Anda di halaman 1dari 34

PENGARUH TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP, WORK ENGAGMENT, DAN

CULTURAL INTELLIGENCE TERHADAP INNOVATIVE WORK BEHAVIOR PADA


KARYAWAN PERUSAHAAN E-COMMERCE DI INDONESIA

Disusun oleh:

Rendy Lukkita

022001904013

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

UNIVERSITAS TRISAKTI

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan bidang terpenting dari suatu

organisasi (Robbins & Judge, 2012; Syamsul H Senen, 2017). Persaingan antar perusahaan di

era globalisasi semakin kompleks, sehingga SDM dituntut untuk terus-menerus

mengembangkan diri secara proaktif (Judge & Robbins, 2015; Masharyono, (2015); Senen &

Solihat, (2013). Sebuah perusahaan harus bisa berinovasi secara berkelanjutan untuk tetap

bisa bersaing dan bertahan dalam jangka waktu yang panjang (Roberts, 2016; Slåtten &

Mehmetoglu, 2014; Masharyono & Senen, (2015). Dari beberapa penelitian tersebut peneliti

menyimpulkan bahwa untuk melihat sejauh mana perusahaan dapat terus berinovasi

tergantung dengan perilaku kerja inovatif karyawan

Dilihat dari beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan kualitas

SDM di Indonesia, banyak perusahaan seperti perusahaan e-commerce mendirikan

perusahaannya di indonesia. Tidak sedikit perusahaan yang memperluas penjualan produk

mereka dari penjualan offline menjadi penjualan online. Perusahaan e-commerce pendatang

baru yang memiliki nilai investasi jutaan dolar pun langsung melejit menjadi paling banyak

dikunjungi. E-commerce merupakan perdagangan produk layanan yang menggunakan

jaringan komputer, seperti internet yang mengacu pada teknologi seperti mobile commerce,

transfer dana elektronik, manajemen rantai pasokan, pemasaran internet, pemrosesan

transaksi online, pertukaran data elektronik, sistem management persediaan, dan sistem

pengumpulan data otomatis. (Shahriari, 2015). Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar
ratusan juta saat ini dihadapkan pada perkembangan teknologi yang semakin cepat. Hal

tersebut dapat menjadi kesempatan besar Indonesia memiliki potensi dalam hal bisnis online.

Dari banyaknya perusahaan e-commerce yang berdiri di Indonesia, tentunya akan membuat

persaingan antar perusahaan e-commerce mengalami peningkatan. Akibat dari persaingan

tersebut banyak perusahaan e-commerce harus merekrut ataupun harus mempertahankan

tenaga kerja terbaik mereka. Tugas sebuah perusahaan bukan hanya merekrut SDM yang

tepat untuk perusahaan, tetapi juga menciptakan dan mempertahankan SDM dalam

perusahaan merupakan tugas dari perusahaan, maka dari itu perusahaan harus senantiasa

mengadakan suatu perubahan-perubahan kearah yang positif (Mokaya et al., 2013). Dengan

adanya Sumber Daya Manusia terbaik tersebut diharapkan dapat menentukan keberhasilan

dalam mencapai tujuan suatu perusahaan, dimana tujuan tersebut tidak akan terwujud jika

karyawan tidak melaksanakan pekerjaan dengan baik.

Sumber daya manusia adalah dasar untuk inovasi dan evaluasi karyawan, sekaligus sebagai

strategi untuk mengatasi persaingan global dan ketidakpastian, guna mencapai tingkat kinerja

yang tinggi dan tujuan organisasi (Derin & Gökçe, 2016). Maka dari itu, diperlukannya

peningkatan innovative work behavior dari sumber daya manusia guna mengembangkan

kemampuan inovasi organisasi itu sendiri. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Aslam, & Ismail (2017) yang menyatakan bahwa terdapat efek positif yang signifikan dari

innovative work behaviour terhadap innovative output. Beberapa penelitian terdahulu juga

berpendapat bahwa sejauh mana perusahaan dapat terus berinovasi berkaitan dengan inovasi

oleh karyawan secara individual (Aslam dkk., 2017).

Untuk meningkatkan inovasi, organisasi perlu memotivasi karyawan untuk terlibat dalam

perilaku kerja yang inovatif (Afsaret al., 2014). Merujuk pada perilaku kerja yang inovatif
untuk inisiasi, pengembangan, realisasi dan implementasi ide baru yang dapat meningkatkan

produk, layanan, proses, dan metode kerja (Yuan dan Woodman, 2010). inovasi perilaku

kerja yang kompleks tidak mudah menghasilkan ide yang praktis, baru, proaktif, realistis, dan

layak. Selain itu, ketidakpastian, risiko dan resistensi dari anggota organisasi semakin

menambah kompleksitas proses inovatif (De Jong dan Den Hartog, 2010). Saat ini, organisasi

memiliki tenaga kerja dan pemimpin yang beragam seperti dengan kebangsaan, budaya, etnis,

latar belakang, dan agama yang berbeda

Transformational Leadership dapat digambarkan sebagai gaya kepemimpinan yang

mempromosikan kepentingan kolektif karyawan, membantu mereka mencapai tujuan kolektif

(García-Morales et al., 2012). Kami berharap bahwa kepemimpinan transformasional akan

meningkatkan perilaku kerja yang inovatif. Para sarjana secara luas membahas topik inovasi

dan memverifikasi inovasi menjadi penting untuk keunggulan kompetitif perusahaan di

manufaktur dan industri teknologi tinggi. Motif inovasi dalam dua industri ini biasanya

mencakup meningkatkan motivasi intrinsik karyawan (Chen et al., 2013), mengejar keahlian

(Schulze et al., 2014). Seperti karakteristiknya berbeda dengan yang diamati dalam industri

jasa terutama di industri perhotelan. Secara umum, industri layanan berorientasi pada

pelanggan, dengan instruksi yang sering diberikan oleh supervisor. Dengan mengintegrasikan

peralatan dan pengetahuan, karyawan menyediakan layanan dengan karakteristik heterogen

seperti kehangatan dan kreativitas, sehingga membentuk citra inovasi perusahaan (Afsar et

al., 2019).

Cultural Intelligence dapat mempengaruhi lingkungan kerja. Suatu Organisasi yang memiliki

tenaga kerja yang beragam dapat secara efektif menciptakan Innovative Work Behavior.

Menurut Penelitian Ng et al. (2012) berpendapat bahwa tenaga kerja yang beragam dapat
menciptakan fleksibilitas merangsang munculnya ide baru karena dengan adanya

keberagaman di tempat kerja memiliki pemikiran yang berbeda dan masukan yang beragam

dan unik. Tenaga kerja saat ini memiliki budaya yang beragam, terutama di perusahaan

multinasional. Untuk mengurangi masalah yang disebabkan oleh keragaman budaya di

tempat kerja, karyawan harus terbuka untuk berinteraksi dengan kolega yang berasal dari

budaya yang berbeda, dan mereka harus memiliki kemampuan untuk membangun

interkoneksi dengan orang-orang yang berbeda dari mereka. Salah satu kompetensi individu

yang paling penting adalah untuk memahami perbedaan budaya dan memiliki kecerdasan

budaya yang diperlukan. Oleh karena itu, karyawan membutuhkan kecerdasan budaya untuk

mengatasi budaya organisasi yang beragam dan untuk berinteraksi secara efektif dengan

organisasi lain anggota.

Selain itu, mengenai Work Engagment yaitu pemahaman tentang efek langsung dan tidak

langsung dari Cultural Intelligence di tempat kerja mungkin tidak cukup komprehensif, tanpa

menilai peran pekerjaan (Work Engagement) dan keterlibatan Innovative Work Behavior

rumit karena ketidakpastian dan risiko yang terkait dengan mereka (De Jong dan Den Hartog,

2010). Keterlibatan kerja mengacu pada sebuah karya di mana karyawan menemukan

pekerjaan yang bermakna baginya, dan itu adalah hal positif yang ditandai dengan semangat,

dedikasi, dan penyerapan (Schaufeli et al., 2006).

Menurut teori Conservation of Resource (COR), orang berinvestasi dalam sumber daya

pribadi untuk menghindari kerugian dan memaksimalkan keuntungan. Ketika kecerdasan

budaya, subtipe sumber daya pribadi, telah ditemukan untuk memunculkan sikap dan kinerja

positif (Ramalu dan Subramaniam, 2019), juga cenderung memunculkan keterlibatan kerja

(Work Engagement). Karyawan yang terlibat, pada gilirannya, lebih mungkin memiliki niat
kuat untuk berbagi pengetahuan terkait pekerjaan mereka dan untuk melakukan upaya yang

signifikan perilaku kerja inovatif (Innovative Work Behavior) untuk organisasi mereka (Kim

dan Park, 2017).

Berdasarkan uraian menyeluruh ini, Peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul
“PENGARUH HUBUNGAN ANTARA TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP,
WORK ENGAGMENT, DAN CULTURAL INTELLIGENCE TERHADAP
INNOVATIVE WORK BEHAVIOR PADA KARYAWAN PERUSAHAAN E-
COMMERCE DI INDONESIA”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, maka penelitian ini memiliki

perumusan masalah sebagai berikut :

“Apakah Terdapat Hubungan Antara Transformational Leadership, Work Engagment, Dan

Cultural Intelligence Terhadap Innovative Work Behavior Pada Karyawan Perusahaan E-

commerce Di Indonesia?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan dilakukan

adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis Innovative Work Behavior pada karyawan perusahaan e-commerce di

Indonesia

2. Untuk menganalisis Transformational Leadership pada karyawan perusahaan e-

commerce di Indonesia.

3. Untuk menganalisis, Work Engagment pada karyawan perusahaan e-commerce di

Indonesia.

4. Untuk menganalisis Cultural Intelligence pada karyawan perusahaan e-commerce di

Indonesia.
5. Untuk menganalisis pengaruh antara Transformational Leadership terhadap Innovative

Work Behavior pada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia.

6. Untuk menganalisis pengaruh antara, Work Engagment terhadap Innovative Work

Behavior pada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia.

7. Untuk menganalisis pengaruh antara Cultural Intelligence terhadap Innovative Work

Behavior pada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Transformational Leadership
2.1.1.1 Definisi Transformational Leadership
Kartini Kartono (2011:38) Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki
kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan dan kelebihan disatu atau beberapa
bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain atau pengikut untuk
bersama- sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan. Kartini kartono (2011), pemimpin dalam arti luas ialah seorang
yang memimpin dengan jalan memprakasai tingkah laku sosial dengan mengatur,
mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya pengikut melalui
prestise, kekuasaan dan posisi. Sedangkan dalam pengertian yang terbatas
pemimpin ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-
kualitas persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para
pengikutnya. Kepemimpinan menurut Kimball Young (kartini kartono, 2011)
adalah bentuk dominasi yang didasari kemampuan pribadi, yang sanggup
mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu berdasarkan
akseptansi/penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat
bagi situasi tertentu.

Suryo (2010), mengatakan kepemimpinan transformasional sebagai


“kepemimpinan untuk memberi inspirasi dan memotivasi para pengikut untuk
mencapai hasil-hasil yang lebih besar daripada yang direncanakan secara orisinil
dan imbalan internal. Kepemimpinan transformasional bukan sekedar
mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan, melainkan
lebih dari itu bermaksud ingin merubah sikap dan nilai-nilai dasar para pengikutnya
melalui pemberdayaan. Pengalaman pemberdayaan para pengikutnya meningkatkan
rasa percaya diri untuk terus melakukan perubahan walaupun mungkin ia sendiri
akan terkena dampak dalam perubahan itu. Kepemimpinan transformasional
didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan
kharisma, stimulasi intelektual untuk melakukan transformasional dan
merevitalisasi organisasinya. Menurut Hakim (2011), para pemimpin yang
transformasional lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya
secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-instruksi yang bersifat Top
Down. Selain itu pemimpin yang transformasional lebih memposisikan dirinya
sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya.

Berdasarkan beberapa pendapat para tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Kepemimpinan Transformasional adalah kepemimpinan yang mampu
menginspirasi, mengarahkan dan menggerakkan pengikut untuk melakukan
perubahan melalui pemberdayaan dalam mencapai tujuan tertentu.

2.1.1.2 Ciri-ciri Transformational Leadership


Ciri-ciri kepemimpinan transformasional, sebagai berikut (Munandar, 2011:200) :
1. Kharismatik (Attribute Charisma)

Karismatik merupakan kekuatan besar yang dimiliki oleh pemimpin untuk


memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.Bawahan mempercayai pemimpin
karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuanyang dianggap
benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai kharisma dapat lebih mudah
mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya dikatakan kepemimpinan yang kharismatik
dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja keras karena mereka
menyukai pemimpinnya.

2. Inspirasional (Inspirational Leadership)

Perilaku pemimpin yang inspirasional dapat merangsang antusias dan semangat


bekerja bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang
dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk
menyelesaikan tugas dalam upaya untuk mencapai tujuan kelompok kerja.

3. Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation)

Stimulasi intelektual merupakan upaya pimpinan terhadap persoalan-persoalan dan


mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui
perspektif baru. Melalui stimulus intelektual, pemimpin merangsang kreativitas
bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan-pendekatan baru terhadap
masalah-masalah lama. Jadi, melalui stimulus intelektual, bawahan didorong untuk
berpikir mengenai relevansi cara, sistem nilai, kepercayaan, harapan dan didorong
melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan dan berkreasi untuk
mengembangkan kemampuan diri serta didorong untuk menetapkan tujuan dan
sasaran yang menantang.

Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sabagai
suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan. Aspek stimulus intelektual
berkolaborasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin yang dapat
memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mampu
mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.

4. Perhatian secara individual (Individualized Consideration)

Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah


memelihara kontak langsung face to face dan komunikasi terbuka dengan pegawai.
Pengaruh personal dan hubungan satu persatu atasan-bawahan merupakan hal yang
terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai
identifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai
potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan monitoring merupakan bentuk
perhatian individual yang ditunjukan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan
tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman nilai
dibandingkan dengan seniornya.

Berdasarkan pemaparan beberapa teori di atas, bahwa dapat dipahami


kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu menginspirasi,
mengarahkan dan menggerakkan pengikut kepada perubahan-perubahan ke arah
yang lebih baik dan inovatif untuk mencapai tujuan bersama yang ditandai dengan
empat ciri, yaitu: karismatik, inspirasi, stimulasi intelektual dan perhatian individu.

2.1.2 Work Emgagment


2.1.2.1 Definisi Work Engagment
Work engagement merupakan sebuah konsep manajemen bisnis yang menyatakan
bahwa karyawan yang memiliki engagement tinggi adalah karyawan yang memiliki
keterlibatan penuh dan memiliki semangat bekerja tinggi dalam pekerjaannya maupun
dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan jangka panjang. Kata lain,
definisi work engagement mengacu pada keterlibatan, kepuasan dan antusiasme
karyawan dalam bekerja. Work engagement telah berkembang dari berbagai konsep
melingkupi motivasi, kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Mujiasih &
Ratnaningsih, 2012).

Penelitian lain juga berpendapat bahwa Work engagement dapat dirasakan oleh
seseorang yang berpartisipasi besar terhadap pekerjaannya dengan kondisi psikologis
yang baik dan mampu menentukan inspirasi dalam pekerjaan yang dilakukan
sehingga mampu meningkatkan performa perusahaan (Costantini et al., 2019). Work
engagement merupakan keadaan mental seseorang berkaitan dengan pekerjaannya
yang positif dan penuh dengan semangat, dedikasi dan absorpsi (Schaufeli, 2012).
Menurut Barnes et al., (2014) work engagement ditunjukkan oleh karyawan yang
memiliki semangat, berdedikasi, dan mengerti terhadap pekerjaannya sehingga puas
terhadap pekerjaannya.

Menurut Lodahl & Kejner (2013) Work Engagement didefinisikan sebagai sejauh
mana seseorang mengidentifikasi secara psikologis dengan pekerjaannya atau
pentingnya pekerjaan dalam citra diri individu. Seorang karyawan dikatakan terlibat
dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara
psikologis dengan pekerjaannya dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya,
selain untuk organisasi (Prihatini, 2013). Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai
sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat
sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap
pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya.

Dari definisi yang sudah dijelaskan dari beberapa ahli dapat disimpulkan work
engagement adalah sejauh mana seorang karyawan melibatkan peran fisik, kognitif,
dan emosional dalam pekerjaan dan memihak pada organisasinya serta menganggap
bahwa pekerjaan itu sangat penting bagi citra dirinya, sehingga karyawan dapat
terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya.

2.1.2.2 Dimensi Work Engagement


Menurut Schaufeli (2012) mengungkapkan work engagement mempunyai tiga aspek
meliputi yakni:
1. Semangat (Vigor)
Vigor mengacu pada keterlibatan penuh dalam melakukan pekerjaannya dan
dikarakteristikkan dalam tiga dimensi utama yaitu level energi yang tinggi, ketahanan
atau resiliensi dalam bekerja, kemauan untuk sungguh-sungguh berusaha dalam
bekerja, dan tetap gigih meski menemui kesulitan,

2. Dedikasi (Dedication)
Dedikasi didefinisikan sebagai keterlibatan secara kuat di dalam satu pekerjaan
ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspiratif, bangga terhadap
tantangan dalam pekerjaan itu.

3. Absorpsi (Absorption)
Absorption didefinisikan sebagai berkonsentrasi secara penuh dan minat yang
mendalam terhadap pekerjaan, sehingga merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit
untuk melepaskan diri dari pekerjaan. Peneliti menggunakan aspek-aspek tersebut
karena lebih rinci dan sesuai dengan tujuan penelitian penulis sehingga diharapkan
dapat mengungkap data tentang work engagement lebih dalam, komprehensif dan
mudah dipahami.

2.1.3 Cultural Intelligence

2.1.3.1 Definisi Cultural Intelligence

Kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dalam berbagai budaya, baru-baru ini diberi
label sebagai kecerdasan budaya (CQ) yang merupakan salah satu kontribusi terbaru tentang
kecerdasan, dan mendapatkan tempat bersama kecerdasan emosional, interpersonal dan
sosial. (Yvonne du Plessis, 2011). Upaya memahami dan menyelami situasi multikultural
dengan kemampuan adaptasi yang baik, maka peningkatan kecerdasan budaya pada
masyarakat sangat diperlukan.
Livermore (2011) mendefinisikan kecerdasan budaya sebagai kemampuan untuk berfungsi
secara efektif dalam berbagai konteks budaya yang bervariasi Menurut Ang., et al. (2014),
kecerdasan budaya ini mirip dengan kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional. Kecerdasan
sosial merujuk pada kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan sosial dengan
orang lain. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan dalam memahami dan menghadapi
(mengelola) emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Sedangkan kecerdasan budaya adalah
kemampuan untuk memahami, mengelola, dan berhadapan dengan emosi-emosi orang lain
dalam konteks antar budaya. Dengan demikian, kecerdasan budaya merupakan salah satu
bentuk spesifik dari kecerdasan interpersonal (Suharli, 2015)

2.1.3.2 Komponen Kecerdasan Budaya


Komponen kecerdasan budaya (CQ) menurut Earley and Ang (Ebrahim Khodadady dan
Shima Ghahari, 2011:5) terdiri dari komponen meta-kognitif, kognitif, motivasi dan perilaku.
a) CQ meta-kognitif, mencerminkan proses digunakan individu untuk memperoleh dan
memahami pengetahuan budaya.

b) CQ kognitif, mengacu pada pengetahuan seseorang dan pemahaman tentang


bagaimana budaya mirip dengan dan berbeda satu sama lain. Hal ini mencerminkan
struktur pengetahuan umum dan peta mental tentang budaya dan mencakup
pengetahuan tentang sistem ekonomi dan hukum, norma-norma sosial, keyakinan
agama, praktik dan konvensi dalam budaya yang berbeda yang diperoleh dari
pendidikan dan pengalaman pribadi.

c) CQ motivasi, kemampuan seseorang tentang motivasi dalam belajar dan berfungsi


dalam situasi lintas budaya. Ini termasuk sesuatu yang melekat pada seseorang dalam
mengalami dan berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.

d) CQ perilaku, mengacu pada kemampuan seseorang untuk menunjukkan perilaku


verbal dan nonverbal yang tepat ketika berinteraksi dengan orang-orang dari budaya
yang berbeda.

2.1.4 Innovative Work Behavior


2.1.4.1 Definisi Innovative Work Behavior

Farr dan Ford (dalam De Jong & Hartog, 2010) mengatakan bahwa perilaku inovatif kerja
adalah bentuk perilaku yang bertujuan untuk mencapai inisiasi dan pengenalan suatu ide,
proses, prosedur maupun produk baru yang berguna bagi organisasi dalam penelitian ini
adalah perusahaan. Messmann (2012) mengatakan perilaku inovatif kerja adalah jumlah dari
aktivitas kerja fisik dan kognitif yang dilakukan oleh karyawan dalam konteks pekerjaan
mereka, baik sendiri maupun berkelompok untuk mencapai satu set tugas yang dibutuhkan
untuk tujuan pengembangan inovasi. guna bagi organisasi dalam penelitian ini adalah
perusahaan. Perilaku inovatif sering dikaitkan dengan kreativitas. Kedua hal tersebut memang
berkaitan tetapi memiliki konstrak yang berbeda. Perilaku kreatif adalah proses untuk
menghasilkan sebuah ide, gagasan, atau pemikiran baru yang berkaitan dengan produk,
servis, proses dan prosedur kerja. Sedangkan perilaku inovatif kerja tidak hanya sekedar
menghasilkan ide baru tetapi juga melibatkan proses implementasi terhadap ide tersebut
khususnya pada seting pekerjaan (De Jong & Hartog, 2010).

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku inovatif kerja
merupakan perilaku kerja individu yang melalui proses pemunculan ide baru untuk
menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan ide baru yang bermanfaat bagi pribadi
maupun perusahaan.

2.1.4.2 Dimensi Perilaku Inovatif Kerja (Inovation Work Behavior)


Menurut De Jong dan Hartog (2010) terdapat 4 (empat) dimensi perilaku inovatif kerja,
yaitu :

a. Idea Exploration
Idea exploration adalah dimensi yang merupakan tahap awal dari perilaku inovatif kerja
dimana karyawan mampu menemukan kesempatan atau sebuah masalah. Termasuk mencari
cara untuk mengembangkan produk, jasa, dan proses juga mencoba memikirkan alternatif
lain

b. Idea Generation
Idea generation adalah tahap kedua dari dimensi perilaku inovatif kerja dimana karyawan
mampu untuk mengembangkan ide inovasi melalui proses menciptakan dan menyarankan ide
untuk produk, jasa, maupun proses baru. Umumnya ide baru muncul berdasar hasil penemuan
pada tahap idea exploration.

c. Idea Championing
Idea championing menjadi relevan ketika ide sudah berhasil diciptakan. Karena pada tahap
ini karyawan diharapkan mulai terdorong untuk mencari dukungan dalam mewujudkan ide
inovasi baru yang telah dihasilkannya. Termasuk mencari koalisi agar ide baru bisa
diimplementasikan dan percaya dengan keberhasilan ide tersebut.

d. Idea Implementation
Idea implementation merupakan tahap terakhir dari perilaku inovatif kerja. Pada dimensi ini
karyawan memiliki keberanian untuk menerapkan idea baru tersebut ke dalam proses
kegiatan kerja rutin yang biasa ia lakukan. Termasuk pengembangan dan uji coba terhadap
ide produk, proses maupun jasa baru yang ia tawarkan.

2.1.4.3 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Inovatif Kerja

Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya perilaku inovatif


karyawan. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor eksternal maupun faktor internal
yaitu:

a) Faktor Eksternal
1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi mampu
mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki efek positif untuk
munculnya perilaku inovatif.

2) Social–Political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari pemerintah harus


terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap ingin mendapat dukungan.
Sehingga pemimpin dan karyawan harus memuncul perilaku inovasi agar tetap memberi
hasil kerja yang terus berkembang dan lebih baik.

b) Faktor Internal
1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan) Karyawan yang memiliki hubungan yang
positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku inovatif kerja
dan mampu memberi keyakinan bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan
keuntungan kinerja. Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya
dan menghormati.

2) Interaksi dengan grup rekan kerja Karyawan yang memiliki hubungan baik dengan
rekan kerja lebih mungkin memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka
juga meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja mereka. Dan hal ini
memudahkan perilaku inovatif kerja untuk berkembang

2.2 Kerangka Konseptual


Innovative Work Behavior dimulai dengan menghasilkan ide baru, praktis, dan berguna,

setelah itu ide dipromosikan untuk mendapatkan dukungan dan sponsor. Membangun koalisi

adalah hal yang penting pada tahap proses inovasi dalam perilaku kerja (Innovative Work

Behavior) karena membantu orang menemukan pendukung yang menyediakan sumber daya

dan kemampuan penting untuk promosi ide (Afsar, 2020). Akhirnya, ide ini diwakili oleh

model atau prototipe yang dapat diterapkan dalam kegiatan kerja sehari-hari individu atau

orang-orang dari seluruh unit organisasi (Janssen, 2000). CQ terkonsentrasi di atas kapasitas

adaptasi perilaku individu terhadap kebutuhan dan permintaan hubungan yang terjadi dalam

situasi ini ditandai dengan keragaman budaya. Studi empiris sebelumnya melaporkan bahwa

CQ ekspatriat meningkatkan efektivitas antar budayal mereka, termasuk penilaian budaya,

adaptasi, dan kinerja tugas (Ang et al., 2007; Le et al., 2018).

Cultural Intelligence memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap Innovative Work

Behavior. CQ motivasi juga ditunjukkan sebagai prediktor efektivitas budaya ekspatriat (Ott

dan Michailova, 2018) tugas dan kinerja kontekstual (Lee dan Sukoco, 2010). Meskipun

dimensi CQ mana yang lebih tajam mungkin tidak diketahui secara meyakinkan, dampaknya

terhadap hasil attitudinal atau perilaku kerja tampaknya tidak dapat disangkal dalam

pengaturan kerja multikultural. Namun, masuk akal untuk mengharapkan semua sub-dimensi
CQ mempengaruhi perilaku kerja inovatif karena CQ cenderung menjadi sumber daya

pribadi ketika karyawan berinteraksi dengan rekan kerja yang beragam.

Selain itu, Transformasional Leadership memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap

Innovative Work Behavior. Pemimpin transformasional ini menggerakkan karyawan,

kepentingan diri karyawan ke dalam keadaan yang memotivasi untuk dengan penuh

memberikan semangat mengejar visi organisasi. Pemimpin transformasional, melalui inisiatif

visioner, keahlian fungsional, pendampingan individual, budaya pendukung dan kemampuan

stimulasi intelektual, dapat memengaruhi karyawan untuk terlibat dalam pekerjaan inovatif

perilaku (Afsar et al., 2014). Pemimpin seperti itu biasanya mendorong karyawan untuk

terlibat dalam perilaku kerja inovatif dengan menyediakan lingkungan yang mendukung

(Bednall et al., 2018).

Work Engagement juga tentu mempengaruhi Innovative Work Behavior. ketika keterlibatan

kerja tinggi di kalangan karyawan, mereka mulai mengambil inisiatif dan mencoba

mengeksploitasi peluang yang belum dimanfaatkan untuk membuat organisasi sukses

(Crawford et al., 2010). Karena perilaku kerja inovatif menantang karena jumlah upaya yang

diperlukan untuk benar-benar mengimplementasikan ide inovatif, tingkat energi, ketahanan

mental, fokus, kenikmatan, keterlibatan dan dorongan internal untuk menciptakan dampak,

akan membantu individu untuk terlibat dalam usaha inovatif. Keterlibatan kerja

meningkatkan kesediaan karyawan untuk berbagi pengetahuan terkait pekerjaan mereka

dengan anggota organisasi lain dan/atau secara aktif menyarankan ide-ide baru untuk

organisasi mereka dan mengubah ide-ide baru menjadi aplikasi yang berhasil (yaitu perilaku

kerja yang inovatif). (Kim dan Park, 2017). Dengan demikian, karyawan yang menunjukkan

keterlibatan dalam pekerjaan mereka lebih cenderung menampilkan perilaku kerja yang

inovatif.
Adapun rerangka konseptual yang dapat digambarkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Pengaruh Hubungan Antara Transformational Leadership, Work Engagment, Dan


Cultural Intelligence Terhadap Innovative Work Behavior Pada Karyawan Perusahaan
E-commerce Di Indonesia

Transformational
Leadership
H1

H2 Innovative
Work Engagment
Work Behavior

H3

Cultural
Intelligence

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

Sumber : Bilal Afsar et al., (2020), Matej Groselj., et al (2020)

2.3 Perumusan Hipotesis

2.3.1 Pengaruh Transformasional Leadership Terhadap Innovative Work Behavior

Kepemimpinan transformasional digambarkan sebagai proses di mana para pemimpin

memainkan peran yang ideal merangsang dan mendorong perilaku kerja inovatif,

memberikan motivasi inspirasional dan terlibat dalam mendukung dan membimbing pengikut

untuk mencapai visi bersama organisasi dan tujuan (Bednall et al., 2018; Suifan et al., 2018).
Transformasi perhatian dan dukungan yang dipersonalisasi kepada kebutuhan dan

persyaratan pengikut dapat meningkatkan pengaruh mereka terhadap keterlibatan pengikut

dalam kegiatan kreatif. Dengan terus-menerus mempertanyakan dan menantang asumsi dan

pemikiran pengikut, para pemimpin ini merangsang pemikiran intelektual pengikut, yang

pada akhirnya mendorong pengikut untuk terlibat dalam pembuatan dan implementasi ide.

Pemimpin seperti itu memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan visi organisasi dengan

tujuan individu, meningkatkan motivasi inspirasional di antara (Bednall et al., 2018). Oleh

karena itu, diasumsikan bahwa pemimpin transformasional akan dapat menginspirasi

karyawan individu dengan mengaitkan masa depan mereka dengan masa depan organisasi

dan mendorong mereka untuk terlibat dalam perilaku kerja inovatif dengan mengembangkan

rasa berbagi visi dan kepemilikan dengan organisasi. Berdasarkan pembahasan diatas, kami

mengusulkan:

H1. Transformational Leadership secara positif terkait dengan Innovative Work

Behavior.

2.3.2 Pengaruh Work Engagment Terhadap Innovative Work Behavior

Work Engagment didefinisikan karyawan yang termotivasi pada pekerjaan mereka dan

memiliki energi yang baik dari segi fisik, emosi dan kemampuan berpikir mereka (Cheng et

al., (2014). Keterlibatan mengacu pada keadaan afektif-motivasi persisten yang tidak terfokus

pada objek tertentu, peristiwa atau perilaku. Keterlibatan dalam bekerja adalah seseorang

yang berpartisipasi besar terhadap pekerjaannya dengan kondisi psikologis yang baik dan

mampu menentukan inspirasi dalam pekerjaan yang dilakukan sehingga mampu

meningkatkan performa perusahaan (Costantini et al., 2019). Namun, untuk mengadopsi

pendekatan kerja yang inovatif, perlu seorang karyawan untuk memberika upaya besar dan

menuntut kepada perusahaan. Karena inovatif melibatkan penciptaan sesuatu yang baru atau
berbeda, mengharuskan karyawan untuk diserap dalam pekerjaan mereka dan berkonsentrasi

padanya (penyerapan), memiliki mental ketahanan untuk menahan godaan agar terganggu

dan kemudian terlepas dari pekerjaan dan memiliki kesesuaian terhadap pekerjaan mereka

bahwa mereka dapat sepenuhnya berkonsentrasi pada kerja (dedikasi). Sebuah studi terbaru

oleh Agarwal et al. (2012) menemukan korelasi positif antara Work Engagment dan IWB.

Berdasarkan argumen ini dan sejalan dengan literatur, kami mengusulkan:

H2. Work Engagment berhubungan positif dengan Innovative Work Behavior.

2.3.3 Pengaruh Cultural Intelligence Terhadap Innovative Work Behavior

Proses inovasi yang memakan waktu, ancaman eksternal (misalnya ekonomi, politik,

teknologi, sosial dan pesaing) serta ancaman internal (misalnya kecemasan, perlawanan,

ketidakpastian, risiko, dan alokasi sumber daya) membuat inovasi menjadi lebih kompleks

dan kontingen pada keadaan tak terduga (Afsar et al., 2015). Oleh karena itu, pencipta

gagasan harus fleksibel dan adaptif terhadap situasi dan karenanya terus mengubah tindakan

melalui jalur alternatif untuk mencapai tujuan akhir Inovasi. CQ adalah kemampuan

seseorang untuk melakukan penyesuaian mental dengan cepat dan bergeser sesuai dengan

keadaan (Fischer, 2011). Ketika seseorang dengan tinggi CQ membuat interaksi lintas budaya

yang sebenarnya, dia menyesuaikan asumsi dan (S ̧ahin et al., 2014). Interaksi lintas budaya

dan komunikasi dengan orang-orang dari budaya lain membantu mengasimilasi dan

menyebarluaskan pengetahuan, sehingga, meningkatkan berbagi pengetahuan, dan karena

akumulasi pengetahuan, penciptaan yang lebih baik dan lebih sering ide-ide terjadi. Literatur

sebelumnya mendukung hubungan antara CQ dan kreativitas. Untuk contohnya, Crotty dan

Brett (2012) melakukan survei terhadap 246 karyawan yang bekerja di 37 tim multikultural,

dan menemukan bahwa CQ meningkatkan kreativitas. Berdasarkan pembahasan di atas, kami

mengusulkan:
H3. Cultural Intelligence berhubungan positif dengan Innovative Work Behavior.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Afsar Bilal et al., (2020) yaitu “Cultural intelligence and innovative work behavior: the role of

work engagement and interpersonal trust” dan penelitian yang dilakukan oleh Groselj Matej, et

al., (2020) yaitu “Authentic and transformational leadership and innovative work behaviour: the

moderating role of psychological empowerment”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

pengaruh hubungan antara Transformasional Leadership, Work Engagement, dan Cultural

Intelligence terhadap Innovative Work Behavior pada karyawan perusahaan e-commerce di

Indonesia.

Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang dilakukan adalah metode kualitatif dengan

menggunakan kuesioner. Objek penelitian merupakan karyawan yang berkerja di perusahaan e-

commerce di Indonesia. studi penelitian Unit Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

individu karyawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hypotesis testing.

Rancangan penelitian ini dilakukan dengan cara pengujian hipotesis (hypothesis testing) yang

digunakan untuk menguji data yang didapat berdasarkan variable yang diuji. Pengambilan data

pada penelitian ini dilakukan dengan cara cross sectional.

3.2 Variabel & Pengukuran

3.2.1 Transformational Leadership

Dalam penelitian ini variable bebas (Independen Variabel) yang pertama adalah Transformational

Leadership. Item-item pernyataan untuk variable ini terdiri dari 20 item penyataan yang

dikembangkan dari penelitian Afsar Bilal and Umrani Waheed Ali (2020). Berikut ini adalah

item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur variable Transformational Leadership :

No Transformational Leadership
1 Pemimpin saya memeriksa kembali kritis asumsi dan pertanyaan apakah mereka sesuai.
2 Pemimpin saya mencari perspektif yang berbeda ketika memecahkan masalah
3 Pemimpin saya mendapat orang lain untuk melihat masalah dari berbagai sudut
4 Pemimpin saya menyarankan cara-cara baru untuk melihat cara menyelesaikan tugas
5 Pemimpin saya menghabiskan waktu melatih, mengajar dan pendampingan pengikutnya
6 Pemimpin saya memperlakukan orang lain sebagai individu bukan hanya sebagai anggota

grup
7 Pemimpin saya menganggap individu sebagai memiliki kebutuhan, kemampuan, dan

aspirasi dari orang lain


8 Pemimpin saya membantu orang lain untuk mengembangkan Kekuatan
9 Pemimpin saya menanamkan kebanggaan pada saya ketika terkait dengan orang lain
10 Pemimpin saya berbicara tentang saya yang paling penting nilai dan kepercayaan
11 Pemimpin saya menentukan pentingnya rasa tujuan yang kuat
12 Pemimpin saya meyakinkan saya untuk melampaui kepentingan diri sendiri untuk kebaikan

kelompok
13 Pemimpin saya bertindak dengan cara yang membangun orang lain menghormati saya
14 Pemimpin saya mempertimbangkan konsekuensi moral dan etika dari keputusan
15 Pemimpin saya menampilkan rasa kekuasaan dan Kepercayaan
16 Pemimpin saya menekankan pentingnya memiliki rasa misi kolektif
17 Pemimpin saya berbicara optimis tentang masa depan
18 Pemimpin saya berbicara dengan antusias tentang apa yang perlu ditetapkan
19 Pemimpin saya mengartikulasikan visi yang menarik untuk masa depan
20 Pemimpin saya menyatakan kepercayaan diri melalui perilakunya bahwa tujuan akan

Dicapai.

3.2.2 Work Engagement

Dalam Penelitian ini variable bebas (Independent variable) yang ke dua adalah Work Engagement.

Pernyataan untuk variable ini diukur dengan 17 Item yang dikembangkan dari penelitian Afsar et al

(2020). Berikut ini adalah item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur Work Engagement :

Work Engagment
1. Di tempat kerja, saya merasa dipenuhi energi
2. Di pekerjaan saya, saya merasa kuat dan berrsemangat
3. Ketika saya bangun di pagi hari, saya merasa ingin bekerja
4. Dalam sehari saya dapat terus bekerja untuk waktu yang sangat lama
5. Di pekerjaan saya, saya sangat tangguh, secara mental
6. Dalam pekerjaan saya, saya selalu bertahan, bahkan ketika ada hal-hal yang tidak
berjalan dengan baik
7. Saya antusias dengan pekerjaan saya
8. Saya menemukan pekerjaan yang saya lakukan penuh makna dan tujuan.
9. Pekerjaan saya menginspirasi saya
10. Bagi saya, pekerjaan saya menantang
11. Saya bangga dengan pekerjaan yang saya lakukan
12. Waktu terasa cepat berlalu ketika saya bekerja
13. Saat saya bekerja, saya melupakan semua yang ada di sekitar saya
14. Saya merasa senang ketika saya bekerja dengan intens
15. Saya sangat fokus dalam pekerjaan saya
16. Saya terbawa suasana saat saya bekerja
17. Sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan saya

3.2.3 Cultural Intelligence

Dalam Penelitian ini variable bebas (Independent variable) yang ke tiga adalah Cultural Intelligence.

Pernyataan untuk variable ini diukur dengan 20 Item yang dikembangkan dari penelitian Afsar et al

(2020). Berikut ini adalah item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur Cultural

Intelligence :

Cultural Intelligence
1. Saya sadar akan pengetahuan budaya yang saya gunakan saat berinteraksi dengan
orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda.
2. Saya menyesuaikan pengetahuan budaya saya saat saya berinteraksi dengan orang-
orang dari budaya yang asing bagiku.
3. Saya sadar akan pengetahuan budaya yang saya terapkan pada saat interaksi lintas
budaya
4. Saya menguji keakuratan pengetahuan budaya saya saat berinteraksi dengan orang-
orang dari perbedaan budaya
5. Saya tahu sistem hukum dan ekonomi budaya lain.
6. Saya tahu aturan (misalnya kosakata, tata bahasa) dari bahasa lain
7. Saya mengetahui nilai-nilai budaya dan kepercayaan agama dari budaya lain
8. Saya tahu sistem perkawinan di budaya lain
9. Saya mengetahui seni dan kerajinan dari budaya lain
10. Saya tahu aturan untuk mengekspresikan perilaku nonverbal di budaya lain
11. Saya menikmati berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda
12. Saya yakin bahwa saya dapat bersosialisasi dengan penduduk setempat dalam
budaya yang tidak saya kenal
13. Saya yakin saya bisa mengatasi tekanan karena menyesuaikan diri dengan budaya
yang baru
14. Saya menikmati hidup dalam budaya yang asing bagi saya
15. Saya yakin bahwa saya dapat membiasakan diri dengan kondisi berbelanja belanja
di budaya yang berbeda
16. Saya mengubah perilaku verbal saya (misalnya aksen, nada) saat interaksi lintas
budaya membutuhkannya
17. Saya menggunakan jeda dan diam secara berbeda untuk menyesuaikan dengan
situasi lintas budaya yang berbeda
18. Saya memvariasikan kecepatan berbicara saya ketika situasi lintas budaya
membutuhkannya
19. Saya mengubah perilaku nonverbal saya ketika situasi lintas budaya
mengharuskannya
20. Saya mengubah ekspresi wajah saya ketika diperlukan interaksi lintas budaya

3.2.4 Innovative Work Behavior

Dalam Penelitian ini variable terikat (dependent variable) adalah Innovative Work Behavior.

Pernyataan untuk variable ini diukur dengan 10 Item yang dikembangkan dari penelitian Afsar et al

(2020). Berikut ini adalah item-item pernyataan yang digunakan untuk mengukur Innovative Work

Behavior :

Innovative Work Behavior


1. saya memperhatikan masalah yang bukan bagian dari pekerjaan harian saya
2. Saya bertanya-tanya bagaimana suatu hal dapat ditingkatkan
3. Saya mencari metode kerja, teknik atau instrumen baru
4. Saya menghasilkan solusi asli untuk masalah
5. Saya menemukan pendekatan baru untuk menjalankan tugas
6. Saya membuat anggota organisasi antusias terhadap ide-ide inovatif
7. Saya berusaha meyakinkan orang untuk mendukung ide inovatif
8. Saya secara sistematis memperkenalkan ide-ide inovatif ke dalam praktik kerja
9. Saya berkontribusi pada implementasi ide-ide baru
10. Saya berusaha dalam pengembangan hal-hal baru

Dalam penelitian ini terdiri dari empat (4) Variabel yang digunakan yaitu, tiga variable bebas

(Independent variable), dan satu (1) variable terikat (Dependent Variabel). Penelitian ini

menggunakan alat ukur berupa item pernyataan dengan menggunakan skala likert interval, yang

sama tingkatan dan jarak yang pasti antara satu (1) kategori dengan kategori lain dalam 1 variabel.

(Sugiyono, 2017).

Kemudian seluruh item pernyataan diukur dengan menggunakan skala likert dari 1 sampai 5,

dengan keterangan sebagai berikut :

Nilai 1 untuk Sangat Tidak Setuju

Nilai 2 untuk Tidak Setuju

Nilai 4 untuk Agak Setuju

Nilai 4 untuk Cukup Setuju

Nilai 5 untuk Setuju

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperoleh dengan cara sebagai berikut :

3.3.1 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer secara langsung ke lapangan yang

menjadi objek penelitian berupa informasi maupun keterangan yang diperlukan (Sekaran, 2015).

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kuesioner On-line

Kuesioner merupakan Teknik pengumpulan data dengan cara memberikan seperangkat

pertanyaan-pertanyaan tertulis maupun secara online kepada responden untuk menjawabnya.

Penyebaran Kuesioner dilakukan kepada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia.

Dalam kuesioner online tersebut terdapat 3 bagian/halaman yaitu yang pertama penjelasan

umum tentang penelitian yang dilakukan, bagian kedua berisi kolom pengisian data diri
responen, dan bagian ketiga berisi petunjuk pengisian disertai dengan item-item pernyataan

yang harus dijawab dari masing-masing variable.

b. Studi Pustaka

Studi Pustaka merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dimana pada penelitian ini

diperoleh dari berbagai artikel maupun data yang diperoleh dari penelitian terdahulu yang

terkait dengan variable di teliti, yaitu Innovative Work Behavior, Transformational

Leadership, Work Engagement, dan Cultural Intelligence.

3.3.2 Teknik Pengumpulan Data`

Proses Pengumpulan data terhadap suatu penelitian yang penulis lakukan, maka harus

memiliki cara atau Teknik untuk mendapatkan data atau informasi yang baik dan terstruktur serta

akurat dari setiap apa yang diteliti, sehingga kebenaran informasi data yang diperoleh dapat

dipertanggungjawabkan (Jabbar, 2014). Objek yang digunakan pada penelitian ini adalah karyawan

perusahaan e-commerce di Indonesia sejumlah 100 orang yang telah berkerja lebih dari 1 tahun.

3.4 Uji Instrumen

Tujuan diadakan uji coba adalah diperolehnya informasi mengenai kualitas instrumen

sudah atau belum memenuhi persyaratan yang digunakan. Menurut Suharsimi Arikunto

(2010), “baik buruknya instrumen akan berpengaruh terhadap benar tidaknya data yang

diperoleh, sedangkan benar tidaknya sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian”.

Instrumen yang baik selain valid juga harus reliabel, artinya dapat diandalkan. Uji instrument

dalam penelitian ini meliputi :

3.4.1 Uji Validitas

Menurut Suharsimi Arikunto (2010) “Validitas adalah suatu ukuran untuk

menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau keshahihan suatu instrumen. Suatu instrumen

yang valid mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid memiliki
validitas rendah”. Adapun dasar pengambilan keputusan uji validitas menurut Hair et al. (2010)

adalah dengan membandingkan factor loading dengan level of significant.

Tabel 3.1
Factor Loading Based on Sample

Factor Loading Sample Size


0,30 350
0,35 250
0,40 200
0,45 150
0,50 120
0,55 100
0,60 85
0,65 70
0,70 60
0,75 50
Sumber : Hair et al., (2010)

Dalam mengetahui factor loading dapat dilihat dari jumlah sample yang digunakan. Dalam

penelitian ini sample yang digunakan sebanyak 100 responden sehingga diketahui factor loading yang

sesuai dengan jumlah sample tersebut adalah sebesar ≥ 0,55 untuk dapat dikatakan bahwa pernyataan

tersebut valid.

Tabel 3.2
Hasil Uji Validitas
Variabel Innovative Work Behavior

Factor
Item pernyataan Keputusan
No Loading

1 saya memperhatikan masalah diluar dari pekerjaan saya.

Saya mencari metode kerja, teknik atau instrumen baru untuk


2
mempermudah pekerjaan saya.
3 Saya berusaha menghasilkan solusi untuk suatu masalah.
Saya berusaha menemukan pendekatan baru untuk
4
menyelesaikan tugas.
Saya membuat anggota organisasi antusias terhadap ide-ide
5
yang inovatif.
6 Saya berusaha membuat orang untuk mendukung ide inovatif
Saya secara sistematis mempraktikan ide-ide inovatif ke dalam
7
praktik kerja
8 Saya berkontribusi dalam mengimplementasikan ide-ide baru
9 Saya berusaha pengembangan hal-hal baru
Sumber: Data kuesioner diolah dengan SPSS versi 25

Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas
Variabel Transformational Leadership

Factor
No Item pernyataan Keputusan
Loading
Pemimpin saya mencari solusi yang berbeda ketika
1
memecahkan masalah.
Pemimpin saya memberikan cara baru untuk menyelesaikan
2
tugas.
Pemimpin saya menghabiskan waktu untuk melatih,
3 mengajar dan memberikan pendampingan kepada
karyawannya.
Pemimpin saya memperlakukan karyawannya seperti teman
4
sendiri bukan hanya sebagai pekerja.
Pemimpin saya menganggap individu sebagai memiliki
5 kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi dari orang lain

Pemimpin saya menanamkan pentingnya rasa kepercayaan


6 dan pentingnya nilai kepada saya.

Pemimpin saya menentukan pentingnya rasa tujuan yang


7 kuat.

Pemimpin saya meyakinkan saya untuk memprioritaskan


8 kepentingan diri sendiri untuk kebaikan kelompok

Pemimpin saya mempertimbangkan konsekuensi moral dan


9 etika dari sebuah keputusan
Pemimpin saya berbicara optimis tentang masa depan
10
Pemimpin saya berbicara dengan antusias tentang apa yang
11 perlu ditetapkan

Pemimpin saya mengartikulasikan visi yang menarik untuk


12 masa depan

Pemimpin saya memberikan kepercayaan diri melalui


13 perilakunya bahwa tujuan akan Dicapai.

Tabel 3.4
Hasil Uji Validitas
Variabel Work Engagement

Factor
No Item pernyataan Loadin Keputusan
g
1 Di tempat kerja, saya merasa dipenuhi semangat
2 Saya merasa kuat dan bersemangat saat berkerja
Ketika saya bangun di pagi hari, saya antusias dan semangat
3
untuk bekerja
Dalam sehari saya dapat terus bekerja untuk waktu yang
4
sangat lama
5 Di pekerjaan saya, saya sangat tangguh secara mental
7 Saya antusias dengan pekerjaan saya
Saya merasa pekerjaan yang saya lakukan penuh makna dan
8
tujuan.
9 Pekerjaan saya menginspirasi diri saya sendiri
Pekerjaan saya saat ini cukup menantang bagi diri saya
10
sendiri
11 Saya bangga dengan pekerjaan yang saya lakukan saat ini
12 Waktu terasa cepat berlalu saat saya bekerja
Saat saya bekerja, saya mengabaikan semua yang ada di
13
sekitar saya
14 Saya merasa senang ketika saya bekerja dengan intens
15 Saya sangat fokus dengan pekerjaan saya
16 Saya terbawa suasana saat saya bekerja
Sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan saya ketika ada
17
hal-hal yang tidak berjalan baik.
Tabel 3.5
Hasil Uji Validitas
Variabel Cultural Intelligence

Factor
No Item pernyataan Keputusan
Loading
.1 Saya sadar akan pengetahuan budaya yang saya
gunakan saat berinteraksi dengan orang lain
dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Saya menyesuaikan pengetahuan budaya saya saat
2 saya berinteraksi dengan orang-orang dari budaya
yang asing bagiku.
Saya menguji keakuratan pengetahuan budaya saya
4 saat berinteraksi dengan orang-orang dari
perbedaan budaya

5 Saya tahu sistem hukum dan ekonomi budaya lain.

Saya tahu aturan (misalnya kosakata, tata bahasa)


6
dari bahasa lain

Saya mengetahui nilai-nilai budaya dan


7
kepercayaan agama dari budaya lain

8 Saya tahu sistem perkawinan di budaya lain

Saya mengetahui seni dan kerajinan dari budaya


9
lain

Saya tahu aturan untuk mengekspresikan perilaku


10
nonverbal di budaya lain

Saya menikmati berinteraksi dengan orang-orang


11
dari budaya yang berbeda
Saya yakin bahwa saya dapat bersosialisasi dengan
12 penduduk setempat dalam budaya yang tidak saya
kenal
Saya yakin saya bisa mengatasi tekanan karena
13
menyesuaikan diri dengan budaya yang baru

Saya menikmati hidup dalam budaya yang asing


14
bagi saya

Saya yakin bahwa saya dapat membiasakan diri


15
dengan kondisi berbelanja di budaya yang berbeda
Saya mengubah perilaku verbal saya (misalnya
16 aksen, nada) saat interaksi lintas budaya
membutuhkannya
Saya menggunakan jeda dan diam secara berbeda
17 untuk menyesuaikan dengan situasi lintas budaya
yang berbeda
Saya memvariasikan kecepatan berbicara saya
18
ketika situasi lintas budaya membutuhkannya

Saya mengubah perilaku nonverbal saya ketika


19
situasi lintas budaya mengharuskannya

Saya mengubah ekspresi wajah saya ketika


20
diperlukan interaksi lintas budaya

3.4.2 Uji Reliabilitas

Menurut Suharsimi Arikunto (2010), reliabilitas menunjuk pada pengertian bahwa instrumen

dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut

sudah baik. Reliabilitas instrumen merupakan syarat pengujian validitas instrumen, karena itu

instrumen yang valid umumnya pasti reliabel tetapi pengujian reliabilitas instrumen perlu

dilakukan. Menurut (Suharsimi Arikunto, 2010), dasar pengambilan keputusan uji reliabilitas

ini adalah sebagai berikut :

Pengujian reliabilitas instrument rentang skor antara 1-5 menggunakan rumus Croanbach

alpa, Sebagai berikut :


Sumber : Suharsimi Arikuno, (2010)

Keterangan :

r11 = Realibilitas instrumen

K = Banyaknya butir pertanyaan

b2 = Jumlah Varians butir

2t = Jumlah varians total

Kriteria uji reliabilitas

Item pertanyaan yang diteliti dikatakan reliable jika r hitung > r tabel
Item pertanyaan yang diteliti dinyatakan tidak reliable jika r hitung ≤ r tabel

Tabel 3.6
Hasil Uji Reliabilitas

N of
No Variabel Cronbach’s Alpha Keputusan
Items
Transformational
1
Leadership

2 Work Engagement

3 Cultural Intelligence

Innovative Work
4.
Behavior

3.5 Metode Analisis Penelitian

Pada penelitian ini analisis yang digunakan untuk menganalis setiap variabel dengan dilihat

dari tujuan penelitian berikut :


1. Untuk menganalisis Innovative Work Behavior pada karyawan perusahaan e-
commerce di Indonesia yaitu menggunakan statistik deskriptif berupa rata-rata
hitung
2. Untuk menganalisis Transformational Leadership pada karyawan perusahaan e-
commerce di Indonesia yaitu menggunakan statistik deskriptif berupa rata-rata
hitung
3. Untuk menganalisis Work Engagement pada karyawan perusahaan e-commerce di
Indonesia yaitu menggunakan statistik deskriptif berupa rata-rata hitung
4. Untuk menganalisis Cultural intelligence pada karyawan perusahaan ecommerce
di Indonesia yaitu menggunakan statistik deskriptif berupa rata-rata hitung
5. Untuk menganalisis pengaruh Transformational leadership terhadap Innovative
Work Behavior pada pada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia yaitu
menggunakan uji regresi sederhana SPSS 25.
6. Untuk menganalisis pengaruh Work Engagement terhadap Innovative Work
Behavior pada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia yaitu menggunakan
uji regresi sederhana SPSS 25.
7. Untuk menganalisis pengaruh Cultural Intelligence terhadap Innovative Work
Behavior pada pada karyawan perusahaan e-commerce di Indonesia yaitu
menggunakan uji regresi sederhana SPSS 25.

Anda mungkin juga menyukai