Pergulatan Kaum Muslim Minoritas Australia Islam Versus Multikulturalisme Dan Sekularisme PDF
Pergulatan Kaum Muslim Minoritas Australia Islam Versus Multikulturalisme Dan Sekularisme PDF
PERGULATA
KAUM MUSLIM MINORITAS
AUSTRALIA
1'>1 "'I \ Easl~ \llIIIKUIIURALlSME DAN SEKULARISME
PERGULATAN KAUM MUSLIM MINORITAS AUSTRALIA
Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme
Oleh
Dr. M. Amin Nurdin, MA.
USHUL PRESS
Perpustakaan Nasional Katalog dalam terbitan (KDT)
Nurdin, Amin, 2009
Pegulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan
Sekularisme/
M. Amin Nurdin
Jakarta: Ushul Press, 2009
X, 260 hlm, 14x21 cm
ISBN : 978-602-8700-91-6
M. Amin Nurdin
Pergulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme
KATA PENGANTAR
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil penelitian penulis untuk
mengambil gelar doktor di Sekolah Pascasarjana Univeersitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullaj Jakarta. Penelitian ini membahas kehidupan beragama dalam
masyarakat Australia, yang pada mulanya ide itu muncul secara tidak sengaja dari
obrolan penulis dengan Dr Lea Jellineck dan Mr Hugh O’Neal – keduanya dosen di
Universitas Melbourne, dalam suatu undangan makan siang di rumah Hugh O’Neal,
di tengah kota Melbourne. Ketika mendengar rencana penulis tentang tema penelitian
disertasi yang membahas kehidupan beragama di Indonesia, kedua Indonesianist ini
menyarankan penulis untuk meneliti posisi agama di tengah masyarakat Australia
yang multikultural, karena sangat terbatasnya literatur yang membahas hal ity. Tanpa
disadari mereka berdua, topik diskusi tersebut ternyata telah menginspirasi penulis
dan mewujudkannya menjadi sebuah penelitian disertasi. Karena itu, penulis merasa
perlu mengucapja terima kasih kepada keduanya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada alm. Prof.Dr.Harun Nasution,
ketika itu menjabat Direktur Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN –
sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta – yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di lembaga yang dipimpinnya.
Ucapan terima kasih juga kepada Departemen Agama R>I, yang telah memberikan
beasiswa sejak Program S2 hingga S3. Begitu pula kepada Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, saat itu dijabat Prof.Dr.Azyumardi Azra, MA, yang telah
memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian
ini, sekaligus menjadi pembimbing disertasi bersama Prof.Dr.M.Bambang Pranowo.
Terima kasih kepada beliau berdua, yang telah bersedia meluangkan waktu, dan
membagi ilmu kepada penulis selama proses pembimbingab penulisan disertasi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada senior penulis, Fachry Ali, yang telah
membantu selama proses penelitian dalam bentuk meminjamkan buku-buku yang
diperlukan dan memberikan koreksi-koreksi yang sangat berguna dalam penulisan
disertasi. Tanpa disadari, beliau telah ikut pula menjadi pembimbing penulis, selain
VI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan dan Batasan Masalah 16
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 17
D. Kajian Pustaka 18
D. Metodologi Penelitian 25
F. Organisasi Penelitian 27
BAB V: KESIMPULAN/PENUTUP
A. Kesimpulan 201
B. Saran saran 214
BAB I
PENDAHULUAN
1
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, Islamic Council of Victoria,
Melbourne, 2002, h. 5.
2
2
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L, Jones
(ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, Law Printer, Melbourne,
3
diri. Hampir semua aktifitas keagamaan dan sosial ummat Islam Australia
dikendalikan dari rumah Tuhan ini. Kemajuan Islam di Australia sebangun dan
identik dengan mudahnya diketemukan berpuluh-puluh mesjid yang didirikan di
berbagai kota, khususnya di New South Wales dan Victoria. Dukungan pemerintah
terhadap pendirian mesjid sangat kondusif. Hal ini dapat dilihat ketika peresmian
mesjid terbesar di Preston, Victoria, disaksikan oleh wakil pribadi Perdana Menteri
Malcolm Fraser dan Archbishop Roma Katholik Roma Melbourne.3
Upaya memayungi berbagai etnis muslim oleh berbagai pemimpin kelompok
komunitas telah pula melahirkan berbagai organisasi, mulai dari tingkat negara bagian
sampai negara federal. Pada tingkat federal ada Dewan Federasi Islam Australia (The
Australian Federation of Islamic Councils/AFIC) dan tingkat negara bagian, yang
berfungsi sebagai representasi komunitas muslim di tingkat pemerintahan, seperti The
Islamic Council of Victoria. AFIC merupakan organisasi yang mewakili suara
komunitas muslim di tingkat negara federal, di samping berfungsi membantu
pendanaan dan memfasilitasi berbagai kebutuhan umat Islam Australia. Organisasi ini
dibiayai oleh dukungan masyarakat lokal, negara-negara muslim penghasil minyak,
dan hasil dari penerbitan sertifikat halal.
Konsekuensi imigrasi bagi masyarakat Australia dan kaum pendatang muslim
(dan migran pada umumnya) terletak di luar batas demografis semata, tetapi juga
berkait dengan dimensi-dimensi sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi. Hal ini
dapat dilihat bagaimana respon masyarakat Australia terhadap kaum Muslim dan
sebaliknya, bagaimana respon kaum merekai untuk beradaptasi dan berintegrasi di
dalam rumah mereka yang baru. Respon masyarakat Australia tercitrakan dalam
pemberian streotype terhadap masyarakat Muslim sebagai sekte minoritas dengan
segala konotasi yang menggambarkan ketiadaan sejarah atau peradaban dan potensial
menjadi anggota komplotan konspirasi internasional yang berbahaya. Sebagian
‘image’ memang disadari atau tidak terbentuk oleh dominasi media yang memihak
dan peristiwa-peristiwa politik dan berdarah internasional lainnya yang dikait-kaitkan
h. 52.
3
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, Altamira Press, New
York, 2002, h. 211.
4
langsung dengan umat Islam Australia. Akibatnya, mereka menuai prasangka dan
tindakan diskriminatif dalam bentuk penolakan, isolasi, dan kebencian.
Respon kelompok Muslim yang berinteraksi dengan masyarakat Australia
mengalami ‘kegagapan’ ketika sederet kekayaan budaya dan pluralisme latar
belakang mereka berbeda dengan lingkungan mereka yang baru. Banyak dari mereka
merasa tercerabut dan mengalami trauma saat menemukan diri mereka sebagai sebuah
minoritas agama dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai budaya yang berbeda.
Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakaan
respon yang sering terjadi dan bisa dipahami dapat menghambat proses adaptasi dan
pembauran di tengah masyarakat Australia. Hal ini terlihat dari orientasi kontak sosial
cenderung yang kepada etnik dengan segala pernik-pernik budayanya.
Respon lain kelompok Muslim adalah terbawanya pemikiran mereka yang
konservatif terhadap nilai-nilai demokrasi, kesetaraan jender, dan praktek keagamaan.
Hal ini bisa dipahami, karena latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang
masih rendah ketika mereka baru datang ke negara yang ‘asing’ ini. Corak pemikiran
yang konservatif tersebut terlihat pada penolakan terhadap proses modernitas dan
menuntut idealisasi ideologi politik Islam dan sistem pengadilan syariat yang secara
de jure dan de facto bertentangan dengan ideologi multikulturalisme Australia.4
Kondisi ini menimbulkan citra bahwa komunitas Muslim sulit menyesuaikan diri
sehingga dicap sebagai salah satu biang keladi potensial konflik sosial masyarakat
Australia. Karena itu, masyarakat Australia menganggap keberadaan kelompok
Muslim di Australia sebagai salah satu faktor keberhasilan atau kegagalan penerapan
ideologi Multikulturalisme dalam membentuk sebuah identitas nasional Australia
yang kohesif dan integratif.
Namun dalam proses adaptasi dan integrasi kelompok Muslim dalam arus
masyarakat Australia pada masa-masa berikutnya mengalami perubahan yang
signifikan sehingga membuka ruang baru pula terhadap penafsiran agama. Perubahan
sikap tersebut memunculkan sepenggal cahaya dan optimisme terhadap masa depan
4
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211.
5
Islam Australia untuk bisa beradaptasi dan kemudian berintegrasi dengan masyarakat
dan negara Australia. Pemerintah Australia sendiri memiliki komitmen untuk
menciptakan ‘sense of belonging’ dan penciptaan pengertian agama secara timbal
balik. Hal ini antara lain dilanjutkan dengan pendirian the World Conference on
Religion and Peace (WCRPA), yang merintis peran pendorong dan dukungan
terhadap kelompok imigran baru dengan berbagai dialog dan pertemuan lintas
agama.5
Persoalan lain yang dihadapi Komunitas Muslim adalah belum terbentuknya
satu kesatuan komunitas etnis Islam yang kuat sebagai sebuah ummah, tetapi masih
terfragmentasi dalam berbagai etnis. Faktor kesetiaan etnis masih tetap dipelihara
sehingga interaksi sosial di antara mereka sangat terbatas. Etnis Turki, Libanon, dan
Albania sangat menonjol bagaikan sebuah festival lansekap Islam Australia, yang
masih berjalan sendiri-sendiri. Mungkin dapat dimengerti, fragmentasi etnis Muslim
ini pada dasarnya merupakan sebuah konsekuensi yang tidak dapat terelakkan bagi
psikologi masyarakat yang menempati ‘rumah baru’ yang masih asing.
Faktor fragmentasi dalam etnis Islam dan adaptasi dengan nilai-nilai
hegemoni masyarakat Australia di atas, telah memunuculkan persoalan integrasi dan
kohesi sosial dalam masyarakat Australia. Secara faktual, kaum Muslim di Australia
merupakan representasi hubungan sosial dengan masyarakat Australia pada
umumnya, karena mereka menempati posisi ketiga jumlah penganut agama setelah
agama Budha (lebih 1,5%= k.l. 300.000 orang) setelah agama Kristen yang menjadi
penganut mayoritas.
Persoalan-persoalan yang dihadapi para migran direspon pemerintah Australia
dengan cara menetapkan multikulturalisme sebagai kebijakan dan penerapan dalam
mengatur anggota masyarakatnya agar tercipta suatu masyarakat yang harmonis dan
terhindar dari berbagai konflik kepentingan. Multikulturalisme6 yang diterapkan
Pemerintah Australia sudah menjadi istilah yang secara luas diterima masyarakat
5
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211.
6
Multikulturalisme berasal dari kata multi (jamak), kultur, dan isme (paham). ‘Multikultural’
adalah kata sifat yang merujuk pada fakta keragaman, sementara "multikulturalisme" menunjuk pada
sikap normatif atas fakta keragaman itu. Diolah dari Bruce Moore (ed.), The Australian Concise Oxford
Dictionary, Oxford University Press, Melbourne, 1997, h. 878.
6
kontemporer sebagai konsep sosial yang ideal dalam ideologi negara ‘Dunia Baru’
vis-a-vis ‘Dunia Lama’ yang bersifat konservatif, rasis, dan fasis. Secara historis,
multikulturalisme merupakan fenomena baru yang muncul seiring dengan
mengalirnya para imigran dari ‘Dunia Timur’ ke negara-negara Barat terutama setelah
Perang Dunia II dan meningkat pada tahun 1960-an. Imigrasi ini pada gilirannya
berakibat kepada perubahan komposisi demografis baik secara etnik, sosial, dan
budaya. Sejalan dengan munculnya problems of migrant yang merupakan akibat
langsung dari adanya perbedaan budaya yang dibawa dari negara asal dengan prinsip-
prinsip nilai yang berkembang dalam kebudayaan negara yang didatangi.7 Era baru ini
menandai munculnya sebuah politik kebudayaan baru dalam menghadapi perbedaan.
7
Joseph H. Carens and Melissa S. Williams, ‘Muslim Minorities in Liberal Democracies: The
Politics of Misrecognition’, dalam Reiner Baubock, et al (eds.), The Challenge of Diversity: Integration
and Pluralism in Societies of Immigration, Avebury, Vermont, 1996, h. 157.
8
Jean I. Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, George Allen &Unwin,
Sydney, 1978, h. 207. Lihat juga James Jupp, ‘One among Many”, dalam David Goodman, et al,
7
Multicultural Australia: The Challenges of Change, Scribe and the University of Melbourne, Victoria,
1991, h. 124.
9
Ellie Vasta, ‘Multiculturalism and Ethnic Identity: Relationship between Racism and
Resistance’, dalam Australian and New Zealand Journal of Sociology, no.2, August 1993, h. 209-210.
10
Menurut West, Collins, dan Lemert, multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari
posmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan yang mengambil ide dari gagasan
posmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka.
Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya
dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari
titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternatif yang secara
fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme merayakan perbedaan
sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas
mereka tentang pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal
kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai
mengubah struktur sosial secara keseluruhan.
Teori sosial kritis, menurut Ben Agger, adalah menjelaskan kesadaran untuk melakukan
perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak
individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama.
Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri.
Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada
keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus di akui.
Lebih luas lagi, pluraisme adalah sebuah faham tentang pluraitas, demikian definisi yang disampaikan
oleh Richard J.Mouw dan Sander Griffon. Pengertian seperti ini, menurut mereka, akan lebih bermakna
ketika seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai
banyaknya perbedaan itu. Diakses dari www.huttaqi/universal communication.
8
secara bergantian.11 Namun dalam pembahasan penelitian ini, lebih banyak merujuk
kepada terma terakhir.
Begitu pula pengertian tentang ‘ideologi’ yang terdapat dalam multikultural
adalah sebuah konsep yang dapat dibagi dalam 2 kategori: Netral dan kritik. Netral
berorietansi pada ‘pandangan dunia’ (world views) atau sistem kepercayaan (system of
belief). Kritik dalam artian bagaimana ideologi itu dikonseptualisasikan dalam
memelihara sebuah sistem dominasi atau tradisi (Marx). Edward Shils
mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide, sikap, dan kepercayaan yang
sistematis mengenai manusia, negara, masyarakat, dan bentuk ideal dari suatu
masyarakat yang diingin-kan.12 Dalam pembahasan materi multikulturalisme lebih
ditekankan kepada aspek ‘netral’ daripada ‘kritis’.
Pengertian multikulturalisme sebagai ideologi di Australia merupakan model
yang dianggap paling cocok dalam mengatur hubungan antar etnis dan bangsa yang
berjumlah 170-an dan dasar rujukan peraturan-peraturan pemerintah Australia dalam
mengambil kebijakan. Dimensi-dimensi multikulturalisme tidak hanya berkait
dengan masalah toleransi, tetapi juga penerimaan dengan baik budaya lain sebagai
sesuatu yang mempunyai nilai yang sama untuk dikembangkan masyarakat itu sendiri.
Hal ini terlihat pada tujuan multikulturalisme, yaitu pertama, perekat sosial (social
cohesion), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan berbagai
cara guna mencapai kebutuhan bersama; kedua, identitas budaya (cultural identity),
yaitu hak masyarakat dijamin dan diperbolehkan untuk mengekspresikan dan
mewarisi budaya masing-masing, termasuk bahasa dan agama; ketiga, persamaan
kesempatan dan akses (equality and acces) di mana masyarakat diberi kesempatan
dan akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan pekerjaan;
keempat, rasa tanggungjawab (equal responsbility), komitmen dan partisipasi yang
sama (commitment and participation) yang mensyaratkan kelompok minoritas setia
11
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975,
MelbourneUniversity Press, Melbourne, 2000, h. 3.
12
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 3.
9
kepada negara melalui rasa tanggungjawab dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat
dan berpegang teguh kepada ideologi multikultural.13
Apakah multikulturalisme dapat menjadi model alternatif dalam membangun
masa depan bangsa? Masalah ini menimbulkan dua pendapat yang dapat dilihat dari
sisi negatif dan positif. Pandangan yang negatif mengatakan bahwa multikulturalisme
dan etnisitas merupakan suatu ancaman bagi bangsa dan way of life Barat. Pendapat
sebaliknya mengatakan, ideologi multikulturalisme dan etnisitas mampu memecahkan
masalah hak-hak sosial, politik, dan ekonomi kelompok minoritas. Namun dalam
kenyataannya, pendapat negatif yang datang dari kelompok konservatif tidak
mendapat dukungan masyarakat pada umumnya.
Berangkat dari pengalaman negara-negara yang sudah menjadikan
multikulturalisme sebagai ideologi, seperti Australia dan Canada yang penduduknya
bersifat multi-etnis dan bangsa terlihat mampu meredam ketegangan-ketegangan dan
kekerasan-kekerasan dalam bentuk konflik budaya dan agama, termasuk terorisme
serta radikalisme. Kedua negara ini, khususnya Australia banyak dijadikan model
multikulturalisme di banyak negara dunia dalam membangun suatu kesatuan sosial
(social integration) dan kohesi sosial (social cohesiveness) hingga saat ini.
Sejak tahun 1975, multikulturalisme telah menjadi ideologi negara dan
menjadi babak baru sejarah Australia dalam menapak jalan kenegaraan dan
kebangsaan di masa berikutnya. Ini merupakan sebuah usaha domestikasi komunitas-
komunitas sosial etnik14 yang bertaburan dan fluktuatif serta rawan konflik. Babak
baru dimulai setelah berbagai usaha dilakukan negara sebelumnya di dalam menerima
kehadiran para migran15.
13
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, Australian Government Publishing Service,
Canberra, 1989, h. 37.
14
Terma etnik merujuk pada individu atau kelompok minoritas yang bukan latar belakang Anglo-
Saxon-British, warganegara, dan bukan dari suku Aborigin. Lihat Jean I. Martin, The Migrant
Presence: Australian Responses 1947-1977, h. 15.
15
Terma migran merujuk pada individu atau kelompok minoritas/imigran, lahir di luar Australia
dan bukan warganegara, pendatang baru dan penetap permanen (permanent residents). Lihat Jean I.
Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, h. 15.
10
Kebijakan ini adalah suatu usaha rekayasa sosial politik (social engeneering)
dalam kerangka meredam ketegangan dan kekerasan dalam bentuk konflik budaya,
terorisme, dan radikalisme. Dalam realitas sosial ini, terlihat kecilnya kemungkinan
konflik etnis sosial, budaya, dan agama yang selama ini terjadi Australia.
D. Kajian Pustaka
Pada umumnya penelitian tentang agama-agama, khususnya Islam dan
kelompok Muslim di Australia masih sangat terbatas. Namun sejak tahun 1995, isu
tentang Islam mulai menarik perhatian masyarakat Australia seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk Muslim dan tumbuhnya keingintahuan mereka
tentang Islam itu sendiri. Di samping itu, peristiwa-peristiwa internasional yang
secara tidak langsung berkaitan dengan citra Islam di Australia. Penelitian-penelitian
12
tersebut tidak hanya dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim Australia, tetapi juga dari
kalangan sarjana non-Muslim yang bekerja di lembaga pemerintahan dan di berbagai
lembaga penelitian perguruan tinggi, seperti Universitas Monash dan Universitas
Melbourne. Jumlah kajian penelitian tentang Islam semakin meningkat ketika
terjadinya peristiwa penyerangan pusat ekonomi dan keamanan Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001 dan diikuti tragedi bom Bali dua tahun berikutnya, yang
memakan korban sebagian besar turis asal Australia.
Isu-isu yang diteliti sebagian besar masih berkaitan dengan pengenalan tentang
ajaran Islam, sejarah kedatangan, dan profil umat Islam, yang ditujukan kepada
masyarakat luas Australia, khususnya masyarakat kulit putih. Isu lain yang juga
diteliti adalah berbagai persoalan yang dihadapi kelompok migran Muslim sebagai
etnik minoritas dalam beradaptasi dengan rumah mereka yang baru baik dari aspek
pemukiman, kesejahteraan, dan pendidikan maupun implikasi ideologi
multikulturalisme sebagai kebijakan politik Australia terhadap umat Islam di
Australia.
Salah satu isu penting dan krusial dalam perjalanan sejarah politik Australia
adalah ideologi multikulturalisme. Ideologi ini bertujuan untuk menciptakan suatu
identitas nasional yang menekankan kehidupan yang harmonis dalam jangka panjang,
yang tidak hanya memperkaya modal sosial masyarakat Australia, tetapi juga solusi
menghadapi tantangan-tantangan dari berbagai kelompok etnik dan agama bagi masa
depan negara Australia.
Sejauh pengamatan peneliti, tantangan dari kelompok etnik Muslim di tengah
multikulturalisme Australia, baru diteliti oleh seorang sarjana Muslim bernama
Begum Zubaida pada tahun 1981 atau 24 tahun lalu dalam disertasinya berjudul
‘Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria’ di
Monash University. Dalam disertasinya, ia mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi
masyarakat Islam di kota Melbourne tentang masa depan pendidikan Islam anak-anak
mereka yang multikultural akibat diberlakukannya ideologi tersebut.16
16
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
unpublished dissertation, Monash University, Melbourne, 1984, h. 235-236..
13
Menurut hasil penelitiannya ketika itu, ada dua pandangan masyarakat Islam
yang berbeda terhadap pemberlakuan ideologi multikulturalisme tersebut, yaitu
Kelompok Konservatif dan Moderat. Kelompok Konservatif menganggap ideologi
Islam yang selama ini menjadi dasar pemikiran mereka bertentangan dengan ideologi
multikulturalisme yang sekuler. Kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan
ideologi politik yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan menuntut
diberlakukannya negara Islam serta pemberlakuan sistem syariat Islam di Australia
bagi warganya yang beragama Islam. Secara teologis, Islam bukan hanya sebagai
seperangkat doktrin, tetapi juga mencakup kebudayaan dan politik yang harus
dipatuhi di manapun mereka bertempat tinggal. Hal ini bertentangan dengan ideologi
multikulturalisme yang bersumber dari pemikiran politik fillsafat kemanusiaan yang
bersifat sekuler yang mengatur bagaimana mengatur toleransi dan harmoni dalam
kehidupan masyarakat yang plural.
Menurut Begum Zubaida, konflik dua ideologi tersebut terlihat dalam empat
prinsip dan penerapan ideologi multikulturalisme Australia, yaitu perekat sosial,
identitas kultural, kesempatan dan akses yang sama, dan tangggung jawab dan
komitmen dan partisipasi yang sama. Pertama, prinsip pertama yang tercantum dalam
the Australian Council on Population and Ethnic Affairs, menyatakan,
...in the public arena, as distinct from the essentially private domain
of the family and religious belief, there cab be only one recognigsed
legal code...To allow each cultural group freedom to develop its
own legal codes, political institutions and practices would threaten
the existence of Australia as a cohesive nation.17
17
The Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for All Australians:
Our Develoving Nationhood, Australian Govertment Publishing, 1982, h. 16.
14
multikulturalisme, yang tidak menyediakan ruang hukum syariat Islam dalam sistem
hukum positif Australia. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip ideologi Islam.
Kedua, identitas budaya. Prinsip ini tercantum dalam the Australian Council
on Population and Ethnic Affairs, yang memuat::
The aim should be to achieve a society in which all people have the
freedom to express their cultural identity...A core of moral and
cultural values, based on the central institutions of society, will
continue to place limits on what is acceptable behaviour for all
members of society.18
18
The Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for All Australians:
Our Develoving Nationhood, 1982, h. 17.
15
kesempatan dan akses tersebut, karena rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya
kemampuan bahasa Inggris. Begitu pula kedudukan wanita (kesetaraan jender)
mempunyai pandangan yang berbeda dengan ideologi Islam. Kelompok ideologi
Islam ini berpendapat bahwa kedudukan pria dianggap lebih tinggi dari perempuan,
karena peran mereka sebagai kepala rumah tangga.
Keempat, tanggungjawab dan komitmen serta partisipasi yang sama. Dalam
aspek ini, kelompok minoritas dituntut kesetiaan untuk membela negara Australia.
Kesetiaan ini diperlihatkan dalam bentuk tanggung-jawab bsersama dan aktif
berpartisipasi dalam kegiatan komunitas dan tetap memegang teguh komitmen
terhadap ideologi multikulturalisme. Dalam konteks ini, kelompok Muslim
mempunyai komitmen kepada ideologi Islam daripada multikulturalisme Australia.
Karena itu, kaum Muslim Australia hidup dalam dua ideologi yang saling
bertentangan dan hal ini berakibat terhadap pemeliharaan warisan kultural.
Dampak dari implikasi penerapan multikulturalisme Pemerintah Australia
terhadap pendidikan multikultural di sekolah-sekolah Islam tidak bisa diterima oleh
kelompok Islam konservatif, karena mereka tetap berkiblat kepada ideologi Islam,
termasuk mempertahankan guru-guru Islam –meskipun tidak memiliki skill— dan
penolakan buku-buku pelajaran multikultural yang memuat gambar binatang babi. Hal
ini berbeda dengan kelompok moderat yang secara selektif setuju dengan ideologi
tersebut di atas. Perbedaan pandangan kedua kelompok ini terjadi karena latar
belakang sosial, etnis, pendidikan sehingga melahirkan penafsiran yang berbeda pula
terhadap Islam itu sendiri.
Sejalan dengan pendekatan teoritis Begum Zubaida yang menggunakan
ideologi sebagai alat analisis dalam memahami kaum Muslim di Australia. Michael
Humphrey, seorang peneliti Islam dan Multikulturalisme di Australia juga
berpendapat yang sama. Dalam karyanya ‘Is this a Mosque-Free Zone? Islam and
State in Australia’19 dan ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’’20,
19
Michael Humphrey, ‘Is this a Mosque-Free Zone? Islam and State in Australia’, Migration
Monitor, vol. 12, Januari, h. 12-17.
20
Michael Humphrey, ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’, dalam Abdullah
Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, UNSW Press, Sydney,
2003, h.33-52.
16
menyatakan bahwa kehadiran Islam di Australia sebagai kasus percobaan (as a test)
keberhasilan dan kegagalan bagi masa depan sebuah negara sekuler yang
multikultural.
Menurut hasil penelitiannya, formulasi ‘Islam di Barat’ menggambarkan
pertemuan dua kebudayaan yang tidak cocok, karena yang satu agamis dan lainnya
sekuler. Karena itu keberadaan Islam di Australia dianggapnya sebagai sebuah
masalah bagi ‘multikulturalisme’ Australia. Ketidak-cocokan (incompatibality)
tersebut bermuara pada resistensi kultural permanen kelompok Muslim terhadap
proses-proses dominan modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, sekularisasi, dan
kesetaraan gender.
Sebagian pendapat serupa juga ditemukan dalam disertasi Dedi Mulyana
berjudul ‘Twenty Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction
and Transformation of Ethnic Identity’ di Monash University, tahun 1995.
Menurutnya, sebagian kecil etnik Islam yang berasal
Indonesia masih terikat kepada loyalitas Islam sebagai ideologi sehingga kehadiran
mereka tetap dicurigai sebagai faktor disintegratif terhadap identitas nasional
Australia.21
Teori lain yang lebih baru diajukan oleh Abdullah Saeed dalam bukunya
‘Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions’22 di tahun 2004,
secara tidak langsung menolak tesis Zubaida Begum tentang adanya pertentangan dua
ideolologi dalam kelompok Muslim Australia dan teori resistensi budaya Michael
Humphrey. Dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat perubahan besar sikap
kelompok Muslim Australia terhadap multikultulturalisme Australia. Dalam pencarian
jati diri mereka, ideologi politik Islam tidak lagi merupakan faktor yang signifikan
dan harus dicurigai sebagai warganegara penuh Australia. Kelompok ini dalam proses
adaptasi dan berintegrasi dalam masyarakat Australia untuk mewujudkan identitas
nasional Australia. Saeed berpendapat bahwa faktor ideologi multikulturalisme
21
Dedi Mulyana, Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and
Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne, 1995, h.
263-270.
22
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions’ Departement of
Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in
Assotiation with The University of Melbourne, 2004, h. 61-74.
17
23
Gary D. Bouma, et al (eds.), ‘Muslims Managing Religious Diversity’, dalam Abdullah Saeed
and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, , h.53-62.
24
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia di
seminar Kongres Budaya Indonesia, h. 2. Lihat www.kongresbud.budpar.go.id. Diakses 27/12/2006.
18
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi yang membahas interaksi
antara berbagai struktur, nilai-nilai, dan mobilitas kelompok minoritas migran Muslim
dan masyarakat Australia yang mempunyai tatanan nilai-nilai, norma-norma yang
sudah mapan dalam membentuk suatu masyarakat yang harmonis.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu dengan membaca dan menelaah buku-buku dan media cetak dan
elektronik yang ada hubungannnya dengan pembahasan. Di samping itu juga
digunakan penelitian lapangan (field research), yaitu mengamati langsung ke objek
25
Robert Crotty, ‘Multiculturalism and Religious Pluralism: Interaction and Overlap’, dalam
Norman C. Habel (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, Australian Association for the
Study of Religious (AARS), Adelaide, 1992, h. 31.
19
penelitian untuk memperoleh data primer. Teknik pengumpulan data yang dipakai
dalam penelitian lapangan adalah obeservasi (pengamatan) dan wawancara. Observasi
adalah pencatatan secara sistermatik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.
Observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian
untuk mendapatkan data yang berlangsung sejak bulan Oktober 2008 sampai akhir
tahun 1999.
Penelitian kepustakaan bersumber dari dua data, yaitu primer dan sekunder.
Data primer yang menjadi rujukan penulis, antara lain seperti yang telah disebutkan
dalam kajian pustaka, sedangkan kajian tentang multikulturalisme Australia adalah
The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945-1975 karya Mark Lopez,
buku Theophanous yang berjudul Understanding Multiculturalism and Australian
Identity. Begitu pula dua buku, yaitu Towards a National Agenda for a Multicultural
Australia: A Discussion Paper dan buku National Agenda for a Multikultural
Australia: Sharing Our Future, yang diterbitkan Pemerintah Australia mengenai
kebijakan Multikulturalisme Australia dan program-programnya.
Penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh pemimpin agama
Islam yang tergabung dalam AFIC dan kelompok organisasi lainnya, para refugee,
dan kelompok masyarakat Yahudi Australia. Wawancara ini bertujuan untuk
mengetahui langsung aspirasi, dinamika dan perkembangan komunitas Islam di
Australia.
Adapun sumber data sekunder, penulis merujuk pada buku-buku dan tulisan-
tulisan dalam bentuk jurnal, majalah, surat kabar, dan akses media elektronik yang
membahas pokok kajian tentang perkembangan dan kemajuan Islam di Australia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah sebuah proses mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi
informasi untuk menjawab pertanyaan penelitian agar dapat memberi gambaran
tentang situasi, fenomena, masalah atau suatu kejadian. Informasi tersebut
dikumpulkan dengan menggunakan berbagai variabel yang diukur dalam skala
nominal atau ordinal (skala pengukuran kualiatif) dan analisis dilakukan untuk
26
Thung Ju Lan, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya,
Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002, h. 56-57.
20
27
Ranjit Kumar, Research Methodology: A Step by-Step Guide for Beginners, Longman, London,
1996, h. 2,7,8.
28
Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, Sage Publications, Beverly Hills,
London, 1985, h. 67.
21
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antar fenomena. Data yang telah
dideskripsikan diolah dan diinterpretasikan dengan menggunakan metode analitis dan
teori cultural hybridity (kesadaran ganda atau lebih) untuk menjawab pertanyaan
penelitian.
F. Organisasi Penelitian
Organisasi penelitian ini terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama
mencakup gambaran singkat tentang sejarah berdirinya negara Australia dan asal-usul
multikulturalisme hingga diterima sebagai kebijakan ideologi negara Australia. Pada
bagian ini dibahas proses pergantian ideologi assimilassi yang bersifat monokultural
menjadi ideologi multikultural.
Bagian kedua menggambar secara historis fase-fase kedatangan dan
keberadaan kaum Muslim di Australia. Dalam bagian ini juga dibahas interaksi sosial
umat Islam dengan masyarakat Australia dan sebaliknya persepsi masyarakat
Australia terhadap komunitas Islam di Australia.
Bagian ketiga membahas dinamika kelompok minoritas Muslim Australia di
tengan pergumulannya dengan tempat mereka yang baru dari segi kepemimpinan,
ekonomi, dan pendidikan.
Bagian keempat memuat pemahaman dan penghayatan kelompok Muslim
Australia terhadap agamanya yang dipresentasikan dalam dunia simbol dalam
interaksinya dengan multikulturalisme. Di sini juga dibahas pendekatan kaum Muslim
Australia agar bisa beradaptasi dan ‘survive’ di Australia.
29
Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, h. 25.
22
BAB II
MASYARAKAT AUSTRALIA
DAN IDEOLOGI MULTIKULTURALISME
30
Oswald L. Ziegler, ‘Commonwealth of Australia’, dalam Oswald L. Ziegler, (ed.), the World
and South East Asia, Oswald Ziegler Enterprises, Sydney, 1973, h. 148
23
Mendahului tahun-tahun kolonisasi ada banyak legenda dan spekulasi. Kaum Kaldea,
kaum Arab, dan kaum China semua dianggap memiliki pengetahuan tentang Australia
dan orang Portugis juga telah melihat bagian dari pantai ini sebelum tahun 1542.
Orang Spanyol dinyatakan sebagai pengunjung dan orang Belanda telah membuat
banyak perjalanan tercatat yang membawa mereka ke pantai benua ini, Kontak
pertama dengan orang Inggris dilakukan oleh William Dampier di tahun 1688 ketika
kapalnya Cygnet melempar jangkar di tepian barat laut dekat pelabuhan Derby
sekarang.31
Australia hari ini adalah sebuah pulau benua seluas hampir 3 juta mil persegi,
hampir sama dengan luas negara Amerika Serikat. Populasinya yang relatif kecil
berjumlah lebih 19 juta orang, yang telah didiami masyarakat yang beradab dan
umumnya berasal dari orang Eropa selama lebih kurang dari 200 tahun lalu. Australia
adalah benua yang paling kering, tidak punya gunung besar dan sistem sungai seperti
di tempat lain. Bagiannya yang lebih subur ada di sektor-sektor yang secara
perbandingan kecil dan di sini tumpukan penduduk terkonsentrasi, sebagian besar di
sudut tenggara.
Riwayat Australia yang modern dimulai tanggal 23 Agustus 1770, ketika
Kapten James Cook, R.N., seorang pelaut Inggris, mengambil alih ‘ atas nama Yang
Mulia Raja George II’ dari apa yang sekarang menjadi bagian timur New South Wales
dan Queensland, dan menambah lagi teritori lain pada kerajaan inggris Raya
(sekarang Negara-Negara Persemakmuran Inggris). Ulang tahun ke- 200 diperingati
di Australia tahun 1970 dengan dihadiri Yang Mulia Ratu Elizabeth II, H.R.H.
Pangeran Philip, Duke of Edinburgh, H./R.H. Pangeran Wales dan Puteri Anne. New
South Wales, pada khususnya, membua nya sebuah peristiwa yang mengesankan.
Setelah Cook berlayar ke bagian lain Australia, mulailah berlaku aneksasi. Ia
tidak bermaksud berlayar ke benua itu untuk menjajahnya (mengkolonisasi); ia tengah
dalam perjalanan pulang ke Inggris dari Tahiti di mana ia tadinya dikirim untuk
melakukan sebuah observasi astoromis. Ia berlabuh di Teluk Botany (Botany Bay) –
31
Manning Clark, A Short History of Australia, A Mentor Book, New York, 1969, h. 13.
24
32
Manning Clark, A Short History of Australia, h. 28.
33
Oswald L. Ziegler, ‘Commonwealth of Australia’, dalam Oswald L. Ziegler (ed.), The World
and South East Asia, h. 149.
25
Persemakmuran yang sejak itu mengurusinya, bahkan sekarang pun, Teritori seluas
lebih dari separuh juta mil persegi itu hanya memiliki penduduk ratusan ribu jiwa.
Sementara itu, sebagian besar pendudk Aborigin merasa jauh dari
kemakmuran. Pengambil alihan lahan berburu oleh penduduk kulit putih dan
perseteruan-perseteruan yang terjadi menjadi bab suram dalam sejarah Australia.
Selama bertahun-tahun orang menganggap bahwa kaum Aborigin memang
ditakdirkan untuk punah. Namun di masa yang lebih kemudian dimunculkan
kebijakan-kebijakan yang lebih mencerahkan; mulai ada pengakuan luas atas nilai
budaya Aborigin dan suatu upaya tulus dilakukan untuk mengassimilasikan bangsa
Aborigin yang latar belakang kesukuannya telah hilang itu ke dalam kehidupan
bangsa Australia.
Dalam definisi resmi kebijakan assimilasi menetapkan semua orang keturunan
Aborigin untuk memilih penerapan gaya dan standar hidup yang sama dengan bangsa
Australia lainnya dan hidup sebagai anggota dari komunitas Australia yang satu –
menikmati hak-hak dan privilese yang sama, dikenakan kewajiban yang sama dan
menganut harapan dan kesetiaan yang sama dengan bangsa Australia yang lainnya.34
Keberhasilan beberapa individu kaum Aborigin sebagai pegawai negeri, pendeta,
seniman dan olah ragawan – dan belakangan ini juga sebagai politikus terkemuka –
menganut sebuah budaya yang berbeda dari yang mereka miliki sendiri. Dalam hal ini
barangkali yang paling dikenal adalah Albert Namatjira, pelukis, Harold Blair,
penyanyi, Lionel Rose, orang Aborigin pertama yang memenangkan pertandingan
dunia, gelar petinju kelas bantam dunia di Jepang tahun 1968, Evonne Goolagong
yang memiliki tingggi meteorik sebagai salah satu wanita petenis terbesar yang
pernah dihasilkan dunia, mencapai tingkat final di Wimbledon di tahun 1971 pada
usaha keduanya dan dengan mengalahkan juara pemenang, orang Australia, Margaret
Court, menjadi Ratu dunia tennis di usia 19 tahun. Atas upayanya yang luar biasa itu,
Ratu menganugerahkannya gelar M.B.E. d tahun 1972 Kehormatan Tahim Naru (New
Year’s Honours) dan Dewan Hari Australia (the Australia Day Council)
memproklamirkannya sebagai ’Warga Australia Tahun Ini’. Bangsa Aborigin lainnya
34
Marjorie Jonston, Australian History, Longman Cheshire, Melbourne, 1985, h. 167.
26
yang baik, Neville Bonner, terpilih masuk dalam keanggotaan Senat Negara
Queensland tahun 1971. Angka-angka ini berlipat di tahun 1966 mencatat jumlah
penduduk Aborigin 44,605 jiwa, di mana sejumlah 77,459 separuh Aborigin dan
8,000 suku Torres penduduk Strait Islanders dengan jumlah total 130,000 dan
mayoritas hidup di Queensland.35
35
Oswald L. Ziegler, Commonwealth of Asutralia, in Oswald L. Ziegler (ed.), the World and
South East Asia, h. 150.
27
sekarang dan pemiskinan tanah dan salinitas semakin cepat merambah kemampuan
negeri ini untuk menghasilkan ekspor hasil pertanian yang mendukung gaya hidup
mewah penduduknya.36
Penduduk Australia semakin bertambah dengan meyakinkan antara 1 sampai
2% selama sepuluh tahun terakhir, disebabkan oleh gabungan dari aspek kelebihan
kelahiran dari kematian dan program gerakan migrasi yang dahsyat. Dengan
meluapnya penduduk masuk ke kota-kota dan mengumpul sepanjang garis pantai,
paradoks lain muncul dalam hal stereotip budaya nasional pria Australia yang kasar
dan berbasis alam liar semakin tidak menjadi contoh; namun mitos alam liar harus
segera diganti dengan sosok manusia kita atau sebuah legenda berdasar pantai untuk
mengidentifikasikan ke Australiaan-nya. Barangkali keengganan untuk menyia-
nyiakan pesta-pesta gaya kuno mencerminkan profil penduduk yang semakin menua,
karena Australia jauh dari bayangan sebuah komunitas muda yang penuh tenaga
seperti yang dipunyainya dan hasil yang tak terelakkan, akibat tingkat kesuburan dan
tingkat kematian yang rendah adalah suatu pertambangan progresif dalam usia rata-
rata masyarakatnya. Terlebih lagi, kaum wanitanya meliputi lebih dari separuh
penduduk. Kaum wanita dan kaum migran menciptakan sebuah kelompok mayoritas
yang penting namun terabaikan secara budaya di tengah masyarakat Australia
modern.
36
Frank G. Clarke, The History of Australia, Greenwood Press, Wesport, 2002, h.1-3.
28
berbicara hanya bahasa Inggris di rumah dan kurang dari 1 persen tidak bisa berbicara
bahasa Inggris sama sekali.37
Namun harmoni rasial, masih belum tercapai dengan keturunan kaum
Aborigin, yang berjumlah sekitar 2% dari seluruh penduduk, dan mereka masih
menderita dalam aspek kesejahteraan dan kesehatan. Keterbelakangan kesehatan ini
bersumber dari posisi mereka sebagai korban invasi awal bangsa Eropa di tahun 1788.
Mereka kehilangan negeri mereka dan tidak mendapat ganti rugi apapun sampai
disahkannya hak-hak lahan tengaran (landmark land rights legislation) di tahun 1993.
Belakangan ini, Komisi Penduduk Aborigin dan Teluk Torres (ATSIC) menerima
lebih dari $1 milyar per tahun untuk mendanai program-program yang dirancang
untuk memperbaiki ketakberuntungan selama dua abad.38 Rekonsiliasi dengan
penduduk asli telah menjadi wacana politik besar di Australia, dengan Partai Buruh
Australia (ALP) yang telah siap menawarkan sebuah pernyataan maaf (apology) resmi
atas semua sejarah ketidak-adilan yang telah diakibatkan dan menyakitkan itu.
Australia hari ini adalah sebuah negara berteknologi maju dan menikmati
standar hidup yang tinggi. Gambaran lama orang Australia sebagai masyarakat
bermata pencaharian pedesaan – peternak wool, petani susu, petani gandum dan
petani buah-buahna – tidak lagi mencerminkan kenyataan sebanarnya. Karena,
meskipun industri-industri utama ini masih menjadi bagian vital dalam ekonomi
negara, metode-metode produksi modern telah memungkinkan cara pengerjaan yang
semakin sediikit memerlukan tenaga manusia. Mayoritas penduduk Australia
sekarang adalah penduduk perkotaan yang terlibat dalam usaha industri sekunder dan
tersier serta kebanyakan mereka terkonsentrasi di kawasan pantai tenggara benua ini
dalam jalur memanjang di selatan mulai dari kota penghasil baja Newcastle, melewati
Sydney dan pusat penghasil baja kedua di Port Kembia di kawasan metropolitan
Wollongong, sampai ke Melbourne. Negara Australia berbentuk sistem pemerintahan
federal yang terdiri dari 6 negara bagian dan dua daerah teritorial, yaitu Brisbane
dengan ibukota Queensland, Australia Selatan beribukota Adelaide, Australia Barat
37
Frank G. Clarke, The History of Australia, h.1-3.
38
Lihat juga Stephen J. Rimmer, The Cost of Multiculturalism, Belcomen, Bedford Park, 1991, h.
11.
30
dengan ibukota Perth,Tasmania beribukota Hobart, New South Wales dengan ibukota
Sydney, dan Victoria dengan ibukota Melbourne serta Canberra adalah sebagai
Ibukota Negara Federasi.
migran dari Eropa Tengah dan Eropa Timur, kemudian dari Eropa Selatan, akhirnya
dari Timur Tengah dan lainnya.
Kehadiran imigran dengan memperluas kriteria sumber migran yang tanpa
memperhatikan latar belakang budaya mereka atau penampilan mereka, diharapkan
kaum imigran baru akan dapat berassimilasi. Cara assimilasi akan dapat mengubah
kaum migran dengan mengadopsi nilai-nilai Australia sehingga bisa memperkuat
identitas, dan sebaliknya bukan merubah identitas nasional Australia.39
Pemerintah Australia menganggap sangat penting dalam menentukan pola
imigrasi. Di tahun 1945 Menteri Tenaga Kerja untuk imigrasi, Calwell,
mengumumkan sebuah target penambangan populasi 1% tiap tahun melalui imigrasi.
Di bulan Nopember, 1946, ia mengumumkan target-target tahun berikutnya, namun
menambahkan bahwa ia berharap agar ‘bagi setiap migran asing terdapat sepuluh
orang yang berasal dari Inggris’.40 Namun demikian, untuk memenuhi target-target ini
pemerintah Australia setuju menerima sejumlah ‘orang-orang yang salah tempat’,
terutama yang berasal dari Eropa Tengah dan Eropa Timur, yang menderita akibat
Perang Dunia II Mereka yang datang ke Australia jumlahnya naik turun dari
maksimum 150-185.000 untuk tahun 1967-1970 sampai yang rendah 53.000 di tahun
1975-1976 saat resesi mulai di awal ‘70-an. Jumlah ini menurun dari awal tahun
1980-an sebanyak 76.000 orang.
Kaum migran yang datang ke Australia mencerminkan kebijakan pemerintah
tentang jumlah, sumber dan kategori, dan juga peristiwa-peristiwa di Australia dan di
luar negeri. Jadi, ada sebuah kecenderungan mengurangi jumlah kaum migran selama
resesi ekonomi, meskipun masih ada debat penting mengenai apakah kaum migran
mengambil atau menciptakan lapangan pekerjaan.41
Dasar-dasar seleksi kaum migran itu bermacam-macam. Pada periode awal
paska-perang, kriteria rasial dan budaya dipakai, hanya keturunan Eropa yang dicari --
dengan preferensi pada keturunan Eropa Utara. Politik kulit putih Australia secara
39
McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, Social Science Press, Katoomba,
Sydney, 1988, h. 170.
40
Charles A. Price, ‘The Ethnic Composition of the Australian Population’, in Ian Burnley (ed.),
Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies, Longman Chesire, Melbourne, 1985, h. 46.
32
bertahap mempermudah masuknya para imigran antara tahun 1952 dan tahun 1972.
Terjadi modifikasi yang nyata bagi mereka yang berasal dari ‘keturunan campuran’
dan orang non Eropa yang mempunyai keahlian tinggi pada pertengahan tahun ‘60-an.
Setelah tahun 1972, pemerintahan Partai Buruh Whitlam mempunyai sebuah
komitmen pada politik non diskriminasi atas dasar ras sehingga menghapus
pertimbangan berdasarkan ras dan negeri asal dari kriteria seleksi.42
Penghapusan ini tercermin pada nilai-nilai moral yang berubah dan sebuah
komitmen yang berkembang di bagian-bagian penting dalam komunitas Australia
yang melepas rasisme dalam segala bentuknya, Tetapi hal ini juga sesungguhnya
mengakui adanya minat Australia dalam hal perdagangan, politik dan diplomatik di
kawasan Asia yang memerlukan penghapusan politik kulit putih Australia.
Pada saat yang sama Pemerintahan Buruh mengurangi penerimaan
menyeluruh imigrasi. Selama dekade terakhir, kaum migran yang potensial ingin
datang ke Australia jauh melebihi dari kesiapan Australia untuk menerima. Dengan
demikian sementara kriteria rasial tidak lagi dipraktekkan, namun seleksi semakin
keras dan menggunakan dasar-dasar lain untuk mengeluarkan, umpamanya, bagian
yang meminta agar pihak migran yang telah memiliki anggota keluarga dekat di
Australia untuk mensponsori kedatangan mereka dan tambahan syarat kesehatan serta
kepribadian, sebelum mereka bisa segera dipekerjakan.
Sumber kaum migran sebelum Perang Dunia II sebagian besar berasal dari
Inggris dan Irlandia. Perubahan radikal pertama datang di tahun 1947 – 1952, ketika
sebanyak 170.000 orang-orang yang tak mempunyai tempat datang ke Australia. Di
akhir tahun ‘50-an dan awal tahun ‘60-an jumlah yang datang dari Yunani dan Italia
semakin bertambah dan di akhir ‘60-an dari Yugoslavia. Pada tahun 70-an jumlah
yang datang semakin bertambah dari Vietnam dan Selandia Baru serta juga dari
Timur Tengah dan Amerika tengah dan Amerika selatan. Bagaimana pun, Inggris dan
Irlandia tetap menjadi negara asal utama yang terbesar. Kaum peminta suaka
41
Jamie Mackie, The Politic of Asian Migration’, James E. Coughlan and Deborah J. McNamara
(ed.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, Macmillan Education Australia,
Melbourne, 1997, h. 10.
42
McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, h. 172.
33
(refugees) menduduki proporsi nyata dalam penerimaan migran. Total jumlah 400.000
orang peminta suaka telah sampai di Australia sejak perang Dunia II.
Konsekuensi program imigrasi yang paling jelas bagi masyarakat Australia
adalah dalam aspek demografis: perubahan-perubahan dalam komposisi populasi
keseluruhan.
1. Populasi bertambah dengan cepat. Hampir berlipat dua antara tahun 1946 dan
1986, di mana imigrasi menjadi penyebab 40% dari total pertambahan jumlah
penduduk.
2. Pertambahan jumlah dan terutama fakta bahwa banyak kaum imigran masih
berusia muda atau setengah tua serta memasuki bursa kerja yang menuju pada
sebuah pertumbuhan dalam jumlah kekuatan kerja sehingga merangsang
pertumbuhan ekonomi Australia.
3. Imigrasi mempengaruhi profil menyeluruh usia populasi dan memperlambat aspek
penuaan, Hal ini diakibatkan baik oleh karena usia kaum migran yang relatif
muda dibandingkan populasi orang Australia pada umumnya, dan karena banyak
dari kaum migran kemudian mempunyai anak, atau lebih banyak anak di
Australia.
4. Komposisi etnis dalam populasi Australia berubah. Sebelum tahun 1945 hampir
semua kaum migran Australia berkebangsaan Inggris. Di tahun 1947 hanya 10%
dari total populasi lahir di luar negeri dan tiga perempat di antaranya lahir di
Inggris dan irlandia. Di tahun 1981, 20,6% dari populasi lahir di luar negeri,
meskipun sejauh itu kelompok terbesar tetap berasal dari Inggris dan Irlandia.
Sekarang, 40% orang Australia berasal dari kaum migran atau setidaknya
mempunyai satu dari orang tuanya yang adalah migran. Orang Australia terdiri
dari campuran dari 156 kebangsaan dan latar belakang etnik yang berbeda, dengan
jumlah terbesar datang dari Inggris, Italia, Selandia Baru, Yugoslavia, dan Yunani.
Etnisitas merupakan faktor penting dari keragaman budaya Australia. Ia
adalah sebuah konsep yang terbuka pada interpretasi. Secara definitif, ia mengacu
pada tempat lahir dan pada negeri asal atau latar belakang budaya, sosial, dan agama.
Di sini ia menjadi ‘fakta’ kelahiran. Di luar itu ia mengkait unsur-unsur subyektif
yang menunjuk pada bagaimana mengidentifikasi seseorang atau kelompok.
34
43
www.dfat.gov.au/aii/publications/bad09/index.html, diakses tanggal 21 Juli 2005.
35
Pada tahun 1975, 20% dari jumlah penduduk dilahirkan di luar Australia. Pada
tahun 1995 jumlah ini naik menjadi 23%, yakni satu dari setiap empat orang Australia
dilahirkan di luar negeri. Antara tahun 1984 dan 1994 jumlah orang Australia
kelahiran Asia sangat meningkat. Pada tahun 1994, 5% dari jumlah penduduk
dilahirkan di Asia.44
44
Data sensus statistik Australia yang pada umumnya menggunakan kategori asal etnik Australia,
asal tempat kelahiran, asal etnik, dan kontribusi etnik. Lihat Charles A. Price, ‘The Ethnic Composition
of the Australian Population’, dalam Ian Burnley (ed)., Immigration and Ethnicity in the 1980s:
Australian Studies, h. 51-54.
36
Pada tahun 1994-95 kelompok migran kelahiran luar negeri yang paling pesat
pertumbuhannya adalah dari Indonesia, Hong Kong dan Makao. Meskipun
kebanyakan orang Australia kelahiran luar negeri berasal dari Eropa, arus migrasi dari
Eropa telah sangat menurun jumlahnya dibandingkan arus migrasi dari Asia.
Marshall Leaver
Gambar.2: Tarian adat dari Negara Inggris
37
Agama-agama di Australia
45
Lihat juga Gary D. Bouma, ‘Australia’s Religiuos Profile: Continuity and Change’, dalam Gary
D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and Cultural Diversity,
The Christian Research Association, Melbourne,1996, h. 9-24.
38
Anglikan merupakan agama yang dominan (Lihat Gambar 4). Sekarang kelompok
yang terbesar adalah kelompok beragama Katholik (Lihat Gambar 5) dengan 4,6 juta
pemeluk. Di antara orang-orang Australia yang berasal dari Yunani dan Eropa timur
dijumpai juga aliran Kristen Ortodoks. Di Australia juga ada sejumlah kecil penduduk
yang memeluk agama Yahudi.
Marshall Leaver
Gambar 5: Gereja Katedral Katolik Roma St Mary di Sydney.
Ada contoh gereja, kuil dan mesjid yang bagus di Australia. Beberapa di
antaranya masih baru dibangun. Di tahun 1976 telah dibangun sebuah mesjid yang
besar di Preston, yakni daerah pinggiran kota Melbourne. Baru-baru ini di daerah
Wollongong telah dibangun sebuah kompleks agama Buddha yang besar (Lihat
Gambar 8) dan sebuah kuil Hindu (Lihat Gambar 7). Juga ada kelompok kecil seperti
pemeluk Bahai dan agama Yahudi.
40
Orang Aborigin
Orang Aborigin atau penduduk asli telah hidup di Australia selama lebih dari
50.000 tahun. Kebijakan multikulturalisme mendorong mereka untuk memelihara
kebudayaan mereka. Banyak orang di Australia berminat terhadap kebudayaan
Aborigin. Seni dan musik Aborigin telah menjadi populer.46
Hubungan awal antara Eropa dengan Australia telah dimulai sejak abad ke-15
yang dilakukan melalui orang Portugis dan Belanda. Benua Australia dapat dilihat
dalam peta-peta Portugis lama. Mereka menamakannya Jawa Besar. Orang Belanda
menyebutnya Holand Baru. Pada tahun 1642 orang Belanda bernama Abel Tasman
berlayar dari Batavia (Jakarta) untuk menjelajahi Australia bagian selatan. Dia sampai
di Pulau Tasmania. Tasman percaya bahwa Australia tidak layak untuk tempat
bermukim. Oleh karena itu, selama abad berikutnya orang Eropa tidak menunjukkan
minat terhadap Australia.
Pada tahun 1770 seorang penjelajah Inggris bernama Kapten James Cook
sampai di pantai timur Australia. Dia menganggap bahwa daerah tersebut cocok untuk
tempat tinggal. Pada tahun 1788 terbentuklah masyarakat narapidana Inggris di
Sydney.
46
Manning Clark, A Short History of Australia, h. 1.
47
Manning Clark, A Short History of Australia, h. 28.
42
Kelompok ini meliputi orang-orang Inggris, Skotlandia, dan Wales. Saat ini
orang Inggris dan Irlandia merupakan kelompok-kelompok terbesar di Australia.
Telah berkembang suatu kebudayaan yang jelas di Australia. Kebudayaan tersebut
kebanyakan didasarkan atas kebudayaan kelompok terbesar ini.
Lembah Barossa telah menjadi daya tarik wisatawan. Para pengunjung dapat melihat
festival Jerman. Selama berlangsungnya festival, orang-orang mengenakan pakaian
tradisional dan menyajikan makanan tradisional. Para wisatawan dapat mendengarkan
lagu-lagu dan musik Jerman.
Orang Cina
Kedatangan para pencari emas bangsa Cina membuat khawatir banyak pekerja
Australia. Para pekerja ini, yang kebanyakan keturunan Inggris, menganggap bahwa
orang-orang Cina ini akan mengambil pekerjaan mereka karena mereka mau saja
dibayar rendah. Para pekerja Australia ini juga menolak upaya petani domba ternak
untuk mendatangkan pekerja pertanian dari India. Reaksi yang keras ini menyebabkan
pemerintah kolonial negara bagian untuk menggunakan kebijakan imigrasi yang
membatasi imigrasi Asia. Sesudah timbulnya federasi, Pemerintah Australia juga
memberlakukan suatu kebijakan yang membatasi imigrasi Asia. Kebijakan ini
kemudian dikenal sebagai Kebijakan Australia Putih. Kebijakan ini dihapuskan pada
tahun 1973.
48
Lihat Ho Chooi Hon and James E. Coughlan, ‘The Chinese in Australia: Immigrants from the
People’s Republic of China, Malaysia, Singapore, Taiwan, Hongkong and Macau’, dalam James E.
Coughlan and Deborah J. McNamara (ed.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, h.
145.
45
Australia dulu terlibat dalam Perang Dunia II. Selama terjadinya perang
tersebut, industri Australia telah berkembang. Telah pula didirikan industri-industri
baru.
Mula-mula mayoritas migran adalah dari Inggris dan Irlandia. Tak lama
kemudian, banyak migran dari negara Eropa yang mengikuti arus orang-orang yang
46
datang untuk bermukim di Australia. Kebanyakan dari para migran Eropa ini datang
dari Italia dan Yunani.
Orang Yunani
Menjelang tahun 1945 ada kira-kira 15.000 orang Yunani yang menetap di
Australia. Sesudah Perang Dunia II lebih banyak lagi orang Yunani yang mulai
47
berdatangan. Antara tahun 1953 dan 1956 ada kira-kira 30.000 orang Yunani yang
berdatangan. Migrasi orang Yunani ini mencapai puncaknya antara tahun 1961 dan
1966 ketika lebih dari 16.000 orang Yunani masuk ke Australia setiap tahun.
Menjelang tahun 1971 ada kira-kira 160.000 orang Australia kelahiran Yunani.
Banyak migran Yunani yang berasal dari daerah pedesaan. Banyak dari
mereka yang merasa bahwa mereka tidak mempunyai ketrampilan untuk bekerja di
Australia. Maka mereka berinisiatif mendirikan usaha sendiri. Usaha ini meliputi
restoran, toko buah-buahan, toko kue dan penjualan ikan.
Orang Italia
Ada orang Italia yang sangat lama sekali menetap di Australia, karena tertarik
kepada penemuan emas pada Abad Ke-19. Keturunan orang-orang Italia ini, seperti
halnya keturunan orang Yunani, menjadi kaya dan banyak terwakili dalam segala
bidang kehidupan dan profesi.
Para migran Italia banyak yang masih mempertahankan rasa cinta kedaerahan.
Orang Italia yang berasal dari daerah-daerah seperti Kalabria, Sisilia dan Veneto
48
tinggal saling berdekatan di Australia. Tiap-tiap daerah ini mempunyai bahasa yang
berlainan. Seringkali mereka menikah dengan orang dari daerah yang sama.
Adakalanya seluruh desa bermigrasi ke Australia. Jadi, banyak ikatan sosial asli dari
Italia yang kemudian dipindahkan ke Australia. Daerah seperti Leichhardt di Sydney
dan Carlton di Melbourne merupakan daerah tempat tinggal para keluarga Italia dan
banyak usaha yang didirikan oleh orang Italia. Ada kafe Italia, toko pakaian, restoran
dan toko makanan Italia (Lihat Gambar 12).
'bel mondo'
Gambar 12: Keluarga Manfredi membuka restoran Italia bel mondo di Sydney
Orang Libanon
Antara tahun 1947 dan 1970 ada kira-kira 5.500 orang Libanon yang menetap
di Australia. Kebanyakan mereka beragama Kristen. Banyak dari mereka yang
bekerja di pabrik seperti pabrik mobil Ford yang baru. Beberapa dari mereka ada yang
berpenghasilan cukup dan mendirikan usaha sendiri seperti toko dan taksi.
Orang Indonesia
Para nelayan Makassar yang berasal dari Indonesia telah datang ke Australia
sejak abad ke-18 mendahului kedatangan orang-orang Eropa dan berlangsung sampai
awal abad ke-20. Orang-orang Indonesia yang melanjutkan tradisi pelaut Makassar ke
Australia berasal dari Kupang dan Jawa. Mereka telah bekerja di kawasan industri
mutiara dan perkebunan gula di akhir abad ke- 19, karena upah mereka lebih baik
daripada upah di kampung halaman. Industri mutiara di Australia Barat menyewa para
penyelam dari Indonesia, khususnya yang direkrut di Kupang, dari tahun 1870-an
hingga 1940-an, atas dasar persetujuan dengan penguasa Belanda. Mereka
dipekerjakan di perahu-perahu yang beroperasi di Rebourne, dekat Port Headland,
Cossack, dan kemudian di Broome yang menjadi pusat industri mutiara. Sebagian
lagi, meski lebih sedikit jumlahnya, dipekerjakan di Port Darwin, Northern Territory
dan di Thursday Island, North Queensland.49
Kehidupan ekonomi mereka di Broome sangat sulit. Mereka tinggal di gubuk-
gubuk dekat perkampungan Aborigin sepanjang pantai. Mereka menghadapi sejumlah
kecil majikan kulit putih yang hidupnya lebih baik, dan para pekerja Jepang, Cina,
Filipina, dan Aborigin. Perkelahin antara mereka adalah hal yang lumrah. Di
Thursday Island kondisi mereka lebih parah lagi. Mereka harus menanggung resiko
hidup di tempat-tempat sesak dan tidak sehat. Mereka juga harus mengatasi serangan
hiu, goresan karang, penyakit, tenggelam, dan topan yang membawa maut.
Dengan adanya batasan-batasan keimigrasian tahun 1901, hampir semua
kembali ke Indonesia dan hanya sejumlah kecil saja menetap di Australia. Baru di
tahun 1950-an dan 1960-an ada mahasiswa Indonesia datang ke Australia sebagai
bagian program beasiswa pemerintah Australia untuk mengenyam pendidikan di
universitas-universitas Australia. Selama periode ini, beberapa orang Indonesia datang
ke Australia untuk mengajar bahasa Indonesia. Mereka yang memilih untuk menetap
di Australia pada masa itu membentuk titik inti komunitas Muslim Indonesia.
Berdasarkan kemudahan batasan migrasi non-putih tahun 1966, migrasi orang
Indonesia ke Australia jadi bertambah besar. Sebagai tambahan pada mereka yang
49
Abdullah Saeed, Islam in Australia, Allen & Unwin, Sydney, 2003, h. 11.
50
telah bermigrasi permanen ke Australia pada tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah
besar orang Indonesia yang kaya mengirim anak-anak mereka belajar di Australia.
Kini, kebanyakan orang indonesia tinggal di Sydney, diikuti kota-kota lain:
Melbourne, Perth dan Brisbane. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan
mayoritas Muslim terbesar di dunia, hanya 8.087 (17%) orang Australia asal
indonesia (total 47.156) yang mengaku sebagai Muslim. Pada umumnya orang
Indonesia merasa mudah bernitegrasi dengan masyarakat Australia. Mereka
cenderung datang ke mesjid-mesjid yang dibangun kelompok etnik lainnya. Mereka
aktif dalam berbagai kegiatan sosial etnik dan keagamaan. Dalam kegiatan etnik,
mereka mendirikan organisasi etnik
seperti IKAWIRA, PERWIRA, Paguyuban Jawa, dan Minang Saiyo. Begitu pula
dalam kegiatan keagamaan, mereka bekerjasama dengan kelompok mahasiswa
Muslim Australia asal Indonesia yang tergabung dalam Monash Indonesian Islamic
Society (MIIS) dan Himpunan Pengajian Islam al-Taqwa (HPIA). Orang-orang Islam
asal Indonesia juga mendirikan mesjid atas swadaya sendiri di Sydney bernama al-
Hijrah Mosque, lebih dikenal dengan Mesjid Tempe, karena terletak di daerah West
Tempe. Demikian pula di Victoria, masyarakat Islam Indonesia bekerjasama dengan
MIIS mendirikan mesjid (mushalla) bernama al-Taqwa, yang terletak di Clayton,
dekat kampus Monash.50
50
Deddy Mulyana, Islam dan Orang Indonesia di Australia, Logos, Jakarta, 2000, h. 63, 150-151.
51
Orang Vietnam
Selama jangka waktu akhir 1970-an dan 1980-an banyak migran yang
berdatangan dari daratan Indo-Cina. Kebanyakan mereka datang dari Vietnam. Di
Vietnam waktu itu terjadi peperangan selama tigapuluh tahun. Juga terjadi kerusuhan
besar di Kamboja dan Laos. Terjadi peperangan di Kamboja di tahun 1979. 51 Banyak
orang dari negara-negara ini yang memutuskan untuk pergi dari negaranya. Banyak
dari mereka yang pergi dengan menggunakan perahu kecil. Mereka harus mengarungi
lautan yang berbahaya. Mulai tahun 1975 sampai pertengahan 1978 ada kira-kira
30.000 'manusia perahu' yang meninggalkan Vietnam. Jumlah ini meningkat di tahun
berikutnya dan mencapai ratusan ribu jumlahnya (Lihat Gambar 14).
51
Gary D. Bouma, ‘Budhist Temples and the Settlement of Vietnamese migrants: A Case Studi’,
dalam Gary D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and
Cultural Diversity, The Christian Research Association, Melbourne,1996, h. 53-55.
52
Orang India
Orang India pertama kali datang ke Australia di Abad ke-19. Di tahun 1890-
an, di antara para pemukim awal tersebut terdapat bangsa Sikh dari Punjab yang
tinggal di New South Wales bagian utara. Mereka membuat perkebunan pisang di
sini.
Orang-orang India mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar di tahun
1970-an. Di tahun 1991 terdapat lebih dari 61.000 orang Australia kelahiran India.
Kebanyakan mereka adalah orang berpendidikan, 97% menggunakan bahasa Inggris,
dan mereka sudah terbiasa dengan kebudayaan Inggris. Banyak dari mereka yang
53
menjadi tenaga ahli, termasuk menjadi dokter, insinyur, ahli komputer dan ilmuwan.
Meskipun mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya (Lihat gambar 16).
Mereka tinggal di daerah-daerah yang berlainan dan kebanyakan hidup di antara
orang-orang yang berbahasa Inggris. Orang-orang India juga berasal dari Fiji, Afrika
Timur, Malaysia dan Mauritius.
Di Australia juga ada orang-orang Asia Selatan yang berasal dari negara
seperti Sri Lanka, Bangladesh dan Pakistan.
PadmaRaman
Gambar 16: Orang Australia keturunan India menambah banyak aspek dalam
kehidupan sehari-hari. Di sini nampak seorang penari Padma Raman sedang menari
menurut gaya Kuchipudi, yakni salah satu gaya tarian utama di India. Tarian itu
berasal dari drama Sanskrit kuno dan dulunya biasa ditarikan hanya oleh pria.
52
Foster, Lois and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and
Critique, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1988, h. 8. Lihat juga Payne J. Richard and
Jamal R. Nassau, Politics and Culture in Developing World: The Impact of Globalization, Longman,
New York, 2003, h. 338-340.
55
Asal-usul Multikulturalisme
Sejarah rakyat Australia telah mengalami suatu transformasi substansial
sejalan dengan perkembangan multikulturalisme. Ideologi tersebut dilihat dari segi
kelahiran dan perkembangannya dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama
dimulai dengan definisi ‘asli’ yang dimulai dari tahun 1972 sampai 1985. Selama
periode ini Australia beralih dari karakter
sebuah negara yang memaksakan identitas monokultural menjadi negara yang justru
mendorong terciptanya keragaman budaya. Tahap kunci perkembangan ini dimulai
dengan diperkenalkannya definisi asli multikulturalisme selama pemerintahan partai
buruh Whitlam dan mengalami perubahan di masa pemerintahan partai liberal Fraser
dan kemudian diadopsi oleh pemerintahan partai buruh Hawke. Selama tahap-tahap
ini muncul beberapa peristiwa yang signifikan yang membentuk filosofi dan
kebijakan multikulturalisme Australia. Namun demikian, terjadi pula penolakan-
penolakan dari kelompok konservatif terhadap konsep multikulturalisme itu. Pada
dasarnya datang dari kelompok yang takut bahwa identitas dan tradisi Australia akan
goyah bahkan mungkin akan hancur akibat kebijakan multikulturalisme. Konflik
dialektis antara kelompok pendukung dan yang oposisi terhadap multiklturalisme
pada fase awal melahirkan pola-pola konflik besar yang terjadi di tahun 1980-an.
Perkembangan ‘defenisi asli’ multikulturalisme dapat dibedakan dalam
beberapa periode,53 yaitu:
a. 1945-1971: Imigrasi massal pasca Perang Dunia II dan munculnya kritik dan
tekanan terhadap cita ‘monokultural’.
b. 1972-1975 : Perkembangan filosofi dan kebijakan ‘multikulturalisme’ selama
tahun-tahun pemerintahan Whitlam.
c. 1976-1983 : Tahun-tahun pemerintahan Fraser dan penyegaran konsp
multikulturalisme, termasuk memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru.
d. 1983-1985 : Terpilihnya Hawke sebagai Perdana Menteri dari Partai Buruh
semakin memperkuat multikulturalisme dan meletakkan dasar baru dengan
memperkenalkan atau menambah dimensi keadilan sosial dalam konsep tersebut.
53
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, Elikia Books
Publication, Victoria, 1995, h. 2-3.
56
54
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.3-4.
55
Lihat juga Lois Foster and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History
and Critique, h. 27-28.
57
56
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 46-49.
58
57
Lihat juga Peter R. Shergold, ‘Discrimination against Australian Migrants: An Historical
Methodology’, dalam Ian Burnley, (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies,
h. 62-63.
59
yang sama. Pihak oposisi dinyatakan sebagai mereka yang menolak ‘orang asing’
dan kebijakan yang membawa mereka datang.
Ada posisi kaum assimilasionis yang bersifat ‘garis keras’ dan yang ‘garis lunak’.
Variasi ini pada dasarnya ada diantara mereka yang mengharapkan kaum migran
berakulturasi dan menjadi tak dapat dibedakan dari penduduk tuan rumah sesegera
mungkin, dan mereka yang dibiarkan sampai satu generasi untuk akhirnya
mencapai hal itu, dan menerima sisa perbedaan minor dalam budaya.
Tujuan yang diinginkan kaum migran adalah permukiman permanen dan
perolehan kewarganegaraan Australia, yang ditentukan undang-undang
the Nationality and Citizenship Act tahun 1948. Kesempatan untuk menjadi orang
Australia dianggap sebagai sebuah kehormatan yang harus ditanggapi dengan
penuh rasa syukur dan rasa bangga.
Kaum migran diharapkan bisa menerima idealisme dan nilai-nilai demokrasi
parlementer Inggris, kepercayaan Kristiani, dan berakulturasi dengan ‘gaya hidup
orang Australia’; di sini termasuk penerimaan pada nilai-nilai ‘khas’ Australia,
seperti pertemanan (mateship), sikap adil (fair play), kebebasan, percaya diri dan
pemberian kesempatan yang adil bagi semua. Ini dianggap sebagai cara yang
terbaik untuk menjamin kaum migran agar ‘merdeka, hidup bahagia di masa
depan’.
Perlindungan pada ‘homogenitas negara Australia’ dianggap penting secara
mendasar. Ini mencakup: monokulturalisme, bahasa mono-Inggris, dan
perlindungan pada lembaga-lembaga dan praktek-praktek warisan Inggris’. Hal ini
tercermin dalam kriteria seleksi migran di Departemen yang lebih mendahulukan
keturunan Inggris daripada orang yang bukan berlatar belakang berbahasa Inggris
dan memelihara Kebijakan Australia Putih.
Kebudayaan dan bahasa kaum migran secara publik dipuji sebagai unsur yang
memperkaya Australia. Namun bila dibandingkan dengan kebudayaan Australia-
Inggris, lembaga-lembaga, nilai-nilai demokratis, dan bahasa Inggris, apa yang
berasal dari kaum migran itu dianggap mempunyai nilai yang lebih di bawah dan
berpotensi menjadi penghambat
60
58
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 50.
62
59
Andrew C. Theopanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 7.
63
60
Al Grassby adalah arsitek kebijakan Multikulturalisme Australia di era pemerintahan PM
Whitlam yang menjabat sebagai Menteri Imigrasi, sekaligus me ‘launching’ istilah tersebut ke tengah
publik Australia. Lihat Stephen Castles et al, Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of
Nationalism in Australia, Pluto Press, Sydney, 1988, h. 57.
61
Lois Foster and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and
Critique, h. 61.
64
62
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 7.
63
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 10.
65
64
Dikutip dari buku Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian
Identity, h. 10.
65
Kutipan dari Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity,
h. 10.
66
66
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 28-29.
67
67
Stephen Castles (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in
Australia, h. 117.
68
Stephen Castles (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in
Australia, h. 118.
68
Warisan Whitlam
Betapapun, Pemerintahan Whitlam telah mengupayakan pencapaian
pengenalan kebijakan multikultural, disamping juga memulai sebuah kerangka di
dalam mana kebijakan publik dan program-program dapat dikembangkan hingga
mencapai pengakuan hak-hak orang dari latar belakang etnis. Di sini termasuk hak
untuk hidup bebas dari diskriminasi dan mengambil peran aktif dalam kehidupan
ekonomi, politik dan sosial Australia.
69
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.12.
70
70
Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.12.
71
Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.14.
71
hak sosial dan politik mereka dari Pemerintah. Fraser juga mengembangkan konsep
multikulturalisme untuk merujuk pada kemungkinan sebuah kebudayaan Australia
masa depan yang telah memasukkan unsur-unsur dari tradisi budaya yang beraneka.
Perkembangan yang paling signifikan selama periode ini, betatapun, adalah
Laporan Galbally, yang ditugaskan Fraser di tahun 1977, sebagai Menteri Imigrasi.
Laporan ini memuat rekomendasi yang menegaskan komitmen pribadi PM Fraser
dalam memperkuat multikulturalisme di Australia.
Laporan Galbally
Di tahun 1978, Frank Galbally menyampaikan laporannya berjudul The
Review of Post-Arrival Programs and Services to Migrans pada Pemerintah Australia.
Laporan ini merupakan upaya besar pertama untuk menciptakan sebuah kerangka
konkrit penyusunan dan prorgram-program kebijakan multikultural yang mempunyai
fokus berjangka panjang. The Galbally Report, dan reaksi atas rekomendasinya,
mengungkapkan penyusunan filosofi dalam bab kebijakan yang mendukung definisi
asli multikulturalisne. Tak ada keraguan bahwa ini adalah sebuah laporan cikal bakal
berkembangnya kebijakan multikultural dan praktek-prakteknya. Ia juga
mempengaruhi semua laporan-laporan lanjutan sampai dengan revisi di tahun 1995
atas Agenda Nasional untuk Multikultural Australia (National Agenda for a
Multicultural Australia).72
Laporan itu membuat rekomendasi-rekomendasi berkaitan dengan program
permukian awal, penyediaan kursus-kursus bahasa Inggris dan memperbesar akses
kaum migran pada sistem-sistem hukum, kesehatan dan kesejahteraan serta pada
lapangan kerja. Sejumlah rekomendasi diterima oleh Pemerintahan Fraser.
Dalam pengertian keseluruhan, Laporan Galbally telah memberi dampak yang
signifikan sejauh bahwa ia dengan kuat menanamkan filosofi dan praktek
multikulturalisme dalam sistem politik Australia ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Sebelumnya, Pemerintahan Whitlam telah membuat kemajuan tambahan ke arah
pengakuan pada kepentingan-kepentingan khusus orang dari latar belakang bahasa
72
non Inggris, Laporan Galbally menyarankan sebuah strategi ulang lebih konkrit dan
berjangka panjang yang dapat menjamin berlangsngnya kesuksesan
multikulturalisme.
Laporan Galbally telah mengarah pada tiga inisiatif spesifik
Pemerintahan Fraser, yaitu:
a. Lembaga Masalaha Multikultural Australia (the Australian Institute of
Multicultural Affairs)
Sebuah insiatif khusus dalam Laporan Galbally adalah rekomendasinya untuk
mendirikan sebuah Lembaga Masalah Multikultural untuk melakukan peneltian dan
menyebarkan informasi melalui masyarakat yang lebih luas dan memberi nasehat
pada pemerintah tentang masalah etnik. Lembaga ini dimaksudkan menjadi sebuah
organisasi independen yang bisa membuat suatu kontribusi penting dalam penyusunan
dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pada tahun 1979, Pemerintahan Fraser
membentuk the Australian Institute of Multicultural Affairs Act yang menetapkan
tujuannya sebagai berikut: 1. Mengembangkan di antara anggota masyarakat Australia
dengan cara: 1.1. sebuah kesadaran atas keanekaan budaya dalam masyarakat yang
muncul sebagai hasil migrasi; 1.2. sebuah penghargaan atas kontribusi dari budaya-
budaya iitu pada pengkayaan bagi masyarakat yang lebih besar; 2. Mempromosikan
toleransi, pengertian, hubungan yang harmonis serta saling menghormati antara
kelompok-kelompok budaya yang berbeda serta komunitas etnis di Australia; 3.
Mendorong menjelmanya masyarakat Australia yang kohesif dengan membantu
anggota-anggotanya untuk saling berbagi budaya mereka dan memberlakukan
mereka dalam struktur politik dan hukum masyarakat, serta membantu mendorong
terciptanya sebuah lingkungan yang memungkinkan anggota-anggotanya dari
kelompok dan masyarakat budaya dan etnik yang berbeda memperoleh kesempatan
berperan serta secara lebih penuh dalam masyarakat Australia dan mencapai potensi
mereka sendiri.73
72
Buku ini merupakan penjelasan resmi pemerintah tentang kebijakan dan masa depan
multikulturalisme. Lihat Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs,
National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. i-v.
73
Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.17-20.
73
74
Theophanous, Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity
h.18.
74
75
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.18.
76
Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for all Australians: Our
Developing Nationhood, Commonwealth of Australia, Canberra, 1982, h. 12 .
77
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 19
78
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 19
76
79
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 28.
77
yang tidak diuntungkan karena budaya dan etnisitasnya, dan sebuah kebutuhan untuk
melawan diskriminasi atas mereka yang berasal dari enik minoritas. Terms of
reference yang telah diperbaiki untuk AIMA tidak hanya menunjukkan suatu upaya
memperluas definisi multikulturalisme dari sekedar pendorong keanekaan budaya
sehingga pengertian itu juga bisa mengenai kepentingan-kepentingan sosial ekonomi
kaum migran. Ini adalah awal dari tahap utama yang kedua dalam perkembangan
multikulturalisme.
80
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, 1989, h. 18.
78
81
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 36.
82
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. vii.
79
sebagai jawaban pada penekanan pasca Perang Dunia II atas assimilasi budaya dan
pengembangan sebuah masyarakat monokultural di Australia sebagai kelanjutannya.
Pengenalan filosofi dan kebijakan multikulturalisme merupakan salah satu
kebijakan yang paling berpandangan ke depan dari Pemerintahan Whitlam.
Pemerintahan itu akan tetap dikenang karena upayanya membalikkan Politik Putih
Australia. Hal itu juga menjadi sebuah hasil kerja besar menumbangkan kebijakan-
kebijakan assimilasi masa lalu melalui perkenalan dengan suatu kerangka
pengembangan kebijakan dan program yang mengakui hak-hak sosial dan budaya
masyarakat migran dan latar belakang etnik, dan yang memungkinkan mereka
berperan serta lebih besar dalam kehidupan komunitas Australia.
Sebagai tambahan pada kebijakan-kebijakan multikulturalismenya,
Pemerintahan Whitlam juga bertanggung jawab pada pemasukan Undang-Undang
Diskriminasi Rasial (the racial Discrimination Act) tahun 1975. Undang-Undang ini
mewakili satu dari berbagai upaya menghadapi ketimpangan sosial dan diskriminasi
rasial melalui hukum.
Menjelang pemilihan Malcolm Fraser di bulan November 1975, istilah
‘multikulturalisme’ telah menembus kehidupan politik dan telah dipakai oleh
komunitas-komunitas etnik paling mayoritas, juga pada bagian-bagian signifikan dari
penduduk non etnik. Menjadi sebuah keterkejutan bagi para pendukungnya,
Pemerintahan Liberal Fraser memutuskan mengakui dan mengembangkan
multikuilturalisme di Australia. Fraser cenderung melepaskan Pemerintahannya dari
kebijakan imigrasi Koalisi pra-1972 yang telah memberi penekanan pada ‘kebutuhan’
adanya suatu komunitas yang homogen secara rasial dan kultural di Australia.
Pemerintahan Fraser dengan cepat menyatakan keanekaan budaya sbagai prinsip inti
multikulturalisme, dsan secara khusus menegaskan program-program yang menjadi
keanekaan budaya.
Pada periode Fraser, Laporan Galbally dilahirkan. Dokumen penting ini
menekankan hak atas identifikasi budaya sebagai hal yang esensial untuk menjamin
keberhasilan kebijakan-kebijakan multikultural dan program-programnya, dan pada
gilirannya, suatu masyarajat yang kohesif. Hal itu memberi pengaruh pada perekatan
konsep multikulturalisme ke dalam sistem politik Australia dan telah menjadi sebuah
81
isu kaum migran dan etnik serta tujuan-tujuan keadilan sosial. Rekomendasi utama
laporan ini bahwa Pemerintah Federal harus melaksanakan sebuah strategi yang
menjamin , partisipasi yang sama oleh kaum penetap yang lahir di luar negeri dalam
masyarakat Australia. Laporan itu mengusulkan pengubahan sistem-sistem yang
sudah ada dan struktur-struktur yang bisa membikin mereka menjadi lebih bisa
dipercaya untuk memenuhi kebutuhan orang dari latara belakang yang bukan
berbahasa Inggris, juga memberilkan program-program yang lebih bersifat etno
spesifik serta pelayanan-pelayanannya.
Laporan itu mendukung penguatan Akses dan program Kesama rataan dengan
tujuan membuang batas-batas ras, budaya, bahasa dan agama, serta menjamin bahwa
aprogram-program dan pelayanan-pelayanan itu dirancang dengan baik dan
disampaikan pada orang Australia kelahiran luar negeri secara konsisten dengan
memenuhi tujuan keadilan sosial; Dimensi-dimensi keadilan sosial ini juga menjadi
dasar dari Laporan akhir Lembaga Masalah Multikultural Australia (the Final Report
of the Australian Institute for Multicultural Affairs atau AIMA) yang dikeluarkan
tahun 1986. Laporan ini membuah sederet rekomendasi dengan memberi penghargaan
pada pelayanan-pelayanan termasuk permukiman awal, penyediaan sarana informasi,
kesejahteraan sosial dan lapangan kerja.
Apa yang jelas dari semua ini adalah bahwa filosofi multikultural Australia,
dalam evolusinya, telah memasukkan sejumlah tahapan-tahapan. Dengan demikian,
multikulturalisme menjadi dewasa sampai pada kedudukan yang memungkinkan
untuk menjadi optimistik tentang hasil multikulturalisme sebagai sebuah percobaan
sosial. Masih ada, betapapun, beberapa isu menonjol yang masih perlu diputuskan,
seperti masalah arti dan makna multikulturalisme Australia.
83
BAB III
ISLAM DI AUSTRALIA:
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN SOSIO-DEMOGRAFI
83
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 3.
85
84
Mary L. Jones, ‘Muslim Impact on Early Australian Life’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, Law Printer, Melbourne, 1993, h.
34.
86
85
Bilal Cleland, ‘The Historry of Muslims in Australia’, dalam Abdullah Saeed and Shahram
Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 12.
87
86
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 5.
87
88
koloni. Populasi di Victoria meningkat dari 97,489 di tahun 1851 menjadi 539,764 di
tahun 1861. Hal ini berpengaruh pula pada pembukaan perkebunan dan
perkembangan pertanian.88
Eksplorasi awal di bagian tenggara benua dipimpin oleh Major Mitchell yang
melintasi bagian selatan New South Wales dan distrik barat Victoria di tahun 1836
dengan membuka kawasan-kawasan lahan baru untuk pondok-pondok penetap dan
kambing-kambing mereka. Penggunaan kuda sebagai alat transportasi untuk
melakukan eksplorasi di tengah kering kerontang daerah bagian barat dan tengah
benua sangat terbatas dan tidak layak. Onta sebagai alat transportasi dianggap lebih
cocok di daerah ini, maka atas saran Gubernur Gawler dari Australia Selatan, the
Colonial Commissioner di London membeli 6 onta di Tenerife, namun hanya tersisa 1
onta yang tetap hidup selama dalam perjalanan itu dan mendarat di Adelaide pada
bulan Oktober 1840.89
Daerah Melbourne yang kaya dengan emas di tahun 1850-an memiliki peran
sebagai pemimpin masa depan ekonomi Australia. Di tahun 1858, Komite Eksplorasi
Victoria meminta George Landells, yang secara teratur mengantar kuda-kuda
Australia ke India, membeli onta dan merekrut penunggang-penunggang onta pada
kunjungan mereka berikutnya. Ia membeli duapuluh-empat hewan dan menyewa tiga
penunggang onta, yaitu Samla, penganut agama Hindu dan dua orang Muslim
bernama Esan Khan dan Dost Mahomet. Mereka tiba tahun 1860 kemudian
ditempatkan di gedung Parlemen dan kedua hewan serta pengawal mereka
ditempatkan di kandang-kandang di tempat itu. Kehidupan mereka sangat menderita
karena tidak adanya perhatian dari kelompok ekspedisi. Akibatnya, Dost Mahomet
dan Esan Khan terpaksa menyembelih hewan persediaan ekspedisi agar tidak mati
kelaparan dengan cara halal seperti yang disyaratkan dalam al-Qur’an’.
Meskipun menderita sakit yang hebat akibat disentri, mereka tetap dengan
setia menjalankan lima kali shalat sehari dan bertahan dengan keimanan mereka
selama masa penantian di Menindie. Dost Mahomet digigit seekor onta dalam
perkemahan itu, lengannya hancur. Ia menjadi cacat seumur hidup pada usia
88
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 18.
89
89
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 52.
90
bertanya pada Giles, pemimpin ekspedisi, tentang arah timur, maka ia kemudian akan
menunjuk ke arah yang berlainan.
Ekspedisi-ekspedisi ini bukan hanya bersifat cerita kegagah beranian yang
jantan, namun mempunyai motif-motif ekonomi. Giles didukung oleh pengimpor
utama onta-onta bernama Thomas Elder dan di ekspedisi ini ia telah menyetujui untuk
meneliti sebuah negeri dekat Fowlers Bay sebagai calon hunian orang Inggris.
Ekspedisi yang diikuti Saleh beberapa tahun kemudian setelah 1886, meneliti
Perbatasan Territori Utara Queensland, membawa serta kelompoknya dengan harapan
bisa menemui kekayaan tambang yang baru.
Ekspedisi Horn tahun 1894 juga diikuti oleh beberapa orang penunggang onta
yang beragama Islam bernama Moosha Balooch dan Guzzie Balooch yang ingin
mencari bahan-bahan tambang di antara Macdonnell Ranges dan Oodnadatta sambil
mempelajari bahan-bahan biologi, botani, dan etnologi. Dua pengendara onta Muslim
terkenal lainnya, Bejah Dervish dan Said Ameer menemani Ekspedisi Calvert tahun
1896. Selama eksplorasi, dua dari anggota-anggota berkebangsaan Eropa tersesat dan
mati kelaparan. Kesediaan orang-orang Afghanistan untuk mencari mereka selama
berhari-hari dalam kondisi sulit dan tawaran dari pemilik onta Faiz Mahomet untuk
mengirim onta-onta dan orang-orangnya untuk mencari telah memberi kesan yang
baik tentang kepedulian mereka dalam pembentukan opini pada masyarakat Australia.
Larry Wells, pemimpin ekspedisi, menamai sebuah tengaran (landmark) di padang
pasir itu ‘Bukit Bejah’ dan memberinya sebuah kompas. Ia juga diberi julukan nama
‘Sang Setia’ (‘the Faithful’).
Abdul atau ‘Jack’ Dervish, putra Bejah, juga sangat menonjol ketika
mengikuti Ekspedisi Madigan menyeberangi Padang Pasir Simpson di tahun 1939. Ini
adalah eksplorasi besar terakhir ke pedalaman. Orang-orang Muslim Afghanistan
tinggal di aderah itu sejak tahun 1860. Orang Afghanistan kedua dalam ekspedisi ini,
Nurie Nur Mohamed Moosha, adalah putra dari Moosha Balooch yang menemani
Ekspedisi Horn selama lebih dari empat puluh tahun sebelumnya.
Namun sesuai dengan perjalanan waktu, keadaan pun ikut berubah, menjelang
tahun 1930-an kesadaran dan ketaatan keagamaan sudah mulai menyusut. Generasi
kedua pengendara onta telah memakan daging yang sama seperti orang-orang Eropa.
91
Keimanan Muslim telah mencair dan daging yang dibunuh secara halal tidak lagi jadi
persyaratan bagi orang-orang muda.90
90
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 54.
91
Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 63.
92
92
Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 64.
93
93
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 36.
94
makanan kecil yang tampak aneh dan eksotik bagi orang yang lewat. Pada
kesempatan-kesempatan yang lebih khidmat anggota komunitas bertemu di rumah-
rumah masing-masing untuk shalat berjemaah. Usaha-usaha komunitas juga
menyangkut perolehan lahan di Kuburan Fawkner sebagai lahan kuburan. Sumbangan
dikumpulkan untuk membangun sebuah bangunan kecil di dekat lapangan untuk
tempat melakukan shalat jenazah.
Pada umumnya kaum laki-laki jarang berada di rumah. Kebanyakan tugas
mengajarkan tentang Islam dan nilai-nilainya untuk generasi selanjutnya diserahkan
pada kaum wanita. Harapan regenerasi melalui imigrasi Asia selanjutnya dihapus oleh
kebijakan migrasi diskriminatif Australia. Menjelang 1921 hanya ada kurang dari tiga
ribu warga penetap (resident) Muslim di Australia. Ketidak seimbangan perbandingan
menyeluruh antara wanita dan pria menyulitkan pemeliharaan identitas keislaman di
Australia. Mereka diasingkan baik secara keagamaan dan rasial dari masyarakat kulit
putih Anglo-Celtic yang dominan sehingga banyak dari generasi kedua ini memilih
tak beragama. Proses degradasi yang lambat ini berlangsung selama tiga puluh tahun
berikutnya.
Namun di tengah komunitas yang hampir mati ini ada kaum Muslim yang
melanjutkan komunitas Muslim dari sebuah gelombang kedua, yaitu kaum imigran
Albania yang bekerja sebagai pekerja kasar di Australia Barat, Queensland, dan
Victoria selama tahun 1920-an dan 1930-an. Mereka datang dengan yang lainnya dari
Eropa Tengah dan Selatan sebagai akibat sedikit terbukanya kebijakan resmi Australia
yang juga berkulit putih, tetapi beragama Islam. Meskipun jumlahnya kecil, kaum
Muslim ini menjadi penentu yang kelak datang setelah Perang Dunia I untuk mencari
kehidupan yang lebih baik di lahan yang baru serta membawa kebangkitan Islam di
Australia.
Semula Australia adalah tempat tujuan yang tak dikenal bagi orang-orang
Albania. Perjalanan dari Eropa memakan waktu empat puluh hari dengan kapal laut,
karena umumnya berupa kapal-kapal kargo yang berhenti di pelabuhan-pelabuhan
untuk mengambil dan menurunkan barang-barang kiriman. Pilihan orang-orang
Albania untuk meninggalkan tanah air mereka sebagian merupakan penolakan atas
kepasrahan pada nasib. Selama beberapa ratus tahun, orang-orang Albania telah
95
94
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.59.
95
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 59.
96
96
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.46.
97
Pada umumnya kaum imigran ini berasal dari kota-kota dan desa- desa kecil. Mereka
pada umumnya bertalian darah – saudara laki-laki dan sepupu laki-laki. Yang lainnya
berasal dari desa yang sama. Di antara yang pertama kali tiba kelompok migran ini
adalah anggota-anggota dari keluarga Ahmet, Sali dan Sherif, Hekuran Emin, Kamber
Jafer, Selim Shaloli, Estrif Shemshed Sulejman, dan Demir Rustem. Mereka datang
pertama kalinya di Australia Barat dan memilih bekerja di Queensland memotong
tebu, memetik kapas dan bekerja di ladang-ladang tembakau di sekitar Cairns,
Mareeba, dan di pinggir kota Brisbane. Pekerjaan itu banyak menimbulkan
penderitaan di tubuh, seperti cidera tulang belakang. Serikat Organisasi dalam hal ini
tidak begitu memperhatikan penderitaan yang dialami tenaga kerja Muslim hingga
saat pabrik gula merosot selama era Depresi,
Bagi para imigran, penindasan atas keberadaan mereka selama bertahun-tahun
pada umumnya tak terhindarkan. Sebagian dari mereka saat itu meninggalkan cerita
yang panjang. Cerita-cerita tentang udara panas dan debu di perkebunan, kerja tujuh
hari seminggu, ‘sedih dan kesepian dan bercucuran air mata’ adalah bagian dari
penderitaan mereka. Tak ada mesin, sedang penghasilan untuk kerja seharian sangat
minimal. Pekerjaan pun jarang dan orang-orang Albania terpaksa menerima tawaran
bekerja apa saja dari pagi hingga malam hanya untuk memperoleh upah delapan
shilling sehari.
Tanpa uang lebih, kondisi kehidupan hanya sebatas memenuhi kebutuhan
dasar. Gubuk-gubuk didirikan dari bahan apa saja yang ada dan biasanya dari tiang-
tiang kayu dan keranjang-keranjang hessian. Bahkan sebuah gubuk tua telah cukup.
Pengalaman-pengalaman ini menjadi bagian kenangan kolektif bagi kelompok ini.
Betapapun, sejarah sebuah migrasi dan pengalaman hidup telah tertanam selama
berabad-abad menyaksikan survival mereka.97
Hekuran Emin mengingat betapa ia bertahan selama periode depresi yang
membuatnya semakin yakin dari sebelumnya untuk tetap bertahan pada pekerjaannya
dan pergi ke sebuah tanah pertanian kecil miliknya. Ia menabung dengan susah payah
dan mengenang perasaannya yang bak seorang raja ketika ia memasukkan tujuh belas
dollar dan enam pence ke bank. Namun apa yang menjadi pusat kesuksesan bagi
97
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.59.
98
orang Albania terletak pada kenyataan bahwa industri tempat mereka bekerja
merupakan hal yang vital bagi ekonomi negeri ini dan insentif untuk mendorong
pekerja masuk ke industri-industri dan hadiah lahan ditawarkan pada mereka yang
siap mengerjakan tanah pertanian dengan cara bagi hasil. Orang Albania juga
bergabung dengan konsentrasi pekerja Italia yang lebih besar jumlahnya di
Queensland untuk mengambil kesempatan yang ditawarkan berupa lahan bebas.
Kesempatan selanjutnya muncul di Victoria. Pekerjaan didapati sebagian di
daerah-daerah perkebunan di sekitar Shepparton. Yang pertama dari orang-orang
Muslim yang datang ke area ini di pertengahan tahun 1920-an. Kemudian ke distrik
Queensland terus masuk ke distrik-distrik lainnya. Sekali lagi cara hidup yang
kooperatif yang menjadi wujud lahan rumah mereka memungkinkan banyak dari
mereka membeli properti dan membangun usaha yang menguntungkan sebagai
pengelola kebun dan ahli taman.
Menjelang pecahnya Perang Dunia II, hanya 10 persen dari mereka yang
menaturalisasikan diri, sedangkan sebagian besar masuk Kristen. Meskipun tenaga
kerja menjadi tulang punggung bagi kesuksesan, kehidupan kekeluargaan dilihat
sebagai bagian kehidupan menetap di Australia. Ymer bersaudara di tahun 1938
pulang ke kampung halamannya untuk menikah, sedang yang lain mengambil alih
tanggung jawab mengurus 300 acre lahan pertanian di Queensland selama
kepergiannya..
Berkumpul kembalinya sebuah keluarga atau mencari isteri ke Albania,
betatapun penuh dengan frustrasi, pejabat-pejabat imigrasi Australia meyakinkan
bahwa keberadaan sponsor yang memadai bisa diperoleh dan juga uang yang diminta
sebagai pas masuk. Adapun mereka yang tetap tinggal, banyak yang memilih untuk
menikahi wanita Australia.
Anak-anak pergi ke sekolah dasar lokal, berbaur denga anak-anak
berkebangsaan lain – Yunani, Italia, Australia dan Jerman sehingga merefleksikan
karakter yang kosmopolitan pada lokalitas di mana mereka tinggal. Banyak di antara
mereka yang pulang lebih cepat, kerap mengecewakan guru-guru mereka, tetapi
tenaga kerja diperlukan bagi kehidupan keluarga. Hal ini berlaku terutama pada para
99
gadis-gadis dan banyak dari mereka tetap bersekolah hanya selama hukum
memungkinkan.
Kedatangan para isteri dan sanak saudara memberi arti perubahan dalam pola
hidup. Rumah dan keluarga menjadi bagian kehidupan kaum laki-laki dan rutinitas
keseharian. Karena tak ada organisasi sosial atau keagamaan yang resmi, adat dan
tradisi tidak dijaga ketat di dalam keluarga dan terkadang perayaan-perayaan
peristiwa keagamaan – hanya membawa potongan kecil dunia Muslim ke pedesaan
Australia.
Tahun-tahun peperangan menyaksikan imigrasi mengarah ke titik beku.
Orang-orang Albania yang negaranya di aneksasi oleh Italia sebagai anggota kekuatan
Poros, termasuk di antara mereka yang diasingkan sebagai musuh asing (enemy
alien). Dalam retrospeksi ini merupakan pernyataan bahwa prosedur ini telah
melakukan diskriminasi. Di antara orang Albania yang diasingkan di perkemahan
pengintipan di Monte di Queensland, masih anak-anak, berusia sekitar enambelas
tahunan bersama beberapa perorangan yang telah di naturalisasikan. Penerbitan The
Aliens Tribunal di tahun 1940 menjadi semacam pengakuan resmi pada keberadaan
tempat pengasingan itu. Hal ini tetap berlangsung terus sampai periode pasca perang
yang membawa sejumlah besar kaum Muslim penetap ke Australia.98
98
Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 86.
100
Indonesia, Malaysia, Singapura, Pakistan, dan India. Kedua situasi yang tak
menguntungkan ini, pemerintah Australia segera mempercepat pertambahan populasi
dalam kerangka pertahanan nasional jangka panjang dengan cara memperlunak
seleksi kriteria imigrasi kedatangan para migran dan refugee, sekaligus dapat
memperkuat proses industrialisasi yang sedang berlangsung.
Menurut Gary D. Bouma, sampai tahun 1947 kaum immigran Muslim terdiri
dari para pelajar, profesional, pemimpin bisnis dan tokoh pemerintahan yang terbawa
karir mereka ke Australia atas dasar berbagai alasan. Baru pada akhir tahun 1960-an,
dengan diperbaharuinya kebijakan immigrasi Australia diteruskan dengan pecahnya
perang saudara di Libanon, mulai datang immigran Muslim dalam jumlah yang cukup
besar. Kelompok terbesar imigran Muslim datang dari Turki (14.5 persen) atau
Libanon (17..4 persen). Immigrasi Muslim Libanon dapat dibagi dalam dua periode
pra 1975 (tahun pecahnya perang saudara Libanon) dan paska 1975. Yang terdahulu
ditandai dengan rantai imigrasi keluarga-keluarga Sunni-Muslim’. Setelah tahun 1975
muncul gelombang immigrasi Muslim Libanon, terdiri dari keluarga-keluarga Shi’ite
dan Sunni. Keluarga adalah satuan dasar immigrasi. Gelombang terbesar adalah
immigrasi orang-orang Turki yang dimulai akhir tahun 1960an dan berlanjut ke tahun
1980an dan meliputi sejumlah orang dewasa dalam usia kerja dalam proporsi tinggi.
Orang-orang Muslim Turki dari kedua jenis kelamin dipekerjakan terutama dalam
pekerjaan-pekerjaan pemropsesan.99
Fase terakhir ini bisa disebut sebagai pembentukan basis komunitas muslim di
tengah masyarakat Australia, khususnya sejak tahun 1960-an sampai 1970-an. Secara
umum masyarakat Islam Australia adalah masyarakat perkotaan (urban), seperti
terlihat dalam sensus Australia (1996), mayoritas muslim (50%) menetap di Sydney
dan Melbourne (32%) serta sebagian kecil lainnya tersebar di kota-kota utama
lainnya. Basis komunitas muslim dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok
yang berbasiskan pada etnisitas. Pada umumnya etnis Turki merupakan jumlah
terbanyak yang bertempat tinggal di Sydney, diikuti etnis Libanon, dan Banglades.
Etnis Indonesia juga termasuk yang paling banyak mendiami kota ini. Begitu pula, di
99
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 22.
101
negara bagian Victoria, banyak didiami etnis Turki dan Albania. Dan pada umumnya
mereka menganut paham Sunni dan Syi’ah, sebagian kecil aliran Ismailiah, dan
Ahmadiah baik Lahore maupun Qadyan. Kedua, berbasiskan pada lokalitas (tempat
tinggal). Banyak masyarakat muslim yang menempati suatu tempat sehingga cukup
untuk membentuk suatu komunitas, seperti daerah Preston di Melbourne dan daerah
Lakemba di Sydney.
Sayangnya kesatuan komunitas muslim yang sudah terbentuk belum berfungsi
menyatukan berbagai komunitas etnis Islam, namun terfragmentasi dalam berbagai
etnis. Faktor kesetiaan etnis masih tetap dipelihara sehingga interaksi sosial di antara
mereka sangat terbatas. Etnis Turki, Libanon, dan Albania sangat menonjol bagaikan
sebuah festival lansekap Islam Australia, yang masih berjalan sendiri-sendiri.
Mungkin dapat dimengerti, fragmentasi etnis muslim ini merupakan sebuah
konsekuensi yang tidak dapat terelakkan bagi psikologi masyarakat yang menempati
‘rumah baru’ yang masih asing.
Pola kedatangan immigran dalam jumlah kecil sebelum Perang Dunia kedua,
beberapa diantara tahun 1947 dan pertengahan tahun 1960-an, dengan penambahan
jumlah mendasar sejak saat itu hingga 1991, menjadi karakteristik hampir semua
kebangsaan orang Muslim di Ausrtralia. Di antara orang Muslim yang dipekerjakan
hanya 18 persen yang telah tiba di Australia sebelum tahun 1971. Tabel 1
memperlihatkan tahun-tahun kedatangan orang Muslim yang dipekerjakan sehingga
terefleksi dalam pola ini.
Muslim yg Prosentase
bekerja
Tahun kedatangan
Sebelum 1971 18.54
1971-75 19.29
1976-80 14.35
1981-86 13.10
1988-89 11.34
1990-91 3.74
Tidak terdapat (not applicable) 10.58
Tidak dinyatakan 2.09
Sumber: matrix table sensus 1991 CSC 6033 (di luar pengunjung luar negeri)
100
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, Australian h. 23. Lihat juga ABS
1991.
103
Sensus tahun 1991 memberi informasi rinci tentang negeri asal penduduk
Muslim Australia. Orang-orang ditanya tentang negeri asal lahir mereka. Jawaban dari
orang yang lahir di negeri yang bukan menjadi tujuan tempat tinggal mereka memberi
indikasi jelas tentang keragaman etnis Muslim di Australia.
Penetap Muslim di Australia tercatat lebih dari 67 negeri yang berbeda sebagai
negeri tempat lahir. Hal ini menunjukkan mereka sebagai kelompok etnis agama yang
paling tersebar di Australia. Seperti halnya dua kelompok terbesar, terdiri dari hampir
satu pertiga dari keseluruhan, lahir di Libanon (17.4 persen) atau Turki (15.5 persen).
Kelompok terbesar Muslim adalah kelahiran Australia (35%). Persentase ini akan
terus bertambah dengan semakin besarnya jumlah orang Muslim di masa depan lebih
karena kelahiran daripada karena faktor imigrasi. Lapisan selanjutnya negeri asal,
terdiri dari 24.1 persen Muslim Australia, termasuk mereka yang dicatat sebesar 1
persen atau lebih. Yugoslavia (3.5 persen), Indonesia (3.3 persen), Asia selatan
Lainnya (2.8 persen), Siprus (2.5 persen),Iran (2.4 persen), Pakistan (2.3 persen), Fiji
(2.2 persen), Mesir (1.6 persen), Malaysia (1.4 persen), Afrika Utara Lainnya dan
Timur Tengah (1.1 persen), Syria (1.0 persen). Sisanya yang 8 persen terdiri dari lebih
53 negara.
Tabel 2: Karakteristik Muslim di Australia menurut Sensus 1991 berdasar
tempat lahir
Eropa
Inggris 759 0.518
Irlandia 21 0.014
Siprus 3.669 2.503
Yunani 415 0.283
Italia 66 0.045
Malta 15 0.010
Portugal 12 0.008
Spanyol 12 0.008
Yugoslavia 5.160 3.519
Austria 60 0.041
Perancis 27 0.018
Jerman 227 0.155
Belanda 49 0.033
Cekoslowakia 12 0.008
Hongaria 6 0.004
Polandia 18 0.012
Rumania 33 0.023
Eropa lain 801 0.546
Uni Sovyet lain 75 0.051
Latvia 3 0.002
Ukraina 6 0.004
Jumlah ........................................ 11.446 7.808
Timur Tengah
Jalur Gaza 12 0.008
Iran 3.514 2.397
Irak 285 0.194
Israel 82 0.056
Jordania 449 0.306
Libanon 25.507 17.399
105
Asia Tenggara
Kamboja 9 0.006
Indonesia 4.782 3.262
Laos 9 0.006
Malaysia 2.051 1.399
Birma 157 0.107
Filipina 72 0.049
Singapur 1.118 0.763
Vietnam 120 0.082
Asia Tenggara lain
Cina (bukan Taiwan) 234 0.159
Hong Kong 86 0.059
Jepang 36 0.025
Korea 10 0.007
Makau 3 0.002
Taiwan 3 0.002
India 1.180 0.805
Pakistan 3.339 2.278
Srilangka 555 0.379
Asia Tenggara lain 4.055 2.766
Jumlah ..................................... 9.501 6.481
Amerika
106
Kanada 69 0.047
Amerika Serikat 128 0.087
Argentina 15 0.010
Cili 9 0.006
Amerika & Karibia lain 61 0.042
Jumlah ................................ 282 0.192
Sumber: Matriks Tabel Sensus CSC6015 (di luar pengunjung luar negeri)
Bahasa
Seperti yang bisa diduga dari begitu bervariasinya etnik-etnik kelompok,
berbagai jenis bahasa dipakai di rumah-rumah orang Muslim Australia. Tabel 3
107
Menandakan jumlah yg terlalu sedikit untuk bisa dihitung secara terpisah dan
dimasukkan dalam ‘lainnya’.
Termasuk ‘bahasa lain yg diinikasikan tapi tidak dinyatakan’ dan ‘kurang
bisa di catat’.
Sumber: Matriks tabel sensus tahun 1991 CSC6015 dan profil komunitas dasar,
Katalog ABS No. 2722.0 tabel B11.
101
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 10.
109
prosedur-prosedur lainnya, sebagian lagi disebabkan oleh kesulitan bahasa bagi orang
yang bukan berbahasa Inggris, dan sebagian lagi pada ketidak tahuan orang tentang
bagaimana cara menjawab pertanyaan tentang agama yang dianut. Bagaimanapun,
sensus itu tetap menjadi alat terbaik untuk membandingkan besaran relatif berbagai
kelompok dalam sebuah masyarakat. Tanpa sensus itu akan sama halnya dengan
negara lain seperti Amerika serikat atau Inggris tak ada perkiraan yang bisa dipercaya
mengenai ukuran relatif kelompok-kelompom agama. Menurut hasil sensus tahun
1971, ada 22311 orang Muslim di Australia yang besarnya 0.2 persen dari seluruh
jumlah penduduk. Tabel 4.5 memperlihatkan rincian pola pertumbuhan di kalangan
kelompok non-Kristen sejak tahun 1971.
Naiknya jumlah pertumbuhan penduduk Muslim sangat meyakinkan. Faktor
pendorong pertambahan ini adalah imigrasi. Faktor lain disebabkan oleh tingkat
perkawinan dan kesuburan yang tinggi orang-orang Muslim di Australia.102 Hampir
semua wanita Muslim telah menikah di awal usia duapuluhan dan banyak yang
mempunyai keluarga besar. Hanya relatif kecil pertumbuhan yang disebabkan
pergantian agama dari kelompok lain.
C. Interaksi Komunitas Muslim dengan Masyarakat Australia
1. Masalah dan Isu Minoritas Muslim Australia
Sejak kehadiran kelompok Muslim di Australia dulu dan sekarang tidak
terlepaskan dari berbagai himpitan masalah dan isi-isu.103 Di antara masalah-masalah
itu, yaitu:
a. Hambatan Sosial, Budaya dan Bahasa
Kaum Muslim yang datang ke Australia membawa beragam kekayaan budaya
dan latar belakang ke dalam masyarakat yang masih baru dan asing bagi mereka.
Banyak di antara mereka merasa tercerabut dan mengalami trauma ketika mendapati
diri mereka sebagai sebuah minoritas agama berada dalam situasi yang tidak dikenal
dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang tidak
pernah mereka kenal. Pada mulanya, tidak ada negara atau komunitas lokal yang mau
102
Pengolahan data berdasarkan ABS 1991.
103
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
h. 36-45.
111
ibadah Kristen. Ia dan isterinya yang kelahiran Inggris mengambil keputusan ini
karena mereka tidak ingin putera mereka tumbuh di tengah agama yang tengah
sekarat di Australia. Mereka melihat Islam sebagai faktor pengisolasi dari komunitas
yang lebih besar bagi putera mereka.104
c. Pembangunan Mesjid
Orang Muslim keturunan Afganistan merupakan perintis dalam pembangunan
mesjid di Australia. Perhatian pertama mereka adalah bagaimana memperoleh sebuah
tempat untuk menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya seperti halnya
pada kelompok lain di Australia. Dari buku karangan Musa Khan diketahui bahwa
dari tahun 1895 komunitas Muslim di Perth, membutuhkan perlunya sebuah tempat
yang cocok untuk beribadah, mulai mencari lahan di kota Perth dari Pemerintah.
Upaya ini tidak berhasil. Komunitas itu kemudian merubah kegiatan mereka dan
mencari dana dari anggota-anggotanya. Di tahun 1901, sejumlah dana mesjid
terkumpul sehingga memungkinkan mereka untuk membeli sebidang tanah di pinggir
kota Perth. Penyelesaian mesjid di tahun 1905 menimbulkan sebuah masalah yang
lain lagi. Sebuah keretakan serius terjadi antara keturunan Afghanistan dan India
selama masa pengelolaan mesjid Perth. Kedua kelompok mengklaim hak mereka atas
berbagai dasar dengan tidak mengindahkan kenyataan bahwa tujuan keagamaan
bersama mereka sebenarnya sudah tercapai.
d. Diskriminasi
Meskipun multikuturalisme sudah menjadi kebijakan negara untuk seluruh
masyarakat Australia, namun dalam kenyataan sehari-hari masih ditemui praktek-
praktek diskriminatif. Hal ini berkaitan dengan kurang komunikasi dan miskonsepsi
antara warga masyarakat dan para penddatang. Sebagai contoh adalah masalah izin
bagi sebuah proyek mesjid senilai dua juta dollar di Keysborough, Melbourne, yang
diurus oleh masyarakat Islam Turki. Izin itu tidak dipenuhi karena alasan-alasan
menganggu lingkungan masyarakat setempat yang berbeda dengan kelompok Islam.
104
Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, h. 25.
113
f. Status Ekonomi
Wacana tentang status ekonomi kaum Muslim di Australia adalah sangat
mendasar. Tidak ada data yang spesifik untuk menggambarkan kegiatan ekonomi
kaum Muslim di negeri ini. Namun demikian, seperti diindikasikan oleh Hussein,
beberapa informasi tak langsung bisa diperoleh dari hasil studi Pemerintah yang baru-
baru ini diterbitkan mengenai penduduk atas dasar asal negeri para pekerja. Ia
mengkonfirmasikan bahwa ‘sebagian besar tenaga kerja Muslim di New South Wales
dan Victoria bekerja menjadi ‘buruh pabrik’ (factory work). Selanjutnya, sebagai
konsekuensi menurunnya manufaktur industri, kaum Muslim ini juga menghadapi
kenyataan besarnya jumlah pengangguran secara relatif.
105
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
114
g. Etnisitas
Masalah-masalah yang timbul dari aspek etnisitas kaum Muslim muncul di
tengah keberadaan dua kelompok Muslim di Australia seperti digambarkan dalam
kasus mesjid Perth. Perbedaan-perbedaan berasal dari etnisitas di antara kaum Muslim
merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi Muslim di Australia.106
Keanekaan etnik di dalam komunitas Islam di Australia tidak menjadikan mereka
menjadi sebuah komunitas yang homogen dan kuat. Perbedaan-perbedaan bahasa
menambah keanekaan dan membatasi cakupan interaksi sosial di antara kaum
Muslim. Umpamanya, seorang Muslim Turki dan seorang Muslim Arab bisa hidup di
daerah perumahan lingkungan yang sama, shalat berdampingan di mesjid yang sama,
namun tidak mengadakan kontak sosial akibat adanya batasan bahasa. Ini juga terjadi
pada Muslim yang lain. Pengetahuan bahasa Inggris sebagai sebuah bahasa umum
sangat vital dalam hal ini. Namun seperti telah diuraikan sebelumnya, kompetensi
berbahasa Ingggris merupakan kekurangan utama di kalangan kaum migran Muslim.
Keanekaan etnik menciptakan masalah utama bagi Muslim Australia. Hal itu
menimbulkan friksi, ketidak percayaan dan jurang komunikasi antar individu dan
antar berbagai kelompok masyarakat. Sampai sejauh ini telah menimbulkan frustrasi
dalam upaya mengorganisasi dan merencanakan kaum Muslim menjadi satu
komunitas. Kelekatan emosi kaum migran pada kelompok etniknya yang tertentu
lebih mengatasi sentimen Islami mereka. Akibatnya dalam banyak kasus, faktor
etnisitas mendahului faktor agama. Hal ini telah menumbuhkan sebuah perasaan tidak
percaya antara berbagai masyarakat khususnya dalam hubungan mereka dengan
Dewan Negara dan organisasi AFIC. Umpamanya, seorang Turki pertama kali merasa
menjadi seorang Turki baru kemudian menjadi seorang Muslim. Ia akan lebih
106
Wawancara penullis dengan Pengurus AFIC Victoria dan tokoh-tokoh masyarakat Islam
sesudah shalat Jum’at, September 2000 di Melbourne, memperkuat pernyataan bahwa sampai saat ini
orientasi kelompok Muslim Australia lebih kepada etnik daripada Islam itu sendiri.
115
107
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 67.
116
108
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 73.
109
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 73. Lihat juga
Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad &
Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 207.
117
Lepas dari fakta bahwa seolah-olah Australia adalah sebuah negara yang
mayoritas memeluk agama Kristen, ia adalah negara sekuler dan pada umumnya
minat pada praktek ibadah keagamaan sangat kecil. Dalam interaksi sosial, kaum
Anglo-Celtic atau Euro-Australia jarang bertemu dengan kaum Muslim kecuali pada
kesempatan-kesempatan khusus. Mereka menemui kelompok Muslim sebagai
individu yang mereka identitaskan sebagai ‘orang Asia’, seperti orang Indonesia,
Pakistan, Filipina, atau Cina. Denominasi agama pada tingkat pergaulan yang
demikian tidak selalu relevan. Etos publik Australia secara menyeluruh bersifat
sekuler. Merujuk kepada Tuhan di depan umum dianggap hal yang memalukan.
Kaitan dengan agama dilepaskan dari semua formulir lamaran kerja dan tidak perlu
diindikasikan dalam formulir sensus nasional --afiliasi keagamaan bisa diindikasikan
untuk tiket masuk ke rumah sakit supaya pelayanan yang tidak melanggar agama bisa
diberikan atau ritus pemakaman yang pantas bisa dilaksanakan. Di Australia praktek
agama adalah masalah pribadi, lepas dari ritus-ritus sewaktu-waktu seperti
pembacaan doa pada Tuhan pada pembukaan sidang Parlemen, dan bahkan bisa
dianggap sebagai bukti ketebelakangan sosial dan keterbelakangan intelektual
tertentu.
Sebagian kecil orang Muslim merasa nyaman dengan arus utama komunitas
Australia yang sekuler. Partisipasi aktif bisa bervariasi mulai dari sekedar identifikasi
sebagai seorang Muslim sampai partisipasi penuh dalam kegiatan sosial dan
keagamaan komunitas. Beberapa di antaranya tidak tertarik, sedangkan yang lain,
menghadapi tantangan kekosongan agama mereka dengan menemukan kembali
sebuah identitas Muslim yang telah mati suri. Bagi banyak orang Muslim,
pengalaman hidup dan bekerja dalam apa yang secara publik disebut sebuah
masyarakat sekuler menghadirkan masalah yang nyata. Islam adalah sebuah agama
dengan sebuah peraturan ritus yang memiliki simbol-simbol sebagai representasi
komunitas. Jadi, isu pelaksanaan ibadah agama muncul tak terelakkan, termasuk
shalat, puasa, berpakaian, dan peraturan yang berkaitan dengan makanan dan
minuman. Islam mempunyai kalendar 12 bulan menurut perhitungan bulan
(Kamariyah) nya sendiri yang ditandai dengan hari-hari tertentu yang sakral dan
118
upacaranya sendiri. Praktek-praktek seperti ini bagian dari identitas Muslim sebagai
‘sebuah masyarakat yang terpisah’. Bagi sebuah dunia yang sekuler, atau bahkan bagi
tradisi agama yang tidak begitu banyak mempunyai aturan ritual bisa menimbulkan
rasa hormat atau bisa menimbulkan penolakan.110
Lima kali ritus shalat setiap hari, puasa, dan hari-hari besar Islam dalam
kehidupan komunitas Muslim memberi implikasi pada tempat kerja. Melalui
wawancara dengan responden Muslim, Bouma melaporkan bahwa sering para pekerja
dan rekan sekerja memberi respon pada masalah keagamaan ini dengan rasa hormat
yang meningkat pada pekerja Muslim dan pada Islam, walaupun sukar meyakinkan
sejauh apa mereka bisa mewakili kelompoknya. 111 Tanpa suatu pengakuan yang
layak di tempat kerja tentang cara hidup kaum Muslim, mereka akan merasa menjadi
anggota kelompok pinggiran di Australia. Festival tradisional Kristen Natal dan
Paskah ditandai sebagai hari libur umum masyarakat Australia tradisional sebagai hal
yang secara agamis diangap netral. Namun ini tidak membantu kaum Muslim yang
mempunyai hari-hari perayaan agamanya sendiri. Menunda waktu kerja harian
sejenak untuk melakukan shalat adalah sebuah masalah baru bagi pihak majikan.
Masalahnya bukan hanya soal waktu, tetapi juga kebutuhan tersedianya sebuah ruang
pribadi khusus untuk melakukan shalat, juga fasilitas lain untuk melaksanakan
penyucian (wudhu) bagi kaum perempuan dan laki-laki, yang memerlukan saluran air
khusus.112
Puasa menimbulkan masalah yang lebih besar. Hal itu mengesankan sebuah
beban yang berat, terutama selama bulan-bulan musim panas ketika siang hari rata-
rata berlangsung selama sampai tujuh belas jam untuk berpuasa, membuatnya
semakin berat dengan suhu udara tang tinggi. Ini menuntut beberapa keringanan atau
setidaknya pengakuan di pihak pengelola managemen perusahaan. Meskipun
110
Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck
Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 207.
111
Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 208. Lihat juga Gary
D. Bouma, Religiuos Tolerance in Australia, The World Conference on Religion and Peace, 1995, h.
27.
112
Masih banyak para pemilik pabrik yang mempekerjakan penganut Islam yang tidak mau tahu
tentang peranan dan makna hari-hari libur bagi kaum Muslim. Namun sebagian lagi sangat toleran dan
menganggap hal itu secara moral dan integritas akan meningkatkan produktifitas kerja.
119
113
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, Departement of
Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in
Assotiation with The University of Melbourne, 2004, h. 52.
120
untuk wudhu, dan bahwa makanan halal bisa tersedia. Beberapa isi roti sandwich
yang paling populer di kalangan anak-anak Australia termasuk produk daging babi.
Masalah akan muncul dalam keikut sertaan dalam kegiatan sosial seperti kunjungan
ke McDonald’s, ekskursi, atau barbecuqes, atau tidur dengan teman. Bagi para gadis
yang telah mencapai usia pubertas, masalah bisa menjadi runcing: apakah mereka
harus ‘menutup‘ atau berada dalam kelas campuran, pakaian bagaimana yang harus
mereka pakai untuk olah raga, atau bila mereka harus berenang dalam acara
gabungan laki-laki dan perempuan. Anggota komunitas Muslim lebih merisaukan hal-
hal itu bagi anak-anak mereka daripada untuk diri mereka sendiri, karena anak-anak
membutuhkan dukungan dan perlindungan keimanan mereka dan sangat rapuh tidak
seperti halnya orang dewasa. Sejumlah sekolah ada yang menyediakan fasilitas yang
diperlukan. Beberapa guru meminta pedoman bagaimana caranya agar anak-anak
Muslim bisa berintegrasi di sekolah dan membantu mereka agar tahu di mana shalat
bisa dilaksanakan.
Tak ada formula yang instan untuk menyelesaikan isu-isu ini, terutama
disebabkan kaum Muslim merupakan minoritas memiliki cara mereka sendiri dan ada
perbedaan-perbedaan di kalangan Muslim sendiri tentang bagaimana mereka
seharusnya diperlakukan, Ada yang lebih suka berdekatan dengan komunitas
Australia yang lebih besar serta memiliki sikap terbuka dan percaya diri pada dunia
luar. Ada yang merasa membutuhkan suatu ruang Islami khusus dalam komunitas
mereka sendiri, di mana mereka dapat menjadi diri mereka sendiri. Beberapa lebih
suka menginterpretasikan secara luas, yang lainnya lebih cenderung pada norma-
norma yang lebih konservatif, norma-norma sikap yang diatur dalam tradisi Islam
tertentu. Semua, satu sama lain, mencari cara sendiri untuk menjawab situasi yang
baru, namun tetap menjaga apa yang disebut sebagai inti nilai-nilai transendental
Islam. Yang cukup menghebohkan adalah isu tentang nikah antar agama, terutama
pernikahan seorang perempuan Muslim dengan seorang non Muslim, yang
mempunyai risiko perpecahan keluarga yang tak dapat disatukan kembali.114
114
Michael Humphrey, ‘Islam, Immigration and the State: Religion and Cultural Politics in
Australia’, dalam Alan Black (ed.), Religion in Australia: Sociological Perspectives, Allen and Unwin,
Sydney 1991, h. 179. Lihat juga Michael Humprey, Islam: A Test in Multiculturalism in Australia,
Asian Migrant, vol. II, no.2, April-June, 1989, h. 49-51.
121
115
Lihat juga Stephen J. Rimmer, The Cost of Multiculturalism, h. 11.
116
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 226. Lihat juga Hanifa
Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, the AustraliaCouncil, Sydney, 1995, 12-13.
123
117
Kasus terakhir adalah peristiwa penganiayaan terhadap sekelompok pemuda keturunan Asia di
pinggir sebuah pantai kota Sydney yang kemudian menimbulkan gelombang protes terhadap sikap
yang rasis. Memang sikap masyarakat Australai sangat mudah terpancing oleh peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan Islam dalam konteks baik domestik maupun internasional. Di lain pihak, sebagian
dari mereka juga akan membela, bila ada peristiwa yang menyangkut masalah kemanusiaan dan
keadilan, seperti penyerangan Israel terhadap kamp-kamp Palestina dan Libanon.
124
keberadaan satu sama lain sebagai komunitas yang dihormati, bukannya yang
disaingi, dalam kaitan perjalanan keimanan. Kehangatan dan persahabatan sebagian
besar menggantikan persaingan dan kebencian lama. Perubahan sikap ini meluas ke
tradisi-tradisi agama di luar Kristen. Bagi banyak orang, termasuk Yudaisme dan juga
secara keseluruhan, dengan tumbuh dan pentingnya komunitas imigran dari luar
Eropa, agama-agama seperti Islam, Hindu, Buddha, Sikh, dan semacamnya – menjadi
kepercayaan baru selain dari apa yang sudah menjadi arus besar Australia selama ini.
Gambaran ini juga terjadi di beberapa gereja negara-negara Eropa dengan
meningkatnya kesadaran atas eksistensi kaum imigran sebagai kelompok minoritas.
Hal ini bisa dilihat poster-poster di depan pintu gereja yang mengumumkan
penyelenggaraan kuliah tentang Islam: ‘Kenalilah
tetanggamu’ (Get to know your neighbours).
Banyak komunitas Kristen di Australia dewasa ini berusaha untuk mengerti
dan menghargai teologi, nilai-nilai moral, dan disiplin sosial dalam ajaran Islam.
Mereka merujuk pada orang Muslim sebaga anggota dari suatu komunitas
monoteisme yang lebih besar, mengakui orang Muslim sebagai bagian dari umat
Tuhan dalam apa yang disebut doa penawar (bidding prayers) dalam liturgi Minggu
yang mengangkat suatu komunitas yang memperoleh berkah dari Tuhan. Bilamana
ada tamu Muslim dalam acara-acara yang diikuti komunitas campuran agama seperti
acara pernikahan, pembaptisan, dan pemakaman, ayat-ayat dari Qur’an juga terkadang
dikumandangkan.
Sejumlah organisasi yang bertujuan untuk mencapai pengertian agama secara
timbal balik, memberi kaum Muslim semacam perasaan terikat dengan Australia. Di
antaranya adalah the World Conference on Religion and Peace (WCRP), yang telah
merintis peran mendorong pemberian dukungan kelompok pada kaum imigran baru.
Organisasi ini menyelenggarakan sejumlah konferensi dan mengeluarkan berbagai
booklet yang memberi dasar-dasar pengertian antar agama dan penghormatan satu
sama lain dalam hal-hal yang praktis, umpamanya membantu pemukiman masyarakat
dan memeriksa kelayakan persiapan pemerintah untuk pendatang baru. Judul-judul
publikasi mereka menunjukkan tujuan organisasi: With Other Faiths—A Guide to
118
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.
125
Living with other Religions; Religious Pluralism in a Liberal Society; Faith to Faith –
Belief in a Pluralist Society and Guidelines on Dialogue with People of Living
Faiths.119 Booklet yang pertama menggambarkan dua inisiatif daerah, satu di
antaranya berkaitan dengan hubungan masyarakat di kota Springvale, dekat kota
Melbourne. Satu lagi, sekelompok pemimpin agama mengorganisir sejumlah
pertemuan dalam bentuk rapat bulanan secara teratur. Yang lain berupa serangkaian
program diskusi diselenggarakan di mesjid Preston di Melbourne. Salah satunya,
dipimpin seorang Muslim dan seorang Kristen, dengan mengambil tema ‘Kepahaman
Agama sebagai Keanggunan Manusiawi’ (Religious Understandings of Human
Dignity). Pimpinan mesjid dan pendeta lokal serta anggota kongregasi bersama
membuat sebuah komitmen untuk mendukung pertemuan-pertemuan ini.
Di New South Wales dan Victoria, pimpinan-pimpinan komunitas agama
melakukan pertemuan dua kali setahuan untuk menbicarakan isu-isu lokal seperti
rasisme dan pencemaran rasial, dan di Victoria, sekelompok lain menggarap
pendekatan bersama pada euthanasia (pelaksanaan kematian secara lunak pada kasus
penyakit yang tak tersembuhkan). Satuan-satuan antar agama, atas nama UNICEF,
membahas isu yang berkaitan dengan anak-anak di Pasifik dan Asia Tenggara. Sekitar
enam tahun yang lalu, WCRP mengundang seorang profesor Malaysia, Chandra
Muzaffar, ke Australia untuk memberi sambutan pada pertemuan tentang ‘Agama dan
Kehormatan Manusia: Hak-hak dan Tanggung Jawab’ (Religious and Human Dignity:
Rights and Responsibilities). Namun demikian, hingga saat ini tidak banyak
pertemuan yang ditujukan pada dialog teologis, sebagian disebabkan pada kenyataan
bahwa komunitas Muslim di Australia pada saat ini lebih memusatkan perhatian pada
isu-isu survival dan juga kalangan cendekiawan kelas menengah Muslim.
Meskipun jumlahnya masih kecil, namun ada pertumbuhan kesadaran di
Australia tentang nilai-nilai dan kepahaman agama dalam teologi tradisi agama
minoritas, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial yang tercermin dalam
tradisi budaya mereka. Satu indikasi dari hal ini tampak dengann masuknya tema-
119
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, in Yvonne Yazbeck Haddad &
Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211 . Lihat juga Abdullah
Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
126
tema dan motif-motif budaya sastra Islam dalam literatur Australia berbahasa Inggris.
Pengertian terhadap unsur-unsur biasa dalam tradisi beragam ditanamkan melalui
sistem pendidikan, dan para guru agama mempunyai tanggung jawab khusus, bersama
dengan para pengarang buku teks, atas penyelenggaraan kuliah-kuliah di berbagai
tingkatan. Ini dilakukan di luar batas toleransi kawasan keragaman sampai pada suatu
penyadaran bahwa ada unsur-unsur yang bisa diendapkan bersama.
127
BAB IV:
DINAMIKAPEMBANGUNAN KOMUNITAS ISLAM AUSTRALIA
120
Penulis juga menyaksikan hal yang serupa ketika dipercaya menjadi khatib dan imam pada
shalat ‘Iedul Fitri’ di Monash University, Melbourne, 2000, yang dihadiri oleh warga Muslim
Australia yang datang dari berbagai latar belakang negara.
128
121
Anthony H. John, Anthony and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yazbeck
129
Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 195.
130
orang Muslim lainnya mungkin masih dalam tahap marginal atau bahkan sangat
insidental terkait dengan etnisitas atau komitmen keagamaan mereka. 123
Menurut sensus tahun 1996, 72,161 atau 35,9 persen komunitas Muslim
Australia yang lahir di negeri ini merupakan kelompok tungal terbesar.124 Mereka
yang dilahirkan di luar negeri, sebagian besar lahir di Libanon, 27,125 (13,5%),
diikuti Turki pada angka 22,270 (11,1%). Dalam susunan besaran angka menurun,
6,939 dari Indonesia, 6,651 dari Bosnia-Herzegovina, dan 5,221 dari Iran, diikuti
orang Muslim yang lahir di Fiji, Siprus, Malaysia, Mesir, Makedonia, India, dan
Singapura, sampai Amerika Serikat, diwakili jumlah sampai 242. Mereka yang lahir
di Australia sebagian besar tetap menjaga komunitas etnik dengan orang tua mereka.
Tidak semua merupakan anak-anak dari generasi pertama kaum migran, ada sejumlah
kecil keluarga-keluarga Muslim hasil bentukan lama, demikian juga mereka yang
berasal dari peralihan dari orang Australia. Namun karakteristik orang Muslim yang
lahir di Australia relatif muda, stabil dalam kehidupan kekeluargaan, jumlah anak, dan
tingkat perkawinan luar agamanya paling rendah di Australia merupakan indikator
pertumbuhan komunitas Muslim yang kuat dan berlanjut, dan berakar Islam sebagai
agama di Australia.125 Sementara itu, pertumbuhan komunitas Muslim Australia juga
sangat beraneka. Headline surat kabar, stereotip, dan klise-klise populer tentang Islam
menggambarkan bahwa di sana ada sebuah entitas tunggal Muslim, ketika dalam
kenyataannya banyak komunitas-komunitas Muslim yang ‘merajut’ kesatuan Islam
Australia.
122
Philip Huges, ‘Australia’s Religious Profile’, dalam Bouma, Gary D. Bouma (ed.), Many
Religions, All Australian: Religious Settlement, Identity and Cultural Diversity, h. 29-30.
123
Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, ‘Searching for Identity; Muslims in Australia’,
dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, UNSW
Press, Sydney, 2003, h. 3.
124
Angka-angka ini merupakan perkembangan dari data ABS 1991
125
Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, ‘Searching for Identity; Muslims in Australia’,
dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 5.
,
131
126
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.
132
127
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 210.
128
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 56-57
133
Menurut data terakhir, seperti yang disebutkan Abdullah Saeed130, ada lebih
dari 100 mesjid dan sejumlah besar fasilitas shalat lainnya di seantero Australia.
Mesjid tidak hanya ada di Sydney dan Melbourne, tetapi semua ibu kota di Australia
punya mesjid. Pada umumnya mesjid adalah non sektarian (tidak terikat pada satu
sekte/aliran); artinya mereka tidak terikat ada satu kelompok aliran agama tertentu
atau sekolah resmi tertentu. Biasanya, tiap orang Muslim, tak peduli apapun etnis,
budaya, orientasi keagamaannya, atau sekolahnya, bisa datang dan melaksanakan
shalat di mesjid mana saja. Pada suatu mesjid tertentu, memang terlihat terlihat
praktek shalat Sunni berlangsung bersamaan dengan cara Muslim Shi’ah atau seorang
dari Afrika sembahyang bersebelahan dengan seorang yang kelahiran
Australia.
Sebuah mesjid bisa dijalankan oleh sebuah masyarakat yang didominasi oleh
sebuah kelompok etnik tertentu, seperti orang Pakistan, Bosnia atau Afganistan.
Bagaimanapun, kegiataan berjamaah ini bukan dilakukan oleh hanya satu kelompok
etnik. Orang Muslim yang berdiam di kawasan itu, tak peduli apapun latar belakang
etniknya, biasanya datang ke mesjid setempat.
Di Australia ada tiga jenis mesjid yang berbeda. Mesjid terbesar mempunyai
beberapa fasilitas seperti, ruang kelas, sebuah toko buku, dan kantor-kantor. Ada juga
129
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck and
Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.
130
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53. Lihat juga
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 49. Micheal Humphrey, ‘Community,
Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian
Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988, h. 258-259.
134
mesjid-mesjid kecil yang tidak punya fasilitas ekstra, dan lainnya ada ruang shalat,
seperti pada ruang kerja dan di universitas-universitas.131
Persetujuan pembangunan mesjid tidak selalu mudah diperoleh. Beberapa
orang mengeluh pada penguasa lokal, di antaranya karena masalah kemacetan lalu-
lintas selama waktu shalat atau gangguan ketenangan di pagi hari karena suara azan.
Di tahun 1995 sebuah gereja Prebysterian yang tidak dipakai di didistrik kota Sydney
Bankstown dibeli oleh sebuah organisasi Pusat Islam Bangladesh (the Bangladesh
Islamic Centre). Dewan Daerah Bankstown, yang telah memberikan izin
pembangunan gereja di tahun 1954, menolak pemanfaatannya sebagai mesjid. Di
tahun 1998 masalah ini masuk ke Pengadilan Lahan dan Lingkungan (Land and
Environment Court), yang mendukung penolakan itu, menegaskan bahwa, sebuah
mesjid, meskipun juga sebuah tempat beribadah, bukan sebuah
gereja, yang didefinisikan sebagai tempat memuja dalam tradisi Kristen. Penegasan
ini berhasil ditentang atas dasar pihak hakim tidak mampu menilai definisi kamus
secara lebih luas, di antaranya yang memasukkan sebuah mesjid atau sebuah kuil ke
dalam pemaknaan kata ‘gereja’, dan karena itu, sejauh sebagai ‘gereja’ merujuk pada
sebuah tempat untuk beribadah bukan sebuah struktur fisik, sehingga sebuah mesjid
termasuk dalam deskripsi tersebut. Saat keputusan itu dibatalkan bertepatan dengan
perayaan ‘Id al-Adha.132
131
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
132
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck and
Jane I. Smith (eds.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 203.
135
133
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.
136
3. Seharusnya ada pertukaran dan komunikasi antara satu negara dengan yang
lain.134
Di tahun 1974, Raja Faisal dari Saudi Arabia mengirim sebuah delegasi terdiri
dari Dr. Kettani, mewakili Liga Dunia Muslim (The World Muslim League) dan
Mr.I.Mosley mewakili Saudi dari Kementerian Luar Negeri ke Australia dalam
sebuah misi khusus. Tujuan utama delegasi ini adalah untuk menyelidiki pertikaian
antara dua kelompok Muslim di Sydney yang masing-masing meminta bantuan dana
bagi proyek masing-masing dan saling mengeluhkan yang lainnya. Setelah tiba di
Sydney, delegasi mengadakan tur ke semua negara bagian kecuali Tasmania dan
Northern territory. Dalam laporannya Dr, Kettani mengedepankan beberapa gagasan
dan rekomendasi mengenai organisasi dan kesejahteraan kaum Muslim di Australia.
Ia merekomendasikan 1,2 juta dollar bantuan untuk berbagai proyek
bagi kaum Muslim di Australia dan mendesak pemerintah Saudi Arabia untuk
mengakui AFIC sebagai satu-satunya organisasi mewakili Muslim di Australia. Ia
juga menyarankan agar semua makanan halal yang di impor ke Saudi Arabia diberi
sertifikasi oleh organisasi tersebut. Semua rekomendasi diterima oleh Liga Dunia
Muslim dan pemerintah Saudi Arabia dan di tahun 1976 AFIC menetapkan anggaran
dasarnya yang baru.135
134
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
h. 51. Lihat juga Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 139.
135
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
h. 51.
137
136
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland di Melbourne, 3 Nopember 2000.
138
137
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 132-134. Lihat juga Micheal Humphrey, ‘Community,
Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian
Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988, h. 261.
139
yang cukup. Kedua, pemimpin yang muncul dari kelompok etnik, AFIC, dan negara
bagian.
138
Irene Donohue Clyne, ‘A Community on Campus: Muslim Students in Australian Universities’,
dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (eds.), Muslim Communities in Australia, h. 145.
140
Menurut Sensus 1996, terdapat 10.498 mahasiswa Muslim yang menuntut ilmu di
Australia.
Mereka melakukan aktifitas sosial dan keagamaan di kala waktu senggang dan
di tengah kesibukan kuliah mereka. Ada pula yang melakukannya secara reguler.
Mereka pada umumnya melakukan kegiatan tersebut saat diminta oleh sekelompok
pengajian tertentu yang telah mengenal mereka baik secara etnik maupun latar
belakang negara yang sama. Kegiatan tersebut dilakukan pada hari-hari libur yang
bertempat di rumah-rumah warga Muslim atau dalam gedung pertemuan. Para
pendakwah mahasiswa ini berasal dari perguruan tinggi umum dan agama. Dalam
kasus Indonesia, mahasiswa dari perguruan tinggi umum berasal dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajahmada, dan lain-lainnya. Nama-nama
seperti Dedi Mulyana, Antonio Syafi’i, Budi Faisal, , dan lain-lainnya merupakan
pemimpin agama dari perguruan tinggui umum ketika mereka sedang menuntut ilmu.
Sedangkan dari perguruan tinggi agama, kebanyakan berasal dari Universitas Islam
Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Nama-nama yang dikenal
sebagai pemimpin dari perguruan tinggi agama ini antara lain Bambang Pranowo,
Fachry Ali, Shirazi, Arskal Salim, dan lain-lainnya.139
Mereka pada umumnya diminta untuk memberikan pengajian agama, cara
baca tulis al-Qur’an untuk anak-anak, dan membantu proses pernikahan. Acara
pengajian dihadiri oleh warga Muslim yang mempunyai latar belakang etnik yang
sama dan kadangkala dari etnik lain dengan menggunakan dua bahasa yang berbeda.
Kepemimpinan individu seperti ini tidak bersifat permanen, tetapi bersifat
temporal. Kegiatan yang dilakukan pemimpin individu akan berakhir ketika kuliahnya
selesai. Namun kepemimpinan tersebut akan berlanjut dengan digantikan oleh
mahasiswa internasional lainnya yang selalu datang belajar setiap tahunnya.
139
Wawncara pribadi dengan Dedi Mulyana di Jakarta, 14 Februari 2006.
141
Salah satu pemimpin itu adalah pemimpin agama. Mereka disebut imam dari sebuah
mesjid yang berfungsi memberi pelayanan sehari-hari di mesjid dalam berbagai
kegiatan keagamaan. Di Australia seorang imam secara garis besar dapat disamakan
dengan seorang ‘menteri agama’. Menurut Standar Penggolongan Pekerjaan Australia
(the Australian Standard Classification of occupations) atau disingkat ASCO, para
‘menteri agama’ melaksanakan fungsi-fungsi spiritual terkait dengan kepercayaan dan
praktek keyakinan agama dan memberi motivasi, pedoman serta pelatihan kehidupan
keagamaan bagi masyarakat kelompoknya, kelompok pengajian atau komunitas.
Persyaratan akademik untuk bisa masuk ke dalam satuan kelompok ini adalah
minimal bergelar akademik tingkat bakaloriat atau yang lebih tinggi. Ada persyaratan
terkait dengan komitmen pribadi yang tinggi dan peminatan, disamping kualifikasi
atau pengalaman formal lainnya.
Tugas seorang imam mencakup: 140
melaksanakan shalat secara teratur;
menyiapkan dan memberi ceramah (umpamanya, di hari Jum’at) dan tugas-
tugas khusus lainnya,
memberi nasehat dan pengarahan spiritual,
ikut serta da;am kegiatan-kegiatan sosial dan kesejahteraan masyarakat,
mendorong orang agar lebih menyadari tanggung jawabnya, dan
mengorganisir proyek-proyek partisipasi masyarakat;
Melaksanakan kelas pelajaran agama, mengawasi shalat; dan kelompok-
kelompok diskusi,
Melaksanakan penasehatan pra perkawinan dan keluarga dan merujuk pada
dinas-dinas profesional terkait yang diperlukan,
Melaksanakan nikah dan upacara kematian sesuai peraturan agama dan
undang-undang sipil serta menyimpan catatannya sesuai persyaratan undang-
undang yang berlaku.
Sheikh Fehmi adalah salah satu contoh pemimpin Muslim Australia yang
paling aktif dalam dialog antar agama dan salah satu dari direktur eksekutif dari the
142
140
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 134.
141
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 135. Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians:
Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
143
142
Wawncara dengan Bilal Cleland di Melbourne, 5 Nopember 2000.
143
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
144
Dalam wawancara penulis dengan Bilal Cleland, mantan Sekjen AFIC dan aktifis Muslim
berlatar belakang Anglo-Saxon, dan beberapa Pengurus AFIC lainnya, 8 Oktober tahun 2000,
mengatakan sulitnya perkembangan Islam di Australia karena Imam yang lebih berorientasi etnis dan
tidak mengenal lingjkungan baru yang ditempatinya.
145
bertindak aktif pada tingkat lokal, negara dan federal dalam memperomosikan
kebutuhan kaum Muslim dan dalam memainkan peran signifikan menengarai dan
memfasilitasi antara masyarakat yang lebih luas, pemerintah, dan komunitas Muslim.
Di samping itu muncul pula pemimpin kelompok di kalangan kaum Muslim
Australia yang berasal dari tiga tingkatan atau lapisan. Menurut Abdullah Saeed, hal
Ini dapat dilihat pada:
Masyarakat dan asosiasi Muslim, setidaknya dalam teori, terjaring melalui dewan
Islam negara bagian terkait. Semua dewan negara bagian kemudian diwakili di tingkat
nasional oleh AFIC.
Ketiga lapis ini diatur oleh undang-undang. Keanggotaan bergilir pada badan
korporasi ini sebagian besar terdiri dari pemimpin-pemimpin kalangan biasa, bukan
kaum imam yang telah mendapat pelatihan khusus tentang disiplin keagamaan islami.
Ini sebagian diakibatkan oleh jarak yang sering muncul antara imam dan budaya lokal
serta bahasa setempat. Karena itu, pihak pemimpin kalangan biasalah yang
memainkan peran cukup substansial dalam mewakili kaum Muslim dalam
berhubungan dengan para politisi, pemerintah, media, dan organisasi-organisasi
komunitas non-Muslim lainnya.146
Sejauh apa suatu hubungan yang produktif bisa muncul dari antara tiga pelapisan
organisasi korporasi masyarakat Muslim ini masih bisa diperdebatkan. Ketegangan-
ketegangan antara masyarakat Muslim dapat dicerminkan pada area kepemimpinan
dan bisa melibatkan pertengkaran-pertengkaran etnis, politis, dan keagamaan dalam
sebuah masyarakat atau dewan negara, antara satu masyarakat dengan yang lainnya,
145
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 138.
146
Lihat Gary D. Bouma et al (ed.), ‘Muslims Managing Religuos Diversity’, dalam lAbdullah
Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 63.
146
antara sebuah masyarakat dan sebuah dewan, atau bahkan antara sebuah dewan dan
AFIC.
Meskipun ada beberapa posisi pemimpin yang ada pada masyarakat Muslim di
Australia, tidak banyak upaya signifikan yang dilakukan untuk menyatukan
pencalonan pemimpin-pemimpin agama atau satu pemimpin agama sebagai wakil
seluruh penduduk Muslim Australia, meskipun beberapa komunitas menginginkan
posisi seperti itu. Sebagai akibat banyaknya perbedaan etnis, politis, dan teologis yang
muncul di antara kaum Muslim Australia, maka sangat sulit sekali bagi orang untuk
memilih seseorang yang dapat diterima mewakili keseluruhan komunitas Muslim. 147
Bagi sementara orang, tokoh yang mendekati persyaratan itu adalah Taj al-Din
al-Hilali, seorang imam berbasis di Sydney. Ia dianggap oleh sebagian kaum Muslim
dan non-Muslim sebagai ‘Muftinya Australia’. Gelar ‘Mufti’148 dengan jelas diberikan
oleh Kongres AFIC pada Taj al-Din, sementara terjadi kampanye di tahun 1980-an
oleh sekelompok Muslim dan masyarakat Libanon yang minta ia di deportasikan dan
kemudian Menteri Imigrasi, Hurford, mengabulknnya lalu memutuskan untuk
mendeportasikannya. Tidak semua orang Muslim di Australia yang menganggap dia
sebagai sang ‘Mufti dari Australia’, juga mereka tidak mengakui fatwa-fatwa yang
dikeluarkannya. Seperti halnya imam manapun di Australia, dia mempunyai pengikut
yang kuat di bagian-bagian tertentu dalam komunitas Muslim, khususnya di daerah
Lakemba, Sydney.
Di tahun 1990-an, kepemimpinan religius kolektif mulai muncul dengan
berdirinya sebuah Dewan Para Imam (Board of Imams) di berbagai negara bagian
Australia, seperti di New South Wales dan Victoria. Tiap Dewan mengumpulkan para
imam mesjid untuk berdiskusi dan membuat keputusan-keputusan tentang masalah-
masalah yang menjadi perhatian kaum Muslim. Meskipun secara teoritis sebuah
Dewan mewakili para imam dari semua mesjid di negara bagiannya, dalam
prakteknya hanya sejumlah kecil yang benar-benar berperan dalam pertemuan-
pertemuan mingguan atau bulanan dan memberi kontribusi selama proses
147
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 55.
148
Seorang yang berhak mengeluarkan fatwa atau dekrit-dekrit agama.
147
pengambilan keputusan. Apakah Dewan para Imam ini akan berkembang menjadi
sebuah kepemimpinan religius kolektif pada level nasional atau tidak belum jelas
benar. Ini merupakan sebuah bentuk kemungkinan, yang pada saat ini tidak mungkin
bisa terjadi. Sebuah konferensi nasional para imam diselenggrakann oleh AFIC di
tahun 1998 untuk membentuk ikatan (kohesi) nasional pada kepemimpinan para
imam, namun inisiatif ini belum dilanjutkan dalam konferensi-konferensi selanjutnya.
Kepemimpinan agama juga muncul dari organisasi mahasiswa internasional
yang sedang belajar di Australia. Mereka memainkan peran yang cukup signifikan
bersama masyarakat Islam dalam kegiatan keagamaan dan informasi yang bersifat
umum di Australia. Mereka mendirikan The Muslim Student Association (MSA) dan
Federation of Australian Muslim Students and Youth (FAMSI). Sasaran dakwah
mereka tidak hanya terbatas pada internal kampus, tetapi juga pada masing-masing
etnis Muslim Australia. Karena itu, mereka kerap diangkat sebagai pemimpin agama.
Pertanyaan tentang siapa yang berbicara atas nama siapa? Dalam isu
keagamaan, apakah ada sebuah otoritas yang dapat menjadi acuan kaum Muslim?
Meskipun ada Mufti Australia yang dapat memberikan fatwa, namun belum tentu
semua orang akan mengkutinya. Salah satu yang dapat menjadi sumber
representasi kelompok Islam adalah Dewam-Dewan Para Imam; namun pada
umumnya para imam berbicara atas nama komunitas agamanya sendiri, atau
setidaknya beberapa anggota dari komunitas
tersebut. Sejak peristiwa pemboman tanggal 11 September 2001 dan serangan balik
yang diakibatkannya pada kaum Muslim di Australia, ada permintaan untuk
menyatukan suara kaum Muslim tentang isu-isu keagamaan. Terlepas dari bisa
tidaknya hal ini menjadi kenyataan, adalah tidak mungkin untuk mencegah pihak
komunitas lainnya mengutarakan opini mereka, khususnya para pemimpin kalangan
biasa yang berpengaruh.
Berdasarkan hal ini, bisa dikemukakan bahwa tidak seorangpun atau satu
kelompok masyarakat pun yang bisa berbicara atas nama seluruh komunitas Muslim,
apalagi mengenai masalah-masalah keagamaan. Komunitas dibagi secara teologis,
dalam orientasi religiusnya, dan dalam paham etnisitas dan pendekatan pada Islam di
Australia. Selanjutnya, ada kaum Muslim yang bervariasi bentuk komitmen nya pada
148
Islam mulai dari yang secara total mengikat diri sampai yang secara total menolak.
Jadi, seorang pemimpin agama secara satu persatu tidak bisa berbicara atas nama
sekian banyak masyarakat yang berbeda. Secara historis, komunitas Muslim telah
menerima dan memanifestasikan keanekaan dalam batasan mereka, dan lebih dasri ini
menjadi kasus di Australia. Satu-satunya kesimpulan yang bisa dicapai adalah bahwa
kepemimpinan agama di kalangan masyarakat Muslim Australia akan tetap terbagi
selama waktu ke depan yang tak terperkirakan.149
Distribusi Geografis
Gary D. Bouma dalam bukunya tentang Mesjid dan Pemukiman Muslim di
Australia,150 menguraikan sebagian besar kelompok Muslim sebagian besar menetap
di Sydney, negara bagian New South Wales (51,02 persen) dan Melbourne, negara
bagian Victoria (33,38 persen). Sebagian kecil (15,60 persen) hidup di luar sebuah
dari kota-kota utama Australia.
Tabel 6 memperlihatkan distribusi geografis populasi Muslim di Australia menurut
negara bagian dan jenis kelamin dibandingkan dengan populasi lainnya (Sensus
1996).
149
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland di Melbourne, 4 Nopember 2000.
150
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 28.
149
Tabel 6: Populasi Orang Muslim Menurut Negara Bagian dan Jenis Kelamin
Dibanding dengan Sisa Populasi lainnya (Sensus 1996)
150
Queensland 0,30
Male 5 022 1 673 220 0,26 4,77
Female 4 399 1 695 630 0,28 4,60
Total 9 421 3 368 850 4,69
South 0,37
Australia 2 566 702 215 0,31 2,44
Male 2 232 725 721 0,34 2,34
151
Australia 0,87
Capital 1 280 147 830 0,78 1,22
Territory 1 186 151 413 0,82 1,24
(ACT) 2 466 299 243 1,23
Male
Female 0,20
Total 442 226 338 0,16 0,42
365 233 321 0,18 0,38
Tasmania 807 459 659 0,40
Male
Female 0,38
Total 390 101 370 0,40 0,37
378 93 731 0,39 0,40
Northern 768 195 101 0,38
Territory
Male 19,11
Female 355 1 858 24,03 0,34
Total 352 1 465 21,28 0,37
707 3 323 0,35
Other
territories* 1,19
Male 105 313 8 849 224 1,06 100,00
Female 95 572 9 043 199 1,12 100,00
Total 200 885 17 892 423 100,00
Total
Australia
Male
152
Female
Total
151
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 29.
154
membentuk suatu komunitas dan biasanya di suatu tempat yang tersedia tanah yang
cukup untuk membangun atau suatu bangunan yang dijual dan kemudian ditempati
bersama-sama. Hal ini terlihat di area Mesjid Preston di Melbourne dan daerah
Lakemba di Sydney.152
Di Sydney, masyarakat Islam bertempat tinggal daerah pinggiran (suburbs),
seperti Auburn, Smithfield dan Greenacre. Di Lakemba terdapat Pusat Kebudayaan
Islam dan Nerwork Informasi. Lembaga ini menyediakan jasa kepada masyarakat
Muslim, seperti tempat pertemuan dan informasi. Tempat-tempat ini kadang-kadang
bergaya Islam. Mereka juga menyediakan daerah pekuburan Muslim. Di Melbourne,
daerah pekuburan Muslim terdapat di Fawkner dan Springvale.
Organisasi Islam juga terdapat di Australia baik yang berafiliasi kepada etnis
maupun negara bagian. AFIC yang berbasis di Sydney merupakan representasi
perwakilan umat Islam di Australia. Lembaga ini tidak membawahi kelompok-
kelompok Islam lainnya melainkan sebagai wahana pemersatu kepentingan umat
Islam secara menyeluruh dalam bidang politik, media, dan jasa lainnya. 153
2. Pemukiman
Secara historis, kaum penunggang onta dari Afganistan dibawa ke Australia
antara tahun 1860 dan 1910 merupakan orang terawal dari kelompok etnik lainnya
yang datang dan menyebabkan kehadiran kaum Muslim in Australia masa kini;
mereka telah menjadi bagian dari sejarah dan cerita rakyat Australia. Ceritanya
dimulai ketika Thomas Elder dan Samuel Stuckey menyadari kelayakan
menggunakan binatang onta sebagai alat transportasi dan eksplorasi ke pedalaman
Australia, dan di tahun 1866 mengimpor 124 onta dan tiga puluh empat penunggang
berkebangsaan Afganistan. Mengomentari pentingnya penunggang onta Afganistan
ini, ditulis oleh Christine Stevens sbb.:
Selama hampir lima pulun tahun kaum lelaki Muslim dan binatang
mereka menyeberangi tiga perempat kawasan benua Australuia
untuk memberi pelayanan dan menyambung hidup serta industri di
pedalaman yang keras. Tanpa keahlian yang istimewa dan
pemeliharaan orang-orang Muslim yang berguna ini – di antara
152
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 4.
153
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 4.
155
154
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 62.
155
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 52.
156
lain yang tengah menderita kesulitan ekonomi untuk pergi mencari keberuntungan ke
sana. Pekerja-pekerja baru ini menuju Australia melalui Singapura dan Hong Kong.
Akhirnya, di tahun 1880-an, mereka mulai mendiami Perth, Syndey, dan Melbourne,
mengumpul di beberapa distrik tertentu, termasuk Redfern di Sydney. Banyak dari
mereka bekerja sebagai penjaja. Banyak dari mereka bekerja sebagai penjaja. Sambil
menjajakan dagangan mereka di jalan, menyediakan barang-barang yang dibutuhkan
di luar pusat-pusat utama penduduk, mereka menumbuhkan suatu sistem perkreditan
timbal balik di kalangan petani di pedalaman. Sementara menurut Steven, mereka
dibenci di beberapa tempat, Hanifa Deen justru mengatakan bahwa mereka disenangi
dan dihormati karena kejujuran dan peran yang mereka mainkan itu. Setelah tiba
sebelum diberlakukannya Kebijakan Australia Putih, mereka juga mampu
menghidupkan diri mereka di kawasan pedesaan, umpamanya di lembah La trobe,
sebagai pekerja pertanian; beberapa di antara mereka mengurus perkebunan pisang di
Queensland.156 Dalam skala kecil bentuk interaksi ini merupakan contoh awal
hubungan sosial yang bermanfaat antara kaum imigran Muslim dan pemukim Kristen
di Australia yang telah lebih dahulu datang.
Pengenalan trasnportasi mekanik di akhir abad ke-16 membawa kehancuran
alat angkut onta. Ketika di tahun 1901, sebuah Federasi didirikan di bekas-bekas
koloni di mana benua Australia pernah menjadi bagiannya, komitmen awalnya pada
Kebijakan Australia Putih telah mengeluarkan hampir semua orang non-Eropa dari
hak-hak untuk mengajukan permohonan naturalisasi dan semakin memarginalkan
orang-orang Afganistan. Penolakan kewarga-negaraan, dan dengan semakin
mengecilnya kesempatan mendapat pekerjaan, menyebabkan banyak dari mereka
yang masih tinggal memilih untuk pulang ke negeri asal mereka.157 Namun, ada juga
yang tetap tinggal di daerah-daerah seperti Wyndham, di pantai barat laut (north-west)
Australia. Penciutan jumlah ini semakin mempersulit mereka yang masih menetap
utnuk mempertahankan identitas keislaman mereka. Menjelang tahun 1921, tinggal
hanya kurang dari tiga ribu penetap Muslim di Australia. Diasingkan dalam
156
Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, h. 23.
157
Mary Lucille Jones, ‘Muslim Impact on Early Australian Life’ dalam Mary Lucille Jones (ed.),
An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 46.
157
keagamaan dan ras oleh kelompok dominan masyarakat Anglo-Celtic putih, banyak
keturunan Muslim ini kehilangan keyakinan keIslaman mereka.
Namun, mereka tidaklah lenyap tanpa bekas. Onta-onta yang mereka
tinggalkan di pedalaman Australia berkembang biak dan secara teratur di ekspor ke
Saudi Arabia dan negara-negara Teluk untuk lomba balap. Lebih penting lagi,
beberapa mesjid yang telah mereka bangun tetap hidup. Salah satu yang tertua ,
dibangun tahun 1889 dan masih dipakai, ada di Adelaide; yang lain, dibangun tahun
1891 di Broken Hill, New South Wales, sekarang menjadi sebuah museum dibawah
pengurusan the Broken Hill Historical Society.158 Sisa sejumlah mesjid lainnya masih
bisa dilihat di jalur lama ke arah barat laut (north-west) antara Adelaide dan Brisbane.
Pedagang-pedagang onta meninggalkan jejak mereka dalam lansekap Australia
dengan cara yang lain. Sekarang, di Alice Springs, masih ada jalan bernama
Mahomet, Jalan Khalick, juga ada the Charlie Sadadeen School. Nama populer bagi
Trans Australian Railway adalah Ghan, berasal dari nama pengendara onta Afganistan
yang membantu pendirian sistem transportasi pertama melintasi kawasan tengah
Australia yang gersang tahun 1879.159 Dan memang, seorang Afganistan asli yang
datang tahun 1886, tingggal di sini sampai kematiannya di tahun 1962 pada usia 106
tahun.160
Namun demikian, sebuah penghormatan kecil pada kaum Muslim dari sub-
kontinen India berlanjut selama tahun-tahun berlakunya Kebijakan Kulit Putih
Australia. Di tahun 1920 ada sedikit angin tenang dalam penerapan undang-undang
imigrasi (the Immigration Act), yang memungkinkan terjadinya reuni sejumlah kecil
keluarga. Dengan merdekanya sub-kontinen India dan terciptanya negara Pakistan,
sejumlah orang Muslim ini atau keturunan mereka kembali ke tempat asal mereka,
namun yang lain tetap tinggal di Australia.
Secara umum, federasi di tahun 1901 menandai masa akhir masuknya orang
Muslim ke Australia. Kebanyakam kaum imigran berasal dari Inggris dan Eropa;
secara agama, mereka membawa tradisi Judeo-Kristiani dan memberi kontribusi pada
158
Lihat Micheal Humphrey, ‘Community, Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata
(ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, h. 258-259.
159
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 20.
160
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 32.
158
161
Mesjid yang indah ini terletak di tengah kota yang strategis dan di tengah perumahan kelompok
Kulit Putih. Setiap Jum’at, khutbah disampaikan dalam bahasa Albania dan disimpulkan dalam bahasa
Arab. Menurut pengamatan penulis, yang sering shalat Maghrib di mesjid ini tampak lebih berorientasi
pada masyarakat Muslim pada umumnya ketimbang etnik (moderat).
159
kebijakan Australia Putih, namun urutan latar belakang etnik mereka jauh di luar
campuran Anglo-Celtic
campuran yang telah menjadi tulang punggung utama populasi Australia.
3. Pendidikan
Peningkatan pendidikan Islam di Australia sangat berkaitan AFIC. Organissasi
ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern Islam dari tingkat dasar sampai
menengah di tahun 1980-an, yang dibiayai oleh Saudi Arabia. Antara lain, The King
Khalid Islamic College di Melbourne dan The Malik Fahd Islamic School di Sydney,
dan Islamic College di Perth. Kurikulum yang diajarkan tidak hanya bersifat
keagamaan, tetapi juga pelajaran umum. Alumni-alumni sekolah ini diakui bermutu
dengan diterimanya mereka di pendidikan tinggi Australia. Kelanjutan finansial
sekolah-sekolah Islam ini dan sekolah Islam lainnya didukung dan disubsidi oleh
pemerintah Australia dari pungutan pembayar pajak Australia. Bandingkan dengan
negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris yang tidak memiliki sistem
sekolah Islam yang didanai oleh negara.162
Pentingnya lembaga-lembaga pendidikan modern Islam sangat mendukung
kelanjutan proses pendidikan generasi kedua dan ketiga warga muslim yang datang
dan lahir di Australia. Karena latar belakang mereka yang datang dari negara
berkembang dan sedang diamuk perang saudara, maka sebagian besar dari mereka
berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian. Hanya sebagian kecil yang
memiliki kualifikasi pendidikan akademi/tinggi dan keahlian sehingga mau tidak mau
mereka termajinalkan dalam berbagai akses yang dituntut dalam struktur sosial
masyarakat Australia yang sudah mapan.
Bagaimanakah partisipasi orang-orang Muslim lebih lanjut dalam
memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan? Sensus tahun 1991 memberi
informasi tentang kualifikasi yang diterapkan dan usia lepas sekolah. Perbandingan
dengan gambaran nasional memang penting, namun sebuah gambaran yang lebih
lengkap bisa diperoleh dengan membandingkan orang-orang Muslim dengan profil
162
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.
160
kelompok immigran dari agama minoritas lainnya yang baru datang, seperti orang-
orang Hindu atau Buddha.
Pola menyeluruh tentang perolehan kualifikasi bagi kaum Muslim cukup sama
dengan pola-pola nasional. Orang-orang Muslim ternyata sangat berlebihan
keterwakilannya dalam kelompok berpendidikan tinggi. Hal ini tidak mengherankan
bila diingat nilai tinggi yang diberikan pada pendidikan dan pengetahuan dalam Islam
dan dari kenyataan bahwa para pelamar imigrasi kebanyakan lebih disukai yang
berkualifikasi tinggi selama proses seleksi. Para pria Muslim khususnya kurang
terwakilkan di kalangan yang berkualifikasi ahli kejuruan. Apakah orang-orang
Muslim terhambat dalam hal keahlian magang? Lepas dari keadaan terwakilkan
secara berlebihan di kalangan penyandang gelar perguruan tinggi dan di kalangan
tanpa kualifikasi keahlian, para pria dan wanita Muslim kurang terwakilkan dalam
tiap jenis kualifikasi lainnya.163
Fasilitas Pendidikan
Awal tahun 1950-an, terjadi gerakan-gerakan di antara generasi Muslim yang
lebih tua, sedikit saja jumlahnya, ke arah terciptanya sebuah kerangka kerja
terorganisir untuk memelihara Islam di Australia. Pendirian ‘Sekolah Minggu’
menandai pengakuan para orang tua akan kebutuhan penyediaan pendidikan Islami
bagi anak-anak mereka. Satu dari sekolah- sekolah awal yang dibuka di Melourne di
tahun 1957 memiliki limabelas anak-anak.164 Baru pada awal tahun 1980-an sekolah-
sekolah reguler Islam yang pertama didirikan.
163
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 33.
164
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 30.
161
Sumber: Tabel matriks sensus 1991 CSC 6037 dan ABS Cat. No. 2722.0, tabel B15.
165
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 205.
166
Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 56.
163
167
Distrik Brunswick merupakan kawasan tempat tinggal kelompok Muslim dari berbagaii negara,
termasuk para mahasiswa internasional, umumnya dari Indonesia karena akses yang dekat dengan
beberapa kampus, tempat mereka belajar.
164
168
Untuk mengetahui jumlah lembaga atau kelompok sosial keagamaan Islam di Australia, lihat
lampiran.
169
Setiap tahun kelompok-kelompok tur ini memberangkatkan ummat Islam yang menunaikan
ibadah haji dan umrah. Dan jumlah perseta yang berangkat setiap tahunnya mengalami peningkatan.
165
meskipun hanya ada satu pemberi dana lokal yang Islami. Koperasi Komunitas
Muslim Australia (the Moslem Community Co-operative of Australia), yang dalam
proses menaikkan statusnya menjadi sebuah lembaga perkreditan (a credit union).
Banyak organisasi perempuan telah terbentuk untuk maksud-maksud pengabdian atau
pendidikan, sebagai kelompok pendukung dan membantu kaum perempuan mengurus
kehidupan di Australia. Sebuah Jaringan Nasional Wanita Muslim se-Australia
(Muslim Women’s National Network of Australia) menerbitkan sebuah newsletter
secara reguler.
Sambil berpartisipasi dalam arus besar media, kaum Muslim menjalankan
stasiun-stasiun radio berskala kecil di kawasan-kawasan utama metropolitan
Melbourne dan Sydney. Koran dan majalah Muslim lokal juga ikut serta. Australian
Muslim News adalah sebuah publikasi jangka panjang di bawah panji AFIC.
Penerbitan lain termasuk majalah Salam, Nida’ al-Islam, dan serangkaian newsletter
mahasiswa. Hampir semua berbasis di Sydney atau Melbourne.
4. Pekerjaan
170
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.
166
Secara umum status sosial ekonomi kelompok Islam masih pada tingkat
marginal, karena berbagai hambatan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan.
Sebagian kecil dari mereka ada yang menduduki posisi ‘upper class’, namun sebagian
besar menempati posisi ‘lower class’. mereka Gary D. Bouma171 dalam
penelitiaannya tentang pemukiman dan pekerjaan kaum Muslim Australia,
menguraikan bahwa distribusi kerja kaum Muslim yang dipekerjakan memberi
gambaran lain tentang caranya komunitas Muslim membentuk diri. Banyak dari
kaum imigran yang tiba lebih awal dilaporkan memasuki dunia kerja di bidang
pekerjaan proses dan industri. Tabel 9 menggambarkan dari Sensus 1991, bagaimana
pola itu berkembang pada semua Muslim yang bekerja pada saat itu.
Tabel 9 memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti namun kerap ditemui
antara pola pekerjaan laki-laki dan perempuan, di mana lebih banyak buruh
administrasi perempuan dan tenaga penjual (sales) atau pemberi jasa (service
personnel) dan lebih banyak seniman laki-laki. Karena 13.1 persen dari total tenaga
kerja di Australia terlibat dalam perburuhan atau kerja sejenis, kaum Muslim
ditampilkan secara berkelebihan dalam kategori ini. Suatu bentuk penampilan
berkelebihan juga tampak dalam kategori operator pabrik dan mesin serta supir (12.7
persen) dan penjual (7 persen). Muslim kurang ditampilkan dalam jenis kerja lainnya.
Status tenaga kerja dari suatu komunitas imigran merupakan satu dari
indikator yang paling sensitif tentang bagaimana ia menyatu dengan masyarakat yang
dimasukinya. Tabel 10 menunjukkan data ini bagi kaum Muslim. Angka-angka yang
dibandingkan dengan total penduduk Australia adalah: Yang bekerja – 54,3 persen;
Tidak bekerja – 7,1 persen dan Tidak bekerja – 36,2 persen (ABS Cat. No. 2722.0,
tabel B20). Sebagai perbandingan 48 persen Kaum Laki-Laki Muslim dan 25 persen
Muslim wanita yang telah bekerja, dengan jumlah tingkat menyeluruh 37,5 persen.
Data ini berada di bawah rata-rata nasional.
171
Sebagai bahan perbandingan, dalam menganalisis status sosial ekonomi masyarakat Islam
Australia bisa dilihat dalam Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 30-34,
dan Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 36-40.
167
Source: Census matrix table CSC6033 and Basic Community Profile Cat. No.
168
Industri
Sekali lagi, tabel 11 menunjukkan bahwa kaum Muslim secara tidak
proporsional terlibat dalam industri manufaktur. Dengan 13 persen tenaga kerja
Australia yang masuk dalam dunia manufaktur, kaum Muslim tampak ditampilkan
secara berlebihan di sana. Orang Muslim ditampilkan agak sedikit dalam jasa
pelayanan masyarakat, administrasi umum, konstruksi, dan komunikasi.
Source: 1991 Census matrix table CSC 6034 (excludes overseas visitors)
169
Source: 1991 Census matrix table CSC 6033 and Basic Community Profile, ABS
Cat. No. 2722.0, table B22
Pendapatan (Income)
Distribusi pendapatan orang Muslim dapat diamati untuk memperoleh profil
komunitas dan lokasinya di tengah masyarakat Australia. Dalam hal ini data yang ada
berasal dari data penghasilan keluarga dan ini ditampilkan dalam tabel 12.
Komunitas Muslim itu muda, energik, dan menumbuhkan dirinya sendiri di
Australia. Dilihat dari Sensus tahun 1991, profil komunitas ini menampakkan
kesamaan secara garis besar dengan pola nasional dengan menampilkan beberapa fitur
170
berbeda, dengan semua komunitas imigran baru telah dan akan memakan waktu bagi
orang Muslim untuk bisa membentuk profil mereka sendiri. Sebagaimana halnya
beberapa grup etnik nasional di Australia yang telah mempunyai profil komunitinya
yang berbeda. Wajar bila diharapkan bahwa beberapa kelompok agama itu juga akan
memiliki profil yang khusus (berbeda). Profil seperti itu tak mungkin bisa dibuat
pembandingan. Sensus Australia memasukkan pertanyaan tentang ‘agama’ sehingga
memungkinkan pembandingan ini.
Menurut penelitian Bouma, angka yang tidak bekerja 22 persen untuk laki-laki
dan 14 persen untuk wanita keduanya ada di atas angka nasional. Kesulitan yang
dihadapi kaum Muslim ketika mencari kerja. Kesulitan untuk mendapat kerja
khususnya dinyatakan oleh mereka yang datang setelah tahun 1980, dan sebagian
besat terletak pada keterpurukan ekonomi. Ini ada di luar dari kenyataan bahwa
mereka sebenarnya bisa memperoleh sumberdaya dari komunitas Muslim yang lebih
terorganisir untuk membantu mereka mencarikan pekerjaan. Data ini merupakan
indikasi yang semakin membesar.172
Table 12: Family Income of Muslims in Australia at the 1991 Census (%)
Family income Muslim All
families families
$0-$3000 0.72 0
$3000-$8000 1.31 1.2
$80001-$12 000 2.57 2.2
$12001-$16 000 9.31 9.3
$16 001-$25 000 15.92 13.7
$25 001-$30 000 7.71 7.4
$30 001-$35 000 4.96 5.7
$35 001-$40 000 5.72 6.2
$40 001-$50 000 8.31 11.7
$50 001-$80 000 7.38 16.0
172
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 14.
171
dari dampak resesi pada kelompok ini. Di pihak lain, 41 persen yang tidak bekerja ada
sedikit di bawah rata-rata nasional, dan mungkin mewakili mereka dari struktur usia
muda dalam populasi kaum Muslim.
172
BAB V
‘DUNIA SIMBOLIK’:
ISLAM DAN IDE MULTIKULTURALISME
173
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., New York, 1973, h. 91.
173
174
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 89-91.
174
175
Disusun berdasarkan ABS 2001.
175
akan terus menuju sebuah persepsi yang lebih jernih tantang nilai-nilai dasar bersama
di balik bentuk-bentuk budaya yang beraneka. Masing-masing kelompok berupaya
mencapai keserasian lintas tradisi budaya satu sama lain guna lebih menyadari nilai-
nilai dan harapan yang mereka miliki bersama Dengan demikian, seluruh masyarakat
Australia dapat menyadari bahwa keragaman tradisi agama ini justru bisa
menghasilkan sebuah otoritas tertinggi dan transenden (mencerahkan) pada nilai-nilai
kelompok serta memberi peluang pada terciptanya prinsip-prinsip ketertiban dalam
kehidupan sosial.176
Manfaat dari kebijakan multikulturalisme ini telah dirasakan oleh kaum
Muslim Australia dengan dperolehnya sebuah suara dan sebuah identitas. Untuk
menghargai potensi dan kenyataan kontribusi mereka pada Australia, dapat dilihat
dari aspek kekayaan dan keragaman mereka. Keberadaan orang Muslim menyebar di
berbagai aspek profesi dan lapangan kerja dalam beragam tingkat pendidikan,
kesempatan, dan dorongan untuk memajukan mobilitas. Namun demikian, kesetiaan
etnik masih tetap dipelihara, dan ini menjadi karakteristik tradisi ke-Islaman. Oleh
karena itu, selalu ada pembauran (fusi) dalam bentuk-bentuk universal dengan
doktrin-doktrin Islam, kepercayaan, serta gaya hidup lokal, dengan etnisitas yang
tetap menjadi unsur penting dalam komposisi umat Islam di Australia.
Kaum Muslim Australia membawa sederet kekayaan budaya dan keragaman
latar belakang yang dicerminkan dalam aneka respon mereka pada lingkungan yang
baru. Banyak yang merasa tercerabut dan mengalami trauma ketika mendapati diri
mereka sebagai sebuah minoritas agama berada dalam situasi yang tidak dikenal dan
dipaksa untuk mengadopsi berbagai strategi hidup yang berbeda. Pada mulanya, tidak
ada negara atau komunitas lokal yang mau memberi dukungan, apalagi menawarkan
pengakuan pada keyakinan mereka atau pada ritus-ritus yang mengidentifikasikan
mereka sebagai sebuah komunitas. Mereka membawa sebuah keyakinan (keimanan)
yang diekspresikan melalui budaya dengan akar sejarah yang dalam, sebuah ragam
kekerabatan dan jaringan dukungan asosiasi, dan sebuah kesadaran, betapapun samar
formulasinya, sebagai pendukung sebuah tradisi besar dalam pembelajaran, seni dan
176
Hambatan utama pembauran ummat Islam Australia dengan kelompok lain, khususnya Kaum
Kulit Putih adalah masalah bahasa. Meski praktek Multikulturalisme memberi akses pada training
176
budaya. Namun, sebagai pendatang baru, mereka merasa dihitung kecil dan
menghadapi sikap-sikap yang masih bersifat streotip yang mengandung kebencian.
Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakan
respon yang biasa terjadi pada saat tiba di sebuah daerah di mana cara hidup lokal
kelihatan begitu membosankan, kosong, ikatan kekeluargaan lemah dan tak
berkembang.
Masyarakat Muslim di Australia pada umumnya bersifat perkotaan dan sedang
mengalami tahap perkembangan dalam membina hubungan-hubungan yang kompleks
antar berbagai komunitas. Islam di Australia hadir dengan semua tradisi utamanya
(Suni dan Syiah) serta komunitas yang lebih kecil seperti aliran Ismailiah dan
Ahmadiah, baik dari Lahore maupun Qadiani. Keragaman ini terdapat dalam gaya,
intensitas pengamalan ibadah, corak penafsiran teks kitab suci, dan cara interaksi
sosial mereka dengan komunitas non-Muslim. Semua komunitas ini bergerak dalam
berbagai cara dan kecepatan yang berbeda dalam sebuah proses menyesuaikan diri
dengan budaya dominan Australia. Secara umum, ini merupakan sebuah cerita sukses
dari sebuah pencapaian yang nyata. Dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun,
komunitas Muslim telah mulai meningkatkan diri mereka dan menciptakan struktur
sosial dan kemasyarakatan untuk mendukung suatu cara hidup Islam. Terpaut masa
sejarah satu abad atau lebih, mesjid-mesjid telah tampil dengan keindahan
arsitekturnya yang khas, dan tidak lagi menjadi sekedar penampilan eksotik di tengah
lanskap Australia. Tempat-tempat ini menjadi sarana untuk melakukan shalat dan
merayakan identitas keislaman.177
Kesuksesan cerita komunitas umat Islam di Australia adalah memerlukan
suatu proses yang panjang dan mendapat perhatian pemerintah federal Australia.
Selama tahun 1970-an dan 1980-an, imigran yang baru, terbagi dalam kelompok
penetap dan menurut negara (by residence and by state). Australia sebagai sebuah
negara federal, mulai melakukan konsolidasi posisi mereka yang terdiri dari berbagai
etnis. Kelompok-kelompok Islam bermekaran, masing-masing berlokasi di sekitar
area mesjid atau fasilitas sembahyang dan diatur agar memenuhi kebutuhan dan
bahasa, namun hal ini tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh kelompok etnik Muslim.
177
177
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck
Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 212.
178
Mary Lucille Jones, ‘To Rebuild What was Lost: The Post-War Years and Beyond’, dalam
Mary Lucille Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h.
98.
178
179
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 139.
180
Dalam konteks kasus generasi di Amerika Serikat, para pemuka agama mengkhawatirkan
generasi ketiga akan mengalami distorsi keagamaan, khususnya Islam. Hal serupa juga dijumpai oleh
kalangan pemuka Islam di Australia.
179
seperti halnya individu dari latar belakang etnik atau warna kulit manapun.
Penerimaan ini dudukung sejumlah undang-undang dan lembaga yang melindungi
kelompok minoritas etnik. Dalam Undang-Undang Persemakmuran (the
Commonwealth Act) yang terkait di sini adalah Equal Employment Opportunity
(Commonwealth Authorities) Act 1987, the Human Rights and Equal Opportunity
Commission Act 1986, the Racial Discrimination Act 1975, the Racial Hatred Act
1995.
Pengakuan tentang peran agama dalam masyarakat multikultural Australia
telah menjadi bagian dari simbol betapa pentingnya penting pertimbangan dan
masukan agama pada tingkat politik Australia. Kebijakan-kebijakan multikultural
Australia selalu menyebut agama, seperti tercantum dalam buku putih Agenda
Nasional 1989 tentang multikulturalisme yang mengidentifikasikan tiga dimensi
dasar kebijakan multikultural, yaitu identitas budaya, keadilan sosial, dan efisiensi
ekonomi. Identitas budaya didefinisikan sebagai ‘hak semua orang Australia, dalam
batas-batas yang ditentukan dengan hati-hati untuk menyatakan dan membagi warisan
budaya individual mereka, termasuk bahasa dan agama’. Keadilan sosial
diidentifkasikan sebagai ‘hak semua orang Australia untuk mendapat perlakuan dan
kesempatan yang sama, dan penghapusan hambatan-hambatan dalam bentuk ras,
etnisitas, budaya, agama, bahasa, jender atau tempat lahir’. Bouma berpendapat
bahwa pertimbangan tentang isu-isu agama justru menjadi masukan yang sangat
diperhitungkan di saat kebijakan-kebijakan multikultural Australia dirumuskan.181
Sebuah masyarakat multikultural, menurut Bouma, adalah yang dicirikan oleh
pluralitas agama, yaitu kesediaan untuk hidup bersama antara organisasi-organisasi
agama, sebuah semangat (spirit) saling menghormati antar agama, dan kesediaan
bekerja sama antara pihak pemerintah dan aparatnya di semua lapisan dengan
organisasi agama. Negara Australia dan pemerintah federal berkomitmen pada
kebijakan-kebijakan multikultural untuk mengurangi diskriminasi atas dasar agama.
Ketika tidak ada perundangan yang bisa dikategorikan sebagai ‘Bill of Rights’,
undang-undang melawan pelecehan dan diskriminasi atas berbagai dasar
180
diberlakukan. Ketika banyak kemajuan telah tercapai ada banyak ruang untuk
melangkah lebih maju. Ada kasus-kasus pelecehan, intimidasi, pemanggilan-nama,
penolakan kerja, penolakan persetujuan membangun mesjid dan kuil, masalah-
masalah perumahan atau akses kepada jasa pelayanan berdasarkan perbedaaan agama
di Australia. Bagaimanapun, tidak ada rasa antipati yang berdasarkan kesepakatan
bersama, atau diakui agama, atau dinyatakan secara terbuka terhadap kelompok
lain.182
Bouma mengidentifikasikan faktor demografi dan faktor struktur sosial
sebagai kontributor kunci pada keberhasilan Australia sebagai sebuah masyarakat
multikultural, yaitu kurangnya (tiadanya) situasi tumpang tindih antara perbedaan
etnik dan agama; kurangnya (tiadanya) ghettonisasi masyarakat agama dan etnik;
depolitisasi perbedaan agama, penyelesaian konflik agama/etnik yang tanpa kekerasan
(non violent) sebagian besar melalui perundangan dan sidang pengadilan, eksistensi
organisasi-organisasi yang secara efektif mempromosikan hubungan antar kelompok
secara positif; dan ukuran kelompok minoritas yang relatif kecil. Bouma menganggap
bahwa realitas sosial kelompok minoritas bukanlah sebuah tantangan nyata pada
kelompok-kelompok agama dominan, karena jumlah mereka dibandingkan dengan
mayoritas kelompok etnik Australia kurang dari empat persen. Di samping itu,
kelompok-kelompok non-Kristen juga mempunyai keanekaan etnik yang
menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan terjadi tantangan yang signifikan bagi
terciptanya konflik.
Kenyataan di atas dllihat berbeda dengan pandangan Michael Humphrey,
salah seorang peneliti Islam Australia. Menurutnya, tantangan agama dalam
kehidupan multikulturalisme di Australia masih menghadapi berbagai persoalan. Ia
menganggap formulasi ‘Islam di Barat’ menggambarkan pertemuan dua kebudayaan
yang tidak cocok dan menyamaratakan (homogenising), yang satu agama dan yang
lainnya sekuler. Dari perspektif Barat, kehadiran Islam yang muncul lewat imigrasi,
dimunculkan sebagai sebuah kasus percobaan (as a test) bagi masa depan sebuah
181
Miichel Spuler, ‘The Impact of Multiculturalism on Australian Religious Traditions’, in
Jounal DISKUS, vol. 5, 1999, h. 1. Pendapat ini banyak didukung oleh para akademisi. Diakses dari
www.uni.marburg.de/religionswissenschaft/journal/diskus, tanggal 28 Pebruari 2005.
181
182
Miichel Spuler, ‘The Impact of Multiculturalism on Australian Religious Traditions’, dalam
Jounal DISKUS, 2004, h. 2.
183
Michael Humphrey, ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’, dalam Abdullah
Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 33.
182
keagamaan yang tradisional, kemudian masuk ke tempat baru yang asing dan bersifat
‘mega cities’.
Beberapa isu kelompok Muslim yang menjadi perhatian dalam kerangka
resistensi budaya, antara lain politik Islam, sistem perundangan sendiri, dan
demokrasi. Persoalan politik Islam yang menyangkut negara Islam adalah
menyangkut penafsiran umat Islam yang berbeda. Pada umumnya masyarakat Islam
Australia yang menganut paham ini sangat sedikit dan ide tentang kekhalifahan atau
pan-Islamisme telah berakhir sejak tahun 1924 pada masa dinasti Usmani runtuh.
Kelompok ini juga tidak memiliki keinginan untuk mempunyai sistem perundang-
perundangan sendiri, karena hampir semua tampak cukup nyaman dengan sistem
perundangan Australia, yang tidak membatasi pelaksanaan ibadah agama sebagai
individu.
Dalam aspek demokrasi, masyarakat Islam cenderung menolak ketika paham
ini diperkenalkan ke dunia Islam oleh Barat, karena paham ini dianggap bertentangan
dengan konsep Islam tentang negara dan pemerintahan. Namun sekarang, mayoritas
umat Islam mendukung demokrasi dan di banyak negara Muslim, paham ini telah
diberlakukan sebagai bagian dari bentuk pemerintahan tanpa mengingkari masih
adanya rezim yang otoriter di beberapa negara.
Pandangan di atas dapat menjelaskan bahwa resistensi permanen umat Islam
Australia yang menganggap Islam sebagai agama yang bertentangan dengan nilai-
nilai dasar orang Australia tidak dapat dijadikan landasan yang kuat. Arus utama
(mainstream) kelompok Muslim Australia beranggapan bahwa mereka juga terikat
dengan nilai-nilai dasar Australia sama dengan orang Australia lainnya. Nilai-nilai itu
mencakup komitmen pada negara Australia, kepentingan dan masa depannya,
penerimaan terhadap struktur dan prinsip-prinsip masyarakat Australia, seperti
Konstitusi (undang-undang), aturan hukum (rule of law), demokrasi parlementer,
kebebasan beragama, kesamaan gender, dan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional.
184
Wawancara pribadi dengan Adis Dudireja via internet, 10 Juli 2006.
183
185
Wawancara pribadi dengan Adis Dudireja, 10 Juli 20006. Lihat juga tulisanya berjudul Debates
Among Muslims about the Nature of Prophetic Authority –Implications for the Role of Islam in the
185
Prinsip ajaran Islam di atas tampak sejalan dan sesuai dengan dua tahap
perkembangan dan tujuan dari multikulturalisme Australia, yaitu fase pertama,
penekanan pada keanekaan budaya atas dasar prinsip penghargaan pada hak-hak asasi
manusia. Pada fase ini, perlindungan dan pemeliharaan budaya merupakan salah satu
faktor kunci untuk dapat memberi dorongan orang untuk mempertahankan warisan
budaya mereka dan menghargai tradisi budaya yang beraneka dengan tujuan untuk
memperkuat identitas nasional bangsa dan pengayaan (enrichment) budaya. Prinsip
paling penting dalam hal ini adalah toleransi (tasamuh). Berdasarkan pandangan itu,
masyarakat harus memberi penghargaan yang sama pada tradisi budaya orang lain. Di
samping itu, perlu adanya kesediaan masyarakat untuk mendorong tradisi-tradisi lain
agar bergerak maju dalam konteks sebuah masyarakat demokratis yang menghormati
hak-hak setiap individu. Prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hak
semua individu tanpa memperdulikan latarbelakang etnik, budaya, dan agama. Di
Australia, ini diperkuat melalui kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya
undang-undang anti diskriminasi sosial (The Racial Discrimination Act). Undang-
undang ini merupakan legitimasi dalam kerangka rule of law.
Fase kedua, memasukkan dimensi keadilan sosial sebagai inti dari prinsip
multukulturalisme. Ini berarti ideologi ini tidak hanya menekankan pada kemerdekaan
pribadi perorangan, tetapi juga tentang keadilan sosial bagi semua. Prinsip dasar di
sini adalah setiap orang berhak memperoleh persamaan sosial (social equity),
terutama persamaan untuk mendapatkan akses dan pelayanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidup, seperti pemukiman awal, penyediaan sarana informasi,
kesejahteraan sosial, dan lapangan kerja.
Demikian pula, kebijakan multikulturalisme tidak hanya berkait dengan
masalah toleransi, tetapi juga penerimaan pada budaya lain sebagai sesuatu yang
mempunyai nilai yang sama untuk dikembangkan masyarakat itu sendiri, seperti
terlihat dalam konsep al-maslahat dan al-masāwah dalam ajaran Islam. Hal ini
terlihat dalam tujuan multikulturalisme,186 yaitu pertama, perekat sosial (social
cohesion), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan berbagai
cara guna mencapai kebutuhan bersama; kedua, identitas budaya (cultural identity),
yaitu hak masyarakat dijamin dan diperbolehkan untuk mengekspresikan dan
mewarisi budaya masing-masing, termasuk bahasa dan agama; ketiga, persamaan
kesempatan dan akses (equality and access) di mana masyarakat diberi kesempatan
dan akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan pekerjaan;
keempat, kesamaan tanggungjawab (equal responsbility), komitmen dan partisipasi
yang sama (commitment and participation) yang mensyaratkan kelompok minoritas
setia kepada negara melalu rasa tanggungjawab dan partisipasi dalam kegiatan
masyarakat dan berpegang teguh kepada ideologi multikultural.
Hubungan agama dan multikulturalisme dalam masyarakat Australia memang
menjadi wacana perdebatan, karena terlihat adanya perbedaan nilai-nilai satu sama
lain. Ideologi multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan Pemerintah Australia
dianggap sebagai sebuah idealisme sekuler. Di kepala banyak politisi dan pemimpin-
pemimpin akademik Australia tampaknya ada semacam keyakinan atau katakanlah
sebuah harapan bahwa komponen agama dalam kebudayaan itu bersifat urusan
pribadi. Pada saat kebijakan multikulturalisme harus berhadapan dengan nilai-nilai
publik; bagi kaum politisi Australia umumnya, agama diletakkan di ‘belakang pintu
yang tertutup.’
Namun demikian, agama merupakan bagian dari budaya Australia. Agama
sebagai bagian dari budaya yang tak terpisahkan dari sistem nilai masyarakat
Australia yang sedang mengalami perubahan. Agama mempengaruhi kehidupan orang
– dalam pengertian baik ataupun buruk – sejak pertama kali orang Eropa datang ke
daratan ini. Agama orang Aborigin Australia sekarang mulai mempengaruhi cara
berfikir sebagian orang Australia khususnya dalam lingkup keadilan ekologis
(ecojustice) dan spiritualitas.
Untuk membahas agama dalam konteks multikulturalisme, menurut Robert
Crotty, harus dimulai dari pembahasan mengenai makna kebudayaan. Meminjam
definisi budaya Geertz, Crotty beranggapan bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah
sebuah sistem simbol yang diwariskan turun temurun. Kebudayaan bersifat dinamis
dan dapat menyesuaikan diri, bukannya statis atau deterministik. Kebudayaan
187
187
Robert Crotty, ‘Multiculturalism and Religious Pluralism: Interaction and Overlap’, dalam
Norman C. Habel (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, h. 31-32.
188
semua budaya agama itu benar, semua agama dianggap mempunyai kebenaran sejauh
menyangkut simbol yang Mutlak.
Dalam konteks masyarakat multikultural Australia, sikap mental
keberagamaan kelompok Islam masih dibayangi oleh sikap pencarian jati diri (search
for identity) antara identitas Islam dan identitas nasional Australia. Terlepas dari
wacana perdebatan kedua bentuk ini, pada kenyataannya masyarakat Islam Australia
tengah berproses untuk menegaskan terjadinya pembauran di antara keduanya melalui
pengalaman keseharian dalam interaksi sosial mereka di tengah manstream penduduk
Australia. Memang, kata Azyumardi Azra, kompatibilitas Islam dengan nilai-nilai
demokrasi yang dianut Barat tidaklah mudah untuk dipertemukan. Namun demikian,
diperlukan perumusan konseptual untuk dapat diterapkan dalam tingkat
wacana dan praksis.188 Citra diri dalam suatu masyarakat tidaklah statis. Identitas
adalah relatif dan tergantung situasi, selalu berubah dan menyesuaikan diri pada
lingkungan-lingkungan sosial yang tengah bergerak. Identitas seseorang pada
umumnya merupakan sebuah kombinasi kesetiaan dan rasa tanggung jawab. Identitas
kelompok dapat berubah dalam setting sosial yang beragam, dan hal ini tampak pada
identitas kaum Muslim Australia.
Kelopok minoritas Muslim Australia tidak mungkin dapat berintegrasi dan
‘survive’ di dalam masyarakat Australia tanpa membuat paradigma baru yang
membentuk sebuah identitas baru. Identitas baru tersebut adalah hasil kombinasi dua
nilai yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Percampuran ini disebut
dengan cultural hybridity, yaitu masyarakat Islam yang mempunyai sebuah identitas
berdasarkan komitmen pada norma-norma sekuler masyarakat Australia dan tradisi
Islam/etnis. Proses ini pada dasarnya sedang berlangsung dalam kehidupan Muslim
Australia, khususnya dalam generasi kedua dan ketiga. Sebuah generasi yang tidak
lagi mempertentangkan persoalan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender,
ideologi politik Islam, dan lain sebagainya. Di sisi lain, pihak tuan rumah dengan
sungguh-sungguh dapat menghilangkan sikap yang rasis dan ethnosentris baik dalam
188
Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dinamics in a Global Context,
International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta, 2006, h. 148-149. Lihat juga Azyumardi Azra
dalam ‘Kata Pengantar’ buku karangan Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, alihbahasa
Zubair dan Ilham B. Saenong, Teraju, Jakarta, 2003, h. xvi.
189
bentuk fisik maupun kebudayaan yang menjadi ciri kebijakan assimilasi dan
menggantinya dengan multikulturalisme.
Munculnya multikulturalisme sebagai kebijakan ideologi politik Australia
merupakan sebuah politik kebudayaan baru. Politik ini dibangun atas dasar bahwa
pluralisme budaya tidak cukup hanya dengan penghargaan terhadap perbedaan-
perbedaan kebudayaan, khususnya terhadap kelompok minoritas Islam dan kelompok
lainnya. Ini perlu diikuti dengan suatu pembentukan identitas baru berupa etnisitas
baru dengan segala representasi simbol budaya warga pendatang, yang disebut oleh
McGuigan sebagai ‘kesadaran ganda’ atau ‘identitas campuran’ (hybridity).
Konstruksi kesadaran ganda muncul di tempat mereka yang baru melalui proses
migrasi global. Mereka menciptakan diaspora-diaspora baru di mana mereka harus
belajar untuk menempati paling sedikit dua identitas, berbicara dua bahasa budaya,
dan menterjemahkan serta bernegosiasi di antara keduanya.189
Hasil rekonstruksi percampuran berbagai elemen bertujuan untuk menciptakan
identitas baru sekaligus cara untuk bertahan hidup (survive) dan berjuang dalam
kondisi krisis dan transisi. Sebuah perjuangan untuk representasi yang melibatkan
demistifikasi, yaitu untuk menentang streotip yang negatif dan merendahkan serta
marginalisasi pada orang berkulit berwarna secara sosial budaya, ekonomi, dan
politik. Dengan demikian, hibriditas adalah sebuah konsep yang menekankan ‘posisi-
antara’ dan interkultural serta melibatkan semacam kreolisasi.
Syarat utama keberhasilan identitas baru yang bersifat campuran tersebut
haruslah sejalan dengan prinsip dasar multikultralisme Australia dan ajaran Islam itu
sendiri, yaitu adanya pemahaman yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman
sosial, budaya, dan agama.
Ada beberapa model hubungan negara dengan multikuratulisme. Model
pertama adalah Negara sekularisme yang mendukung eksistensi dan kebebasan untuk
melaksanakan kewajiban agama dalam ideologi multikulturalisme. Model agama ini
tumbuh dalam alam multikulturalisme sebagai bentuk yang menekankan multi-religi
dan tetap berada di wilayah sekuler. Agama diyakini sebagai tindakan individu dan
190
merupakan ritual budaya yang tetap dipelihara, namun tidak esensial. Model ini
seperti terlihat pada bagan di bawah.190
Model 1. Agama non-Esensialistik/Semangat Multikulturalisme
Multikulturalisme
Multi-agama Sekuler
Ideologi Tunggal
189
Thung Ju Lan, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya,
Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002, h. 56-57.
191
Ideologi Tunggal
Ada juga model keempat yang menekankan multi-agama, tetapi tidak dalam wilayah
semangat multikulturalisme.
Model 4: Agama Essensialistik/Semangat Multi-Religi/non-Multikultural
Komunalisme
190
Model ini dipinjam dari Maloty Nye, yang dikutip oleh Gadis Arivia dalam, ‘Multikulturalisme:
Re-imagining Agama’, dalam Refleksi, vol. VII, no. 1, Fakultas Uhsuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta,
192
2005, h. 11-12.
191
Tahir Abbas, Religion, Radicalism and Multiculturalism: Indonesia and UK Experience,
International Seminar Paper, Muhammadiyah dan British Council, Jakarta, 30 Januari, 2006, h. 26
192
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 191.
193
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. iv-v.
193
Dalam hal ini, kasus Muslim Australia mungkin bisa menjadi gambaran
konflik antara identitas multikulturalisme sebagai identitas bangsa dan sikap ekslusif
agama. Menurut pengamatan penulis, terdapat polarisasi identitas migran etnis
Muslim Australia. Polarisasi tersebut berdasarkan citra, pengalaman hidup, sikap
mental, dan perilaku mereka dalam hubungan sosial mereka dengan masyarakat dan
pemerintah Australia yang bersifat multikulturalistik. Dalam kaitan ini, terlihat
194
Tabel ini dilihat melalui pengamatan dan wawancara penulis dengan mengadopsi tabel
penelitian Dedi Mulyana yang disesuaikan dengan objek kajian penulis. Lihat Dedi Mulyana,
Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and
Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne,
1995, h. 263-270.
195
195
Prof.Dr. Taufik Abdullah dalam Pengantar Seminar Internasional Islam and the West,
diselenggarakan oleh Pusat Bahasa-bahasa UIN Jakarta, 11-12 September 2002.
196
BAB VI
KESIMPULAN / PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehadiran kelompok Muslim di Australia telah berlangsung lama dan
mendahului invasi kaum kulit putih pada abad ke-18. Periode-periode kedatangan
tersebut mengalami pasang surut sesuai dengan situasi perkembangan politik migrasi
yang terjadi di Australia. Periode pertama ditandai dengan kedatangan kelompok
nelayan Makassar ke pantai utara Australia untuk menangkap trepang, namun tidak
meninggalkan bekas yang berarti bagi perkembangan Islam di daerah tersebut.
Periode kedua dimulai di tahun 1860-an dengan kedatangan kelompok Muslim
Afghanistan dengan membawa kenderaan onta untuk melakukan eksplorasi tambang-
tambang mineral di daerah pedalaman yang sulit dan pembukaan lahan-lahan
pertanian. Kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Australia di masa-masa
awal diakui secara luas oleh masyarakat Australia. Namun hal ini tidak berlangsung
lama saat diberlakukannya Kebijakan Kulit Putih Australia di tahun 1901 tentang
pembatasan naturalisasi kewargaa-negaraan yang berlaku hanya bagi kulit putih,
sedangkan bagi warga non-kulit putih ditolak kehadirannya. Peraturan yang bersifat
rasis dan diskriminatif ini mengakibatkan merosotnya jumlah penduduk Muslim di
Australia. Meski masa tinggal mereka tidak berlangsung lama, kontribusi mereka
terhadap perkembangan Islam diakui sejarah Australia sebagai fondasi kedatangan
Islam di Australia seperti terlihat adanya pembangunan-pembangunan mesjid.
Perkembangan Islam yang menurun di awal abad XX selama 47 tahun di
Australia, kembali menampakkan keberadaannya setelah meletusnya Perang Dunia II.
Perkembangan politik dalam dan luar negeri Australia secara tidak terduga membuka
pintu imigrasi bagi masuknya para imigran Muslim dari berbagai negara tanpa
peraturan yang sangat ketat. Kecilnya jumlah penduduk Australia di tengah
198
perkembangan ekonomi Australia yang meningkat tajam dan ancaman invasi tentara
Jepang ke Asia Timur merupakan alasan utama pemberlakuan peraturan imigrasi
tersebut. Gelombang besar imigrasi kaum Muslim dari Turki dan Libanon yang
signifikan ke Australia terjadi di tahun 1960-an dan 1970-an, karena alasan ekonomi
dan politik ke Australia telah membentuk basis populasi komunitas Islam di Australia
yang menyebar di seluruh negara bagian, khususnya di kota-kota besar seperti Sydney
dan Melbourne.
Eksistensi komunitas Islam di Australia ditandai dengan maraknya
pembangunan-pembangunan mesjid di berbagai kota negara federal dan berdirinya
organisasi-organisasi etnik Islam serta payung organisasi komunitas Islam di tingkat
pemerintahan pusat (AFIC). Fungsi mesjid bagi umat Islam di Australia secara
simbolik bukan hanya tempat melakukan kegiatan ibadah, tetapi merupakan tempat
ekspresi, interpretasi, dan perayaan upacara keagamaan. Ia menjadi rujukan
komunitas dan alat identifikasi identitas kultural masyarakat Islam. Demikian pula
organisasi AFIC yang memainkan peran sentral dalam memajukan kehidupan
beragama dan pendidikan dan mewakili suara kelompok Muslim Australia.
Seiring dengan tingginya fluktuasi penduduk imigran di Australia yang
menyebabkan pertumbuhan penduduk Australia meningkat hingga dua kali lipat di
tahun 1987 menimbulkan tekanan dari komunitas etnik dan sebagian penduduk
Australia terhadap kebijakan pemerintah yang masih menerapkan pendekatan
assimilaitif yang bersifat rasis dan diskriminatif. Masing-masing komunitas etnis dan
bangsa yang berasal dari 170 negara menganggap ideologi ini gagal dalam
mengakomodasi warisan kultural mereka, karena itu diperlukan adanya suatu
kebijakan baru yang mengakui eksistensi komunitas etnis (political recognation).
Tekanan ini mendapat respon yang positif dari Pemerintahan Whitlam di tahun 1973
dan didukung oleh masyarakat Australia secara luas dengan diberlakukannya
kebijakan baru Multikulturaslime dan menghapus kebijakan lama. Kebijakan baru ini
tidak hanya diberlakukan kepada masyarakat migran, tetapi mengikat kepada seluruh
masyarakat Australia dalam membangun tatanan nilai ideal bagi identitas nasional
Australia yang plural dan mengurangi ketegangan dan konflik.
199
mereka tentang lanskap Australia dengan segala pernik budayanya. Secara ekonomis,
kehidupan mereka terangkat dengan meningkatnya penghasilan mereka setiap tahun.
Begitu pula di bidang pendidikan, rata-rata generasi kedua dan ketiga lebih terdidik
dengan berdirinya sekolah-sekolah Islam reguler yang juga disubsidi pemerintah
Australia. Secara kultural, mereka mulai melakukan dialog dengan berbagai antar
agama dalam memahami pluralisme agama yang diselenggarakan berbagai pimpinan
etnis yang juga berbeda agama.
Berbagai negosiasi kemusliman telah berhasil memenuhi tuntutan mereka
seperti pemberian otorisasi dari negara dalam perkawinan menurut ajaran Islam
melalui imam-imam yang ditunjuk negara, mendapatkan visa untuk mendatangkan
pemimpin agama dari mancanegara, area pemakaman sesuai dengan tradisi Islam, izin
pembangunan mesjid, pendirian sekolah-sekolah Islan dengan memasukkan
kurikulum Islam disamping kurikulum nasional Australia. Dengan demikian, hak
asasi seseorang untuk melaksanakan agama dijamin pemerintah.
Setidaknya ada dua hal penting yang mempengaruhi kehidupan beragama etnis
Muslim di Australia. Pertama adalah dukungan ideologi multikulturalisme. Ideologi
ini tidak hanya menciptakan toleransi, tetapi lebih penting lagi mendorong
terwujudnya rasa keadilan sesuai dengan tujuan multikulturalisme itu sendiri. Kedua,
adanya dukungan komunitas Muslim luar negeri dengan pembangunan mesjid-mesjid
dan fasilitas sembahyang, penyediaan imam, dan fasilitas pendidikan bagi anak-anak
Muslim. Kedua faktor ini, khususnya ideologi multikulturalisme, telah merubah
pandangan mereka yang tadinya mayoritas konservatif menjadi inklusif dan moderat.
Reinterpretasi agama terhadap doktrin ajaran agama berlangsung di tengah
pergumulan mereka dengan masyarakat yang heterogen sejalan dengan meningkatnya
tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi kelompok Muslim.
Untuk menghindari terjadinya dikhotomi antara identitas kultural Islam dan
prinsip-prinsip nilai multikulturalisme yang masih menjadi ‘hantu’ sebagian
masyarakat Australia, maka identitas kelompok Islam haruslah melebur ke dalam
identitas nasional Australia yang ditandai dengan adanya loyalitas terhadap negara
dan bangsa. Perpaduan antara dua identitas Islam di satu pihak dan ideologi
multikulturalisme sebagai ideologi sekuler di pihak lain, bisa diselesaikan dengan
201
B. SARAN
Keberhasilan multikulturalisme sering menjadi acuan negara-negara lain di
dunia di dalam menerapkan ideologi tersebut. Belajar dari pengalaman Australia,
mungkin bangsa Indonesia dapat meminjam konsep tersebut untuk diterapkan di
Indonesia sebagai perwujudan dari Bihinneka Tungga Ika. Penerapan Konsep
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu, saat ini telah kehilangan daya gebrak
tentang pentingnya hidup bersama dalam perbedaan. Tunggal Ika lebih ditekankan
ketimbang Bhinneka, sehingga akhrnya melahirkan persatuan semu (pseudo-unity).
Multikulturalisme pada hakekatnya tidak hanya sekedar mencari persatuan, tetapi juga
menumbuhkembangkan budaya perbedaan dan keharmonisan.
Di sini perlunya kebijakan multikulturalisme sebagai kebijakan politik negara
Indonesia dalam kerangka pembentukan masyarakat multikultural yang sehat. Namun
hal ini tidak bisa dilakukan secara taken for granted dan trial error, sebaliknya
diupayakan secara sistematis , programatis, integrated, dan berkesinambungan.
Beberapa langkah yang paling strategis untuk mengelola keragaman, tidak hanya
202
Daftar Bacaan
Abbas, Tahir, Religion, Radicalism and Multiculturalism: Indonesia and UK
Experience, International Seminar Paper, Muhammadiyah dan British
Council, 30 Januari, Jakarta, 2006.
203
Adam, Enid and Philip Hughes, The Buddhists in Australia, Bureau of Immigration,
Multicultural and Population Research, Canberra, 1996
Ata, Wade Abe (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, Spectrum
Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988
Barth, Frederick, Kelompok Etnik dan Batasannya, alihbahasa Nining I. Soesilo, UI-
Press, Jakarta, 1988.
Baubock, Reiner et all (eds.), The Challenge of Diversity: Integration and Pluralism
in Societies of Immigration, Avebury, Vermont, 1996.
Baz, Ibn Shaykhs and Shaykh Uthaymeen, Muslim Minorities: Fatawa Regarding
Muslim Living as Minorities, Message of Islam, United Kingdom, 1998.
Burnley, Ian (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies,
Longman Chesire, Melbourne, 1985
Chauvel, Richard D., Budaya dan Politik Australia, Yayasan Obor Indonesia, Ja
karta, 1982
Clark, Manning, A Short History of Australia, A. Mentor Book, New York, 1969
Cleland, Bilal, The Muslims in Australia: A Brief History, Islamic Council of Victoria,
Melbourne, October 2002
Coughlan, James E., and Deborah J. McNamara (eds.), Asian in Australia: Patterns of
Migration and Settlement, Macmillan Education Australia, Melbourne, 1997
During, Simon (ed.), The Cultural Studies Readers, Routledge, London, 2000
Engel, Frank, Australian Christians in Conflict and Unity, The Joint Board of
Christian Education of Australia and New Zealand, Melbourne, 1984
Esman, J. Milton and Itamar Rabinovich, Ethnicity, Pluralism, and the State in the
Middle East, Cornell University Press, Ithaca, 1988
Esposito, John L. (ed.), Islam in Asia: Religion, Politics, and Society, Oxford, Press,
New York, 1987
Fawcett, Liz, Religion, Ethnicity and Social Change, Macmillan Press, London,
2000
Geertz, Clifford, The Religion of Java, The Free Press Glencoe, London, 1960.
-------------, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., New York, 1973.
Haddad, Yvonne Yazbeck (Ed.), Muslim in the West, Oxford University Press,
London, 2002
Hage, Hassan and Rowanne Cough (eds.), The Future of Australian Multicultural ism,
The University of Sydney, 1999
Hardjono, Ratih, Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya,
Gramedia, Jakarta, 1992
Jupp, James (ed.), The Challenge of Diversity: Policy Options for a Multicultural
Australia, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1989
--------------, Ethnic Politics in Australia, George Allen and Unwin, Sydney, 1984
Lan, Thung Ju, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan
Budaya, Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002
Lerda, Valeria Gennaro (ed.), From ‘Melting Pot’ to Multiculturalism: The Evolution
of Ethnic Relations in UN and Canada, Bulzoni Editore, Roma, 1990
207
Malik, Iftikhar H., Islam and Modernity: Muslims in Europe and the US, Pluto Press,
London, 2004
McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, Social Science Press,
Katoomba, Sydney, 1988
Martin, Jean I., The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, George
Allen & Unwin, Sydney, 1978
Mulyana, Deddy, Islam dan Orang Indonesia di Australia, Logos, Jakarta, 2000.
Nile, Richard (ed.), Immigration and politics of Ethnicity and Race in Australia
And Britain, Bureau of immigration Research (Australia) and the University
of London, Melbourne and London, 1991
Omar, Wafia and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, Australian Government
Service, Canberra, 1996
Payne J. Richard and Jamal R. Nassau, Politics and Culture in Developing Wprld:
The Impact of Globalization, Longman, New York, 2003
208
Ramadan, Tariq, Menjadi Modern Bersama Islam, alihbahasa Zubair dan Ilham B.
Saenong, Teraju, Jakarta, 2003
Robertson, Roland and William R. Garrett (ed.), Religion and Global Order: Religion
and the Political Order, Paragon, New York, 1991
Wu, D.Y.H, et all (ed.), Emerging Pluralism in Asia and the Pacific, The Chinese
University of Hong Kong, Hong Kong, 1997
Yin, Robert K. Case Study Research Design and Methods, Sage Publications, Beverly
Hills, London, 1985
- Sumber-sumber lain dari Jurnal, Majalah, harian, dan internet seperti Australian and
New Zealand Journal of Sociology, Salam, al-Nida’, the Age, dan Sydney Heral
Morning dari tahun 1980 sampai 1997.
- Lampiran-lampiran
Lampiran -1*
Victoria
Islamic Council of Fitzroy Mosque Springvale Mosque
Victoria 144 Palmer Dr 68 Garnsworthy St
66-68
South Jeffcott St
Australia Fitzroy
Western 3065 Australia Springvale 3171
Australian
West Melbourne 3003
Footscray West Mosque Capital
SunshineTerritory
Mosque
Coburg Islamic Centre 294 Essex St 618 Ballarat Rd
Adelaide Mosque
31 Nicholson St’Coburg Geraldton Mosque
Maidstone 3012 Canberra
SunshineIslamic
3020 Centre
20 Little
3058 Gilbert St 67 George Rd 29 Goldfinch Cres
Adelaide 5000 Geraldton 6530
Geelong Mosque Theodore 2905 Mosque
Thomastown
Turkish Cypriot Cnr Orr & Bostock Sts 157 Station St
Park Holme Mosque
Communi-ty of Australia Katanning Mosque
Manifold Heights 3218 Canberra Mosque
Thomastown 3074
658
Lot IMarion
BallaratRdRd 24 Britannia St 130 Empire Circuit
Park
DeerHolme 5043
Park 3023 Katanning
Heidelberg6317
Mosque Yarralumla 2600
Cnr Lloyd & Elliot Sts
Al-Khalil
Islamic Mosque
Society of Newman Mosque
West heidelberg 3081
Cnr
Footscray St & Torrens Rd
Audley Lot 1536
Woodville
50 Ealeigh North
St 5012 Abydos Way Afghan
Jaame Masjid Tasmania
Footscray 3012 Newman 6753
14 Photinia St
Gilles Plains Mosque Doveton 3177 Hobart Islamic Centre
52-56
IslamicWandana
Society Ave
of Perth Mosque 166 Warwick St
Gilles Plains
Victoria 5086 427 WilliamMosque
Lysterfield St Hobart 7000
90 Cramer St Pert 6805
1273 Wellington Rd
Whyalla Islamic Society
Preston 3072 Lysterfield 3156
5 Morris Crs Port Hedland Mosque
Whyalla Norrie North
Broadmeadows Mosque5608 34 Trumpet Mosque
Maidstone Way
45-55 King St South Hedland
36 Studley St 6722
Northern
Broadmeadows 3047 Maidstone 3012 Territory
Rivervale Islamic Centre
Brunswick Islamic 7Mildura
MalvernMosque
Rd Alice Springs Islamic
Centre Rivervale 6103
49 Tenth St Centre
660 Sydney Rd Mildura 3502 Lot 8130 Lyndavale Dr
Brunswick 3056 Alice Springs 0871
Newport Mosque
Campbellfield Mosque 1 Walker St Darwin Mosque
46 Mason St newport 3015 53-59 Venderlin Dr
211
___________________
*http://www.islamaustralia.com.au/Mosues/Aust_List_List/mosques_in_aust.htm.
Islamic Council of New South Wales Inc. Suite 2/108 Haldon Street
405 Waterloo Rd Lakemba NSW 2193
Chullora NSW 2190
Muslim Aid Australia
Islamic Council of Victoria Suite 15-16
66-68 Jeffcott St 168 Haldon St
West Melbourne VIC 3003 Lakemba NSW 2195
Lampiran -2**
** http://www.islam-australia.com.au/Schools/schools_in_aust.htm