsiliasi, dan Penyelidikan


Negosiasi, Jasa-jasa Baik, Mediasi, konsiliasi, dan Penyelidikan
merupakan penyelesain sengketa yang kurang formal dibandingkan dengan arbitrasi dan
penyelesaian yudisial, yang dalam pelaksanaanya tergantung pihak yang bersengketa atau
dengan pihak ketiga.

d. Penyelesaian dibawah Naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa


Anggota PBB harus berusaha menyelesaikan sengketa-sengketa melalui cara-cara
damai dan menghindarkan ancaman perang atau penggunaan kekerasan.tanggung jawab
penting beralih ketangan Dewan keamanan dan majlis umum. MU memiliki wewenang
merekomendasikan tindakan-tindakan untuk penyelesaian damai

3. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Paksa atau Kekerasan


a. Perang
Perang adalah penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan kekerasan
senjata dengan tujuan untuk mengalahkan pihak lawan sehingga pihak lawan tidak ada
alternatif lain kecuali memenuhi syarat-syarat penyelesaian yang diajukan oleh pihak
pemenang.
b. Tindakan bersenjata bukan perang

48
Jenis penyelesaian sengketa ini juga menggunakan kekerasan senjata, akan tetapi,
masih di bawah kategori perang. Biasanya disebut perang pendek atau tindakan kekerasan
terbatas. Tindakan ini dimaksudkan agar para pihak yang bersengketa mau menyelesaikan
sengketa mereka secara damai (self help)

c. Retorsi
Retorsi adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lain yang terlebih dahulu melakukan tindakan tidak bersahabat.
Retorsi juga diartikan sebagai tindakan pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara
terhadap negara lain oleh karena negara yang kena retorsi telah melakukan tindakan tidak
sopan dan tidak adil. Wujud Retorsi :
- Pemutusan hubungan diplomatik;
- Pencabutan hak istimewa;
- Penarikan konsesi pajak dan tarif;
- Penghentian bantuan ekonomi.

d. Reprisal
Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan tetapi terbatas
pada penahanan orang dan benda. Reprisal merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh
suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul oleh karena negara yang dikenai reprisal telah melakukan tindakan yang tidak
dibenarkan. Wujud Reprisal :
- Pemboikotan barang;
- Embargo;
- Demonstrasi angkatan laut;
- Pemboman.

Syarat Reprisal :
- Sasarannya ditujukan kepada negara yang senantiasa melakukan pelanggaran;
- Negara sasaran dituntut terlebih dahulu untuk memenuhi ganti rugi;
- Tindakan reprisal harus proporsional dan tidak boleh berpihak.

e. Blokade Damai
Blokade dilakukan pada waktu damai dengan maksud agar negara yang dikenai blokade
mau memenuhi permintaan negara yang memblokade.

f. Embargo
Embargo merupakan suatu prosedur lain untuk memperoleh ganti rugi. Biasanya
embargo dilakukan dengan melarang ekspor ke negara yang dikenai embargo. Embargo
biasanya dipergunakan sebagai salah satu bentuk sanksi terhadap negara yang senantiasa
melanggar hukum internasiona.

7. Intervensi
Intervensi adalah suatu cara penyelesaian sengketa di mana terdapat campur tangan
pihak ketiga yang berupaya agar para pihak yang bersengketa mau menyelesaikan sengketa
mereka secara damai. Intervensi sebenarnya dilarang, tetapi kadangkala dibenarkan dalam
hal :
- Bila intervensi itu diminta oleh negara yang membutuhkan intervensi;
- Bila intervensi itu dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan.

49
4. PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL MELALUI MI
Ada lima aturan yang me njadi dasar dan rujukabn proses persidangan MI : Piagam PBB
(1945), Statuta MI(1945), Aturan Mahkamah (rules of the Court :1970), Panduan Praktik
(practice Directions),dan Resolusi tentang praktik Judisial Internal Mahkamah (Resolution
Councerning The Internal Judicial Practice of the Court) . Mekanisme persidangan (proses
beracara ) MI ;
a. Mekanisme Normal
1. Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of special agreement) atau Aplikasi
(Application)
2. Pembelaan tertulis (Written Pleadings)
3. Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings)
4. Keputusan (Judgement)
b. Mekanisme Khusus
1. Keberatan Awal
2. Ketidak hadiran salah satu pihak
3. Keputusan Selasa beracara bersama
5. Intervensi

F. Dampak suatu negara yang tidak mematuhi keputusan mahkamah internasional


1. Dikucilkan dari pergaulan internasional.
2. Diberlakukannya travel warning (peringatan bahaya berkunjung ke negara tertentu)
terhadap warga negaranya.
3. Pegalihan investasi atau penanaman modal asing.
4. Pemutusan hubungan diplomatik.
5. Pengurangan bantuan ekonomi.
6. Pengurangan tingkat kerja sama.
7. Embargo ekonomi.
8. Kesepakatan organisasi regional atau internasional.

G. Menunjukkan contoh sikap menghargai keputusan mahkamah internasional


1. Sikap tidak mau mencampuri urusan dalam negeri setiap negara.
2. Sikap mau mengembangkan hubungan persaudaraan antar bangsa.
3. Sikap mau bekerja sama secara internasional dalam memecahkan persoalan
ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan.
4. Sikap mau menyelesaikan persengketaan secara damai.
5. Sikap menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Mahkamah internasional.

Tugas!
1. Deskripsikan:
a. Perbedaan hukum nasional dengan hukum internasional
b. Hubungan hukum nasional dengan hukum internasional
2. Paparkan cara mengajukan suatu perkara kepada:
a. Mahkamah Internasional
b. Mahkamah Pidana Internasional

50

Anda mungkin juga menyukai