Anda di halaman 1dari 22

1.

1 Sejarah Pilkada di Indonesia

Pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial

Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola

penunjukkan, pilkada melalui DPRD, dan pilkada secara langsung.Pilihan masing-

masing pola tersebut sangat bergantung pada pemegang kekuasaan.Pergantian

pemegang kekuasaan maupun masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan

memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pilkada selama ini.Masing-masing

penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda.1

Perjalanan pelaksanaan pilkada di Indonesia apabila dikaji secara historis dibagi

menjadi 3 zaman.Hal ini berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai

memperoleh kemerdekaan. Berikut ini penjelasan 3 zaman tersebut :

Eksistensi pilkada di Indonesia dibagi menjadi 3 zaman, yaitu antara lain sebagai

berikut :

a. Kepala Daerah Pada Zaman Belanda

b. Kepala Daerah Pada Zaman Jepang

c. Kepala Daerah Zaman Indonesia Merdeka

a) Pilkada Pada Zaman Belanda


Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya

dibedakan menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah

Jawa dan Madura.Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera,

Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya. Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk

membagi sebagian kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah.

Ada beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Daerah Jawa dan Madura

Tingkatan pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi
dalam beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan

pangreh praja dan pamong praja.Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi

disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.Selanjutnya, tiap-tiap provinsi

dibagi menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen.Tiap-tiap Keresidenan

dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Afdelling yang dipimpin oleh Asisten

Residen.Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari Kabupaten yang dipimpin

oleh Bupati.Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kawedanan yang

dipimpin oleh seorang Wedana.Tiap-tiap Kawedanan dibagi menjadi Kecamatan

yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana.Kecamatan

meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.2

2. Daerah Luar Jawa dan Madura

Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura susunan tingkat-tingkat pemerintahan

daerah agak berbeda sedikit dibandingkan dengan daerah Jawa dan Madura.Tingkat

pemerintahan yang tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur.Tiap-

tiap provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang

Residen.Tiap-tiap Karesidenan dibagi menjadi beberapa Afdeling yang dikepalai

oleh seorang Asisten Residen.Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-

Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir.Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi

menjadi Kewedanan atau District yang dikepalai oleh Wedana atau Demang.

Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-

District yang dikepalai oleh seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap

Kecamatan meliputi beberapa Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama

lainnya, yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau nama lainnya.3

Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan

pilkada sudah dilakukan dengan cara penunjukan secara langsung. Politik kolonial
Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah

yang bertujuan untuk kepentingan mereka.4 Oleh sebab itu, baik untuk daerah Jawa

dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen,

Asisten Residen dan Kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang

Belanda, sedang untuk jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa

diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya.

Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas,

pilkada dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak

ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk

pemerintahan di daerah.Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat

pemerintahan zaman Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh

Belanda melalui Gubernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan

di daerah-daerah dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah

kewajiban.5 Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan

yakni harus memberikan upeti.6

b) Kepala Daerah Pada Zaman Jepang

Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia

untuk menjalankan pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan,

Jepang memaklumatkan 3 Osamu Sirei, yang dalam teks berbahasa Indonesia

disebut (dalam ejaan aslinya) Oendang-Oendang7. Ketiga Oendang-Oendang itu

adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun 1902 Tentang Peroebahan

Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang Atoeran Pemerintahan Syuu;

dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang Mengoebah Nama Negeri

dan Nama Daerah.Undang-undang8 (ejaan sekarang) sebagaimana telah dijelaskan

merupakan landasan hukum bagi pemerintahan Jepang untuk menjalankan


kekuasaan.9

Pada zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari

Belanda, Jepang masih meneruskan asas dekonsentrasi sebagaimana dilaksanakan

oleh Pemerintah Belanda10. Asas ini dilaksanakan Jepang dengan mengadakan

perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang jelas

terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan Bahasa

Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh

para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan kesempatan

sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa maupun di luar

Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk wilayah Jawa

dihapus.11

Seperti halnya saat pemerintah Belanda menguasai wilayah Indonesia dan

memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem rekrutmen Kepala Daerah saat

zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi dan akuntabilitas

dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat dan/atau ditunjuk oleh

penguasa Jepang selaku pemerintah pusat.

Sistem pengangkatan dan/atau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan

diatas dilakukan secara hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala

Daerah tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda.12

c) Kepala Daerah Pada Zaman Kemerdekaan

Kepala Daerah pada zaman ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni: era

orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang

ketiga era tersebut.13

1. Era Orde Lama

Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde
baru ialah undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa

kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan

Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud

mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat

Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut

dinyatakan bahwa: “Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat

Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan

pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan

Peraturan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari

padanya”.14 Dalam poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan

bahwa Kepala Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi
15
Badan Legislatif . Selain itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi

sebagai wakil Badan Perwakilan Rakyat Daerah.16

Dalam pasal sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala

Daerah duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Berkaitan dengan hal tersebut

dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1945 adalah Kepala Daerah yang diangkat pada masa sebelumnya yakni

masa pendudukan Jepang. Akibat berbagai situasi yang muncul, seperti situasi

politik, keamanan dan hukum ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah

diangkat begitu saja untuk menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai

bagian dari pemerintahan pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) sekaligus mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan.17

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun

1948, lahir penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945. 18 Pada
masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan

keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. Secara hierarki, pada

saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga

tingkatan. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik

Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar)

dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam undang-undang

tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah serta berhak

menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan

Pemerintah Daerah.19

Hal ini ditegaskan dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang tersebut, yakni

bahwa :

“Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan-
putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah,
bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan
umum atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan Pemerintah
dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu
diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah di bawah Propinsi”.

Undang-undang sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa

Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat

oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas

mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam

pasal 18 ayat (1) yang berbunyi20: “Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden

dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang


diajukan oleh DPRD Provinsi”

Presiden juga berwenang mengangkat Kepala Daerah Istimewa,

sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat (5) yang menyatakan bahwa

“Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan yang berkuasa di

zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan

syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-

istiadat daerah itu”.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri berwenang mengangkat Kepala

Daerah Kabupaten atau Kota.Calon Kepala Daerah diusulkan oleh DPRD. Dalam

pasal 18 ayat (2) disebutkan: “Kepala Daerah Kabupaten(kota besar) diangkat oleh

Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat

calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten (kota besar)”.Adapun Kepala Daerah

Desa atau kota kecil diangkat oleh Gubernur. Dalam pasal 18 ayat (3) disebutkan:

“Kepala Daerah Desa (kota kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari

sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan

DPRD Desa (kota kecil)”.

Satu hal yang menjadi catatan penting dalam Undang-Undang Nomor 22

tahun 1948 ialah undang-undang ini mampu memberikan ketegasan tentang

pemisahan antara fungsi eksektutif dan legislatif. Kepala Daerah tidak lagi menjadi

ketua DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945.

Pada kenyataannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengalami

revisi dan menghasilkan produk hukum baru yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun

1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.21 Hal yang menjadi pembeda

dalam undang-undang ini dibandingkan dengan undang-undang lainnya terkait

pemerintahan daerah ialah adanya tingkatan-tingkatan daerah.Secara hukum


tingkatan ini mulai dikenalkan dalam undang-undang ini. Sesuai hierarki, undang-

undang ini membagi 3 tingkatan, Gubernur memimpin daerah tingkat I (termasuk

Kotapraja Jakarta Raya), Bupati/Walikota memimpin Daerah Tingkat II (termasuk

Kotapraja), dan Camat untuk Daerah Tingkat III.22 Dalam pasal 2 ayat (1)

dikatakan bahwa : “Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan

kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan

sebanyak-banyaknya (3) tiga tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah sebagai

berikut :

a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja, Jakarta Raya,

b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja,

c. Daerah tingkat III.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Pemerintah

Daerah terdiri atas DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Pasal 6 ayat (1) undang-

undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah karena jabatannya adalah

ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah”.23Kemudian dijelaskan lebih lanjut


24
dalam pasal 23 ayat (1) bahwa “Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang

ditetapkan dalam undang-undang”.Pada praktiknya undang-undang yang

maksudkan untuk memilih Kepala Daerah dalam pasal tersebut belum dibuat.Atas

beberapa pertimbangan maka untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh

DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang

diperlukan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah.Selain itu, seorang

Kepala Daerah merupakan alat daerah yang menjalankan Pemerintahan daerah dan

bertindak kolegial, yaitu bersama-sama dengan anggota Dewan Pemerintah Daerah

lainnya.25

Undang-undang yang selanjutnya berlaku terkait pemerintahan daerah ialah


Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965.26 Di dalam Undang-Undang Nomor 18

tahun 1965 mengatur tentang Kedudukan Kepala Daerah baik sebagai alat

pemerintah pusat maupun sebagai dan alat pemerintah daerah.27 Sebagai alat

pemerintah pusat, Kepala Daerah menjadi pemegang kebijaksanaan politik di

daerahnya dengan mengindahkan wewenang yang ada pada pejabat-pejabat

sebagaimana diatur berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang

berlaku, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di

daerah antara jawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah daerah melakukan

pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah dan menjalankan tugas-tugas yang

diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.28

Berlakunya undang-undang sebagaimana telah dijelaskan diatas

menyatakan bahwa Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD yang

pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dalam wilayah daerah tingkat I. Daerah

tingkat II pengangkatan Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I

melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri.

2. Era Orde Baru

Perkembangan politik yang terjadi dalam masa peralihan dari orde lama ke

orde baru telah membawa nuansa baru dalam kepemimpinan Kepala Daerah. Hal

ini tentu membawa nuansa baru dalam kepemimpina Kepala Daerah yang ditandai

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah.29 Dapat dikatakan bahwa produk hukum yang lahir pada

era ini memuat tentang mekanisme pemilihan calon Kepala Daerah yang dalam hal

ini masih dilaksanakan oleh DPRD namun pengangkatan dan pemberhentiannya

berbeda secara hierarki.30


Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974, ketentuan pilkada

tidak mengalami perubahan berarti sebab DPRD memegang komando dalam

melaksanakan pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah. Pemilihan dan

pencalonan Kepala Daerah tercantum dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

Nomor5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa :31 “Kepala Daerah tingkat I dicalonkan

dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga)

orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan

disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri

Dalam Negeri”

Kemudian ditambahkan dalam pasal 16 ayat (1) bahwa 32: “Kepala Daerah tingkat

II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan

sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarhkan dan disepakati

bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala

Daerah. Untuk selanjutnya, Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan

oleh Presiden, sedangkan Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Dalam Negeri.Mekanisme diatas menggambarkan bahwa pilkada

dilakukan secara hierarki.33

3. Era Reformasi

Di era reformasi sampai saat ini telah terdapat beberapa undang-undang

yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut ialah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

yang telah beberapa kali diubah dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,34 pilkada dilakukan


dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan

wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. DPRD masih memiliki kewenangan yang

cukup besar dalam menentukan Kepala Daerah serta wakil Kepala Daerah.

Pengaturan tentang pengisian Kepala Daerah terdapat dalam pasal 34 ayat 1 yang

menyebutkan bahwa :35 “Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan wakil Kepala

Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya

pada ayat (2) dikatakan :36 ”Calon Kepala Daerah dan calon wakil Kepala Daerah

ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”.

Dalam perjalanan era reformasi, berbagai kelemahan dalam Undang-

Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004.37 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pilkada tidak lagi

dilakukan oleh DPRD namun telah berubah menjadi sistem pemilihan langsung

dimana rakyat selaku pemegang kedaulatan berperan secara aktif dalam

melaksanakan pemilihan. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang tersebut menyatakan

bahwa: “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di

daerah yang bersangkutan”.38 Hal ini memberikan perubahan dalam pelaksanaan

pilkada yang berbeda dengan yang pernah dilakukan sebelumnya.

Selanjutnya dalam upaya untuk memperbaiki pola demokrasi di Indonesia

maka sejak tahun 2008, pemerintah bersama DPR telah menyetujui dan

memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.Undang-Undang tersebut

merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat 1 undang-undang tersebut dinyatakan

bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon

yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,


rahasia, jujur, dan adil”.39 Pada pengaplikasiannya, pasangan calon sebagaimana

telah dijelaskan dalam pasal 56 ayat (1) diusulkan atau didaftarkan oleh partai

politik atau non partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur

dalam undang-undang.

Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014.40 Undang-undang tersebut tidak mengatur secara jelas tentang pilkada. Hal

ini bisa terlihat dalam pasal-pasal dalam undang-undang sebagaimana telah

disebutkan diatas tidak memberi penjelasan tentang mekanisme dalam memilih

Kepala Daerah. Dalam pasal 62 dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai pilkada

diatur dengan undang-undang”.41 Undang-undang yang dimaksud dalam pasal

tersebut mengacu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggaraan pemilu.Undang-undang tersebut memberi pesan bahwa rakyat

masih berperan dalam memilih Kepala Daerah di daerahnya.

1.2 Pilkada Secara Langsung

Pilkada secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan

kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis

berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945. Pilkada secara langsung muncul sejak

berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kepastian pilkada secara

langsung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada bagian

penjelasan angka 4 “Pemerintahan Daerah” yang berbunyi sebagai berikut :42

“Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara


demokratis.Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut,
dengan mengingati bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan
KedudukanMajelisPermusyawaratanRakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan
wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka
pemilihan secara demokratis dalam undang- undang ini dilakukan oleh
rakyat secara langsung.
Hal ini juga terbukti dalam bagian kedelapan undang-undang tersebut, yakni

dari pasal 56 hingga pasal 119. Pasal 56 ayat (1) menyatakan bahwa : “Kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasrkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil”.43 Dijelaskan lagi dalam ayat (2) bahwa : “Pasangan calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan

partai politik”.44 Pasal-pasal tersebut pada pokoknya mengatur tentang pilkada

secara langsung. Pilkada secara langsung sesuai dengan undang-undang ini

terlaksana pertama kali pada bulan Juni 2005 untuk Kepala Daerah yang masa

jabatannya berakhir pada tahun 2004 sampai dengan bulan Juni 2005. 45

Pada pelaksanaannya, pilkada secara langsung merupakan hasil dari proses

pembelajaran demokrasi di Indonesia yang berlangsung sejak zaman kemerdekaan

sampai pada saat ini. Dalam penerapannya, masih terdapat beberapa kekurangan

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait pilkada secara langsung

yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kekurangan yang

terdapat undang-undang tersebut yakni mengharuskan pasangan calon Kepala

Daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini menjadi

masalah bagi calon Kepala Daerah yang bukan berasal dari partai politik. Atas

dasar itu, seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok bernama lalu Ranggalawe

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji

materiil pasal 56, 59 dan 60 terkait persyaratan calon Kepala daerah melalui partai

politik dari undang-undang tersebut. Pada akhirnya, keluarlah putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang menganulir pasal-pasal yang dimohonkan

oleh pemohon tentang persyaratan calon Kepala daerah.Putusan Mahkamah

Konstitusi ternyata membuka peluang bagi calon kepala daerah independen untuk
maju dalam pilkada.46

Pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengalami

perubahan pada beberapa pasal karena pada tahun 2008 undang-undang ini

mengalami revisi dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.

Salah satu hal berbeda yang diatur dalam undang-undang tersebut ialah mengenai

pilkada. Dalam undang-undang sebelumnya dinyatakan bahwa calon Kepala

Daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam

undang-undang ini tiap calon Kepala Daerah dapat mencalonkan diri secara

perseorangan tanpa melalui partai politik. Syarat tambahan yang harus dipenuhi

tiap-tiap calon perseorangan ialah dukungan tertulis dari masyarakat setempat serta

fotokopi KTP.47

Tiap tahun terdapat beberapa perkembangan undang-undang yang dibuat

oleh DPR dan ditandai dengan munculnya undang-undang baru.Pada tahun 2007

lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu. 48

Dalam undang-undang ini, pilkada langsung mulai dimasukkan menjadi rezim

pemilu.Masuknya pilkada langsung menjadi rezim pemilu memunculkan

terminologi baru yakni Pemilukada.49

Dengan demikian, hal lain yang muncul ialah terkait penyelesaian perkara

hasil pemilukada. Perkara hasil pilkada langsung sebelum berlakunya undang-

undang ini diselesaikan oleh Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tinggi, namun

seiring dengan masuknya pilkada langsung menjadi rezim pemilu maka

penyelesaian perkara pemilukada dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Masuknya pilkada langsung menjadi rezim pemilu sejalan dengan

pandangan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi. Mengutip pendapat Laica

Marzuki di dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 50 yang menyatakan


pemilukada secara langsung merupakan (disamakan) dengan pemilu, diantaranya

sebagai berikut :

“dari sudut pandang konstitusi, pemilukada secara langsung adalah


pemilihan umum, sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 E ayat 2 UUD
1945. Tatkala pemilihan anggota DPRD tergolong pemilihan umum
(pemilu) dalam makna general election menurut pasal 22E ayat 2 UUD
NRI 1945, mengapa nian pemilukada langsung tidak termasukdalam pasal
konstitusi dimaksud? hal dimaksud harus diamati dari sudut penafsiran
sejarah (historische interpretatie). Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 berlaku
kalaperubahan ketiga (3), yang diputuskan dalam rapat paripurna MPR- RI
ketujuh (7) pada tanggal 9 November 2001. Disisi lain, pasal 18 merupakan
hasil amandemen yang kedua (2).Dikala itu, pemilukada langsung belum
merupakan gagasan ide konstitusi dari pembuat perubahan
konstitusi.Pembuat perubahan konstitusi belum merupakan idee drager
ataspemilukadalangsung”.

Pilkada langsung sebenarnya merupakan alternatif untuk menjawab segala

konflik dan buruknya pelaksanaan maupun hasil pilkada secara tidak langsung

lewat DPRD dibawah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan daerah.Pilkada langsung jadi kebutuhan mendesak guna mengoreksi

sesegera mungkin segala kelemahan dalam pilkada secara tidak langsung yang

dilaksanakan melalui DPRD. Pilkada secara langsung akan bermanfaat untuk

menegakkan kedaulatan rakyat yang hilang sejak adanya pemilukada melalui

DPRD. Hal ini menciptakan keadaan demokrasi yang baik pada lingkungan

pemerintahan (governance) maupun dalam lingkungan kemasyarakatan (civil

society) karena redaulatan rakyat telah dikembalikan secara penuh.51

Pilkada secara langsung memiliki sisi positif dibanding dengan sistem

sebelumnya yakni melalui DPRD.Perubahan sistem ini berdampak langsung dalam

perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut M.Ma’ruf (selaku Menteri Dalam

Negeri pada saat lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), ada beberapa

pertimbangan penting penyelengaraan pemilukada secara langsung bagi

perkembangan demokrasi di Indonesia diantaranya :52


a. Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat
karena Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, bahkan Kepala Desa
selama ini telah dilakukan pemilihan secara langsung.
b. Pemilukada secara langsung merupakan perwujudan konstitusi dan
Undang-Undang dasar 1945, khususnya pada pasal 18 ayat 4.
c. Pemilukada secara langsung dipandang sebagai sarana pembelajaran
demokrasi (politik) bagi rakyat (civil education).
d. Pemilukada secara langsung merupakan sebagai sarana untuk
memperkuat otonomi daerah.
e. Pemilukada secara langsung merupakan sarana penting bagi proses
kaderisasi kepemimpinan nasional.
Pilkada secara langsung oleh rakyat dapat dikatakan sebagai suatu proses

demokrasi menuju ke arah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, pilkada secara

langsung harus menjamin terselenggaranya pemilihan yang berkualitas dan berjalan

dengan baik.

Pilkada secara langsung merupakan gagasan penting dalam

menggabungkan kearifan lokal dalam masyarakat.Kehadiran pilkada secara

langsung dipandang memiliki sejumlah keunggulan dibanding dengan sistem

pemilihan melalui DPRD. Menurut AA GN Ari Dwipayana, setidaknya ada

beberapa kondisi yang mendukung pemilukadaa dilakukan secara langsung.

Pertama, pengaturan pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan

sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal.

Demokrasi langsung melalui pemilukada akan membuka ruang partisipasi yang

luas bagi warga dalam proses demokrasi dalam menentukan pemimpin di tingkat

lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan

kuasa untuk menentukan rekrutmen calon di tangan segelintir orang di DPRD

(DPRD).53

Kedua, dari sisi kompetisi politik, pilkada secara langsung memungkinkan

munculnya persaingan menarik antar kandidat serta memungkinkan masing-

masing kandidat untuk berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka jika

dibandingkan sistem tertutup melalui DPRD. Pemilukada langsung juga akan


memberikan sejumlah harapan pada upaya pengembalian kedaulatan rakyat kepada

rakyat dan bukan kepada DPRD.54

Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk

menggunakan hak pilihnya untuk memilih tipe pemimpin yang terbaik tanpa ada

intervensi dan tekanan. Setidaknya melalui konsep demokrasi langsung dalam

pemilukada, tiap masyarakat lokal akan mendapatkan kesempatan untuk

memperoleh semacam pendidikan politik, kepemimpinan politik dan sekaligus

mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik

sekaligus memberi legfitimasi politik kepada calon Kepala Daerah dan wakil

Kepala Daerah.55

Keempat, pemilukada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan

figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, dan terbaik sesuai keinginan masyarakat.

Dengan dilaksanakannya pemilukada secara langsung maka Kepala Daerah yang

terpilih akan lebih peduli pada warga dibandingkan anggota DPRD yang memiliki

peran penting saat pemilukada dijalankan secara tidak langsung. Dengan demikian

pemilukada mempunyai sejumlah manfaat berkaitan dengan peningkatan kualitas

tanggung jawab pemerintah daerah pada masyarakat yang pada akhirnya akan

mendekatkan Kepala Daerah dengan masyarakat.

Kelima, Kepala Daerah yang terpilih melalui pemilukada langsung akan

memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan

kekuatan (check and balances) di daerah antara Kepala Daerah dengan DPRD.

Perimbangan kekuatan dalam menjalankan fungsi pemerintahan akan

meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan.56

Berdasarkan catatan sejarah politik, menurut Prihatmoko (2008)

Pemilukada telah dilaksanakan dengan tiga jenis sistem yaitu: 57


1. Sistem penunjukan atau pengangkatan oleh Pemerintah Pusat.

Sistem ini terjadi pada zaman kolonial Belanda dan Jepang, yang didasarkan

pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1902, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948, Penetapan Presiden nomopr 6 Tahun 1959 juncto Penetapan

Presiden Nomor 5 Tahun 1960.

2. Sistem pemilihan perwakilan semu

Sistem perwakilan semu ini didasrkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1965 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

3. Sistem pemilihan perwakilan

Sistem pemilihan perwakilan ini didasarkan kepada Undang-Undang RI Nomor

22 Tahun 1999.

4. Sistem pemilihan secara langsung (Pemilukada)

Sistem pemilihan langsung ini merupakan sistem pemilihan kepala dan wakil

kepala daerah yang sedang dijalankan saat ini. Sistem ini didasarkan kepada

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang

di dalamnya diatur mengenai Pemilukada secara langsung. Mengenai dasar

hukum dan pedoman pelaksanaan pemilihan langsung ini, akan dikemukakan

pada pembahasan lain.

Ketiga sistem pertama disebut di atas, masing-masing memiliki kelemahan-

kelemahan yang bervariasi. Sistem penunjukan atau pengangkatan, sarat dengan

sujektivitas dan diskriminasi yang kental dengan KKN. Akibat penunjukan atau

pengangkatan tersebut, maka para kepala daerah tentu sangat tunduk kepada

Pemerintah Pusat yang mengangkat mereka dan sebagian besar Kepala Daerah

terpilih adalah keluarga Kepala Daerah terdahulu.58

Kelemahan-kelemahan sebagaimana yang terdapat dalam sistem penunjukan


atau pengangkatan di atas, merupakan hal yang wajar, sebab sistem yang

menghendaki demikian. Dengan sistem seperti itu, maka akan mudah diduga bahwa

praktek KKN akan marak terjadi. Sistem itu memberi peluang bagi orang-orang

dekat dengan Pemerintah Pusat, memiliki uang yang banyak dan ada hubungan

kekerabatan dan emosional, tentu memiliki peluang yang sangat besar atau bahkan

dapat dipastikan akan menduduki posisi kekuasaan.

Selanjutnya sistem perwakilan semu, juga memiliki penyimpangan yang

cukup serius dan tidak jauh berbeda dengan sistem sebelumnya. Untuk rekrutmen

pejabat daerah menurut sistem ini, sangat ditentukan oleh pejabat Pusat, khususnya

pejabat Departemen Dalam Negeri dan Markas Besar TNI dan Sekretariat Negara.

Menyimpulkan mengenai kondisi yang cukup memprihatinkan yang terjadi

dalam sistem pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di atas, Joko J. Prihatmoko

mengemukakan sejumlah kelemahan, yang dalam konteks demokrasi termasuk

kategori substansial, yakni:

1. Tiadanya mekanisme pemilihan yang teratur dengan tenggang waktu yang jelas,

kompetitif, jujur dan adil;

2. Sempitnya rotasi kekuasaan sehingga Kepala Daerah dipegang terus menerus

oleh seseorang atau keluarganya atau dari partai tertentu;

3. Tiadanya rekrutmen secara terbuka yang menutup ruang kompetisi sehingga tak

semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang yang sama;

4. Lemahnya akuntabilitas publik sehingga apa yang dilakukan sebagai pribadi dan

pejabat publik tidak jelas.59


SUMBER-SEMBER
1
Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung, Pustaka Pelajar, Semarang, 2005 Hal. 37
2
J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegaiatan, Kekuasaan, dan Perilaku
Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daearh), Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Hal.25
3
Ibid

4
Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit Hal. 40
9
Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 42

10
Makna dekonsentrasi dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
11
Ibid
12
Joko J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 45

13
Ketiga era ini didasarkan pada era yang pernah berlangsung di Indonesia setelah masa
pendudukan zaman Belanda dan zaman Jepang.

14
Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah
15
Lihat bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan
Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah
16
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah

17
Joko. J. Prihatmoko, Op.Cit, Hal. 47

18
Undang-UndangNomor22 tahun 1948 ini terdapat dalam Lembaran Negara .. Tambahan
Negara
19
J.Kaloh, Op.Cit,Hal. 32
20
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
21
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1143)

22
Joko.J. Prihatmoko, Op.Cit,Hal 51

23
Lihat pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
24
Lihat pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
25
J.Kaloh, Op.Cit, Hal.33

26
1965 tentang Pokok-Undang-Undang Nomor8 tahun Pokok Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2778)
27
Ibid
28
Ibid

29
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah (
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3037)

30
Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamik, dan Konsep Mendatang,(Jakarta: Raja
Grafindo persada, 2011), hal.16
31
Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah
32
Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah
33
Ibid

78
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839)

80
Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
81
Ibid, Pasal 34 ayat 2
82
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437)

38
Pasal 24 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

39
Pasal 56 ayat 1Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
40
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587)

41
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
42
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bagian
Penjelasan Umum angka 4”Pemerintahan Daerah”

43
Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
44
Ibid, Pasal 56 ayat (2)
45
Pilkada secara langsung dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sesuai Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 233 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya
pada tahun 2004 sampai bulan Juni 2005 diselenggarakan pilkada secara langsung
sebagaimana maksud dalam undang-undang ini pada bulan Juni 2005.

46
Lihat lebih lanjut dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 pada
hal.61

47
Ibid Lihat pasal dalam UU 12 tahun 2008
48
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4721)
49
Makna pemilukada dapat ditemui definisinya di dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu pasal 1 angka 4.
Pasal 1 angka 4 undang-undang tersebut memberikan makna pemilukada dan wakil
kepala daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

50
Laica Marzuki dalam petikan putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004, hal. 116

51
Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamik, dan Konsep Mendatang,(Jakarta: Raja
Grafindo persada, 2011), hal.37

52
M. Ma’ruf dalam Syamsul Wahidin, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi
Pemilihan Umum Kepala Daerah, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008) Hal.138

53
AA GN Ari Dwipayana, Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah, dimuat pada http:
//www.plod.ugm.ac.id/makalah. Diakses pada 24 Juni 2020.
54
Ibid
55
Ibid.
56
Ibid.
57-59
Joko J. Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem Sampai Elemen Teknis
(Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008).

Anda mungkin juga menyukai