Anda di halaman 1dari 13

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI,

NILAI, DAN KEMISKINAN

A. IPTEK DAN NILAI


Ilmu penegtahuan dan teknologi sering dikaitkan
dengan nilai atau moral. Penerapan ilmu pengetahuan
khususnya teknologi sering kurang memperhatikan
masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya.
Keadaan demikian tidak luput dari falsafah
pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan
antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang
kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi
kemanusiaan yang terkadabg harus dibayar lebih mahal.
Masalah nilai kaitannya dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi ini, menyangkut perdebatan sengit dalam
mendudukperkarakan nilai dalam kaitannya dengan
ilmu dan teknologi. Sehingga kecenderungan sekarang
ada dua pemikiran yaitu, yang menyatakan ilmu bebas
nilai dan yang menyatakan ilmu tidak bebas nilai.
Sebenarnya yang penting dalam permasalahan ini
mengaitkan dalam konteks yang bagaimana kedua
pemikirab itu dapat dinyatakan. Sikap lain terhadap
permasalahan ini ada yang menyattakan kita tak perlu
mengaitkan. antara ilmu dan nilai. Pendapat yang
terakhir ini, kurang dapat dipertanggungjawabkan,
mengingat nilai dan moral merupakan hal yang
mendasar dalam kehidupan manusia, dan kita sudah
merasakan dan melihat akibat tidak terkaitnya nilai
atau moral dengan ilmu pengetahuan atau teknologi.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai
proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S.

1
Suriamantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses
karena ilmu merupakanhasil dari kegiatan sosial, yang
berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya
baik secara individu atau kelompok. Apa yang
dihasilkan oleh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini
merupakan hasil penelaannnn (rasio) secara objektif.
Ilmu sebagai produk artinya ilmu diperoleh dari hasil
metode keilmuan yang diakui secara umum dan
universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji
kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang
sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori
lain. Ilmu sebagai paradigma ilmu, karena ilmu selain
universal, komunal, juga alat meyakinkan sekaligus
dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima
kebenaran.
Istillah ilmu diatas, berbeda dengan istilah
pengetahuan. Ilmu adalah diperoleh melalui kegiatan
metode ilmiah atau epistemologi. Jadi, epistemologi
merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi ilmu tercermin dalam
kegiatan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah kegiatan
menyusun tubuh pengetahuan yan bersifat logis,
penjabarab hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau
menguji kebenarannya secara faktual. Sehingga
kegiatannya disingkat menjadi logis hipotesis-verifikasi
atau deduksi-hipotesis-verifikasi. Sedangkan
pengetahuan adalah pikiran atau pemahaman di luar
atau tanpa kegiatan metode ilmiah, sifatnya dapat
dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada
kenyataan empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa

2
hasil pengalaman berdasarkan akal sehat (common
sense) yang disertai mencoba-coba , intuisi dan wahyu.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki 3 komponen
pengetahuan yang disusunnya yaitu: ontologis,
epistemologis, aksiologis. Epistemologis adalah seperti
yang dibahas di muka, hanyalah merupakan cara
bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun
menjadi tubuh pengetahuan, ontologis dapat diartikan
hakikat apa yang dikaji oleh pengetahuan, sehingga
jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek
penelaahannya. Atau dengan kata lain ontologis
merupakan objek formal dari suatu pengetahuan.
Komponen aksiologis adalah asas menggunakan ilmu
pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan. ketiga
komponen ini erat kaitannya dengan nilai atau moral.
Komponen ontologis kegiatannya adalah
menafsirkan hakikat realitas yang ada, sebagaimana
adanya (das sein) melalui deduksi-deduksi yang dapat
diuji secara fisik. Artinya ilmu harus bebas dari nilai-
nilai yang sifatnya dogmatik. Ilmu menurut pendekatan
ontologis adalah pembebas dogma-dogma. Sifat-sifat
dogmatik inilah yang harus dijauhi dalam argumentasi
ilmiah. Jalan pikiran kita sampai kepada ilmu
pengetahuan itu sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-
tujuan yang mencerminkan harapan (das sollen) dengan
jalan mempelajari sebagaimana adanya (das sein).
Disinilah, letak kaitannya ilmu dengan moral atau nilai
dari pendekatan ontologis.
Komponen epistemologis berkaitan dengan nilai
atau moral pada saat proses logis-hipotesis-verifikasi.
Sikap moral implisit pada proses tersebut. Asas moral

3
yang terkait secara eksplisit yaitu kegiatan ilmiah harus
ditujukan kepada pencarian kebenaran dengan jujur
tanpa mendahulukan kepentingan kekuatan argumentasi
pribadi.
Komponen aksiologis artinya lebih erat dengan nilai
atau moral, dimana ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan demi kemaslahatan manusia manusia.
Ilmu adalah bukan tujuan tetapi sebagai alat atau sarana
dalam rangka meningkatkan taraf hidup manusia,
dengan memperhatikan dan mengutamakan kodrat dan
martabat manusia serta menjaga kelestarian lingkungan
alam.
Uraian kaitan ilmu dengan nilai di atas,
memperlihatkan bahwa ilmu itutidak bebas nilai.
Adapun ilmu yang bebas nilai, maksudnya suatu
tuntutan yang ditujukan kepada semua kegiatan ilmiah
atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri (melsen,
1985). Permasalahan ini kompleks, mereka yang
mendukung bebas nilai didasarkan atas nilai khusus
yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Asumsi mereka
bahwa kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai,
sehingga kebenaran itu dikejar secara murni dengan
mengorbankan nilai-nilai lain seperti menyangkut segi-
segi kemanusiaan.
Pembicaraan selanjutnya adalah kaitan teknologi
dan nilai. Namun sebelumnya, perlu menelusuri kaitan
ilmu dan teknologi sebelum memahami kaitan
teknologi dan nilai. Seperti kita maklumi, selain ilmu
dasar ada juga ilmu terapan. Tujuan ilmu terapan ini
adalah untuk membantu manusia dalam memecahkan
masalah-masalah praktis, sekaligus memenuhi

4
kebutuhannya. Tentu saja ilmu terapan ini banyak
alternatif-alternatif dan perlu dialihragamkan menjadi
bahan, atau peranti, atau prosedur, atau teknik
pelaksanaan suatu proses pengolahan menjadi mudah
dimanfaatkan manusia dan melaksanakan produksi
massal. Tindak lanjut dan hasil seperti demikian (hasil
kegiatan ilmu terapan) inilah yang disebut teknologi.
Apapun arah dan kepada siapa diterapkannya teknologi,
bergantung dari si penguasa teknologi dan nilai atau
moral yang dimilikinya.
Kaitan ilmu dan teknologi dengan nilai atau moral,
berasal dari ekses penerapan ilmu dan teknologi itu
sendiri. Dalam hal ini sikap ilmuwan dibagi menjadi
dua golongan:
1. Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi
adalah bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara
ontologis maupun secara aksiologis, soal
pengunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri,
apakah digunakan untuk tujuan atau tujuan buruk.
Golongan ini berasumsi bahwa kebenaran itu
dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai
kemanusiaan lainnya dikorbankan demi teknologi.
2. Golongan yang menyatakan bahwa ilmu penegtahuan
dan teknologi itu bersifat netral hanya dalam batas-
batas metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan
pada asas-asas moral atau nilai-nilai. Golongan ini
berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui ekses-
ekses yang terjadi apabila ilmu dan teknologi
disalahgunakan. Nampaknya, ilmuwan golongan
kedua ini yang patut kita masyarakatkan sikapnya

5
sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan
”pelacuran” di bidang ilmu dan teknologi, dengan
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Dampak perkembangan pesat ilmu dan teknologi
lebih banyak dirasakan di negara-negara dunia ketiga
(berkembang), dirasakan ilmu dan teknologi menguasai
manusia, kebudayaan, dan alam sendiri. Sistem-sistem
teknologi yang dikendalikan oleh kelompok asing, telah
dengan seenaknya mengubur dan mematikan kekuatan
kerajinan rakyat tradisional. Kebudayaan tradisional dan
nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi, sedikit demisedikit
luntur akibat berkembangnya ilmu dan teknologi.
Kearifat masyarakat tradisional dalam menjaga
keseimbangan dengan lingkungan alam, dirusak
kebijaksanaan eksploitasi yang dimotivasi oleh ilmu dan
kecanggihan teknologi.
Rangkaian pengembangan ilmu dan teknologi yang
dimulai dengan penelitian dasar, penelitian terapan,
pengembangan teknologi, dan penerapan teknologi, mau
tidak mau harus dilanjutkan dengan evaluasi ethis-
politis-religius. Alvin Tofler (1970), mengatakan jangan
menyepelekan anjuran pengendalian teknologi mellalui
filter kelembagaan masyarakat seperti nilai dan moral,
sebab kurangnya kendali, konsekuensinya jauh lebih
buruk. Upaya untuk menjinakkan teknologi di antaranya:
1. Mempertimbangkan atau kalau perlu mengganti
kriteria utama dalam menolak atau menerapkan suatu
inovasi teknologi yang didasarkan pada keuntungan
ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan
ekonomi.

6
2. Pada tingkat konsekuensi sosial, penerapan teknologi
harus merupakan hasil kesepakatan ilmuwan sosial
dari berbagai disiplin ilmu.

B. IPTEK DAN KEMISKINAN


Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memnuhi kebutuhan hidup yang
pokok. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan
apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi
kehidupan hidup yang paling pokok seperti pangan,
pakaian, tempat berteduh, dll. (Emil Salim, 1982).
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan
bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan
kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari
cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Garis kemiskinan, yang menentukan batas
minimum pendapatan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh
tiga hal: (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan
pokok yang dibutuhkan, (2) posisi manusia dalam
lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif
manusia untuk bisa hidup secara manusiawi.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang
diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat-
istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal ini
garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Terhadap
posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan ukuran
kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan posisi
pendapatannya ditengah-tengah masyarakat
sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa
hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi

7
pangan apakahbernilai gizi cukup dengan nilai protein
dan kalori cukup sesuai dengan tingkat umur, jenis
kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan
lingkungan yang dialaminya.
Menurut Prof. Sayogya (1969), garis kemiskinan
dinyatakan dalam Rp/tahun, ekuivalen dengan nilai
tukar beras (kg/orang/bulan, yaitu untuk desa
320kg/orang/tahun dan untuk kota 480/0rang/tahun).
Atas dasar ukuran ini maka meraka yang hidup di
bawah garis kemiskinanmemiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti
tanah, modal, ketrampilan, dan sebagainya,
2. tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh
asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti
untuk memperoleh tanah garapan atau modal
usaha,
3. tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai
tamat sekolah dasar karena harus membantu orang
tua mencari tambahan penghasilan,
4. kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas,
berusaha apa saja,
5. banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak
mempunyai ketrampilan.
Kemiskinan menurut orang umum dapat dikategorikan
ke dalam tiga unsur:
1. kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah
ataupun mental seseorang,
2. kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam,
3. kemiskinan buatan.

8
Kemiskinan buatan sering disebut kemiskinan
struktural.Kemiskinan ini timbul oleh dan dari
struktur-struktur (buatan manusia), baik struktur
ekonomi, politik, sosial, maupun kultur. Kemiskinan
buatan ini, selain ditimbulkan oleh struktur ekonomi,
politik, sosial, dan kultur, juga dimanfaatkan oleh
sikap ”nrimo”, memandang kemiskinan sebagai nasib,
malahan sebagai takdir Tuhan. Kemiskinan menjadi
suatu kebudayaan atau suatu subkultur, yang
mempunyai struktur dan way of life yang telah
menjadi turun temurun melalui jalur keluarga.
Kemiskinan (yang membudaya) disebabkan oleh dan
selama proses perubahan sosial secara fundamental,
seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme,
perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, dan
sebagainya. Obatnya tidak alain adalah revolusi yang
sama radikal dan meluasnya.
Paradigma lain tentang kemiskinan berkaitan
dengan tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu
manusia, modal dan sumber daya, serta aspek budaya.
Di dalam realitas kehidupan, manusia berelasi dengan
modal dan sumber daya, sehingga ada yang dapat
menguasainya dan ada yang tidak dapat
menguasainya. Bagi kelompok masyarakat yang
menguasainya akan menghasilkan nilai atau norma
dengan karakter budaya ”surplus” fasilita. Tetapi bagi
yang tidak menguasainya, maka karakter budayanya
adalah budaya miskin dengan keterbatasan fasilitas,
sehingga terpaksa dengan serba keterbatasan.
Para teoritis kemiskinan, mengelompokkan
kemiskinan menjadi tiga macam pendekatan, yaitu:

9
1. Pendekatan kultural.
Pendekatan ini disampaikan oleh antropolog Oscar
Lewis (1966), bahwa kemiskinan adalah suatu
budaya yang disebabkan oleh penderitaan ekonomi
yang lama. Hal ini dapat terjadi karena penjajahan
(imperialisme dan kolonialisme) yang lama atau
akibat pemerintahan yang korup dan otoriter,
sehingga menjadikan masyarakat dengan ciri-ciri
budaya (ekonomi, sosial, politik) seperti berikut:
a. sistem ekonomi yang berkembang hanya
berorientasi kepada keuntungan belaka, artinya
tidak ada pandangan sistem ekonomi yang lebih
berorientasi kepada keejahteraan sosial, dimensi
sosial atau kemanusiaan tergilas ideologi
keuntungan,
b. angka pengangguran tinggi, banyak penganggur
yang tidak memilikikeahlian. Sehingga
kalaupun diberdayakan dengan peluang kerja,
sulit terangkat karena tidak memiliki keahlian,
c. upah yang berlaku dalam sistem kepegawaian
sangatrendah, karena industri atau
perusahaannya tidak efisien,
d. masyarakat miskin tidak memiliki kekuatan
dalam organisasi politik, ekonomi dan sosial,
karena dominasi kaum kapitalis yang
mengkooptasi penguasa, bahkan berkolaborasi
menjadi hegemoni baru dalam masyarakat,
seperti kebjakan masyarakat mengambang.
e. Terbentuknya kelas masyarakat yang dominan,
yang mendominasi segala segala sumber daya
(sosial, politik, budaya, dan ekonomi) yang

10
membentuk hegemoni kekuasaan, mendominasi
segala kebijakan dan mengatsnamakan
kebijakan publik.
Solusi bagi kemiskinan pendekatan kultural adalah
perlu membangun organisasi untuk menyatukan
orang miskin baik dalam bentuk gerakan religius
atau warna ideologi gerakan apa saja yang
memberikan harapan serta pengikat solideritas,
perasaan identitas yang sama dengan masyarakat
luas yang dapat menghancurkan sifat utama ciri
budaya miskin. Dengan kata lain perlu
dikembangkan gerakan kemampuan berprestasi
untuk mengubah budaya miskin.
2. Pendekatan struktural
Pendekatan struktural dinyatakan oleh Charles
Valentine (1968), bahwa kemiskinan sebagai akibat
situasi struktur sosial yang menekan sehingga
kehilangan peluang kegiatan ekonominya.
Kemiskinan timbul sebagai akibat situasi (struktur
sosial) yang mana ada suatu kelompok sosial
masyarakat tertentu menekan sebagian dari
kelompok masyarakat, sehingga kehilangan peluang
kegiatan ekonominya. Solusinya perlu ada
perubahan yang simultan dalam hal penyediaan
sumber bagi kelompok miskin, melakukan
perubahan struktur sosial masyarakat dan
melakukan perubahan-perubahan dalam subkultur
masyarakat miskin. Terutama dalam menghidupkan
keyakinan dirinya.

11
3. Pendekatan interaksional-kultural dengan struktur
sosial.
Pendekatan ini dinyatakan oleh Herbert J. Gans
yang disitir Ancok dalam Dewanta (1995), bahwa
kemiskinan timbul sebagai akibat hasil interaksi
antara faktor kebudayaan yang sudah
tertanamdalam diri orang miskin dengan faktor
situasi yang menekan. Adanya masyarakat miskin
sebagai warisan dari generasi sebelumnya,
sedangkan yang lainnya miskin itu bersifat periodik.
Sebagian orang ada yang bertambah miskin dan
sebagian lagi ada yang bertambah baik
kehidupannya. Solusi untuk kemiskinan model
demikian adalah perlu mengetahui faktor-faktor
yang menghambat orang miskin untuk
menggunakan kesempatan yang ada, disertaiusaha
memberikan keyakinan diri pada si miskin untuk
menggunakan kesempatan yang tersedia walaupun
harus bertentangan dengan nilai budaya yang
dianutnya. Untuk menyediakan kesempatan maka
perlu dipahami sistem ekonomi, struktur kekuasaan,
norma-norma serta aspirasi kelompok kaya yang
diduga dapat menimbulkan adanya orang miskin.

Dalam hal kemiskinan struktural, ternyata adalah


buatan manusia terhadap manusia lainnya yang timbul
akibat dari struktur politik, ekonomi, teknologi, dan
sosial buatan manusia pula. Perubahan teknologi yang
cepat mengakibatkan kemiskinan karena
mengakibatkan terjadinya perubahan soaial yang
fundamental. Sebab kemiskinan diantaranya

12
disebabkan oleh struktur ekonomi, dalam hal ini pola
relasi antar manusia dengan sumber kemakmuran,
hasil produksi, dan mekanisme pasar. Untuk
mengatasi halini perlu dihargai dan diterima adanya
gagasan ekonomika etik atau ekonomi pancasila.
Kemiskinan sebagai akibat pola relasi segala
bidang sosial, politik, kultur, dan bersama-sama
bidang ekonomi, kesemuanya merupakan subsistem
atau substruktur dari struktur dan sistem
kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dari uaraian diatas dapat dikemukakan, bahwa
ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan terkait
secara struktural. Untuk mengendalikan atau
mengatasi segala akibatnya dari kaitan struktural ilmu
pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan tersebut perlu
pengendalian dengan asas moral, etika, atau ajaran-
ajaran agama, sehingga mengetahuinya yang harus
dan apa yang jangan dilakukan, dengan counter play
sejati yang bersifat normatif dan transenden, yaitu
Tuhan.

Sumber Rujukan:
Munandar Sulaeman, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep
Ilmu Sosial, Refika Aditama, Bandung 2001, hal. 211-235.

13

Anda mungkin juga menyukai