BAB 1 2 3 Seminar SDM - Review 251020
BAB 1 2 3 Seminar SDM - Review 251020
Disusun oleh:
Rendy Lukkita
022001904013
UNIVERSITAS TRISAKTI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan bidang terpenting dari suatu
organisasi (Robbins & Judge, 2012; Syamsul H Senen, 2017). Persaingan antar perusahaan di
mengembangkan diri secara proaktif (Judge & Robbins, 2015; Masharyono, (2015); Senen &
Solihat, (2013). Sebuah perusahaan harus bisa berinovasi secara berkelanjutan untuk tetap
bisa bersaing dan bertahan dalam jangka waktu yang panjang (Roberts, 2016; Slåtten &
Mehmetoglu, 2014; Masharyono & Senen, (2015). Dari beberapa penelitian tersebut peneliti
menyimpulkan bahwa untuk melihat sejauh mana perusahaan dapat terus berinovasi
Dilihat dari beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan kualitas
mereka dari penjualan offline menjadi penjualan online. Perusahaan e-commerce pendatang
baru yang memiliki nilai investasi jutaan dolar pun langsung melejit menjadi paling banyak
jaringan komputer, seperti internet yang mengacu pada teknologi seperti mobile commerce,
transaksi online, pertukaran data elektronik, sistem management persediaan, dan sistem
pengumpulan data otomatis. (Shahriari, 2015). Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar
ratusan juta saat ini dihadapkan pada perkembangan teknologi yang semakin cepat. Hal
tersebut dapat menjadi kesempatan besar Indonesia memiliki potensi dalam hal bisnis online.
Dari banyaknya perusahaan e-commerce yang berdiri di Indonesia, tentunya akan membuat
tenaga kerja terbaik mereka. Tugas sebuah perusahaan bukan hanya merekrut SDM yang
tepat untuk perusahaan, tetapi juga menciptakan dan mempertahankan SDM dalam
perusahaan merupakan tugas dari perusahaan, maka dari itu perusahaan harus senantiasa
mengadakan suatu perubahan-perubahan kearah yang positif (Mokaya et al., 2013). Dengan
adanya Sumber Daya Manusia terbaik tersebut diharapkan dapat menentukan keberhasilan
dalam mencapai tujuan suatu perusahaan, dimana tujuan tersebut tidak akan terwujud jika
Sumber daya manusia adalah dasar untuk inovasi dan evaluasi karyawan, sekaligus sebagai
strategi untuk mengatasi persaingan global dan ketidakpastian, guna mencapai tingkat kinerja
yang tinggi dan tujuan organisasi (Derin & Gökçe, 2016). Maka dari itu, diperlukannya
peningkatan innovative work behavior dari sumber daya manusia guna mengembangkan
kemampuan inovasi organisasi itu sendiri. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Aslam, & Ismail (2017) yang menyatakan bahwa terdapat efek positif yang signifikan dari
innovative work behaviour terhadap innovative output. Beberapa penelitian terdahulu juga
berpendapat bahwa sejauh mana perusahaan dapat terus berinovasi berkaitan dengan inovasi
Untuk meningkatkan inovasi, organisasi perlu memotivasi karyawan untuk terlibat dalam
perilaku kerja yang inovatif (Afsaret al., 2014). Merujuk pada perilaku kerja yang inovatif
untuk inisiasi, pengembangan, realisasi dan implementasi ide baru yang dapat meningkatkan
produk, layanan, proses, dan metode kerja (Yuan dan Woodman, 2010). inovasi perilaku
kerja yang kompleks tidak mudah menghasilkan ide yang praktis, baru, proaktif, realistis, dan
layak. Selain itu, ketidakpastian, risiko dan resistensi dari anggota organisasi semakin
menambah kompleksitas proses inovatif (De Jong dan Den Hartog, 2010). Saat ini, organisasi
memiliki tenaga kerja dan pemimpin yang beragam seperti dengan kebangsaan, budaya, etnis,
meningkatkan perilaku kerja yang inovatif. Para sarjana secara luas membahas topik inovasi
manufaktur dan industri teknologi tinggi. Motif inovasi dalam dua industri ini biasanya
mencakup meningkatkan motivasi intrinsik karyawan (Chen et al., 2013), mengejar keahlian
(Schulze et al., 2014). Seperti karakteristiknya berbeda dengan yang diamati dalam industri
jasa terutama di industri perhotelan. Secara umum, industri layanan berorientasi pada
pelanggan, dengan instruksi yang sering diberikan oleh supervisor. Dengan mengintegrasikan
seperti kehangatan dan kreativitas, sehingga membentuk citra inovasi perusahaan (Afsar et
al., 2019).
Cultural Intelligence dapat mempengaruhi lingkungan kerja. Suatu Organisasi yang memiliki
tenaga kerja yang beragam dapat secara efektif menciptakan Innovative Work Behavior.
Menurut Penelitian Ng et al. (2012) berpendapat bahwa tenaga kerja yang beragam dapat
menciptakan fleksibilitas merangsang munculnya ide baru karena dengan adanya
keberagaman di tempat kerja memiliki pemikiran yang berbeda dan masukan yang beragam
dan unik. Tenaga kerja saat ini memiliki budaya yang beragam, terutama di perusahaan
tempat kerja, karyawan harus terbuka untuk berinteraksi dengan kolega yang berasal dari
budaya yang berbeda, dan mereka harus memiliki kemampuan untuk membangun
interkoneksi dengan orang-orang yang berbeda dari mereka. Salah satu kompetensi individu
yang paling penting adalah untuk memahami perbedaan budaya dan memiliki kecerdasan
budaya yang diperlukan. Oleh karena itu, karyawan membutuhkan kecerdasan budaya untuk
mengatasi budaya organisasi yang beragam dan untuk berinteraksi secara efektif dengan
Selain itu, mengenai Work Engagment yaitu pemahaman tentang efek langsung dan tidak
langsung dari Cultural Intelligence di tempat kerja mungkin tidak cukup komprehensif, tanpa
menilai peran pekerjaan (Work Engagement) dan keterlibatan Innovative Work Behavior
rumit karena ketidakpastian dan risiko yang terkait dengan mereka (De Jong dan Den Hartog,
2010). Keterlibatan kerja mengacu pada sebuah karya di mana karyawan menemukan
pekerjaan yang bermakna baginya, dan itu adalah hal positif yang ditandai dengan semangat,
Menurut teori Conservation of Resource (COR), orang berinvestasi dalam sumber daya
budaya, subtipe sumber daya pribadi, telah ditemukan untuk memunculkan sikap dan kinerja
positif (Ramalu dan Subramaniam, 2019), juga cenderung memunculkan keterlibatan kerja
(Work Engagement). Karyawan yang terlibat, pada gilirannya, lebih mungkin memiliki niat
kuat untuk berbagi pengetahuan terkait pekerjaan mereka dan untuk melakukan upaya yang
signifikan perilaku kerja inovatif (Innovative Work Behavior) untuk organisasi mereka (Kim
Berdasarkan uraian menyeluruh ini, Peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul
“PENGARUH HUBUNGAN ANTARA TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP,
WORK ENGAGMENT, DAN CULTURAL INTELLIGENCE TERHADAP
INNOVATIVE WORK BEHAVIOR PADA KARYAWAN PERUSAHAAN E-
COMMERCE DI INDONESIA”
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka penelitian ini memiliki
commerce Di Indonesia?”
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan dilakukan
Indonesia
commerce di Indonesia.
Indonesia.
Indonesia.
5. Untuk menganalisis pengaruh antara Transformational Leadership terhadap Innovative
Berdasarkan beberapa pendapat para tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Kepemimpinan Transformasional adalah kepemimpinan yang mampu
menginspirasi, mengarahkan dan menggerakkan pengikut untuk melakukan
perubahan melalui pemberdayaan dalam mencapai tujuan tertentu.
Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sabagai
suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan. Aspek stimulus intelektual
berkolaborasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin yang dapat
memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mampu
mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.
Penelitian lain juga berpendapat bahwa Work engagement dapat dirasakan oleh
seseorang yang berpartisipasi besar terhadap pekerjaannya dengan kondisi psikologis
yang baik dan mampu menentukan inspirasi dalam pekerjaan yang dilakukan
sehingga mampu meningkatkan performa perusahaan (Costantini et al., 2019). Work
engagement merupakan keadaan mental seseorang berkaitan dengan pekerjaannya
yang positif dan penuh dengan semangat, dedikasi dan absorpsi (Schaufeli, 2012).
Menurut Barnes et al., (2014) work engagement ditunjukkan oleh karyawan yang
memiliki semangat, berdedikasi, dan mengerti terhadap pekerjaannya sehingga puas
terhadap pekerjaannya.
Menurut Lodahl & Kejner (2013) Work Engagement didefinisikan sebagai sejauh
mana seseorang mengidentifikasi secara psikologis dengan pekerjaannya atau
pentingnya pekerjaan dalam citra diri individu. Seorang karyawan dikatakan terlibat
dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara
psikologis dengan pekerjaannya dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya,
selain untuk organisasi (Prihatini, 2013). Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai
sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat
sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap
pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya.
Dari definisi yang sudah dijelaskan dari beberapa ahli dapat disimpulkan work
engagement adalah sejauh mana seorang karyawan melibatkan peran fisik, kognitif,
dan emosional dalam pekerjaan dan memihak pada organisasinya serta menganggap
bahwa pekerjaan itu sangat penting bagi citra dirinya, sehingga karyawan dapat
terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.
2. Dedikasi (Dedication)
Dedikasi didefinisikan sebagai keterlibatan secara kuat di dalam satu pekerjaan
ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspiratif, bangga terhadap
tantangan dalam pekerjaan itu.
3. Absorpsi (Absorption)
Absorption didefinisikan sebagai berkonsentrasi secara penuh dan minat yang
mendalam terhadap pekerjaan, sehingga merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit
untuk melepaskan diri dari pekerjaan. Peneliti menggunakan aspek-aspek tersebut
karena lebih rinci dan sesuai dengan tujuan penelitian penulis sehingga diharapkan
dapat mengungkap data tentang work engagement lebih dalam, komprehensif dan
mudah dipahami.
Kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam berbagai budaya, baru-baru ini diberi
label sebagai kecerdasan budaya (CQ) yang merupakan salah satu kontribusi terbaru tentang
kecerdasan, dan mendapatkan tempat bersama kecerdasan emosional, interpersonal dan
sosial. (Yvonne du Plessis, 2011). Upaya memahami dan menyelami situasi multikultural
dengan kemampuan adaptasi yang baik, maka peningkatan kecerdasan budaya pada
masyarakat sangat diperlukan.
Livermore (2011) mendefinisikan kecerdasan budaya sebagai kemampuan untuk berfungsi
secara efektif dalam berbagai konteks budaya yang bervariasi Menurut Ang., et al. (2014),
kecerdasan budaya ini mirip dengan kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional. Kecerdasan
sosial merujuk pada kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan sosial dengan
orang lain. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan dalam memahami dan menghadapi
(mengelola) emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Sedangkan kecerdasan budaya adalah
kemampuan untuk memahami, mengelola, dan berhadapan dengan emosi-emosi orang lain
dalam konteks antar budaya. Dengan demikian, kecerdasan budaya merupakan salah satu
bentuk spesifik dari kecerdasan interpersonal (Suharli, 2015)
Farr dan Ford (dalam De Jong & Hartog, 2010) mengatakan bahwa perilaku inovatif kerja
adalah bentuk perilaku yang bertujuan untuk mencapai inisiasi dan pengenalan suatu ide,
proses, prosedur maupun produk baru yang berguna bagi organisasi dalam penelitian ini
adalah perusahaan. Messmann (2012) mengatakan perilaku inovatif kerja adalah jumlah dari
aktivitas kerja fisik dan kognitif yang dilakukan oleh karyawan dalam konteks pekerjaan
mereka, baik sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu set tugas yang dibutuhkan
untuk tujuan pengembangan inovasi. guna bagi organisasi dalam penelitian ini adalah
perusahaan. Perilaku inovatif sering dikaitkan dengan kreativitas. Kedua hal tersebut memang
berkaitan tetapi memiliki konstrak yang berbeda. Perilaku kreatif adalah proses untuk
menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau pemikiran baru yang berkaitan dengan produk,
servis, proses dan prosedur kerja. Sedangkan perilaku inovatif kerja tidak hanya sekedar
menghasilkan ide baru tetapi juga melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut
khususnya pada seting pekerjaan (De Jong & Hartog, 2010).
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku inovatif kerja
merupakan perilaku kerja individu yang melalui proses pemunculan ide baru untuk
menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan ide baru yang bermanfaat bagi pribadi
maupun perusahaan.
a. Idea Exploration
Idea exploration adalah dimensi yang merupakan tahap awal dari perilaku inovatif kerja
dimana karyawan mampu menemukan kesempatan atau sebuah masalah. Termasuk mencari
cara untuk mengembangkan produk, jasa, dan proses juga mencoba memikirkan alternatif
lain
b. Idea Generation
Idea generation adalah tahap kedua dari dimensi perilaku inovatif kerja dimana karyawan
mampu untuk mengembangkan ide inovasi melalui proses menciptakan dan menyarankan ide
untuk produk, jasa, maupun proses baru. Umumnya ide baru muncul berdasar hasil penemuan
pada tahap idea exploration.
c. Idea Championing
Idea championing menjadi relevan ketika ide sudah berhasil diciptakan. Karena pada tahap
ini karyawan diharapkan mulai terdorong untuk mencari dukungan dalam mewujudkan ide
inovasi baru yang telah dihasilkannya. Termasuk mencari koalisi agar ide baru bisa
diimplementasikan dan percaya dengan keberhasilan ide tersebut.
d. Idea Implementation
Idea implementation merupakan tahap terakhir dari perilaku inovatif kerja. Pada dimensi ini
karyawan memiliki keberanian untuk menerapkan idea baru tersebut ke dalam proses
kegiatan kerja rutin yang biasa ia lakukan. Termasuk pengembangan dan uji coba terhadap
ide produk, proses maupun jasa baru yang ia tawarkan.
a) Faktor Eksternal
1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi mampu
mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki efek positif untuk
munculnya perilaku inovatif.
b) Faktor Internal
1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan) Karyawan yang memiliki hubungan yang
positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku inovatif kerja
dan mampu memberi keyakinan bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan
keuntungan kinerja. Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya
dan menghormati.
2) Interaksi dengan grup rekan kerja Karyawan yang memiliki hubungan baik dengan
rekan kerja lebih mungkin memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka
juga meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja mereka. Dan hal ini
memudahkan perilaku inovatif kerja untuk berkembang
setelah itu ide dipromosikan untuk mendapatkan dukungan dan sponsor. Membangun koalisi
adalah hal yang penting pada tahap proses inovasi dalam perilaku kerja (Innovative Work
Behavior) karena membantu orang menemukan pendukung yang menyediakan sumber daya
dan kemampuan penting untuk promosi ide (Afsar, 2020). Akhirnya, ide ini diwakili oleh
model atau prototipe yang dapat diterapkan dalam kegiatan kerja sehari-hari individu atau
orang-orang dari seluruh unit organisasi (Janssen, 2000). CQ terkonsentrasi di atas kapasitas
adaptasi perilaku individu terhadap kebutuhan dan permintaan hubungan yang terjadi dalam
situasi ini ditandai dengan keragaman budaya. Studi empiris sebelumnya melaporkan bahwa
Cultural Intelligence memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap Innovative Work
Behavior. CQ motivasi juga ditunjukkan sebagai prediktor efektivitas budaya ekspatriat (Ott
dan Michailova, 2018) tugas dan kinerja kontekstual (Lee dan Sukoco, 2010). Meskipun
dimensi CQ mana yang lebih tajam mungkin tidak diketahui secara meyakinkan, dampaknya
terhadap hasil attitudinal atau perilaku kerja tampaknya tidak dapat disangkal dalam
pengaturan kerja multikultural. Namun, masuk akal untuk mengharapkan semua sub-dimensi
CQ mempengaruhi perilaku kerja inovatif karena CQ cenderung menjadi sumber daya
Selain itu, Transformasional Leadership memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap
kepentingan diri karyawan ke dalam keadaan yang memotivasi untuk dengan penuh
stimulasi intelektual, dapat memengaruhi karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan inovatif
perilaku (Afsar et al., 2014). Pemimpin seperti itu biasanya mendorong karyawan untuk
terlibat dalam perilaku kerja inovatif dengan menyediakan lingkungan yang mendukung
Work Engagement juga tentu mempengaruhi Innovative Work Behavior. ketika keterlibatan
kerja tinggi di kalangan karyawan, mereka mulai mengambil inisiatif dan mencoba
(Crawford et al., 2010). Karena perilaku kerja inovatif menantang karena jumlah upaya yang
mental, fokus, kenikmatan, keterlibatan dan dorongan internal untuk menciptakan dampak,
akan membantu individu untuk terlibat dalam usaha inovatif. Keterlibatan kerja
dengan anggota organisasi lain dan/atau secara aktif menyarankan ide-ide baru untuk
organisasi mereka dan mengubah ide-ide baru menjadi aplikasi yang berhasil (yaitu perilaku
kerja yang inovatif). (Kim dan Park, 2017). Dengan demikian, karyawan yang menunjukkan
keterlibatan dalam pekerjaan mereka lebih cenderung menampilkan perilaku kerja yang
inovatif.
Adapun rerangka konseptual yang dapat digambarkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Transformational
Leadership
H1
H2 Innovative
Work Engagment
Work Behavior
H3
Cultural
Intelligence
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
memainkan peran yang ideal merangsang dan mendorong perilaku kerja inovatif,
memberikan motivasi inspirasional dan terlibat dalam mendukung dan membimbing pengikut
untuk mencapai visi bersama organisasi dan tujuan (Bednall et al., 2018; Suifan et al., 2018).
Transformasi perhatian dan dukungan yang dipersonalisasi kepada kebutuhan dan
dalam kegiatan kreatif. Dengan terus-menerus mempertanyakan dan menantang asumsi dan
pemikiran pengikut, para pemimpin ini merangsang pemikiran intelektual pengikut, yang
pada akhirnya mendorong pengikut untuk terlibat dalam pembuatan dan implementasi ide.
Pemimpin seperti itu memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi organisasi dengan
tujuan individu, meningkatkan motivasi inspirasional di antara (Bednall et al., 2018). Oleh
karyawan individu dengan mengaitkan masa depan mereka dengan masa depan organisasi
dan mendorong mereka untuk terlibat dalam perilaku kerja inovatif dengan mengembangkan
rasa berbagi visi dan kepemilikan dengan organisasi. Berdasarkan pembahasan diatas, kami
mengusulkan:
Behavior.
Work Engagment didefinisikan karyawan yang termotivasi pada pekerjaan mereka dan
memiliki energi yang baik dari segi fisik, emosi dan kemampuan berpikir mereka (Cheng et
al., (2014). Keterlibatan mengacu pada keadaan afektif-motivasi persisten yang tidak terfokus
pada objek tertentu, peristiwa atau perilaku. Keterlibatan dalam bekerja adalah seseorang
yang berpartisipasi besar terhadap pekerjaannya dengan kondisi psikologis yang baik dan
pendekatan kerja yang inovatif, perlu seorang karyawan untuk memberika upaya besar dan
menuntut kepada perusahaan. Karena inovatif melibatkan penciptaan sesuatu yang baru atau
berbeda, mengharuskan karyawan untuk diserap dalam pekerjaan mereka dan berkonsentrasi
padanya (penyerapan), memiliki mental ketahanan untuk menahan godaan agar terganggu
dan kemudian terlepas dari pekerjaan dan memiliki kesesuaian terhadap pekerjaan mereka
bahwa mereka dapat sepenuhnya berkonsentrasi pada kerja (dedikasi). Sebuah studi terbaru
oleh Agarwal et al. (2012) menemukan korelasi positif antara Work Engagment dan IWB.
Proses inovasi yang memakan waktu, ancaman eksternal (misalnya ekonomi, politik,
teknologi, sosial dan pesaing) serta ancaman internal (misalnya kecemasan, perlawanan,
ketidakpastian, risiko, dan alokasi sumber daya) membuat inovasi menjadi lebih kompleks
dan kontingen pada keadaan tak terduga (Afsar et al., 2015). Oleh karena itu, pencipta
gagasan harus fleksibel dan adaptif terhadap situasi dan karenanya terus mengubah tindakan
melalui jalur alternatif untuk mencapai tujuan akhir Inovasi. CQ adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan penyesuaian mental dengan cepat dan bergeser sesuai dengan
keadaan (Fischer, 2011). Ketika seseorang dengan tinggi CQ membuat interaksi lintas budaya
yang sebenarnya, dia menyesuaikan asumsi dan (S ̧ahin et al., 2014). Interaksi lintas budaya
dan komunikasi dengan orang-orang dari budaya lain membantu mengasimilasi dan
akumulasi pengetahuan, penciptaan yang lebih baik dan lebih sering ide-ide terjadi. Literatur
sebelumnya mendukung hubungan antara CQ dan kreativitas. Untuk contohnya, Crotty dan
Brett (2012) melakukan survei terhadap 246 karyawan yang bekerja di 37 tim multikultural,
mengusulkan:
H3. Cultural Intelligence berhubungan positif dengan Innovative Work Behavior.
BAB III
METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Afsar Bilal et al., (2020) yaitu “Cultural intelligence and innovative work behavior: the role of
work engagement and interpersonal trust” dan penelitian yang dilakukan oleh Groselj Matej, et
al., (2020) yaitu “Authentic and transformational leadership and innovative work behaviour: the
Indonesia.
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan
commerce di Indonesia. studi penelitian Unit Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah
individu karyawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hypotesis testing.
Rancangan penelitian ini dilakukan dengan cara pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang
digunakan untuk menguji data yang didapat berdasarkan variable yang diuji. Pengambilan data
Dalam penelitian ini variable bebas (Independen Variabel) yang pertama adalah Transformational
Leadership. Item-item pernyataan untuk variable ini terdiri dari 20 item penyataan yang
dikembangkan dari penelitian Afsar Bilal and Umrani Waheed Ali (2020). Berikut ini adalah
No Transformational Leadership
1 Pemimpin saya memeriksa kembali kritis asumsi dan pertanyaan apakah mereka sesuai.
2 Pemimpin saya mencari perspektif yang berbeda ketika memecahkan masalah
3 Pemimpin saya mendapat orang lain untuk melihat masalah dari berbagai sudut
4 Pemimpin saya menyarankan cara-cara baru untuk melihat cara menyelesaikan tugas
5 Pemimpin saya menghabiskan waktu melatih, mengajar dan pendampingan pengikutnya
6 Pemimpin saya memperlakukan orang lain sebagai individu bukan hanya sebagai anggota
grup
7 Pemimpin saya menganggap individu sebagai memiliki kebutuhan, kemampuan, dan
kelompok
13 Pemimpin saya bertindak dengan cara yang membangun orang lain menghormati saya
14 Pemimpin saya mempertimbangkan konsekuensi moral dan etika dari keputusan
15 Pemimpin saya menampilkan rasa kekuasaan dan Kepercayaan
16 Pemimpin saya menekankan pentingnya memiliki rasa misi kolektif
17 Pemimpin saya berbicara optimis tentang masa depan
18 Pemimpin saya berbicara dengan antusias tentang apa yang perlu ditetapkan
19 Pemimpin saya mengartikulasikan visi yang menarik untuk masa depan
20 Pemimpin saya menyatakan kepercayaan diri melalui perilakunya bahwa tujuan akan
Dicapai.
Dalam Penelitian ini variable bebas (Independent variable) yang ke dua adalah Work Engagement.
Pernyataan untuk variable ini diukur dengan 17 Item yang dikembangkan dari penelitian Afsar et al
(2020). Berikut ini adalah item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur Work Engagement :
Work Engagment
1. Di tempat kerja, saya merasa dipenuhi energi
2. Di pekerjaan saya, saya merasa kuat dan berrsemangat
3. Ketika saya bangun di pagi hari, saya merasa ingin bekerja
4. Dalam sehari saya dapat terus bekerja untuk waktu yang sangat lama
5. Di pekerjaan saya, saya sangat tangguh, secara mental
6. Dalam pekerjaan saya, saya selalu bertahan, bahkan ketika ada hal-hal yang tidak
berjalan dengan baik
7. Saya antusias dengan pekerjaan saya
8. Saya menemukan pekerjaan yang saya lakukan penuh makna dan tujuan.
9. Pekerjaan saya menginspirasi saya
10. Bagi saya, pekerjaan saya menantang
11. Saya bangga dengan pekerjaan yang saya lakukan
12. Waktu terasa cepat berlalu ketika saya bekerja
13. Saat saya bekerja, saya melupakan semua yang ada di sekitar saya
14. Saya merasa senang ketika saya bekerja dengan intens
15. Saya sangat fokus dalam pekerjaan saya
16. Saya terbawa suasana saat saya bekerja
17. Sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan saya
Dalam Penelitian ini variable bebas (Independent variable) yang ke tiga adalah Cultural Intelligence.
Pernyataan untuk variable ini diukur dengan 20 Item yang dikembangkan dari penelitian Afsar et al
(2020). Berikut ini adalah item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur Cultural
Intelligence :
Cultural Intelligence
1. Saya sadar akan pengetahuan budaya yang saya gunakan saat berinteraksi dengan
orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda.
2. Saya menyesuaikan pengetahuan budaya saya saat saya berinteraksi dengan orang-
orang dari budaya yang asing bagiku.
3. Saya sadar akan pengetahuan budaya yang saya terapkan pada saat interaksi lintas
budaya
4. Saya menguji keakuratan pengetahuan budaya saya saat berinteraksi dengan orang-
orang dari perbedaan budaya
5. Saya tahu sistem hukum dan ekonomi budaya lain.
6. Saya tahu aturan (misalnya kosakata, tata bahasa) dari bahasa lain
7. Saya mengetahui nilai-nilai budaya dan kepercayaan agama dari budaya lain
8. Saya tahu sistem perkawinan di budaya lain
9. Saya mengetahui seni dan kerajinan dari budaya lain
10. Saya tahu aturan untuk mengekspresikan perilaku nonverbal di budaya lain
11. Saya menikmati berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda
12. Saya yakin bahwa saya dapat bersosialisasi dengan penduduk setempat dalam
budaya yang tidak saya kenal
13. Saya yakin saya bisa mengatasi tekanan karena menyesuaikan diri dengan budaya
yang baru
14. Saya menikmati hidup dalam budaya yang asing bagi saya
15. Saya yakin bahwa saya dapat membiasakan diri dengan kondisi berbelanja belanja
di budaya yang berbeda
16. Saya mengubah perilaku verbal saya (misalnya aksen, nada) saat interaksi lintas
budaya membutuhkannya
17. Saya menggunakan jeda dan diam secara berbeda untuk menyesuaikan dengan
situasi lintas budaya yang berbeda
18. Saya memvariasikan kecepatan berbicara saya ketika situasi lintas budaya
membutuhkannya
19. Saya mengubah perilaku nonverbal saya ketika situasi lintas budaya
mengharuskannya
20. Saya mengubah ekspresi wajah saya ketika diperlukan interaksi lintas budaya
Dalam Penelitian ini variable terikat (dependent variable) adalah Innovative Work Behavior.
Pernyataan untuk variable ini diukur dengan 10 Item yang dikembangkan dari penelitian Afsar et al
(2020). Berikut ini adalah item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur Innovative Work
Behavior :
Dalam penelitian ini terdiri dari empat (4) Variabel yang digunakan yaitu, tiga variable bebas
(Independent variable), dan satu (1) variable terikat (Dependent Variabel). Penelitian ini
menggunakan alat ukur berupa item pernyataan dengan menggunakan skala likert interval, yang
sama tingkatan dan jarak yang pasti antara satu (1) kategori dengan kategori lain dalam 1 variabel.
(Sugiyono, 2017).
Kemudian seluruh item pernyataan diukur dengan menggunakan skala likert dari 1 sampai 5,
Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer secara langsung ke lapangan yang
menjadi objek penelitian berupa informasi maupun keterangan yang diperlukan (Sekaran, 2015).
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Kuesioner On-line
Dalam kuesioner online tersebut terdapat 3 bagian/halaman yaitu yang pertama penjelasan
umum tentang penelitian yang dilakukan, bagian kedua berisi kolom pengisian data diri
responen, dan bagian ketiga berisi petunjuk pengisian disertai dengan item-item pernyataan
b. Studi Pustaka
Studi Pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dimana pada penelitian ini
diperoleh dari berbagai artikel maupun data yang diperoleh dari penelitian terdahulu yang
Proses Pengumpulan data terhadap suatu penelitian yang penulis lakukan, maka harus
memiliki cara atau Teknik untuk mendapatkan data atau informasi yang baik dan terstruktur serta
akurat dari setiap apa yang diteliti, sehingga kebenaran informasi data yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan (Jabbar, 2014). Objek yang digunakan pada penelitian ini adalah karyawan
perusahaan e-commerce di Indonesia sejumlah 100 orang yang telah berkerja lebih dari 1 tahun.
Tujuan diadakan uji coba adalah diperolehnya informasi mengenai kualitas instrumen
sudah atau belum memenuhi persyaratan yang digunakan. Menurut Suharsimi Arikunto
(2010), “baik buruknya instrumen akan berpengaruh terhadap benar tidaknya data yang
diperoleh, sedangkan benar tidaknya sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian”.
Instrumen yang baik selain valid juga harus reliabel, artinya dapat diandalkan. Uji instrument
yang valid mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid memiliki
validitas rendah”. Adapun dasar pengambilan keputusan uji validitas menurut Hair et al. (2010)
Tabel 3.1
Factor Loading Based on Sample
Dalam mengetahui factor loading dapat dilihat dari jumlah sample yang digunakan. Dalam
penelitian ini sample yang digunakan sebanyak 100 responden sehingga diketahui factor loading yang
sesuai dengan jumlah sample tersebut adalah sebesar ≥ 0,55 untuk dapat dikatakan bahwa pernyataan
tersebut valid.
Tabel 3.2
Hasil Uji Validitas
Variabel Innovative Work Behavior
Factor
Item pernyataan Keputusan
No Loading
Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas
Variabel Transformational Leadership
Factor
No Item pernyataan Keputusan
Loading
Pemimpin saya mencari solusi yang berbeda ketika
1
memecahkan masalah.
Pemimpin saya memberikan cara baru untuk menyelesaikan
2
tugas.
Pemimpin saya menghabiskan waktu untuk melatih,
3 mengajar dan memberikan pendampingan kepada
karyawannya.
Pemimpin saya memperlakukan karyawannya seperti teman
4
sendiri bukan hanya sebagai pekerja.
Pemimpin saya menganggap individu sebagai memiliki
5 kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi dari orang lain
Tabel 3.4
Hasil Uji Validitas
Variabel Work Engagement
Factor
No Item pernyataan Loadin Keputusan
g
1 Di tempat kerja, saya merasa dipenuhi semangat
2 Saya merasa kuat dan bersemangat saat berkerja
Ketika saya bangun di pagi hari, saya antusias dan semangat
3
untuk bekerja
Dalam sehari saya dapat terus bekerja untuk waktu yang
4
sangat lama
5 Di pekerjaan saya, saya sangat tangguh secara mental
7 Saya antusias dengan pekerjaan saya
Saya merasa pekerjaan yang saya lakukan penuh makna dan
8
tujuan.
9 Pekerjaan saya menginspirasi diri saya sendiri
Pekerjaan saya saat ini cukup menantang bagi diri saya
10
sendiri
11 Saya bangga dengan pekerjaan yang saya lakukan saat ini
12 Waktu terasa cepat berlalu saat saya bekerja
Saat saya bekerja, saya mengabaikan semua yang ada di
13
sekitar saya
14 Saya merasa senang ketika saya bekerja dengan intens
15 Saya sangat fokus dengan pekerjaan saya
16 Saya terbawa suasana saat saya bekerja
Sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan saya ketika ada
17
hal-hal yang tidak berjalan baik.
Tabel 3.5
Hasil Uji Validitas
Variabel Cultural Intelligence
Factor
No Item pernyataan Keputusan
Loading
.1 Saya sadar akan pengetahuan budaya yang saya
gunakan saat berinteraksi dengan orang lain
dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Saya menyesuaikan pengetahuan budaya saya saat
2 saya berinteraksi dengan orang-orang dari budaya
yang asing bagiku.
Saya menguji keakuratan pengetahuan budaya saya
4 saat berinteraksi dengan orang-orang dari
perbedaan budaya
Menurut Suharsimi Arikunto (2010), reliabilitas menunjuk pada pengertian bahwa instrumen
dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut
sudah baik. Reliabilitas instrumen merupakan syarat pengujian validitas instrumen, karena itu
instrumen yang valid umumnya pasti reliabel tetapi pengujian reliabilitas instrumen perlu
dilakukan. Menurut (Suharsimi Arikunto, 2010), dasar pengambilan keputusan uji reliabilitas
Pengujian reliabilitas instrument rentang skor antara 1-5 menggunakan rumus Croanbach
Keterangan :
Item pertanyaan yang diteliti dikatakan reliable jika r hitung > r tabel
Item pertanyaan yang diteliti dinyatakan tidak reliable jika r hitung ≤ r tabel
Tabel 3.6
Hasil Uji Reliabilitas
N of
No Variabel Cronbach’s Alpha Keputusan
Items
Transformational
1
Leadership
2 Work Engagement
3 Cultural Intelligence
Innovative Work
4.
Behavior
Pada penelitian ini analisis yang digunakan untuk menganalis setiap variabel dengan dilihat