Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PPKN

“Kasus Pelanggaran Hak Asasi


Manusia di Indonesia”

Dibuat oleh:

1. Michael Angelo Jordan

2. Patricia Kylie

3. Yosia Chintianto
A. Peristiwa Tanjung Priok ( 1984 )

Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada pertengahan tahun


1984, merupakan salah satu dari sekian banyak rentetan jejak dan fakta kelamnya
masa pemerintahan Suharto. Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari
awal masa kekuasaannya sampai akhir masa kediktatorannya.  Kemiliteran
dibentuk untuk menopang kekuasannya dan selalu siap menjalankan perannya
sebagai kekuatan negara untuk menghadapi rongrongan ideologi apapun,
termasuk ideologi agama yang diakui di Indonesia. Kekuasaan penuh yang
dimilki militer saat itu meluas mencakup penghancuran setiap bentuk gerakan
oposisi politik. Fungsi kekuasaan  militer untuk melakukan tindakan pemeliharaan
keamanan dan kestabilan negara dianggap sebagai suatu bentuk legitimasi untuk
dapat melakukan berbagai macam bentuk tindakan provokatif tersistematif dan
represif, Mereka menggunakan dalih pembenaran sepihak yaitu sebagai tindakan
pengamanan terhadap kekuasaan, meskipun dengan melakukan pelanggaran-
pelanggaran HAM paling berat sekalipun.

Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah
disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang
menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian
dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan
keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran
korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga
bukan tanpa survey dan anlisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi
tanjung priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu
wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.
Mayoritas  penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari
barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan
kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah
dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai
wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah
sekali tersulut berbagai isu.

Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum peristiwa


itu terjadi.  Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan
diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yang sering memutar film
maksiat yang  berdiri persis  berseberangan degan masjid Al-hidayah. Tokoh-
tokoh islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa
oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi islam. Suasana
rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar Tanjung Priok.
Sebab, di kawasan lain kota di Jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para
mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis Islam para mubalighnya bebas
sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas
tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan syarifudin Prawiranegara
sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok agar tidak
masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidak terdengar oleh ulama-ulama
Tanjung Priok.

Kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984

Pada pertengahan  tahun 1984, Beredar isu tentang RUU  organisasi sosial
yang mengharuskan penerimaan azas tunggal.  Hal ini menimbulkan implikasi
yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat  seorang mubaligh
yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan menjadikan isu
ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah
lama menjadi masalah yang kontroversi.

Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif  tentara. 


Pada tanggal 7 september 1984, seorang Babinsa beragama katholik sersan satu
Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan
memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang
dihadapi kaum muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian
yang akan datang. Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah
melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi
beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa
belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau
militer telah menghina kehormatan tempat suci karena  masuk mushola tanpa
menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air
comberan.

Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman


dua orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-
sa'adah, Berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu
masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang
sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar
sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua
tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka
menolak  saran  tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah satu sepeda motor
milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya.  Saat itu juga
Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap
aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-
sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya
Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat
orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.

Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam


kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir
Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.  Maksudnya
agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering
kali Amir biki menyelesaikan  persoalan yang timbul dengan pihak militer. Tapi 
kali ini usahanya tidak berhasil.

Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan


ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial,
diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini.  Dihadapan massa, Amir biki
berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para
tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan
mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.

Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang


bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat.  sebelum massa tiba di
tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung dari dua arah oleh pasukan
yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan
tentara yang siap tempur.   Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol,
mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa
tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil
mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan
tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti
oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah
demonstran.  Dari segala penjuru terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba
ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para demonstran
yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri,  pada saat yang sama
juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk
militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang
bertiarap di jalan,  Dari atas truk tentara dengan membabi buta menembaki para
demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah
mati bersimbah darah.  Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah
berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.

Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke


dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua
korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah
sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok. 
Setelah para korban diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran untuk
membersihkan jalanan dari genangan darah para korban penembakan. 

Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban  dalam tragedi berdarah


itu.  Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah
yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak
(SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas
mencapai 400 orang.  Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer 
mengalami berbagai macam penyiksaan.  Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu
korban yang tewas diberondong peluru tentara...
B. Peristiwa Aceh ( 1990 – 1998 )

Membincangkan konflik RI-GAM seolah-olah membuka luka lama. Luka


sejarah yang diakibatkan oleh konflik yang berdarah-darah dan berlangsung lama.
Jika kita runut ke belakang, timbulnya konflik tersebut dilatarbelakangi oleh
kekecewaan rakyat Aceh atas ketidakadilan pemerintah pusat RI. Kekecewaan ini
disebabkan oleh dua hal, pertama, penolakan pemerintah RI terhadap keinginan
masyarakat Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Kedua, ketidakadilan
pemerintah RI terhadap masyarakat Aceh dalam hal bagi hasil atas pengolaan
sumber daya alam di Aceh. Tidak bisa dipungkiri, beberapa eksplorasi SDA di
Aceh memberikan keuntungan yang berlimpah.Pada 1969 di Arun ditemukan
ladang gas yang depositnya diperkirakan dapat dieksplorasi selama 30 tahun.
Dengan nilai produksi rata-rata pertahun US$ 31 miliar. Selain itu masih terdapat
berbagai industri seperti PT. Pupuk Iskandar Muda, PT Aceh Asean Fertilizer, dan
PT Kraft Aceh. Tak kalah besarnya, produksi hutan Aceh juga melimpah. Pada
tahun 1997 mencapai Rp. 1 triliun pertahun. Namun, sekali lagi melimpahnya
kekayaan di atas tidak memberi manfaat secara langsung kepada masyarakat
Aceh. Kondisi tersebut diperparah oleh berbagai macam teror, siksaan fisik dan
psikis yang dilakukan oleh aparat militer terhadap masyarakat Aceh.

Puncak kekecewaan masyarakat Aceh ditandai oleh munculnya gerakan ideo-


nasionalisme Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Gerakan yang dipimpin oleh
Teungku Hasan Muhammad di Tiro ini menuntut pemisahan diri dari RI dengan
mendirikan Negara/Kerajaan Aceh Sumatera. Arus utama ideologi yang dipakai
merujuk pada perspektif historis bahw aAceh tidak tidak pernah dijajah Belanda.
Oleh karena itu, wilayah Aceh tidak termasuk dalam penyerahan kedaulatan dari
Belanda ke Indonesia. Mereka menegaskan bahwa yang mereka perjuangkan
adalah “seccessor state”, meneruskan negara yang pernah dibangun oleh
paraendatu (nenek moyang).

Sejak itulah konflik antara RI-GAM berlangsung dari tahun ke tahun,


mengalami pasang surut seiring dengan tingkat kebencian masyarakat terhadap
perilaku pemerintah RI. Beberapa tindakan pemerintah yang turut meninggikan
eskalasi konflik adalah penutupan pelabuhan bebas Sang yang berpengaruh
terhadap perekonomian masyarakat Aceh, penghapusan tunjangan pensiunan
berdasarkan surat keterangan bekas tentara (SKBT) kepada para pejuang revolusi
awal kemerdekaan. Namun perilaku curang pemerintah dalam setiap
penyelenggaraan Pemilu menjadi penyebab penting semakin menggumpalnya
kebencian masyarakat Aceh. Seperti dikutip Hamid, Otto Syamsudin
menyimpulkan bahw pelanggaran HAM (di Aceh) dimulai dengan kekerasan
politik pada Pemilu 1987. Pelanggaran ini berbentuk represi yang menggiring
preferensi rakyat Aceh untuk memilih Golkar. Usaha mempertahankan
kemenangan Golkar dalam pemilu merupakan agenda tersembunyi dari tekanan
politik dan militer melalui pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).

DOM adalah Operasi Jaring Merah yang mulai digelar pada 1989 untuk
menumpas GAM. Operasi ini di bawah kendali Kodam I/ Bukit Barisan di Medan
dengan dua korem yang berada di Aceh, yaitu korem 011/Liliwangsa di
Lhokseumawe dan Korem 012/Teuku Umar di Banda Aceh. Pada tahun 1990,
dikerahkan 6.000 pasukan tambahan. Jumlah yang sangat besar untuk menumpas
anggota GAM yang hanya berjumlah 203 pada waktu itu.

Dampak yang ditimbulkan DOM-yang berakhir pada tanggal 17 agustus


1998–memang luar biasa buruk.Bukan saja mengakibatkan rusaknya tatanan
sosial masyarakat Aceh namun juga menimbulkan banyaknya korban fisik. Dari
laporan Tim Komnas HAM untuk kasus Aceh tanggal 24 Agustus 1998
menyatakan, selama DOM diberlakukan, sebanyak 781 orang meninggal dunia
akibat tindak kekerasan, 368 orang dianiaya, 163 orang hilang, 3.000 wanita
menjadi janda karena suaminya dibunuh atau dihilangkan secara paksa. 15.000-
20.000 anak menjadi yatim, 102 bangunan dibakar dan terjadi 102 kasus
perkosaan.
C. Kasus Terbunuhnya Marsinah ( 1993 )

Marsinah (lahir di Nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada


umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik Jaman Pemerintahan
Orde Baru, berkerja pada PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah
menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa
Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen
Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Marsinah memperoleh
Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan
Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.[1]

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan Surat


Edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji
pokok. Imbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan,
namun di sisi pengusaha berarti tambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putra Surya (PT. CPS) Porong
membahas surat edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah
dari Rp1700 menjadi Rp2250.

Garis waktu

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya yang aktif
dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa
tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada
tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon


Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan,


termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi
Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima,
termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-
rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah
menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap


menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di
tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah
menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-
rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10
malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat
pada tanggal 8 Mei 1993.
Proses penyelidikan

Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim


untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.
Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan
Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda
Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur


resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya
perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama
diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di


tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara
Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat
kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian


kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah
disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah


stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka
naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam
proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa".

Komite solidaritas

Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM


adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang
ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis
buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KSUM melakukan berbagai aktivitas untuk
mendorong perubahan and menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian
perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS
melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT. CPS Porong atas
pemutus hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat kodim sidoarjo
terhadap 22 buruh PT. CPS Porong yang dianggap sebagai dalang unjuk rasa.

Film dan lagu

 Kisah Marsinah ini kemudian diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet
Rahardjo, dengan judul "Marsinah (Cry Justice)" (imdb.com). Film
berbiaya sekitar Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan kontroversi. Salah
satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu
ditunda.
 Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus
Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini
diciptakan oleh komponis MasGat untuk mengenang jasa-jasa Marsinah.
 Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama
Marjinal, menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan
khusus untuk perjuangan Marsinah. Lagu ini dibawakan sekaligus dalam 2
albumnya, yaitu album termarjinalkan dan album terbaru mereka bertajuk
predator, masing-masing dalam versi yang berbeda.

Pentas drama monolog Marsinah Menggugat

Pada 26 November 1997 malam, pentas drama monolog Marsinah


Menggugat oleh Ratna Sarumpaet dan Teater Satu Merah Panggung di gedung
Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJ), Jl. Gentengkali, Surabaya,
dilarang pihak kepolisian. Sebelumnya pentas sudah dilakukan di tujuh kota,
terakhir dua hari sebelumnya pentas tersebut sukses di Malang. Pentas ini digelar
oleh panitia pertunjukan dari Korp Puteri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(Kopri PMII).

Sebelumnya pihak panitia melayangkan surat pemberitahuan ke Polda Jatim


pada 12 November 1997. Menurut Petunjuk Pelaksanaan (juklak) POLRI yang
dikeluarkan oleh KAPOLRI, pertunjukan kebudayaan semacam teater atau drama,
tidak memerlukan izin, hanya pemberitahuan. Surat izin pemakaian gedung juga
sudah dikeluarkan Taman Budaya Jatim tertanggal 20 November 1997.

Pukul 15.00 WIB, pihak panitia diminta menemui langsung Kasat IPP di
Polwiltabes.

Pukul 16.00, pintu ditutup aparat dan dijaga ketat. Mereka yang datang untuk
menonton Marsinah Menggugat, dilarang masuk.

Sekitar pukul 19.00, para peonton sudah berdatangan. Mereka bergerombol di


depan pintu masuk ditutup dan dijaga beberapa petugas. Sementara Ratna
Sarumpaet dengan beberapa panitia tetap bertahan di panggung pertunjukan. Ia
bersikeras tetap di tempat itu sampai jadwal sewa gedung untuk pertunjukan
selesai, pukul 23.00 WIB.

Pukul 19.20 Ketua PMII Jawa Timur dan Ketua Panitia Kegiatan dengan
didampingi beberapa aktivis FKMS bernegosiasi dengan aparat untuk meminta
izin masuk, tetapi gagal.
Sekitar pukul 20.00, Ratna meminta maaf kepada penonton yang datang
bergerombol di depan pintu. Ratna dengan memanjat pagar, mengucapkan
maafnya dan kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Sekitar pukul 21.00, penonton yang tidak bergeming, mulai dihalau petugas.
Pengamanan pintu TBJ ditambah dengan puluhan Polisi Unit Reaksi Cepat (URC)
Polwiltabes, Satuan Perintis Polresta Surabaya, Brimob, dan beberapa aparat dari
KODAM V Brawijaya serta sejumlah besar satuan intelejen.

Setelah penonton pulang, sekitar pukul 23.00, Ratna bersama panitia keluar
dan terus dikawal petugas.[2]
D. Kasus Terbunuhnya Wartawan Udin ( 1996 )

Fuad Muhammad Syafruddin (32) akrab dipanggil Udin. Salah seorang


wartawan Surat Kabar Harian (SKH) Bernas terbit di Yogyakarta menjadi tumbal
di rezim Orde Baru. Udin 'dihilangkan' karena tulisannya mengusik penguasa kala
itu Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo, tentara berpangkat kolonel.

Sri Roso dihukum 9 bulan penjara pada 2 Juli 1999. Dia dinyatakan bersalah
atas kasus suap Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais, yayasan yang dikelola
Presiden Soeharto. Uang itu dijanjikannya sebagai imbalan bila diangkat kembali
sebagai bupati Bantul 1996-2001. Pernyataan itu dituangkan dalam surat bersegel
dikirim ke yayasan ditandatangani oleh R Noto Suwito yang tak lain adalah adik
Soeharto.
Beberapa tulisan Udin mengkritisi kekuasaan Orde Baru dan militer. Tulisan
yang cukup menyengat di antaranya '3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati
Bantul', 'Soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak 'Invisible Hand' Pengaruhi
Pencalonan', 'Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo'
dan 'Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis'.
Pria kelahiran Bantul, 18 Februari 1964 ini meninggal pada 16 Agustus 1996,
pukul 16.50 WIB, usai dianiaya oleh orang tak dikenal di sekitar rumahnya di
Dusun Gelangan Samalo Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta, dengan sebatang
besi yang dipukulkan ke kepalanya.

Udin sempat mendapatkan perawatan di RS Bethesda. Setelah sempat koma


karena gegar otak, akhirnya Udin menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit
tersebut.

Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy
Wuryanto yang saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta
dilaporkan telah membuang barang bukti, yakni melarung sampel darah dan juga
mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan
penyidikan. Edy kemudian hanya dimutasi dari Mapolres Bantul, Yogyakarta ke
Mabes Polri.

Ada pihak-pihak tertentu berupaya mengalihkan kasus kematian Udin ini. Tri
Sumaryani, seorang perempuan mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan
jika mau membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap
dengannya. Kemudian dibunuh oleh suaminya dengan alasan telah terjadinya
perselingkuhan.

Lalu, Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku
dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh
Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang,
pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997, Iwik
mengatakan bahwa dirinya dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia
politik.

Tak hanya itu, sebelum meninggal, banyak juga kejadian yang aneh dan
ganjil yang terjadi terkait kematian Udin. Sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor
harian Bernas, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui
Joko Mulyono, wartawan Bernas untuk liputan Bantul. Lelaki tersebut mengaku
sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk
urusan tanah.

Namun, setelah pertemuan singkat itu Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul
21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda
Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut
adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan adik Sukrisno, Kaur
Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah
bernama Suwandi.

Salah satu tetangga Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny Ponikem
sering melihat beberapa laki-laki yang dicurigai mendatangi rumah Udin. Hingga
akhirnya, malam tragedi meninggalnya Udin pun terjadi. Udin dianiaya lelaki tak
dikenal di sekitar rumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah
dan tak sadarkan diri.

Udin lalu dilarikan ke RSU Jebugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus
dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Kemudian, Rabu 14 Agustus 1996 sekitar
pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena
terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami
Udin malam sebelumnya.

Hingga akhirnya, tim medis RS Bethesda Yogyakarta pada Jumat 16 Agustus


pukul 16.58 WIB, menyatakan Udin meninggal dunia setelah tiga hari berjuang
melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Malamnya, sekitar pukul 23.30 WIB,
jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian Bernas untuk mendapatkan
penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.

Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum


Trirenggo Bantul tepat pada tanggal 17 Agustus, saat bangsa Indonesia merayakan
peringatan hari ulang tahun ke-51 kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa
pejabat, di antaranya Sri Sultan Hamengkubuwono X, Pangdam IV Diponegoro,
Kapolda Jateng-DIY dan sejumlah pejabat pemerintahan meminta agar kasus
Udin diusut tuntas. Siapapun terlibat dalam kasus harus diproses secara hukum.

Namun, apa yang terjadi? Upaya pengaburan kasus pembunuhan Udin pun
oleh berbagai pihak terjadi. Sekitar pukul 20.00 WIB, tepatnya pada tanggal 19
Agustus 1996, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres Bantul
berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan
Trirenggo Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin yang
tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin.

Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai untuk kepentingan
pengusutan dengan cara supranatural (dilarung ke laut selatan). Siang sebelumnya,
di tengah-tengah pawai pembangunan dalam rangka peringatan HUT ke-51
Kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah warga Bantul turut menggelar
pawai duka cita sambil menggelar spanduk dan mengarak foto Udin.

Kemudian yang mencurigakan, sepekan kemudian sekitar 23 Agustus 1996,


Bupati Bantul Kolonel Art Sri Roso Sudarmo menggelar jumpa pers di kantor
Pemkab Bantul, menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam kasus
terbunuhnya Udin.

Selain itu, Kapolres Bantul saat itu Letkol Pol Ade Subardan mengatakan
tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Kapolres
Bantul juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga
hari usai konferensi pers berlangsung sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur
nyenyak.

Pada 26 Agustus 1996 sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara
(TKP) di rumah Udin baru diberi police line setelah 13 hari usai kejadian
pembunuhan Udin berlalu. Kemudian, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol)
ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid saat itu di Jakarta menegaskan, oknum ABRI
yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.

Namun, anehnya, usai pernyataan Syarwan Hamid muncul, sekitar pukul


10.30 WIB, police line di TKP rumah Udin dicopot kembali oleh polisi. Sehingga
police line ini yang dipasang hanya selama 25 jam usai dipasang untuk
kepentingan penyidikan.

Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS pada 2 September 1996,


menyatakan pihak kepolisian sudah memiliki identitas lengkap pelaku kasus
pembunuhan Udin. Disusul sehari kemudian, Mantan Mendagri Jenderal TNI
(purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur DIY Sri Sultan
Hamengkubuwono X memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul Sri Roso
Sudarmo.

Kasus kematian Udin yang disebut-sebut menjadi tumbal kepentingan politik


dan tentara itu sampai saat ini tidak pernah terkuak. Carut marut lembaga hukum
yang telah dipimpin oleh 16 Kapolda di Yogyakarta tak mampu memecahkan
kasus terbunuhnya pekerja pers itu. Bahkan, lembaga peradilan sampai saat ini tak
mampu menjadikan kasus terbunuhnya Udin menjadi terang benerang.
E. Tragedi Trisakti dan Semanggi Tahun 1998

Pada 12 Mei 1998, demonstrasi sampai sore berlangsung tertib dan damai,
dengan pembacaan puisi dan menyanyikan lagu. Demonstrasi itu juga pertama
kalinya didukung oleh seluruh civitas academika Trisakti termasuk para dosen.
Awalnya mereka ingin menuju DPR namun terhambat oleh barikade aparat,
setelah proses negosiasi, mahasiswa pun mundur. Saat itu, seseorang berteriak
pada mahasiswa dan lari ke belakang barisan aparat, lalu ketegangan pun muncul.

Mahasiswa kemudian mundur, dan tiba-tiba terjadi tembakan gas air mata dan
juga penembak jitu. Awalnya John mengira para penembak menggunakan peluru
karet.

Aktivis mahasiswa Trisakti 1998 John Muhamad masih mengingat saat itu
tiba-tiba terdengar teriakan mahasiswa.

"Innalilahi, saya langsung lari gedung F, saya lihat Hendriawan Sie


mahasiswa Fakultas Ekonomi, kaku sudah meninggal, tak lama kemudian
terdengar lagi Innalilahi, saya lari kencang lalu melihat Heri Hertanto yang
mengerang kesakitan," jelas John.

Hanya selang beberapa detik saja, teriakan mahasiswa kembali terdengar.


Kali ini John mendapati adik kelasnya di Fakultas Arsitektur, Elang Mulia
Lesmana.

"Elang masih hidup saat itu, tidak bisa ngomong, dia diam, kayak kesakitan,
tangannya dingin," ungkap John.

Penembakan empat mahasiswa termasuk Hafidin Royan pada sore itu


memicu kemarahan mahasiswa Trisakti lainnya, mereka melempar apa saja ke
arah pasukan penembak jitu yang berada di atas gedung.
"Memang tidak akan sampai tapi saya melihat mereka marah sekali," jelas
John yang dulu merupakan komandan lapangan aksi 12 Mei.

Sampai sekitar pukul 9 malam suara tembakan masih terdengar. Suasana di


dalam kampus pun tegang, jumlah korban tewas pun simpang siur. Sebagai
koordinator lapangan aksi mahasiswa Trisakti, John berupaya memastikan dengan
pergi ke RS Sumber Waras, menyamar dengan menggunakan jaket seorang
wartawan.

"Waktu itu ada wartawan yang mencegah keluar, bisa ditangkap nanti, jadi
meminjamkan jaketnya pada saya," jelas John.

Di RS Sumber Waras, empat mahasiswa tersebut tidak ditangani karena


petugas medis membutuhkan surat izin dari kepolisian. Setelah berbicara dengan
sejumlah tokoh, yang kemudian merekomendasikan seorang dokter Mun'im Idris
untuk melakukan otopsi terhadap jenazah mahasiswa yang tewas.

Tewasnya empat mahasiswa Trisakti semakin memicu gelombang


demonstrasi mahasiswa di berbagai kota yang sudah bergulir sejak akhir 1997
ketika krisis ekonomi mulai terjadi di Indonesia.

Sebelumnya pada 8 Mei 1998, seorang mahasiswa Universitas Sanata


Dharma tewas akibat benda tumpul dalam demonstrasi di Yogyakarta.

Demonstrasi mahasiswa yang didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat dan


akademisi serta berbagai kalangan lain membuat Presiden Soeharto mundur dari
jabatannya pada 21 Mei 1998. Wakil presiden saat itu, BJ Habibie diangkat
menjadi Presiden ketiga RI.

Sumarsih menuntut keadilan dengan aksi Kamisan di depan Istana

Setelah kasus Trisaksi, pada 13 November 1998, aparat menembak


mahasiswa dari berbagai perguruan tingi yang berdemonstrasi memprotes Sidang
Istimewa DPR/MPR dan menolak Dwifungsi ABRI di kawasan Semanggi.
Mereka kemudian berlari ke kampus Universitas Atmajaya.
Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas
mencapai 17 orang warga sipil terdiri dari berbagai kalangan, dan ratusan korban
luka tembak, dan terkena benda tumpul. Empat orang mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi menjadi korban tewas saat itu, yaitu Teddy Mardani, Sigit
Prasetya, Engkus Kusnadi dan Bernardus Realino Norma Irawan atau Wawan.

Pada hari Wawan tertembak, ibundanya Maria Katarina Sumarsih tengah


menyaksikan berita demonstrasi mahasiswa melalui televisi dan mendengar ada
mahasiswa tertembak. Tak lama telepon di rumahnya berdering, dua kali dia
menerima informasi tentang penembakan. Namun percakapan terakhir dengan
Sandyawan Sumardi, Tim Relawan Kemanusiaan, memastikan penembakan
Wawan memintanya menuju RS Jakarta.

Sampai di RS Jakarta, Sumarsih diminta ke lantai bawah, di sana dia


mendapati tiga keranda yang terbuka, salah satunya terbaring jenazah Wawan.
Sumarsih mendekati jasad putranya.

"Wawan pakai kaos putih, matanya terpejam seperti orang tidur,dua jempol
kakinya diikat pakai tali putih, saya meraba seluruh tubuhnya, sampai di perut
saya katakan 'kamu lapar ya perutmu tipis'," ungkap Sumarsih.

Sumarsih melihat lubang kaos putih di bagian dada putranya, "Saya katakan
"Wan, kamu ditembak"."

Setelah itu Sumarsih yang didampingi suami Arief Priyadi dan adiknya pun
berdoa. Tak lama dia mengurus pemulangan jenazah Wawan.

Namun seorang penyidik memintanya agar jenazah Wawan diotopsi.


Awalnya Sumarsih menolak namun akhirnya setelah penyidik itu menyatakan
otopsi hanya 'operasi kecil' dia pun menyetujuinya.

Untuk keperluan otopsi, jenazah di bawa ke RSCM melalui jalanan yang


masih dipenuhi suara tembakan. "Supir ambulans yang membawa jenazah Wawan
saat itu terus berteriak 'tundukkan kepala, tundukkan kepala, mobil kita
ditembaki'," ungkap Sumarsih.
Dokter menyebutkan hasil otopsi menunjukkan peluru yang mengenai
jantung dan paru-paru Wawan merupakan standar TNI.

Setelah Wawan meninggal, Sumarsih berupaya mencari kesaksian dari


sejumlah teman-teman putranya. Dari kesaksian tersebut, Sumarsih mengetahui
bahwa Wawan yang selama ini aktif di Tim Relawan Kemanusiaan tertembak
ketika menolong korban penembakan lainnya.

Sumarsih pun masih menanti keadilan, sejak 18 Januari 2007 dia bersama
dengan para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM menggelar aksi
Kamisan di depan Istana Presiden sampai saat ini.

Penembakan Semanggi II

Hampir setahun setelah penembakan mahasiswa dan warga sipil di kawasan


Semanggi, mahasiswa di Jakarta dan berbagai daerah masih terus menggelar
demonstrasi 'mengawal pemerintahan transisi'.

Pada 24 September 1999, rencana pemberlakukan UU Penanggulangan


Keadaan Bahaya (PKB) kembali memicu demonstrasi besar. Aturan yang
bertujuan untuk mengganti UU Subversif itu dianggap bersifat otoriter.

Penembakan terhadap mahasiswa pun kembali dilakukan, catatan Komisi


Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan 11
orang meninggal di seluruh Jakarta salah satunya adalah Yap Yun Hap mahasiswa
Universitas Indonesia di kawasan Semanggi, sekitar 217 orang mengalami luka.

Perjalanan Kasus Trisakti Semanggi I dan II

Penyelidikan kasus ini menyeret enam terdakwa kasus penembakan


mahasiswa Trisakti yang kemudian mendapatkan hukuman 2-10 bulan pada 31
Maret 1999. Tiga tahun kemudian, sembilan terdakwa lain disidangkan di
Mahkamah Militer, yang kemudian dihukum 3-6 tahun penjara pada Januari 2002.
Namun Komnas HAM menyebutkan terdakwa dalam kasus ini masih memberikan
hukuman pada pelaku lapangan, dan bukan komandannya.
Sebelumnya pada tahun 2000 lalu, DPR membentuk Pansus Trisakti,
Semanggi I dan II (TSS) atas desakan mahasiswa dan keluarga korban. Setahun
kemudian, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat
dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Pansus juga
merekomendasikan penyelesaian melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan
militer.

Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus


Trisaksi, Semanggi I dan II, hasilnya tiga fraksi F-PDI P, F PDKB, F PKB
menyatakan kasus ini terjadi unsur pelanggaran berat, namun tujuh fraksi lain F-
Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F-Reformasi, F-KKI, F-PDU menyatakan
tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS.

Mahasiswa dan keluarga korban pun tidak puas. Pada 2001, Komnas HAM
mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan
membentuk KPP HAM. Para mahasiswa pun membantu Komnas HAM untuk
mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.

"Kami mengumpulkan saksi, siapa yang menemukan barang bukti dan


banyak saksi dari mahasiswa itu yang kami wawancara," jelas John.

Dalam laporan hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan terdapat bukti-


bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II dengan 50 orang perwira TNI/Polri diduga
terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.

Sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM menyerahkan hasil


penyelidikan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan pada April
2002.

Di tahun berikutnya, Kejaksaan Agung menolak dengan alasan kasus tersebut


sudah disidangkan melalui pengadilan militer, sehingga tidak dapat mengajukan
kasus yang sama ke pengadilan. Padahal menurut Komnas HAM, peradilan
militer hanya menjerat pelaku lapangan, sementara pelaku utama belum diadili.
Pada Maret, dalam rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III dan
Kejaksaan Agung, pihak Kejakgung tetap bersikukuh tidak akan melakukan
penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, Komisi III
juga memutuskan pembentukan Panitia Khusus (PANSUS) orang hilang.

Pada 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI


memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian tragedi TSS ke
Rapat Paripurna pada 20 Maret nanti. Artinya, penyelesaian kasus TSS akan
tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya.

Optimisme sempat muncul selama masa kampanye pemilihan presiden Joko


Widodo-Jusuf Kalla, berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa
lalu secara berkeadilan, menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan mereka
untuk mencapai kedaulatan politik.

Pada April 2015 Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan pemerintah akan


membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998.

Namun Kontras menilai dalam pemerintahan Jokowi dan setelah 20 tahun


reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran HAM bukan hanya jalan di tempat
namun mengarah pada kemunduran.

Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan berbagai kebijakan tidak


sejalan dengan pemenuhan keadilan dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"Dalam Perpres Ranham yang terbaru disebutkan untuk penyelesaian kasus


pelanggaran HAM masa lalu, rencana aksi HAM adalah untuk optimalisasi dan
koordinasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Kok sudah 20 tahun
masih koordinasi, ini terkesan mengulur waktu," ujar Yati.

Di sisi lain, Yati menilai kultur impunitas atau ketiadaan penghukuman di


Indonesia sangat kuat yang membuat kasus pelanggaran HAM sulit untuk
diselesaikan dan justru orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran
HAM di masa lalu kembali memiliki kekuatan politik.

"Ketiadaan peradilan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu,


akhirnya para pihak tersebut dengan mudah kembali lagi dan "justru
menunggangi" agenda demokrasi dengan membuat partai politik dan bahkan
mencalonkan diri sebagai presiden, masuk kekuasaan dan itu akan semakin
mempersulit," jelas Yati.

"Jadi dalam 20 tahun reformasi, kita tidak bisa membedakan, tidak jelas di
mana kita: fase Orde Baru, fase transisi dan reformasi," ujar Yati.

Meski begitu keluarga korban tak berhenti menuntut penyelesaian kasus


pelanggaran HAM di masa lalu, dalam aksi Kamisan, seperti pada awal Mei lalu.

Aksi diam dengan membawa payung hitam di seberang Istana Presiden ini,
sudah berlangsung sejak 18 Januari 2007 lalu. Namun tak pernah sekalipun
presiden yang menjabat mendatangi keluarga korban tersebut.

Sebelum mengikuti aksi Kamisan, Sumarsih mengatakan dia menduga


pemerintah sengaja mengulur waktu dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM
masa lalu.

"Kalau dibilang kurang alat bukti, kami ini bisa menjadi bukti, pemerintah itu
menunggu kami, keluarga korban, meninggal satu per satu, menunggu kami
keluarga korban lelah dan menunggu masyarakat melupakannya," ujar Sumarsih.

Dengan begitu menurut Sumarsih, orang-orang yang diduga melakukan


pelanggaran HAM bisa bebas.

"Namun kami tak pernah lelah mendesak pemerintah menuntaskannya," ujar


Sumarsih.

Anda mungkin juga menyukai