Anda di halaman 1dari 98

PEMBERIAN TERAPI MUSIK MOZART TERHADAP

PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN


KEPERAWATAN Nn. N DENGAN POST OPERASI
CLOSE FRAKTUR FEMUR DEXTRA DI RUANG
PARANGSELING RS.ORTHOPEDI
SURAKARTA

KARYA TULIS ILMIAH

DISUSUN OLEH :
ROHMAT ADI SAPUTRA
NIM. P12108

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
PEMBERIAN TERAPI MUSIK MOZART TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Nn. N DENGAN POST OPERASI
CLOSE FRAKTUR FEMUR DEXTRA DI RUANG
PARANGSELING RS.ORTHOPEDI
SURAKARTA

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Tugas Akhir


Pendidikan Diploma III Keperawatan

DISUSUN OLEH :
ROHMAT ADI SAPUTRA
NIM. P12108

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015

i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat, rahmat dan karunia-Nya, Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan

dengan baik, tepat pada waktunya dengan judul “Pemberian Terapi Musik Mozart

terhadap penurunan intensitas nyeri pada Nn. N dengan post operasi close fraktur

femur dextra di Ruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah penulis banyak mendapat bimbingan

dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang

terhormat:

1. Ibu Atiek Murharyati, S. Kep., Ns. M. Kep., selaku Ketua Program Studi D III

Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu

di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan sekaligus dosen pembimbing yang

telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,

perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya

Karya Tulis Ilmiah ini.

2. Ibu Meri Oktariani, S. Kep., Ns., M. Kep., selaku Sekretaris Ketua Program

Studi DIII Keperawatan.

3. Bapak Ns. Fakhrudin Nasrul Sani, M.Kep., selaku dosen penguji satu yang

telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan dan

inspirasi dalam bimbingan demi sempurnanya studi kasus ini.

v
4. Ibu S. Dwi Sulisetyawati, S. Kep., M. Kep., selaku dosen penguji dua yang

telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan dan

inspirasi dalam bimbingan demi sempurnanya studi kasus ini.

5. Seluruh Dosen Program Studi D III Keperawatan, dan Staf Perpustakaan Stikes

Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar

dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.

6. Direktur Rumah Sakit Orthopedi Surakarta yang telah memberikan kesempatan

untuk dapat mengambil kasus di Ruang Parangseling dan memperbolehkan

mengaplikasikan jurnal yang penulis ambil.

Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

keperawatan dan kesehatan.

Surakarta, 28 Mei 2015

Penulis,

Rohmat Adi Saputra


NIM P.12 108

vi
HALAMAN PERSEMBAHAN

Syukur Ahamdulillah atas segala rahmat dan hidayah-Nya dan dengan segala
rendah hati saya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dan saya
persembahkan untuk orang yang kusayangi
Ayahanda Suyono dan ibunda tercinta Suyatni yang tiada henti-hentinya
memberi doa restu,
kasih sayang, perhatian dan dukungan untuk menjadikanku orang yang sukses.
Tidak lupa saudaraku Prastyawan Indra Kusuma dan seluruh keluarga besarku
yang selalu memberikan
motivasi dan support setiap langkahku.
Serta tidak lupa sehabat-sahabatku yang mendukung dan memberi semangat
dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini. Novita Wahyu Anggraini, Safitri,
Abdul Aziz, Wahyu Fitriyana, Anisa Ferdinant, Rina Triwulan, Oktavia Narrila,
Siti Nurhidayah, Lailatul Mubarokah, Rita Puspitasari, fitri nur riskia, Denny
Mayasari, Alfiana Luthfi S, Desiana Martha, Antonius Rangga, Ahmad Abror,
Arief Widiatmoko, Ruben Eka Mulya, Radetya Prima, Muhammad Afif A, Risky
Ramadhan, Fajar Jatmiko, Dyah Arum, Eka Andika P, Dyah Anggun Y, Fajar
sisnanto, Aris laksito, Ravi Dion P, Nanueng, Aura Hendra, Joko S, Prihanna
sektiawan, Danank Wijanarko, Irwanda Aditya, Mulat Bayu Aji, teman-teman
kos hijau, Deni, iwan, afrian, Stone Crew dan tidak lupa sahabatku yang ada di
surga alm.Herdi Setya Pratama dan juga teman-teman lainnya yang tidak bisa
saya sebutkan satu per satu, semoga perjalanan yang kita tempuh selama ini
mampu menjadikan kita lebih baik, bijaksna dan dewasa.
Teman-teman seperjuangan angkatan 2012 kelas 3A dan 3B.
Ibu Atiek Murhayati, S. Kep., Ns., M. Kep. terimakasih atas bimbingannya
selama ini.
Almamaterku tercinta

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ..................................................................... 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ......................................................................... 7
B. Kerangka Teori ........................................................................ 44
C. Kerangka Konsep .................................................................... 45
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset .............................................................. 46
B. Tempat dan Waktu .................................................................. 46
C. Media dan Alat yang digunakan .............................................. 46
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset ...................... 46
E. Alat Ukur .................................................................................. 47
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien ......................................................................... 49
B. Pengkajian ................................................................................ 49

viii
C. Perumusan Masalah Keperawatan ........................................... 55
D. Intervensi Keperawatan ........................................................... 56
E. Implementasi Keperawatan ..................................................... 57
F. Evaluasi ................................................................................... 60
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ................................................................................ 62
B. Diagnosa Keperawatan ............................................................ 67
C. Intervensi Keperawatan ........................................................... 71
D. Implementasi Keperawatan ..................................................... 74
E. Evaluasi Keperawatan ............................................................. 79
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .............................................................................. 82
B. Saran ........................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ix
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1 Skala Deskriptif .................................................................... i


2. Gambar 2.2 Skala Numerik ...................................................................... ii
3. Gambar 2.3 Skala Analog Visual ............................................................. iii
4. Gambar 2.4 Skala Wajah ......................................................................... iv
5. Gambar 2.5 Kerangka Teori ..................................................................... v
6. Gambar 2.6 Kerangka konsep .................................................................. vii
7. Gambar 3.1 Alat Ukur Skala Numerik .................................................... viii
8. Gambar 4.1 Genogram ............................................................................. ix

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Jurnal


Lampiran 2. Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 3. Surat Pernyataan
Lampiran 4. Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 5. Jurnal Utama
Lampiran 6. Laporan Asuhan Keperawatan
Lampiran 7. Log Book Karya Tulis
Lampiran 8. Lembar Pendelegasian
Lampiran 9. Lembar Observasi

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan kesehatan yang banyak dijumpai dan menjadi salah satu

masalah dipusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia salah satunya

adalah fraktur (Budhiartha, 2009). Fraktur adalah patah tulang, biasanya

disebakan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga

tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak sekitar tulang akan menentukan

apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson,

2006). Menurut Helmi (2012), manifestasi klinik dari fraktur ini berupa nyeri.

Nyeri pada penderita fraktur bersifat tajam dan menusuk, nyeri tajam juga

biasanya ditimbulkan oleh infeksi tulang akibat spasme otot atau penekanan

pada syaraf sensoris. Penyebab utama dari fraktur adalah akibat kecelakaan

lalu lintas.

Menurut data dari World Health Organization (WHO, 2011), dalam dua

tahun terakhir ini kecelakaan lalu lintas di Indonesia dinilai menjadi pembunuh

terbesar ketiga, dibawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Data

WHO tahun 2011 menyebutkan sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas

pada usia produktif (22–50 tahun). Tercatat lebih dari 5,6 juta orang meninggal

dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta orang mengalami

kecacatan fisik (Depkes RI, 2011).

1
2

Fraktur yang paling sering terjadi adalah fraktur ekstermitas bawah. Data

yang didapat dari rekam medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, menunjukan

bahwa pasien fraktur yang dirawat di RSUD Arifin Achmad pada tahun 2011

tercatat 671 kasus fraktur, ditahun 2012 sebanyak 689 kasus, dan pada Januari

2013 hingga Juli 2013 tercatat 481 kasus fraktur (Rekammedik RSUD Arifin

Ahmad, 2013).

Data ini menunjukan terjadi peningkatan pada pasien fraktur setiap

tahunnya. Jika sudah terjadi fraktur, maka tindakan yang tepat dilakukan

adalah tindakan pembedahan untuk mengoptimalkan fungsi tulang yang

mengalami kerusakan akibat fraktur (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada tindakan pembedahan

fraktur yakni terjadinya infeksi, delayed union, non-union dan mal-union,

kerusakan pembuluh darah atau sindrom kompartemen anterior, trauma saraf

terutama pada nervus peronial komunis, dan gangguan pergerakan sendi

pergelangan kaki. Selain itu, masalah keperawatan yang sering terjadi pada

klien post pembedahan fraktur akan timbul rasa nyeri (Muttaqin, 2005; 76-80).

Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang normal. Nyeri yang

dirasakan klien bedah meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh

anestesi. Klien lebih menyadari lingkungannya dan lebih sensitif terhadap rasa

nyaman. Area insisi mungkin menjadi satu-satunya sumber nyeri. Balutan atau

gips yang ketat dan regangan otot akibat posisi ketika klien berada diatas meja

operasi menyebabkan klien merasa tidak nyaman. Secara signifikan nyeri dapat

memperlambat pemulihan (Potter & Perry, 2006).


3

Nyeri dapat diatasi secara farmakologi dan non farmakologi. Secara

farmakologi dengan penggunaan obat (narkotik), nonopioid atau NSAIDs

(Nonsteroid Anti-inflamation Drugs), adjuvan, dan ko-analgesik, sedangkan

secara non farmakologi bisa dengan stimulus kulit, stimulus elektrik saraf kulit

transkutan, TENS (Transcutaneous Electrical Nervus Stimulation), akupuntur,

pemberian plasebo, teknik relaksasi, distraksi, imajinasi terbimbing, umpan

balik biologis, hipnotis, dan sentuhan terapeutik (Tamsuri, 2004).

Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke

stimulus yang lain. Macam distraksi ada distraksi penglihatan dan distraksi

pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual, teknik pernafasan,

imajinasi terbimbing. Distraksi pendengaran bisa dengan mendengarkan musik,

suara burung, serta gemercik air (Tamsuri, 2004). Berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan oleh (Septiani, 2010), terapi musik instrumental piano efektif

mengurangi nyeri pasca persalinan sectio caesarea.

Menurut Adelina (2011), terapi musik Mozart efektif dalam

mengurangi rasa nyeri saat menstruasi. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Utama (2011), menunjukan bahwa terapi musik Mozart dapat memberikan

perasaan rileks dan tenang bagi pendengarnya.

Studi pendahuluan di Ruang Parangseling Rumah Sakit Ortopedi

Surakarta, didapatkan data informasi dari perawat ruangan bahwa dalam

mengatasi nyeri pasien post operasi belum ada yang menerapkan tindakan

pemberian terapi musik Mozart. Semua perawat ruangan dalam mengatasi

nyeri post operasi hanya menggunakan terapi farmakologi. Dari sinilah penulis
4

tertarik untuk mengaplikasikan pemberian terapi musik mozart untuk

menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk

menyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian terapi musik Mozart

terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Nn. N dengan

post operasi close fraktur femur dextra di Ruang Parangseling Rumah Sakit

Orthopedi Surakarta”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mengaplikasikan tindakan pemberian terapi musik mozart terhadap

penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Nn. N dengan post

operasi close fraktur femur dextra di ruang Parangseling Rumah Sakit

Orthopedi Surakarta.

2. Tujuan khusus

a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada asuhan keperawatan Nn.

N dengan post operasi close fraktur femur dextra di Ruang

Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.

b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada asuhan

keperawatan Nn. N dengan post operasi close fraktur femur dextra di

Ruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.

c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada asuhan

keperawatan Nn. N dengan post operasi close fraktur femur dextra di

Ruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.


5

d. Penulis mampu melakukan implementasi pada asuhan keperawatan

Nn. N dengan post operasi close fraktur femur dextra di Ruang

Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.

e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pada asuhan keperawatan

Nn. N dengan post operasi close fraktur femur dextra di Ruang

Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.

f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian musik mozart terhadap

intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Nn. N dengan post operasi

close fraktur femur dextra di Ruang Parangseling Rumah Sakit

Orthopedi Surakarta.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien yang mengalami nyeri

post operasi close fraktur femur dextra dan sebagai pertimbangan perawat

dalam mendiagnosa kasus sehingga perawat mampu memberikan

tindakan yang tepat kepada klien.

2. Bagi instansi pendidikan

Memberikan kontribusi laporan kasus bagi pengembangan praktik

keperawatan dan pemecahan masalah khususnya dalam bidang atau

profesi keperawatan.

3. Bagi pembaca

Menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dalam


6

penanganan nyeri post operasi close fraktur femur dextra.

4. Bagi Penulis

Karya tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam

menambah pengetahuan dan memperoleh pengalaman khususnya

dibidang keperawatan medikal bedah.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Fraktur

a. Definisi

Fraktur adalah setiap retak atau patah tulang yang disebabkan oleh

trauma, tenaga fisik, kekuatan, sudut, keadaan tulang dan jaringan lunak

disekitar tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut

lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).

b. Etiologi

Penyebab fraktur Menurut Wahid (2013), penyebab fraktur meliputi :

1) Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik

terjdinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur

terbuka dengan garis patah melintang atau miring

2) Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat

yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya

adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor

kekerasan.

7
8

3) Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan

dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,

kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

c. Klasifikasi

Dalam jurnal utama (Muhammad firdaus dkk, 2014) fraktur

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1) Fraktur tertutup (closed) adalah bila tidak terdapat hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena

kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

2) Fraktur terbuka (open atau compound) adalah tulang yang patah

menembus otot dan kulit yang memungkinkan atau potensial untuk

terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka

sampai ketulang yang patah.

d. Manifestasi klinik

Menurut Wahid (2013), yaitu :

1) Deformitas

2) Bengkak atau edema

3) Echimosis (memar)

4) Spasme otot

5) Nyeri

6) Kurang atau hilang sensasi

7) Krepitasi
9

8) Pergerakan abnormal

9) Rontgen abnormal

e. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih

besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang

yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.

Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam

korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.

Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma

di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan kebagian

tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi

terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi

plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang

merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Wahid,

2013).

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan fraktur menurut Menurut Wahid (2013), yaitu :

1) Fraktur terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh

bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam

(golden period). Kuman belum terlalu jauh neresap dilakukan :

1) Pembersihan luka
10

2) Eksisi jaringan mati atau debridement

3) Hecting situasi

4) Antibiotik

2) Seluruh fraktur

a) Rekognisis atau pengenalan

Riwayat kejadian harus jelas untuk menetukan diagnosa dan

tindakan selanjutnya.

b) Reduksi atau manipulasi atau reposisi

Reduksi tertutup, dilakukan dengan mengembalikan

fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)

dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan

dalam posisi yang diinginkan dan alat imobilisasi akan menjaga

reduksi danmenstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.

Sinar X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang

telah dalam kesejajaran yang benar.

Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi

dan imobilisasi, berat traksi disesuaikan dengan spasme otot yang

terjadi. Sinar X digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan

aproksimasi fragmen tulang.

Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah fragmen tulang

direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,

plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan

fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang.


11

3) Retensi atau imobilisasi

Upaya dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen

tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi

kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imbilisasi dapat

dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi

eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan

teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan

untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk

mengibolisasi fraktur.

4) Rehabilitasi

g. Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Muttaqin (2008), yaitu :

1) Komplikasi awal

a) Kerusakan ateri

Pecahnya ateri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya

nadi, CRT (capillary reffil time) menurun, sianosis pada bagian

distal, hematoma melebar, dan dingin pada ekstremitas yang

disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan posisi pada

bagian yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.

b) Sindrome kompartemen, merupakan komplikasi serius yang terjadi

karena terjebaknya otot, tulang, saraf, pembuluh darah dalam

jaringan parut. Ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang


12

menekan otot, saraf, dan pembuluh darah, atau karena tekanan dari

luar seperti gips dan pembebanan yang terlalun berat.

c) Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang

serimg terjadi pada kasus fraktur tulang panjang, terjadi karena

sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke

aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah

menurun. Di tandai dengan gangguan pernafasan, takikardia,

hipertensi, takipnea, dan demam.

d) Infeksi. Biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi dapat

juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan, seperti pin

(ORIF dan OREF) dan plat.

e) Nekrosis avaskuler, terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau

terganggu sehingga menyebabkan nekrosis tulang. Biasanya

diawalai dengan adanya iskemia volkman.

f) Syok. Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan

meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan

oksigenasi menurun.

2) Komplikasi lama

a) Delayed union. Delayed union merupakan kegagalan fraktur

berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tuang untuk

menyambung. Ini terjadi karena suplai darah ke tulang menurun.

b) Non-union. Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8

bulan dan tidsk didapatkan konsolidasi sehingga terdapat infeksi,


13

tetapi dapat juga terjadi bersama-sama infeksi yang disebut

infected pseudoarthosis.

Beberapa jenis non-union menurut keadaan ujung-ujung fragmen

tulang sebagai berikut :

(a) Hipertrofik. Ujung-ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih

besar dari keadaan normal yang disebut gambarab elephant’s

foot. Ruangan antar tulang diisi dengan tulang rawan dan

jarinagn ikat fibrosa.

(b) Atrofik (oligotrofik). tidak ada tanda-tanda aktivitas selular

pada ujung fraktur. Ujung tulang lebih kecil dan bulat serta

osteoporotik dan avaskular.

c) Mal-union. Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyebuh

pada saatnya, tetapai terdapat deformitas yang berbentuk angulasi.

2. Asuhan Keperawatan Post operasi.

a. Pengkajian

Menurut Wakid (2013), pengkajian meliputi :

1) Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,

alamat, pekerjaan, agama, status perkawinan, suku bangsa, tanggal

masuk, nomor register, diagnosa medis.

2) Keluhan utama, pada umumnya keluhan utama pada fraktur adalah

rasa nyeri.

3) Riwayat penyakit sekarang, berupa kronologi terjadinya penyakit

sehingga bisa terjadi penyakit yang seperti sekarang


14

4) Riwayat penyakit dahulu, ditemukan kemingkinan penyebab fraktur

dan sebagai petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.

5) Riwayat penyakit keluarga, merupakan salah satu faktor predisposisi

terjadinya fraktur

6) Riwayat Psikososial, merupakan respon emosi klien terhadap penyakit

yang diderita dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat yang

mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau

masyarakat.

7) Pola – pola fungsi kesehatan

a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat, pada fraktur biasanya

klien merasa takut akan mengalami kecacatan, maka klien harus

menjalani penatalaksanaa untuk membantu penyembuhan

tulangnya. Selain itu, perlu dilakukan pengkajian yang meliputi

kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat steroid yang dapat

menggangu metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol,

apakah klien melakukan olahraga atau tidak.

b) Pola nutrisi dan metabolisme, klien fraktur harus mengonsumsi

nutrisi yang lebih dari kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat

besi, protein, vitamin C, karena untuk membantu proses

penyembuhan.

c) Pola eliminasi, perlu dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan

jumlah utuk mengetahui adanya kesulitan atau tidak.

d) Pola tidur dan istirahat, klien biasanya merasa nyeri dan geraknya
15

terbatas sehingga dapat menggangu pola dan kebutuhan tidur

klien.

e) Pola aktivitas, adanya nyeri dan gerak yang terbatas, aktivitas klien

menjadi berkurang dan butuh bantuan bari orang lain.

f) Pola hubungan dan peran, klien akan kehilangan peran dalam

keluarga dan masyarakat karena harus menjalani rawat inap.

g) Pola persepsi dan konsep diri, dampak pada klien fraktur akan

timbul ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa

ketidakmampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan

gangguan citra tubuh.

h) Pola sensori dan kognitif, berkurangnya daya raba terutama pada

bagian distal fraktur.

i) Pola reproduksi seksual, klien tidak bisa melakukan hubungan

seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak

juga nyeri.

j) Pola penanggulangan stress, pada klien fraktur timbul rasa cemas

akan keadaan dirinya, takut mengalami kecacatan dan fungsi

tubuh.

k) Pola tata nilai dan kenyakinan, klien tidak bisa melaksanakan

ibadah dengan baik karena nyeri dan keterbatasan gerak.


16

b. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

2) Pemeriksaan head to toe

Ekstremitas perlu dilakukan pemeriksaan gerakkan ekstremitas,

untuk mengetahui apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan,

pemeriksaan ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan

sebelum dan sesudahnya. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada

gangguan gerak (mobilitas) atau tidak, pergerakan dilihat dari

gerakan aktif dan pasif.

c. Pemeriksaan diagnostik

Ignatius, Donna D (2006) dalam Wahid, (2013).

1) Pemeriksan radiologi guna untuk mendapatkan gambaran tiga dimensi

dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit.

2) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui jauh kelainan yang

terjadi, meliputi : kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada

tahap penyembuhan tulang, fosfatase alkali menigkat pada saat

kerusakan tulang dan menunjukkan osteoblastik dalam membentuk

tulang, enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase

(LDH-5), asparta amino transferase (AST), dan aldolase meningkat

pada proses penyembuhan tulang.

d. Diagnosa keperawatan

Menurut Doengoes (2000) dalam Wahid, (2013).


17

1) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,

edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress atau ansietas.

2) Risiko disfungsi neurovaskuler parifer berhubungan dengan penurunan

aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus).

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah,

emboli paru, perubahan membran alveolar atau kapiler (interstisial,

edema paru, kongesti).

4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan karusakan rangka

neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).

5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).

6) Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan

primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif atau

traksi tulang).

7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan atau salah

interprestasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat

atau lengkapnya informasi yang ada.

e. Intervensi

1) Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,

edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress atau ansietas

Tujuan: klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan

menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam


18

beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan

ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk

situasi individu.

Intervensi :

a) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring,

gips, berat dan atau traksi.

Rasional : mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.

b) Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

Rasional : meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema

atau nyeri.

c) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif atau aktif.

Rasional : mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan

sirkulasi vaskuler.

d) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,

perubahan posisi).

Rasional : meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area

takanan lokal dan kelelahan otot.

e) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,

relaksasi pendengaran musik mozart, imajinasi visual, aktivitas

dipersional).

Rasional : mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan

kotrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.


19

f) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)

sesuai keperluan.

Rasional : menurunkan edema dan mengurangi nyeri.

g) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.

Rasional : menurunkan nyeri melalui penghambatan rangsang

nyeri baik secara sentral maupun parifer.

h) Evaluasi kaluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verbal,

perubahan tanda-tanda vital).

2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan

penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan

trombus).

Tujuan : klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan

kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara

aktif.

Intervensi :

a) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan mengerakkan

jari atau sendi distal cedera.

Rasional : meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekauan

sendi.

b) Hindari restriksi sirkulasi akibat tekanan berat atau spalk yang

terlalu ketat.

Rasional : mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya

penyesuaian keketatan bebat atau spalk.


20

c) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada

kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.

Rasional : meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema

kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang

menyebabkan penurunan perfusi.

d) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.

Rasional : mungkin diberikan sebagian upaya profilaktik untuk

menurunkan trombus vena.

e) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan

kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang

normal.

Rasional : mengevaluasi perkembangan masalah klien dan

perlunya intervensi sesuai keadaan klien.

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran

darah, emboli paru, perubahan membran alveolar atau kapiler

(interstisial, edema paru, kongesti).

Tujuan : klien akan menunjukkan kebutuhan oksigen terpenuhi

dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanoosis analisa gas

darah dalam batas norma.

Intervensi :

a) Intruksikan atau bantu latihan napas dan latihan batuk efektif.

Rasional : meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.


21

b) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang nyaman sesuai

keadaan klien.

Rasional : reposisi ,meningkatkan drainase sekret dan menurunkan

kongesti paru.

c) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan dan kortikosteroid sesuai

indikasi.

Rasional : mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan

tromboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk

mencegah emboli lemak.

d) Analisa pemriksaan gas darah, hb, kalsium, LED, lemak, dan

trombosit.

Rasional : penurunan PaO2 dan penigkatan PCO2 menunjukkan

gangguan pertukaran gas; anemia, hipoksemia, peningkatan LED

dan kadar lipase, lemak darah dan peurunan trombosit sering

berhubungan dengan emboli lemak.

e) Evaluasi frekuensi pernafasan dan upaya bernafas, perhatikan

adanya stridor, penggunaan otot aksesoris pernfasan, retraksi sela

iga dan sianosis setral.

Rasional : adanya takipnea dan perubahan dini insufisiensi

pernafasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap

awal.

4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan karusakan rangka

neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).


22

Tujuan : klien dapat meningkatkan atau mempertahankan mobilitas

pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan

posisi fungsional meningkatkan kakuatan atau fungsi yang sakit

danmengkompensasi bagian tubuh menunjukkan teknik yang

memapukan melakukan aktivitas.

Intervensi :

a) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi teraputi sesuai keadaan.

Rasional : memfokuskan perhatian, meningkatkan rasa kontrol

diri, membantu menurunkan isolasi sosial.

b) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit

maupun yan sesuai keadaan klien.

Rasional : meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,

mempertahankan tonus otot, mempertahankan gerak sendi,

mencegahkotraktur dan merabsorsi kalsium karena ombilisasi.

c) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter atau tangan

sesuai indikasi.

Rasional : mempertahankan posis fungsional ekstremitas.

d) Bantu dan dorong perawatan diri sesuai keadaan klien.

Rasional : meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri

sesuai kondisi.

e) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.

Rasional : menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan.


23

f) Dorong atau pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml perhari.

Rasional : mempertahankan hidrasi adekuat, mencegah komplikasi

urinarius dan konstipasi.

g) Berikan diet TKTP.

Rasioanl : kalori dan protein diperlukan untuk proses

penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.

h) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi.

Rasional: kejasama dengan fisioterapi untuk menyusun program

aktivitas fisik secara individual.

i) Evaluasi kemampuan mobilisasi dan program imobilisasi.

Rasional : menilai perkembangan masalah klien.

5) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,

pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup).

Tujuan : klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkkan

perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit, mencapai

penyembuhan luka sesuai waktu.

Intervensi :

a) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman.

Rasional : menurunkan risiko kerusakan kulit yang lebih luas.

b) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal

bebat atau gips.

Rasional : menigkatkan sirkulasi perifer, kelemasan kulit dan otot

terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.


24

c) Lindungi kulit dan gips pada daerah perinatal.

Rasional : mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat

kontaminasi fekal.

d) Observasi keadaan kulit, penekanan gips, insersi traksi.

Rasional ; menilai perkembangan masalah klien.

6) Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan

primer (kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasif atau

traksi tulang).

Tujuan : klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas

drainase purulen atau eritema dan demam.

Intervensi :

a) Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol.

Rasional : mencegah infeksi sekunder dan mempercepat

penyembuhan luka.

b) Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

Rasional : meminimalkan kontaminasi.

c) Kolaborasi pemberian anti-biotik dan toksoid tetanus.

Rasional : mencegah infeksi dan untuk mencegah infeksi tetanus.

d) Analisa pemeriksaan laboratorium.

Rasional : leukosit terjadi pada proses infeksi, anemia dan

peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis, kultur untuk

mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.


25

e) Observasi tanda-tanda vital dan tanda peradangan lokal pada luka.

Rasional : mengevaluasi perkembangan masalah klien.

7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan atau salah

interprestasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat

atau lengkapnya informasi yang ada.

Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan

kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya.

Intervensi :

a) Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.

Rasional efektivitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh

kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program

pembelajaran.

b) Diskusikan metode mobilisasi dan ambulasi sesuai program terapi

fisik.

Rasional : meningkatkan pratisipasi dan kemandirian klien dalam

perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

c) Ajarkan tanda gejala klinis yang memerlukan evaluasi medik.

Rasional : meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali

tanda gejala yang memerlukan intervensi lebih lanjut.


26

d) Persiapan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila

diperlukan.

Rasional : upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk

mengatasi masalah sesuai kondisi klien.

f. Evaluasi.

Wahid (2013), menyatakan evaluasi pada klien fraktur meliputi :

1) Nyeri berkurang atau hilang.

2) Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer.

3) Pertukaran gas adekuat.

4) Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.

5) Infeksi tidak terjadi.

6) Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami.

3. Nyeri

a. Definisi

Nyeri adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan yang berterkait dengan kerusakan jaringan

aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di

mana terjadinya kerusakan (International Association For Study of Pain

dalam Potter & Perry, 2006)

b. Fisiologi Nyeri

Menurut Saputra (2013), fisiologis nyeri meliputi :

1) Nosisepsi
27

Sistem saraf parifer mengandung saraf sensorik primer yang

berfungsi mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan

beberapa sensasi, salah satunya adalah sensasi nyeri. Rasa nyeri

dihantarkan oleh reseptor yang disebut nosiseptor. Nosiseptor

merupakan ujung saraf parifer yang bebas dan tidak bermielin atau

hanya memiliki sedikit mielin. Reseptor ini tersebar di kulit dan

mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan

kandung empedu. Reseptor nyeri tersebut dapat dirangsang oleh

stimulus mekanis, termal, listrik, atau kimiawi (misalnya histamin,

bradikinin, dan prostaglandin).

Proses fisiologis yang terkait nyeri disebut nosisepsi. Proses ini

terdiri atas empat tahap, yaitu :

a) Transduksi

Rangsangan (stimulus) yang membahayakan memicu pelepasan

mediator biokimia ( misalnya histamin, bradikinin, progtaglandin,

dan substansi P). Mediator ini kemudian mensensitisasi

nosiseptor.

b) Transmisi

Tahap ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :

(1) Stimulus yang diterima oleh reseptor ditranmisikan berupa

impuls nyeri dari serabut saraf parifer ke medula spinalis. Jenis

nosiseptor yang terlibat dalam transmisi ini ada dua jenis, yaitu

serabut C dan serabut A-delta. Serabut C mentransmisikan


28

nyeri tumpul dan menyakitkan, sedangan serabut A-delta

mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokasilisasi.

(2) Nyeri ditransmisikan dari medula spinalis kebatang otak dan

talamus melalui jalur spinotalakmikus (spinotbalamic tract

atau STT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi

stimulus ke talamus.

(3) Sinyal diteruskan ke korteks sensorik somatik (tempat nyeri

dipersepsikan). Imouls yang ditransmisikan melalui STT

mengakibatkan respons otonomik dan limbik.

c) Persepsi

Individu mulai menyadari adanya nyeri dan tampaknya persepsi

nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan

timbulnya berbagai strategi prilaku kognitif untuk mengurangi

komponen sensorik dan afektif nyeri.

d) Modulasi atau sistem desendens

Neuron di batang otak mengirim sinyal-sinyal kembali ke tanduk

dorsal spinalis yang terkondisikan dengan nosiseptor impuls

supresif. Serabut desendens tersebut melepaskan substansi seperti

opioid, serotonin, dan norenefrin yang akan menghambat impuls

asendens yang membahayakan di bagian dorsal medula spinalis.


29

2) Teori Gate Control

Teori gate control dikemukakan oleh melzack dan well (1965)

dalam saputra lyndon (2013). Berdasarkan teori ini, fisiologi nyeri

dapat dijelaskan sebagai berikut.

Akar dorsal pada medula spinalis terdiri atas beberapa lapisan

atau laminae yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga

terdapat substansi gelatinosa (sbstantia gelatinosa atau SG) yang

berperan seperti layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau

menghalangi masuknya impuls nyeri menuju otak. Substansi

gelatinosa ini dilewati oleh saraf besar dan saraf kecil yang berperan

dalam penghantaran nyeri.

Pada mekanisme nyeri, rangsangan nyeri dihancurkan melalui

serabut saraf kecil. Rangsangan pada saraf kecil dapat menghambat

substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme sehingga

merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan

rangsangan nyeri.

Rangsangan nyeri yang dihantarkan melalui sraf kecil dapat

dihambat apabila terjadi rangsangan pada saraf besar. Rangsangan

pada saraf besar akan mengakibatkan aktivitas substansi gelatinosa

meningkat sehingga pintu mekanisme tertutup dan hantaran

rangsangan pun terhambat. Rangsangan yang melalui sraf besar

langsung merambat ke korteks serebri agar dapat diidentifikasi dengan

cepat.
30

a. Stimulus Nyeri

Beberapa faktor dapat menjadi stimulus nyeri atau menyebabkan nyeri

karena menekan reseptor nyeri. Contohnya adalah trauma atau

gangguan pada jaringan tubuh, tumor, iskemia pada jaringan, dan

spasme otot.

c. Penghantaran Nyeri

Beberapa teori tentang penghantaran nyeri menurut Saputra (2013),

adalah :

1) Teori pemisahan (spicificity)

Rangsangan nyeri masuk melalui ganglion dorsal medula spinalis

melalui kornu dorsalis yang bersinapsis didaerah posterior.

Rangsangan tersebut kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang

di garis median ke sisi lainnya. Rangsangan nyeri berkhir di korteks

sensori tempat nyeri tersebut diteruskan. Proses penghantaran nyeri

ini tidak memperhitungkan aspek fisiologi dan respons nyeri.

2) Teori pola (pattern)

Rangsangan nyeri masuk ke medula spinalis melalui ganglion akar

dorsal dan merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan

menghantarkan rangsangan nyeri ke korteks serebri. Nyeri yang

terjadi merupakan efek gabungan dari intensitas rangsangan dan

jumlah rangsangan pada ujung dorsal medula spinalis. Proses ini tidak

termasuk aspek fisiologis.


31

3) Teori pengandali gerbang (Gate Control)

Rangsangan nyeri dikendalikan oleh mekanisme gerbang pada ujung

dorsal medula spinalis. Saraf besar dan saraf kecil pada ganglion akar

dorsalis memungkinkan atau menghiangkan penghantaran rangsangan

nyeri.

4) Teori transmisi dan Inhibisi

Stimulus yang mengenai nesiseptor memulai transmisi (penghantaran)

impuls saraf. Transmisi ini menjadi efektif karena terdapat

neurotransmiter yang spesifik. Inhibisi impuls nyeri juga menjadi

efektif karena terdapat impuls pada serabut besar yang menghalangi

impuls pada serabut lambat dan sistem supresi opiat endogen.

d. Klasifikasi Nyeri

Menurut Saputra (2013), nyeri dapat dibedakan berdasarkan jenis dan

bentuknya.

1) Berdasarkan jenis nyeri

a) Nyeri perifer

Nyeri perifer dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

(1) Nyeri superfisial yaitu rasa nyeri muncul akibat rangsangan

pada kulit dan mukosa

(2) Nyeri viseral yaitu rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada

reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium, dan toraks

(3) Nyeri alih yaitu rasa nyeri dirasakan di daerah lain yang jauh

dari jaringan penyebab nyeri


32

b) Nyeri sentral

Nyeri sentral adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada

medula spinalis, batang otak, dan talamus.

c) Nyeri psikogenik

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang penyebab fisiknya tidak

diketahui. Umunya nyeri ini disebabkan oleh faktor psikologis

Selain jenis-jenis nyeri yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat

juga beberapa jenis nyeri yang lain :

(1) Nyeri somatik : nyeri yang berasal dari tendon, tulang, saraf, dan

pembuluh darah.

(2) Nyeri menjalar : nyeri yang terasa di bagian tubuh yang lain,

umunya disebabkan oleh kerusakan atau cedera pada organ

viseral.

(3) Nyeri neurologis : bentuk nyeri tajam yang disebabkan oleh

spasme di sepanjang atau di beberapa jalur saraf.

(4) Nyeri phantom : nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang

hilang, misalnya pada bagian kaki yang sebenarnya sudah

diaputasi.

2) Berdasarkan bentuknya nyeri

a) Nyeri akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan

cepat menghilang. Umumnya nyeri ini berlangsung tidak lebih

dari enam bulan. Penyebab nyeri dan lokasi nyeri biasanya sudah
33

diketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot

dan kecemasan.

b) Nyeri kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung berkepanjangan,

berulang atau menetap selam lebih dari enam bulan. Sumber nyeri

dapat diketahui atau tidak. Umumnya nyeri ini tidak dapat

disembuhkan. Nyeri kronis dapat dibagi menjadi beberapa

kategori, antara lain nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan

nyeri psikosomatis.

e. Pengukuran intensitas nyeri

1) Skala deskriptif (Verbal Descriptor Scale, VDS)

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri

yang lebih objektif. Berupa sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai

lima kata pendiskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama pada

sepanjang garis dan dilakukan dengan meminta klien memilih

intensitas nyeri yang dirasa (Potter & Perry, 2006)

Diskriptif

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri yang


Ringan Sedang Berat tidak tertahankan

Gambar 2.1 Skala Deskriptif


34

2) Skala Numerik (Numerical Rating Scales, NRS)

Skala numerik digunakan sebagai pengganti alat pendiskripsi kata.

Klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Paling efektif

digunakan sebelum dan sesudah intervensi terapeutik. Bila digunakan

untuk menilai direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992

dalam Potter & Perry, 2006)

Numeris

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Sangat Nyeri

Gambar 2.2 Skala Numerik

3) Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS)

Merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang

terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap

ujungnya (Potter & Perry, 2006).

Analog Visual

Tidak Nyeri Nyeri yang


Tidak tertahankan

Gambar 2.3 Skala Analog Visual

4) Skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale

Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan dengan

cara memperhatikan mimik wajah klien pada saat nyeri tersebut


35

menyerang. Cara ini diterapkan pada klien yang tidak dapat

menyatakan intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-

anak dan lansia (Saputra, 2013)

Gambar 2.4 Skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale

Pengkajian keperawatan masalah nyeri adalah dengan PQRST, P :

provoking atau pemicu, faktor yang menimbulkan nyeri, Q : Quality atau

kualitas nyeri, R : Region daerah atau lokasi nyeri, S : Severity atau

intensitas nyeri, T : Time atau frekuensi serangan (Saputra, 2013).

f. Penatalaksanaan Nyeri

Anas Tamsuri, (2004) menyatakan penatalaksanaan nyeri ada dua, yaitu :

1) Penatalaksanaan Farmakologis

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan

opioid (narkotik), nonopioid atau NSAIDs (Nonsteroid Anti-

Inflamation Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik.

Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivat dari

opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan

penurunan nyeri dan memberikan efek eufaria (kegembiraan) dan

mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan saraf pusat.

Dampak lain narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat

sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat.


36

Ada dua jenis utama opioid, yaitu : agonis murni dan kombinasi

agoni-antagonis. Agonis murni merupakan obat opioid murni yang

berikatan dengan kuat terhadap reseptor μ (mu), menghasilkan efek

maksimum dalam menghambat nyeri, sedangkan agoni-antagonis

adalah obat kelompok ini dapat memberikan efek seperti opioid

(dalam menghambat nyeri) jika diberikan pada klien yang tidak

mendapatkan opioid murni.

Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau disebut

Nonsteroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) seperti aspirin,

asetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek anti-nyeri juga

memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (anti-piretik). Obat ini

menyebabkan penurunan nyeri yang bekrja pada ujung saraf perifer di

daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator

peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera,

dan juga menurunkan pelepasan prostaglandin di daerah cedera, dan

biasanya di berikan untuk menagatasi nyeri ringan sampai nyeri

sedang.

Efek samping yang paling umum adalah gangguan pencernaan

seperti adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster. Untuk

mengatasinya biasanyapemberian dilakukan setelah atau bersama

makanan. NSAIDs mungkin dikontraindikasikan pada klien dengan

gangguan pembekuan darah, perdarahan gaster, penyakit ginjal,

trombositipenaia, karena akan meningkatkan demam.


37

Analgesik adjuvan adalah obat yang dikembangkan bukan untuk

membrikan efek analgesik, tetapi ditemukan mampu menyebabkan

penurunan nyeri pada berbagai nyeri kronis.

2) Penatalaksanaan Non Farmakologis

a) Masase kulit

Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan

ketegangan otot. Masase adalah stimulasi kulit tubuh secara

umum, dipusatkan pada punggung dan bahu, atau dapat dilakukan

pada satu atau beberapa bagian tubuh dan dilakukan sekitar 10

menit pada masing-masing bagian tubuh untuk mencapai hasil

relaksasi yang maksimal. Masase kulit dapat dilakukan dengan

menggunakan ointment (balsem gosok) atau liniment (obat cair

gosok) yang mengandung mentol untuk membantu mencapai

pengurangan nyeri.

b) Kompres

Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri

juga dapat meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang

mengalami kerusakan. Penggunaan kompres panas, selain

memberikan efek mengatasi atau menghilangkan sensasi nyeri,

teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis antara lain :

meningkatkan respons inflamasi, meningkatkan aliran darah

dalam jaringan, meningkatkan pembentukan edema. Suhu perlu

diatur yaitu sekitar 52°C pada dewasa normal, 40.5-46°C pada


38

dewasa tidak sadar, dan 40.5-46°C pada anak kecil di bawah usia

2 tahun. Suhu yang diaplikasikan terlalu tinggi akan menimbulkan

rasa tidak nyaman dan kurang memberikan efek penurunan nyeri.

Pada aplikasi kompres dingin, selain memberikan efek

menurunkan sensasi nyeri aplikasi dingin juga memberikan efek

fisiologis : menurunkan repons inflamasi jaringan, menurunkan

aliran darah, mengurangi edema. Untuk memberikan efek

terapeutik mengurangi nyeri, sebaiknya suhu tidak terlalu dingin,

yaitu berkisar 18-27°C. Karena suhu yang terlalu dingin tidak

memberikan rasa nyaman dan dapat menyebabkan frostbite atau

membeku.

c) Stimulasi Kotralateral

Stimulasi kotralateral adalah memberikan stimulasi pada daerah

kulit di sisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri, dapat

berupa garukan pada daerah yang berlawanan jika terjadi gatal,

menggosok (masase) jika kram (kejang) atau pemberian kompres

dingin atau panas serta pemberian balsem atau obat cair gosok.

d) Pijat Refleksi (acupressure)

Pijat refleksi merupakan terapi pijat yang dilakukan pada titik-titik

tertentu pada tubuh manusia yang bermanfaat merangsang fungsi

saraf pusat, merelaksasi, mengurangi rasa sakit dan pemulihan

setelah pembedahan.
39

e) Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Stimulasi saraf elektris transkutan menggunakan satu unit

peralatan yang dijalnakan dengan elektroda yang dipasang pada

kulit untuk menghasilkan kesemutan, getaran, atau mendengung

pada area kulit tertentu.

f) Distraksi

Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke

stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri

berdasarkan teori bahwa aktifitas retikuler menghambat stimulus

nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan

dapat menyebabkan terhambatnya impils nyeri ke otak. Stimulus

yang menyenangkan dari luar merangsang sekresi endorfin,

sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi

berkurang.

Macam – macam distraksi, yaitu :

(1) Distraksi visual atau penglihatan

Melihat pemandangan, menonton televisi, membaca koran.

(2) Distraksi pendengaran

Mendengarkan musik relaksasi salah satunya musik Mozart

atau klasik.

(3) Distraksi pernafasan

anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek atau

memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui


40

hidung dengan hitungan dari satu sampai empat dan kemudian

menghembuskan napas melalui mulut secara perlahan sambil

menghitung satu sampai empat (dalam hati).

(4) Distraksi intelektual

Seperti mengisi teka teki silang, bermain kartu, menulis cerita

(5) Teknik pernafasan

Seperti bermain, bernyanyi, menggambar, sembahyang

(6) Imajinasi terbimbing

adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang

menyenangkan, dan mengonsentrasikan diri pada bayangan

tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari

perhatian terhadap nyeri.

g) Relaksasi

Seperti nafas abdomen dengan frekuensi lambat, dan berirama.

Klien dapat memejamkan mata dan bernafas dengan perlahan.

Dengan inhalasi (hirup, dua, tiga) dan ekhalasi (hembuskan, dua,

tiga)

h) Umpan balik tubuh

Umpan balik tubuh (biofeedback) adalah teknik mengatasi nyeri

dengan memberikan informasi kepada klien tentang respons

fisiologis tubuh terhadap nyeri yang dialami klien.


41

i) Sentuhan terapeutik

Teknik ini dilakukan pada saat klien tidak merasa atau sedikit

merasa nyeri, penjelasan yang diberikan dapat membantu klien

mengendalikan kecemasan dan meningkatkan toleransi terhadap

nyeri.

4. Terapi Musik

a. Definisi

Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan yang menggunakan

musik di mana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki

kondisi fisik, emosi, kognitif, dan sosial bagi individu dari berbagai

kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah materi yang mampu

mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental. Musik

memberikan rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi otak seperti fungsi

ingatan, belajar, mendengar, berbicara, serta analisi intelek dan fungsi

kesadaran (Satiadarma, 2004).

Musik klasik merupakan sebuah musik yang dibuat dan ditampilkan

oleh orang yang terlatih secara profesional melalui pendidikan musik.

Musik klasik juga merupakan suatu tradisi dalam menulis musik, yaitu

ditulis dalam bentuk notasi musik dan dimainkan sesuai dengan notasi

yang ditulis. Musik klasik adalah musik yang komposisinya lahir dari

budaya Eropa dan digolongkan melalui periodisasi tertentu (Kamus Besar

Bahasa Indonesia, 2008).


42

b. Musik klasik Mozart

Musik klasik Mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun

yang lalu. Diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart. Musik klasik

Mozart memberikan ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan

memungkinkan pasien untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun

pikiran. Musik klasik Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi

tinggi yang dapat merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan

motivasi di otak. Musik klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki

komposer lain. Musik klasik Mozart memiliki kekuatan yang

membebaskan, mengobati dan dan menyembuhkan (Musbikin, 2009).

c. Cara kerja terapi musik

Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan. Salah satu

alasannya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian

ditangkap melalui organ pendengaran dan diolah di dalam sistem saraf

tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi

bunyi ke dalam ritme internal pendengarnya. Ritme internal ini

mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya

berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik,

tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan

dengan sistem kekebalan yang lebih baik tubuh menjadi lebih tangguh

terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian

besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem

neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis


43

dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007). Musik dihasilkan

dari stimulus yang dikirim dari akson-akson serabut sensori ascenden ke

neuron-neuron Reticular Activaty System (RAS). Stimuli ini akan

ditransformasikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati area

corteks serebri, sistem limbik, corpus collosum, serta area sistem saraf

otonom dan sistem neuro endokrin. Musik dapat memberikan rangsangan

pada saraf simpatis dan parasimpatis untuk menghasilkan respon

relaksasi. Karakteristik respons relaksasi yang ditimbulkan berupa

penurunan frekuensi nadi, keadaan relaksasi otot, dan tidur (Tuner, 2010).

Efek musik pada sistem neuroendokrin adalah memelihara keseimbangan

tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat kimia ke dalam darah,

seperti ekskresi endoprphin yang berguna dalam menurunkan nyeri,

mengurangi pengeluaran katekolamin dan kadar kortikosteroid adrenal

(Tuner, 2010).
44

5. KERANGKA TEORI

Kecelakaan Fraktur Fraktur eks bawah

Pembedahan

Nyeri post operasi

Terapi musik mozart

Merangsang saraf
parasimpatis

Respon relaksasi

Ekskresi endorphin

Menurunkan nyeri

Gambar 2.5 Kerangka Teori

(Tuner, 2010)
45

6. Kerangka konsep

Terapi musik Skala nyeri


mozart berkurang

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

(Tuner, 2010)
46

BAB III

METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET

A. Subyek Aplikasi Riset

Subyek aplikasi riset ini adalah pada Nn. N dengan post operasi close

fraktur femur dextra.

B. Tempat dan Waktu

Aplikasi riset ini dilakukan diruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi

Surakarta pada tanggal 09 maret 2015 sampai tanggal 11 maret 2015.

C. Media dan alat yang digunakan

Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang digunakan adalah pemutar

musik Mp3 player dengan musik Mozart (klasik) dan headset.

D. Prosedur tindakan

Menurut Jurnal utama Muhammad firdaus dkk (2014), prosedur kerja

terapi musik adalah:

1. Mengucapkan salam dan perkenalan diri.

2. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien.

3. Ciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau tirai

ruangan.

4. Atur posisi pasien yang nyaman.

5. Hidupkan pemutar musik Mp3 player atau pemutar musik dalam

handphone.

46
47

6. Sarankan pasien mendengarkan musik dengan menggunakan

Headphone atau headset.

7. Kaji tingkat nyeri pasien setelah di berikan terapi musik mozart.

8. Lakukan teknik ini dalam sehari 2 kali selama 15menit.

E. Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah alat ukur nyeri

Skala Numerik (Numerical Rating Scales, NRS) Skala numerik digunakan

sebagai pengganti alat pendiskripsi kata. Klien menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Paling efektif digunakan sebelum dan sesudah

intervensi terapeutik. Bila digunakan untuk menilai direkomendasikan

patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2006)

Numeris

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Sangat Nyeri

Gambar 3.1 Alat ukur Skala Numerik


48

F. Lembar Observasi

TGL HARI ALAT UKUR KESIMPULAN


49

BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Pasien merupakan seorang perempuan berusia 18 tahun dengan inisial Nn.

N beragama islam dan bertempat tinggal di Karanggedongan Polanharjo Klaten

berpendidikan SMA, dengan diagnosa medis post operasi fraktur femur dextra,

pasien masuk kerumah sakit pada tanggal 10 Maret 2015, selama dirumah sakit

yang bertanggung jawab atas nama Nn. N adalah Tn. Y berusia 29 tahun

pekerjaan swasta bertempat tinggal di Karanggedongan Polanharjo Klaten,

hubungan dengan klien saudara.

B. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Maret 2015 jam 08.00 WIB 2 hari

setelah operasi dengan metode pengkajian autoanamnesa dan alloanamnesa.

Keluhan utama yang dirasakan pasien adalah nyeri pada paha bagian kanan,

dengan riwayat kesehatan sekarang Nn. N mengatakan bahwa 2 hari sebelum

masuk rumah sakit saat bekerja di pabriknya mengalami kecelakaan jatuh

terpeleset sekitar jam 07.30 WIB pada tanggal 10 Maret 2015, lalu pasien dibawa

ke IGD Rs.Orthopedi surakarta dengan keluhan nyeri pada paha kanan. Di IGD

dilakukan pemeriksaan TTV dengan hasil pemeriksaan TD:135/75mmHg,

Nadi:89x/menit, RR:18x/menit, Suhu:36ºC dan dilakukan pemasangan infus RL

20 tpm lalu diberikan injeksi ketorolac 30mg. Setelah itu pasien di bawa ke ruang

Parangseling untuk rawat inap dan pasien dilakukan operasi pada tanggal 10

Maret 2015.

49
50

Riwayat penyakit dahulu klien mengatakan pernah mengalami kecelakaan

7 tahun lalu dan di rawat dirumah sakit orthopedi untuk operasi pada bagian paha

kanan. Pasien juga mengatakan tidak ada alergi obat,makanan ataupun suhu.

Riwayat penyakit keluarga, klien merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara

klien tinggal bersama kedua orang tuanya dan tidak ada penyakit yang seperti

klien alami maupun penyakit yang menular seperti hipertensi, jantung, diabetes

militus, hepatitis, AIDS/HIV dan tuberculusis paru.

18th

Keterangan :

: Laki- laki meninggal : Garis Pernikahan

: Perempuan meninggal : Garis Keturunan


51

: Laki-laki : Tinggal Satu Rumah

: Perempuan 18th : Klien Nn. N

Gambar 4.1 Genogram

Riwayat kesehatan lingkungan, merupakan lingkungan yang bersih.

Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan klien mengatakan bahwa kesehatan itu

penting dan harus selalu dijaga dan dalam melakukan aktivitasnya pasien akan

lebih berhati-hati agar tidak terjatuh lagi dan patah tulang.

Pola nutrisi sebelum sakit atau sebelum operasi klien mengatakan

makan 3x sehari dengan 1 porsi habis dengan jenis nasi, lauk pauk, buah dan air

putih, tidak ada keluhan. Selama sakit atau sesudah operasi klien mengatakan

makan 3x sehari dengan 1 porsi, dengan jenis makanan nasi, sayur lauk pauk, dan

buah dan tidak ada keluhan.

Pola eliminasi sebelum sakit klien mengatakan BAK 4-6 kali dengan

warna kuning jernih ±200cc sekali BAK, dan BAB 1hari sekali dengan berwarna

kuning kecoklatan dan lunak berbentuk dan tidak ada keluhan. Selama sakit BAK

4-5 kali dengan warna kuning jernih ±200cc sekali BAK, setelah operasi pasien

belum BAB dan tidak ada keluhan.

Pola aktivitas sebelum sakit klien mengatakan makan/minum, toileting,

berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM dilakukan secara


52

mandiri. Selama sakit aktivitas makan/minum,toiletting, berpakaian, mobilitas

tempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dibantu oleh keluarga maupun perawat.

Pola istirahat tidur sebelum sakit atau sebelum operasi bisa tidur

nyenyak dan bangun terasa segar klien tidur kurang lebih 8jam. Selama sakit klien

mengatakan saat tidur malam hari kadang terbangun karena merasakan nyeri post

operasi dan tidur kurang dari 8 jam.

Pola kognitif dan perceptual sebelum sakit pasien dapat berbicara

dengan lancar dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Selama sakit pasien

dapat berbicara dengan lancar dan mendengar dengan baik dan jelas. Pasien

mengatakan nyeri saat bergerak dan pasien mengatakan nyeri terasa senut-senut,

nyeri dibagian paha kanan dibagian yang di operasi dengan skala nyeri 4 dan

waktu nyeri hilang timbul Pasien tampak meringis kesakitan.

Pola persepsi dan konsep diri klien mengatakan menerima kondisinya

saat ini dan tidak ada nggota tubuh yang tidak disukai. Pola hubungan dan peran

klien mengatakan hubungan dengan keluarga dan lingkungan sekitar rumahnya

baik. Pola seksual dan reproduksi klien mengatakan anak keempat dari empat

saudara dan belum menikah.

Pola mekanisme koping sebelum sakit klien mengatakan jika ada

masalah selalu menceritakan kepada keluarganya baik saudara ataupun orang tua.

Selama sakit klien mengatakan jika ada masalah dengan paha kanannya yang

patah selalu bercerita dengan anggota keluarga yang menunggu dan jika mengeluh

ke perawat yang jaga.


53

Pola nilai dan keyakinan sebelum sakit klien mengatakan beragama

islam dan selalu sholat 5 waktu dan pada saat sakit klien hanya berdoa agar cepat

sembuh dan kembali sholat.

Hasil pemeriksaan fisik dari keadaan atau penampilan kesadaran klien

composmentis. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital sebagai berikut, tekanan darah

130/80 mmHg, frekuensi nadi 89x/menit dengan irama teratur dan kekuatan kuat

frekuensi pernafasan 20x/menit dengan irama kuat suhu 36,6oC. Bentuk kepala

masochepal, kulit kepala bersih tidak ada ketombe dengan rambut hitam tidak

beruban. Hasil pemeriksaan muka dari mata palpebra tidak ada oedema

konjungtiva tidak anemis sclera tidak ikterik pupil isokor diameter kanan kiri

simetris reflek terhadap cahaya baik dan tidak menggunakan alat bantu

pengelihatan. Pemeriksaan hidung bersih, simetris, tidak ada jejas dan tidak ada

secret, pemeriksaan mulut dengan hasil simetris tidak ada jejas dan tidak ada

sianosis. Hasil dari pemeriksaan gigi terdapat gigi berlubang bagian depan

berwarna hitam dan pemeriksaan telinga simetris bersih dan tidak ada serumen.

Pemeriksaan leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid.

Pemeriksaan dada : inspeksi didapatkan hasil ekspansi kanan kiri

berbentuk dada simetris dan tidak ada jejas, palpasi vokal fremitus kanan kiri

sama saat diperkusi suara sonor kanan kiri sama dan saat di aulkustasi bunyi

vesikuler diseluruh lapang paru.

Pemeriksaan abdomen bentuk datar tidak ada jejas, tidak terdapat nyeri

tekan, bunyi tymphani dikuadran kiri, bising usus 20x/menit.


54

Pada pemeriksaan genetalia dan rektum tidak terkaji. Pada pemeriksaan

ekstremitas atas kekuatan otot normal 5/5 dan ROM kanan kiri bisa bergerak aktif

capilary refile <2detik. Pemeriksaan pada eskstremitas bawah bagian kanan Look:

Terdapat luka operasi tertutup balutan, balutan luka bersih, terdapat edema pada

paha dekat knee dan punggung kaki, tidak ada lesi pada femur dan terpasang

drainase dengan produksi 200cc, LLD 0,5cm. Feel: klien mengatakan nyeri pada

paha bagian kanan, nyeri saat bergerak, skala nyeri 4, tidak ada mati rasa pada

bagian hip sampai pergelangan kaki, cappilary refile >2detik, akral hangat. Move:

pergerakkan hip terbatas, pergerakkan lutut terbatas belum bisa ditekuk,

pergerakan ankle lemah, kekuatan otot 2. Pemeriksaan pada ekstremitas bagian

kiri kekuatan otot 5 (kuat), ROM dapat bergerak aktif, tidak ada perubahan bentuk

tulang, tidak ada edema, akral hangat, tidak ada luka, cappilary refile <2detik.

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 maret 2015 didapatkan hasil

leukosit 12,6 ribu/uL normal (4,5-10,0), eritrosit 4,3 juta/uL normal (4,50-5,40),

hemoglobin 12,3 g/uL normal (14,0-17,5), hematokrit 36% normal (33-45),

trombosit 293 ribu/uL normal (150-450), golongan darah B, GDS 123mg/dL,

ureum 18,0mg/dL, creatin 0,5mg/dL,sgot 17 U/L, sgpt 10 U/L. Terapi yang

diperoleh selama dibangsal pada tanggal 12 maret 2015 cairan infus RL 500mg

dengan dosis 20tpm, cefazolin 1000mg diberikan 3x1hari per 8 jam, ketorolac

30mg diberikan 3x1hari per 8 jam.


55

C. Perumusan Masalah Keperawatan

Setelah dilakukan analisa terhadap data pengkajian diperoleh data

subjektif antara lain klien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri terasa senut-

senut, nyeri dibagian pahan kanan didaerah yang dioperasi, skala nyeri 4 dan nyeri

hilang timbul. Data objektif yang diperoleh klien tampak meringis kesakitan,

terdapat luka post operasi dibagian paha kanan dan pemeriksaan TD 135/80

mmHg, RR:20x/menit, nadi 90x/menit . Berdasarkan analisa data menunjukan

nyeri akut merupakan prioritas masalah utama, sehingga dapat ditegakan diagnosa

keperawatan sesuai batasan karakteristik nyeri akut menurut Nanda (2012), yaitu

perubahan nyeri atau melindungi daerah nyeri secara verbal dan perubahan posisi

untuk menghindari nyeri. Diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan

dengan agen cidera fisik : post operasi.

Setelah dilakukan analisa terhadap pengkajian diperoleh data subjektif

antara lain klien mengatakan terdapat luka operasi pada paha kanannya Data

obyektif terdapat luka pembedahan pada paha kanan klien, dengan leukosit 12.600

gr/dL. Berdasarkan analisa data tersebut menunjukkan resiko infeksi merupakan

prioritas masalah yang kedua, sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan

sesuai batasan karakteristik resiko infeksi menurut (Nanda 2012), yaitu prosedur

invasif (pembedahan).

Setelah dilakukan analisa terhadap data pengkajian diperoleh data

subyektif yaitu klien mengatakan kaki kanannya bisa digerakkan untuk

beraktivitas makan /minum, berpakaian, toileting, berpindah dan lain-lain harus di

bantu. data obyektif yang diperoleh kekuatan otot klien lemah (2), pergerakan hip
56

terbatas, lutut belum bisa ditekuk, dalam beraktivitas dibantu keluarga.

Berdasarkan analisa data menunjukkan bahwa hambatan mobilitas adalah masalah

ketiga, sehingga dapat ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai batasan

karakteristik hambatan mobilitas menurut nanda (2012:304)yaitu penurunan

kekuatan otot.

D. Perencanaan keperawatan

Perencanaan dari masalah keperawatan pada tanggal 12 maret 2015

penulis menyusun suatu intervensi sebagai tindak lanjut pelaksanaan asuhan

keperawatan pada Nn. N dengan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen

injuri fisik dengan tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang dari 4 menjadi 2 , pasien tidak

meringis kesakitan, pasien tampak rileks.

Intervensi yang dilakukan yaitu observasi karakteristik nyeri

(P,Q,R,S,T) untuk mengetahui karakteristik nyeri, berikan terapi musik Mozart 2

kali dengan durasi 15 menit untuk mengurangi rasa nyeri non farmakologis, atur

posisi yang nyaman untuk mengurani nyeri, kolaborasi dengan dokter untuk

pemberian analgesik ketorolac 30 mg/8jam menggunakan agen-agen farmakologis

untuk mengurangi nyeri.

Perencanaan dari masalah keperawatan 12 maret 2015 penulis

menyusun suatu intervensi sebagi tindak lanjut pelaksanaan asuhan keperawatan

pada Nn. N dengan diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

(pembedahan) dengan tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindakan


57

keperawatan selama 3x24 jam diharapan tidak ada tanda-tanda terjadinya infeksi

pada luka post operasi.

Intervensi yang dilakukan yaitu observasi adanya tanda-tanda infeksi

untuk mengetahui adanya tanda-tanda infeksi pada luka, lakukan medikasi pada

luka untuk menjaga kebersihan luka dan meningkatkan penyembuhan luka,

lakukan teknik aseptik sebelum dan sesudah melakukan tindakan untuk mencegah

adanya kontaminasi silang, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat

antibiotik Cefazolin 1000mg/8 jam untuk mencegah terjadinya infeksi.

Perencanaan dari masalah keperawatan tanggal 12 maret 2015 penulis

menyusun suatu intervensi sebagai tindak lanjut pelaksanaan asuhan keperawatan

pada Nn. N dengan diagnosa hambatan mobilitas berhubungan dengan nyeri

dengan tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan tindaakan 3x24 jam diharapkan

klien dapat beraktivitas secara mandiri.

Intervensi yaitu kaji kekuatan otot klien untuk mengetahui tingkat

kemampuan aktivitas klien, bantu klien dalam rentang gerak dan ROM aktif untuk

meningkatkan aliran darah ke otot, dorong klien dalam mobilisasi secara bertahap

untuk menurunkan komplikasi tirah baring, kolaborasi dengan fisioterapi dalam

melatih klien untuk meningkatkan kekuatan otot.

E. Implementasi

Tindakan keperawatan dilakukan untuk mengatasi masalah

keperawatan utama berdasarkan rencana tindakan tersebut maka dilakukan

tindakan keperawatan pada hari kamis tanggal 12 maret 2015 sebagai tindak

lanjut pelaksanaan asuhan keperawatan pada Nn. N dengan diagnosa keperawatan


58

nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dilakukan implementasi yaitu

pengkajian pada pasien kelolaan, jam 08.45 mengobservasi karakteristik nyeri,

klien mengatakan nyeri saat bergerak dan klien mengatakan nyeri terasa senut-

senut, nyeri dibagian paha kanan dibagian yang di operasi dengan skala nyeri 4

dan waktu nyeri hilang timbul klien tampak meringis kesakitan. Jam 08.50

mengkaji kekuatan otot klien, klien mengatakan belum bisa menggerakkan

pahanya karena sakit, klien tampak kesulitan menggerakkan pahanya dan

kekuatan otot 2. Jam 09.00 memberikan posisi semi fowler, klien bersedia

diberikan posisi semi fowler dan pasien tampak nyaman dengan posisi semi

fowler. Pada jam 09.10 mengajarkan latihan ROM, klien bersedia diajarkan

latihan ROM dan klien mampu menggerakkan jari-jari kakinya dan pergelangan

kakinya. 09.30 mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi, klien mengatakan takut

melihat luka dan luka tampak bersih tidak ada tanda-tanda infeksi ataupun pus.

10.00 mengajarkan teknik aseptik sebelum dan sesudah kegiatan, klien

mengatakan bersedia belajar cuci tangan yang benar danklien mempraktikannya

dengan benar. Jam 11.30 memberikan terapi musik mozart dengan headset, klien

mengatakan nyeri saat bergerak dan klien mengatakan nyeri terasa senut-senut,

nyeri dibagian paha kanan dibagian yang di operasi dengan skala nyeri 4 dan

waktu nyeri hilang timbul klien tampak masih meringis kesakitan setelah

diberikan terapi musik mozart. Jam 13.00 memberikan injeksi intravena ketorolac

30mg dan cefazolin 1000mg, klien mengatakan bersedia diinjeksi dan injeksi

masuk melalui intravena. Jam 13.30 memberikan terapi musik mozart, klien
59

bersedia diberikan terapi dan klien tampak rileks skala nyeri berkurang dari skala

4 menjadi 3.

Jumat, 13 maret 2015 jam 08.00 penulis mengobservasi karakteristik

klien mengatakan nyeri senut-senut sudah berkurang skala nyeri berkurang

menjadi 3, nyeri hilang timbul dan klien tampak sedikit rileks dan tidak meringis

kesakitan. Pada jam 08.20 WIB melakukan perawatan luka post operasi, klien

mengatakan bersedia dilakukan perawatan luka dan luka tampak bersih ,tidak ada

tanda-tanda infeksi, ganti balut dan drainase dilepas. Jam 09.00 WIB motivasi

klien melakukan aktivitas secara bertahap, klien mengatakan bersedia dan klien

tampak menggerakkan jari-jari kakinya dan pergelangan kaki. Jam 09.10 WIB

mengkaji kekuatan otot klien, klien mengatakan belum bisa menggerakkan paha

kanannya dan klien tampak menggerakkan jari kaki dan pergelangan kaki,

kekuatan otot 3. Jam 09.20 WIB kolaborasi dengan fisioterapi dalam melatih

klien, klien bersedia dilatih dan klien dilatih berdiri dan menapakkan telapak

kakinya pelan-pelan. Jam 10.20 WIB memberikan posisi semi fowler, klien

bersedia diberikan posisi semi fowler dan klien tampak nyaman dengan posisi

semi fowler. Jam 10.25 WIB memberikan terapi musik mozart, klien bersedia

diberikan terapi musik dan klien tampak lebih rileks, skala nyeri berkurang dari 3

menjadi 2. Jam 10.50 WIB mengajarkan keluarga klien cara melakukan terapi

musik mozart, keluarga klien mengatakan bersedia dan keluarga meminta lagu-

lagu musik mozart. Jam 12.50 WIB klien diperbolehkan pulang sesuai perintah

dokter.
60

F. Evaluasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pada tanggal 12

maret 2015 pada jam 13.30 WIB. dilakukan evaluasi keperawatan dengan data

subjektif yaitu lain klien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri terasa senut-senut,

nyeri dibagian paha kanan didaerah yang dioperasi, skala nyeri 4 dan nyeri hilang

timbul. Data objektif yang diperoleh klien tampak meringis kesakitan, dan

terdapat luka post operasi dibagian paha kanan dan masalah belum teratasi

lanjutkan intervensi observasi karakteristik nyeri (PQRST) berikan terapi musik

mozart, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgesik ketorolac

30mg/8 jam.

Setelah dilakuakan tindakan keperawatan 3x24 jam pada tanggal 12

maret 2015 dilakukan evaluasi keperawatan dengan data subjektif klien

mengatakan takut melihat dan memegang luka. Data objektif luka tampak bersih

dan tidak ada tanda-tanda infeksi, masalah belum teratasi dan lanjutkan intervensi

observasi tanda-tanda infeksi, lakukan medikasi perawatan luka, kolaborasi

dengan dokter dalam pemberian obat antibiotik cefazolin 1000mg/8 jam.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pada tanggal 12

maret 2015 dilakukan evaluasi keperawatan dengan data subjektif klien

mengatakan belum bisa menggerakkan paha kanannya karena sakit. Data objektif

klien tampak kesulitan menggerakkan paha kanannya, masalah belum teratasi,

lanjutkan intervensi kaji kekuatan otot, bantu klien dalam rentang gerak, dorong

klien dalam mobilisasi, kolaborasi dengan fisioterapi.


61

Evaluasi hari ke dua dilakukan pada tanggal 13 maret 2015 jam 12.30

WIB, didapatkan hasil evaluasi dengan data subjektif pasien mengatakan nyeri

berkurang, nyeri terasa senut-senut sudah berkurang, nyeri pada paha kanan skala

nyeri 2 nyeri hilang timbul, dan data objektif yaitu pasien tampak rileks dan tidak

mengeluh nyeri masalah teratasi sebagian, hentikan intervensi klien pulang sesuai

perintah dokter.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pada tanggal 13

maret 2015 jam 12.40 WIB dilakukann evaluasi keperawatan dengan data

subjektif klien mengatakan luka sudah bersih. Data objektif luka tampak bersih,

tidak ada tanda-tanda infeksi, balut sudah bersih, masalah teratasi sebagian

hentikan intervensi klien pulang sesuai perintah dokter.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pada tanggal 13

maret 2015 dilakukan evaluasi keperawatan dengan data subjektif klien klien

mengatakan belum bisa menggerakkan paha kanannya tetapi sudah bisa

menggerakkan pergelangan kaki dan jari-jari kaki kanannya. Data obyektif : klien

tampak menggerakkan pergelangan kaki dan jari-jari kaki kanannya, kekuatan

otot 3 (sedang). Intervensi keperawatan dilanjutkan menganjurkan klien untuk

melakukan ROM aktif secara rutin dirumah, klien diperbolehkan pulang sesuai

perintah dokter.
62

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang pemberian terapi musik mozart

terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Nn. N dengan post

operasi close fraktur femur dextra Rumah Sakit Ortopedi Surakarta yang

dilakukan pada tanggal 9 Maret sampai 21 Maret 2015. Disamping itu penulis

akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-kesenjangan yang

terjadi antar teori dengan kenyataan yang meliputi pengkajian, diagnosa

keperawatan, intervensi, implementasi, dan intervensi.

A. Pengkajian

Langkah pertama dari proses keperawatan yaitu pengkajian, dimulai

perawat dengan menerapkan pengetahuan. Pengkajian keperawatan adalah proses

sistematis dari pengumpulan, verikasi dan komunikasi data tentang klien. Fase

proses keperawatan ini mencakup dua langkah pengumpulan data yaitu

pengumpulan data primer (klien) dan sumber sekunder (keluarga, tenaga

kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan (Potter

dan Perry, 2005)

Pengkajian yang dilakukan penulis meliputi pengakajian identitas pasien,

keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat

penyakit keluarga dan 11 fungsi gordon serta pemeriksaan fisik head to toe. Serta

62
63

pengakajian khusus pada ekstermitas yang mengalami fraktur dengan look, feel,

move (Potter dan Perry, 2005).

Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Maret 2015 jam 18.00 WIB dengan

metode pengkajian autoanamnesa dan alloanamnesa. Keluhan utama yang

dirasakan klien adalah nyeri pada paha bagian kanan. Fraktur adalah setiap retak

atau patah tulang yang disebabkan oleh trauma, tenaga fisik, kekuatan, sudut,

keadaan tulang dan jaringan lunak disekitar tulang yang akan menentukan apakah

fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).

Riwayat penyakit sekarang di dapat data riwayat klien mengatakan bahwa 2

hari sebelum masuk rumah sakit saat bekerja di pabriknya mengalami kecelakaan

jatuh terpeleset sekitar jam 07.30, lalu pasien dibawa ke IGD Rumah Sakit

Orthopedi Surakarta dengan keluhan nyeri pada paha kanan. Di IGD dilakukan

pemeriksaan TTV dengan hasil pemeriksaan TD:135/75mmHg, Nadi:89x/menit,

RR:18x/menit, Suhu:36ºC dan dilakukan pemasangan infus RL 20 tpm lalu

diberikan injeksi ketorolac 30mg. Setelah itu pasien di bawa ke ruang

Parangseling untuk rawat inap.

Pada pola kognitif perseptual klien mengatakan nyeri saat bergerak dan

pasien mengatakan nyeri terasa senut-senut, nyeri dibagian paha kanan dibagian

yang di operasi dengan skala nyeri 4 dan waktu nyeri hilang timbul. Menurut

klasifikasinya nyeri pada Nn. N tergolong nyeri akut dimana nyeri akut diartikan

sebagai nyeri yang sebagian besar diakibatkan oleh penyakit, atau injuri jaringan,

nyeri jenis ini biasanya awitanya datang tiba-tiba, nyeri akut terjadi kurang dari 6

bulan (Saputra, 2013;215).


64

Nyeri yang dirasakan Nn. N tergolong nyeri sedang karena skala nyeri yang

dirasakan skala 4. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang

terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Proses terjadinya nyeri adalah dimulai

ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan, potongan, sayatan, dingin atau

kekurangan oksigen pada sel, maka bagian tubuh yang terluka akan mengeluarkan

berbagai macam subtansi intraseluler dilepaskan ke ruang ekstraseluler maka akan

mengiritasi nosiseptor. Saraf ini akan merangsang dan bergerak sepanjang serabut

saraf atau neurotransmisi yang akan menghasilkan substansi yang disebut dengan

neurotransmisi seperti prostaglandin dan epineprin, yang membawa pesan nyeri

dari medula spinalis ditransmisikan ke otak dan dipersepsikam sebagai nyeri

(Potter & Perry, 2006). Nyeri bisa diukur dengan skala numeric yaitu, 0: tidak

nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, 7-9: nyeri berat, 10: nyeri sangat berat

(Saputra, 2013).

Pengkajian nyeri meliputi (PQRST), P (Provocate) yang berarti penyebab

atau stimulus – stimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri yang

dirasakan, R (Region) yang berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat

keparahan nyeri, T (Time) yang berarti awitan, durasi dan rangkaian nyeri

(Prasetya, 2010).

Dalam pola kognitif perceptual penulis lupa dalam mencantumkan

pengkajian nyeri (PQRST) karena kurang ketelitian penulis.

Hasil pengkajian pola aktivitas didapatkan hasil sebelum sakit klien

mengatakan dari makan dan minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat

tidur, berpindah, ambulasi mandiri semua. Selama sakit klien makan, toileting,
65

berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, dan ambulasi ROM masih

dibantu orang lain. Sesuai dengan teori karena adanya nyeri dan gerak yang

terbatas, semua bentuk aktivitas klien dapat berkurang sehingga klien akan lebih

butuh bantuan dari orang lain (Muttaqin, 2008).

Pengkajian fokus yang penulis uraikan adalah tentang pengkajian pada

fraktur yaitu dengan mengggunakan look, feel dan move untuk pemeriksaan fisik

pada pasien dengan fraktur (Muttaqin, 2008). Pada pemeriksaan ekstremitas atas

kekuatan otot normal 5/5 dan ROM kanan kiri bisa bergerak aktif capilary refile <

2detik. Pemeriksaan pada eskstremitas bawah bagian kanan Look : Terdapat luka

operasi tertutup balutan, balutan luka bersih, terdapat edema pada paha dekat knee

dan punggung kaki, tidak ada lesi pada femur dan terpasang drainase dengan

produksi 200cc, LLD 0,5cm. Feel: klien mengatakan nyeri pada paha bagian

kanan, nyeri saat bergerak, skala nyeri 4, tidak ada mati rasa pada bagian hip

sampai pergelangan kaki, cappilary refile >2detik, akral hangat. Move:

pergerakkan hip terbatas, pergerakkan lutut terbatas belum bisa ditekuk,

pergerakan ankle lemah, kekuatan otot 2. Pemeriksaan pada ekstremitas bagian

kiri kekuatan otot 5 (kuat), ROM dapat bergerak aktif, tidak ada perubahan bentuk

tulang, tidak ada edema, akral hangat, tidak ada luka, cappilary refile < 2detik.

Kekuatan otot ekstremitas kanan bawah Nn. N menunjukkan nilai 2, dalam

teori, pengukuran kekuatan otot dilakukan ROM (Range of Motion) merupakan

istilah baku untuk menyatakan batas atau besarnya gerakan sendi yang normal dan

sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan batas

gerakan sendi yang abnormal. Adapun penilaianya yaitu Derajat 0: paralisis total
66

atau tidak ditemukan kontraksi otot, 1: kontraksi otot yang terjadi hanya berupa

perubahan tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat

menggerakan sendi, 2: otot hanya mampu menggerakan persendian, tetapi

kekuatanya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi, 3: di samping dapat

menggerakan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi, tetapi tidak kuat

terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa, 4: kekuatan otot seperti pada

derajat 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan, 5:

kekuatan otot normal (Muttaqin, 2008). Dan pada Nn. N ekstremitas kanan bawah

tidak dapat melawan gravitasi, hanya mampu menggerakkan persendian, dengan

nilai 2.

Pada pemeriksaan penunjang foto rontgen, penulis tidak mencantumkan

hasil dari foto rontgen karena tidak terkaji oleh penulis karena kurangnya

ketelitian penulis. Dalam teori, rontgen berfungsi untuk menentukan keadaan dan

kedudukan tulang (Muttaqin, 2008).

Terapi yang diperoleh selama dibangsal pada tanggal 12 maret 2015 cairan

infus Ringer Laktat 500mg dengan dosis 20 tetes permenit, golongan elektrolit,

berfungsi untuk menjaga dan mengembalikan keseimbangan elektrolit. Cefazolin

1000mg/8 jam golongan antibiotik, berfungsi untuk mencegah infeksi, ketorolac

30 mg/ 8 jam golongan analgetik non narkotik berfungsi untuk mengurangi nyeri

jangka pendek terhadap nyeri sedang sampai berat pada pasien post operasi (ISO,

2012).
67

Pengkajian merupakan inti dari berfikir kritis dan pemecahan masalah

klinik. Setelah mengumpulkan dan memvalidasi data subyektif dan obyektif serta

menginterpretasikan data, penulis melakukan analisa data dan mengelompokkan

sesuai dengan data yang didapatkan dari hasil pengkajian (Potter dan Perry, 2005)

B. Perumusan masalah

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon actual

atau potensial klien terhadap masalah kesehatan. Respon aktual dan potensial

klien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literature yang berkaitan,

catatan medis klien (Potter dan Perry, 2005).

Hasil pengkajian dan pengelompokkan data penulis menemukan beberapa

masalah kesehatan dan memfokuskan pada fungsi kesehatan fungsional yang

membutuhkan dukungan dan bantuan pemulihan sesuai dengan kebutuhan hirarki

maslow (Potter dan Perry, 2005) dari hasil pengkajian dan analisa data penulis

mengangkat diagnosa, yaitu :

1. Diagnosa pertama yang penulis rumuskan adalah Nyeri akut berhubungan

dengan agen cidera fisik : post operasi.

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau

potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa.

Menurut international for the study of pain nyeri akut adalah awitan yang

tiba- tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang

dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (NANDA,

2012)
68

Batasan karakteristik nyeri akut terjadi perubahan tekanan darah,

perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernapasan,

mengekpresikan perilaku gelisah, waspada iritabilitas, sikap melindungi

area nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, fokus pada diri

sendiri, gangguan tidur (NANDA, 2012).

Data hasil pengkajian yang mendukung diagnosa nyeri akut

mencakup data obyektif, data subyektif dan hasil pemeriksaan. Data

subyektif klien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri terasa senut-senut,

nyeri dibagian pahan kanan didaerah yang dioperasi, skala nyeri 4 dan

nyeri hilang timbul. Data obyektif yang diperoleh klien tampak meringis

kesakitan, dan terdapat luka post operasi dibagian paha kanan, tekanan

darah 135/80 mmHg, nadi 90x/menit, respiratory rate 20x/menit, suhu

36ºC.

Batasan karateristik menyebutkan pada nyeri terjadi perubahan

tekanan darah, perubahan frekuensi jantung dan frekuensi pernafasan,

didalam analisa data penulis tidak mencantumkan perubahan nadi,

respiratory rate dan tekanan darah karena kurangnya ketelitian penulis

tidak mendokumentasikan dan memasukknnya dalam analisa data.

Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri akut berdasarkan hirarki

kebutuhan menurut maslow yaitu masuk dalam kebutuhan tingkat kedua

mencakup kebutuhan keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis)

yang merupakan kebutuhan paling dasar kedua yang harus diprioritaskan.

(Potter dan Perry, 2005).


69

2. Diagnosa kedua yang diangkat penulis yaitu resiko infeksi berhubungan

dengan prosedur invasif.

Resiko infeksi adalah keadaan dimana seorang individu berisiko

terserang oleh agen patogenik dan oportunistik (virus, jamur, bakteri,

protozoa, atau parasit lain) dari sumber-sumber eksternal, sumber-sumber

eksogen dan endogen (NANDA, 2009-2011).

Data yang mendukung diagnosa keperawatatan resiko infeksi

meliputi data subyektif dan data obyektif sesuai dengan batasan

karakteristik. Hasil pengakajian post operasi data subyektif yaitu klien

mengatakan terdapat luka pada paha kanannya, data obyektif yang

diperoleh yaitu terdapat luka operasi pada paha kanan klien, hasil

pemeriksaan leukosit klien adalah 12,6 ribu gr/dL dengan nilai normal

leukosit 4,5-11ribu gr/dL. Hal ini sesuai degan pasien dan teori mengenai

resiko infeksi yaitu mengalami peningkatan risiko terserang organisme

patogenik (NANDA,2009-2011).

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

Hambatan mobiltas fisik adalah keterbatasan pada pergerakkan

fisik tubuh atau satu atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah.

Batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik : penurunan waktu reaksi,

kesulitan membolak – balik posisi, keterbatasan rentang gerak sendi,

ketidakstabilan postur, pergerakan lambat, pergerakkan tidak terkoordinasi

(NANDA, 2012).
70

Data yang mendukung diagnosa keperawatan hambatan mobilitas

fisik meliputi data subyektif dan data obyektif sesuai dengan batasan

karakteristik. Hasil pengakajian post operasi, data subyektif yaitu klien

mengatakan kaki kanannya bisa digerakkan untuk beraktivitas makan

/minum, berpakaian, toileting, berpindah dll harus di bantu. data obyektif

yang diperoleh kekuatan otot klien lemah (2), pergerakan hip terbatas,

lutut belu bisa ditekuk, dalam beraktivitas dibantu keluarga.

Menurut kebutuhan menurut Maslow hambatan mobilitas fisik

masuk dalam kebutuhan prioritas kedua keamanan dan keselamatan (fisik

dan psikologis). Penulis memprioritaskan diagnosa hambatan mobilitas

fisik sebagai diagnosa ketiga setelah risiko infeksi, karena hambatan

mobilitas fisik tidak bersifat urgent (Potter dan Perry, 2005).

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan penulis terdapat diagnosa

yang tidak diangkat penulis yaitu gangguan pola tidur berhubungan

dengan gangguan rasa nyaman : nyeri. Hal tersebut dikarenakan, bahwa

berdasarkan pengkajian Nn. N cenderung mengalami masalah utama pada

nyeri akut dan etiologi dari gangguan pola tidur juga karena nyeri,

sehingga jika masalah utama nyeri akut telah teratasi maka gangguan pola

tidur juga akan teratasi. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis bermaksut

mengaplikasikan hasil riset dari Muhammad firdaus (2014), tentang

pemberian terapi musik mozart terhadap penurunan intensitas nyeri pada

asuhan keperawatan Nn. N dengan post operasi close fraktur femur dextra

diruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi Surakarta.


71

C. Intervensi Keperawatan

Proses keperawatan yang dilakukan setelah merumuskan diagnosa

keperawatan yang spesifik, perawat menggunakan ketrampilan berpikir kritis

untuk menetapkan prioritas dignosa dengan membuat membuat peringkat

dalam urutan kepentingannya. Prioritas ditegakkan untuk mengidentifikasi

urutan intervensi keperawatan. Intervensi keperawatan adalah tindakan yang

dirancang untuk membantu klien dalam beralih dari tingkat kesehatan saat ini

ke tingkat kesehatan yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan (Potter dan

Perry, 2005).

Setelah mengkaji mendiagnosa dan menetapkan prioritas tentang

kebutuhan perawatan kesehatan klien, penulis merumuskan tujuan dan hasil.

Tujuan tidak hanya memenuhi kebutuhan klien tetapi juga harus mencakup

pencegahan dan rehabilitasi. Tujuan yang penulis susun sesuai dengan teori

yang ada pada buku fundamental keperawatan Potter dan Perry (2005)

mengacu pada 7 faktor : berpusat pada klien, faktor tunggal menunjukkan

hanya satu respon klien, faktor yang dapat diamati perubahan yang dapat

diamati dapat terjadi dalam temuan fisiologis, tingkat pengetahuan klien dan

perilaku, faktor yang dapat diukur, faktor batasan waktu serta tujuan dan hasil

yang diharapkan menunjukkan kapan respon yang diharapkan harus terjadi,

faktor mutual, faktor realistik tujuan dan hasil yang diharapkan singkat dan

realistik. Berdasarkan diagnosa yang telah penulis rumuskan dengan

menyesuaikannya dengan prioritas permasalahan, penulis menyusun

intervensi sebagai berikut :


72

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik : post operasi.

Setelah di lakukan tindakan keperawatn 3x24 jam diharapkan nyeri

akut teratasi dengan kriteria hasil : klien tidak meringis kesakitan dan

rileks, skala nyeri berkurang dari skala 4 menjadi skala 2. Dengan

intervensi yang penulis rumuskan menggunakan ONEC (observation,

nursing intervention, education, collaboration) observaton kaji skala

nyeri rasional nyeri merupakan respon subyektif yang dapat di kaji

dengan menggunakan skala nyeri, nusing intervention berikan terapi

musik Mozart rasional musik dapat memberikan rangsangan pada saraf

parasimpatis untuk menghasilkan respon relaksasi dan efek musik pada

sistem neuroendokrin adalah memelihara keseimbangan tubuh melalui

sekresi hormon-hormon oleh zat kimia ke dalam darah, seperti ekresi

endorphin yang berguna menurunkan nyeri, mengurangi pengeluaran

pengeluaran katekolamin dan kadar kortikosteroid adrenal (Tuner, 2010).

Education ajarkan relaksasi pernafasan ketika nyeri muncul rasional

untuk meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri,

colaboration kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik rasional

analgetik memblok intensitas nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan tidak

terjadi infeksi dengan kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi pada

luka post operasi, leukosit dalam batas normal yaitu 4,5-11ribu gr/dL.

Dengan intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan adalah


73

observasi tanda-tanda infeksi yaitu untuk mendeteksi dini terhadap

infeksi akan mudah. Lakukan perawatan luka dengan menggunakan

tehnik septik dan aseptik yaitu membersihkan, memantau, dan

memfasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan

(Wilkinson, 2012). Observasi luka insisi yaitu memberikan deteksi dini

terhadap infeksi dan perkembangan luka (Wilkinson.2012). Ukur tanda-

tanda vital yaitu untuk mengetahui dugaan adanya infeksi/ terjadinya

sepsis, abses, peritonitis (Doenges, 2005). Berdasarkan data yang

diperoleh penulis dan Nn. N sesuai dengan teori.

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan

tidak terjadi hambatan mobilitas fisik, dengan kriteria hasil : klien dapat

melakukan aktivitas secara mandiri, tidak terjadi kontraktur sendi,

kekuatan otot meningkat dari 2 menjadi 4. Berdasarkan kriteria hasil yang

disusun, penulis membuat beberapa intervensi dengan menggunakan

ONEC (Observation, Nursing Intervention, Education, Colaboration).

Observation kaji kekuatan otot klien yang mengalami fraktur rasional

mengetahui tingkat kemampuan klien dalam beraktivitas. Nursing

intervention bantu klien untuk melakukan rentang gerak pada rasional

gerak aktif memberikan massa tonus dan kekuatan otot serta

memperbaiki fungsi otot dan sendi, education dorong klien dalam

melakukan mobilisasi secara bertahap rasional menurunkan komplikasi

tirah baring, collaboration kolaborasi dengan fisioterapis dalam latihan


74

fisik rasional meningkatkan kekuatan otot dan pembuatan program

aktivitas latihan.

Untuk mencapai hasil yang diharapkan penulis tidak hanya

melibatkan perawat lain, namun penulis juga berkolaborasi dengan dokter

dan fisioterapis.

D. Implementasi Keperawatan

Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah

kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk

mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan

dilakukan dan diselesaikan. Implementasi mencakup melakukan, membantu

atau mengarahkan kinerja aktivitas kehidupan sehari – hari, memberikan

arahan perawatan untuk mencapai tujuan yang berpusat pada klien (Potter dan

Perry, 2005)

Proses implementasi penulis mengkaji kembali klien, memodifikasi

rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang diharapkan sesuai dengan

kebutuhan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai

lima tahap : mengkaji ulang, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan

yang sudah ada, mengidentifikasi area bantuan, mengimplementasikan

intervensi keperawatan, dan mengkomunikasikan intervensi (Potter dan Perry,

2005).

Pada pembahasan ini penulis berusaha menerangkan hasil aplikasi riset

keperawatan manfaat pemberian terapi musik Mozart terhadap penurunan

intensitas nyeri pada Nn. N dengan post operasi close fraktur femur dextra.
75

Penulis melakukan implementasi berdasarkan dari intervensi yang telah

disusun dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria hasil dalam rentang

normal yang diharapkan. Tindakan keperawatan yang penulis lakukan selama

2 hari kelolaan pada asuhan keparawatan Nn. N dengan post operasi close

fraktur femur dextra yaitu :

1. Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik : post

operasi.

Penulis melakukan tindakan pemberian terapi musik Mozart

menggunakan media pemutar musik melalui headset selama 2 hari

berturut-turut dengan durasi 15 menit tanggal 12 Maret 2015 penulis

mengkaji karekteristik nyeri yang diarasakan Nn. N sebelum dilakukan

terapi musik Mozart, P : pasien mengatakan nyeri saat bergerak, Q : nyeri

terasa senut-senut, R : nyeri pada bagian paha kanan, S : skala nyeri 4, T :

nyeri hilang timbul, pasien tampak meringis kesakitan dan terdapat luka

post operasi, pada hari kedua setelah dilakukan terapi musik Mozart, skala

nyeri berkurang dari skala 4 menjadi skala 2 dengan respon klien tidak

meringis kesakitan, tampak rileks dan tidak mengeluh nyeri.

Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan. Salah satu

alasannya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian

ditangkap melalui organ pendengaran dan diolah di dalam sistem saraf

tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi

bunyi ke dalam ritme internal pendengarnya. Ritme internal ini

mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya


76

berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik,

tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan

dengan sistem kekebalan yang lebih baik tubuh menjadi lebih tangguh

terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian

besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem

neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis

dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007).

Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson

serabut sensori ascenden ke neuron-neuron Reticular Activaty System

(RAS). Stimuli ini akan ditransformasikan oleh nuclei spesifik dari

thalamus melewati area corteks serebri, sistem limbik, corpus collosum,

serta area sistem saraf otonom dan sistem neuro endokrin. Musik dapat

memberikan rangsangan pada saraf simpatis dan parasimpatis untuk

menghasilkan respon relaksasi. Karakteristik respons relaksasi yang

ditimbulkan berupa penurunan frekuensi nadi, keadaan relaksasi otot, dan

tidur (Tuner, 2010). Efek musik pada sistem neuroendokrin adalah

memelihara keseimbangan tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat

kimia ke dalam darah, seperti ekskresi endoprphin yang berguna dalam

menurunkan nyeri, mengurangi pengeluaran katekolamin dan kadar

kortikosteroid adrenal (Tuner, 2010).

Berdasarkan jurnal yang dikutip oleh Firdaus tahun 2014 dengan

judul efektivitas terapi musik mozart terhadap penurunan intensitas nyeri

pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah, Penulis telah


77

mengaplikasikan tindakan pemberian terapi musik mozart terhadap

penurunan intenstas nyeri pada asuhan keperawatan Nn. N dengan post

operasi close fraktur femur dextra di Ruang Parangseling Rumah Sakit

Orthopedi Surakarta.

Hasil dari tindakan tersebut juga dipengaruhi oleh observasi nyeri

dan pemberian obat analgetic yaitu ketorolac dengan dosis 30mg/8 jam

yang berpengaruh juga dengan penurunan skala nyeri.

Penulis menggunakan teknik farmakologis dan non farmakologis

untuk menurunkan intensitas nyeri untuk mencapai hasil sesuai dengan

intervensi yang penulis susun. Teknik farmakologis yang penulis lakukan

yaitu kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik ketorolac

30mg/8 jam. Obat analgetik berfungsi untuk memblok lintasan nyeri

sehingga nyeri akan berkurang. (Muttaqin, 2008). Teknik non

farmakologis yang penulis lakukan yaitu dengan terapi musik Mozart.

Dengan penggunaan teknik relaksasi, maka saraf simpatis akan dihambat,

sementara saraf parasimpatis meningkat sehingga mengakibatkan

ketegangan otak dan otot seseorang akan berkurang. Aktifnya saraf – saraf

parasimpatis akan menyebabkan pasien merasakan nyeri berkurang

(Solehati dan Kosasih, 2015).

2. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

Tanggal 12 Maret 2015 penulis melakukan tindakan keperawatan

mengobservasi adanya tanda-tanda infeksi pada luka post operasi pada


78

Nn. N. Hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan penulis yaitu

luka bersih, tidak ada tanda-tanda dan tidak terdapat pus.

Tanggal 13 Maret 2015 penulis melakukan tindakan keperawatan

berkolaborasi dengan dokter dalam memberikan terapi obat antibiotik

cefazolin dengan dosis 1000mg/8jam. Cefazolin adalah golongan obat

antibiotik yang berfungsi untuk mencegah terjadinya infeksi (ISO, 2012).

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot

Tanggal 12 Maret 2015 penulis melakukan pengakajian kekuatan

otot pada Ny. N post operasi close fraktur femur dextra kontraksi otot

pada ekstremitas kanan bawah lemah, kekuatan otot 2 (lemah),

mengajarkan pada pasien pergerakkan ROM aktif pada kaki kanan klien,

melatih pasien untuk melakukan peregerakkan sendi dengan ROM aktif

pada paha kanan, mengobsevasi kembali kekuatan otot pada ekstermitas

kanan bawah kekuatan otot masih lemah (2), melatih klien menggerakkan

pergelangan kaki kanan dan jari-jari kaki.

Tanggal 12 Maret 2015 penulis melakukan pengakajian kekuatan

otot pada Nn. N post operasi close fraktur femur dextra kontraksi otot

pada ekstremitas kanan bawah mengalami peningkatan, kekuatan otot 3

(sedang), klien mampu menggerakkan pergelangan kaki kanan dan jari-

jari kaki. Selain mengobservasi, penulis juga berkolaborasi dengan

fisioterapis dalam melatih klien. Klien dilatih menapakkan telapak

kakinya secara bertahap dan didapatkan hasil klien mampu menapakkan

kakinya secara pelan-pelan.


79

E. Evaluasi

Evaluasi adalah proses keperawatan mengukur respon klien terhadap

tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan (Potter

dan Perry, 2005). Penulis menggunakan evaluasi formatif yaitu catatan

perkembangan yang berorientasi pada masalah yang dialami klien, dengan

menggunakan format SOAP (Subyektif, Obyektif, Analisis, Planning).

(Setiadi, 2012).

1) Evaluasi hari terakhir masalah keperawatan nyeri akut berhubungan

dengan agen cidera fisik : post opersi.

Subyektif : P : klien mengatakan nyeri sudah berkurang, Q : nyeri terasa

senut-senut sudah berkurang, R : nyeri pada bagian paha kanan, S : skala

nyeri 2, T : nyeri hilang timbul, obyektif : klien tampak rileks dan tidak

mengeluh nyeri, analisis : masalah teratasi, planning : intervensi

dihentikan menganjurkan klien melakukan terapi musik mozart pada

waktu dirumah merasakan nyeri, pada hari kedua klien diperbolehkan

pulang sesuai perintah dokter.

Menurut Wahid (2013), salah sau evaluasi pasien fraktur adalah

nyeri berkurang bahkan hilang. Dalam evaluasi diagnosa nyeri akut

berhubungan dengan agen cidera fisik : post operasi ini sudah sesuai

dengan teori yaitu pada evaluasi akhir nyeri sudah berkurang dari skala 4

menjadi skala 2.

2) Evaluasi hari terakhir diagnosa keperawatan kedua resiko infeksi

berhubungan dengan prosedur invasif (pembedahan).


80

Subyektif : klien mengatakan luka sudah bersih, balut sudah diganti,

obyektif : tidak ada tanda-tanda infeksi dan pus, analisis : masalah teratasi,

planning : intervensi dihentikan, menganjurkan klien melakukan

perawatan luka dirumah dengan teknik aseptik, klien sudah diperbolehkan

pulang sesuai perintah dokter.

Menurut Wahid (2010), salah satu evaluasi pasien fraktur adalah

infeksi tidak terjadi. Dalam evaluasi akhir diagnosa keperawatan resiko

infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : pembedahan ini sudah

sesuai dengan teori yaitu tidak adanya tanda-tanda infeksi.

3) Evaluasi hari terakhir diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik

berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

Subyektif : klien mengatakan belum bisa menggerakkan paha kanannya

tetapi sudah bisa menggerakkan pergelangan kaki dan jari-jari kaki

kanannya, obyektif : klien tampak menggerakkan pergelangan kaki dan

jari-jari kaki kanannya, kekuatan otot 3 (sedang), analisis : masalah

teratasi sebagian, kekuatan otot mengalami peningkatan dari nilai 4

menjadi 3, planning : intervensi keperawatan dilanjutkan menganjurkan

klien untuk melakukan ROM aktif secara rutin dirumah, klien

diperbolehkan pulang sesuai perintah dokter.

Evaluasi akhir diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik

terjadi peningkatakan kekuatan otot dari skala 2 menjadi skala 3. Hal ini

belum sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan penulis, dalam


81

diagnosa keperawatan yang ketiga ini penulis belum bisa memaksimalkan

kriteria hasil karena klien sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

Penulis tidak melakukan pengelolaan klien selama 3x24 jam

karena klien pada hari kedua pada tanggal 13 Maret 2015 diperbolehkan

pulang oleh dokter, sehingga penulis tidak melanjutkan pengelolaan klien.

Ketorolac mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV

maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia

tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4

sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan tingkat keparahan

nyeri dan respon pasien (FKUI, 2008).

Penulis melakukan tindakan pemberian terapi musik Mozart yang

kedua pada hari pertama setelah selang 30 menit pemberian terapi

ketorolac 30mg/8 jam, tindakan pemberian terapi musik tersebut dilakukan

karena keterbatasan penulis dalam mencari informasi dan referensi tentang

teori tersebut.
82

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa,

implementasi dan evaluasi tentang Asuhan Keperawatan Nn. N dengan post

operasi close fraktur femur dextra di ruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi

Surakarta dengan mengaplikasikan hasil metode pemberian terapi musik mozart

untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi close fraktur femur

dextra, maka dapat ditarik kesimpulan:

A. KESIMPULAN

Dari uraian bab pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Pengkajian

Pengkajian pada Nn. N diperoleh data subyektif klien mengeluh

nyeri pada paha bagian kanan nyeri setelah operasi dan bertambah saat

digerakkan, nyeri terasa senut-senut, skala nyeri 4, nyeri terasa hilang

timbul, dengan data obyektif klien tampak meringis kesakitan dan

terdapat luka post operasi.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Nn. N adalah

nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi), Resiko

infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pembedahan), hambatan

mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

82
83

3. Intervensi

Intervensi untuk diagnosa nyeri akut pada Nn. N adalah observasi

karakteristik nyeri PQRST (Provoking incident, Quality of pain, Region,

Severity of pain, Time), beri terapi dengan musik mozart, berikan posisi

yang nyaman, kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.

Intervensi untuk diagnosa resiko infeksi, observasi adanya tanda-tanda

infeksi, lakukan medikasi pada luka, lakukan teknik aseptik sebelum dan

sesudah melakukan tindakan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian

obat antibiotik. Intervensi untuk diagnosa mobilitas fisik pada Nn. N

yaitu kaji kekuatan otot klien, bantu klien dalam rentang gerak ROM,

dorong klien dalam melakukan mobilisasi secara bertahap, kolaborasi

dengan fisioterapi.

4. Implementasi

Dalam asuhan keperawatan Nn. N dengan post operasi close

fraktur femur dextra diruang Parangseling Rumah Sakit Orthopedi

Surakarta telah sesuai dengan intervensi yang penulis rumuskan. Penulis

menekankan pemberian terapi musik Mozart untuk menurunkan

intensitas nyeri pada pasien selama 2 hari kelolaan yaitu mulai tanggal 12

Maret 2015 sampai tanggal 13 Maret 2015 dengan durasi 15 menit dan

dilakukan 2 kali dalam sehari.

5. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan selama dua hari sudah dilakukan secara

komprehensif dengan acuan Rencana Asuhan Keperawatan, serta telah


84

berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya didapatkan hasil evaluasi

keadaan klien dengan kriteria hasil sudah tercapai, diagnosa nyeri akut

berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi) pada Nn. N sudah

teratasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan yaitu nyeri berkurang

dari skala 4 menjadi skala 2 dan intervensi dilanjutkan menganjurkan

klien melakukan terapi musik Mozart pada waktu dirumah merasakan

nyeri, pada hari kedua klien diperbolehkan pulang sesuai perintah dokter.

Pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

evaluasi keadaan klien dengan kriteria hasil belum tercapai maka resiko

infeksi pada Nn. N teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan

menganjurkan klien melakukan perawatan luka dirumah dengan teknik

aseptik, klien sudah diperbolehkan pulang sesuai perintah dokter.

Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

penurunan kekuatan otot hasil evaluasi keadaan klien dengan kriteria hasil

belum tercapai, maka hambatan mobilitas fisik pada Nn. N teratasi

sebagian dan intervensi dilanjutkan menganjurkan klien untuk melakukan

ROM aktif secara rutin dirumah, klien diperbolehkan pulang sesuai

perintah dokter.

6. Analisa

Pemberian terapi musik Mozart pada Nn. N dengan post operasi

close fraktur femur dextra selama 2 hari pengelolaan didapatkan hasil

nyeri berkurang dari skala 4 menjadi skala 2. Sehingga dapat disimpulkan

terapi musik Mozart ini efektif dalam menurunkan intensitas nyeri.


85

B. SARAN

Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, penulis memberi saran sebagai

berikut :

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien lebih optimal dan

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

2. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan institusi pendidikan memberikan kemudahan dalam

pemakaian sarana dan prasarana yang merupakan fasilitas bagi mahasiswa

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya dalam

melalui praktek klinik dan pembuatan laporan.

3. Bagi penulis selanjutnya

Diharapkan penulis dapat menggunakan atau memanfaatkan waktu lebih

efektif, sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien secara

optimal.
86

DAFTAR PUSTAKA

Abdul. 2013. Buku Saku Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Trans Info Media, Jakarta.
Adelina, R.F (2011). Efektivitas mendengarkan murottal Al-qur’an dan teknik
relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca
bedah fraktur ekstremitas bawah. Skripsi tidak dipublikasikan.
Depkes, RI. (2011). Sistem kesehatan nasional. Diperoleh tanggal 22 Desember
2013. Dari repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/22361/5/chafter I.Pdf
Ignatavicius, D. D. & Workman, M. L (2006). Medical surgical nursing: Critical
thinking for collaborative care. Missouri: Elsevier Saunder.
Ikatan Apoteker Indonesia.2009. Informasi Spesialis Obat (ISO) Indonesia.ISFI,
Jakarta
Muttaqin, Arif. 2005. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. EGC, Jakarta.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : Aplikasi pada
Paktik Klinik Keperawatan. EGC, Jakarta
Potter, Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses
danPraktik. EGC, Jakarta.
Prasetyo, S. N., (2010). Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Price dan Wilson, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC, Jakarta.
Saputra Lyndon.2013. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Binarupa Aksara,
Tangerang
Tamsuri Anas. 2004. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. EGC, Jakarta.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri, Jakarta: EGC.
Utama, F. (2011), Efektivitas terapi musik mozart terhadap kualitas tidur lansia.
Skripsi tidak dipublikasikan.
Wilkinson, M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria hasil NOC. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai