Referat Arif Nomor 2
Referat Arif Nomor 2
Referat Arif Nomor 2
Streptomisin
Streptomisin adalah golongan aminoglikosida pertama yang digunakan terhadap bakteri gram
negatif. Streptomisin khususnya mempengaruhi sistem vestibular dan sensorineural.
Kerusakan vestibular akibat streptomisin umumnya terjadi pada pasien dengan penggunaan
jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena efek toksiknya, agen
ini jarang digunakan, terbatas hanya kasus untuk pengobatan tuberculosis sebagai golongan
obat anti-tuberculosis kategori II.
Gentamisin
Sama halnya dengan streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan mengganggu sistem
vestibular. Kadar serum terapeutik puncak 10-12 mcg/ml umumnya dianggap aman tetapi
masih mungkin beracun pada beberapa pasien.
Neomycin
Agen ini adalah salah satu aminoglikosida yang bersifat kokhleotoksik bila diberikan dalam
dosis tinggi; oleh karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomycin
adalah golongan aminoglikosida yang paling lambat dibersihkan dari perilimfe. Hal ini
mengakibatkan efek toksik yang tertunda (1-2 minggu) dapat terjadi setelah penghentian
terapi. Neomycin terutama diberikan sebagai ototopical yang efektif. Meskipun neomycin
umumnya dianggap aman bila digunakan secara topikal di saluran telinga atau di lesi kulit
kecil, saat ini sudah tersedia agen alternative yang bersifat lebih aman.
Kanamycin
Meskipun kurang beracun dibandingkan neomycin, kanamycin termasuk golongan ototoksik.
Kanamycin memiliki kecenderungan untuk menyebabkan kerusakan sel rambut koklea
dalam, ditandai dengan tuli frekuensi tinggi. Efek merusak terutama ke koklea, sementara
sistem vestibular biasanya terselamatkan dari kerusakan. Kanamycin memiliki manfaat terapi
klinis terbatas klinis digunakan hari ini. Seperti halnya dengan neomycin, administrasi
parenteral umumnya tidak dianjurkan.
Amikacin
Amikacin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki sangat sedikit efek toksik vestibular.
Efek yang merugikan terutama melibatkan sistem pendengaran, namun lebih ringan
dibandingkan gentamisin. Dalam pengobatan infeksi berat, amikacin terutama diindikasikan
berdasarkan hasil tes kerentanan dan respon pasien.
Tobramycin
Ototoksisitas tobramycin sama dengan amikacin, yaitu menyebabkan tuli frekuensi tinggi.
Seperti kanamycin, toksisitas vestibular kurang umum. Tobramycin yang sering digunakan
dalam bentuk topikal dan umumnya dianggap aman.
Aminoglikosida Lainnya
Golongan antibiotik terbaru seperti sisomisin, dibekasin, dan netilmisin kurang bersifat
ototoksisitas dibandingkan golongan aminoglikosida lawas. Meskipun kadar obat di darah
dan durasi lama pengobatan menentukan munculnya gejala, beberapa pasien rentan
mengalami gejala toksisitas setelah pemberian dosis rendah.
3. Loop Diuretics
Diuretik loop memberikan efek terapi di loop of Henle. Agen yang termasuk dalam
kelas ini adalah golongan sulfonamid, derivate asam phenoxyacetic dan senyawa heterosiklik.
Obat ini digunakan untuk mengobati jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi.
Diuretik sering digunakan dan terbukti efektif (misalnya, ethacrynic asam, furosemid,
bumetanide), namun dapat menyebabkan ototoksik. Beberapa loop diuretic yang jarang
digunakan juga dilaporkan dapat menyebabkan ototoksisitas. Kelompok ini mencakup
torsemide, azosemide, ozolinone, indacrinone, dan piretanide.
Dua obat diuretic utama yang menyebabkan ototoksi adalah furosemide dan asam
etakrinik, bekerja secara aktif menghambat resorpsi klorida di Lengkung Henle, sehingga
mencegah penyerapan natrium secara pasief yang mengikuti klorida. Mekanisme ototoksik
belum diketahui secara lengkap, meksipun oba ini telah diketahui mempengaruhi kanal ion di
ginjal dan saluran di kokhlea. Loop diuretic menghambat kotransporter Na-K-2Cl pada sel
marginal dan sel gelap (dark cell) stria vaskularis, sehingga mereduksi konsentrasi kalium di
endolimfe. Efek ototoksik loop diuretic muncul terutama di kokhlea, meskipun beberapa
kasus vertigo dilaporkan. Sekitar 6% pasien yang diterapi degan furosemide menjadi tuli
temporer yang bersifat reversible.
Obat golongan diuretic terbaru, bumetanide dan piretanide, tampaknya memiliki efek
kokhleotoksis lebih rendah pada percobaan manusia dan hewan. Penggunaan loop diuretic
yang dikombinasi dengan aminoglikosida dapat meningkakan efek ototoksisitas.
4. Salisilat
Asam asetilsalisilat asam, lebih dikenal sebagai aspirin, digunakan secara luas untuk
sifat anti-inflamasi, antipiretik dan analgesik. Aspirin merupakan penghambat agregasi
trombosit dan digunakan untuk mengobati pasien dengan riwayat transient ischemic
serangan, stroke, tidak stabil angina, atau infark miokard.
Efek samping utama ototoksik bersifat reversible, ringan-sedang dengan tuli frekuensi
tinggi dan dengan tinnitus nada tinggi. Namun, tinnitus dapat terjadi pada kadar serum
serendah 200 mcg/mL. Terdapat hubungan linear antara konsentrasi salisilat yang tidak
terikat serum dengan munculnya gejala ototoksik, meskipun ambang batas munculnya
symptom ini bervariasi dari pasien ke pasien. Salisilat menyebabkan disfungsi sementara
pada sel rambut luar yang dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologis. Belum ada bukti
pengaruh pada system vestibular. Semua gejala dan keluhan akan cepat membaik secara
reversible setelah penghentian salisilat (biasanya dalam 24 jam).
7. Obat-obatan Lainnya
Obat-obatan yang terutama menyebabkan vestibulotoksik adalah golongan
antikonvulsan, sedatif, antihistamin, peningkat mood, dan antidepresan. Penggunaan
antikonvulsan yang lazim digunakan seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital dosis
tinggi dapat menganggu system vestibular. Gejala yang dijumpai dapat berupa nisgtagmus,
vertigo, ataksia. Sedangkan untuk sedative, antihistamin, peningkat mood, dan antidepresan,
belum diketahui secara pasti mekasnime yang menimbulkan gangguan vestibular sebagai
efek sampingnya,.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bisht M, Bist SS. Ototoxicity: the hidden menace. Indian Journal of Otolaryngology
and Head & Neck Surgery. 2011 Jul 1;63(3):255-9.
2. Campbell KC, Le Prell CG.2018. Drug-induced ototoxicity: diagnosis and monitoring. Drug
safety. ;41(5):451-64.
3. Ekborn, A. 2003. Cisplatin-Induced Toxicity: Pharmacokinetics, Prediction, and
Prevention. Stockholm: Repro print.
4. Fransiska F. Ototoksisitas Aminoglikosida. KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan
Kedokteran. 2019 Dec 17;1(1):37-47.
5. Katzung, B. 2004. Basic Clinical Pharmacology. US: Blackwell Science.
6. Mudd, P. A. 2012. Ototoxicity. Medscape Reference. Diakses dari
http//:www.emedicine.com.
7. Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam. Jakarta:
Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.