Dibuat oleh:
2. Patricia Kylie
3. Yosia Chintianto
A. Peristiwa Tanjung Priok ( 1984 )
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah
disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang
menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian
dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan
keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran
korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga
bukan tanpa survey dan anlisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi
tanjung priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu
wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh.
Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari
barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan
kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah
dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai
wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah
sekali tersulut berbagai isu.
Pada pertengahan tahun 1984, Beredar isu tentang RUU organisasi sosial
yang mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi
yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang mubaligh
yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan menjadikan isu
ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah
lama menjadi masalah yang kontroversi.
DOM adalah Operasi Jaring Merah yang mulai digelar pada 1989 untuk
menumpas GAM. Operasi ini di bawah kendali Kodam I/ Bukit Barisan di Medan
dengan dua korem yang berada di Aceh, yaitu korem 011/Liliwangsa di
Lhokseumawe dan Korem 012/Teuku Umar di Banda Aceh. Pada tahun 1990,
dikerahkan 6.000 pasukan tambahan. Jumlah yang sangat besar untuk menumpas
anggota GAM yang hanya berjumlah 203 pada waktu itu.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen
Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Marsinah memperoleh
Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan
Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.[1]
Garis waktu
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya yang aktif
dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa
tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada
tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-
rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah
menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Komite solidaritas
Kisah Marsinah ini kemudian diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet
Rahardjo, dengan judul "Marsinah (Cry Justice)" (imdb.com). Film
berbiaya sekitar Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan kontroversi. Salah
satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu
ditunda.
Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus
Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini
diciptakan oleh komponis MasGat untuk mengenang jasa-jasa Marsinah.
Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama
Marjinal, menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan
khusus untuk perjuangan Marsinah. Lagu ini dibawakan sekaligus dalam 2
albumnya, yaitu album termarjinalkan dan album terbaru mereka bertajuk
predator, masing-masing dalam versi yang berbeda.
Pukul 15.00 WIB, pihak panitia diminta menemui langsung Kasat IPP di
Polwiltabes.
Pukul 16.00, pintu ditutup aparat dan dijaga ketat. Mereka yang datang untuk
menonton Marsinah Menggugat, dilarang masuk.
Pukul 19.20 Ketua PMII Jawa Timur dan Ketua Panitia Kegiatan dengan
didampingi beberapa aktivis FKMS bernegosiasi dengan aparat untuk meminta
izin masuk, tetapi gagal.
Sekitar pukul 20.00, Ratna meminta maaf kepada penonton yang datang
bergerombol di depan pintu. Ratna dengan memanjat pagar, mengucapkan
maafnya dan kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sekitar pukul 21.00, penonton yang tidak bergeming, mulai dihalau petugas.
Pengamanan pintu TBJ ditambah dengan puluhan Polisi Unit Reaksi Cepat (URC)
Polwiltabes, Satuan Perintis Polresta Surabaya, Brimob, dan beberapa aparat dari
KODAM V Brawijaya serta sejumlah besar satuan intelejen.
Setelah penonton pulang, sekitar pukul 23.00, Ratna bersama panitia keluar
dan terus dikawal petugas.[2]
D. Kasus Terbunuhnya Wartawan Udin ( 1996 )
Sri Roso dihukum 9 bulan penjara pada 2 Juli 1999. Dia dinyatakan bersalah
atas kasus suap Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais, yayasan yang dikelola
Presiden Soeharto. Uang itu dijanjikannya sebagai imbalan bila diangkat kembali
sebagai bupati Bantul 1996-2001. Pernyataan itu dituangkan dalam surat bersegel
dikirim ke yayasan ditandatangani oleh R Noto Suwito yang tak lain adalah adik
Soeharto.
Beberapa tulisan Udin mengkritisi kekuasaan Orde Baru dan militer. Tulisan
yang cukup menyengat di antaranya '3 Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati
Bantul', 'Soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak 'Invisible Hand' Pengaruhi
Pencalonan', 'Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo'
dan 'Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis'.
Pria kelahiran Bantul, 18 Februari 1964 ini meninggal pada 16 Agustus 1996,
pukul 16.50 WIB, usai dianiaya oleh orang tak dikenal di sekitar rumahnya di
Dusun Gelangan Samalo Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta, dengan sebatang
besi yang dipukulkan ke kepalanya.
Kasus Udin menjadi ramai ketika Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy
Wuryanto yang saat itu berpangkat Sersan Kepala (Serka), di Yogyakarta
dilaporkan telah membuang barang bukti, yakni melarung sampel darah dan juga
mengambil buku catatan Udin, dengan dalih melakukan penyelidikan dan
penyidikan. Edy kemudian hanya dimutasi dari Mapolres Bantul, Yogyakarta ke
Mabes Polri.
Ada pihak-pihak tertentu berupaya mengalihkan kasus kematian Udin ini. Tri
Sumaryani, seorang perempuan mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan
jika mau membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap
dengannya. Kemudian dibunuh oleh suaminya dengan alasan telah terjadinya
perselingkuhan.
Lalu, Dwi Sumaji alias Iwik, seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku
dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh
Udin. Iwik dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang,
pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997, Iwik
mengatakan bahwa dirinya dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia
politik.
Tak hanya itu, sebelum meninggal, banyak juga kejadian yang aneh dan
ganjil yang terjadi terkait kematian Udin. Sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor
harian Bernas, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui
Joko Mulyono, wartawan Bernas untuk liputan Bantul. Lelaki tersebut mengaku
sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul dan kedatangannya untuk
urusan tanah.
Namun, setelah pertemuan singkat itu Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul
21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda
Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut
adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul dan adik Sukrisno, Kaur
Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah
bernama Suwandi.
Salah satu tetangga Udin yang berada di warung bakmi yakni Ny Ponikem
sering melihat beberapa laki-laki yang dicurigai mendatangi rumah Udin. Hingga
akhirnya, malam tragedi meninggalnya Udin pun terjadi. Udin dianiaya lelaki tak
dikenal di sekitar rumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul hingga luka parah
dan tak sadarkan diri.
Udin lalu dilarikan ke RSU Jebugan Bantul, karena tak mampu, Udin terus
dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Kemudian, Rabu 14 Agustus 1996 sekitar
pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena
terjadi pendarahan hebat di kepalanya akibat penganiayaan hebat yang dialami
Udin malam sebelumnya.
Namun, apa yang terjadi? Upaya pengaburan kasus pembunuhan Udin pun
oleh berbagai pihak terjadi. Sekitar pukul 20.00 WIB, tepatnya pada tanggal 19
Agustus 1996, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres Bantul
berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan
Trirenggo Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin yang
tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin.
Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai untuk kepentingan
pengusutan dengan cara supranatural (dilarung ke laut selatan). Siang sebelumnya,
di tengah-tengah pawai pembangunan dalam rangka peringatan HUT ke-51
Kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah warga Bantul turut menggelar
pawai duka cita sambil menggelar spanduk dan mengarak foto Udin.
Selain itu, Kapolres Bantul saat itu Letkol Pol Ade Subardan mengatakan
tidak ada dalang dalam kasus Udin meski tersangka belum tertangkap. Kapolres
Bantul juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga
hari usai konferensi pers berlangsung sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur
nyenyak.
Pada 26 Agustus 1996 sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara
(TKP) di rumah Udin baru diberi police line setelah 13 hari usai kejadian
pembunuhan Udin berlalu. Kemudian, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol)
ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid saat itu di Jakarta menegaskan, oknum ABRI
yang terlibat dalam kasus Udin akan ditindak tegas.
Pada 12 Mei 1998, demonstrasi sampai sore berlangsung tertib dan damai,
dengan pembacaan puisi dan menyanyikan lagu. Demonstrasi itu juga pertama
kalinya didukung oleh seluruh civitas academika Trisakti termasuk para dosen.
Awalnya mereka ingin menuju DPR namun terhambat oleh barikade aparat,
setelah proses negosiasi, mahasiswa pun mundur. Saat itu, seseorang berteriak
pada mahasiswa dan lari ke belakang barisan aparat, lalu ketegangan pun muncul.
Mahasiswa kemudian mundur, dan tiba-tiba terjadi tembakan gas air mata dan
juga penembak jitu. Awalnya John mengira para penembak menggunakan peluru
karet.
Aktivis mahasiswa Trisakti 1998 John Muhamad masih mengingat saat itu
tiba-tiba terdengar teriakan mahasiswa.
"Elang masih hidup saat itu, tidak bisa ngomong, dia diam, kayak kesakitan,
tangannya dingin," ungkap John.
"Waktu itu ada wartawan yang mencegah keluar, bisa ditangkap nanti, jadi
meminjamkan jaketnya pada saya," jelas John.
"Wawan pakai kaos putih, matanya terpejam seperti orang tidur,dua jempol
kakinya diikat pakai tali putih, saya meraba seluruh tubuhnya, sampai di perut
saya katakan 'kamu lapar ya perutmu tipis'," ungkap Sumarsih.
Sumarsih melihat lubang kaos putih di bagian dada putranya, "Saya katakan
"Wan, kamu ditembak"."
Setelah itu Sumarsih yang didampingi suami Arief Priyadi dan adiknya pun
berdoa. Tak lama dia mengurus pemulangan jenazah Wawan.
Sumarsih pun masih menanti keadilan, sejak 18 Januari 2007 dia bersama
dengan para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM menggelar aksi
Kamisan di depan Istana Presiden sampai saat ini.
Penembakan Semanggi II
Mahasiswa dan keluarga korban pun tidak puas. Pada 2001, Komnas HAM
mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan
membentuk KPP HAM. Para mahasiswa pun membantu Komnas HAM untuk
mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.
"Jadi dalam 20 tahun reformasi, kita tidak bisa membedakan, tidak jelas di
mana kita: fase Orde Baru, fase transisi dan reformasi," ujar Yati.
Aksi diam dengan membawa payung hitam di seberang Istana Presiden ini,
sudah berlangsung sejak 18 Januari 2007 lalu. Namun tak pernah sekalipun
presiden yang menjabat mendatangi keluarga korban tersebut.
"Kalau dibilang kurang alat bukti, kami ini bisa menjadi bukti, pemerintah itu
menunggu kami, keluarga korban, meninggal satu per satu, menunggu kami
keluarga korban lelah dan menunggu masyarakat melupakannya," ujar Sumarsih.