Anda di halaman 1dari 15

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Pendahuluan

Dalam berinteraksi masyarakat tentu menggunakan sebuah bahasa. Bahasa sangat


berperan penting bagi manusia karena dapat menghubungkan suatu hubungan sosial
antara satu dengan yang lainnya. Bahasa ialah suatu lambang bunyi, bersifat arbitrer yang
berarti selalu berkembang. Selain itu bahasa juga bersifat konvensional yaitu bahasa yang
disepakati dan digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu saat berkomunikasi
(Hadianto, 2018).
Di dalam interaksi berkomunikasi, ada dua hal penting yang perlu
dipertimbangkan, yaitu kaidah bahasa yang bersangkutan dan prinsip penggunaan bahasa
itu di dalam situasi atau peristiwa tutur tertentu (Isnaniah, 2013). Pemakaian bahasa tidak
hanya dilakukan oleh seorang individu, tetapi dapat pula dilakukan pada suatu komunitas
dalam masyarakat. Pemakaian bahasa pada suatu komunitas biasanya memiliki ciri dan
ke khas-an tersendiri, yakni dengan adanya dialek maupun kosakata yang berbeda dengan
komunitas lainnya. Kekhasan inilah yang dapat menunjukkan eksistensi dan menonjolkan
identitas pada suatu komunitas. Beragamnya komunitas dengan kekhasannya
menimbulkan sebuah bahasa baru yang dibuat oleh sebuah komunitas tertentu (Nugroho,
2015). Pemakaian bahasa dalam keseharian sering terjadi miss komunikasi atau
kontradiktif antara penutur dan petutur, sehingga infornasi yang didapatkan tidak sesuai
dengan apa yang disampaikan. Hal ini terjadi karena situasi yang tidak mendukung,
ketidakfokusan pada sebuah pembicaraan,
Peran bahasa begitu berpengaruh di dalam menggerakan massa dan membentuk
prilku rakyat dengan ideology penguasah , sehingga rakyat meras takjub dan terlena
dengan penderitaan yang tengah di alami. Pada massa orde lama indotrinasi politik
dilakukan dengan menggunakan ragam bahasa tyang keras dan bombastis yang ber[pusat
pada kosa kata revolusi. Sedangakan masa orde baru menggunakan kata kunci
pembangunan. Untuk kesinambungan pembangunan diperlukan kesinambungan
pimpinan nasional dan mendahulukan stabilitas nasional. Berlanjut dari pesatnya
perkembangan tentang bahasa dan komponennya, dan berangkat dari kedua orde silam
tentunya menjadi dimensi sesuai dengan karakter pemimpin dan masyarakatnya.
Didalam masa sekarang bukan hanya menyingung ataupun menggaungkan
revolusi dan keaman, tetapi juga mengalami banyak praktik-praktik kejanggalan entah itu
dipengaruh oleh bahas luar ataupun bahasa gaul yang semakin dibudidayakan kaum
milenial. Masa sekarang lebih kepada praktik hegemoni individual dalam berbahasa dan
berkomunikasi, conthnya peran media yang tidak lagi mampu memberikan informasi
yang falid dan edukatif. Berita bohong yang berselancar bebas dan komunikan yang
minim pemahaman sigap, tanggap dan cektan ataupun memilah pesan secara baik
menjadi senjata baru di era yang katanya digital ini (Era 4.0).
Berangkat dari pesatnya perkebangan 4.0, Jokowi berharap, di tengah kegaduhan
dan masifnya peredaran berita bohong atau hoaks, media konvensional yang profesional
dapat menjadi pengendali suasana, mencari kebenaran dan fakta. Presiden mencontohkan,
saat pemerintah menyampaikan satu informasi yang berisi kabar baik dan fakta, namun
yang muncul di ruang publik justru disimpulkan sebagai suatu pencitraan semata. Hal
inipun tidak terlepas dari konflik politik yang terjadi di Indonesia. Besarnya kekuatan
politik dan pencaturan kepemimpinan menjadikan media sebagai alat komunikasi yang
mengadu domba antara koalisi dan oposisi politik praktis.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini sebagi berikut :
1. Bagaimanakah perbedaan isi berita pada masa orde lama sampai dengan masa
sekarang?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan makalsh ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan perbedaan isi berita pada masa orde lama sampai engan
masa sekarang !
BAB II
PEMBAHASAN

GELORA TRITURA MENGULUNG RIWAYAT ORDE LAMA

Hiruk-pikuk melanda Jakarta pada 12 Januari 1966 itu. Ribuan mahasiswa turun ke
jalan, menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan. Protes ini
bukan tanpa sebab. Tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965
menyisakan keguncangan yang tak kunjung reda lantaran pemerintahan Sukarno
teramat lambat bertindak.

Para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya yang tergabung dalam berbagai
kesatuan aksi mengajukan tiga tuntutan: bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga. Inilah tiga poin
yang disuarakan para mahasiswa dan dikenal dengan nama Tritura atau Tri Tuntutan
Rakyat.

Bung Karno Bimbang di Tengah Badai

Peristiwa G30S 1965 membuat Sukarno dalam posisi dilematis dan terjepit. Sang
penyambung lidah rakyat Indonesia itu hanya bisa terdiam dalam kegamangan
manakala aksi unjuk rasa datang bergelombang sebagai respons atas tragedi berdarah
yang menyeret PKI sebagai salah satu tertuduh utama.

Bahkan, menjelang pergantian tahun, belum ada tindakan pemerintah yang berdampak
positif. Presiden Sukarno tetap saja meragu dalam menentukan secara tegas apa yang
mesti dilakukan untuk meredakan kemarahan sebagian rakyat terhadap PKI.
Kekacauan yang berlarut-larut seperti ini efeknya sangat terasa, terutama di sektor
ekonomi dan politik.

Sukarno tampaknya tidak punya solusi jitu untuk mengatasi masalah ini. Ditambah lagi,
seperti diungkap Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam Revolusi Politik Kaum
Muda (2008), keadaan sosial-ekonomi negara sedang terguncang akibat konfrontasi
dengan Malaysia dan persoalan Irian Barat. Akibatnya, harga pangan dan sandang
membumbung tinggi (hlm. 69).

Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, yang terlibat
langsung dalam situasi tersebut menggambarkan betapa kisruhnya keadaan pada
masa itu. Dalam salah satu esainya yang dibukukan di bawah judul Zaman
Peralihan (2005), ia menulis:

“Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu
menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung beratus-
ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya
sekaligus ke pasar, memborong barang-barang” (hlm. 4).

“Kekacauan ini,” lanjut Gie, “ditambah pula dengan politik menaikkan harga dari
pemerintah. Tarif kendaraan umum rata-rata dinaikkan antara 500 persen sampai 1.000
persen. Tarif jasa-jasa lainnya juga ikut naik. Dan yang paling terpukul dari tindakan
pemerintah adalah rakyat kecil, karena beras naik rata-rata 300 persen sampai 500
persen” (hlm. 4-5).

Ditambahkan pula oleh Gie, “Mahasiswa terpukul sekali, terutama dengan naiknya tarif
angkutan umum. Harga bensin dalam waktu setengah bulan naik, dari 400 rupiah per
liter menjadi 1.000 rupiah” (hlm. 5-6).

Gie menilai, pemerintah memang sengaja menciptakan situasi chaos seperti itu sebagai


pengalihan isu. Masyarakat dikacaukan agar desakan mengganyang orang-orang PKI
yang terlibat G30S 1965 teralihkan. “Dalam kepanikan umum ini, maka agen-agen
gelap PKI akan semakin leluasa bergerak,” sebut Gie (hlm. 6).

Membubarkan PKI, apalagi mengganyang orang-orangnya, memang tidak mudah bagi


Sukarno yang dikenal dekat dengan para petingginya. Situasi kali ini sungguh berbeda
dengan Peristiwa Madiun tahun 1948. Kala itu, ia bisa dengan tegas mengatakan: “Pilih
Musso atau pilih Bung Karno dan Bung Hatta?!”

Seperti ditulis Andreas A. Yewangoe dalam Dr. Johannes Leimena, Negarawan Sejati


& Politisi Berhati Nurani (2007), sulitnya Bung Karno mengambil keputusan setelah
tragedi 1965 bukan saja karena kesalahan PKI yang belum bisa dibuktikan, melainkan
konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang digagasnya akan menjadi cacat
(hlm. 211).

Keraguan-raguan Presiden Sukarno dalam menyikapi PKI serta kondisi perekonomian


nasional yang kacau-balau membuat massa rakyat dan mahasiswa menuding Kabinet
Dwikora tidak becus menjalankan kinerjanya. Karena itu, kabinet harus dirombak,
bahkan kalau perlu dibubarkan.

Tiga tuntutan krusial pun terus-menerus diserukan. Dan kini, giliran azimat Tritura yang
akan bekerja.

Tiga Tuntutan Rakyat

Gelombang aksi mahasiswa besar-besaran mencapai puncaknya pada 12 Januari


1966, tepat hari ini 52 tahun lampau. Ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung
Sekretariat Negara untuk memprotes kenaikan harga dan mendesak pemerintah agar
meninjau kembali aturan baru terkait ekonomi yang justru menimbulkan dampak buruk
bagi rakyat.
Beberapa elemen gerakan mahasiswa yang turut serta dalam demonstrasi itu antara
lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh
Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), dan lainnya.

Bukannya diterima baik-baik, aksi unjuk rasa massal ini justru disambut panser dan
bayonet aparat pemerintah. Tiga poin Tritura kian sering disuarakan dengan lantang
kendati belum membuahkan respons positif dari yang berwenang.

Massa mahasiswa tetap bertahan di tengah pedihnya semburan gas air mata. Mereka
terus menunggu jawaban dari pemerintah. Setidaknya, mereka ingin menemui Wakil
Perdana Menteri (Waperdam) III, Chairul Saleh, yang saat itu tidak berada di tempat.

Cosmas Batubara, salah seorang pentolan unjuk rasa yang juga anggota Presidium
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), masih terkenang beratnya perjuangan
mereka pada waktu itu. Pengalamannya dituangkan kembali dalam otobiografi yang
berjudul Cosmas Batubara, Sebuah Otobiografi Politik (2007).

“Karena Waperdam III belum kembali, mahasiswa pun menunggu sambil duduk di jalan
raya dan di halaman Sekretariat Negara. Sembahyang pun termasuk dilakukan di jalan
raya itu sehingga lalu lintas macet total,” tutur Cosmas (hlm. 13).

Cosmas dan kawan-kawan tetap menanti kesediaan Waperdam III untuk menemui para
pengunjuk rasa. Mereka menunggu hingga sore hari dalam keadaan haus dan lapar.
Kebetulan, saat itu adalah bulan Ramadan dan sebagian besar mahasiswa berpuasa
(hlm. 13).

Akhirnya, Waperdam III datang juga dan bersedia menerima para aktivis KAMI. Di
depan Chairul Saleh, Cosmas—yang kelak menjadi menteri Orde Baru—membacakan
Tritura sebelum disampaikan secara tertulis. Mendengar tuntutan tersebut, Waperdam
III berjanji akan menyampaikannya kepada Presiden Sukarno.

Para mahasiswa sebenarnya mendesak agar Sukarno melaksanakan tiga tuntutan


tersebut hari itu juga. Namun, tentunya presiden perlu waktu sebelum memberikan
keputusan. Para pengunjuk rasa akhirnya bubar, tapi sesudah itu aksi tetap
berlangsung hingga Tritura benar-benar dilaksanakan.

Dari Tritura ke Supersemar

Aksi demonstrasi digelar nyaris saban hari semenjak Tritura disuarakan pada 12
Januari 1966. Kinerja pemerintahan Sukarno terus dalam sorotan, termasuk terkait
nasib PKI yang masih mengambang. Tuntutan pembubaran yang tidak segera dipenuhi
ini lama-kelamaan bahkan berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun takhta
(Yewangoe, 2007: 211).
Dalam situasi macam itu, Sukarno selaku presiden mulai was-was dengan
kemungkinan bahwa dirinya bisa saja dimakzulkan para demonstran. Ia kemudian
mengundang delegasi mahasiswa untuk menghadiri Sidang Kabinet Dwikora pada 15
Januari 1966 di Istana Bogor.

Namun, yang diundang bukan hanya KAMI yang konsisten menuntut pembubaran PKI.
Presiden mengundang pula Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) versi
Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Ali Sastroamidjojo dan Surachman (dikenal
dengan sebutan "PNI-Asu", akronim dari nama kedua pimpinannya), yang cenderung
agak kiri dan dekat dengan Sukarno, serta beberapa elemen mahasiswa lainnya (Gie,
2005: 7).

Hasil rapat kabinet ternyata tidak memuaskan para mahasiswa. Presiden bahkan
mengkritik cara-cara KAMI dan rombongannya dalam melancarkan unjuk rasa selama
ini. Tak hanya itu, Sukarno juga tidak mau disalahkan atas melonjaknya harga yang
sebenarnya merupakan dampak blunder kebijakan ekonomi pemerintah.

Reshuffle kabinet yang diumumkan Sukarno pada 21 Februari 1966 justru semakin


memanaskan suasana. Ini terjadi lantaran masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri
yang dimasukkan dalam kabinet. Selain itu, dalam pidatonya, presiden masih membela
PKI dengan mengatakan, justru PKI-lah yang pertamakali menuntut perombakan
Kabinet Dwikora, lebih dulu ketimbang KAMI (Budi Setiyono & Bonnie Triyana, Revolusi
Belum Selesai, 2014: 398).

Meledaklah unjuk rasa besar-besaran jilid kedua untuk merespons keputusan itu. Pada
24 Februari 1966, terjadi bentrokan antara demonstran melawan Resimen Cakrabiwara
(Pasukan Pengawal Presiden) di depan Istana Negara. Dalam insiden ini, seorang
mahasiswa Fakultas Kedokteran UI bernama Arif Rahman Hakim tewas tertembak.

Sehari berselang, KAMI dibubarkan paksa oleh presiden sebagai konsekuensi atas
kericuhan tersebut. Namun, gelora unjuk rasa anti-PKI tidak pernah padam. Sukarno
yang kian terjepit akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Isi surat itu adalah perintah kepada Soeharto selaku Panglima Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengendalikan keamanan dan
ketertiban negara yang kacau serta mengamalkan ajaran Pemimpin Besar Revolusi
Bung Karno (Arvin Mahardika & Faza Nurul Ulya, UUD 1945 & Amandemen, 2016: 75).

Terlepas dari kontroversi yang terjadi kemudian, termasuk adanya beberapa versi
Supersemar, Soeharto sangat jeli dalam menggunakan surat sakti tersebut.
Supersemar menjadi legitimasi baginya untuk mengambil alih kekuasaan.

Pengaruh Bung Karno sebagai presiden semakin meluruh. Sebaliknya, pamor Soeharto
kian menguat bak pahlawan penyelamat bangsa. Hingga akhirnya, Orde Lama benar-
benar tamat dan digantikan Orde Baru pimpinan Soeharto. Kelak, kekuasaan Soeharto
juga tumbang dengan cara yang nyaris sama: diguncang aksi mahasiswa.

Insiden di Uiversitas Trisakti: Enam Mahasiswa Tewas

Analisis Struktur Sintaksis


frame Kompas , Rabu 13x Mei 1998 terhadap Isu Insiden trisakti isyarat yang paling kentara
kerubtuan rezim Soeharto sesungguhnya dimulai dari tanggal 12 Mei 1998, ketika aparat
keamanan menembaka 6 mahasiswa Universitas Trisakti. Peristiwa tragis ini menjadi preseden
amat buruk bagi pemrintah S isu penembakan Soeharto. Sehari kemudain menyusul revolusi
sosial yang membawa petaka kemanusiaan mengenaskan di Ibu Kota ( Jakarta). Bagaiman
kompas mengkontruksi ( member Frame) isu penembakan mahasiswa Trisakti tersebut ?
rabu 13 Mei 1998 halaman depan harian kompas memuat eam berita. Empat berita diantaranya
merupakan berita politik. Keempat berita tersebut maing-masing berjudul: (1) Insiden di
unversitas trisakti: Enam MAhasiswatewas;(2) wakil ketua f-ABRI DPR: tidak ada lagi yang
ingin”status Quo”,(3) desmond pegang janji pangab, (4) Demokrasi flamboyant ala Filipina
Berita yang dianalisi di sini adalah berita utama yang berjudul Insiden di unversitas
trisakti: Enam Mahasiswa Tewas, berita ini mendapat kavling cukup luas, yakni berisikan 33
pargraf. Secara ringkas berita ini berisikan laporan lapangan jurnalis kompas sekitar bentrokan
mahasiswa dengan aparat keamanan di universitas Trisak ti. Berita ini diliputi oleh tim kompas.

Eleme sintaksis yang digunakan dalam teks cukup komplit. Struktur sintkasis reks berita
mengikuti pola piramida terbalik. Struktur elemen sintkasis dapat didefinisikan sebagai berikut:
headline, lead, explanation of lead, edition explanation of lead, dan beckground (latar peeristiwa)
dan Clouser (penutup)
Kompas menuturkan headline” Insiden Univertsa trisakti:Enam Mahasiswa tewas”. Headline
memunculkan klaim kuantitas (angka) yang menujuk jumlah korban (6) orang mahasiswa. Klaim
kuantitas ini secara internal (Contex compass) berfungsi meningkatkan presisi berita. Secara
eksternal( konteks sosial) menceritakan gerakan demonstrasi mulai menelan korban nyawa dan
menunjukan besaranya korban tewas dalam bentrok-bentrok tersebut.
Headline dipertegas pula oleh lead yang menerangkan secara rinci mengenai korvan tewas.
Kompas mewacanakan lead sebagai berikut:

Enam Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, tewaas terkena peluru tajam yang ditembakan
aparat keamnaan sewaktu terjadi aksi keprihatinan ribuan mahasiswa yang berlangsung di
kampus universitas trisakkti, gerogol, Jawab Barat, Selasa (12/5). Keenam mahasiswa itu
tertembak sewaktu berada di dalam kampus oleh berondongan peluru yang diduga dtembakkan
oleh aparat keamnan yang berada di jalan Layang Gerogol (gerogol Fly Over). Puluhan
mahasiswa lainnya luka-luka berat dan ringan (pf1).
Teks ini dilanjutkan dengan latar peristiwa (background) rincian kronologi bentrokan sehingga
terjadi tragedy trisakti yang menewaskan enam orang mahasiswa universitas tersebut: kompas
memilh kronologi atas bebrapa bagian : (1) mengisahkan negosiasi pihak civitas akademikan
unversitas trisakti dengan pihak keamanan untuk membatasi wilayah demonstrasi. Mahasiswa
menggelar mimbar bebas di kampus universitas Trisakti. (2) pada pukul 17.00 dilakukan lagi
untuk menghentikan demonstrasi.(3) mahasisa masuk kampus. (4) keributan dimulai. (5) terjadi
bentrokan antara aparat dan mahasiswa.

Kita sudah bilang aparat jangan refresif, tapi ko seperti ini. Mahasiswa saya ditembak dengan
peluru tajam, dan itu berlangsung dalam kampus. Padahal seharusnya ada prosedurnya, ko
tiba-tiba pakai peluru tajam, dan mereka (mahassiwa) sudah berada dalam kampus. Padahal
mahasiswa tidak melawan, tidak melemparkan batu, dan tidak melakukan kekerasan.
Mahasiswa saya itu sudah berangsur-angsur pulang ke kampus,”kata Adi (pf.8)

Konstruksi wacana tersebut di atas mengindikasikan bahwa tindakan aparat dilakukan


dengan sengaja. Dalam teks, mahasiswa diposisikan sebagai pihak yang tidak bernasalah, dan
patuh terhadap komporomi, mereka tidak melempar batu, dan tidak melawan petugas.
Penggunaan kata itu mengindikasikan streotip posisitif
Selanjutnya menurut Adi, pihak mahasiswwa berdedia mundur bila pihak keamana juga
mundur. “akhirnya mahasiswa saya bubar dengan tertib dan mereka semua kembali ke kampus.
Bahkan saya merasa itu sudah selesai, sehingga saya pulang ke rumah,” ujarnya (pf.13)

Ternyata Adi mendapat laporan bahwa ada seseorang mahasiswa yang tertembak kepalanya.
Tak lama kemudian, ia memperoleh kabar bahwa empat mahasiswa trisakti meninggal
dunia.”saya telah melihat jenasah mereka dengan mata kepala saya sendiri,”katanya (pf.14)

Mahasiswa distreotipkan sebagai pihak yang arif, demokratis dan memperjuangkan kebenaran.
Bahkan, mahasiswa digambarakan sebagai kelompok yang tak ingin kekerasan, tetapi ramah dan
amat familiar. Kompas memunculkan streotip positif terhadap mahasiswa seperti disinggung
pada kutipan berikut:

Hingga pukul 17.00 WIB aksi danai universitas ini berjalan tenang tanpa ketegangan antara
mahasiswa dan aparat keamnaan. Sesekali Nampak mahasiswa bercanda dengan aparat
keamanan, bahkan diantara mahasiswa Nampak membagikan botol-botol minuman kemasan,
permen dn bunga mawar kepada petugas. Situasi Nampak santai tanpa ketegangan. Puluhan
mahasiswa Nampak berpotred dengan petugas keamanaan yang membnetuk barikade (pf.23)

Elemen tematik yang digunakan kompas untuk membangun image burk terhadap aparat
keamnaan adalah elemen detail. Artinya, informasi yang berhubungan dengan pembenaran sikap
mahasiswa diuraikan secara detail. Kutipana keterangan Adi Andojo misalnya, diuraikan secara
panjang dan menyita sebagaian besar teks berita. Bahkan difragmentasi sedemikian rupa dalam
rangka memanipulasi emosi dan opini publik. Sedangkan keterangan dari pihak aparat
diminimalkan sehingga menimbulkan streotip negative terhadap aparat keamnaan.
CONTOH SURAT KABAR MASA SEKARANG

CNBPers Nasional 2019, Jokowi: Medsos Makin Tidak Dipercaya

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia

NEWS 09 February 2019 14:25

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai informasi yang berkembang di media sosial (medsos)
semakin tidak dipercaya masyarakat.

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai informasi yang berkembang di
media sosial (medsos) semakin tidak dipercaya masyarakat. Sebaliknya, masyarakat cenderung
merujuk pada informasi yang disajikan media massa arus utama.

"Semakin ke sini semakin tidak percaya kepada media sosial," kata Jokowi saat memberikan
sambutan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019, di Grand City, Surabaya,
Jawa Timur, Sabtu (9/2/2019). Tak ingin dianggap membual, Jokowi lantas menyajikan sejumlah
data berdasarkan penelitian Trust Barometer 2018. Mengutip riset itu, Jokowi menyebut media
arus utama ternyata tetap lebih dipercaya dibandingkan medsos.

Pada 2016, tingkat kepercayaan kepada media massa arus utama unggul 59% dibanding
45% untuk media sosial. Selanjutnya, pada 2017 angkanya 58% berbanding 42%, dan 2018 63%
banding 40%.

Jokowi pun takjub dengan kondisi ini, mengingat era digital yang berkembang diikuti
masifnya penyebaran informasi melalui medsos. Dalam praktik penyebaran informasi di medsos
itu, Jokowi menilai terkadang dapat membawa kegaduhan, ada pula yang membangun
ketakutan dan pesimisme.

"Media arus utama diharapkan mampu menjaga dan mempertahankan misinya untuk
mencari kebenaran, misinya untuk membangun optimisme," tegas Presiden. "Saya berharap
media menjadi amplifier atas informasi tentang pembangunan, termasuk kekurangan yang
harus kita benahi bersama-sama," lanjutnya.

Sementara itu, ajang ini juga dihadiri banyak pejabat dan tokoh lintas bidang. Tampak
hadir dalam kesempatan itu antara lain Menkominfo Rudiantara, Sekretaris Kabinet Pramono
Anung, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Budi K. Sumadi, Menteri PUPR
Basuki Hadimuljono, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pemberdaya Perempuan dan
Perlindungan Anak Yohana Yembise, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan,
dan Ketua DPD RI Oesman Sapta. Selain itu hadir pula Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, para duta besar negara sahabat, tokoh pers Surya Paloh dan
Chairul Tanjung, dan Ketua PWI Atal Depri.

PERBEDAAN ISI BERITA MASA ORDE LAMA-MASA SEKARANG

Setiap pergantian waktu pasti ada perubahan-perubahan sistem yang dalam hal ini sistem
pemerintahan. Dari masa ke masa terlihat secara jelas perubahan yang mendominasi sistem tata
pemerintahan. Dari masa orde lama yang dimotori oleh Seokarno yang getol menggaungkan
Revolusinya yang ia gali melalui semangat berbangsa dan bernegara pada saat itu. Melalui
pembahasan ini di dalam tubuh media masa yang sangat minim pada saat itu, dari keterpurukan
penjajahan masa lalu, dan demi menjaga keutuhan dan kestabilan Negara, Soekarno
menginginakan media hanya menganpanyekan tentang keberadaan dan citra penguasa dan
bagaimana masyarakat tidak diperbolehkan mengkritik dan menyinggung pemerintahan. Dalam
perjalan kepemimpinan soekarno dan konstruksi kekuasaannya tentu menjadi sejarah panjang
bagi masyarakat dan bangsa yang besar ini.

Dalam hal ini isi berita yang di ambil pada masa orde lama yaitu gejolak tritura yaitu berjudul:
Gelora Tritura Mengulung Riwayat Orde Lama

Dijaman awal orde baru dengan pemerintahannya Soeharto adalah angin segar bagi rakyat
Indonesia. Awal orde baru Rakyat Indonesia mengharapkan adanya perubahan. Ubah
keterpurukan yang sesuai saat orde lama. Pemerintah pada saat itu dituntut harus selalu di segala
aspek. Antara lain, ekonomi, politik dan psikologis rakyat Indonesia yang harus bangkit. Pada
saat itu Indonesia secara perlahan-lahan bangkit, Ekonomi di Indonesia pun mulai maju
pesat. Namun, tidak dengan pers. Media Pers saat jaman orde baru mulai terkekang. Media Pers
yang berharap dengan angin segar sebuah kebebasan malah sangat di kekang oleh
pemerintah. Pers tidak diizinkan memberitakan mengenai berita miring yang berada di seputar
pemerintahan. Pada jaman orde baru pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan
Soeharto yang otoriter memberantas kebebasan masyarakat. Dalam hal ini isi berita yang di
ambil pada masa orde lama yaitu gejolak tritura yaitu berjudul: Insiden di unversitas trisakti:
Enam Mahasiswa Tewas
Berbeda dengan masa pasca lama dan baru, masa sekarang lebih kepada soal bagaimana
keberadaan media yang tampak elegan namun tidak taat pada tupoksinya sebagai penyalur
informasi. Era digitalisasi sangat mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakatnya. Bukan hanya
itu, ketimpangan yang berasal dari informasi yang yang diedarkan media sangat sering sekali kita
temui, contohnya berita HOAX atau berita bohong yang mengandung banyak motif. Perbedaan
media di orde lama dan orde baru mungkin hanya dilihat dari digitalnya dan keterbatasan alat
untuk menampung berita. Namun tidak kita sadari bahwa perkembangan digital dari masa ke
masa sangatlah pesat.

Dalam berita ini Presiden Jokowi lebih menekankan media yang seharusnya memberikan
informasi secara totalitas dengan tidak memilah-milahkan opini media yang hasilnya kabur.
Media menjadi jembatan untuk menyalurkan informasi yang faktual. Kadangkala media
menyoroti berita atas kepentingan-kepentingan pada suatu oknum tersendiri, sehingga pada saat
penyaringan berita yang akan didapatkan Khayalak mungkin tidak sesuai dengan cover aslinya.
Tetapi, sudah tercampur dengan pandangan-pandangan/opini yang sifatnya hoax/bohong.
Permasalahan yang dibahas dalam berita ini mengenai fungsi dan tugas media yang tidak lagi
dipercayai oleh masyarakat. Hakekatnya media harus menyalurkan rasa optimisme yang dapat
menyumbangkan streotip positif kepada mayarakat. Dalam hal ini isi berita yang di ambil pada
masa orde lama yaitu gejolak tritura yaitu berjudul: CNBPers Nasional 2019, Jokowi: Medsos
Makin Tidak Dipercaya

Analisis
"Semakin ke sini semakin tidak percaya kepada media sosial," kata Jokowi saat memberikan
sambutan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019, di Grand City, Surabaya,
Jawa Timur, Sabtu (9/2/2019). Tak ingin dianggap membual, Jokowi lantas menyajikan sejumlah
data berdasarkan penelitian Trust Barometer 2018. Mengutip riset itu, Jokowi menyebut media
arus utama ternyata tetap lebih dipercaya dibandingkan medsos.

Dalam paragraph pertama ini terlihat Jokowi ingin menilai keberadaan medsos dan lajunya
perkembangan digital, membuat masyarakat pesimis dengan apa yang ada dalam tubuh media
soaial itu sendiri. Jokowi menilai masayarakat cendrung menyerap informasi dari media masa
(cetak) ditimbang media sosail. Dalam sambutannya dengan serius menekankan kepada media
sosial agar tetap mempertahankan kredibilitas dan akuntabiltas kelompok yang menjadi penyalur
informasi berbasis digital itu. Lalu Jokowi dengan gamblangnya memaparkan barommeter
tingkat minat atau kepercayaan dari tahun-tahun sebelumnya seperti yang ada dibawah ini.
Pada 2016, tingkat kepercayaan kepada media massa arus utama unggul 59% dibanding 45%
untuk media sosial. S11/9/2020elanjutnya, pada 2017 angkanya 58% berbanding 42%, dan
2018 63% banding 40%.

BAB III
PENUTUP

Simpulan

Berita-berita yang terjadi pada masa orde lama sampai masa sekarang memiliki
perbedaan. Seperti yang terlihat pad ulasan pada pembahasan di atas bahwa berita yang ada pada
masa orde lama yaitu : Gelora Tritura Mengulung Riwayat Orde Lama.

Salah satu Berita yang terjadai pada masa orde baru yaitu : Insiden di unversitas trisakti:
Enam Mahasiswa Tewas. Dijaman awal orde baru dengan pemerintahannya Soeharto adalah
angin segar bagi rakyat Indonesia. Awal orde baru Rakyat Indonesia mengharapkan adanya
perubahan. Ubah keterpurukan yang sesuai saat orde lama. Pemerintah pada saat itu dituntut
harus selalu di segala aspek. Antara lain, ekonomi, politik dan psikologis rakyat Indonesia yang
harus bangkit. Pada saat itu Indonesia secara perlahan-lahan bangkit, Ekonomi di Indonesia pun
mulai maju pesat. Namun, tidak dengan pers. Media Pers saat jaman orde baru mulai
terkekang. Media Pers yang berharap dengan angin segar sebuah kebebasan malah sangat di
kekang oleh pemerintah. Pers tidak diizinkan memberitakan mengenai berita miring yang berada
di seputar pemerintahan.

Sedangkan pada masa sekarang berita yang di ambil yaitu : CNBPers Nasional 2019,
Jokowi: Medsos Makin Tidak Dipercaya. Dalam berita ini Presiden Jokowi lebih menekankan
media yang seharusnya memberikan informasi secara totalitas dengan tidak memilah-milahkan
opini media yang hasilnya kabur. Media menjadi jembatan untuk menyalurkan informasi yang
faktual. Kadangkala media menyoroti berita atas kepentingan-kepentingan pada suatu oknum
tersendiri, sehingga pada saat penyaringan berita yang akan didapatkan Khayalak mungkin tidak
sesuai dengan cover aslinya. Tetapi, sudah tercampur dengan pandangan-pandangan/opini yang
sifatnya hoax/bohong. Permasalahan yang dibahas dalam berita ini mengenai fungsi dan tugas
media yang tidak lagi dipercayai oleh masyarakat. Hakekatnya media harus menyalurkan rasa
optimisme yang dapat menyumbangkan streotip positif kepada mayarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bila Ujung Pena menususk jantung Rezim. Hal. 67

Blogspot berita orde lama.


Blogspot berita orde baru.

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia

NEWS 09 February 2019 14:25

Wahyu wibowo. 1984. Manajemen Bahasa. Gramedia pustaka

Anda mungkin juga menyukai