Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat
Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah
dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qur’an,
maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila dalam
al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis.
Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai
dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas
persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab
al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam
ketentuan hukum Islam.

Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda


pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu
persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka
dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama
nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma’
adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang
bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para
ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’
berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, UmmatKu
tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju dengan Ijma’
berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama,
yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh
karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.

1
Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para
ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas,
Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan
sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para
ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan
dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan
dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum.
Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat
membantu seseorang dalam mengistimbathkan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan tentang definisi kaidah hukum Islam !
2. Jelaskan macam-macam kaidah hukum Islam !
3. Apa saja contoh permasalahan terkait kaidah-kaidah hukum Islam !
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah hukum Islam
2. Untuk mengetahui macam-macam kaidah hukum Islam
3. Untuk mengetahui contoh permasalahan terkait kaidah-kaidah hukum
Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawa’idatul Fiqhiyyah


Kaidah dalam bahasa rab disebut Qa’idah sebagai mufrad (bentuk tunggal)
dan Qawa’id (Kaidah-kaidah), kini kata qa’idah telah menyatu dengan bahasa
Indonesia dengan kata kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam tinjauan
terminologi kaidah mempunyai beberapa arti. Ahmad warson menambahkan
bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan
kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.


(Q.S. An-Nahl : 26).
Sedangkan dalam tinjauan terminologi (istilah) kaidah punya beberapa arti,
menurut Dr. Ahmad Asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa
kaidah itu adalah : “Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-
satuan hukum juz’i yang  banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan: “Hukum
yang  biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya”.
Sedangkan arti fiqhiyyah diambil dari kata fiqhyang diberi tambahan ya
nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi
(bahasa) makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil firman Allah SWT:
Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (QS. At-Taubah :
122)
Dan sabda Nabi SAW :
Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya
kepahaman dalam agama. ( HR. Bukhari-Muslim)

3
Sedangkan dlam arti istilah fiqh berarti :
1. Menurut al-Jurjani al-Hanafi,
“ Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang
diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili, dan diistinbatkan lewat ijtihad
yang memerlukan analisa dan perenungan. ( Hasbi ash-Shiddiqi, 1975 : 25)
2. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah al-Mubtada’ wal Khabar:
“Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang
berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf , (diistinbathkan) dari al-
Quran dan as-Sunnah dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara’,
bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil, maka
terjadilah apa yang dinamakan fiqh.” ( Hasbi ash-Shiddiqi, 1975 : 27 )
1
Dari ulasan tersebut, baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka
yang dimaksud dengan qawaidul fiqhiyah adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki :
“ Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang
banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juz’iyah itu.” (Asjmuni
A. Rahman, 1976 : 11)[1]
Di dalam asas-asas hukum Isam, mengalirkan garis-garis hukum yang
dalam kepustakaan hukum Islam disebut kaidah-kaidah fiqih yang dapat
diterapkan ke dalam kasus tertentu dalam masyarakat.Garis-garis hukum
yang dapat dipergunakan untuk memecahkan berbagai persoalan dlam
masyarakat banyak. Asjimuni A. Rahman, misalnya, menyebut 160 buah
alam bukunya Qaidah-qaidah Fikih ( Qawaidatul Fiqhiyyah, Jakarta, 1976)
yang bunyinya sekadar contoh, adalah sebagai berikut:
(1) Hukum berputar disekitar ullat-nya.
(2) Hukum berubah karena perubahan waktu dan perbedaan tempat.
(3) Adat yang baik dapat dijadikan hukum (Islam).

1. Lihat H. Muchlis Usman, Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Cet. III; Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada; 1999), h.95-98

4
(4) Orang yang menuntut sesuatu hak atau menuduh seseorang
melakukan sesuatu harus membuktikan hak atau tuduhannya itu.
(5) Tertuduh dapat mengingkari tuduhan yang ditujukan padanya
dengan sumpah.[2]
B. Jenis-jenis Kaidah Hukum Islam
1. Hukum berputar disekitar illat-nya

Arti kaidah tersebut ialah setiap ketentuan hukum berkaitan dengan


‘illat (kausa) yang melatarbelakanginya; jika illat ada, hukum pun ada, dan
jika illat tidak ada, maka hukum pun tidak ada.  Menentukan sesuatu sebagai
illat hukum merupakan hal yang sangat pelik. Oleh karenanya memahami jiwa
sesuatu hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan suatu keharusan
untuk dapat menunjuk illat hukum secara tepat.
Illat adalah rukun atau unsur terpenting dalam menentukan hukum,
yang tidak dibahasa secara explisit di dalam nash, dan merupakan sifat yang
menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.2

Illat adalah sebab-karena, yaitu yang menyebabkan tetapnya suatu


hukum, dengan adanya sebab atau illat itu, maka adanya hukum, dan
sebaliknya dengan tidak adanya sebab atau illat, maka tidak pula ada hukum.
Illat memiliki beberapa nama lain, seperti: tanda, yang memanggil, yang
menuntut, yang membangkitkan, yang menghendaki, yang mewajibkan, dan
yang member bekas.[3]
2. Hukum berubah karena perubahan waktu dan perbedaan tempat

22. Lihat H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Ed. VI; Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada;
2007), h. 145
3. Lihat Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Cet. IV; Jakarta; PT. Bulan
Bintang; 1970), h.36

5
Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh
mempengaruhi ajaran Islam. Alasannya, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat
bukanlah ‘illat (motif diberlakukannya hukum) dan bukanlah sumber hukum.
Bahkan, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat acapkali banyak yang
bertentangan dengan syariat. Apalagi kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat yang
ada pada masa sekarang pada dasarnya merupakan kristalisasi pemikiran dan
hukum-hukum yang bersumber dari sistem sekuler yang telah terbukti
mengakibatkan kerusakan masyarakat. Namun, jika kultur, kebiasaan, dan
adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, ia
diperbolehkan (mubah). Akan tetapi, kebolehannya itu bukan karena
pertimbangan apa-apa, kecuali karena memang dibolehkan oleh nas-nas
syariat.
3. Adat yang baik dapat dijadikan hukm (Islam)

       Kaidah fiqih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa
Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus
dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara terus menerus
manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau
perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya,
karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak
kemanusiaannya. Kata Al-‘aadah atau al-u’rf Menurut Imam abi al faidh
terkadang digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu
lain. Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap baik oleh
syarak atau perkara yang dianggap baik.
       Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah)
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”.

6
‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang
shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak
menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak
membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah
menjadi adat kebiasaan 3manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang
haram atau membatalkan yang wajib.
       Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.
4. Orang yang menuntut sesuatu hak atau menuduh seseorang melakukan sesuatu
harus membuktikan hak atau tuduhannya itu

Al-bayyinah/bukti adalah sesuatu yang bisa untuk membuktikan sebuah hak


atau klaim, dan hal ini untuk menetapkan kebenaran atas klaim seseorang.
Pada dasarnya yang dimaksud dengan Al-bayyinah adalah saksi dalam semua
perkara hukum, baik yang berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal
atau lainnya. Ketentuan saksi terdiri dari beberapa macam. Di antara ketentuan
saksi adalah:
1. Harus empat orang laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian dalam kasus
perzinaan.
2. Harus dua orang laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindak kriminal kecuali
zina, juga pada pernikahan, perceraian, dan lainnya.

7
3. Persaksian yang bisa dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan
dua wanita atau satu laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang
berhubungan dengan harta. Seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya.
4. Persaksian yang bisa dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah
yang tidak bisa dilihat oleh kaum laki-laki, seperti masalah persusuan, haid,
nifas, dan lainnya.[4]
Namun tidak selamanya Al-bayyinah itu berupa saksi, bisa jadi Al-bayyinah
itu berupa keadaan yang sangat kuat yang mendukung salah satu dari yang
menuntut atau dituntut. Sebagaimana yang Allah Ta’ala kisahkan di dalam Al-
Quran tentang Nabi Yusuf ‘alaihisalam yang artinya, “Jika baju gamisnya koyak
dimuka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan
jika baju gamisnya koyak dibelakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf
termasuk orang-orang yang jujur. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju
gamis Yusuf koyak dibelakang, berkatalah dia, ‘Sesungguhnya kejadian ini
adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu sangat besar‘.”
4
(QS. Yusuf: 26-28)
Di ayat ini tidak ada saksi yang bisa dijadikan rujukan, namun qorinah
(indikasi) yang sangat jelas menjadi bukti atas suatu tuduhan, yaitu terkoyaknya
baju Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
Al-bayyinah (bukti) di sini adalah segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan
menunjukkan kebenaran tuduhannya tersebut, baik berupa saksi-saksi, bukti-bukti
penguat atau pun yang lainnya.
Sedangkan makna Al-yamin adalah sumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa
dialah yang benar atas semua tuntutan, tuduhan, dan klaim. Dan semua yang
dilakukan oleh yang mengklaim itu tidak benar. Para ulama sepakat bahwa
sumpah yang sah adalah bila dilakukan dengan menyebut nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya.

4 4. Lihat H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Cet. V; Yogyakarta; Prenada Media Grup


(Kencana); 2014), h.90

8
Adapun makna Al-Mudda’i adalah orang yang mengaku atau
mengklaim/menuduh sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang tampak pada
masyarakat. Apabila dia tidak mempermasalahkannya kepada hakim maka dia
bebas dan tidak ada paksaan untuk melakukannya.
Sedangkan makna Al-Mudda’a ‘alaihi adalah orang yang keadaannya
dikuatkan dan didukung oleh kenyataan yang tampak pada masyarakat. Namun,
bila ada pihak lain yang mempermasalahkannya maka dia dipaksa untuk
menyelesaikannya dihadapkan hakim, dan apabila dia diam dan tidak berusaha
menepis klaim yang ditujukan kepadanya maka dia harus menerima konsekuensi
dari klaim tersebut.

5. Tertuduh dapat mengingkari tuduhan tang ditujukan padanya dengan sumpah

Seorang hakim (qâdhi) muslim diperintahkan untuk memutuskan hukum


(memenangkan-red) bagi orang yang memiliki bukti yang menunjukkan
kejujurannya, baik dia sebagai orang yang menuduh maupun sebagai yang
tertuduh. Syari’at yang bijaksana ini menetapkan bahwa bukti sebagai hujjah
(argumen) bagi orang yang menuduh. Jika dia bisa mendatangkan bukti, maka
apa yang dituduhkannya dianggap benar. Sebagaimana syari’at ini juga
menetapkan bahwa sumpah sebagai hujjah bagi orang tertuduh. Jika dia berani
bersumpah, maka terbebaslah dia dari tuduhan yang diarahkan kepadanya.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi


wa sallam berkata kepada yang menuduh :

ُ‫ك أَوْ يَ ِم ْينُه‬


َ ‫َشا ِهدَا‬

Dua orang saksimu (sebagai penuntut) atau sumpahnya (terdakwa).

9
Hikmah dalam penentuan ini adalah karena seorang penuduh
menuduhkan sesuatu yang tersembunyi, maka dia butuh kepada argumen yang
kuat untuk menampakkan kebenaran tuduhannya. Bukti merupakan argumen
yang kuat karena ia merupakan ucapan yang tak dapat dibantah. Oleh karena
itu, syari’at menetapkan penuduh harus mendatangkan bukti. Adapun sumpah,
maka kekuatannya lebih rendah, karena dia merupakan ucapan salah satu dari
dua orang yang berselisih. Dan orang yang dituduh tidak mendakwakan suatu
perkara yang tersembunyi, dia hanya berpegang teguh dengan sesuatu yang
asal dan dianggap seperti keadaan sebelumnya (tak bersalah). Maka argumen
yang dibutuhkan lebih lemah, yaitu sumpah dan ia sangat cocok baginya. Oleh
karena itu, yang diminta darinya adalah sumpah.

C. Contoh Permasalahan Kaidah Hukum Islam


1. Hukum berputar disekitar illat-nya
a. Barang siapa yang dalam bulan Romadhon bepergian dibolehkan tidak
berpuasa, karena illatnya dibolehkannya adalah bepergian, biarpun di
dalam bepergian itu ia tidak mengalami kesulitan sedikitpun, jika
seandainya berpuasa. Tetapi jika illatnya yang dijadikan membina hukum,
maka ia tidak boleh meninggalkan puasa kalau tidak ada kesulitan sama
sekali.
b. Mengqasar shalat bagi orang yang dalam keadaan berpergian hikmahnya
ialah memberi keringanan dan menolak kesulitan. Hikmah semacam ini
masih merupakan perkiraan yang belum positif, karena dapat diterapkan
kepada setiap orang yang berbeda situasi dan kondisinya. Ada sebagian
orang yang menganggap bahwa shalat dengan sempurna di dalam
perjalanan itu tidak menyulitkan menurut suatu situasi dan kondisi
tertentu dan menurut situasi dan kondisi yang lain akan terasa berat

10
sekali. Sedangkan illat hukumnya adalah  berpergian, ini merupakan
perkara yang sudah jelas dan positif.[5]5
2. Hukum berubah karena perubahan waktu dan perbedaan tempat
a. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat
sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib
berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan
hukum karena kondisi berbeda, tetapi karena memang adanya
perbedaan hukum yang didasarkan pada dua manâth al-hukm yang
memang berbeda, yaitu orang sehat tidak sama dengan orang sakit.
Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan shalat sambil berdiri,
sedangkan orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk
atau berbaring. Jika hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada
orang sakit, jelas keliru, karena masing-masing mempunyai manâth al-
hukm yang berbeda. Demikian seterusnya.
b. Khamar sampai kapan pun dan di mana pun tetap haram. Akan tetapi,
ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia menjadi halal.
Dalam dua keadaan ini, sebetulnya, tidak dapat dikatakan telah terjadi
perubahan hukum. Yang terjadi adalah perubahan manâth al-hukm
yang memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang berbeda: khamar
tetap khamar dengan keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan
kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki esensi dan manâth al-hukm
yang berbeda.
3. Adat yang baik dapat dijadikan hukum (Islam)
a. Apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka
berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak
dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah

5 5. Lihat H. Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Cet. I; Kencana; Jakarta; 2011), h.254

11
dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang
kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak
mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat
apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
b. Apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa
yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka sipenyewa bisa
memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar
rumah kecuali dengan ijin orang yang menyewakan.
c. Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya
adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang
memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya
secara beganti-ganti.
4. Orang yang menuntut sesuatu hak atau menuduh seseorang melakukan
sesuatu harus membuktikan hak atau tuduhannya itu
a. Jika ada orang yang mengaku bahwa barang yang dipegang oleh
seseorang itu adalah miliknya maka dia harus mendatangkan bukti atau
saksi. Jika dia tidak bisa mendatangkan saksi maka cukup bagi yang
dituntut untuk bersumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa barang itu adalah
miliknya.
b. Jika ada seseorang yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus
mendatangkan bukti berupa empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak,
maka tidak sah tuduhannya dan dia berhak mendapat hukuman delapan
puluh cambukkan karena menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti.
c. Jika ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku
sudah membayarnya tapi diingkari oleh yang menghutangi, maka yang
berhutang harus mendatangkan bukti. Jika tidak, maka cukup bagi yang
menghutangi untuk bersumpah menepis klaim terhadapnya.

5. Tertuduh dapat mengingkari tuduhan tang ditujukan padanya dengan sumpah

12
a. Andaikata dua orang saksi memberikan persaksian palsu tentang
perceraian seorang wanita oleh suaminya, sementara sang suami
mengingkari bahwa dia telah menceraikan istrinya itu. Lalu berdasarkan
persaksian ini, hakim memutuskan untuk memisahkan keduanya. Meski
telah putuskan pisah, sang istri tidak boleh menikah kecuali dengan
suaminya yang pertama. Karena dalam pandangan syari’at, dia masih
bertatus sebagai istri bagi suaminya (yang dikalahksn dalam persidangan-
red). Dan keputusan ini tidak menjadikan si suami haram menggauli
istrinya, karena pada hakikatnya dia belum diceraikan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti “aturan atau patokan”. Dalam
bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-
Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau
cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya),
Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang arab tidak
mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya. Dari seluruh arti tadi dapat
kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau
pondasi dan tempat sesuatu. Adapun secara istilah banyak sekali defenisi yang di buat
oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling baik menurut penyusun
adalah: ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-
bagiannya.
B. Saran

Kami sebagai penulis sadar, bahwa kami masih baru dan masih kurang dalam
pengalaman membuah sebuah makalah. Tetapi, kami sudah berusaha keras untuk
membuat makalah sebaik mungkin.

Kami juga berharap para pembaca dapat memberikan saran agar kedepannya
kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, M.A, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Cet. IV; Jakarta;
PT. Bulan Bintang; 1970)

Drs. H. Muchlis Usman, MA, Kaidah- kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Cet.
III; Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada; 1999)

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. Studi Islam Komprehensif, (Cet. I; Kencana;
Jakarta; 2011)

Prof. H. Mohammad Daud Ali. S. H, Hukum Islam, (Ed. Ke-VI ; Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada; 2007)

Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Cet. V; Yogyakarta; Prenada


Media Grup (Kencana); 2014)

15

Anda mungkin juga menyukai