Anda di halaman 1dari 3

Degradasi Lahan Pertanian Ancam Swasembada Pangan Nasional

TRIBUNNERS - Tingkat lahan kritis di Indonesia terus meningkat dan mengkhawatirkan


karena mengganggu produktivitas hasil pertanian dan dianggap sebagai salah satu ancaman
utama bagi target swasembada pangan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.Pada 1992,
kurang lebih 18 juta hektar lahan di Indonesia telah mengalami degradasi atau penurunan
kualitas lahan.Pada 2002, luasan tersebut meningkat lebih dari 100 persen menjadi 38,6 juta
hektar (BPS, 2002). Padahal, Pemerintah telah menargetkan Indonesia dapat mencapai
swasembada Padi, Jagung dan Kedelai pada 2018.Hal ini diungkap dalam seminar Pemetaan
Kualitas Tanah di Indonesia untuk Mendukung Swasembada Pangan Nasional, yang
diselenggarakan di Bale Sawala Universitas Padjadjaran Bandung hari ini, Jumat (19/8/2016).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut adalah Pimpinan Komisi IV DPR-RI Dr
Ir H E Herman Khaeron MSi, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dr Ir
Muhammad Syakir MS, Direktur Pupuk dan Pestisida Dirjen Sarana dan Prasarana Kementerian
Pertanian Dr Ir Muhrizal Sarwani MSc, Guru Besar Bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Universitas Padjajaran Prof Dr Ir HE Hidayat Salim MS, dan Direktur Petrokimia Gresik
Rahmad Pribadi BBA MPA.Herman Khaeron, Pimpinan Komisi IV DPR-RI yang juga hadir
dalam keynote speech mengutarakan bahwa pemerintah telah menyusun langkah strategis dan
kongkrit untuk menyelesaikan permasalahan ini.

"DPR telah mengesahkan sejumlah undang-undang guna mendukung pertanian


berkelanjutan dan konservasi tanah dan air di Indonesia. Namun hal ini harus menjadi usaha
kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, penyuluh pertanian, hingga petani, juga
masyarakat,” ujar Herman.Undang-Undang tersebut antara lain UU No 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air, UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU
No 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No
12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.Berbagai kebijakan tersebut diyakini akan menjadi
jawaban strategis atas berbagai permasalahan inti kondisi lahan yang kritis.Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Muhammad Syakir mengutarakan bahwa sumber daya
lahan Indonesia terus menciut akibat konversi dan degradasi yang disebabkan oleh sistem
pengelolaan tidak baik.

Berdasarkan perkiraan sementara dengan mempertimbangkan laju konversi lahan, tahun


2045 akan diperlukan tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha, terdiri dari 4,9 juta ha sawah, 8,7 juta
ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa."Dengan kondisi demikian, maka ada tiga hal yang
perlu dilakukan untuk merealisasikan swasembada pangan, yaitu intensifikasi di lahan pertanian
eksisting, perluasan lahan, dan pengendalian konversi lahan pertanian, termasuk perbaikan
pemupukan menuju pemupukan berimbang,” ujar Syakir.Sebagai bagian dari program ketahanan
pangan nasional, pemerintah sendiri terus mendorong peningkatan penggunaan pupuk organik
dan pupuk majemuk berimbang, serta penyempurnaan data yang berbasis orang dan lahan.Dana
subsidi pupuk sebesar Rp 31.153,4 miliar telah dianggarkan dalam RAPBN 2017 sebagai salah
satu upaya untuk mendukung kebijakan tersebut.

Pemupukan berimbang merupakan pemberian pupuk bagi tanaman sesuai dengan status
hara tanah dan kebutuhan tanaman untuk mencapai produktivitas yang optimal dan
berkelanjutan.Sayangnya, salah satu permasalahan pemupukan berimbang saat ini ada pada
adopsi di kalangan petani. Terdapat persepsi yang tidak sesuai bahwa penggunaan pupuk
berimbang akan mengurangi produktivitas. Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian,
Muhrizal Sarwani menyatakan bahwa salah satu peran terpenting dipegang oleh penyuluh
pertanian."Penyuluh haruslah dibekali dengan informasi dan pengetahuan yang benar mengenai
pemupukan berimbang. Mereka adalah garda terdepan dalam memberikan pendidikan kepada
petani mengenai praktik pertanian yang baik. Sehingga, saat mengisi RDKK (Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok) para petani sudah mengalokasikan kebutuhan pupuk sesuai prinsip
pemupukan berimbang."

Hidayat Salim, Guru Besar Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Universitas Padjadjaran
dalam diskusi mengatakan bahwa pemupukan berimbang memiliki dua manfaat utama. Pertama,
meningkatkan hasil pertanian dan yang kedua memperbaiki kesehatan tanah.“Pupuk anorganik
dapat terlihat hasilnya dengan relatif cepat, namun pemupukan yang intensif dan tidak terkontrol
dapat menimbulkan masalah lingkungan. Sementara itu pupuk organik dapat memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah, namun hasil tidak secepat pupuk anorganik. Oleh karena itu,
pupuk berimbang menjadi solusi terbaik. Kombinasi antara pupuk organik dan pupuk anorganik
secara terintegrasi dan berimbang akan saling mendukung terhadap kesehatan tanah, kualitas
tanah, produktivitas tanah dan tanaman, secara berkelanjutan.”Pemakaian pupuk berimbang oleh
para petani juga mendapatkan dukungan dari para pelaku industri.
"Sebagai salah satu produsen pupuk di Indonesia, Petrokimia Gresik melakukan dua
tindakan nyata yaitu memfasilitasi proses regenerasi petani muda melalui gerakan Taruna Petro
PATRA dan mendorong petani menerapkan pemupukan berimbang. Kegiatan demplot
(demonstration plot) yang telah dilakukan diberbagai daerah, memberikan bukti nyata kepada
para petani bahwa pemupukan berimbang dapat membantu meningkatkan hasil panen,” ungkap
Rahmad Pribadi BBA, MPA Direktur Umum dan SDM Petrokimia Gresik.Salah satu unsur
penting dalam pemupukan berimbang adalah penggunaan pupuk organik yang sesuai dengan
standar pemerintah, seperti Petroganik pupuk organik bersubsidi.Petroganik tidak hanya
berfungsi menyuburkan tanah tetapi juga meningkatkan daya simpan dan daya serap air serta
unsur hara makro dan mikro di dalam tanah.Selain itu, pupuk ini juga memiliki lima keunggulan
yaitu bahan baku yang kaya manfaat, berbentuk granul, bebas gulma dan bakteri jahat, kadar air
rendah dan sesuai dengan Permentan No 7 tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai