Referat Arif Nomor 2

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

Secara sederhana, ototoksisitas berarti racun pada telinga.

Definisi dan kriteria untuk


ototoksisitas telah ditetapkan oleh American Speech Languange Hearing Association
(ASHA), the National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse Events
(CTCAE), dan Brock. ASHA mendefinisikan ototoksisitas sebagai berikut:1,5
(a) penurunan ambang batas pendengaran nada murni pada frekuensi 20db atau lebih,
(b) penurunan pada 2 frekuensi berturut-turut 10db atau lebih, atau
(c) hilangnya respon pada tes 3 frekuensi yang berurutan (OAE dan BERA).
CTCAE dan Brock telah menentukan derajat ototoksisitas sebagai berikut:
CTCAE ototoksisitas derajat 1-4
1. Derajat 1 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi 15-25 dB
dibandingkan nilai dasar, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu
telinga.
2. Derajat 2 - pergeseran ambang batas atau kehilangan pendengaran pada frekuensi >25-90
dB, pada pemeriksaan 2 frekuensi yang berurutan, setidaknya pada satu telinga
3. Derajat 3 – kehilangan fungsi pendengaran yang memerlukan intervensi terapeutik,
termasuk alat bantu (misalnya, tuli frekuensi > 20 dB bilateral; tuli frekuensi > 30 dB
unilateral)
4. Derajat 4 - indikasi untuk implan koklea

Derajat Tuli Brock


1. Derajat 0 - ambang batas pendengaran kurang dari 40 dB pada semua frekuensi
2. Derajat 1 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi 8.000 Hz
3. Derajat 2 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi 4.000-8.000 Hz
4. Derajat 3 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi 2.000-8.000 Hz
5. Derajat 4 - ambang batas pendengaran 40 dB atau lebih pada frekuensi 1.000-8.000 Hz

JENIS OBAT OTOTOKSIK


Ototoksisitas juga dapat disebabkan oleh obat-obatan yang sifatnya ototoksik.
Obat yang bersifat ototoksik dapat memiliki potensi menjadi berbahaya bagi koklea
(kokleotoksik), organ pendengaran, atau juga bersifat berbahaya bagi system vestibularis
(vestibulotoksik) yang bertanggung jawab terhadap fungsi keseimbangan. Beberapa obat yg
besifat ototksik tetap digunakan walaupun bersifitas ototoksik sekalipun, karena tidak ada
alternative yang lebih aman dengan efektivitas yang sama. Ototoksik sudah lama dikenal di
dunia kedokteran sebagai efek samping, dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih
poten maka daftar obat-obatan yang bersifat ototoksik semakin bertambah.2,8
Berikut adalah jenis-jenis obat-obatan yang bersifat ototoksik:7
1. Antibiotik Golongan Aminoglikosida
Tuli yang diakibatkannya bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan
kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan
dapat disertai gangguan vestibuler.
Aminoglikosida adalah antibiotik bakterisidal yang mengikat ribosom 30S dan
menghambat sintesis protein bakteri, hanya terhadap bateri basil aerobic gram negatif dan
stafilokokus. Isolasi awal streptomisin dari Streptomyces griseus memberikan terapi jangka
panjang untuk kasus tuberculosis dan antibiotic yang efektif melawan bakteri gram negatif.
Pada tahun-tahun berikutnya, AG lainnya telah diisolasi dari Streptomyces spp., umumnya
dihubungkan dengan akhiran “misin” pada nomenklaturnya.
Saat ini sembilan AG (streptomisin, neomisin, tobramisin, kanamisin, paromomisin,
spketinomisin, gentamisin, netilmisin, dan amikasin) telah disetujui oleh FDA dan masih
digunakan secara luas.
Selain dari potensial efikasi antimikroba, semua AG dapat menyebabkan efek
samping toksik pada ginjal dan telinga dalam. Golongan aminoglikosida lebih banyak bersifat
vestibulotoksik, meskipun ada variasi efek terhadap system vestibular dan kokhlea sesuai
dengan agennya. Kanamisin, amikasin, neomisin, dan dihidrostreptomisin lebih berisfat
kokhleotoksik. Gentamisin mempengaruhi sistem koklear dan vestibular sama kuatnya,
namun beberapa pustaka menyebutkan gentamisin lebih versifat vestibulotoksik
dibandingkan kokhleotoksis. Streptomisin, gentamisin, dan tobramisin merupakan agen
primer menyebabkan toksisitas vestibular.
Tabel. Faktor Risiko Ototoksisitas Aminoglikosida4

Streptomisin
Streptomisin adalah golongan aminoglikosida pertama yang digunakan terhadap bakteri gram
negatif. Streptomisin khususnya mempengaruhi sistem vestibular dan sensorineural.
Kerusakan vestibular akibat streptomisin umumnya terjadi pada pasien dengan penggunaan
jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena efek toksiknya, agen
ini jarang digunakan, terbatas hanya kasus untuk pengobatan tuberculosis sebagai golongan
obat anti-tuberculosis kategori II.

Gentamisin
Sama halnya dengan streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan mengganggu sistem
vestibular. Kadar serum terapeutik puncak 10-12 mcg/ml umumnya dianggap aman tetapi
masih mungkin beracun pada beberapa pasien.
Neomycin
Agen ini adalah salah satu aminoglikosida yang bersifat kokhleotoksik bila diberikan dalam
dosis tinggi; oleh karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomycin
adalah golongan aminoglikosida yang paling lambat dibersihkan dari perilimfe. Hal ini
mengakibatkan efek toksik yang tertunda (1-2 minggu) dapat terjadi setelah penghentian
terapi. Neomycin terutama diberikan sebagai ototopical yang efektif. Meskipun neomycin
umumnya dianggap aman bila digunakan secara topikal di saluran telinga atau di lesi kulit
kecil, saat ini sudah tersedia agen alternative yang bersifat lebih aman.
Kanamycin
Meskipun kurang beracun dibandingkan neomycin, kanamycin termasuk golongan ototoksik.
Kanamycin memiliki kecenderungan untuk menyebabkan kerusakan sel rambut koklea
dalam, ditandai dengan tuli frekuensi tinggi. Efek merusak terutama ke koklea, sementara
sistem vestibular biasanya terselamatkan dari kerusakan. Kanamycin memiliki manfaat terapi
klinis terbatas klinis digunakan hari ini. Seperti halnya dengan neomycin, administrasi
parenteral umumnya tidak dianjurkan.

Amikacin
Amikacin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki sangat sedikit efek toksik vestibular.
Efek yang merugikan terutama melibatkan sistem pendengaran, namun lebih ringan
dibandingkan gentamisin. Dalam pengobatan infeksi berat, amikacin terutama diindikasikan
berdasarkan hasil tes kerentanan dan respon pasien.

Tobramycin
Ototoksisitas tobramycin sama dengan amikacin, yaitu menyebabkan tuli frekuensi tinggi.
Seperti kanamycin, toksisitas vestibular kurang umum. Tobramycin yang sering digunakan
dalam bentuk topikal dan umumnya dianggap aman.

Aminoglikosida Lainnya
Golongan antibiotik terbaru seperti sisomisin, dibekasin, dan netilmisin kurang bersifat
ototoksisitas dibandingkan golongan aminoglikosida lawas. Meskipun kadar obat di darah
dan durasi lama pengobatan menentukan munculnya gejala, beberapa pasien rentan
mengalami gejala toksisitas setelah pemberian dosis rendah.

Tabel. Antibiotik Ototoksik


Agen Vestibular Auditori
Streptomisin +++ +
Gentamisin +++ +
Tobramisin ++ ++
Kanamisin + +++
Amikasin + +++
Dibekasin + +
Netilmisin + +
Sisomisin + +
Tabel. Obat Golongan Aminoglikosida, Efek Dominan, Asal dan Tahun Ditemukan4

2. Antibiotik Golongan Makrolid


Eritromisin
Umumnya, eritromisin dianggap obat aman. Eritromisin telah dianggap pengganti pilihan
dalam terapi infeksi grup A streptokokus dan pneumokokus untuk individu penisilin-sensitif.
Eritromisin tetap merupakan antibiotik pilihan untuk Legionella pneumonia dan pneumonia
atipikal lainnya. Laporan pertama dari ototoksisitas tidak diperhatikan hingga tahun 1973.
Sejak itu, kasus hanya sporadis dari ototoksisitas telah dilaporkan, dan mereka umumnya
telah reversibel. Pasien ini cenderung memiliki faktor risiko lain, termasuk gagal ginjal,
kelainan fungsi hati pada dosis lebih dari 4 g/hari dan pemberian cairan intravena. Gangguan
pendengaran yang signifikan juga dilaporkan pada pasien allografts ginjal dengan Eritromisin
intravena. Onset yang umumnya dalam 3 hari onset pengobatan. Efek toksis terkait degan
dosis yang lebih tinggi. Efek biasanya reversibel.

Azithromycin dan Clarithromycin


Azithromycin dan clarithromycin merupakan golongan antibiotik makrolid terbaru.
Antibiotik ini telah digunakan klinis secara luas karena mereka memiliki lebih sedikit efek
samping gastrointestinal dan antimikroba spektrum yang lebih luas daripada Eritromisin.
Namun, baru-baru ini, beberapa laporan telah muncul mengenai efek ototoksik. Laporan saat
ini masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Vankomisin
Vankomisin adalah antibiotik glycopeptide yang diperkenalkan pada tahun 1950-an. Ini
adalah agen yang sering digunakan dalam kasus infeksi Methycillin resistance Streptococcus
aureus (MRSA). Beberapa laporan efek toksisitas, biasanya berupa tinnitus telah
dipresentasikan pada pasien dengan konsentrasi tinggi serum yang dikaitkan dengan gagal
ginjal atau pada pasien-pasien yang sering menerima terapi aminoglycoside. Tidak ada studi
menunjukkan bukti konklusif ototoksis dengan administrasi Vankomisin tunggal dan masih
dalam dosis terapi. Tidak ada rekomendasi yang telah dibuat mengenai penggunaannya;
Namun, para peneliti menyarankan hati-hati dengan pemberian secara bersamaan
Vankomisin dan agen ototoksik lain.

3. Loop Diuretics
Diuretik loop memberikan efek terapi di loop of Henle. Agen yang termasuk dalam
kelas ini adalah golongan sulfonamid, derivate asam phenoxyacetic dan senyawa heterosiklik.
Obat ini digunakan untuk mengobati jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi.
Diuretik sering digunakan dan terbukti efektif (misalnya, ethacrynic asam, furosemid,
bumetanide), namun dapat menyebabkan ototoksik. Beberapa loop diuretic yang jarang
digunakan juga dilaporkan dapat menyebabkan ototoksisitas. Kelompok ini mencakup
torsemide, azosemide, ozolinone, indacrinone, dan piretanide.
Dua obat diuretic utama yang menyebabkan ototoksi adalah furosemide dan asam
etakrinik, bekerja secara aktif menghambat resorpsi klorida di Lengkung Henle, sehingga
mencegah penyerapan natrium secara pasief yang mengikuti klorida. Mekanisme ototoksik
belum diketahui secara lengkap, meksipun oba ini telah diketahui mempengaruhi kanal ion di
ginjal dan saluran di kokhlea. Loop diuretic menghambat kotransporter Na-K-2Cl pada sel
marginal dan sel gelap (dark cell) stria vaskularis, sehingga mereduksi konsentrasi kalium di
endolimfe. Efek ototoksik loop diuretic muncul terutama di kokhlea, meskipun beberapa
kasus vertigo dilaporkan. Sekitar 6% pasien yang diterapi degan furosemide menjadi tuli
temporer yang bersifat reversible.
Obat golongan diuretic terbaru, bumetanide dan piretanide, tampaknya memiliki efek
kokhleotoksis lebih rendah pada percobaan manusia dan hewan. Penggunaan loop diuretic
yang dikombinasi dengan aminoglikosida dapat meningkakan efek ototoksisitas.

4. Salisilat
Asam asetilsalisilat asam, lebih dikenal sebagai aspirin, digunakan secara luas untuk
sifat anti-inflamasi, antipiretik dan analgesik. Aspirin merupakan penghambat agregasi
trombosit dan digunakan untuk mengobati pasien dengan riwayat transient ischemic
serangan, stroke, tidak stabil angina, atau infark miokard.
Efek samping utama ototoksik bersifat reversible, ringan-sedang dengan tuli frekuensi
tinggi dan dengan tinnitus nada tinggi. Namun, tinnitus dapat terjadi pada kadar serum
serendah 200 mcg/mL. Terdapat hubungan linear antara konsentrasi salisilat yang tidak
terikat serum dengan munculnya gejala ototoksik, meskipun ambang batas munculnya
symptom ini bervariasi dari pasien ke pasien. Salisilat menyebabkan disfungsi sementara
pada sel rambut luar yang dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologis. Belum ada bukti
pengaruh pada system vestibular. Semua gejala dan keluhan akan cepat membaik secara
reversible setelah penghentian salisilat (biasanya dalam 24 jam).

5. Kuinidin (Kina) dan Kuinin


Kina terutama mengalami metabolisme hepatik. Toksistas kina dapat mengahsilkan tinnitus,
gangguan pendegaran, vertigo, sakit kepala, mual, dan gangguan peglihatan. Kuinin dan
kuinidin keduanya dapat menyebbakan sindrom cinchonism, yang menyerupai intoksikasi
salisilat. Manifestasi utama yaitu tinnitus, kerusakan pendengaran, vertigo,deficit penglihatan
(gangguan penglihatan warna), mual, muntah, nyeri abdomen, kulit merah, danberkeringat.
Demam, koma, ensefalopati, dan kematian dapat terjadipada kasus berat. Gejala-gejala ini
dapat disebabkan oleh overdosis atau idiosinkrasi (biasa ringan) dari kuinin.

6. Cis-platinum dan Carboplatin (agen antineoplastik)


Gejala yang ditimbulkan CIS platinum, sebagai ototoksisitas adalah tuli subjektif,
tinitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. Tuli biasanya
bilateral dimulai dengan frekuensi antara 6 KHz, kemudian terkena frekuensi yang lebih
rendah. Kurang pendengaran biasanya mengakibatkan menurunnya hasil speech
discrimination score. Tinitus biasanya samar-samar. bila tuli ringan pada  penghentian
pengobatan pendengaran akan pulih, tetapi bila tulinya berat biasanya bersifat menetap.

7. Obat-obatan Lainnya
Obat-obatan yang terutama menyebabkan vestibulotoksik adalah golongan
antikonvulsan, sedatif, antihistamin, peningkat mood, dan antidepresan. Penggunaan
antikonvulsan yang lazim digunakan seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital dosis
tinggi dapat menganggu system vestibular. Gejala yang dijumpai dapat berupa nisgtagmus,
vertigo, ataksia. Sedangkan untuk sedative, antihistamin, peningkat mood, dan antidepresan,
belum diketahui secara pasti mekasnime yang menimbulkan gangguan vestibular sebagai
efek sampingnya,.

8. Obat Topikal Telinga


Obat-obatan berpotensi ototoxic seringkali merupakan obat yang umum digunakan di
telinga untuk pengobatan otitis media akut (OMA) dan otitis media suppurative kronik
(OMSK). Obat ototopical yang paling umum digunakan adalah kombinasi dari neomycin-
polymyxin. Obat-obatan baru, tersedia ototopical adalah kelas fluoroquinolones, termasuk
siprofloksasin dan deksametason (Ciprodex) dan ofloxacin.
Terjadinya ketulian oleh karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap
bundar (round window membrane). walaupun membran tersebut pada manusia lebih tebal 3
kali dibandingkan pada baboon (semacam monyet besar) (± >65 mikron), tetapi dari
hasil penelitian msih dapat ditembus obat-obatan tersebut. sebetulnya obat tetes telinga yang
mengandung antibiotika aminoglikosida diperuntukkan untuk infeksi telinga luar.

Tabel. Obat dengan efek samping hearing loss1


GEJALA OTOTOKSISITAS
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus biasanya
menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali keluhan pertama
yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri dimana pada
ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta
biasa bilateral. Pada kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi
juga tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit
memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi
otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur dengan pergerakan kepala) tanpa adanya riwayat
vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika mengendarai
kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit setelah
menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli
sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinnitus yang ringan
dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Tinnitus dan
kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta
tuli akut yang disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan
segera.
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit dikenali
oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada keadaan lanjut akan
mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat jika penggunaan
obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi
tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bisht M, Bist SS. Ototoxicity: the hidden menace. Indian Journal of Otolaryngology
and Head & Neck Surgery. 2011 Jul 1;63(3):255-9.
2. Campbell KC, Le Prell CG.2018. Drug-induced ototoxicity: diagnosis and monitoring. Drug
safety. ;41(5):451-64.
3. Ekborn, A. 2003. Cisplatin-Induced Toxicity: Pharmacokinetics, Prediction, and
Prevention. Stockholm: Repro print.
4. Fransiska F. Ototoksisitas Aminoglikosida. KELUWIH: Jurnal Kesehatan dan
Kedokteran. 2019 Dec 17;1(1):37-47.
5. Katzung, B. 2004. Basic Clinical Pharmacology. US: Blackwell Science.
6. Mudd, P. A. 2012. Ototoxicity. Medscape Reference. Diakses dari
http//:www.emedicine.com.
7. Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam. Jakarta:
Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan
Kelainan Telinga. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai