Anda di halaman 1dari 9

NAMA : QALBI SHANAZ ANANDARI

NIM : P2A620014/ 1B
MK : FILSAFAT ILMU
DOSEN : Dr. Drs. Ali Idrus, M.Pd, ME
TANGGAL : 30 Oktober 2020
TUGAS : ALIRAN FILSAFAT DAN PEMIKIRANNYA

1. Aliran Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme diambil dari
kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme mempunyai argumen
epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan
bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak
menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealism (dalam Wilardjo,
2015).
Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang
menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan
pikiran atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting
dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia idealism (dalam Wilardjo, 2015).
Dapat dipahami bahwa idealisme merupakan suatu aliran filsafat yang
mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu ada pada tataran ide. Realitas
yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas ide dan pikiran dan bukan
pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun demikian, idealisme tidak mengingkari
adanya materi. Materi merupakan bagian luar dari apa yang disebut hakekat terdalam,
yaitu akal atau ruh, sehingga materi merupakan bungkus luar dari hakekat, pikiran,
akal, budi, ruh atau nilai. Dengan demikian, idealisme sering menggunakan term-term
yang meliputi hal-hal yang abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme
percaya bahwa watak sesuatu objek adalah spritual, non material dan idealistic (dalam
Rusdi, 2013). Dikutip dari Baiti (2015) idealism terbagi menjadi tiga paham :
a) Idelaisme subjektif-immaterialisme, akal, jiwa dan persepsi-persepsinya dan
ide-ide merupakan segala yang ada tetapi hanya dalam akal yang
mempersepsikannya
b) Idealism objektif, pikiran adalah esensi dari alam, dan alam adalah keseluruhan
jiwa yang diobjektifkan. Tokohnya adalah plato. Ia membagi duni dalam dua
bagian, yaitu dunia persespi dan alam di atas alam benda, disebut alam konep,
ide, universal, atau sesnsi yang abadi
c) Idealism personal atau persenalisme, keinginan pribadi.
Pemikiran idealisme ini selalu identik dengan Plato. Platolah yang sering
dihubungkan dengan filsafat idealisme. Pandangan seperti ini muncul, mengingat
bahwa pada dasarnya Plato merupakan bapak filsafat idealisme atau pencetus filsafat
idealisme. Menurut Plato hakekat segala sesuatu tidak terletak pada yang bersifat
materi atau bendawi, tetapi sesuatu yang ada dibalik materi itu, yakni ide. Ide bersifat
kekal, immaterial dan tidak berubah. Walaupun materi hancur, ide tidak ikut musnah.
Dalam mencari kebenaran, Plato berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat
ditemukan dalam dunia nyata, sebab dunia nyata ternyata tidak permanen dan selalu
mengalami perubahan. Artinya bahwa dunia materi bukanlah dunia yang sebenarnya,
tetapi hal itu merupakan analogi atau ilusi semata yang dihasilkan oleh panca indera
Dalam dunia pemikiran moden, idealisme ditumbuh kernbangkan oleh tokoh-
tokoh seperti Rene Descartes (1596-1650), George Berkeley (1685-1753)), Immanuel
Kant ( 1724- 1804) dan George Hegel (1770- 1831). Tokoh idealisme yang
menerapkan gagasan-gagasan idealisme pada pendidikan modern di antaranya adalah
J. Donald Butler dan Herman H. Horne. Sepanjang sejarahnya, idealisme terkait
dengan agama, karena keduanya sama-sama berfokus pada aspek spritual dan moral,
(dalam Rusdi, 2013)

2. Aliran Pragmantisme
Secara etimologis, kata pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma”,
adapula yang menyebut dengan istilah “pragmatikos”, yang berarti tindakan atau aksi.
Pragmatisme berarti filsafat atau pemikiran tentang tindakan (Keraf,1987:15). Filsafat
ini menyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori bergantung pada berfaedah tidaknya
teori itu bagi manusia dalam penghidupannya. Dengan demikian, ukuran untuk segala
perbuatan adalah manfaatnya dalam praktek dan hasil yang memajukan hidup. Benar
tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai menurut manfaatnya dalam
kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam kehidupan manusia. Atas
dasar itu, tujuan kita berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang dapat membawa
hidup kita lebih maju dan lebih berguna. Sesuatu yang menghambat hidup kita adalah
tidak benar.
Selain itu Pragmatisme juga diartikan sebagai filsafat yang mengajarkan bahwa
yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
melihat kepada akibatakibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan
demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan
bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Dasar
pijakan pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada
manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah
satu sama lain (dalam Thaib, 2-2018)
A. Filsafat Pragmatisme dari William James (1842-1910)
William James lahir di New York, Amerika Serikat, dan menjadi dosen di
Harvard University dalam mata kuliah anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat.
William James telah menghasilkan banyak karya tulis, di antaranya: the Principles
of Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varieties of Religious
Experience: A Study in Human Nature (1902) dan Pragmatism: A New Name for
Some Old Ways of Thinking (7P07).(Wikipedia,2O13).
Di dalam bukunya The Meaning of Truth: A Sequel to "Pragmatism"(1909)
atau "Arti Kebenaran" William James mengemukakan bahwa tiada kebenaran
yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas
dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala
yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah,
karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang ada
adalah kebenaran-kebenaran, (artinya: dalam bentuk plural atau jamak) yaitu apa
yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus, yang setiap kali dapat diubah
oleh pengalamanberikutnya(Sudarsono, 1993).
Nilai pertimbangan dalam pragmatisme tergantung kepada akibatnya,
kepada kerjanya, artinya: tergantung kepada keberhasilan dari perbuatan yang
disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi
pelakunya, jikalau memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Seperti yang telah dikembangkan, akal atau pemikiran mendapat tujuannya
dalam Perbuatan. Selain dari itu pemikiran dapat juga menyesuaikan diri dengan
tuntutan kehendak dan tuntutan perbuatan. Hal ini mengakibatkan bahwa
sebenarnya kita dapat menghasilkan sendiri sebagian dari apa yang diperlukan
oleh pengalaman kita, sesuai dengan kemauan kita sendiri. Jadi, sebagian dari
dunia ini adalah hasil kita sendiri. Dunia ini bukanlah sesuatu yang telah selesai,
melainkan sesuatu yang terus menerus menjadi, seperti halnya dengan pemikiran
kita adalah suatu arus yang mengalir, suatu sistem perhubungan-perhubungan.
B. Filsafat Pragmatisme dari John Dewey (1859-1952)
Dewey lahir di Baltimore dan kemudian menjadi guru besar dalam bidang
filsafat dan kemudian juga di bidang pendidikan di Universitasuniversitas di
Minnesota, Michigan, Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas
Columbia (1904-1929).
John Dewey adalah seorang pragmatis. Menurutnya filsafat bertujuan untuk
memper-baiki kehidupan manusia dan lingkungannya atau mengatur kehidupan
manusia serta aktifitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi(Sudarsono,
1993).
Kendati Dewey seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut
sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman (experience) merupakan
kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-
nilai.
Dalam rangka pandangan ini maka yang benar ialah apa yang akhirnya
disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam
istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali
ditentukan kemudian tidak dapat diganggu gugat, sebab dalam prakteknya
kebenaran itu memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita
anggap benar pada dasarnyadapat berubah.
Di Amerika Serikat filsafat ini dikembangkan oleh tokoh filsafat yang terkenal,
yakni William James, di samping John Dewey. Sementara itu di Inggris aliran filsafat
pragmatisme erat kaitannya dengan nama F.C.S. Schiller. Selain itu terdapat pula
tokoh-tokoh pragmatisme lainnyaCharles S. Fierce (1839-1914) dan George Herbert
Mead (1863-193 l)(Juhaya, 1987). Walaupun aliran filsafat pragmatisme dalam
perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan kendati berangkat dari gagasan
awal yang sama, namun ada tiga patokan yang disetujui aliran ini, yakni: menolak
segala intelektualisme dan absolutisme, serta meremehkan logika formal.

3. Aliran Empirisme
Aliran empiris yang menegaskan bahwa pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Kaum empiris berpendirian semua pengetahuan diperoleh
lewat indra. Indra memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian
terkumpul dalam diri manusia, lalu menjadi pengalaman. Pengetahuan yang
berupa pengalaman terdiri atas penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang
bermcam-macam. Istilah Empiris berasal dari kata emperia dalam bahasa Yunani
berarti pengalaman indrawi. Empiris sangat berlawanan dengan aliran
Rasionalis.
Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu
objek yang merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam otak,
dan akibat dari rangsangan tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai
objek telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Empirisme memegang peranan
yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini menganggap pengalaman
sebagi satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan.
Sementara menurut Honer dan Hunt (1985), aspek-aspek empirisisme adalah:
1) adanya perbedaan antara yang mengetahui (subjek) dan yang diketahui (objek).
Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau objek yang dapat ditangkap oleh
seseorang.
2) kebenaran atau pengujian kebenaran dari objek tersebut didasarkan pada
pengalaman manusia. Bagi kaum empiris, pernyataan tentang ada atau tidaknya
sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik.
3) adanya prinsip keteraturan. Pada dasarnya alam adalah teratur. Dengan
melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi di masa lalu, atau dengan melukiskan
bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama pada saat ini, apa yang akan
terjadi pada objek tersebut di masa depan akan bisa diprediksikan.
4) adanya prinsip keserupaan, berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang
berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka ada jaminan untuk
membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. Jika kita mengetahui
bahwa sebuah rumah dengan desain tertentu berhawa nyaman, maka rumah lain
yang desainnya serupa dengan rumah yang pertama kita yakini juga memiliki
penghawaan yang nyaman. Makin banyak pengalaman kita tentang desain rumah,
makin banyak juga pengetahuan yang bisa diperoleh tentang rumah itu sendiri.
Tokoh-tokoh Empirisisme dan pandangannya
1) Francis Bacon de Verulam (1561-1626); perintis empirisisme di abad
pertengahan ini mengatakan bahwa pengetahuan akan maju jika menggunakan
cara kerja yang baik, yaitu melalui pengamatan, pemeriksaan, percobaan,
pengaturan dan penyusunan.
2) Thomas Hobes (1588-1679); berpandangan lebih jelas, yaitu bahwa
pengalaman adalah permulaan, dasar segala pengenalan. Pengenalan
intelektual tidak lebih dari perhitungan, penggabungan data inderawi dengan
cara berbeda-beda.
3) John Locke (1632-1704); menegaskan bahwa pengalaman adalah satusatunya
sumber pengenalan. Akal budi manusia sama sekali tidak dibekali oleh ide
bawaan. Akal manusia bagai sehelai kertas putih kosong yang akan terisi dan
ditulisi dengan pengalaman inderawi. Ia juga membedakan antara pengalaman
lahiriah dan batiniah.
4) George Berkeley (1685-1753); seorang filsuf Irlandia yang mengungkapkan
“idealisme pengamatan”, artinya segala pengetahuan manusia didasarkan atas
pengamatan. Karena pengamatan itu selalu bersifat konkret, maka anggapan
umum sama sekali tidak ada. Dunia luar tergantung sepenuhnya pada
pengamatan subjek yang mengamati. Berkeley terkenal dengan ungkapannya
“esse est percipi”, sesuatu ada karena diamati.
5) David Hume (1711-1776); pencetus empirisisme radikal, yang juga dianggap
sebagai puncak empirisisme. Hume sangat kritis terhadap masalah pengenalan
dan pengetahuan manusia, sehingga ia sampai pada kesimpulan yang menolak
substansi dan kausalitas (setiap perubahan karena sesuatu).
4. Aliran Postitivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang dipelopori oleh Filosof Perancis
yang bernama Auguste Comte (1798- 1857). Positivisme hanya mempercayai fakta
yang dapat diregistrasi secara inderawi yang dijadikan objek ilmu pengetahuan. Fakta
tersebut dapat ditinjau dan diuji dan setelah itu barulah kemudian dijadikan landasan
pengetahuan.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan
faktual, yaitu apa yang berdasarkan faktafakta. Menurut positivisme, pengetahuan
kita tidak pernah boleh melebihi faktafakta. Dengan demikian, maka ilmu
pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Maka
filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu, pulalah positivisme
menolak cabang filsafat metafisika. Menyakan “hakikat” benda-benda atau
“penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta
dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Pandangan positivisme sangat bertolak belakang dengan pandangan tradisional
dan agama. Bahkan dalam perkembangannya positivisme telah memaksa agama dan
metafisika “turun tahta” dari landasan berfikir manusia dalam mengatur susunan
masyarakat. Sebelum lahir positivisme, orang berkeyakinan bahwa seluruh alam,
termasuk masyarakat dikuasai oleh hukum alam yang lepas dari kemauan manusia.
Semua lembaga kemasyarakatan, pembenarannya dan pendasarannya dahulu
diketemukan dalam pandangan metafisik dan keagamaan.
Comte membagi tahap perkembangan manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap
teologis, tahap metafisik, dan tahap positif. Dalam tahap teologis, gejala-gejala alam
terjadi karena ada kekuasaan besar yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut.
1) Tahap pertama ini dianggap sebagai tahap primitif
2) Tahap kedua yaitu tahap metafisik. Tahap ini merupakan tahap transisi dari tahap
teologis menuju tahap positif. Tahap kedua ini lebih bersifat varian dari tahap
teologis. Dalam tahap ini gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
abstrak.
3) Tahap ketiga yaitu tahap positif menggunakan pengamatan/empiris dan
penggunaan akal/rasio dalam memahami gejala-gejala alam. Tujuan tertinggi
dalam tahap ketiga adalah menyusun dan mengatur segala gejala didasarkan pada
satu fakta yang umum. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan
manusia. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu
pengetahuan itu didasarkan pada gejala-gejala yang nyata.
5. Aliran Post-Positivisme
Postpositivisme adalah evolusi terhadap positivism. Postpositivisme konsisten
dengan Postpositivisme dalam mengasumsikan bahwa duna yang objektif itu ada
namun menganggap bahwa kemungkinan dunia belum siap untuk dipahami dan
bahwa hubungan-hubungan variable atau fakta-fakta mngkin hanyalah merupakan
sesuatu yang bersifat kemungkinan, bukan sesuatu yang deterministic.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme.
Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang
nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat
manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti
membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas.
Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu
menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, data, dan lain-lain.
Asumsi Dasar Post Positivisme
1) Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2) Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan
buktibukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan
fakta anomali.
3) Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4) Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah.
5) Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6) Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya
bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7) Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
DAFTAR PUSTAKA
Baiti, R. (2015). Pemikiran Manusia Dalam Aliran–Aliran Filsafat. Wardah, 16(1),
85-93

Hindersah, H. (2005). Krisis ilmu pengetahuan modern: menuju metodologi


partisipatif. Journal of Regional and City Planning, 16(2), 1-24.

Isgiyarta, J. (2011). Telaah Kritis Filsafat Positivisme untuk Pengembangan Teori


Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 15(2).

Meiyani, N. (2013). Penerapan Aliran Filsafat Pragmatisme dalam Orientasi dan


Mobilitas Anak Tunanetra. Jassi Anakku, 12(2), 209-220.

Rusdi, R. (2013). Filsafat Idealisme: Implikasinya dalam Pendidikan. Dinamika


Ilmu, 13(2).

Sativa, S. (2011). Empirisisme, Sebuah Pendekatan Penelitian


Arsitektural. INformasi dan Ekspose hasil Riset Teknik SIpil dan
Arsitektur, 7(2).

Somantri, E. D. (2013). Kritik Terhadap Paradigma Positivisme. Jurnal Wawasan


Hukum, 28(01), 622-633.

Syarifuddin, A. (2017). Filsafat Positivisme Dan Aliran Hukum Positif. Legalitas:


Jurnal Hukum, 7(1), 1-22.

Thaib, R. M. T. R. M. (2018). Pragmatisme: Konsep Utilitas Dalam


Pendidikan. Intelektualita, 4(1).

Umanailo, M. C. B. (2019). Neo Positivisme-Positivisme-Post positivisme.

Wilardjo, S. B. (2009). Aliran-aliran dalam filsafat ilmu berkait dengan


ekonomi. VALUE ADDED| MAJALAH EKONOMI DAN BISNIS, 6(1).

Wasitohadi, W. (2012). Pragmatisme, Humanisme Dan Implikasinya Bagi Dunia


Pendidikan Di Indonesia. Satya Widya, 28(2), 175-190.

Anda mungkin juga menyukai