Anda di halaman 1dari 220

u.

PERGULATA
KAUM MUSLIM MINORITAS
AUSTRALIA
1'>1 "'I \ Easl~ \llIIIKUIIURALlSME DAN SEKULARISME
PERGULATAN KAUM MUSLIM MINORITAS AUSTRALIA
Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme

Oleh
Dr. M. Amin Nurdin, MA.

USHUL PRESS
Perpustakaan Nasional Katalog dalam terbitan (KDT)
Nurdin, Amin, 2009
Pegulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan
Sekularisme/
M. Amin Nurdin
Jakarta: Ushul Press, 2009
X, 260 hlm, 14x21 cm

ISBN : 978-602-8700-91-6

M. Amin Nurdin
Pergulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme

Lay-out dan desain cover : Ali Ma’mun


Gambar Sampul Departement of Immigration and Multicultural Affairs
Penerbit :Ushul Press
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412
Cetakan Pertama 2009
Dicetak oleh Sejahtera Kita
Jl. HOS. Cokroaminoto (Kreo) No. 103
Ciledug Raya Tangerang
Tlp. 021-73451975
(Isi diluar tanggungjawab percetakan)

Copyright 2009 M. Amin Nurdin


Dilarang mengutip sebagian seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk
dengan cara penggunaan mesin foto copy, tanpa izin sah dari penerbit.
V

KATA PENGANTAR

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil penelitian penulis untuk
mengambil gelar doktor di Sekolah Pascasarjana Univeersitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullaj Jakarta. Penelitian ini membahas kehidupan beragama dalam
masyarakat Australia, yang pada mulanya ide itu muncul secara tidak sengaja dari
obrolan penulis dengan Dr Lea Jellineck dan Mr Hugh O’Neal – keduanya dosen di
Universitas Melbourne, dalam suatu undangan makan siang di rumah Hugh O’Neal,
di tengah kota Melbourne. Ketika mendengar rencana penulis tentang tema penelitian
disertasi yang membahas kehidupan beragama di Indonesia, kedua Indonesianist ini
menyarankan penulis untuk meneliti posisi agama di tengah masyarakat Australia
yang multikultural, karena sangat terbatasnya literatur yang membahas hal ity. Tanpa
disadari mereka berdua, topik diskusi tersebut ternyata telah menginspirasi penulis
dan mewujudkannya menjadi sebuah penelitian disertasi. Karena itu, penulis merasa
perlu mengucapja terima kasih kepada keduanya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada alm. Prof.Dr.Harun Nasution,
ketika itu menjabat Direktur Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN –
sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta – yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di lembaga yang dipimpinnya.
Ucapan terima kasih juga kepada Departemen Agama R>I, yang telah memberikan
beasiswa sejak Program S2 hingga S3. Begitu pula kepada Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, saat itu dijabat Prof.Dr.Azyumardi Azra, MA, yang telah
memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian
ini, sekaligus menjadi pembimbing disertasi bersama Prof.Dr.M.Bambang Pranowo.
Terima kasih kepada beliau berdua, yang telah bersedia meluangkan waktu, dan
membagi ilmu kepada penulis selama proses pembimbingab penulisan disertasi.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada senior penulis, Fachry Ali, yang telah
membantu selama proses penelitian dalam bentuk meminjamkan buku-buku yang
diperlukan dan memberikan koreksi-koreksi yang sangat berguna dalam penulisan
disertasi. Tanpa disadari, beliau telah ikut pula menjadi pembimbing penulis, selain
VI

pembimbing utama. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Bahtiar


Effendi, MA, yang dengan segala senang hati sering memberikan buku dan bahan—
bahan referensi.
Dalam penulisan awal draft disertasi, penulis banyak dibantu oleh seorang
pemuka agama Islam di Australua dan mantan Sekretaris Jenderal Australian
Federation of Islamic Council (AFIC), Bilal Cleland, yang telah berjasa
mempertemukan penulis dengan Pengurus AFIC di Melbourne dan memberikan akses
bacaan yang begitu banyak tentang Islam di Australia. Demikian pula kepada
Prof.Dr.Abdullah Saeed, Ketua Jurusan Islamic Studies di Melbourne University,
yang membuka pintu lembaganya untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan.
Penulis berhutang budi kepada para pustakawan di berbagai perpustakaan universitas
di Sydney dan Melbourne, khususnya Melbourne University. Juga ucapan yang sama
kepada staf perpustakaan American Corner di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman, yang tidak bisa
disbutkan satu persatu atas dukungan mereka.
Dan yang terpenting, penulis mengucapkan terima kasih kepada almarhum
ayahanda Nurdin Dt.Majo Sati dan ibunda Hj.Roana Kamil serta kedua almarhum
mertua: H.M.Joesoef Ahmad dab Hj.Aminah Amrab, yang telah mendorong penulis
untuk menempuh pendidikan tertinggi. Khusus kepada isteri tercinta, Dr Jusna
Joesoef Ahmad dan ananda Faruki, penulis mengucapkan terima kaih atas pengertian,
dukungan dan kesabaran selama berlangsungnya penelitian.

Jakarta, 9 November 2009


VII

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
BAB I: PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan dan Batasan Masalah 16
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 17
D. Kajian Pustaka 18
D. Metodologi Penelitian 25
F. Organisasi Penelitian 27

BAB II: MASYARAKAT AUSTRALIA


A. Sejarah Berdirinya Negara Australia 29
B. Pengelompokan Sosial-Budaya, Etnik, dan Agama dalam
Masyarakat Australia 41
C. Multikulturalisme sebagai Ideologi Negara 61

BAB III: MUSLIM AUSTRALIA: LATAR BELAKANG SEJARAH DAN


SOSIO-DEMOGRAFI
A. Latar Belakang Sejarah 93
B. Negara Asal Muslim Australia135 112
C. Interaksi Komunitas Muslim dengan Masyarakat Australia 120
1. Persepsi Komunitas Islam terhadap Masyarakat Australia 127
2. Persepsi Masyarakat Australia terhadap Komunitas Islam 132

BAB IV: DINAMIKA KOMUNITAS ISLAM AUSTRALIA


A. Inkubasi Lembaga Kepemimpinan 138
1. Mesjid sebaga Pusat Agama dan Aktifitas Sosial 138
2. Organisasi-organisasi Muslim Australia 142
VIII

B. Kepemimpinan Kelompok dan Individual dalam Komunitas


Muslim 146
1. Asal-usul Pemimpin Kelompok 150
2. Asal-usul Pemimpin Individu 152
C. Latar belakang Sosio-Ekonomi Komunitas Muslim Australia 160
1. Profil Usia dan Jenis Kelamin 164
2. Pemukiman 165
3. Pendidikan 176
4. Pekerjaan 277

BAB V: “SYMBOLIC WORLD”: ISLAM DAN IDE MULTI-


KULTURALISME 184
A. Interaksi Islam dan Multikulturalisme Australia 186
B. Refleksi Islam terhadap Multikulturalisme 195

BAB V: KESIMPULAN/PENUTUP
A. Kesimpulan 201
B. Saran saran 214

DAFTAR BACAAN 216


LAMPIRAN-LAMPIRAN 258
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Latar belakang sejarah keberadaan umat Islam di Australia telah berumur


panjang. Bahkan sebelum kaum kulit putih menduduki daratan Australia di tahun
1778, para nelayan Makassar telah lalu lalang di daerah pantai Darwin untuk mencari
trepang yang kemudian dijual untuk pasar daratan Tiongkok. Mereka sempat pula
menikahi wanita penduduk asli Australia, Aborigin, sambil mengenalkan agama
Islam. Namun karena langkanya sumber-sumber tertulis pada masa-masa awal
keberadaan masyarakat Muslim di Australia, maka beberapa buku yang menulis
tentang sejarah awal kedatangan Muslim lebih banyak merujuk kepada orang-orang
Afghanistan sebagai penunggang onta. 1
Sejarah kehadiran Islam di Australia baru tercatat dalam dokumentasi
Australia diawali dengan kedatangan kelompok Afghanistan pada bulan Juni 1860.
Kedatangan mereka berkaitan dengan perlunya tenaga kerja dan alat transportasi onta
dalam pembukaan lahan-lahan pertanian dan eksplorasi tambang mineral di daerah
pedalaman Australia. Kontribusi mereka dalam pertumbuhan ekonomi negara diakui
secara luas oleh masyaraka Australia, khususnya dalam masa-masa awal eksplorasi.
Namun tidak lebih dalam 35 tahun berikutnya merupakan masa kemunduran bagi
umat Islam ketika pemerintah federasi Australia yang baru saja terbentuk
memaklumatkan The White Australian Policy (Kebijakan Kulit Putih Australia) yang
berbau rasis dan diskriminatif di tahun 1901. Kebijakan ini menetapkan penolakan
kepada penduduk non-Eropa untuk mengajukan hak-hak permohonan naturalisasi
untuk menjadi penduduk menetap. Hal ini berakibat bagi kelompok Muslim dengan
sulitnya kesempatan untuk mencari pekerjaan sehingga mereka menjadi kelompok
marjinal. Akhirnya, sebagian besar dari mereka kembali ke kampung halamannya,
sedangkan sebagian kecil lainnya (4.000 orang) tetap menetap di Australia.

1
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, Islamic Council of Victoria,
Melbourne, 2002, h. 5.
2

Masa-masa pembentukan basis populasi kaum Muslim di Australia baru


terjadi sejak tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Hal ini diawali dengan persoalan
domestik berupa kurangnya tenaga kerja dan persoalan internasional berupa ancaman
pendudukan tentara Jepang ke kawasan Asia Timur yang terjadi sebelum dan setelah
Perang Dunia II. Kedua situasi yang tak menguntungkan ini mendorong pemerintah
Australia segera mempercepat pertambahan populasi dalam kerangka pertahanan
nasional jangka panjang dengan cara memperlunak seleksi kriteria imigrasi para
migran dan refugee, sekaligus dapat memperkuat proses industrialisasi yang sedang
berlangsung.2
Hingga pertengahan 1950-an, kedatangan etnis muslim masih sedikit,
namun mereka memiliki pendidikan yang tinggi dan profesional. Pada tahun 1960-an,
penduduk muslim berdatangan dengan jumlah yang sangat besar (lebih kurang 10.000
jiwa), khususnya dari Turki, dengan adanya perjanjian antara pemerintah Australia
dan Turki. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1970-an dengan kedatangan etnis yang
mayoritas Muslim dari Libanon yang berjumlah ratusan ribu orang sebagai pengungsi
(refugees) karena adanya perang saudara di daerah asalnya, disusul lagi dari Palestina.
Kedatangan kaum muslim berikutnya terjadi setiap tahun dari berbagai negara, seperti
Indonesia, Malaysia, Pakistan, India, dan Banglades. Kehadiran mereka telah
membentuk sebuah basis komunitas Islam tersendiri sehingga secara keseluruhan
jumlah penduduk Australia sampai tahun 1998 meningkat dua kali lipat dibanding
setelah Perang Dunia II di tahun 1947.
Komunitas-komunitas Islam yang telah terbentuk melakukan aktifitas sosial
bermula dari mesjid, karena tempat ini merupakan pusat kegiatan ibadah dan sosial.
Fungsi mesjid yang terdapat di lingkungan maupun di kota yang mereka tempati
merupakan faktor integrasi antar berbagai etnis. Setidaknya faktor ini dapat mereduksi
kesetiaan etnis yang berlebihan. Mesjid memiliki peran sentral dalam kehidupan
komunitas muslim baik secara keagamaan (ibadat) maupun sosial. Mesjid menjadi
pusat ibadat dan tempat ekspresi, interpretasi, dan perayaan upacara-upacara
keagamaan. Dengan demikian, ia juga menjadi rujukan komunitas dan alat identifikasi

2
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L, Jones
(ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, Law Printer, Melbourne,
3

diri. Hampir semua aktifitas keagamaan dan sosial ummat Islam Australia
dikendalikan dari rumah Tuhan ini. Kemajuan Islam di Australia sebangun dan
identik dengan mudahnya diketemukan berpuluh-puluh mesjid yang didirikan di
berbagai kota, khususnya di New South Wales dan Victoria. Dukungan pemerintah
terhadap pendirian mesjid sangat kondusif. Hal ini dapat dilihat ketika peresmian
mesjid terbesar di Preston, Victoria, disaksikan oleh wakil pribadi Perdana Menteri
Malcolm Fraser dan Archbishop Roma Katholik Roma Melbourne.3
Upaya memayungi berbagai etnis muslim oleh berbagai pemimpin kelompok
komunitas telah pula melahirkan berbagai organisasi, mulai dari tingkat negara bagian
sampai negara federal. Pada tingkat federal ada Dewan Federasi Islam Australia (The
Australian Federation of Islamic Councils/AFIC) dan tingkat negara bagian, yang
berfungsi sebagai representasi komunitas muslim di tingkat pemerintahan, seperti The
Islamic Council of Victoria. AFIC merupakan organisasi yang mewakili suara
komunitas muslim di tingkat negara federal, di samping berfungsi membantu
pendanaan dan memfasilitasi berbagai kebutuhan umat Islam Australia. Organisasi ini
dibiayai oleh dukungan masyarakat lokal, negara-negara muslim penghasil minyak,
dan hasil dari penerbitan sertifikat halal.
Konsekuensi imigrasi bagi masyarakat Australia dan kaum pendatang muslim
(dan migran pada umumnya) terletak di luar batas demografis semata, tetapi juga
berkait dengan dimensi-dimensi sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi. Hal ini
dapat dilihat bagaimana respon masyarakat Australia terhadap kaum Muslim dan
sebaliknya, bagaimana respon kaum merekai untuk beradaptasi dan berintegrasi di
dalam rumah mereka yang baru. Respon masyarakat Australia tercitrakan dalam
pemberian streotype terhadap masyarakat Muslim sebagai sekte minoritas dengan
segala konotasi yang menggambarkan ketiadaan sejarah atau peradaban dan potensial
menjadi anggota komplotan konspirasi internasional yang berbahaya. Sebagian
‘image’ memang disadari atau tidak terbentuk oleh dominasi media yang memihak
dan peristiwa-peristiwa politik dan berdarah internasional lainnya yang dikait-kaitkan

h. 52.
3
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, Altamira Press, New
York, 2002, h. 211.
4

langsung dengan umat Islam Australia. Akibatnya, mereka menuai prasangka dan
tindakan diskriminatif dalam bentuk penolakan, isolasi, dan kebencian.
Respon kelompok Muslim yang berinteraksi dengan masyarakat Australia
mengalami ‘kegagapan’ ketika sederet kekayaan budaya dan pluralisme latar
belakang mereka berbeda dengan lingkungan mereka yang baru. Banyak dari mereka
merasa tercerabut dan mengalami trauma saat menemukan diri mereka sebagai sebuah
minoritas agama dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai budaya yang berbeda.
Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakaan
respon yang sering terjadi dan bisa dipahami dapat menghambat proses adaptasi dan
pembauran di tengah masyarakat Australia. Hal ini terlihat dari orientasi kontak sosial
cenderung yang kepada etnik dengan segala pernik-pernik budayanya.
Respon lain kelompok Muslim adalah terbawanya pemikiran mereka yang
konservatif terhadap nilai-nilai demokrasi, kesetaraan jender, dan praktek keagamaan.
Hal ini bisa dipahami, karena latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang
masih rendah ketika mereka baru datang ke negara yang ‘asing’ ini. Corak pemikiran
yang konservatif tersebut terlihat pada penolakan terhadap proses modernitas dan
menuntut idealisasi ideologi politik Islam dan sistem pengadilan syariat yang secara
de jure dan de facto bertentangan dengan ideologi multikulturalisme Australia.4
Kondisi ini menimbulkan citra bahwa komunitas Muslim sulit menyesuaikan diri
sehingga dicap sebagai salah satu biang keladi potensial konflik sosial masyarakat
Australia. Karena itu, masyarakat Australia menganggap keberadaan kelompok
Muslim di Australia sebagai salah satu faktor keberhasilan atau kegagalan penerapan
ideologi Multikulturalisme dalam membentuk sebuah identitas nasional Australia
yang kohesif dan integratif.
Namun dalam proses adaptasi dan integrasi kelompok Muslim dalam arus
masyarakat Australia pada masa-masa berikutnya mengalami perubahan yang
signifikan sehingga membuka ruang baru pula terhadap penafsiran agama. Perubahan
sikap tersebut memunculkan sepenggal cahaya dan optimisme terhadap masa depan

4
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211.
5

Islam Australia untuk bisa beradaptasi dan kemudian berintegrasi dengan masyarakat
dan negara Australia. Pemerintah Australia sendiri memiliki komitmen untuk
menciptakan ‘sense of belonging’ dan penciptaan pengertian agama secara timbal
balik. Hal ini antara lain dilanjutkan dengan pendirian the World Conference on
Religion and Peace (WCRPA), yang merintis peran pendorong dan dukungan
terhadap kelompok imigran baru dengan berbagai dialog dan pertemuan lintas
agama.5
Persoalan lain yang dihadapi Komunitas Muslim adalah belum terbentuknya
satu kesatuan komunitas etnis Islam yang kuat sebagai sebuah ummah, tetapi masih
terfragmentasi dalam berbagai etnis. Faktor kesetiaan etnis masih tetap dipelihara
sehingga interaksi sosial di antara mereka sangat terbatas. Etnis Turki, Libanon, dan
Albania sangat menonjol bagaikan sebuah festival lansekap Islam Australia, yang
masih berjalan sendiri-sendiri. Mungkin dapat dimengerti, fragmentasi etnis Muslim
ini pada dasarnya merupakan sebuah konsekuensi yang tidak dapat terelakkan bagi
psikologi masyarakat yang menempati ‘rumah baru’ yang masih asing.
Faktor fragmentasi dalam etnis Islam dan adaptasi dengan nilai-nilai
hegemoni masyarakat Australia di atas, telah memunuculkan persoalan integrasi dan
kohesi sosial dalam masyarakat Australia. Secara faktual, kaum Muslim di Australia
merupakan representasi hubungan sosial dengan masyarakat Australia pada
umumnya, karena mereka menempati posisi ketiga jumlah penganut agama setelah
agama Budha (lebih 1,5%= k.l. 300.000 orang) setelah agama Kristen yang menjadi
penganut mayoritas.
Persoalan-persoalan yang dihadapi para migran direspon pemerintah Australia
dengan cara menetapkan multikulturalisme sebagai kebijakan dan penerapan dalam
mengatur anggota masyarakatnya agar tercipta suatu masyarakat yang harmonis dan
terhindar dari berbagai konflik kepentingan. Multikulturalisme6 yang diterapkan
Pemerintah Australia sudah menjadi istilah yang secara luas diterima masyarakat

5
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211.
6
Multikulturalisme berasal dari kata multi (jamak), kultur, dan isme (paham). ‘Multikultural’
adalah kata sifat yang merujuk pada fakta keragaman, sementara "multikulturalisme" menunjuk pada
sikap normatif atas fakta keragaman itu. Diolah dari Bruce Moore (ed.), The Australian Concise Oxford
Dictionary, Oxford University Press, Melbourne, 1997, h. 878.
6

kontemporer sebagai konsep sosial yang ideal dalam ideologi negara ‘Dunia Baru’
vis-a-vis ‘Dunia Lama’ yang bersifat konservatif, rasis, dan fasis. Secara historis,
multikulturalisme merupakan fenomena baru yang muncul seiring dengan
mengalirnya para imigran dari ‘Dunia Timur’ ke negara-negara Barat terutama setelah
Perang Dunia II dan meningkat pada tahun 1960-an. Imigrasi ini pada gilirannya
berakibat kepada perubahan komposisi demografis baik secara etnik, sosial, dan
budaya. Sejalan dengan munculnya problems of migrant yang merupakan akibat
langsung dari adanya perbedaan budaya yang dibawa dari negara asal dengan prinsip-
prinsip nilai yang berkembang dalam kebudayaan negara yang didatangi.7 Era baru ini
menandai munculnya sebuah politik kebudayaan baru dalam menghadapi perbedaan.

Bagi beberapa negara yang menerapkan demokrasi liberal, pendekatan budaya


dan ideologi ‘multikultural’ dianggap lebih baik daripada pendekatan ‘assimilisi’
dalam menyikapi realitas keberagamaan etnik dan
budaya penduduk pendatang yang menjadi kelompok minoritas di tengah mainstream
budaya Kulit Putih.8 Sebagaimana diketahui, ideologi assimilasi, dibangun atas
asumsi bahwa kaum pendatang diharapkan mampu melepaskan cara hidup lama
mereka dengan cara menyesuaikan diri dalam kerangka budaya dan gaya hidup Barat
(western conformism). Di sini, nilai-nilai kebudayaan Barat harus menjadi rujukan
utama, sedangkan komponen budaya etnis minoritas pendatang menjadi pelengkap
bagi kebudayaan baru itu.
Seiring dengan munculnya kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan bagi
kelompok minoritas sebagai akibat langsung dari fluktuasi komposisi populasi kaum
migran yang membengkak, ideologi assimilasi yang dikembangkan menuai kritik
tajam yang memuncak sekitar tahun 1960-an. Pada gilirannya, wacana perbaikan
nasib kaum minoritas ini memunculkan sebuah pandangan baru dalam melihat relasi
antar-etnis yang dikenal sebagai ideologi multikulturalisme. Betapapun, bagi beberapa

7
Joseph H. Carens and Melissa S. Williams, ‘Muslim Minorities in Liberal Democracies: The
Politics of Misrecognition’, dalam Reiner Baubock, et al (eds.), The Challenge of Diversity: Integration
and Pluralism in Societies of Immigration, Avebury, Vermont, 1996, h. 157.
8
Jean I. Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, George Allen &Unwin,
Sydney, 1978, h. 207. Lihat juga James Jupp, ‘One among Many”, dalam David Goodman, et al,
7

kalangan tertentu, wacana multikulturalisme merupakan ancaman bagi identitas


nasional dan ‘way of life’ Barat, namun ideologi ini dipandang mampu memecahkan
masalah hak-hak sosial, politik, dan ekonomi kelompok minoritas,9 serta mendorong
terwujudnya perlindungan identitas dan budaya kelompok minoritas.
Perlu digaris bawahi bahwa istilah multikuralisme memang multi-tafsir dan
multi-dimensional.10 Beberapa sarjana mendefinisikan multikulturalisme sebagai
suatu kenyataan sosial adanya kelompok-kelompok masyarakat dari beraneka budaya
yang tinggal menetap bersama, suka maupun tidak suka, di sebuah negara. Ada juga
definisi multikulturalisme sebagai sebuah tatanan sosial ideal berupa lambang dari
prinsip-prinsip keadilan sosial yang mengemukakan tentang hak-hak, nilai, dan
kesetaraan kelompok dari berbagai tradisi budaya dan etnik. Pendapat pertama
merujuk kepada terma multikulturalisme dalam arti demografi empiris dan fakta
sosiologis, sedangkan pendapat kedua merujuk kepada terma ideologis dan konsep
normatif tentang way of life atau bagaimana seharusnya masyarakat itu diatur
(should be organised). Kedua terma ini dalam multikulturalisme bisa digunakan

Multicultural Australia: The Challenges of Change, Scribe and the University of Melbourne, Victoria,
1991, h. 124.
9
Ellie Vasta, ‘Multiculturalism and Ethnic Identity: Relationship between Racism and
Resistance’, dalam Australian and New Zealand Journal of Sociology, no.2, August 1993, h. 209-210.
10
Menurut West, Collins, dan Lemert, multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari
posmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan yang mengambil ide dari gagasan
posmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka.
Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya
dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari
titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternatif yang secara
fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme merayakan perbedaan
sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas
mereka tentang pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal
kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai
mengubah struktur sosial secara keseluruhan.
Teori sosial kritis, menurut Ben Agger, adalah menjelaskan kesadaran untuk melakukan
perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak
individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama.
Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri.
Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada
keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus di akui.
Lebih luas lagi, pluraisme adalah sebuah faham tentang pluraitas, demikian definisi yang disampaikan
oleh Richard J.Mouw dan Sander Griffon. Pengertian seperti ini, menurut mereka, akan lebih bermakna
ketika seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai
banyaknya perbedaan itu. Diakses dari www.huttaqi/universal communication.
8

secara bergantian.11 Namun dalam pembahasan penelitian ini, lebih banyak merujuk
kepada terma terakhir.
Begitu pula pengertian tentang ‘ideologi’ yang terdapat dalam multikultural
adalah sebuah konsep yang dapat dibagi dalam 2 kategori: Netral dan kritik. Netral
berorietansi pada ‘pandangan dunia’ (world views) atau sistem kepercayaan (system of
belief). Kritik dalam artian bagaimana ideologi itu dikonseptualisasikan dalam
memelihara sebuah sistem dominasi atau tradisi (Marx). Edward Shils
mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide, sikap, dan kepercayaan yang
sistematis mengenai manusia, negara, masyarakat, dan bentuk ideal dari suatu
masyarakat yang diingin-kan.12 Dalam pembahasan materi multikulturalisme lebih
ditekankan kepada aspek ‘netral’ daripada ‘kritis’.
Pengertian multikulturalisme sebagai ideologi di Australia merupakan model
yang dianggap paling cocok dalam mengatur hubungan antar etnis dan bangsa yang
berjumlah 170-an dan dasar rujukan peraturan-peraturan pemerintah Australia dalam
mengambil kebijakan. Dimensi-dimensi multikulturalisme tidak hanya berkait
dengan masalah toleransi, tetapi juga penerimaan dengan baik budaya lain sebagai
sesuatu yang mempunyai nilai yang sama untuk dikembangkan masyarakat itu sendiri.
Hal ini terlihat pada tujuan multikulturalisme, yaitu pertama, perekat sosial (social
cohesion), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan berbagai
cara guna mencapai kebutuhan bersama; kedua, identitas budaya (cultural identity),
yaitu hak masyarakat dijamin dan diperbolehkan untuk mengekspresikan dan
mewarisi budaya masing-masing, termasuk bahasa dan agama; ketiga, persamaan
kesempatan dan akses (equality and acces) di mana masyarakat diberi kesempatan
dan akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan pekerjaan;
keempat, rasa tanggungjawab (equal responsbility), komitmen dan partisipasi yang
sama (commitment and participation) yang mensyaratkan kelompok minoritas setia

11
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975,
MelbourneUniversity Press, Melbourne, 2000, h. 3.
12
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 3.
9

kepada negara melalui rasa tanggungjawab dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat
dan berpegang teguh kepada ideologi multikultural.13
Apakah multikulturalisme dapat menjadi model alternatif dalam membangun
masa depan bangsa? Masalah ini menimbulkan dua pendapat yang dapat dilihat dari
sisi negatif dan positif. Pandangan yang negatif mengatakan bahwa multikulturalisme
dan etnisitas merupakan suatu ancaman bagi bangsa dan way of life Barat. Pendapat
sebaliknya mengatakan, ideologi multikulturalisme dan etnisitas mampu memecahkan
masalah hak-hak sosial, politik, dan ekonomi kelompok minoritas. Namun dalam
kenyataannya, pendapat negatif yang datang dari kelompok konservatif tidak
mendapat dukungan masyarakat pada umumnya.
Berangkat dari pengalaman negara-negara yang sudah menjadikan
multikulturalisme sebagai ideologi, seperti Australia dan Canada yang penduduknya
bersifat multi-etnis dan bangsa terlihat mampu meredam ketegangan-ketegangan dan
kekerasan-kekerasan dalam bentuk konflik budaya dan agama, termasuk terorisme
serta radikalisme. Kedua negara ini, khususnya Australia banyak dijadikan model
multikulturalisme di banyak negara dunia dalam membangun suatu kesatuan sosial
(social integration) dan kohesi sosial (social cohesiveness) hingga saat ini.
Sejak tahun 1975, multikulturalisme telah menjadi ideologi negara dan
menjadi babak baru sejarah Australia dalam menapak jalan kenegaraan dan
kebangsaan di masa berikutnya. Ini merupakan sebuah usaha domestikasi komunitas-
komunitas sosial etnik14 yang bertaburan dan fluktuatif serta rawan konflik. Babak
baru dimulai setelah berbagai usaha dilakukan negara sebelumnya di dalam menerima
kehadiran para migran15.

13
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, Australian Government Publishing Service,
Canberra, 1989, h. 37.

14
Terma etnik merujuk pada individu atau kelompok minoritas yang bukan latar belakang Anglo-
Saxon-British, warganegara, dan bukan dari suku Aborigin. Lihat Jean I. Martin, The Migrant
Presence: Australian Responses 1947-1977, h. 15.
15
Terma migran merujuk pada individu atau kelompok minoritas/imigran, lahir di luar Australia
dan bukan warganegara, pendatang baru dan penetap permanen (permanent residents). Lihat Jean I.
Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, h. 15.
10

Kebijakan ini adalah suatu usaha rekayasa sosial politik (social engeneering)
dalam kerangka meredam ketegangan dan kekerasan dalam bentuk konflik budaya,
terorisme, dan radikalisme. Dalam realitas sosial ini, terlihat kecilnya kemungkinan
konflik etnis sosial, budaya, dan agama yang selama ini terjadi Australia.

B. Perumusan dan Batasan Masalah


Permasalahan di atas menggambarkan bahwa komunitas Muslim di Australia
memiliki hambatan-hambatan baik secara internal maupun eksternal dalam
menyesuaikan diri dengan tempat mereka yang baru, khususnya sejak gelombang
besar migrasi Muslim di tahun 1960-an dan 1970-an bersamaan dengan
diberlakukannya ideologi multikulturalisme di tahun 1975 sebagai dasar kebijakan
politik pemerintah dalam mengatur urusan antar-etnis, karena beragamnya etnik,
sosial, budaya, dan agama.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana komunitas
Muslim Australia berintegrasi dan ‘survive’ dalam masyarakat Australia di tengah
pertentangan antara resitensi identital kultural Islam dan ideologi multikulturalisme
yang sekuler di Australia.
Kajian penelitian ini terbatas pada tiga hal, yaitu pertama, upaya kelompok
migran Muslim dengan berbagai persoalan internal dan eksternal dalam menyesuaikan
diri di Australia setelah munculnya kebijakan multikulturalisme Australia di tahun
1975. Kedua, pembahasan sejarah munculnya ideologi multikulturalisme yang sensitif
dan kontroversial di tengah dominasi budaya Australia yang sekuler serta
akomodasinya terhadap realitas etnis yang plural bagi terbentuknya sebuah identitas
nasional Australia. Ketiga, model integrasi yang dilperlukan komunitas Muslim dalam
memelihara identitas kultural mereka sehingga tidak bertentangan dengan ideologi
multikuralisme yang sekuler di Australia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Penelitian tentang Islam dan Multikulturalisme ini bertujuan sebagai berikut:
11

a. Untuk mengetahui sejarah kedatangan, perkembangan, dan dinamika


kelompok minoritas Muslim di Australia baik dalam dimensi etnis, budaya,
ekonomi maupun pendidikan,
b. Untuk mengetahui tentang asal-usul multikulturalisme, perkembangan, dan
bagaimana ideologi ini diterima sebagai tatanan ideal kebijakan politik
negara Australia dalam mengelola konflik dalam realitas masyarakatnya
yang plural.
c. Untuk mengetahui sejauhmana kaum Muslim Australia bisa menyesuaikan
diri dan tetap ‘survive’ di tengah pergumulan antara resistensi kultural
Islam di satu pihak dan kebijakan multikulturalisme yang sekuler di
Australia di pihak lain..
Adapun kegunaan dari penelitian ini, yaitu:
a. Sebagai fenomena dunia modern, multikulturalisme dapat dijadikan model
ideologi politik yang ideal bagi suatu negara yang memiliki penduduk
yang beragam kultur, etnik, budaya, dan agama. dalam membangun
harmoni dan kesatuan sosial.
b. Penelitian ini juga berguna untuk memecahkan masalah konflik antara
‘religous culture’ dan secular culture’’ dan ‘clash of civilization’ dalam
pertemuan Islam dan Barat.
c. Kajian dan penelitian yang membahas agama di Australia relatif masih
terbats, karena itu penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi
khazanah literatur tentang etnik minoritas Muslim dan kehidupan
beragama di Australia.

D. Kajian Pustaka
Pada umumnya penelitian tentang agama-agama, khususnya Islam dan
kelompok Muslim di Australia masih sangat terbatas. Namun sejak tahun 1995, isu
tentang Islam mulai menarik perhatian masyarakat Australia seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk Muslim dan tumbuhnya keingintahuan mereka
tentang Islam itu sendiri. Di samping itu, peristiwa-peristiwa internasional yang
secara tidak langsung berkaitan dengan citra Islam di Australia. Penelitian-penelitian
12

tersebut tidak hanya dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim Australia, tetapi juga dari
kalangan sarjana non-Muslim yang bekerja di lembaga pemerintahan dan di berbagai
lembaga penelitian perguruan tinggi, seperti Universitas Monash dan Universitas
Melbourne. Jumlah kajian penelitian tentang Islam semakin meningkat ketika
terjadinya peristiwa penyerangan pusat ekonomi dan keamanan Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001 dan diikuti tragedi bom Bali dua tahun berikutnya, yang
memakan korban sebagian besar turis asal Australia.
Isu-isu yang diteliti sebagian besar masih berkaitan dengan pengenalan tentang
ajaran Islam, sejarah kedatangan, dan profil umat Islam, yang ditujukan kepada
masyarakat luas Australia, khususnya masyarakat kulit putih. Isu lain yang juga
diteliti adalah berbagai persoalan yang dihadapi kelompok migran Muslim sebagai
etnik minoritas dalam beradaptasi dengan rumah mereka yang baru baik dari aspek
pemukiman, kesejahteraan, dan pendidikan maupun implikasi ideologi
multikulturalisme sebagai kebijakan politik Australia terhadap umat Islam di
Australia.
Salah satu isu penting dan krusial dalam perjalanan sejarah politik Australia
adalah ideologi multikulturalisme. Ideologi ini bertujuan untuk menciptakan suatu
identitas nasional yang menekankan kehidupan yang harmonis dalam jangka panjang,
yang tidak hanya memperkaya modal sosial masyarakat Australia, tetapi juga solusi
menghadapi tantangan-tantangan dari berbagai kelompok etnik dan agama bagi masa
depan negara Australia.
Sejauh pengamatan peneliti, tantangan dari kelompok etnik Muslim di tengah
multikulturalisme Australia, baru diteliti oleh seorang sarjana Muslim bernama
Begum Zubaida pada tahun 1981 atau 24 tahun lalu dalam disertasinya berjudul
‘Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria’ di
Monash University. Dalam disertasinya, ia mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi
masyarakat Islam di kota Melbourne tentang masa depan pendidikan Islam anak-anak
mereka yang multikultural akibat diberlakukannya ideologi tersebut.16

16
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
unpublished dissertation, Monash University, Melbourne, 1984, h. 235-236..
13

Menurut hasil penelitiannya ketika itu, ada dua pandangan masyarakat Islam
yang berbeda terhadap pemberlakuan ideologi multikulturalisme tersebut, yaitu
Kelompok Konservatif dan Moderat. Kelompok Konservatif menganggap ideologi
Islam yang selama ini menjadi dasar pemikiran mereka bertentangan dengan ideologi
multikulturalisme yang sekuler. Kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan
ideologi politik yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan menuntut
diberlakukannya negara Islam serta pemberlakuan sistem syariat Islam di Australia
bagi warganya yang beragama Islam. Secara teologis, Islam bukan hanya sebagai
seperangkat doktrin, tetapi juga mencakup kebudayaan dan politik yang harus
dipatuhi di manapun mereka bertempat tinggal. Hal ini bertentangan dengan ideologi
multikulturalisme yang bersumber dari pemikiran politik fillsafat kemanusiaan yang
bersifat sekuler yang mengatur bagaimana mengatur toleransi dan harmoni dalam
kehidupan masyarakat yang plural.
Menurut Begum Zubaida, konflik dua ideologi tersebut terlihat dalam empat
prinsip dan penerapan ideologi multikulturalisme Australia, yaitu perekat sosial,
identitas kultural, kesempatan dan akses yang sama, dan tangggung jawab dan
komitmen dan partisipasi yang sama. Pertama, prinsip pertama yang tercantum dalam
the Australian Council on Population and Ethnic Affairs, menyatakan,
...in the public arena, as distinct from the essentially private domain
of the family and religious belief, there cab be only one recognigsed
legal code...To allow each cultural group freedom to develop its
own legal codes, political institutions and practices would threaten
the existence of Australia as a cohesive nation.17

Prinsip pertama multikulturalisme ini berlawanan dengan pandangan


kelompok komunitas Muslim dan pemimpin agama. Prinsip ini, menurut Imam
Mesjid Lakemba di Sydney bertentangan dengan hukum syariat Islam. Para Imam
menginginkan adanya suatu ‘pengadilan bagi kelompok Muslim’ sesuai dengan
agama mereka di Australia. Syariat adalah hukum Islam yang mejadi pedoman segala
aspek kehidupan masyarakat Islam dan ini tidak sesuai dengan ideologi sekuler

17
The Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for All Australians:
Our Develoving Nationhood, Australian Govertment Publishing, 1982, h. 16.
14

multikulturalisme, yang tidak menyediakan ruang hukum syariat Islam dalam sistem
hukum positif Australia. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip ideologi Islam.
Kedua, identitas budaya. Prinsip ini tercantum dalam the Australian Council
on Population and Ethnic Affairs, yang memuat::
The aim should be to achieve a society in which all people have the
freedom to express their cultural identity...A core of moral and
cultural values, based on the central institutions of society, will
continue to place limits on what is acceptable behaviour for all
members of society.18

Dalam kasus kelompok Muslim, identitas kultural mereka didominasi


oleh ideologi agama, karena itu Islam juga harus dilihat sebagai identitas budaya yang
terlihat dalam simbol-simbol keagamaam seperti praktek keagamaan, khususnya
shalat, makanan, pakaian, sosial, dan nilai-nilai moral. Simbol-simbol identitas ini
merupakan karakteristik yang membedakan mereka dengan kelompok agama lainnya.
Dalam praktek keagamaan seperti melakukan shalat Jum’at, Idul Fitri, dan
Idul Adha masih mendapatkan hambatan secara struktural baik dari tempat
perusahaan mereka bekerja maupun di tingkat pemerintahan pusat dan federal, kecuali
negara bagian Victoria. Begitu pula nilai-nilai sosial kelompok Muslim lainnya yang
berbeda dengan nilai-nilai multikulturalisme Australia, seperti bercampurnya antara
pelajar pria dan wanita dalam satu ruang di sekolah-sekolah umum dan swasta dan
pemaksaan pemakaian baju renang (bikini) dalam kegiatan olahraga berenang.
Dengan demikian, prinsip kedua multikulturalisme ini telah mengatur segala perilaku
semua anggota masyarakat. Hal ini bertentangan dengan standar moral yang
diterapkan multikulturalisme dengan ideologi Islam, yang menganggap hal tersebut
tidak sesuai dengan moral Islam.
Ketiga, kesempatan dan akses yang sama. Dalam konteks Australia, prinsip ini
khususnya berkaitan dengan kemajuan ekonomi dan pekerjaan para migran
dibandingkan dengan masyarakat umum Australia. Bila dihubungkan dengan
masyarakat Islam, terdapat hambatan yang sangat signifikan dalam memanfaatkan

18
The Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for All Australians:
Our Develoving Nationhood, 1982, h. 17.
15

kesempatan dan akses tersebut, karena rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya
kemampuan bahasa Inggris. Begitu pula kedudukan wanita (kesetaraan jender)
mempunyai pandangan yang berbeda dengan ideologi Islam. Kelompok ideologi
Islam ini berpendapat bahwa kedudukan pria dianggap lebih tinggi dari perempuan,
karena peran mereka sebagai kepala rumah tangga.
Keempat, tanggungjawab dan komitmen serta partisipasi yang sama. Dalam
aspek ini, kelompok minoritas dituntut kesetiaan untuk membela negara Australia.
Kesetiaan ini diperlihatkan dalam bentuk tanggung-jawab bsersama dan aktif
berpartisipasi dalam kegiatan komunitas dan tetap memegang teguh komitmen
terhadap ideologi multikulturalisme. Dalam konteks ini, kelompok Muslim
mempunyai komitmen kepada ideologi Islam daripada multikulturalisme Australia.
Karena itu, kaum Muslim Australia hidup dalam dua ideologi yang saling
bertentangan dan hal ini berakibat terhadap pemeliharaan warisan kultural.
Dampak dari implikasi penerapan multikulturalisme Pemerintah Australia
terhadap pendidikan multikultural di sekolah-sekolah Islam tidak bisa diterima oleh
kelompok Islam konservatif, karena mereka tetap berkiblat kepada ideologi Islam,
termasuk mempertahankan guru-guru Islam –meskipun tidak memiliki skill— dan
penolakan buku-buku pelajaran multikultural yang memuat gambar binatang babi. Hal
ini berbeda dengan kelompok moderat yang secara selektif setuju dengan ideologi
tersebut di atas. Perbedaan pandangan kedua kelompok ini terjadi karena latar
belakang sosial, etnis, pendidikan sehingga melahirkan penafsiran yang berbeda pula
terhadap Islam itu sendiri.
Sejalan dengan pendekatan teoritis Begum Zubaida yang menggunakan
ideologi sebagai alat analisis dalam memahami kaum Muslim di Australia. Michael
Humphrey, seorang peneliti Islam dan Multikulturalisme di Australia juga
berpendapat yang sama. Dalam karyanya ‘Is this a Mosque-Free Zone? Islam and
State in Australia’19 dan ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’’20,

19
Michael Humphrey, ‘Is this a Mosque-Free Zone? Islam and State in Australia’, Migration
Monitor, vol. 12, Januari, h. 12-17.
20
Michael Humphrey, ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’, dalam Abdullah
Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, UNSW Press, Sydney,
2003, h.33-52.
16

menyatakan bahwa kehadiran Islam di Australia sebagai kasus percobaan (as a test)
keberhasilan dan kegagalan bagi masa depan sebuah negara sekuler yang
multikultural.
Menurut hasil penelitiannya, formulasi ‘Islam di Barat’ menggambarkan
pertemuan dua kebudayaan yang tidak cocok, karena yang satu agamis dan lainnya
sekuler. Karena itu keberadaan Islam di Australia dianggapnya sebagai sebuah
masalah bagi ‘multikulturalisme’ Australia. Ketidak-cocokan (incompatibality)
tersebut bermuara pada resistensi kultural permanen kelompok Muslim terhadap
proses-proses dominan modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, sekularisasi, dan
kesetaraan gender.
Sebagian pendapat serupa juga ditemukan dalam disertasi Dedi Mulyana
berjudul ‘Twenty Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction
and Transformation of Ethnic Identity’ di Monash University, tahun 1995.
Menurutnya, sebagian kecil etnik Islam yang berasal
Indonesia masih terikat kepada loyalitas Islam sebagai ideologi sehingga kehadiran
mereka tetap dicurigai sebagai faktor disintegratif terhadap identitas nasional
Australia.21
Teori lain yang lebih baru diajukan oleh Abdullah Saeed dalam bukunya
‘Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions’22 di tahun 2004,
secara tidak langsung menolak tesis Zubaida Begum tentang adanya pertentangan dua
ideolologi dalam kelompok Muslim Australia dan teori resistensi budaya Michael
Humphrey. Dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat perubahan besar sikap
kelompok Muslim Australia terhadap multikultulturalisme Australia. Dalam pencarian
jati diri mereka, ideologi politik Islam tidak lagi merupakan faktor yang signifikan
dan harus dicurigai sebagai warganegara penuh Australia. Kelompok ini dalam proses
adaptasi dan berintegrasi dalam masyarakat Australia untuk mewujudkan identitas
nasional Australia. Saeed berpendapat bahwa faktor ideologi multikulturalisme

21
Dedi Mulyana, Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and
Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne, 1995, h.
263-270.
22
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions’ Departement of
Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in
Assotiation with The University of Melbourne, 2004, h. 61-74.
17

memainkan peran penting dalam proses integrasi tersebut, khususnya adanya


kebebasan beragama, termasuk penggunaan simbol-simbolnya.
Hal ini diperkuat dengan teori Gary D. Bouma dalam berbagai karyanya.
Dalam salah satu tulisannya, ia mengatakan bahwa komunitas Islam di Australia
termasuk yang berperan aktif dalam membangun pluralisme agama. Karena itu,
kontribusi mereka dalam membangun fondasi keharmonisan kehidupan antar
beragama di Australia diakui secara luas di Australia. 23
Dengan demikian, model multikulturalisme Australia seperti dijelaskan di
atas, dapat dijadikan contoh sesuai dengan definisi Parekh bahwa, ‘sebagaimana
halnya masyarakat dengan berbagai agama atau bahasa adalah multi-agama atau
multi-bahasa, maka sebuah masyarakat yang mencakup beberapa budaya adalah
multikultural’. Karena itu, ia berpendapat bahwa sebuah masyarakat multikulturalis
adalah sebuah bentuk yang mencakup beberapa komunitas budaya dunia dengan
konsep-konsep yang saling tumpang tindih, namun tetap berbeda dalam konsep,
sistem pemaknaan, nilai-nilai, bentuk-bentuk organisasi sosial, sejarah, adat dan
praktek-prakteknya. 24
Pembahasan pengertian ‘multikulturalisme’ yang diberikan para ahli sangat
beragam. ‘Multikulturalisme’ pada dasarnya adalah pandangan dunia – yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan – yang
menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat
juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam ‘politics of
recognition’.
Posisi agama dalam konteks multikulturalisme, menurut Robert Crotty,25 tidak
harus dilihat sebagai dua ideologi yang berlawan satu sama lain, karena agama adalah
sistem budaya yang memberikan sebuah ketertiban dunia dan pemaknaan (meaning)
di saat munculnya kekacauan (chaos) dan ancaman. Agama menawarkan suatu

23
Gary D. Bouma, et al (eds.), ‘Muslims Managing Religious Diversity’, dalam Abdullah Saeed
and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, , h.53-62.
24
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia di
seminar Kongres Budaya Indonesia, h. 2. Lihat www.kongresbud.budpar.go.id. Diakses 27/12/2006.
18

kebenaran yang Mutlak (Ultimacy) sebagai representasi simbolik dari ketertiban


dunia. Dengan demikian, meski multikulturalisme merupakan sebuah ideologi
sekuler, ia berhadapan dengan agama yang juga bagian dari budaya masyarakat itu
sendiri. Kerana itu, bentuk-bentuk agama yang menampakkan diri dalam kehidupan
sehari-hari haruslah sejalan dengan perspektif multikulturalisme. Bentuk sikap mental
keagamaan yang ekslusif dan konservatif terhadap keragaman budaya masyarakat,
tidak akan mendapat tempat dan ruang. Sebaliknya wajah inklusif dan terbuka
merupakan tempat yang ‘ideal’ sekaligus ‘membumi’ bagi perkembangan eksistensi
masing-masing etnik.
Bila terjadi konflik antara ideologi agama dan multikulturalisme, menurut
John Eade,26 dapat diselesaikan dengan pendekatan konstruksi cultural hybridity
(identitas campuran/kesadaran ganda atau lebih). Kontsruksi kebudayaan hibrid
terjadi melalui proses migrasi global. Mereka menciptakan ‘diaspora-diaspora baru’ di
mana mereka harus belajar untuk menampati paling sedikit dua identitas, berbicara
dua bahasa budaya dan menterjemahkan dan bernegosiasi di antara keduanya.
Kesadaran ganda atau percampuran ini, menurutnya lebih lanjut, akan menghasilkan
identitas baru sebagai cara untuk berintegrasi, bertahan hidup, dan berjuang dalam
kondisi yang krisis dan transisi.

E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi yang membahas interaksi
antara berbagai struktur, nilai-nilai, dan mobilitas kelompok minoritas migran Muslim
dan masyarakat Australia yang mempunyai tatanan nilai-nilai, norma-norma yang
sudah mapan dalam membentuk suatu masyarakat yang harmonis.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu dengan membaca dan menelaah buku-buku dan media cetak dan
elektronik yang ada hubungannnya dengan pembahasan. Di samping itu juga
digunakan penelitian lapangan (field research), yaitu mengamati langsung ke objek

25
Robert Crotty, ‘Multiculturalism and Religious Pluralism: Interaction and Overlap’, dalam
Norman C. Habel (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, Australian Association for the
Study of Religious (AARS), Adelaide, 1992, h. 31.
19

penelitian untuk memperoleh data primer. Teknik pengumpulan data yang dipakai
dalam penelitian lapangan adalah obeservasi (pengamatan) dan wawancara. Observasi
adalah pencatatan secara sistermatik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.
Observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian
untuk mendapatkan data yang berlangsung sejak bulan Oktober 2008 sampai akhir
tahun 1999.
Penelitian kepustakaan bersumber dari dua data, yaitu primer dan sekunder.
Data primer yang menjadi rujukan penulis, antara lain seperti yang telah disebutkan
dalam kajian pustaka, sedangkan kajian tentang multikulturalisme Australia adalah
The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945-1975 karya Mark Lopez,
buku Theophanous yang berjudul Understanding Multiculturalism and Australian
Identity. Begitu pula dua buku, yaitu Towards a National Agenda for a Multicultural
Australia: A Discussion Paper dan buku National Agenda for a Multikultural
Australia: Sharing Our Future, yang diterbitkan Pemerintah Australia mengenai
kebijakan Multikulturalisme Australia dan program-programnya.
Penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh pemimpin agama
Islam yang tergabung dalam AFIC dan kelompok organisasi lainnya, para refugee,
dan kelompok masyarakat Yahudi Australia. Wawancara ini bertujuan untuk
mengetahui langsung aspirasi, dinamika dan perkembangan komunitas Islam di
Australia.
Adapun sumber data sekunder, penulis merujuk pada buku-buku dan tulisan-
tulisan dalam bentuk jurnal, majalah, surat kabar, dan akses media elektronik yang
membahas pokok kajian tentang perkembangan dan kemajuan Islam di Australia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah sebuah proses mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi
informasi untuk menjawab pertanyaan penelitian agar dapat memberi gambaran
tentang situasi, fenomena, masalah atau suatu kejadian. Informasi tersebut
dikumpulkan dengan menggunakan berbagai variabel yang diukur dalam skala
nominal atau ordinal (skala pengukuran kualiatif) dan analisis dilakukan untuk

26
Thung Ju Lan, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya,
Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002, h. 56-57.
20

membangun variasi tersebut dalam situasi, fenomena atau permasalahan dimaksud


tanpa memberikan penilaian secara kuantitatif.27 Penelitian kualitatif layak digunakan
pada kasus-kasus yang memerlukan analisis apresiatif kepada substansi maupun atas
alasan metodologis: hakikat dari riset ini merupakan sebuah eksplorasi dan dapat
dibandingkan dengan menekankan pada pemberian identifikasi dan memberi
penjelasan tentang makna, dalam hal ini, yang berkaitan antara agama dan
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi sekuler.
Penelitian ini mengambil studi kasus di Australia. Alasan pemilihan Australia
sebagai studi kasus, karena negara ini telah melaksanakan ideologi multikultural
sebagai kebijakan politik sekaligus menerapkannya dalam berbagai program yang
terencana dan sistematis sehingga tercipta suatu masyarakat yang kohesif dan
harmonis. Studi kasus pada umumnya didefinisikan sebagai studi tentang kejadian-
kejadian dalam konteks kehidupan manusia yang nyata. 28 Dalam badan ilmu yang
lebih luas, peran studi kasus empirik mempunyai tempat yang khusus sebagai sebuah
strategi penelitian. Sifat empirik di sini berarti bahwa tiap kesimpulan ditarik atas
dasar bukti yang jelas setelah dikumpulkan dari himpunan informasi pengalaman
hidup nyata atau hasil observasi. Dalam hal ini setidaknya ada empat bentuk
aplikasinya, yang terpenting adalah yang dapat memberi penjelasan tentang hubungan
timbal balik antara intervensi dalam kehiduoan nyata yang sangat kompleks bila
disurvai atau untuk dijadikan strategi eksperimental. Aplikasi kedua adalah untuk
menggambarkan dalam konteks kehidupan nyata di mana telah terjadi suatu
intervensi. Ketiga, sebuah evaluasi akan dapat dimanfaatkan dalam sebuah cara
deskriptif dari sebuah studi kasus illustratif – bahkan bisa juga dari laporan jurnalistik
– tentang intervensi itu sendiri. Aplikasi keempat ada pada penggunaannya dalam
upaya mengeksplorasi situasi di mana intervensi yang sedang dievaluasi dalam
keadaaan tidak jelas dan belum memberi hasil yang spesifik. 29
Setelah data yang terkumpul, penulis menggunakan metode deskriptif untuk
menggambarkan keadaan objek atau peristiwa secara sistematis, faktual, dan akurat

27
Ranjit Kumar, Research Methodology: A Step by-Step Guide for Beginners, Longman, London,
1996, h. 2,7,8.
28
Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, Sage Publications, Beverly Hills,
London, 1985, h. 67.
21

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antar fenomena. Data yang telah
dideskripsikan diolah dan diinterpretasikan dengan menggunakan metode analitis dan
teori cultural hybridity (kesadaran ganda atau lebih) untuk menjawab pertanyaan
penelitian.
F. Organisasi Penelitian
Organisasi penelitian ini terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama
mencakup gambaran singkat tentang sejarah berdirinya negara Australia dan asal-usul
multikulturalisme hingga diterima sebagai kebijakan ideologi negara Australia. Pada
bagian ini dibahas proses pergantian ideologi assimilassi yang bersifat monokultural
menjadi ideologi multikultural.
Bagian kedua menggambar secara historis fase-fase kedatangan dan
keberadaan kaum Muslim di Australia. Dalam bagian ini juga dibahas interaksi sosial
umat Islam dengan masyarakat Australia dan sebaliknya persepsi masyarakat
Australia terhadap komunitas Islam di Australia.
Bagian ketiga membahas dinamika kelompok minoritas Muslim Australia di
tengan pergumulannya dengan tempat mereka yang baru dari segi kepemimpinan,
ekonomi, dan pendidikan.
Bagian keempat memuat pemahaman dan penghayatan kelompok Muslim
Australia terhadap agamanya yang dipresentasikan dalam dunia simbol dalam
interaksinya dengan multikulturalisme. Di sini juga dibahas pendekatan kaum Muslim
Australia agar bisa beradaptasi dan ‘survive’ di Australia.

29
Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, h. 25.
22

BAB II
MASYARAKAT AUSTRALIA
DAN IDEOLOGI MULTIKULTURALISME

A. Sejarah Berdirinya Negara Australia


Secara geografis, benua Australia dulu menyatu dengan Asia; namun setelah
melewati jutaan tahun ikatan itu menghilang, dan memisahkan ‘Lahan Selatan yang
Besar’ itu, beserta tanam-tanaman dan binatangnya, membentuk diri dengan caranya
sendiri dalam relung alamnya sendiri, yang melindunginya dari makhluk pemangsa
pemakan daging yang bisa saja merambah lewat jembatan alam bila saja jembatan itu
tidak patah dan kemudian menjadi sederet mata rantai pulau-pulau yang sekarang
memisahkan Australia dari benua Asia. Meskipun begitu, semua bekas-bekas
jembatan purba itu tidak lenyap sama sekali. Hanya diperlukan sebuah pengubahan
sejauh 100 kaki di dasar lautan untuk menggabungkan kembali Australia dengan
Papua New Guinea.30
Suku Aborigin yang mengadaptasikan diri mereka untuk tetap hidup
dalam sebuah lingkungan yang kerap dengan keras, berburu dan mencari
ikan, karena tidak ada binatang yang bisa dijinakkan dan diternakkan atau
tanaman yang bisa ditanam. Jadi mereka mengembangkan sebuah pola
hidup sederhana, dengan ekonomi primitif kaum nomad.
Kaum Aborigin adalah penemu sebenarnya dari Tanah Australia atau Terra
Australis. Kata Australia yang berasal dari kata Latin Australis, yang berarti selatan.

30
Oswald L. Ziegler, ‘Commonwealth of Australia’, dalam Oswald L. Ziegler, (ed.), the World
and South East Asia, Oswald Ziegler Enterprises, Sydney, 1973, h. 148
23

Mendahului tahun-tahun kolonisasi ada banyak legenda dan spekulasi. Kaum Kaldea,
kaum Arab, dan kaum China semua dianggap memiliki pengetahuan tentang Australia
dan orang Portugis juga telah melihat bagian dari pantai ini sebelum tahun 1542.
Orang Spanyol dinyatakan sebagai pengunjung dan orang Belanda telah membuat
banyak perjalanan tercatat yang membawa mereka ke pantai benua ini, Kontak
pertama dengan orang Inggris dilakukan oleh William Dampier di tahun 1688 ketika
kapalnya Cygnet melempar jangkar di tepian barat laut dekat pelabuhan Derby
sekarang.31
Australia hari ini adalah sebuah pulau benua seluas hampir 3 juta mil persegi,
hampir sama dengan luas negara Amerika Serikat. Populasinya yang relatif kecil
berjumlah lebih 19 juta orang, yang telah didiami masyarakat yang beradab dan
umumnya berasal dari orang Eropa selama lebih kurang dari 200 tahun lalu. Australia
adalah benua yang paling kering, tidak punya gunung besar dan sistem sungai seperti
di tempat lain. Bagiannya yang lebih subur ada di sektor-sektor yang secara
perbandingan kecil dan di sini tumpukan penduduk terkonsentrasi, sebagian besar di
sudut tenggara.
Riwayat Australia yang modern dimulai tanggal 23 Agustus 1770, ketika
Kapten James Cook, R.N., seorang pelaut Inggris, mengambil alih ‘ atas nama Yang
Mulia Raja George II’ dari apa yang sekarang menjadi bagian timur New South Wales
dan Queensland, dan menambah lagi teritori lain pada kerajaan inggris Raya
(sekarang Negara-Negara Persemakmuran Inggris). Ulang tahun ke- 200 diperingati
di Australia tahun 1970 dengan dihadiri Yang Mulia Ratu Elizabeth II, H.R.H.
Pangeran Philip, Duke of Edinburgh, H./R.H. Pangeran Wales dan Puteri Anne. New
South Wales, pada khususnya, membua nya sebuah peristiwa yang mengesankan.
Setelah Cook berlayar ke bagian lain Australia, mulailah berlaku aneksasi. Ia
tidak bermaksud berlayar ke benua itu untuk menjajahnya (mengkolonisasi); ia tengah
dalam perjalanan pulang ke Inggris dari Tahiti di mana ia tadinya dikirim untuk
melakukan sebuah observasi astoromis. Ia berlabuh di Teluk Botany (Botany Bay) –

31
Manning Clark, A Short History of Australia, A Mentor Book, New York, 1969, h. 13.
24

sekarang di kawasan Sydney – yang dinamakannya demikian karena banyaknya jenis


(spesimen) botanis vegetasi yang ditemui di daerah itu.
Pandangan Cook tentang Australia, atau sebanyak yang telah sempat
dilihatnya, telah membangkitkan minat masyarakat di Inggris, namun baru di tahun
1787 mulai berlayar armada sebelas kapal yang datang, di bawah komando Kapten
Arthur Philip, R.N. yang kelak menjadi gubernur koloni baru itu yang dinamai New
South Wales. Pemerintah Inggris mempunyai dua motivasi dalam hal permukiman
yang belakangan ini. Koloni-koloni Amerika telah lenyap akibat Perang Kemerdekaan
dan sebuah basis di luar negeri diperlukan bagi para narapidana yang dihukum buang
karena berbagai bentuk kejahatan. Kapal-kapal itu mencapai Botany Bay tanggal 18
Januari 1788, namun Philip belum merasa tertarik dengan tapak itu dan delapan hari
kemudian ia berlayar ke Port Jackson, duabelas mil sebelah utara pantai, lalu
mendirikan permukimannya di Sydney Cove. 32
Lepas dari kesulitan-kesulitan besar akibat kekurangan bahan makanan dan
tenaga ahli, koloni ini dengan kokoh terbentuk dan mulai dilakukan eksplorasi ke
pedalaman. Tasmania, yang sebelumnya dikenal sebagai Lahan Van Diemen, pulau
paling selatan dari benua itu mendapat penetap pertama dari Sydney tahun 1803. 33
Ia menjadi sebuah koloni dengan haknya sendiri di tahun 1825 dan Australia
Barat, sebuah area luas hampir 1 juta mil persegi, mulai didiami di tahun 1827.
Australia Selatan diciptakan sebagai sebuah koloni bebas tahun 1836. Selama waktu
ini Victoria dan Queensland merupakan bagian dari New South Wales secara politis
namun di tahun 1851 dan 1859 masing-masing menjadi koloni terpisah.
Di tahun 1901 semua koloni-koloni itu membentuk federasi di bawah
‘Persemakmuran Australia’ dan sejak itu menjadi Negara-negara Bagian. Sebuah
daerah istimewa (teritori) dipisahkan dari New South Wales menjadi Ibu Kota Negara
Federasi (Federal Capital) dan di tahun 1913 diberi nama Canberra.
Di tahun 1907 kendali atas Territorial Australia Selatan yang berpenduduk
jarang, sebagian besar terbuka dan belum dibangun diberikan pada Pemerintah

32
Manning Clark, A Short History of Australia, h. 28.
33
Oswald L. Ziegler, ‘Commonwealth of Australia’, dalam Oswald L. Ziegler (ed.), The World
and South East Asia, h. 149.
25

Persemakmuran yang sejak itu mengurusinya, bahkan sekarang pun, Teritori seluas
lebih dari separuh juta mil persegi itu hanya memiliki penduduk ratusan ribu jiwa.
Sementara itu, sebagian besar pendudk Aborigin merasa jauh dari
kemakmuran. Pengambil alihan lahan berburu oleh penduduk kulit putih dan
perseteruan-perseteruan yang terjadi menjadi bab suram dalam sejarah Australia.
Selama bertahun-tahun orang menganggap bahwa kaum Aborigin memang
ditakdirkan untuk punah. Namun di masa yang lebih kemudian dimunculkan
kebijakan-kebijakan yang lebih mencerahkan; mulai ada pengakuan luas atas nilai
budaya Aborigin dan suatu upaya tulus dilakukan untuk mengassimilasikan bangsa
Aborigin yang latar belakang kesukuannya telah hilang itu ke dalam kehidupan
bangsa Australia.
Dalam definisi resmi kebijakan assimilasi menetapkan semua orang keturunan
Aborigin untuk memilih penerapan gaya dan standar hidup yang sama dengan bangsa
Australia lainnya dan hidup sebagai anggota dari komunitas Australia yang satu –
menikmati hak-hak dan privilese yang sama, dikenakan kewajiban yang sama dan
menganut harapan dan kesetiaan yang sama dengan bangsa Australia yang lainnya.34
Keberhasilan beberapa individu kaum Aborigin sebagai pegawai negeri, pendeta,
seniman dan olah ragawan – dan belakangan ini juga sebagai politikus terkemuka –
menganut sebuah budaya yang berbeda dari yang mereka miliki sendiri. Dalam hal ini
barangkali yang paling dikenal adalah Albert Namatjira, pelukis, Harold Blair,
penyanyi, Lionel Rose, orang Aborigin pertama yang memenangkan pertandingan
dunia, gelar petinju kelas bantam dunia di Jepang tahun 1968, Evonne Goolagong
yang memiliki tingggi meteorik sebagai salah satu wanita petenis terbesar yang
pernah dihasilkan dunia, mencapai tingkat final di Wimbledon di tahun 1971 pada
usaha keduanya dan dengan mengalahkan juara pemenang, orang Australia, Margaret
Court, menjadi Ratu dunia tennis di usia 19 tahun. Atas upayanya yang luar biasa itu,
Ratu menganugerahkannya gelar M.B.E. d tahun 1972 Kehormatan Tahim Naru (New
Year’s Honours) dan Dewan Hari Australia (the Australia Day Council)
memproklamirkannya sebagai ’Warga Australia Tahun Ini’. Bangsa Aborigin lainnya

34
Marjorie Jonston, Australian History, Longman Cheshire, Melbourne, 1985, h. 167.
26

yang baik, Neville Bonner, terpilih masuk dalam keanggotaan Senat Negara
Queensland tahun 1971. Angka-angka ini berlipat di tahun 1966 mencatat jumlah
penduduk Aborigin 44,605 jiwa, di mana sejumlah 77,459 separuh Aborigin dan
8,000 suku Torres penduduk Strait Islanders dengan jumlah total 130,000 dan
mayoritas hidup di Queensland.35

Australia Masa Kini


Australia adalah sebuah negeri paradoks. Ia sebuah negeri modern, industri
dan teknologi maju di sebuah benua yang sebagian besar belum didiami manusia.
Lahannya seluas 7,682,300 kilometer persegi (2,966,136 mil persegi) menjadi rumah
bagi lebih dari 19 juta orang. Australia adalah satu-satunya pulau benua dan satu-
satunya benua yang merupakan satu negara di dunia. Mayoritas penduduknya
menempati kota-kota besar di bagian tepi laut, sedangkan di bagian pedalamannya
hampir kosong. Kelangkaan penduduk di pedalaman bisa dimengerti dilihat dari garis
lintang di mana benua itu berada. Massa lahan Australia berada antara 15 dan 35
derajat garis lintang, tempat di mana hampir semya padang pasir dunia berada.
Ditambah lagi, lebih dari 80 persen benua ini berada di zona iklim kering atau semi
kering. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya hanya 465 milimeter (18 inci) dan karena
itu sekitar sepertiga lebih kering dari benua-benua lainnya kecuali Antartika. Tidak
seperti bagian lain dunia, iklim Australia tidak sepenuhnya dapat diramalkan menurut
batas-batas musim, tetapi tergantung pada berkembangnya fenomena El-Nino, dengan
siklus musim kering dan curah hujan lebarnya yang khas. Terlepas dari keadaan
tanahnya yang berfosil dan padang sahara, benua ini tergantung pada hasil ekspor
produksi utama dan bahan mineral untuk bisa menopang gaya hidup nyaman dan
mewah mayoritas penduduknya; namun ini dicapai lewat biaya besar kerusakan
lingkungan dan gangguan ekosistem yang rapuh. Sekitar 70% benua Australia tidak
cocok untuk jenis pertanian apapun, dan sebagian besar hanya bisa digunakan untuk
penggembalaan domba atau ternak dalam jumlah terbatas. Kemakmuran utama
Australia membahayakan keberlangsungan jangka panjang gaya hidupnya yang

35
Oswald L. Ziegler, Commonwealth of Asutralia, in Oswald L. Ziegler (ed.), the World and
South East Asia, h. 150.
27

sekarang dan pemiskinan tanah dan salinitas semakin cepat merambah kemampuan
negeri ini untuk menghasilkan ekspor hasil pertanian yang mendukung gaya hidup
mewah penduduknya.36
Penduduk Australia semakin bertambah dengan meyakinkan antara 1 sampai
2% selama sepuluh tahun terakhir, disebabkan oleh gabungan dari aspek kelebihan
kelahiran dari kematian dan program gerakan migrasi yang dahsyat. Dengan
meluapnya penduduk masuk ke kota-kota dan mengumpul sepanjang garis pantai,
paradoks lain muncul dalam hal stereotip budaya nasional pria Australia yang kasar
dan berbasis alam liar semakin tidak menjadi contoh; namun mitos alam liar harus
segera diganti dengan sosok manusia kita atau sebuah legenda berdasar pantai untuk
mengidentifikasikan ke Australiaan-nya. Barangkali keengganan untuk menyia-
nyiakan pesta-pesta gaya kuno mencerminkan profil penduduk yang semakin menua,
karena Australia jauh dari bayangan sebuah komunitas muda yang penuh tenaga
seperti yang dipunyainya dan hasil yang tak terelakkan, akibat tingkat kesuburan dan
tingkat kematian yang rendah adalah suatu pertambangan progresif dalam usia rata-
rata masyarakatnya. Terlebih lagi, kaum wanitanya meliputi lebih dari separuh
penduduk. Kaum wanita dan kaum migran menciptakan sebuah kelompok mayoritas
yang penting namun terabaikan secara budaya di tengah masyarakat Australia
modern.

Budaya dan Komunitas


Australia membanggakan dirinya sebagai masyarakat yang bersahabat dengan
etos santai (laid-back ethos), yang disaksikan seluruh dunia selama penyelenggaraan
Pertandingan Olimpiade yang sangat sukses di Sydney pada bulan September 2000.
Barangkali ini ada kaitannya dengan iklim kawasan pantai dari bagian timur tepi
lautnya, namun akses pada matahari dan olah raga selancar dalam keadaan iklim di
mana orang bisa berada di luar rumah dengan berpakaian kurang lebih ringan selama
12 bulan dalam setahun tentulah akan menggugah suatu cara hidup dengan
pendekatan yang relatif bersifat hedonistis. Demikian juga halnya tradisi atau

36
Frank G. Clarke, The History of Australia, Greenwood Press, Wesport, 2002, h.1-3.
28

kebiasaan dalam cara memandang pada pemerintah untuk menyediakan pelayanan


sosial dasar dan kesejahteraan rakyat. Kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan
akomodasi dasar bagi mereka yang paling tidak beruntung masih dipertimbangkan
menjadi kawasan tanggung jawab pemerintah di Australia, meskipung kedua partai
politik utama telah mengambil kebijakan untuk sedapat mungkin menjauhkan diri dari
beban finansial ini. Orang Australia masih menganggap pemerintah harus melindungi
mereka dari ekses-ekses paling buruk dari pasar dan menjalankan sebuah gaya hidup
yang menjamin suatu standar minimum kehidupan pada tingkat kenyamanan
sederhana. Pandangan seperti itu dalam sebuah iklim yang lembut dengan penduduk
yang berusia lanjut menghasilkan sebuah kepuasan dengan diri sendiri yang
memasukkan masyarakat ini dalam kelompok yang berpandangan konservatif.
Dalam sebuah lingkungan yang cukup kaya, sejak akhir tahun 1940-an
Australia telah mampu menyerap sejumlah besar kaum imigran dari semua bagian
dunia, dan kini negara ini adalah satu dari komunitas yang paling multikultur
(pluralis) di dunia. Sejak 1945, hampir 5,7 juta orang menetap di Australia dan kini
hampir satu dari empat anggota masyarakatnya lahir di luar negeri. Lebih dari 30
persen penduduk baru tiap tahunnya pada dekade yang lalu datang dari latar belakang
Asia, dan selama tiga tahun terakhir New Zealand, telah menggantikan Inggris
sebagai negara kelahiran sebagian besar kaum migran. Secara sekilas progran migrasi
seperti itu mungkin kelihatan berlawanan dengan sifat konservatif masyarakatnya,
namun pada kenyataannya, keberhasilan kebijakan imigrasi pasca perang sebagian
besar diakibatkan dari gabungan kemewahan dan kepuasan dengan diri sendiri Selama
periode-periode kejatuhan ekonomi, kebencian pada kaum migran muncul semakin
jelas naik, yang menurun lagi dengan beranjak naiknya ekonomi. Kehidupan sehari-
hari semakin diperkaya oleh kontribusi dari berbagai masyarakat migran, dan mereka
semua dilindungi dari tindak diskriminasi di bawah peraturan Undang-Undang Anti
Diskriminasi Pemerintah Federal tahun 1975, yang mengilegalkan tindak
diskriminasi di setiap aspek kehidupan berdasarkan warna kulit, ras, agama, jenis
kelamin (gender), atau negeri asal. Bahasa Inggris menjadi bahasa nasional Australia,
dan terlepas dari jumlah kaum migran yang tinggi, di tahun 1996, 85 persen penduduk
29

berbicara hanya bahasa Inggris di rumah dan kurang dari 1 persen tidak bisa berbicara
bahasa Inggris sama sekali.37
Namun harmoni rasial, masih belum tercapai dengan keturunan kaum
Aborigin, yang berjumlah sekitar 2% dari seluruh penduduk, dan mereka masih
menderita dalam aspek kesejahteraan dan kesehatan. Keterbelakangan kesehatan ini
bersumber dari posisi mereka sebagai korban invasi awal bangsa Eropa di tahun 1788.
Mereka kehilangan negeri mereka dan tidak mendapat ganti rugi apapun sampai
disahkannya hak-hak lahan tengaran (landmark land rights legislation) di tahun 1993.
Belakangan ini, Komisi Penduduk Aborigin dan Teluk Torres (ATSIC) menerima
lebih dari $1 milyar per tahun untuk mendanai program-program yang dirancang
untuk memperbaiki ketakberuntungan selama dua abad.38 Rekonsiliasi dengan
penduduk asli telah menjadi wacana politik besar di Australia, dengan Partai Buruh
Australia (ALP) yang telah siap menawarkan sebuah pernyataan maaf (apology) resmi
atas semua sejarah ketidak-adilan yang telah diakibatkan dan menyakitkan itu.
Australia hari ini adalah sebuah negara berteknologi maju dan menikmati
standar hidup yang tinggi. Gambaran lama orang Australia sebagai masyarakat
bermata pencaharian pedesaan – peternak wool, petani susu, petani gandum dan
petani buah-buahna – tidak lagi mencerminkan kenyataan sebanarnya. Karena,
meskipun industri-industri utama ini masih menjadi bagian vital dalam ekonomi
negara, metode-metode produksi modern telah memungkinkan cara pengerjaan yang
semakin sediikit memerlukan tenaga manusia. Mayoritas penduduk Australia
sekarang adalah penduduk perkotaan yang terlibat dalam usaha industri sekunder dan
tersier serta kebanyakan mereka terkonsentrasi di kawasan pantai tenggara benua ini
dalam jalur memanjang di selatan mulai dari kota penghasil baja Newcastle, melewati
Sydney dan pusat penghasil baja kedua di Port Kembia di kawasan metropolitan
Wollongong, sampai ke Melbourne. Negara Australia berbentuk sistem pemerintahan
federal yang terdiri dari 6 negara bagian dan dua daerah teritorial, yaitu Brisbane
dengan ibukota Queensland, Australia Selatan beribukota Adelaide, Australia Barat

37
Frank G. Clarke, The History of Australia, h.1-3.
38
Lihat juga Stephen J. Rimmer, The Cost of Multiculturalism, Belcomen, Bedford Park, 1991, h.
11.
30

dengan ibukota Perth,Tasmania beribukota Hobart, New South Wales dengan ibukota
Sydney, dan Victoria dengan ibukota Melbourne serta Canberra adalah sebagai
Ibukota Negara Federasi.

Imigrasi dan Rasisme


Negara Australia pada zaman modern ini adalah produk dari dua proses yang
agak berbeda, namun berkait dalam hal kolonisasi dan imigrasi. Dalam hal yang
terakhir ini ia disebut sebagai negara migran (the Nation of migrant) Setiap orang
yang bukan keturunan suku Aborigin adalah kaum imigran dari asal muasal yang
relatif baru. Persoalan imigrasi sangat berkaitan erat dengan masyarakat Australia
yang multikultural di seluruh dunia, khususnya setelah masa-masa Perang Dunia II,
ketika Australia terlibat dalam sebuah program imigrasi besar,
Di waktu orang Australia Putih akan ‘merayakan dua abad pendudukannya’,
pemukiman bangsa Eropa sejak tahun 1788 telah berkembang tak merata. Pada tahun
1945, Australia baru mempunyai populasi 7,3 juta. Trauma Perang Dunia II, terutama
invasi Jepang ke New Guinea dan pengeboman kota Darwin, menambah ketakutan
banyak orang Australia, yang melihat diri mereka sendiri sebagai pos terdepan
Inggris di tengah lautan Asia yang bersikap bermusuhan. Maka setelah tahun 1945
dimulai pencarian kaum migran yang dapat menggelembungkan jumlah penduduk,
kekuatan, dan pertahanan Australia.
Ada juga alasan-alasan lain, yang mendorong pencarian pemerintah untuk
memperoleh lebih banyak kaum migran. Industrialisasi yang tengah tumbuh
membutuhkan tenaga kerja, yang tak mungkin dapat dipenuhi oleh jumlah populasi
yang kecil. Kapitalisme Australia tumbuh, dipacu modal asing dan tergantung pada
impor pekerja dalam jumlah besar, umpamanya, untuk upaya-upaya konstruksi besar,
seperti skema Hidro listrik Snowy Moontains.
Australia masih dilihat sebagai bangsa berkulit putih dan berkebangsaan
Inggris serta preferensi migran yang pertama adalah mereka yang berasal dari Inggris.
Ketika sumber-sumber kaum migran dari Inggris gagal memenuhi kuota, definisi
tentang siapa yang berhak di assimilasikan, yang bisa datang ke Australia tanpa
menimbulkan ancaman apapun pada Australia, pertama kali diarahkan pada kaum
31

migran dari Eropa Tengah dan Eropa Timur, kemudian dari Eropa Selatan, akhirnya
dari Timur Tengah dan lainnya.
Kehadiran imigran dengan memperluas kriteria sumber migran yang tanpa
memperhatikan latar belakang budaya mereka atau penampilan mereka, diharapkan
kaum imigran baru akan dapat berassimilasi. Cara assimilasi akan dapat mengubah
kaum migran dengan mengadopsi nilai-nilai Australia sehingga bisa memperkuat
identitas, dan sebaliknya bukan merubah identitas nasional Australia.39
Pemerintah Australia menganggap sangat penting dalam menentukan pola
imigrasi. Di tahun 1945 Menteri Tenaga Kerja untuk imigrasi, Calwell,
mengumumkan sebuah target penambangan populasi 1% tiap tahun melalui imigrasi.
Di bulan Nopember, 1946, ia mengumumkan target-target tahun berikutnya, namun
menambahkan bahwa ia berharap agar ‘bagi setiap migran asing terdapat sepuluh
orang yang berasal dari Inggris’.40 Namun demikian, untuk memenuhi target-target ini
pemerintah Australia setuju menerima sejumlah ‘orang-orang yang salah tempat’,
terutama yang berasal dari Eropa Tengah dan Eropa Timur, yang menderita akibat
Perang Dunia II Mereka yang datang ke Australia jumlahnya naik turun dari
maksimum 150-185.000 untuk tahun 1967-1970 sampai yang rendah 53.000 di tahun
1975-1976 saat resesi mulai di awal ‘70-an. Jumlah ini menurun dari awal tahun
1980-an sebanyak 76.000 orang.
Kaum migran yang datang ke Australia mencerminkan kebijakan pemerintah
tentang jumlah, sumber dan kategori, dan juga peristiwa-peristiwa di Australia dan di
luar negeri. Jadi, ada sebuah kecenderungan mengurangi jumlah kaum migran selama
resesi ekonomi, meskipun masih ada debat penting mengenai apakah kaum migran
mengambil atau menciptakan lapangan pekerjaan.41
Dasar-dasar seleksi kaum migran itu bermacam-macam. Pada periode awal
paska-perang, kriteria rasial dan budaya dipakai, hanya keturunan Eropa yang dicari --
dengan preferensi pada keturunan Eropa Utara. Politik kulit putih Australia secara

39
McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, Social Science Press, Katoomba,
Sydney, 1988, h. 170.
40
Charles A. Price, ‘The Ethnic Composition of the Australian Population’, in Ian Burnley (ed.),
Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies, Longman Chesire, Melbourne, 1985, h. 46.
32

bertahap mempermudah masuknya para imigran antara tahun 1952 dan tahun 1972.
Terjadi modifikasi yang nyata bagi mereka yang berasal dari ‘keturunan campuran’
dan orang non Eropa yang mempunyai keahlian tinggi pada pertengahan tahun ‘60-an.
Setelah tahun 1972, pemerintahan Partai Buruh Whitlam mempunyai sebuah
komitmen pada politik non diskriminasi atas dasar ras sehingga menghapus
pertimbangan berdasarkan ras dan negeri asal dari kriteria seleksi.42
Penghapusan ini tercermin pada nilai-nilai moral yang berubah dan sebuah
komitmen yang berkembang di bagian-bagian penting dalam komunitas Australia
yang melepas rasisme dalam segala bentuknya, Tetapi hal ini juga sesungguhnya
mengakui adanya minat Australia dalam hal perdagangan, politik dan diplomatik di
kawasan Asia yang memerlukan penghapusan politik kulit putih Australia.
Pada saat yang sama Pemerintahan Buruh mengurangi penerimaan
menyeluruh imigrasi. Selama dekade terakhir, kaum migran yang potensial ingin
datang ke Australia jauh melebihi dari kesiapan Australia untuk menerima. Dengan
demikian sementara kriteria rasial tidak lagi dipraktekkan, namun seleksi semakin
keras dan menggunakan dasar-dasar lain untuk mengeluarkan, umpamanya, bagian
yang meminta agar pihak migran yang telah memiliki anggota keluarga dekat di
Australia untuk mensponsori kedatangan mereka dan tambahan syarat kesehatan serta
kepribadian, sebelum mereka bisa segera dipekerjakan.
Sumber kaum migran sebelum Perang Dunia II sebagian besar berasal dari
Inggris dan Irlandia. Perubahan radikal pertama datang di tahun 1947 – 1952, ketika
sebanyak 170.000 orang-orang yang tak mempunyai tempat datang ke Australia. Di
akhir tahun ‘50-an dan awal tahun ‘60-an jumlah yang datang dari Yunani dan Italia
semakin bertambah dan di akhir ‘60-an dari Yugoslavia. Pada tahun 70-an jumlah
yang datang semakin bertambah dari Vietnam dan Selandia Baru serta juga dari
Timur Tengah dan Amerika tengah dan Amerika selatan. Bagaimana pun, Inggris dan
Irlandia tetap menjadi negara asal utama yang terbesar. Kaum peminta suaka

41
Jamie Mackie, The Politic of Asian Migration’, James E. Coughlan and Deborah J. McNamara
(ed.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, Macmillan Education Australia,
Melbourne, 1997, h. 10.
42
McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, h. 172.
33

(refugees) menduduki proporsi nyata dalam penerimaan migran. Total jumlah 400.000
orang peminta suaka telah sampai di Australia sejak perang Dunia II.
Konsekuensi program imigrasi yang paling jelas bagi masyarakat Australia
adalah dalam aspek demografis: perubahan-perubahan dalam komposisi populasi
keseluruhan.
1. Populasi bertambah dengan cepat. Hampir berlipat dua antara tahun 1946 dan
1986, di mana imigrasi menjadi penyebab 40% dari total pertambahan jumlah
penduduk.
2. Pertambahan jumlah dan terutama fakta bahwa banyak kaum imigran masih
berusia muda atau setengah tua serta memasuki bursa kerja yang menuju pada
sebuah pertumbuhan dalam jumlah kekuatan kerja sehingga merangsang
pertumbuhan ekonomi Australia.
3. Imigrasi mempengaruhi profil menyeluruh usia populasi dan memperlambat aspek
penuaan, Hal ini diakibatkan baik oleh karena usia kaum migran yang relatif
muda dibandingkan populasi orang Australia pada umumnya, dan karena banyak
dari kaum migran kemudian mempunyai anak, atau lebih banyak anak di
Australia.
4. Komposisi etnis dalam populasi Australia berubah. Sebelum tahun 1945 hampir
semua kaum migran Australia berkebangsaan Inggris. Di tahun 1947 hanya 10%
dari total populasi lahir di luar negeri dan tiga perempat di antaranya lahir di
Inggris dan irlandia. Di tahun 1981, 20,6% dari populasi lahir di luar negeri,
meskipun sejauh itu kelompok terbesar tetap berasal dari Inggris dan Irlandia.
Sekarang, 40% orang Australia berasal dari kaum migran atau setidaknya
mempunyai satu dari orang tuanya yang adalah migran. Orang Australia terdiri
dari campuran dari 156 kebangsaan dan latar belakang etnik yang berbeda, dengan
jumlah terbesar datang dari Inggris, Italia, Selandia Baru, Yugoslavia, dan Yunani.
Etnisitas merupakan faktor penting dari keragaman budaya Australia. Ia
adalah sebuah konsep yang terbuka pada interpretasi. Secara definitif, ia mengacu
pada tempat lahir dan pada negeri asal atau latar belakang budaya, sosial, dan agama.
Di sini ia menjadi ‘fakta’ kelahiran. Di luar itu ia mengkait unsur-unsur subyektif
yang menunjuk pada bagaimana mengidentifikasi seseorang atau kelompok.
34

Seorang kelahiran Australia masih tetap diindentifikasikan sebagai orang


Yunani atau Yunani-Australia. Di sini etnisitas menandakan asosiasi dengan suatu
kelompok dan masing-angota kelompok mempunyai arti sosial. Namun orang lain
bisa saja tetap memberi label mereka sebagai orang Cina. Jadi ada komponen-
komponen eksternal dan internal yang dipaksakan dan dipilihkan. Hal-hal ini bisa
berubah dengan berjalannya waktu dan situasi lingkungan yang memberi penghargaan
atau hukuman dalam penciptaan sebuah identifikasi tertentu.
B. Pengelompokan Sosial Budaya, Etnik, dan Agama dalam Masyarakat
Australia

Orang-orang Australia berasal dari seratus lebih negara yang berbeda-beda.


Ada banyak bangsa dan kebudayaan di Australia. Sumber keragaman tersebut sebagai
konsekuensi dari kebijakan negara mengenai imigrasi sehingga komposisi etnik,
43
budaya, dan agama pun ikut merubah profil Australia. Penduduk pertama yang
hidup di Australia adalah orang-orang Aborigin. Mereka telah hidup di daerah selama
lebih dari 50.000 tahun. Lalu disusul kedatangan orang Inggris di tahun 1788 dalam
pelayaran pertama mereka di Australia. Sebagian besar dari mereka adalah para
narapidana yang akan ditempatkan kerajaan Inggris untuk menetap di Australia.
Selain migran dari dari Inggris, juga ada dari Irlandia.

43
www.dfat.gov.au/aii/publications/bad09/index.html, diakses tanggal 21 Juli 2005.
35

Department of Immigration and Multicultural Affairs


Gambar 1: Para siswa dari Redfern di Sydney mencerminkan keanekaragaman
budaya Australia

Sesudah Perang Dunia II terjadi arus perpindahan penduduk ke Australia dari


banyak negara. Atbara tahun 1950 dan tahun 1973 kebanyakan migran datang dari
Eropa. Sejak saat itu, terdapat kenaikan arus migrasi dari Timur Tengah dan dari Asia.

Pada tahun 1975, 20% dari jumlah penduduk dilahirkan di luar Australia. Pada
tahun 1995 jumlah ini naik menjadi 23%, yakni satu dari setiap empat orang Australia
dilahirkan di luar negeri. Antara tahun 1984 dan 1994 jumlah orang Australia
kelahiran Asia sangat meningkat. Pada tahun 1994, 5% dari jumlah penduduk
dilahirkan di Asia.44

44
Data sensus statistik Australia yang pada umumnya menggunakan kategori asal etnik Australia,
asal tempat kelahiran, asal etnik, dan kontribusi etnik. Lihat Charles A. Price, ‘The Ethnic Composition
of the Australian Population’, dalam Ian Burnley (ed)., Immigration and Ethnicity in the 1980s:
Australian Studies, h. 51-54.
36

Pada tahun 1994-95 kelompok migran kelahiran luar negeri yang paling pesat
pertumbuhannya adalah dari Indonesia, Hong Kong dan Makao. Meskipun
kebanyakan orang Australia kelahiran luar negeri berasal dari Eropa, arus migrasi dari
Eropa telah sangat menurun jumlahnya dibandingkan arus migrasi dari Asia.

Meskipun orang Australia berlainan asal-usulnya, mereka hidup damai antara


yang satu dan yang lain. Ada toleransi terhadap kebudayaan dan bangsa yang
berlainan. Hukum Australia melindungi orang dari diskriminasi ras. Kebijakan untuk
bersikap toleran dan untuk melindungi kebudayaan yang berbeda tersebut disebut
multikulturalisme.

Kebudayaan yang dominan di Australia selama empat dasawarsa terakhir


adalah yang berasal dari Inggris. Ini merupakan akibat dari zaman kolonial (Lihat
Gambar 2 dan 3). Para migran ke Australia dulunya cenderung mengikuti kebudayaan
yang dominan. Mereka cenderung makan, berpakaian dan berolah raga seperti orang
Australia yang berasal dari Inggris. Sejak tahun 1960-an aspek kebudayaan seperti ini
di Australia telah berubah. Orang-orang didorong untuk mempertahankan kebudayaan
mereka sendiri.

Marshall Leaver
Gambar.2: Tarian adat dari Negara Inggris
37

The Scots College, Sydney


Gambar 3: Siswa-siswa dari sekolah Scots, Memakai pakaian adat dari Scotlandia

Sekarang para migran lebih dimungkinkan untuk mempertahankan warisan


budaya mereka. Bahasa yang digunakan oleh kelompok-kelompok migran yang
penting diajarkan di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Ada program
radio dan televisi yang menggunakan bahasa asing. Hal ini membantu timbulnya
perasaan jati diri bagi semua orang Australia, dan juga menimbulkan kebhinekaan
bagi Australia serta membantu terciptanya masyarakat yang toleran.

Kebijakan di Australia dimaksudkan untuk menjaga kerukunan dan harmoni


melalui multikulturalisme. Menurut kebijakan ini, semua orang Australia bebas untuk
hidup di tempat yang dipilihnya dan bebas untuk mempertahankan kebudayaannya.
Mereka dapat menggunakan dan mempelajari bahasanya. Mereka bebas untuk
menjalankan agamanya. Orang-orang dari semua bangsa, agama, kebudayaan dan
bahasa adalah sama di mata hukum.

Agama-agama di Australia

Ada banyak agama yang terdapat di Australia.45 Kebanyakan orang Australia


beragama Kristen. Ada beberapa aliran kelompok Kristen. Dulu agama Kristen

45
Lihat juga Gary D. Bouma, ‘Australia’s Religiuos Profile: Continuity and Change’, dalam Gary
D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and Cultural Diversity,
The Christian Research Association, Melbourne,1996, h. 9-24.
38

Anglikan merupakan agama yang dominan (Lihat Gambar 4). Sekarang kelompok
yang terbesar adalah kelompok beragama Katholik (Lihat Gambar 5) dengan 4,6 juta
pemeluk. Di antara orang-orang Australia yang berasal dari Yunani dan Eropa timur
dijumpai juga aliran Kristen Ortodoks. Di Australia juga ada sejumlah kecil penduduk
yang memeluk agama Yahudi.

Islam di Australia terutama dipeluk oleh orang-orang yang berasal dari


Libanon, Turki dan Timur Tengah (Lihat Gambar 6). Orang Australia yang beragama
Buddha terutama berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara.

Asian Field Study Centres


Gambar 4: Gereja Katedral Anglikan St Andrew, Sydney.
39

Marshall Leaver
Gambar 5: Gereja Katedral Katolik Roma St Mary di Sydney.

Asian Field Study Centres


Gambar 6: Mesjid di Sydney. Kebanyakan orang Islam di Australia berasal dari Turki
dan Libanon.

Ada contoh gereja, kuil dan mesjid yang bagus di Australia. Beberapa di
antaranya masih baru dibangun. Di tahun 1976 telah dibangun sebuah mesjid yang
besar di Preston, yakni daerah pinggiran kota Melbourne. Baru-baru ini di daerah
Wollongong telah dibangun sebuah kompleks agama Buddha yang besar (Lihat
Gambar 8) dan sebuah kuil Hindu (Lihat Gambar 7). Juga ada kelompok kecil seperti
pemeluk Bahai dan agama Yahudi.
40

Asian Field Study Centres


Gambar 7: Kuil Hindu di Helensburgh di sekitar kota Wollongong.

Asian Field Study Centres

Gambar 8: Wihara Buddha terbesar di luar Asia di Wollongong

Orang bermigrasi ke Australia

Orang bermigrasi ke Australia karena alasan-alasan yang berbeda.


Kebanyakan mereka datang ke Australia dengan alasan untuk memperoleh masa
depan yang lebih baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anak-anaknya. Australia
adalah sebuah negara yang besar dan negara-negara bagiannya mempunyai kondisi
yang sesuai untuk tempat menetap.

Banyaknya kebudayaan yang berbeda telah menjadikan Australia sebagai


tempat yang menarik. Di bawah ini, secara singkat dibahas beberapa kelompok
41

tertentu: Kelompok Aborigin, Inggris, Jerman, Yunani, Italia, Libanon, Vietnam,


Indonesia, dan India

Orang Aborigin

Orang Aborigin atau penduduk asli telah hidup di Australia selama lebih dari
50.000 tahun. Kebijakan multikulturalisme mendorong mereka untuk memelihara
kebudayaan mereka. Banyak orang di Australia berminat terhadap kebudayaan
Aborigin. Seni dan musik Aborigin telah menjadi populer.46

Kaitan dengan Eropa

Hubungan awal antara Eropa dengan Australia telah dimulai sejak abad ke-15
yang dilakukan melalui orang Portugis dan Belanda. Benua Australia dapat dilihat
dalam peta-peta Portugis lama. Mereka menamakannya Jawa Besar. Orang Belanda
menyebutnya Holand Baru. Pada tahun 1642 orang Belanda bernama Abel Tasman
berlayar dari Batavia (Jakarta) untuk menjelajahi Australia bagian selatan. Dia sampai
di Pulau Tasmania. Tasman percaya bahwa Australia tidak layak untuk tempat
bermukim. Oleh karena itu, selama abad berikutnya orang Eropa tidak menunjukkan
minat terhadap Australia.

Kaitan dengan Inggris

Pada tahun 1770 seorang penjelajah Inggris bernama Kapten James Cook
sampai di pantai timur Australia. Dia menganggap bahwa daerah tersebut cocok untuk
tempat tinggal. Pada tahun 1788 terbentuklah masyarakat narapidana Inggris di
Sydney.

Penduduk berbangsa Inggris tersebut berkembang, dan tak lama kemudian


juga berdatangan para pemukim yang bukan narapidana. Mereka datang untuk
membuat daerah pertanian. Kelompok-kelompok masyarakat lain juga dibentuk di
daerah-daerah yang berlainan di Australia. Banyak orang dari bangsa Irlandia dan
Inggris bermukim di Australia di awal Abad Ke-19 dan Ke-20. Orang-orang Inggris
tersebut merupakan kelompok yang beraneka ragam.47

46
Manning Clark, A Short History of Australia, h. 1.
47
Manning Clark, A Short History of Australia, h. 28.
42

Kelompok ini meliputi orang-orang Inggris, Skotlandia, dan Wales. Saat ini
orang Inggris dan Irlandia merupakan kelompok-kelompok terbesar di Australia.
Telah berkembang suatu kebudayaan yang jelas di Australia. Kebudayaan tersebut
kebanyakan didasarkan atas kebudayaan kelompok terbesar ini.

Banyak ciri kebudayaan Australia yang merupakan pengaruh Inggris. Bahasa


yang digunakan dalam pemerintahan dan pendidikan resmi adalah bahasa Inggris.
Pemilihan anggota parlemen didasarkan atas sistem Inggris. Sistem hukumnya
didasarkan atas sistem hukum Inggris. Banyak jenis olahraga populer di Australia
yang berasal dari Inggris, seperti permainan

cricket, sepakbola rugby, tenis, dan balapan kuda.

Kelompok migran Jerman

Sekelompok orang Jerman bermigrasi ke Australia di tahun 1890-an. Mereka


datang ke Australia agar bebas menjalankan agama Kristen aliran Luther. Mereka
datang ke Australia karena tidak bebas menjalankan aliran kepercayaannya tersebut di
negara mereka sendiri. Aliran Luther adalah sejenis agama Kristen Protestan. Mereka
bermukim di Lembah Barossa. Lembah tersebut terletak 70 km di arah timur laut kota
Adelaide.

Para migran Jerman menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk


membuat industri minuman anggur. Mereka melihat bahwa tanah di Lembah Barossa
serupa dengan tanah di Lembah Rhine di Jerman. Iklimnya cocok untuk produksi
minuman anggur. Musim panasnya beriklim hangat dan kering dan musim dinginnya
sejuk dan lembab.

Sekarang Lembah Barossa mempunyai penduduk kira-kira 18.000 orang. Ada


36 gereja di lembah tersebut, dan kebanyakan beraliran Luther. Lembah itu
mempunyai ciri-ciri kebudayaan Jerman (Lihat Gambar 9). Ada bangunan-bangunan
bergaya Jerman. Minuman anggur yang dihasilkan juga bergaya Jerman dan toko-toko
serta restorannya menjual makanan gaya Jerman.
43

South Australian Tourism Commission


Gambar 9: Orang Australia asal Jerman

Lembah Barossa telah menjadi daya tarik wisatawan. Para pengunjung dapat melihat
festival Jerman. Selama berlangsungnya festival, orang-orang mengenakan pakaian
tradisional dan menyajikan makanan tradisional. Para wisatawan dapat mendengarkan
lagu-lagu dan musik Jerman.

Orang Cina

Orang-orang Cina bermigrasi ke Australia dalam jumlah besar selama Abad


Ke-19. Mereka datang ke daerah-daerah pertambangan emas yang saat itu baru
ditemukan. Jumlah mereka mencapai kira-kira 100.000. Namun, oleh karena adanya
pembatasan imigrasi, jumlah mereka harus dikurangi. Ada kira-kira 29.900 orang
Cina pada tahun 1901 dan hanya kira-kira 6.400 pada tahun 1947.
44

Kedatangan para pencari emas bangsa Cina membuat khawatir banyak pekerja
Australia. Para pekerja ini, yang kebanyakan keturunan Inggris, menganggap bahwa
orang-orang Cina ini akan mengambil pekerjaan mereka karena mereka mau saja
dibayar rendah. Para pekerja Australia ini juga menolak upaya petani domba ternak
untuk mendatangkan pekerja pertanian dari India. Reaksi yang keras ini menyebabkan
pemerintah kolonial negara bagian untuk menggunakan kebijakan imigrasi yang
membatasi imigrasi Asia. Sesudah timbulnya federasi, Pemerintah Australia juga
memberlakukan suatu kebijakan yang membatasi imigrasi Asia. Kebijakan ini
kemudian dikenal sebagai Kebijakan Australia Putih. Kebijakan ini dihapuskan pada
tahun 1973.

Sejak tahun 1970-an jumlah penduduk Cina Australia telah meningkat.


Mereka berdatangan dari Cina, Hong Kong, Taiwan dan beberapa negara di Asia
Tenggara. Sekarang ada kira-kira 250.000 orang Cina di Australia. Kira-kira dua
setengah persen orang Australia menggunakan bahasa Cina di rumah. Ada daerah
Pecinan di kota Sydney dan Melbourne. Orang Cina mempunyai daerah pasar dan
pertokoan. Juga terdapat orang-orang Cina yang menjalankan usaha dan yang bekerja
sebagai tenaga profesional.48 (Lihat Gambar 10).

48
Lihat Ho Chooi Hon and James E. Coughlan, ‘The Chinese in Australia: Immigrants from the
People’s Republic of China, Malaysia, Singapore, Taiwan, Hongkong and Macau’, dalam James E.
Coughlan and Deborah J. McNamara (ed.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, h.
145.
45

Department of Immigration and Multicultural Affairs


Gambar 10: Mantan Walikota Darwin, Mr Alec Fong Lim.

Migrasi sejak Perang Dunia II

Australia dulu terlibat dalam Perang Dunia II. Selama terjadinya perang
tersebut, industri Australia telah berkembang. Telah pula didirikan industri-industri
baru.

Sesudah perang, industri Australia yang sedang berkembang tersebut


mengalami kekurangan tenaga terampil. Juga disadari waktu itu bahwa dengan adanya
lebih banyak penduduk, berarti pelaku ekonomi akan lebih banyak. Banyak orang
Eropa yang menderita akibat perang dan ingin bermigrasi ke Australia untuk memulai
hidup baru. Pemerintah Australia mendorong terjadinya migrasi pascaperang.

Mula-mula mayoritas migran adalah dari Inggris dan Irlandia. Tak lama
kemudian, banyak migran dari negara Eropa yang mengikuti arus orang-orang yang
46

datang untuk bermukim di Australia. Kebanyakan dari para migran Eropa ini datang
dari Italia dan Yunani.

The Greek Herald

Gambar 11: Musisi Australia asal Yunani

Orang Yunani

Beberapa orang Yunani telah bermigrasi ke Australia sebelum tahun 1945.


Orang-orang ini mendirikan usaha seperti restoran dan kafe, dan beberapa ada yang
menjadi petani atau membuka bioskop. Beberapa dari pemukim Yunani ini ada yang
tinggal bersama dalam suatu kelompok masyarakat, tetapi ada juga yang bermukim di
desa-desa, menyatu dengan orang Eropa lainnya. Para pemukim Yunani yang awal ini
kemudian menjadi kaya dan anak-anak mereka seringkali memasuki profesi seperti
kedokteran dan hukum.

Menjelang tahun 1945 ada kira-kira 15.000 orang Yunani yang menetap di
Australia. Sesudah Perang Dunia II lebih banyak lagi orang Yunani yang mulai
47

berdatangan. Antara tahun 1953 dan 1956 ada kira-kira 30.000 orang Yunani yang
berdatangan. Migrasi orang Yunani ini mencapai puncaknya antara tahun 1961 dan
1966 ketika lebih dari 16.000 orang Yunani masuk ke Australia setiap tahun.
Menjelang tahun 1971 ada kira-kira 160.000 orang Australia kelahiran Yunani.

Banyak migran Yunani yang berasal dari daerah pedesaan. Banyak dari
mereka yang merasa bahwa mereka tidak mempunyai ketrampilan untuk bekerja di
Australia. Maka mereka berinisiatif mendirikan usaha sendiri. Usaha ini meliputi
restoran, toko buah-buahan, toko kue dan penjualan ikan.

Orang Yunani mempertahankan kebudayaannya secara kuat di Australia.


Banyak orang Yunani yang memilih untuk hidup saling berdekatan di kota-kota di
Australia. Perkampungan seperti daerah Marrickville, Stanmore, dan Kensington di
Sydney serta daerah Brunswick, Prahran dan Fitzroy di Melbourne mempunyai
penduduk Yunani dalam jumlah besar. Ada gereja-gereja Yunani Ortodoks, ada kafe
dan klub sepakbola Yunani. Anak-anak para migran Yunani didorong untuk
mempelajari bahasa Yunani.

Orang Italia

Ada orang Italia yang sangat lama sekali menetap di Australia, karena tertarik
kepada penemuan emas pada Abad Ke-19. Keturunan orang-orang Italia ini, seperti
halnya keturunan orang Yunani, menjadi kaya dan banyak terwakili dalam segala
bidang kehidupan dan profesi.

Kebanyakan orang Italia datang ke Australia dalam jumlah besar sesudah


Perang Dunia II. Orang-orang Italia sangat menderita dampak peperangan tersebut.
Tingkat pengangguran sangat tinggi di Italia (18%). Beberapa daerah di Italia sangat
miskin, terutama di selatan. Banyak migran yang berasal dari daerah-daerah yang
miskin ini. Menjelang tahun 1954 penduduk Australia kelahiran Italia mencapai
jumlah 120.000. Menjelang tahun 1971 jumlah tersebut mencapai 290.000 orang.
Orang Italia merupakan kelompok migran terbesar di Australia.

Para migran Italia banyak yang masih mempertahankan rasa cinta kedaerahan.
Orang Italia yang berasal dari daerah-daerah seperti Kalabria, Sisilia dan Veneto
48

tinggal saling berdekatan di Australia. Tiap-tiap daerah ini mempunyai bahasa yang
berlainan. Seringkali mereka menikah dengan orang dari daerah yang sama.
Adakalanya seluruh desa bermigrasi ke Australia. Jadi, banyak ikatan sosial asli dari
Italia yang kemudian dipindahkan ke Australia. Daerah seperti Leichhardt di Sydney
dan Carlton di Melbourne merupakan daerah tempat tinggal para keluarga Italia dan
banyak usaha yang didirikan oleh orang Italia. Ada kafe Italia, toko pakaian, restoran
dan toko makanan Italia (Lihat Gambar 12).

'bel mondo'
Gambar 12: Keluarga Manfredi membuka restoran Italia bel mondo di Sydney

Orang Libanon

Antara tahun 1947 dan 1970 ada kira-kira 5.500 orang Libanon yang menetap
di Australia. Kebanyakan mereka beragama Kristen. Banyak dari mereka yang
bekerja di pabrik seperti pabrik mobil Ford yang baru. Beberapa dari mereka ada yang
berpenghasilan cukup dan mendirikan usaha sendiri seperti toko dan taksi.

Pada tahun 1975 pecahlah perang saudara di Libanon. Terjadi banyak


kerusakan. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah migran dari Libanon ke Australia.
Pada tahun 1976-77, tibalah di Australia 10.715 orang Libanon. Di antara migran
Libanon yang baru ini terdapat orang yang beragama Islam. Menjelang tahun 1981
terdapat lebih dari 50.000 orang kelahiran Libanon yang menetap di Australia. Juga
ada orang Australia yang kelahiran negara lain di Timur Tengah, seperti dari Mesir,
Irak, dan Siria.
49

Orang Indonesia
Para nelayan Makassar yang berasal dari Indonesia telah datang ke Australia
sejak abad ke-18 mendahului kedatangan orang-orang Eropa dan berlangsung sampai
awal abad ke-20. Orang-orang Indonesia yang melanjutkan tradisi pelaut Makassar ke
Australia berasal dari Kupang dan Jawa. Mereka telah bekerja di kawasan industri
mutiara dan perkebunan gula di akhir abad ke- 19, karena upah mereka lebih baik
daripada upah di kampung halaman. Industri mutiara di Australia Barat menyewa para
penyelam dari Indonesia, khususnya yang direkrut di Kupang, dari tahun 1870-an
hingga 1940-an, atas dasar persetujuan dengan penguasa Belanda. Mereka
dipekerjakan di perahu-perahu yang beroperasi di Rebourne, dekat Port Headland,
Cossack, dan kemudian di Broome yang menjadi pusat industri mutiara. Sebagian
lagi, meski lebih sedikit jumlahnya, dipekerjakan di Port Darwin, Northern Territory
dan di Thursday Island, North Queensland.49
Kehidupan ekonomi mereka di Broome sangat sulit. Mereka tinggal di gubuk-
gubuk dekat perkampungan Aborigin sepanjang pantai. Mereka menghadapi sejumlah
kecil majikan kulit putih yang hidupnya lebih baik, dan para pekerja Jepang, Cina,
Filipina, dan Aborigin. Perkelahin antara mereka adalah hal yang lumrah. Di
Thursday Island kondisi mereka lebih parah lagi. Mereka harus menanggung resiko
hidup di tempat-tempat sesak dan tidak sehat. Mereka juga harus mengatasi serangan
hiu, goresan karang, penyakit, tenggelam, dan topan yang membawa maut.
Dengan adanya batasan-batasan keimigrasian tahun 1901, hampir semua
kembali ke Indonesia dan hanya sejumlah kecil saja menetap di Australia. Baru di
tahun 1950-an dan 1960-an ada mahasiswa Indonesia datang ke Australia sebagai
bagian program beasiswa pemerintah Australia untuk mengenyam pendidikan di
universitas-universitas Australia. Selama periode ini, beberapa orang Indonesia datang
ke Australia untuk mengajar bahasa Indonesia. Mereka yang memilih untuk menetap
di Australia pada masa itu membentuk titik inti komunitas Muslim Indonesia.
Berdasarkan kemudahan batasan migrasi non-putih tahun 1966, migrasi orang
Indonesia ke Australia jadi bertambah besar. Sebagai tambahan pada mereka yang

49
Abdullah Saeed, Islam in Australia, Allen & Unwin, Sydney, 2003, h. 11.
50

telah bermigrasi permanen ke Australia pada tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah
besar orang Indonesia yang kaya mengirim anak-anak mereka belajar di Australia.
Kini, kebanyakan orang indonesia tinggal di Sydney, diikuti kota-kota lain:
Melbourne, Perth dan Brisbane. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan
mayoritas Muslim terbesar di dunia, hanya 8.087 (17%) orang Australia asal
indonesia (total 47.156) yang mengaku sebagai Muslim. Pada umumnya orang
Indonesia merasa mudah bernitegrasi dengan masyarakat Australia. Mereka
cenderung datang ke mesjid-mesjid yang dibangun kelompok etnik lainnya. Mereka
aktif dalam berbagai kegiatan sosial etnik dan keagamaan. Dalam kegiatan etnik,
mereka mendirikan organisasi etnik
seperti IKAWIRA, PERWIRA, Paguyuban Jawa, dan Minang Saiyo. Begitu pula
dalam kegiatan keagamaan, mereka bekerjasama dengan kelompok mahasiswa
Muslim Australia asal Indonesia yang tergabung dalam Monash Indonesian Islamic
Society (MIIS) dan Himpunan Pengajian Islam al-Taqwa (HPIA). Orang-orang Islam
asal Indonesia juga mendirikan mesjid atas swadaya sendiri di Sydney bernama al-
Hijrah Mosque, lebih dikenal dengan Mesjid Tempe, karena terletak di daerah West
Tempe. Demikian pula di Victoria, masyarakat Islam Indonesia bekerjasama dengan
MIIS mendirikan mesjid (mushalla) bernama al-Taqwa, yang terletak di Clayton,
dekat kampus Monash.50

50
Deddy Mulyana, Islam dan Orang Indonesia di Australia, Logos, Jakarta, 2000, h. 63, 150-151.
51

Asian Field Study Centres


Gambar 13: Masyarakat Indonesia di Australia telah memperkenalkan makanan baru
seperti sate

Orang Vietnam

Selama jangka waktu akhir 1970-an dan 1980-an banyak migran yang
berdatangan dari daratan Indo-Cina. Kebanyakan mereka datang dari Vietnam. Di
Vietnam waktu itu terjadi peperangan selama tigapuluh tahun. Juga terjadi kerusuhan
besar di Kamboja dan Laos. Terjadi peperangan di Kamboja di tahun 1979. 51 Banyak
orang dari negara-negara ini yang memutuskan untuk pergi dari negaranya. Banyak
dari mereka yang pergi dengan menggunakan perahu kecil. Mereka harus mengarungi
lautan yang berbahaya. Mulai tahun 1975 sampai pertengahan 1978 ada kira-kira
30.000 'manusia perahu' yang meninggalkan Vietnam. Jumlah ini meningkat di tahun
berikutnya dan mencapai ratusan ribu jumlahnya (Lihat Gambar 14).

51
Gary D. Bouma, ‘Budhist Temples and the Settlement of Vietnamese migrants: A Case Studi’,
dalam Gary D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and
Cultural Diversity, The Christian Research Association, Melbourne,1996, h. 53-55.
52

Asian Field Study Centres


Gambar 14: Orang Australia asal Vietnam

Australia menerima ribuan pengungsi Indo-Cina. Kemudian mereka datang


sebagai migran. Mulai tahun 1975 sampai 1985 ada 79.000 orang Vietnam yang
masuk ke Australia.Sekarang ada 200.000 orang Australia yang lahir di Vietnam.
Seringkali, para pengungsi tidak mempunyai keluarga atau teman yang dapat
membantunya. Yang membantu mereka adalah kelompok kerja sosial yang ada di
Australia. Sekarang ada kelompok-kelompok bantuan Vietnam. Ada daerah-daerah
yang menjadi tempat pemukiman Vietnam, misalnya Cabramatta di Sydney (Lihat
Gambar 14) dan Richmond di Melbourne. Sekarang banyak orang Vietnam yang
mempunyai usaha sendiri. Banyak anak Vietnam yang belajar di universitas.

Orang India

Orang India pertama kali datang ke Australia di Abad ke-19. Di tahun 1890-
an, di antara para pemukim awal tersebut terdapat bangsa Sikh dari Punjab yang
tinggal di New South Wales bagian utara. Mereka membuat perkebunan pisang di
sini.

Orang-orang India mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar di tahun
1970-an. Di tahun 1991 terdapat lebih dari 61.000 orang Australia kelahiran India.
Kebanyakan mereka adalah orang berpendidikan, 97% menggunakan bahasa Inggris,
dan mereka sudah terbiasa dengan kebudayaan Inggris. Banyak dari mereka yang
53

menjadi tenaga ahli, termasuk menjadi dokter, insinyur, ahli komputer dan ilmuwan.
Meskipun mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya (Lihat gambar 16).
Mereka tinggal di daerah-daerah yang berlainan dan kebanyakan hidup di antara
orang-orang yang berbahasa Inggris. Orang-orang India juga berasal dari Fiji, Afrika
Timur, Malaysia dan Mauritius.

Di Australia juga ada orang-orang Asia Selatan yang berasal dari negara
seperti Sri Lanka, Bangladesh dan Pakistan.

PadmaRaman
Gambar 16: Orang Australia keturunan India menambah banyak aspek dalam
kehidupan sehari-hari. Di sini nampak seorang penari Padma Raman sedang menari
menurut gaya Kuchipudi, yakni salah satu gaya tarian utama di India. Tarian itu
berasal dari drama Sanskrit kuno dan dulunya biasa ditarikan hanya oleh pria.

C. Multikulturalisme sebagai Ideologi Negara


Bentuk multikulturalisme yang berkembang di Australia selama lebih tiga
puluh tahun terakhir ini merupakan sebuah filosofi sosial politik yang penting, bila
ditinjau dari standar internasional. Sebagai sebuah filosofi dan kebijakan,
multikulturalisme Australia telah mencoba menekankan keseimbangan antara hak-hak
semua orang atas identifikasi budaya, agama dan etnis di satu pihak, dan memberi
dorongan pada rasa solidaritas sosial di pihak lain. Keberhasilan terbesar
54

multikulturalisme ada pada kemampuannya menegakkan dasar kesatuan dalam suatu


masyarakat dengan diversitas budaya yang besar.

1. Pertumbuhan dan Gagasan Multikulturalisme


Salah satu aspek terpenting yang mempengaruhi sikap Pemerintah dalam
mengambil kebijakan multikulturalisme adalah kenyataan komposisi penduduk.
Komposisi ini terdiri dari kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang etnik,
budaya, dan agama yang beragam. Menyikapi kondisi multikultural masyarakatnya,
Pemerintah Australia di tahun 1975 mengangkat ideologi ini sebagai kebijakan resmi
terhadap kaum migran dan seluruh masyarakat Australia. Implikasinya terasa pada
tiap kelompok dalam masyarakat yang mempunyai hak dan kebebasan untuk
meneruskan dan memelihara indentitas budaya mereka. Ini menjadi sebuah ideologi
yang sangat signifikan dalam menghadapi kaum Muslim --dan kelompok menoritas
lainnya-- di Australia yang sebelumnya mempunyai identitas sendiri sesuai dengan
negara asal.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan


Ideologi multikulturalisme dewasa ini telah bergerak dan mendorong upaya
perlindungan identitas budaya kelompok-kelompok etnik. Sejumlah faktor dapat
dilihat berhubungan dengah perubahan ini. Faktor-faktor itu adalah:
1. semakin bertambah besarnya keanekaan akibat perubahan komposisi penduduk
migran,
2. migrasi berlangsung cepat menimbulkan gelombang arus imigran dan
3. perubahan pandangan masyarakat penerima (host society) mengenai
kesetaraan/keadilan bagi kelompok minoritas. Betapapun, kekurang berhasilan
kedua kebijakan Pemerintah sebelumnya tidak boleh dilupakan sebagai faktor
pemberi kontribusi pada perubahan ini.52

52
Foster, Lois and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and
Critique, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1988, h. 8. Lihat juga Payne J. Richard and
Jamal R. Nassau, Politics and Culture in Developing World: The Impact of Globalization, Longman,
New York, 2003, h. 338-340.
55

Asal-usul Multikulturalisme
Sejarah rakyat Australia telah mengalami suatu transformasi substansial
sejalan dengan perkembangan multikulturalisme. Ideologi tersebut dilihat dari segi
kelahiran dan perkembangannya dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama
dimulai dengan definisi ‘asli’ yang dimulai dari tahun 1972 sampai 1985. Selama
periode ini Australia beralih dari karakter
sebuah negara yang memaksakan identitas monokultural menjadi negara yang justru
mendorong terciptanya keragaman budaya. Tahap kunci perkembangan ini dimulai
dengan diperkenalkannya definisi asli multikulturalisme selama pemerintahan partai
buruh Whitlam dan mengalami perubahan di masa pemerintahan partai liberal Fraser
dan kemudian diadopsi oleh pemerintahan partai buruh Hawke. Selama tahap-tahap
ini muncul beberapa peristiwa yang signifikan yang membentuk filosofi dan
kebijakan multikulturalisme Australia. Namun demikian, terjadi pula penolakan-
penolakan dari kelompok konservatif terhadap konsep multikulturalisme itu. Pada
dasarnya datang dari kelompok yang takut bahwa identitas dan tradisi Australia akan
goyah bahkan mungkin akan hancur akibat kebijakan multikulturalisme. Konflik
dialektis antara kelompok pendukung dan yang oposisi terhadap multiklturalisme
pada fase awal melahirkan pola-pola konflik besar yang terjadi di tahun 1980-an.
Perkembangan ‘defenisi asli’ multikulturalisme dapat dibedakan dalam
beberapa periode,53 yaitu:
a. 1945-1971: Imigrasi massal pasca Perang Dunia II dan munculnya kritik dan
tekanan terhadap cita ‘monokultural’.
b. 1972-1975 : Perkembangan filosofi dan kebijakan ‘multikulturalisme’ selama
tahun-tahun pemerintahan Whitlam.
c. 1976-1983 : Tahun-tahun pemerintahan Fraser dan penyegaran konsp
multikulturalisme, termasuk memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru.
d. 1983-1985 : Terpilihnya Hawke sebagai Perdana Menteri dari Partai Buruh
semakin memperkuat multikulturalisme dan meletakkan dasar baru dengan
memperkenalkan atau menambah dimensi keadilan sosial dalam konsep tersebut.

53
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, Elikia Books
Publication, Victoria, 1995, h. 2-3.
56

Masing-masing tahap di atas mewakili perkembangan yang berarti di dalam


pembahasan dan perkembangan multikultural yang lebih sempurna sehingga menjadi
sebuah ideologi dan sebuah kebijakan politik bangsa Australia dalam memperkuat
kohesi dan harmoni sosial.

Asal-usul Definisi Asli (1945-1971)


Fase pertama tahun 1945-1971 dimulai dengan karakteristik meningkatnya
jumlah imigrasi dan kuatnya tekanan terhadap resistensi ide ‘monokultural’. Besarnya
keinginan untuk memelihara suatu identitas Australia telah mengakibatkan lahirnya
Australia sebagai negara Kulit Putih dan masyarakat yang rasis. Pandangan ini
kemudian diimplementasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan praktis sejak awal
terbentuknya negara federasi Australia dengan ditetapkannya Peraturan Pembatasan
Imigrasi (Immigration Restriction Act) pada tahun 1901 oleh Parlemen yang baru saja
terbentuk ketika itu. Peraturan ini secara luas lebih dikenal dengan Kebijakan Kulit
Putih Australia (the White Australia Policy). Undang-undang yang rasis ini mengatur
kriteria imigrasi yang dapat masuk ke negara Australia, seperti tes kemampuan
berbahasa Inggris, terbatas pada orang-orang kulit putih asal Inggris dan beberapa
negara Eropa Utara, dan orang-orang yang secara kultural dianggap dapat
berassimilasi dengan pandangan hidup kulit putih Australia. Secara khusus, peraturan
ini secara keras menolak kehadiran imigran Asia dan Pulau Pasifik yang berakibat
banyaknya dukungan media cetak dalam mengkampanyekan pembatasan tersebut
dengan cara-cara yang menakutkan.54
The White Australia Policy mendapat sorotan yang tajam sejak
diperkenalkannya program penerimaan imigrasi massal setelah Perang Dunia II.
Program ini dibuka oleh pemerintahan Partai Buruh Chifley dan kemudian dilanjutkan
oleh pemerintahan Liberal Menzies dengan karakteristik pengaruh berjangka panjang
terhadap kehidupan sosial, budaya, dan politik Australia.55 Kebijakan terhadap

54
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.3-4.
55
Lihat juga Lois Foster and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History
and Critique, h. 27-28.
57

imigrasi itu terus berlangsung pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya yang


dibangun atas dasar prinsip assimilasi. Pada saat itu, baik partai politik Buruh maupun
Liberal percaya bahwa perekat sosial (social cohesion) dapat dipelihara bila Australia
tetap berkiblat pada program diskriminasi imigrasi. Karena itu, pada dasarnya
substansi dukungan politik terhadap kebijakan imigrasi ini tidak terlepas dari
kepentingan ekonomi Australia dan hal ini pada gilirannya telah memunculkan
perdebatan hebat terhadap program kebudayaan dan komposisi ras.
Ide pembatasan imigrasi hanya untuk ‘stock anglo-celtic’ telah mendapat
tantangan keras dari program yang meluas ini. Perubahan besar yang pertama berupa
keputusan untuk memperluas komposisi program dengan memasukkan kaum migran
dari Eropa Timur. Perubahan dalam penekanan tampak pada jumlah penetap bangsa
Inggris yang mengecil, yang tidak lagi tiba dalam jumlah yang sama seperti dulunya,
namun mereka tetap menjadi pilihan yang lebih disukai dalam program imigrasi
Australia. Meskipun program itu diperluas pada orang Eropa umumnya, tetapi
pembedaan perlakuan tetap dilakukan di antara mereka dan orang-orang dari ras lain,
khususnya orang Asia, Afrika dan Timur Tengah yang terus dikeluarkan dalam
kerangka Kebijakan Kulit Putih Australia.
Sebagai konsekuensi, Menteri Imigrasi, Arthus Calwell, merasa terdorong
untuk membuka program imigrasi orang Eropa secara massal menjadi lebih sesuai
bagi masyarakat dengan memaksakan kriteria pemilihan yang dirancang untuk
memastikan agar mereka yang berimigrasi tidak dilihat sebagai suatu ancaman
langsung pada pemikiran tentang identitas Australia yang sedang berlaku. Saat itu, isu
tentang permukiman migrasi dikuasai sepenuhnya oleh kebijakan assimilasi. Kaum
migran dengan keras diharapkan untuk mengenyampingkan warisan budaya mereka
sendiri dan mengadopsi bahasa, nilai-nilai serta norma-norma budaya Australia.
Ciri-ciri Assimilasi, seperti disebutkan oleh Mark Lopez dalam bukunya
Origin of Multiculturalism in Australian Politics 1945-1975,56 antara lain:
 Sebuah asumsi mendasar yang menyatakan bahwa program imigrasi massal,
pemasukan, dan pertumbuhan populasi menguntungkan bagi kepentingan nasional

56
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 46-49.
58

Australia, terutama dalam hal tersedianya tenaga kerja untuk perkembangan


ekonomi dan pertahanan.
 Kebijakan assimilasi ditanggapi sebagai sebuah cara menuju pada pembinaan
sebuah negara kesatuan. Kesatuan nasional merupakan nilai yang utama dan
mengesampingkan keprihatinan. Membantu assimilasi migran digambarkan
sebagai sebuah kewajiban ‘patriotik’ dan ‘di atas politik partai’. Tujuan Ini
mensyaratkan sebuah model konsensus bukannya konflik dalam masyarakat.
 Seluruh kaum migran, dari negara asal manapun, begitu diterima lewat kriteria
seleksi, secara resmi ditetapkan dan diperlakukan sebagai individu yang dapai
diassmilasikan. Dalam wacana resmi maupun tidak resmi, kaum migran dianggap
menjadi ‘orang Australia baru’, sebuah isitilah yang dimaksudkan untuk
menunjukkan afeksi dan sikap menerima. Ia juga mengenakan sebuah periode
‘pelatihan’ sebelum penerimaan penuh diperoleh. Hal ini terjadi biasanya ketika
terjadi proses naturalisasi, dan kata depan ‘baru’ kemudian dihapus.
 Assimilasianisme membawa berbagai metafora dan gambaran dari pandangan
Amerika tentang ‘melting pot’’ di mana unsur-unsur yang terpisah melebur untuk
membenruk sebuah masyarakat baru. Aspek ‘ras Inggris’ kerap diacu sebagaii
sebuah contoh melting pot yang sukses. Acuan diarahkan pada Inggris sebagai
etnik amalgamasi Eropa Utara: Celtik, Romawi, Angles, Saxon, Jutes, Normandia
dan lainnya’.
 Tanggung jawab diserahkan pada kaum migran untuk berakulturasi, dan populasi
tuan rumah wajib bersikap toleran, menerima dan bahkan membantu para
pendatang baru.
 Kecurigaan di pihak penduduk tuan rumah dicela sebagai kebodohan dan
irrasional.57
 Assimilasi dianggap sebagai pandangan yang mencerahkan, toleran atau
manusiawi karena penerimaannya pada pendatang baru sebagai unsur potensial

57
Lihat juga Peter R. Shergold, ‘Discrimination against Australian Migrants: An Historical
Methodology’, dalam Ian Burnley, (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies,
h. 62-63.
59

yang sama. Pihak oposisi dinyatakan sebagai mereka yang menolak ‘orang asing’
dan kebijakan yang membawa mereka datang.
 Ada posisi kaum assimilasionis yang bersifat ‘garis keras’ dan yang ‘garis lunak’.
Variasi ini pada dasarnya ada diantara mereka yang mengharapkan kaum migran
berakulturasi dan menjadi tak dapat dibedakan dari penduduk tuan rumah sesegera
mungkin, dan mereka yang dibiarkan sampai satu generasi untuk akhirnya
mencapai hal itu, dan menerima sisa perbedaan minor dalam budaya.
 Tujuan yang diinginkan kaum migran adalah permukiman permanen dan
perolehan kewarganegaraan Australia, yang ditentukan undang-undang
 the Nationality and Citizenship Act tahun 1948. Kesempatan untuk menjadi orang
Australia dianggap sebagai sebuah kehormatan yang harus ditanggapi dengan
penuh rasa syukur dan rasa bangga.
 Kaum migran diharapkan bisa menerima idealisme dan nilai-nilai demokrasi
parlementer Inggris, kepercayaan Kristiani, dan berakulturasi dengan ‘gaya hidup
orang Australia’; di sini termasuk penerimaan pada nilai-nilai ‘khas’ Australia,
seperti pertemanan (mateship), sikap adil (fair play), kebebasan, percaya diri dan
pemberian kesempatan yang adil bagi semua. Ini dianggap sebagai cara yang
terbaik untuk menjamin kaum migran agar ‘merdeka, hidup bahagia di masa
depan’.
 Perlindungan pada ‘homogenitas negara Australia’ dianggap penting secara
mendasar. Ini mencakup: monokulturalisme, bahasa mono-Inggris, dan
perlindungan pada lembaga-lembaga dan praktek-praktek warisan Inggris’. Hal ini
tercermin dalam kriteria seleksi migran di Departemen yang lebih mendahulukan
keturunan Inggris daripada orang yang bukan berlatar belakang berbahasa Inggris
dan memelihara Kebijakan Australia Putih.
 Kebudayaan dan bahasa kaum migran secara publik dipuji sebagai unsur yang
memperkaya Australia. Namun bila dibandingkan dengan kebudayaan Australia-
Inggris, lembaga-lembaga, nilai-nilai demokratis, dan bahasa Inggris, apa yang
berasal dari kaum migran itu dianggap mempunyai nilai yang lebih di bawah dan
berpotensi menjadi penghambat
60

pada kemajuan kaum migran sebagai individu, atau mengetengahkan suatu


ancaman jangka panjang pada pertahanan karakter nasional Australia.
 Kebudayaan Australia-Inggris dianggap lebih menarik dan meyakinkan daripada
kebudayaan yang lain. Di tengah perbauran budaya yang menyertai masuknya
kaum migran, ada anggapan bahwa kebudayaan asing lebih besar
kemungkinannya untuk berubah, dan pada tahap yang lebih besar, daripada
kebudayaan Australia yang berubah karena pengaruh asing.
 Eksistensi kelompok-kelompok etnik dan munculnya serta tumbuhnya klub-klub
serta organisasi-organisasi etnik sampai tingkat yang beraneka, dianggap sebagai
suatu kecenderungan yang tidak diharapkan. Hal itu dianggap berlawanan dengan
tujuan assimilasi dan harapan nasional, sehingga menjadi bahaya yang harus
dihindari.
 Menurunnya penggunaan bahasa asing dianggap sebagai alat pengukur
keberhasilan assimilasi, khususnya pada anak-anak migran.
 Ada harapan agar perubahan yang nyata dalam lembaga-lembaga sosial yang
sudah ada bisa dihindarkan. Di luar dari pembentukan Departemen Imigrasi, dan
badan-badan pendukungnya, lembaga-lembaga yang sudah ada dianggap memadai
untuk menangani persoalan masuknya migran.
 Hanya ada konsepsi yang terbatas mengenai kebutuhan kesejahteraan kaum
migran. Dinas Lapangan Kerja Persemakmuran (the Commonwealth Employment
Service/CES) dan kelas-kelas Pelajaran Bahasa Inggris diperkirakan sebagai
sebagai kebutuhan utama kaum migran.
 Pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan sistem hukum didorong agar hanya
memberikan bantuan khusus minimal pada kaum migran (umpamanya pengadaan
penerjemah dan interpreter) untuk mendorong kaum migran agar beradaptasi.
Lebih lagi, keberadaan konsep ‘kesamaan’ (equality) yang ada menekankan
bahwa kaum migran dan orang Australia harus diperlakukan dengan cara yang
sama. Ada kepercayaan bahwa perhatian secara khusus pada kebutuhan kaum
migran adalah sikap yang tidak egaliter dan berarti memperlakukan kaum migran
secara berlebihan dibanding pada mereka yang terlahir sebagai orang Australia.
61

 Lembaga-lembaga didorong untuk memperlakukan kaum migran dengan baik;


sementara kaum migran diharapkan menerima kesulitan ekonomi awal, bekerja di
pabrik atau pekerjaan konstruksi, atau menjadi tenaga kerja kontrak di
pemerintahan tanpa memperhitungkan kualifikasi dan pengalaman yang mereka
miliki sebelumnya. Kaum migran dipuji bila memiliki keahlian dan bakat
istimewa namun, pada umumnya, kualifikasi luar negeri yang non-Inggris tidak
diakui atau diterima dengan curiga.
 Kampanye publikasi pemerintah dan pendidikan masyarakat yang diarahkan pada
penduduk tuan rumah untuk melawan sikap curiga dan mendorong sikap
menerima program imigrasi dan pendatang-pendatang baru, dianggap penting
untuk keberhasilan program tersebut.58
Rasisme yang berlanjut pada periode pertama program imigrasi paska perang
(diperlihatkan dalam seleksi calon-calon imigran) menjadi berlipat dua dengan sikap
negatif orang Australia terhadap kaum migran di saat kedatangan mereka. Keterikatan
dengan suatu kebijakan assimilasi turut memperkuat unsur-unsur rasis dalam
kebijakan dan sikap yang menyertainya,
The White Australia Policy mempunyai dampak sangat penting pada
pertambahan penduduk Australia sebelum Perang Dunia II; namun jarang sekali
mendapat tantangan. Barulah setelah program imigrasi besar-besaran paska perang
basis rasisnya yang melekat mulai tampak, terutama dalam lingkup internasional.
Selama tahun 1960an, Kebijakan Australia Putih menjadi bulan-bulanan kutukan
internasional karena warna rasis kolonialisme yang dinampakkannya dan dukungan
xenofobic (kebencian pada orang asing) yang melekat pada politik ‘exclusive’-nya,
yang didasarkan pada penampilan fisik. Secara bertahap sistem resmi diskriminasi
kehilangan kekerasannya (tes mengeja dihilangkan di tahun 1960’an), namun baru
pada tahun 1973, Permerintahan Whitlam mengambil langkah terakhir yang
diperlukan untuk menghapuskan Kebijakan Australia Putih.
Di dalam Australia sendiri, penekanan awal ada pada pembauran kaum migran
baru pada ide monokultural dalam identitas Australia. Seperti dijelaskan di atas,

58
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 50.
62

manfaat imigrasi dianggap hampir seluruhnya dalam pengertian pertumbuhan


ekonomi, dan hanya kecil perhatian yang diberikan pada aspek potensi imigrasi untuk
memperkaya kehidupan sosial dan budaya Australia. Berlawanan dengan itu,
perdebatan publik selama tahap ini mengemukakan model masyarakat monokultural,
dan terus menerus menekankan pada kebutuhan kaum migran untuk melupakan tradisi
budaya masa lalu mereka dan mengambil-alih apa yang diangggap sebagai budaya
dan identitas Australia yang satu. Tujuannya untuk memastikan bahwa konsekuensi-
konsekuensi sosio-kultural imigrasi telah melebur dalam model tersebut. Jadi, sejak
akhir 1940-an sampai awal 1970-an, citra ideal Anglo-Saxon dan Celtic dalam
kebudayaan Australia dinggap menjadi bentuk panutan bagi semua orang. Tahap ini
dicirikan oleh ketegangan mendasar antara tekanan kepentingan ekonomi dan
ancaman yang dirasakan terhadap idealisme monokultural yang dihadapi imigrasi.
Tujuan assimilasi adalah pada periode paska perang menolak dan dalam
berbagai kasus merusak semua bentuk budaya yang bukan bentuk ideal Anglo-Celtic.
Selama masa ini ada upaya sistematis yang menolak bahwa sebelum Australia di
kolonisasi pun telah ada sejumlah besar budaya Aborigin yang hidup bersama, dan itu
terjadi sejak masyarakat dari budaya-budaya yang berbeda berimigrasi. Di luar
keberadaan masyarakat ini, banyak sejarah awal Australia hanya berisi upaya
mencegah munculnya suatu masyarakat aneka budaya.
Menjelang akhir tahun 1960-an, posisi assimilasi dan monokultural mendapat
tekanan dan kelompok-kelompok etnis mulai menunjukkan perlawanan mereka
terhadap kebijakan-kebijakan ini. Menjelang saat itu, ada tekanan dari kelompok etnis
untuk mengadopsi model permukiman yang lebih fleksibel. Hal ini memberi jalan
tumbuhnya model pemukiman yang terintegrasi di mana diakui bahwa semua bentuk
budaya bisa membaur bersama dalam satu keseluruhan, di mana ciri terbaik dari
masing-masing pihak bisa dipakai untuk membentuk basis sebuah identitas tunggal
Australia; ‘.....kita bergerak ke arah sebuah poisisi yang lebih ‘toleran’ yang
mengharapkan integrasi kaum imigran. Ini berarti adanya ‘memberi dan menerima’
baik dari pihak Australia maupun pihak kelompok imigran’. 59

59
Andrew C. Theopanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 7.
63

Juga pada saat inilah pertimbangan-pertimbangan kerugian yang sebenarnya


dihadapi kelompok-kelompok etnis mendapat perhatian dan isu-isu publik, seperti isu
keadilan sosial mulai muncul dalam istilah-istilah yang lebih vokal. Alasan utama
perhatian itu disebabkan oleh pertambahan signifikan dalam jumlah kelompok etnis
yang semakin menampakkan diri mereka. Pada akhir tahun 1960-an banyak kaum
imigran menjadi warga negara (citizens), dan dalam pemilihan umum tahun 1969 dan
1972, jumlah suara imigran tampil signifikan, dan partai-partai politik
menghormatinya. Menjelang pemilihan umum tahun-tahun tersebut, sejumlah
penetap baru menuntut sebuah suara yang kuat dalam masalah-masalah publik.
Namun hanya lewat pemilihan umum Perdana Menteri di tahun 1972, kelompok-
kelompok ini secara resmi memperoleh suara.

Introduksi Istilah ‘Multikulturalisme’: Menuju Multikulturalisme


Pemerintahan Whitlam adalah yang pertama memformulasikan sebuah respons
kebijakan yang positif pada implikasi tingkat tinggi di bidang budaya, politik dan
sosial dalam hal imigrasi pada masyarakat Australia. Dari pertimbangan ini, wacana
yang disebarkan adalah munculnya istilah ‘multikulturalisme’. Dalam konteks inilah
kata ‘multikulturalisme’ diperkenalkan di Australia dalam sebuah pidato utama
berjudul A Multi-Cultural Society for the Future, oleh Menteri Imigrasi dalam
Pemerintahan Whitlam, Al Grassby.60
Dalam pidato itu, secara resmi ia menyatakan bahwa Australia bukanlah
sebuah masyarakat yang homogen secara kultural, dan karena itu suatu kohesi
(kerekatan) sosial sebaiknya dicapai melalui kebijakan-kebijakan yang memberi
penghargaan pada hak untuk berbeda. Hal-hal ini kemudian diperkuat dalam empat
dokumentasi kebijakan Al Grassby, yaitu ‘A Multicultural Society for the Future’,
‘Credo for a Nation’, ‘Education for a Multicultural Australia’, and Commissioner
for Community Relations.61

60
Al Grassby adalah arsitek kebijakan Multikulturalisme Australia di era pemerintahan PM
Whitlam yang menjabat sebagai Menteri Imigrasi, sekaligus me ‘launching’ istilah tersebut ke tengah
publik Australia. Lihat Stephen Castles et al, Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of
Nationalism in Australia, Pluto Press, Sydney, 1988, h. 57.
61
Lois Foster and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and
Critique, h. 61.
64

Al Grassby, di tahun 1973, memberi batasan sasaran multikulturalisme dalam


pengertian sebagai berikut; sebagaimana dikutip oleh Andrew C. Theophanous:62
Tugas utama kita pada tahap sejarah ini berupa
keharusan mendorong bentuk-bentuk praktis interaksi sosial dalam
masyarakat kita. Ini berarti penciptaan sebuah masyarakat yang
benar-benar adil di mana semua komponen bisa menikmati
kemerdekaan dalam memberi kontribusinya sendiri secara khas
pada masyarakat kekeluargaan negara [the family of the nation]
Australia tahun 2000, kita perlu memberi penghargaan, menganut
dan memelihara semua unsur-unsur pembeda yang memperoleh
tempat dalam negara modern. Ini menyangkut isu paling mendasar
dari hak-hak kemanusiaan seperti yang di abadikan dalam piagam
PBB tentang perjanjian iinternasional terhadap hak-hak sipil dan
politik [the United Nations International Covenant on Civil and
Political Rights]...
Istilah ‘multikulturalisme’ sebenarnya dipinjam dari Canada, meskipun ada
perbedaan-perbedaaan yang jelas dalam penekanan dan implementasi.

Model multikulturalisme Canada, seperti di Australia, juga merupakan sebuah


reaksi atas pembatasan dan kebijakann imigrasi yang diskriminatif (yang berakhir
sampai tahun 1950an). Pemerintah Canada pertama kali mengumumkan politik
multikulturalismenya di bulan Oktober 1971, ketika dalam sebuah pidato di
Parlemen.

Di Australia, multikulturalisme mempunyai dampak yang lebih mendasar.


Selama memangku jabatannya sebagai Menteri Imigrasi, Al Grassby berhasil
mendorong perubahan sikap orang Australia terhadap kaum migran dan sebagian
bahkan menganggap, ia berperan merubah retorika migrasi. Sir Gamage menunjuk
kontribusi Grassby sebagai ‘vital dan signifikan’. Ia mengetengahkan isu yang
diterlantarkan, namun penting. Ia mencoba mengkonsepkan pendekatan-pendekatan
baru.’63 Lebih penting lagi, Grassby telah mempopulerkan konsep multikulturalisme
dengan menggunakan istilah ‘the Family of the Nation’ (Keluarga satu bangsa). Ia
mendefinisikan ini sbb.:

Dalam sebuah keluarga keterikatan menyeluruh pada kebutuhan


bersama tak berarti memaksakan sebuah kesamaan penampilan luar

62
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 7.
63
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 10.
65

dalam kegiatan tiap anggota, juga tidak perlu anggota-anggota itu


menolak individualitas dan perbedaan mereka demi mencari sebuah
kesepakatan yang tipis dan hanya sebatas kulit ari saja. Hal yang
penting adalah bahwa mereka semua mempunyai komitmen yang
sama bagi semua.64

Selanjutnya, Pemerintahan Whitlam di Australia mengakui bahwa kaum


migran awal telah mengalami penderitaan, akibat diskriminasi nyata dalam kaitan
dengan hak-hak budaya, sosial, legal dan politik dalam masyarakat Australia. Sebagai
konsekuensi, multikulturalisme dikembangkan sebagai kerangka di mana pihak
pemerintah dapat menyusun dan memperbaiki semua ketidaksamaan yang dialami
orang dari latar belakang bahasa bukan bahasa Inggris [NESB; Non-English-speaking-
background]. Juga dalam makalahnya di tahun 1973, Grassby menunjuk pada aspek
ketidakadilan sosial dalam multikulturalisme:

Betapapun, di Australia masa kini, situasi telah berubah secara


cukup dramatis, dalam hal proporsi menyeluruh dari orang Australia
yang ‘lama’ dan yang ‘baru’. Demi keadilan sosial, sebuah
masyarakat tidak boleh dalam jangka panjang, merendahkan
kehadiran satu dari empat anggota mereka. Apakah satu dari empat
itu secara permanen menolak kehormatan ekspresi diri dan
pernyataan diri – seandainya diinginkannya [oleh yang satu]–
dianggap nihil oleh tiga yang lainnya?65

Agenda Kebijakan Multikultural Whitlam

Pertumbuhan multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan dan filosofi mulai


sungguh-sungguh diterapkan di saat pemilihan Pemerintahan Partai Buruh Whitlam.
Ada sebuah usaha resistensi resmi dari Kebijakan Australia Putih menjelang akhir
kekuasaan Pemerintahan Liberal, tetapi Whitlam lah yang mengambil tindakan
membelokkan Kebijakan Putih Australia, dan sepenuhnya mengurangi sisa-sisa
program imigrasi yang berlandaskan diskriminasi rasial.

64
Dikutip dari buku Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian
Identity, h. 10.
65
Kutipan dari Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity,
h. 10.
66

Secara spesifik, Pemerintahan Whitlam memperkenalkan sejumlah ukuran


berkaitan dengan hukum imigrasi Australia yang membalikkan sikap xenofobia yang
melekat pada kebijakan-kebijakan Australia. Dalam bukunya, The Whitlam
Government 1972-1975, bekas Perdana Menteri ini membeber-kan sejumlah
reformasi di bidang ini dalam pemerintahannya. Antara lain, a. menyediakan, untuk
pertama kalinya, program-program yang didampingi bantuan bagi orang non-Eropa.
Jumlah orang non-Eropa yang menetap di Australia meningkat sampai rata-rata
20.000 tiap tahun selama masa pemerintahan Partai Buruh; b. memperkenalkan, di
bulan Juli 1973, sebuah sistem visa yang mudah bagi para turis dan pengunjung
jangka pendek lainnya dari negeri-negeri non-Eropa , seperti halnya hampir semua
orang Eropa, memperoleh visa tanpa melalui pemeriksaan teliti seperti sebelumnya,
cukup dengan memperlihatkan tiket prabayar, sebuah paspor yang masih berlaku,
sebuah pernyataan bahwa mereka mempunyai dana yang cukup untuk tinggal, dan
sebuah perjanjian tertulis untuk tidak bekerja selama di tinggal di Australia; c.
memberi penekanan lebih besar pada bentuk imigrasi yang mempertemukan kembali
keluarga-keluarga orang yang berkemungkinan besar akan menetap dengan bahagia
dan permanen di Australia (family reunion) yang biasanya adalah mereka yang
mempunyai teman-teman yang menanti mereka di saat kedatangan ke Australia; d.
menyediakan bantuan memasukkan para anak yatim piatu Vietnam, dan kemudian
mengadopsi anak-anak Vietrnam dan anak yatim dari negera manapun; dan e.
melaksanakan amnesti pertama di Australia untuk imigrasi ilegal. 66
Agenda Multikultural Whitlam
Sejalan dengan reformasi sistem imigrasi yang digambarkan di atas,
Pemerintahan Whitlam memulai sederet lanjutan reformasi yang dirancang untuk
memunculkan secara aktif ide multikultural. Isinya, yaitu: a. Pengakhiran hak-hak
istimewa khusus dan situasi yang dinikmati warga negara Inggris di Australia melalui
kemudahan memperoleh kewarga negaraan, visa, izin masuk ulang (re-entry permit)
dan kualifikasi hak pilih; b. Pencabutan bagian dari Migration Act yang
mempertahankan sikap diskriminasi lama terhadap bangsa Aborigin Australia dan
meminta mereka untuk mendapat izin khusus bila akan meninggalkan negara; c.

66
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 28-29.
67

Memperbaiki pengaturan perjalanan antara Australia dan Selandia Baru untuk


menghapuskan diskriminasi terhadap penduduk yang non-Anglo-Selandia Baru,
seperti bangsa Maori; d. Memperbaiki Crimes Act untuk mengurangi diskriminasi
yang mengizinkan pendeportasian penduduk Australia yang sudah memperoleh
naturalisasi. Doktrin hukum lama bahwa ‘sekali menjadi imigran selalu jadi imigran’
diganti dengan sebuah doktrin baru ‘sekali menjadi orang Australia selalu menjadi
orang Australia’; e.Memperbaiki Aliens Act untuk menghilangkan kewajiban
menyampaikan pemberitahuan tahunan tentang alamat, pekerjaan dan status
perkawinan bagi kaum asing; f. Memperbaiki kebijakan pencatatan kaum asing untuk
memindahkan batasan tentang penggantian nama oleh kaum asing; g. Penghapusan
tim-tim olah raga yang dipilih secara rasis dari Australia.67
Pemerintahan Whitlam memperkenalkan the Australian Assistance Plan
(AAP) yang memuat pengakuan tentang hak-hak sosial kaum migran. AAP tidak
secara khusus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kaum migran, tetapi lebih berupa
sebuah cetak biru tindakan oleh Pemerintah Whitlam dalam area kesejahteraan sosial.
Kaum migran mendapat manfaat secara tidak langsung dari AAP. Stephen Castles
dalam bukunya tentang Multikulturalisme dan Nasionalisme, menggambarkan tujuan
AAP sebagai ketetapan dari suatu ‘sistem pelayanan kesejahteraan terintegrasi dengan
peran serta akar rumput yang tinggi, namun tetap dalam konteks sebuah kerangka
nasional’.68
Pemerintahan Whitlam mengeluarkan seperangkat Dewan Daerah
Pengembangan Sosial (Regional Councils of Social Development) yang akan
bertanggung jawab dalam pelaksanaan rencana itu. Hampir semua Dewan
memasukkan sebuah komite untuk mengurusi isu-isu khusus yang dihadapi kaum
migran. Komite-komite ini cukup signifikan karena mereka adalah kerangka formal
pertama di dalam mana dimungkinkan untuk memberi identitas dan menyikapi ‘isu-
isu etnik’. Mereka juga menjadi alat formal pertama melalui mana kaum migran
dimungkinkan untuk memobilisir diri secara politis dan mengemukakan pendapat

67
Stephen Castles (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in
Australia, h. 117.
68
Stephen Castles (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in
Australia, h. 118.
68

mereka terhadap para pengambil keputusan melalui saluran-saluran resmi. Jean


Martin, seorang pakar pendorong Multikulturalisme Australia, menggambarkan
rencana Whitlam sebagai yang paling potensial untuk berubah berkenaan dengan
status sosial dan ekonomi kaum migran karena ia adalah ‘katalisator bagi upaya
signifikan pertama dari pihak kelompok etnik untuk bersatu, agar dapat
mengemukakan keinginan-keinginan umum kaum etnik dalam permasalahan publik’.
Komite migran ini menjadi basis pembentukan the Ethnic Communities
Councils di Australia Selatan dan Victoria tahun 1974 dan New South Wales tahun
1975. Pembentukan the Ethnic Communities Councils dimaksudkan menjadi testamen
terakhir dari keberhasilan Pemerintahan Whitlam dalam mendorong dan menciptakan
kesempatan terbentuknya komunitas etnis terorganisir yang berpotensi memberi
dampak dalam proses pengambilan keputusan.
Hasil konkrit lain dari pendekatan Whitlam pada multikulturalisme termasuk
pembentukan seperangkat Migrant Task Forces di tahun 1973 yang dirancang
menggalang peranserta kaum migran dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kehidupan mereka. Task Forces ini diperkenalkan untuk
mengidentifikasi kebutuhan mendesak kaum migran dan melaporkannya pada Menteri
Imigrasi sebelum Juni 1973.

Undang-Undang Diskriminasi Rasial (the Racial Discrimination Act)


Sejajar dengan pembebasan perundangan imigrasi Australia, dan
memperkenalkan sejumlah kebijakan multikultural, Pemerintahan Whitlam
mempelopori the Racial Discrimination Bill. Maksud Bill ini untuk mencabut
perlindungan hukum atas semua bentuk diskriminasi atas dasar ras dan etnisitas dan
melicinkan jalan bagi Australia untuk memperbaiki Konvensi Negara Serikat atas
Penghilangan Semua bentuk Diskriminasi Rasial (All Forms of Racial
Discrimination). Grassby memainkan peran pimpinan dalam penulisan draft the
Racial Discrimination Bill, bersama Jaksa Agung, Lionel Murphy. Peraturan itu
ditetapkan di bulan Juni 1975 dan diumumkan sebagai sebuah Undang-Undang (an
Act) tanggal 31 Oktober 1975.
69

Undang-undang ini bagaikan sebuah upaya besar dalam mengatasi


ketidakadilan sosial dan diskriminasi rasial. Secara khusus, undang-undang ini
menggambarkan diskriminasi rasial sebagai:
….discrimination, excludion, restriction or preference based on
race, colour, descent or national or ethnic origin which has the
purpose or effect of nutlifying or impairing the recognition,
enjoyment or exercise. On an equal footing, of any human right or
fundamental freedom in the political, economic, social, cultural or
any other field of public life.69

Secara khusus, peraturan ini menghapus perlindungan hukum, penolakan atau


penutupan akses pada kendaraan atau fasilitas; pemegangan hak atas bidang tanah,
perumahan atau akomodasi lain; penolakan atau penguasaan barang atau jasa-jasa;
pengeluaran dari hak turut serta dalam persatuan dagang, mencari pekerjaan;
memperoleh akses pada media iklan yang adil atas proses yang diwajibkan atas alasan
ras, warna kulit, atau asal muasal nasional atau etnisitas seseorang, keluarga atau yang
berhubungan dekat, yang diizinkan pada siapapun.70
Perundangan the Racial Discrimination Act Whitlam merupakan upaya awal
oleh sebuah Pemerintah Federal untuk mencapai keseimbangan yang diperlukan
antara pluralisme budaya dan prinsip-prinsip universal tentang hak-hak sosial. Ia
meletakkan preseden penting dalam hal pengenalan tentang diskriminasi dan
mencarikan jalan untuk mendorong terciptanya kesadaran yang lebih luas serta
toleransi terhadap keanekaan budaya dalam masyarakat Australia.

Warisan Whitlam
Betapapun, Pemerintahan Whitlam telah mengupayakan pencapaian
pengenalan kebijakan multikultural, disamping juga memulai sebuah kerangka di
dalam mana kebijakan publik dan program-program dapat dikembangkan hingga
mencapai pengakuan hak-hak orang dari latar belakang etnis. Di sini termasuk hak
untuk hidup bebas dari diskriminasi dan mengambil peran aktif dalam kehidupan
ekonomi, politik dan sosial Australia.

69
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.12.
70

Pemerintahan Buruh Whitlam di awal 1970-an akan selalu dikenang, terutama


oleh kaum migran, karena telah menguliti kebijakan Australia Putih dari masa lalu,
juga secara resmi memberi pengakuan pada kepentingan-kepentingan kaum monoritas
etnis dan memulai proses pelaksanaan pemberian jasa serta program-program yang
diarahkan bagi masyarakat ini.
Pemerintahan Whitlam juga yang memprekenalkan istilah ‘multikulturalisme’ ke
dalam kamus politik Australia, dan dengan demikian, menolak outright dalam filosofi
assimilasi.: Peran Pemerintah Whitlam dengan tepat disimpulkan oleh Whitlam
sendiri dalam pernyataanya berikut:
My government did as much as any Government could do –
through its anti-discrimination laws, its initiatives on human rights,
its acceptance of United Nations conventions, its creation of the
office of Commissioner for Community relations – to remove the
handicaps of prejudice and discrimination wherever they existed.71

Pemerintah Fraser dan Laporan Galbally

Perkembangan babak ketiga defisnisi asli multikulturalisme terjadi di tahun


1976 sampai 1983, yaitu pada periode Pemerintahaan Konservatif Fraser. Dengan
terbukanya jalan menuju kekuasaan baginya di tahun 1975, terjadilah sebuah kejutan
bagi banyak pendukungnya dan pencelanya bahwa Perdana menteri dari Partai
Liberal, Malcolm Fraser, bertanggung jawab atas sejumlah reformasi lanjutan yang
telah memperkuat multikulturalisme sebagai sebuah filosofi dan sebuah kebijakan.
Perubahan-perubahan ini diarahkan untuk mendorong keanekaan budaya dalam
masyarakat Australia. Salah satu yang sangat signifikan dari reformasi ini adalah
perluasan Departemen Imigrasi tingkat Commonmwealth (Negara Persemakmuran)
yang memasukkan Ethnic Affairs (Urusan Etnik). Sebagai tambahan, Pemerintahan
Fraser mengawasi penciptaan Dewan Kependudukan dan Imigrasi Australia (the
Australian Population and Immigration Council) atau APIC.
Selama periode ini, titik fokus kebijakan multikultural terutama terletak pada
hak-hak kaum migran untuk melakukan perbedaan kebudayaan, bukannya atas hak-

70
Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.12.
71
Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.14.
71

hak sosial dan politik mereka dari Pemerintah. Fraser juga mengembangkan konsep
multikulturalisme untuk merujuk pada kemungkinan sebuah kebudayaan Australia
masa depan yang telah memasukkan unsur-unsur dari tradisi budaya yang beraneka.
Perkembangan yang paling signifikan selama periode ini, betatapun, adalah
Laporan Galbally, yang ditugaskan Fraser di tahun 1977, sebagai Menteri Imigrasi.
Laporan ini memuat rekomendasi yang menegaskan komitmen pribadi PM Fraser
dalam memperkuat multikulturalisme di Australia.

Laporan Galbally
Di tahun 1978, Frank Galbally menyampaikan laporannya berjudul The
Review of Post-Arrival Programs and Services to Migrans pada Pemerintah Australia.
Laporan ini merupakan upaya besar pertama untuk menciptakan sebuah kerangka
konkrit penyusunan dan prorgram-program kebijakan multikultural yang mempunyai
fokus berjangka panjang. The Galbally Report, dan reaksi atas rekomendasinya,
mengungkapkan penyusunan filosofi dalam bab kebijakan yang mendukung definisi
asli multikulturalisne. Tak ada keraguan bahwa ini adalah sebuah laporan cikal bakal
berkembangnya kebijakan multikultural dan praktek-prakteknya. Ia juga
mempengaruhi semua laporan-laporan lanjutan sampai dengan revisi di tahun 1995
atas Agenda Nasional untuk Multikultural Australia (National Agenda for a
Multicultural Australia).72
Laporan itu membuat rekomendasi-rekomendasi berkaitan dengan program
permukian awal, penyediaan kursus-kursus bahasa Inggris dan memperbesar akses
kaum migran pada sistem-sistem hukum, kesehatan dan kesejahteraan serta pada
lapangan kerja. Sejumlah rekomendasi diterima oleh Pemerintahan Fraser.
Dalam pengertian keseluruhan, Laporan Galbally telah memberi dampak yang
signifikan sejauh bahwa ia dengan kuat menanamkan filosofi dan praktek
multikulturalisme dalam sistem politik Australia ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Sebelumnya, Pemerintahan Whitlam telah membuat kemajuan tambahan ke arah
pengakuan pada kepentingan-kepentingan khusus orang dari latar belakang bahasa
72

non Inggris, Laporan Galbally menyarankan sebuah strategi ulang lebih konkrit dan
berjangka panjang yang dapat menjamin berlangsngnya kesuksesan
multikulturalisme.
Laporan Galbally telah mengarah pada tiga inisiatif spesifik
Pemerintahan Fraser, yaitu:
a. Lembaga Masalaha Multikultural Australia (the Australian Institute of
Multicultural Affairs)
Sebuah insiatif khusus dalam Laporan Galbally adalah rekomendasinya untuk
mendirikan sebuah Lembaga Masalah Multikultural untuk melakukan peneltian dan
menyebarkan informasi melalui masyarakat yang lebih luas dan memberi nasehat
pada pemerintah tentang masalah etnik. Lembaga ini dimaksudkan menjadi sebuah
organisasi independen yang bisa membuat suatu kontribusi penting dalam penyusunan
dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pada tahun 1979, Pemerintahan Fraser
membentuk the Australian Institute of Multicultural Affairs Act yang menetapkan
tujuannya sebagai berikut: 1. Mengembangkan di antara anggota masyarakat Australia
dengan cara: 1.1. sebuah kesadaran atas keanekaan budaya dalam masyarakat yang
muncul sebagai hasil migrasi; 1.2. sebuah penghargaan atas kontribusi dari budaya-
budaya iitu pada pengkayaan bagi masyarakat yang lebih besar; 2. Mempromosikan
toleransi, pengertian, hubungan yang harmonis serta saling menghormati antara
kelompok-kelompok budaya yang berbeda serta komunitas etnis di Australia; 3.
Mendorong menjelmanya masyarakat Australia yang kohesif dengan membantu
anggota-anggotanya untuk saling berbagi budaya mereka dan memberlakukan
mereka dalam struktur politik dan hukum masyarakat, serta membantu mendorong
terciptanya sebuah lingkungan yang memungkinkan anggota-anggotanya dari
kelompok dan masyarakat budaya dan etnik yang berbeda memperoleh kesempatan
berperan serta secara lebih penuh dalam masyarakat Australia dan mencapai potensi
mereka sendiri.73

72
Buku ini merupakan penjelasan resmi pemerintah tentang kebijakan dan masa depan
multikulturalisme. Lihat Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs,
National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. i-v.
73
Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.17-20.
73

Di samping itu ada the Australian Institute of Multicultural Affairs (AIMA)


yang bertujuan untuk mencerminkan bagian-bagian dari kebijakan umum
multikulturalisme pada periode itu. Mereka memberi penekanan pada pentingnya
toleransi dan penghormatan pada perbedaan budaya. Selama Pemerintahan Fraser,
AIMA telah menghasilkan laporan-laporan dalam jumlah yang signifikan dalam
kawasan kebijakan multikultural. Namun, masalahnya, masih belum ada mekanisme
yang sudah mapan untuk menerjemahkan rekomendasi-rekomendasi AIMA ke dalam
realitas sosial. Sebagai akibatnya, meskipun AIMA telah mengemukakan kenyataan
ketidaksamaan sosial dan ekonomi signifikan yang masih dialami secara tidak
proporsional oleh mereka dari latar belakang bahasa non Inggris. Namun dalam
konteks ini, lembaga tidak berwenang untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalahan tersebut.

b. Perkembangan Pelayanan Siaran Khusus (the Special Broad-


casting Service).
Satu dari rekomendasi yang paling menonjol muncul dari Laporan
Galbally terkait dengan pembentukan apa yang disebut dengan ‘televisi etnik’.
Dalam ringkasan berikut, Laporan Galbally menggambarkan sebuah agenda
memperkenalkan televisi etnik:
The Government has indicated its commitment to ethnic television.
Given the substantial issues involved, we believe development
should be passed over tge next three years during which there will
be widespread consultation with ethnic communities and other
interested parties. We are anxious that it should be of value to the
community as a whole by promoting tolerance and appreciation of
cultural diversity. For this reason, even though ethnic television will
naturally involve the production and broadcasting of programs of
interest to specific groups of migrants, the aim should be to present
such programs so as to attract a multilingual audience, and the
community generally. This approach might have the additional
advantage of placing ethnic television on a more secure footing.74

74
Theophanous, Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity
h.18.
74

‘Televisi Multikultural’, sebagaimana ia kemudian disebut, pertama kali


diperkenalkan di Sydney dan Melbourne bulan Oktober 1980. Tujuannya adalah
untuk mendorong dan mempromosikan pengertian di antara masyarakat non-etnik
Australia tentang komunitas etnis, juga untuk membantu komunitas etnis agar menjadi
lebih terbiasa dengan kehidupan di Australia.
Televisi multikultural pada umumnya dianggap mencapai sukses besar di
tahun-tahun pertama operasinya. Dalam sebuah pernyataan mengumumkan evaluasi
Laporan Galbally di tahun 1982, PM Malcolm Fraser mengatakan tentang televisi
multikultural sbb.:
The evaluation has found results of the first year and a half of
multicultural television to be very encouraging. There is a high
degree of public acceptance that multicultural television provides a
worthwhile alternative service, and it has shown itself capable of
attracting audiences oif all backgrounds. The service is still at a
formative stage and further progress can be made in a number of
areas.75

Perdana Menteri kemudian mengumumkan niatnya meluaskan SBS masuk ke


Canberra, Newcastle, Wollongong, Adelaide, brisbane, Hobart, Perth dan Darwin.
Namun, Pemerintahan Fraser kehilangan kekuasaannya sebelum satupun dari
perluasan ini bisa terrealisasikan. Pada saat ini, Pemerintah juga berketetapan untuk
menjamin bahwa media SBS memasukkan sejumlah yang lebih besar pengumuman-
pengumuman layanan masyarakat multi-bahasa, suatu keseimbangan yang lebih baik
dalam linguistik dan lebih banyak program pembelajaran bahasa Inggris.

c. Peran Professor Zubrzycki dan the Ethnic Affaus Council


Pemeintah Fraser meminta the Australian Ethnic Affairs Council untuk
membuat sebuah piagam multikulturalisme yang memuat tiga prinsip bagi sebuah
masyarakat multikultural yang sukses: 1. Kohesi sosial, 2. Identitas budaya, dan 3.
Kesamaan kesempatan serta akses. Pada intinya, semua ini merupakan prinsip-prinsip
klasik liberal yang menggaris bawahi definisi asli multikulturalisme. Di tahun 1982,
Professor Zubrzycki, yang bertanggung jawab menyusun piagam itu, mengetuai
75

sebuah komite untuk menghasilkan sebuah laporan, Multiculturalism for All


Australians: Our Developing Nationhood. Dalam laporan itu, ia menambahkan
sebuah prinsip nomor empat, yaitu tanggung jawab yang sama untuk berkomitmen
pada dan peranserta dalam masyarakat.76
Sesuai harapan, laporan itu mempertahankan dengan kuat komponen
keanekaan budaya dalam multikulturalisme:
Multicultural society is interesting and colourful, and offers many
choices of lifestyle, in human relationships it offers great variety,
wide horizons and the chance to discover other points of view.
Australian society has sometimes failed to appreciate the cultural
resources within itself; multiculturalism makes the most of these
resources for the benefit of all.
Multiculturalism is therefore much more than the provision of
special servuces to minority ethnic groups. It is a way of looking at
Australian society, and involves living together with an awareness
of cultural diversity. We accept our differences and appreciate a
variety of lifestyles rather than expect everyone to fit into a
standardised pattern. Most of all, multiculturalism requires us to
recognise that we cab each be ‘a real Australian’, without
necessarily being ‘a typical Australian’.77

Dalam laporan itu, Zubrzycki memajukan argumentasi bahwa Multikul-


turalisme harus meluas lebih dari masalah etnis. Ia mengatakan:
I believe that the days when multiculturalism was discussed
exclusively in the context of ‘ethnic affairs’, defined until recently as
something concerning non-English-speaking minorities in Australia,
are over. There is an urgent need for a reassessment and
clarification of what multiculturalism stands for, implying as it
does, interaction between cultural minority groups and the wqider
Australian community.78
Laporan itu beranggapan bahwa untuk mensukseskan multikulturalisme,
kelompok-kelompok minoritas dari latar belakang bahasa non Inggris, ‘tidak boleh

75
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.18.
76
Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for all Australians: Our
Developing Nationhood, Commonwealth of Australia, Canberra, 1982, h. 12 .
77
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 19
78
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 19
76

berkembang di pinggiran dan atas biaya keseluruhan masyarakat Australia, tetapi


harus berorientasi kepada kelompok minoritas dan diberikan insentif sesuai
keperluanya untuk masuk ke dalamnya.

Tahun-tahun Awal Pemerintah Hawke: 1983 – 1985


Pemerintah Hawke yang baru terpilih tahun 1983 sangat ingin membangun di
tengah kemajuan yang dicapai selama periode Pemerintahan Fraser, namun juga ingin
meluaskan kebijakan multikulturalisme. PM Hawke, pada pembukaan kantor Federasi
Dewan Komunitas Etnik Australia (the Federation of Etrhnic Communities Council of
Austraiua) atau FECCA, di bulan April 1984 , mengeluarkan pernyataan berikut yang
mendukung sebuah pendekatan yang lebih luas pada multikulturalisme:
‘Multicultural’ is more than a descriptive term to designate a
society made up of different ethnic groups. It is also an approach to
policy formulation and resource allocation which seeks to provide
for equality and access and opportunity. It designates a society
which supports a common group of institutions, legal rights and
obligations, while leaving individuals free to maintain their
religion, language and cultural customs. A multicultural society is a
vital and tolerant and progressive community in which all groups,
be they Aboriginal, Anglo-Celtic, European, Asian, Latin American,
or Middle Eastern, or from any oither of the ethnic groupings we
find in our society today, make an important contribution to the
richness, the depth and traditions of our nation.79
Pada tahap ini dalam perkembangan multikulturalisme, ada kesinambungan
menjadi sebuah tingkat dukungan bipartisan yang signifikan bagi baik bagi kebijakan
imigrasi Pemerintah dan bagi sebuah doktrin multikulturalisme. Ada suatu
konsensus/kesepakatan bahwa kebijakan assimilasi masa lalu secara umum tidak
diterima. Ada juga suau kemajuan yang kuat ke arah kebijakan dan program yang
melindungi dan mengangkat keanekaan budaya.
Kegiatan-kegiatan oleh Pemerintah yang merefleksikan transisi ini, dan upaya-
upaya untuk meluaskan pengertian tradisional tentang multikulturalisme, termasuk
keputusan tahun 1984 untuk mendefinisi ulang istilah AIMA. Termasuk dalam
redefinisi ini kepentingan mendorong kesamaan dan akses bagi kalangan masyarakat

79
Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 28.
77

yang tidak diuntungkan karena budaya dan etnisitasnya, dan sebuah kebutuhan untuk
melawan diskriminasi atas mereka yang berasal dari enik minoritas. Terms of
reference yang telah diperbaiki untuk AIMA tidak hanya menunjukkan suatu upaya
memperluas definisi multikulturalisme dari sekedar pendorong keanekaan budaya
sehingga pengertian itu juga bisa mengenai kepentingan-kepentingan sosial ekonomi
kaum migran. Ini adalah awal dari tahap utama yang kedua dalam perkembangan
multikulturalisme.

2. Perkembangan Kedua dari Definisi Asli


Arti multikulturalisme meluas lagi ketika kebutuhan pada dimensi keadilan
sosial ditekankan dan dikembangkan dengan diterbitkannya Laporan Jupp tahun
1986.80 Evolusi dari sebuah definisi yang lebih menyeluruh tentang multikulturalisme
mengambil langkah signifikan ketika the House of Representatives menerima penuh
tanpa penolakan sebuah mosi untuk mendukung multikulturalisme. Ada Mosi yang
disampaikan tanggal 17 Maret 1988 yang berisi sebuah pernyataan ringkas tentang
prinsip-prinsip multikulturalisme yang berasal dari pertimbangan mendalam Lembaga

Masalah Multikultural Australia. Parlemen mendeklarasikan keyakinannya bahwa:


a. Orang Australia dari semua latar belakang merdeka dan
dapat ikut ambil bagian di semua tingkat kehidupan negara
yang bersifat politis, administratif, legal, ekonomis, kultural
dan seni; b. Juga diperlukan kebebasan untuk memeliharta
warisan budaya orang seorang dalam konteks hukum dan
sistem politik, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa yang
diterima; c. Semua orang Australia hendaknya dibebaskan
dari dikriminasi berdasar ras, etnisitas, agama atau
kebudayaan dan harus mendapat kesempatan dan akses yang
sama pada program-program dan jasa-jasa; d. Program-
program dan jasa-jasa seyogyanya disediakan seluas
mungkin bagi masyarakat secara menyeluruh dan dapat di
akses semua orang Australia yang bisa menyesuaikan diri
dengan baik dan juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan
khusus mereka yang lahir di luar negeri dan yang lebih
menyukai memakai bahasa yang bukan bahasa Inggris,
sebagaimana mereka yang lahir dari lingkungan berbahasa

80
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, 1989, h. 18.
78

Inggris, namun bila diperlukan dan sepantasnya demikian,


pelayanan-pelayanan jasa terpisah dan khusus seharusnya
disediakan; e. program-program dan pelayanan-pelayanan
harus dirancang dan dikembangkan dengan berkonsultasi
dengan semua kelompok klien potensial, termasuk mereka
yang lahir di Australia dan di luar negeri, dan harus
mencakup partisipasi aktif mereka, dan; f. Suatu masyarakat
yang adil dan merata seharusnya mempromosikan siapa saja
dari mereka tanpa memperdulikan latar belakang etnis dan
budayanya.81

Prinsip-prinsip ini kemudian diperkuat dengan keluarnya proklamasi yang


disebut the National Agenda for a Multicultural Australia di tahun 1989 oleh
Pemerintah Buruh federal.82 Pada khususnya, untuk pertama kali, multikulturalisme
dispesifikasikan dalam pengertian tiga dimensi sebagai berikut:
a. identitas kultural: hak semua orang Australia, dalam batas-batas
yang ditentukan dengan hati-hati, untuk mengekspresikan dan
memberlakukan warisan budaya pribadi mereka, termasuk bahasa
dan agama mereka.
b. Keadilan sosial: hak semua orang Australia untuk perlakuan dan
kesempatan yang sama, dan pembuangan batas-batas ras, etnisitas,
budaya, agama, bahasa jender atau tempat kelahiran; serta
c. Efisiensi ekonomi: kebutuhan untuk memelihara, mengembangkan
dan menggunakan secara efektif keahlian-keahlian dan bakat-bakat
semua orang Australia, tanpa melihat latar belakangnya.

Arti multikulturalisme selanjutnya diperbaiki dalam laporan di the National


Agenda yang diajukan pada Pemerintah di bulan Juli 1995. Laporan ini disesuaikan
dengan tujuan-tujuan tahun 1989 dan mengadopsi sepuluh prinsip-prinsip yang telah
diperbaiki untu multikultural Australia, namun sasaran-sasaran umumnya tetap sama.
Dengan demikian telah terjadi evolusi dalam definisi multikulturalisme
Australia, dengan penekanan yang semakin kuat pada dimensi keadilan sosial. Evolusi
definisi ini, bagaimanapun, merupakan bagian dari sebuah drama yang lebih luas
dalam pengembangan filosofi, kebijakan, dan praktek multikultural di Australia. Satu

81
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 36.
82
Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda
for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. vii.
79

dari aspek-aspek kunci di sini merupakan pengembangan pemikiran tentang


kewarganegaraan.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa perkembangan
multikulturalisme di Australia dapat dilihat dari dua tahap.

a. Tahap Pertama: Penekanan pada Keanekaan Budaya


Tahap pertama melihat multikulturalisme sebagai penegasan positif keanekaan
budaya; ia menekankan pada pentingnya pemeliharaan budaya, agar memberi
dorongan orang mempertahankan warisan budaya mereka dan menghargai tradisi-
tradisi budaya yang beraneka. Prinsip paling penting yang diperhalus dalam tahap ini
adalah prinsip toleransi, berdasarkan pandangan bahwa masyarakat harus memberi
penghargaan yang sama pada tradisi budaya orang lain, dan suatu penerimaan bahwa
tradisi-tradisi ini seharusnya bergerak maju dalam konteks sebuah masyarakat yang
demokratis yang menghormati hak-hak tiap individu.
Multikulturalisme, dalam pengertian ini, dilihat sebagai kepanjangan hak-hak
sipil dan politik orang yang hidup dalam suasana demokrasi yang mengabsahkan hak-
hak tersebut dan di mana orang berhak untuk melindungi bentuk-bentuk budaya yang
berbeda bagi diri merke sendiri, bentuk-bentuk budaya yang berdasarkan pada latar
belakang pribadi dan sejarah mereka. Basis ikatan sosial dalam sebuah masyarakat
yang berkebudayaan beraneka, selama tahap ini, dianggap sebagai prinsip-prinsip
dasar yang klasik dan liberal. Dalam konteks ini, kebebasan berbicara dan berekspresi
merupakan prinsip yang sangat penting bila diberi penekanan pada hak-hak semua
orang untuk hidup menurut budaya dan/atau bentuk-bentuk agama yang beraneka.
Tahap pertama dalam perkembangan multikulturalisme di Australia
memeriksa definisi asli multikulturalisme sebagaimana mula-mula diajukan dan
bergerak maju selama periode Pemerintahan Whitlam dan Fraser, dan kemudian ke
awal Pemerintahan Hawke. Definisi asli multikulturalisme berkembang untuk
memberi penekanan pada perlindungan dan pemeliharaan keanekaan budaya di
Australia. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meyakinkan bahwa kelompok-kelompok
etnik dan budaya berkesempatan untuk berperan serta dalam tradisi budaya dan
praktek-praktek mereka sendiri. Dengan kata lain, definisi awal dikembangkan
80

sebagai jawaban pada penekanan pasca Perang Dunia II atas assimilasi budaya dan
pengembangan sebuah masyarakat monokultural di Australia sebagai kelanjutannya.
Pengenalan filosofi dan kebijakan multikulturalisme merupakan salah satu
kebijakan yang paling berpandangan ke depan dari Pemerintahan Whitlam.
Pemerintahan itu akan tetap dikenang karena upayanya membalikkan Politik Putih
Australia. Hal itu juga menjadi sebuah hasil kerja besar menumbangkan kebijakan-
kebijakan assimilasi masa lalu melalui perkenalan dengan suatu kerangka
pengembangan kebijakan dan program yang mengakui hak-hak sosial dan budaya
masyarakat migran dan latar belakang etnik, dan yang memungkinkan mereka
berperan serta lebih besar dalam kehidupan komunitas Australia.
Sebagai tambahan pada kebijakan-kebijakan multikulturalismenya,
Pemerintahan Whitlam juga bertanggung jawab pada pemasukan Undang-Undang
Diskriminasi Rasial (the racial Discrimination Act) tahun 1975. Undang-Undang ini
mewakili satu dari berbagai upaya menghadapi ketimpangan sosial dan diskriminasi
rasial melalui hukum.
Menjelang pemilihan Malcolm Fraser di bulan November 1975, istilah
‘multikulturalisme’ telah menembus kehidupan politik dan telah dipakai oleh
komunitas-komunitas etnik paling mayoritas, juga pada bagian-bagian signifikan dari
penduduk non etnik. Menjadi sebuah keterkejutan bagi para pendukungnya,
Pemerintahan Liberal Fraser memutuskan mengakui dan mengembangkan
multikuilturalisme di Australia. Fraser cenderung melepaskan Pemerintahannya dari
kebijakan imigrasi Koalisi pra-1972 yang telah memberi penekanan pada ‘kebutuhan’
adanya suatu komunitas yang homogen secara rasial dan kultural di Australia.
Pemerintahan Fraser dengan cepat menyatakan keanekaan budaya sbagai prinsip inti
multikulturalisme, dsan secara khusus menegaskan program-program yang menjadi
keanekaan budaya.
Pada periode Fraser, Laporan Galbally dilahirkan. Dokumen penting ini
menekankan hak atas identifikasi budaya sebagai hal yang esensial untuk menjamin
keberhasilan kebijakan-kebijakan multikultural dan program-programnya, dan pada
gilirannya, suatu masyarajat yang kohesif. Hal itu memberi pengaruh pada perekatan
konsep multikulturalisme ke dalam sistem politik Australia dan telah menjadi sebuah
81

peristiwa yang signifikan dalam perkembangannya. Namun di samping Laporan


Galbally yang menunjukkan bentuk positif dari definisi asli multikulturalisme, ia juga
merefleksikan kekurangan-kekurangan definisi itu. Seperti nanti akan penulis
permasalahkan, ia tidak memberi pengakuan yang memadai pada ketidak samaan
struktural yang mencegah orang dari latar belakang bukan berbahasa Inggris agar
dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Khususnya, hal itu gagal
memperhitungkan ketidak samaan sosial dan ekonomi masyarakat Australia yang
secara tidak proporsional dirasakan oleh orang yang berlatar belakang bukan
berbahasa Inggris. Hal ini tidak menyuburkan dimensi keadilan sosial.
Setelah pemilihan Pemerintahan Hawke tahun 1983, definisi asli
multikulturalisme muncul di bawah tekanan dan menjelang 1985, Australia mulai
memasuki sebuah tahap di mana konsep multikulturalisme meluas dengan
memasukkan hak-hak sosial dan ekonomi kaum migran, yang kemudian ditambahkan
dalam hak-hak mereka atas indentifikasi budaya.

b. Tahap kedua: Dimensi Keadilan Sosial


Seperti diindikasikan, tahap kedua dalam perkembangan multikulturalisme
dengan memasukkan dimensi keadilan. Menurut pandangan ini, multikulturalisme
bukan hanya mengenai pemberian kemerdekaan pribadi perorangan, tetapi juga
tentang keadilan sosial murni bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakang
ras, budaya, etnis atau agamanya. Prinsip mendasar di sini adalah bahwa orang di
Australia dari latar belakang beraneka, berhak memperoleh persamaan sosial yang
murni, terutama persamaan dalam memperoleh akses memperoleh pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan dasar kehidupan. Di bawah definisi yang telah diperbaharui ini,
apa yang diperlukan bukan hanya kebebasan politik, tetapi keadilan sosial bagi semua
orang, tak perduli apa ras atau latar belakang budayanya.
Dimensi keadilan sosial dalam multikulturalisme ( Tinjauan Program-Program
dan Jasa-Jasa Kaum Migran dan Multikultural: Jangan Bertahan Pada Yang Kurang).
Review of Migrant and Multicultural programs and Services: Don’r Settle For Less
ini mendapat dorongan melalui terbitan Laporan Jupp. Laporan ini merupakan sebuah
pembalikan definisi multikulturalisme karena ia menumbuhkan mata rantai antara isu-
82

isu kaum migran dan etnik serta tujuan-tujuan keadilan sosial. Rekomendasi utama
laporan ini bahwa Pemerintah Federal harus melaksanakan sebuah strategi yang
menjamin , partisipasi yang sama oleh kaum penetap yang lahir di luar negeri dalam
masyarakat Australia. Laporan itu mengusulkan pengubahan sistem-sistem yang
sudah ada dan struktur-struktur yang bisa membikin mereka menjadi lebih bisa
dipercaya untuk memenuhi kebutuhan orang dari latara belakang yang bukan
berbahasa Inggris, juga memberilkan program-program yang lebih bersifat etno
spesifik serta pelayanan-pelayanannya.
Laporan itu mendukung penguatan Akses dan program Kesama rataan dengan
tujuan membuang batas-batas ras, budaya, bahasa dan agama, serta menjamin bahwa
aprogram-program dan pelayanan-pelayanan itu dirancang dengan baik dan
disampaikan pada orang Australia kelahiran luar negeri secara konsisten dengan
memenuhi tujuan keadilan sosial; Dimensi-dimensi keadilan sosial ini juga menjadi
dasar dari Laporan akhir Lembaga Masalah Multikultural Australia (the Final Report
of the Australian Institute for Multicultural Affairs atau AIMA) yang dikeluarkan
tahun 1986. Laporan ini membuah sederet rekomendasi dengan memberi penghargaan
pada pelayanan-pelayanan termasuk permukiman awal, penyediaan sarana informasi,
kesejahteraan sosial dan lapangan kerja.
Apa yang jelas dari semua ini adalah bahwa filosofi multikultural Australia,
dalam evolusinya, telah memasukkan sejumlah tahapan-tahapan. Dengan demikian,
multikulturalisme menjadi dewasa sampai pada kedudukan yang memungkinkan
untuk menjadi optimistik tentang hasil multikulturalisme sebagai sebuah percobaan
sosial. Masih ada, betapapun, beberapa isu menonjol yang masih perlu diputuskan,
seperti masalah arti dan makna multikulturalisme Australia.
83

BAB III
ISLAM DI AUSTRALIA:
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN SOSIO-DEMOGRAFI

A. Latar Belakang Sejarah


Sejarah kedatangan kelompok Muslim di Australia telah berumur panjang,
jauh sebelum datangnya kelompok kulit putih ke daerah tersebut. Namun data tentang
sejarah kedatangan kelompok Muslim Makassar untuk pertama kali ke Australia ini
84

tidak dapat dibuktikan, karena hanya merupakan catatan-catatan yang bersifat


spekulatif saja. Karena tiadanya catatan sejarah secara tertulis mengenai kedatangan
orang-orang Islam pada awal sejarah Muslim di Australia telah membuat kesulitan
bagi para peneliti untuk menentukan keakuratan atau kebenaran data-data tersebut.
Secara umum, sejarah Muslim di Australia terbagi dalam 4 (empat) periode.
Periode pertama ditandai dengan terjalinnya kontak antara penduduk suku Australia di
bagian Utara dan para nelayan Makassar yang ingin menangkap trepang. Orang-orang
Makassar tidak meninggalkan pengaruh yang signifikan terhadap hubungan sosial
tersebut. Sementara itu pengaruh kaum Kulit Putih Eropa yang datang kemudian
semakin lama semakin menguasai benua Australia dan akibatnya peran orang-orang
Makassar semakin menghilang.
Periode berikutnya, orang-orang Inggris menjadikan Australia sebagai daerah
jajahan, di mana orang-orang Muslim memainkan peranan yang marginal. Tempat
tinggal mereka yang berpencar dan sedikitnya jumlah komunitas menyebabkan
tiadanya informasi tentang identitas mereka. Baru pada periode ketiga berikutnya
ditandainya dengan datangnya kelompok penunggang onta dari Afghanistan memberi
pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di benua tersebut. Peranan mereka
sampai sekarang masih diakui pemerintah Australia sebagai perintis pembukaan
daerah pemukiman orang-orang Eropa. Pengembangan eksplorasi daerah Australia
Tengah tidak akan pernah ada tanpa peran mereka, khususnya dalam pembuatan jalur
telegraf yang menghubungkan komunikasi antar kota. Namun peran mereka sebagai
penunggang onta semakin menyurut saat dibangunnya jalur-jalur kereta api sehingga
mereka semakin terdesak dan terpaksa meninggalkan Australia, terlebih lagi setelah
kolonial Inggris mengeluarkan peraturan imigrasi yang ketat bagi siapa pun yang
ingin masuk ke Australia (Immigration Restriction Act) pada tahun 1911. Dan pada
periode keempat merupakan masa-masa manis masuknya kembali kaum Muslim dari
berbagai manca negara sehingga periode ini disebut sebagai periode dimulainya
sejarah keberadaan komunitas Muslim di Australia. Pada periode ini pulalah
keberadaan mereka semakin diakui, khususnya ditetapkannya kebijakan
83
Multikulturalisme sebagai ideologi negara oleh Pemerintah Australia.

83
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 3.
85

Periode Pertama: Kaum Muslim dari Makassar


Lebih dari 200 tahun lalu, perahu-perahu nelayan Makassar telah mengunjungi
pantai Marege, pantai yang terdapat di antara timur laut Darwin dan Teluk
Carpentaria untuk menangkap dan memproses trepang (beche de mer) dan kemudian
dijual di pasar komunitas Cina. Setiap tahun pada bulan Desember mereka
meninggalkan Makassar dan dalam empat bulan berikutnya kembali ke Makassar.
Mereka bermukim di pantai sebagai tempat tinggal sementara, di antaranya daerah
Tamarind. Kunjungan tahunan ke daerah tersebut sudah dimulai paling tidak sebelum
tahun 1650. Dan pada tahun 1907, perdagangan trepang oleh orang-orang Makassar
sama sekali terhenti, karena semakin sulitnya masuk ke pantai Darwin. Suku Aborigin
yang terdapat di daerah Arnhem Land mengenang masa-masa kontak dengan orang-
orang Makassar sebagai zaman keemasan dan hal ini bertolak belakang dengan masa-
masa kekuasaan kolonial kaum kulit Putih.
Perbauran budaya dan perkenalan dengan gagasan-gagasan serta teknologi
baru ini menyebabkan beberapa bentuk budaya Makassar menyusup dalam kehidupan
kaum Aborigin. Benda-benda yang menawarkan bentuk teknologi yang lebih maju
dan yang dapat dengan mudah di adaptasikan oleh komunitas-komunitas Aborigin
adalah yang paling cepat diperkenalkan. Salah satu di antara yang paling cepat di
ambil alih secara inovatif adalah bentuk kano (perahu kayu) yang dicungkil dari
sebatang kayu, yang dikenal orang Makassar dengan nama lipa-lipa. Pertukaran
barang dengan kapak-kapak, pisau, dan potongan-potongan besi datar yang dapat
dipukul menjadi kepala pacul, ujung harpun (panah seruit) atau mata kail, merupakan
barang-barang yang umum.84
Kebutuhan untuk berkomunikasi berakibat pada masuknya istilah-istilah
Makassar ke dalam bahasa Aborigin. Banyak kata-kata yang dipinjam untuk
menjelaskan konsep-konsep atau obyek-obyek fisik yang sebelumnya tak dikenal oleh
kaum aborigin. Contoh yang paling penting ditemui dalam

84
Mary L. Jones, ‘Muslim Impact on Early Australian Life’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, Law Printer, Melbourne, 1993, h.
34.
86

deretan perbendaharaan kata yang berhubungan dengan perahu-perahu orang


Makassar. Ahli bahasa berargumentasi bahwa hal ini memperkuat kecenderungan
alami terhadap dominasi bahasa Makassar dan hal itu menjadi penting bagi
komunikasi antara komunitas-komunitas Aborigin.
Ada juga bukti fisik tentang pengaruh kaum Muslim terhadap kehidupan kaum
aborigin. Gambar-gambar dari batu dan patung-patung di Tanah Arnhem Barat
biasanya berwujud perahu dan api yang mendidih. Karakteristik bentuk perahu juga
banyak terdapat di berbagai lukisan-lukisan di batang pohon dan batu-batu karang.
Namun subyek-subyek rinci yang halus dari karya-karya ini diasosiasikan dengan
legenda, lagu-lagu dan benda-benda tua. Mereka merupakan bagian dari keseluruhan
pengetahuan
tentang keberadaan manusia, dewa-dewa atau roh-roh, serta kejadian-kejadi-
an dan tempat-tempat yang berhubungan dengan mereka.
Ada indikasi yang mengatakan bahwa nelayan-nelayan Makassar dari selatan
pulau Sulawesi berlayar secara teratur ke kawasan Utara Australia sejak awal abad-
16. Beberapa di antaranya telah menempati bagian-bagian kawasan Utara Australia,
menikah dengan anggota komunitas Aborigin lokal dan mungkin sambil
memperkenalkan agama Islam pada mereka. Makam-makam Islam dari periode awal
masih bisa ditemui kini di pulau Arhhem.85
Secara keseluruhan, kehadiran pendatang Muslim awal datang ke pantai-
pantai untuk berinteraksi dengan sejumlah kecil komunitas yang mendiami pantai
utara. Mereka datang berturut-turut sebagai pengunjung (visitors), yang hanya
membuka sebagian dari budaya agama dan dunia sosial mereka. Sementara kontak
keseharian membuat kaum Aborigin sadar tentang waktu sembahyang kaum Muslim
dan praktek-praktek keislaman. Pada dasarnya hubungan yang tercipta adalah antar
kelompok etnis yang hidup saling tak tergantung satu sama lain. Islam sebagai suatu
cara hidup dan filsafat agama masih memberi pengaruh pada Australia. Namun
demikian, pohon-pohon asam yang tumbuh sporadis sepanjang daerah yang

85
Bilal Cleland, ‘The Historry of Muslims in Australia’, dalam Abdullah Saeed and Shahram
Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 12.
87

ditinggalkan di kawasan pantai utara merupakan saksi tentang kehadiran orang-orang


Makassar.
Kelangkaan sumber-sumber masa-masa awal keberadaan masyarakat Islam
mempersulit penelitian kelompok Muslim di Australia. Beberapa buku yang pernah
diterbitkan tentang sejarah awal Australia lebih banyak merujuk kepada orang-orang
Afghanistan sebagai penunggang onta.

PERIODE KEDUA: KAUM MUSLIM DARI AFGHANISTAN


Sejarah kedatangan Islam di Australia yang tercatat dalam dokumentasi
Australia adalah diawali dengan orang-orang Afghanistan. Pada bulan Juni 1860,
sebuah kapal kerajaan Chinsurah dari Karachi merapat di pelabuhan Melbourne. Di
dalamnya terdapat 24 onta dan 3 orang penunggangnya. Tidak diketahui secara persis,
apakah mereka memang berasal dari Afghanistan, meski diyakini mereka dari India,
Pakistan, dan beberapa dari Afghanistan, Persia, Mesir, dan Turki. 86
Kedatangan kaum Muslim dari luar Australia berkaitan dengan meluasnya
pertanian di koloni-koloni Australia dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang
memerlukan tambahan tenaga kerja, sedangkan tenaga kerja yang berasal dari para
narapidana yang dibawa secara paksa dari Inggris tidak bisa memenuhi kuota tersebut.
Mulai tahun 1840 sampai tahun 1880, permukiman Eropa meluas dari lahan-lahan di
tenggara menyeberangi benua. Ini adalah periode eksplorasi ke pedalaman negeri
yang berakibat pada pemusnahan sejumlah besar masyarakat asli Aborigin dan
rencana pintu terbuka imigrasi serta era meledaknya industri wool. Permintaan wool
dari pabrik-pabrik di Inggris sangat luar biasa besarnya dan seberat sepuluh juta
pounds wool dihasilkan oleh Australia di tahun 1840 kemudian membengkak menjadi
tiga ratus juta pounds menjelang tahun 1880. Sepanjang periode yang sama jumlah
domba membesar dari 4.000.000 menjadi 8.000.000.87
Perburuan Emas (the Gold Rush) yang terjadi tahun 1850-an semakin
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus melakukan eksplorasi tambang-
tambang mineral. Hal itu berakibat pada pertumbuhan kependudukan di koloni-

86
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 5.
87
88

koloni. Populasi di Victoria meningkat dari 97,489 di tahun 1851 menjadi 539,764 di
tahun 1861. Hal ini berpengaruh pula pada pembukaan perkebunan dan
perkembangan pertanian.88
Eksplorasi awal di bagian tenggara benua dipimpin oleh Major Mitchell yang
melintasi bagian selatan New South Wales dan distrik barat Victoria di tahun 1836
dengan membuka kawasan-kawasan lahan baru untuk pondok-pondok penetap dan
kambing-kambing mereka. Penggunaan kuda sebagai alat transportasi untuk
melakukan eksplorasi di tengah kering kerontang daerah bagian barat dan tengah
benua sangat terbatas dan tidak layak. Onta sebagai alat transportasi dianggap lebih
cocok di daerah ini, maka atas saran Gubernur Gawler dari Australia Selatan, the
Colonial Commissioner di London membeli 6 onta di Tenerife, namun hanya tersisa 1
onta yang tetap hidup selama dalam perjalanan itu dan mendarat di Adelaide pada
bulan Oktober 1840.89
Daerah Melbourne yang kaya dengan emas di tahun 1850-an memiliki peran
sebagai pemimpin masa depan ekonomi Australia. Di tahun 1858, Komite Eksplorasi
Victoria meminta George Landells, yang secara teratur mengantar kuda-kuda
Australia ke India, membeli onta dan merekrut penunggang-penunggang onta pada
kunjungan mereka berikutnya. Ia membeli duapuluh-empat hewan dan menyewa tiga
penunggang onta, yaitu Samla, penganut agama Hindu dan dua orang Muslim
bernama Esan Khan dan Dost Mahomet. Mereka tiba tahun 1860 kemudian
ditempatkan di gedung Parlemen dan kedua hewan serta pengawal mereka
ditempatkan di kandang-kandang di tempat itu. Kehidupan mereka sangat menderita
karena tidak adanya perhatian dari kelompok ekspedisi. Akibatnya, Dost Mahomet
dan Esan Khan terpaksa menyembelih hewan persediaan ekspedisi agar tidak mati
kelaparan dengan cara halal seperti yang disyaratkan dalam al-Qur’an’.
Meskipun menderita sakit yang hebat akibat disentri, mereka tetap dengan
setia menjalankan lima kali shalat sehari dan bertahan dengan keimanan mereka
selama masa penantian di Menindie. Dost Mahomet digigit seekor onta dalam
perkemahan itu, lengannya hancur. Ia menjadi cacat seumur hidup pada usia

88
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 18.
89

duapuluh-tiga. Lepas dari tuntutannya pada Pemerintahan Victoria, ia dianugerahi


kompensasi sebesar 200 pounds, namun tak pernah melihat rumah atau kampung
halamannya lagi. Ia juga meminta pembayaran seperti yang dijanjikan semula. Ia
diberitahu bahwa ia dapat menerima jumlah bayaran yang sama seperti anggota tim
eksplorasi lainnya, sepuluh pounds tiap bulan. Namun janji ini tak dihormati. Ia dan
Esan Khan hanya dibayar tiga pounds tiap bulannya, kemudian naik jadi empat
pounds lima shillings tiap bulan setelah Landells berhenti dari kumpulan itu. Orangt-
orang Afghanistan bukan orang kulit putih dan bukan orang Kristen. Dost Mahomet
meninggal tak lama setelah penolakannya dan dikuburkan di Menindie.
Berbagai kelompok eksplorasi yang pergi ke pedalaman tergantung pada onta-
onta dan penunggang dari orang-orang Islam, namun saat itu kontribusi mereka tidak
dihargai sebagaimana mestinya. Sebaliknya, para pemimpin ekspedisi yang berkulit
putih menerima penghargaan dan kegagah- beranian mereka dicatat sejarawan kulit
putih. Ada sedikit penghormatan yang diberikan kepada seorang Muslim bernama
Kamran, yang saat itu bersama anggota ekspedisi bernama Gosse di bulan Juli 1873
menemukan batu karang besar di daerah Uluru, yang kemudian dinamakan Ayers
Rock, mengambil nama Gubernur Australis Selatan Sir Hendry Ayers. Atas
penemuannya itu, Goose memberi nama sebuah sumur di tempat itu dengan nama
‘Sumur Kamran’ dan ia merupakan orang non-kulti putih pertama yang dicatat dalam
dokumentasi sejarah Australia. Penghormatan lain diberikan kepada seorang Muslim
bernama Allanah dengan memberi nama ‘Bukit Allanah’ yang terletak 28 mil arah
tenggara Uluru.
Ekspedisi Giles tahun 1875-76 yang juga diikuti salah seorang Muslim
bernama Saleh, menyeberangi dataran Nullabor dan kemudian ke Perth dan kembali
lewat Geraldton ke Australia Selatan.Ia diberi kehormatan penamaan ‘Kolam Ikan
Saleh’ yang memakai namanya di dekat Bukit Gould pada jalur balik timur dari
Geraldton. Ia terkenal sangat taat melaksanakan shalat lima waktu sendirian. Karena
ketaatannya itu, ia sering disindir oleh anngota ekspedisi lainnya. Terkadang ia

89
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 52.
90

bertanya pada Giles, pemimpin ekspedisi, tentang arah timur, maka ia kemudian akan
menunjuk ke arah yang berlainan.
Ekspedisi-ekspedisi ini bukan hanya bersifat cerita kegagah beranian yang
jantan, namun mempunyai motif-motif ekonomi. Giles didukung oleh pengimpor
utama onta-onta bernama Thomas Elder dan di ekspedisi ini ia telah menyetujui untuk
meneliti sebuah negeri dekat Fowlers Bay sebagai calon hunian orang Inggris.
Ekspedisi yang diikuti Saleh beberapa tahun kemudian setelah 1886, meneliti
Perbatasan Territori Utara Queensland, membawa serta kelompoknya dengan harapan
bisa menemui kekayaan tambang yang baru.
Ekspedisi Horn tahun 1894 juga diikuti oleh beberapa orang penunggang onta
yang beragama Islam bernama Moosha Balooch dan Guzzie Balooch yang ingin
mencari bahan-bahan tambang di antara Macdonnell Ranges dan Oodnadatta sambil
mempelajari bahan-bahan biologi, botani, dan etnologi. Dua pengendara onta Muslim
terkenal lainnya, Bejah Dervish dan Said Ameer menemani Ekspedisi Calvert tahun
1896. Selama eksplorasi, dua dari anggota-anggota berkebangsaan Eropa tersesat dan
mati kelaparan. Kesediaan orang-orang Afghanistan untuk mencari mereka selama
berhari-hari dalam kondisi sulit dan tawaran dari pemilik onta Faiz Mahomet untuk
mengirim onta-onta dan orang-orangnya untuk mencari telah memberi kesan yang
baik tentang kepedulian mereka dalam pembentukan opini pada masyarakat Australia.
Larry Wells, pemimpin ekspedisi, menamai sebuah tengaran (landmark) di padang
pasir itu ‘Bukit Bejah’ dan memberinya sebuah kompas. Ia juga diberi julukan nama
‘Sang Setia’ (‘the Faithful’).
Abdul atau ‘Jack’ Dervish, putra Bejah, juga sangat menonjol ketika
mengikuti Ekspedisi Madigan menyeberangi Padang Pasir Simpson di tahun 1939. Ini
adalah eksplorasi besar terakhir ke pedalaman. Orang-orang Muslim Afghanistan
tinggal di aderah itu sejak tahun 1860. Orang Afghanistan kedua dalam ekspedisi ini,
Nurie Nur Mohamed Moosha, adalah putra dari Moosha Balooch yang menemani
Ekspedisi Horn selama lebih dari empat puluh tahun sebelumnya.
Namun sesuai dengan perjalanan waktu, keadaan pun ikut berubah, menjelang
tahun 1930-an kesadaran dan ketaatan keagamaan sudah mulai menyusut. Generasi
kedua pengendara onta telah memakan daging yang sama seperti orang-orang Eropa.
91

Keimanan Muslim telah mencair dan daging yang dibunuh secara halal tidak lagi jadi
persyaratan bagi orang-orang muda.90

Periode Ketiga: Tahun-Tahun Kemerosotan Muslim Australia 1900-1940


Mary Lucille Jones menyebutkan bahwa fajar abad baru menandai bermulanya
sebuah kemerosotan kaum Muslim di Australia. Hal ini berkaitan dengan
terbentuknya pemerintahan Commonwealth baru dan kemudian mengeluarkan
Kebijakan Kulit Putih Australia di tahun 1901. Pemerintah mengeluarkan undang-
undang naturalisasi (the Naturalisation Act) yang mengatur bahwai orang-orang non-
Eropa dikeluarkan dari hak memperoleh naturalisasi dan tidak diizinkan membawa
keluarga mereka ke negeri itu. Peraturan ini membawa akibat pada komunitas Islam
Australia.91 Karena kebijakan ini sangat rasis dan diskriminatif terhadap kelompok
masyarakat yang bukan kulti putih (berwarna).
Ditolaknya perolehan kewarganegaraan dan semakin mengecilnya kesempatan
kerja, membuat banyak orang-orang Muslim awal memilih untuk pulang ke negeri
asal mereka. Yang lain menetap dan membentuk sebuah kelompok tua dan cahaya
Islam terus berkedip berkat dedikasi individu-individu dan menciptakan sebuah masa
depan dan sebuah harapan untuk Islam di Australia.
Pada tanggal 13 Nopember 1905, sisa-sisa komunitas Muslim di Australia
Barat ingin membangun sebuah mesjid dan ingin membuat fondasi Mesjid di kota
Perth. Kebutuhan akan adanya sebuah tempat peribadatan yang cocok telah disadari
sejak tahun 1895, dengan cara memperoleh lahan di kota, seperti yang diperoleh
penganut agama lain bagi gereja dan sinagog mereka masing-masing. Namun
permintaan sarana ibadah dengan latar agama Islam ternyata ditolak pemerintah.
Pembangunan tempat shalat di Australia Barat disyaratkan harus sepenuhnya
diperoleh kesepakatan dari komunitas yang bertempat tinggal di area tersebut.
Bentuk intoleransi agama dan sikap rasialis di atas membentuk semacam sikap
diskriminatif terhadap kelompok Muslim. Di kota-kota pertambangan khususnya,

90
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 54.
91
Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 63.
92

diskriminasi sosial dan legal muncul bersamaan dengan kebijakan-kebijakan


keimigrasian yang ketat. Orang-orang India, Afghanistan, dan Turki terdorong datang
ke kota-kota dengan harapan mendapat pekerjaan. Orang-orang Muslim awal tampak
berbeda, hidup dalam gaya yang lain dan tidak dapat dimengerti dengan mudah.
Pengertian yang tidak memadai terhadap sistem peraturan Australia di pihak kaum
Muslim, ditambah lagi kesulitan bahasa, semakin memperkuat dinding pembatas yang
sudah ada.
Sejak awal tahun 1898, muncul opini di Parlemen Australia Barat yang
berargumentasi hendak mengeluarkan orang-orang Afghanistan dari ladang-ladang
emas atas dasar bahwa mereka ‘cenderung berkhianat’ (traitorously disposed).
Diberitakan bahwa orang-orang Muslim di Australia bekerjasama dengan Sultan
Turki untuk ber-jihad atau Perang Suci dan deklarasi pun telah dibuat. Pada waktu
yang sama di New South Wales, Organisasi Pegawai Tukang Potong Daging
Australia (the Australian Federated Butchers Employees’ Union) memperoleh
dukungan polisi untuk menentang orang-orang Muslim yang memotong daging di
lahan pribadi. Ini biasa dilakukan di perkemahan-perkemahan onta untuk meyakinkan
cara pemotongan hewan sesuai peraturan agama.
Pecahnya Perang Dunia I berakibat pada semakin kecilnya kesempatan
lapangan kerja dan bersamaan dengan itu muncul rasa nasionalisme dan jingoisme di
kalangan masyarakat kulti putih sehingga semakin memperburuk ketegangan rasial
dan agama. Pada hari tahun Baru 1915, dua orang laki-laki mengacungkan bendera
Turki menghadang sebuah kereta api piknik di Broken Hill yang menyebabkan empat
orang tewas. Serangan rasial berikutnya menyebabkan terjadinya pembakaran Club
orang-orang Jerman. Tuduhan tidak setia kelompok Muslim terhadap negara Australia
menyebar ke dalam masyarakat. Polisi mencegah perusakan yang dilakukan sebagian
masyarakat terhadap permukiman ‘Ghan’ (Afghanistan), dan didapatkan fakta bahwa
penunggang-penunggang onta ikut mendukung polisi ketika menahan dua penyerang.
92

92
Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 64.
93

Menjelang keesokan harinya pertambangan Broken Hill mengusir semua


karyawan atas dasar Undang-Undang Peringatan Perang Persemakmuran, karena
dianggap sebagai ‘musuh asing’ (enemy aliens). Insiden ini semakin bertolak
belakang. Atas anjuran Jaksa Agung Billy Hughes, semua ‘musuh asing’ di Australia
dibuang selama perang berlangsung. Keadaan khas dari insiden Broken Hill
cenderung diabaikan. Karena hanya perbuatan dua orang Muslim, Australia telah
‘menyatakan perang’ dengan cara yang menyakitkan dan putus asa.
Pada masa berakhirnya penutup abad ke-19, kaum Muslim telah tersingkirkan
ke Victoria, jauh dari pusat-pusat tambang dan dimusuhi. Pedagang kelililng adalah
cara lain untuk melanjutkan kehidupan d Australia, dan dengan sedikit uang serta
kemampuan bahasa Inggris merupakan bagian dari sedikit kesempatan kerja yang
terbuka untuk orang-orang Muslim. Sebagian besar dari mereka berasal dari India,
mengayuh barang-barang dagangan mereka di seantero daerah pedesaan, membawa
perlengkapan yang dibutuhkan dan barang-barang baru ke stasiun-stasiun yang
terisolir. Nama-nama seperti Gulap Deen, Amir Ali atau Mitta Bulosh dikenal baik di
daerah-daerah sekitar Dookie, Ballarat, Shepparton, Euroa, dan the Mallee.93 Cara
berjualan keliling ini, membuat kaum Muslim menyebar di seluruh kawasan Victoria
dan mayoritas dari mereka tetap teguh berpegang pada tradisi dan praktek-praktek
keagamaan. Selama bulan Ramadhan orang-orang ini berkumpul di Melbourne
selama satu bulan untuk berpuasa dan melakukan shalat serta merayakan Idul Fitri. Di
sana mereka bisa bertemu dengan keluarga-keluarga dan sebagian kecil dari mereka
telah menikah. Kaum wanitanya kebanyakan lahir di Australia yang beralih agama
mengikuti suami mereka. Mereka beserta keluarga menyewa pondok-pondok berteras
di daerah kota – di Carlton Utara atau Fitzroy – di sekitar toko pemotongan hewan
atau toko karpet India.
Bagi para penunggang onta Afghanistan, Idul Fitri adalah peristiwa istimewa.
Dengan menyewa kereta-kereta dari istal di Burton’s Livery di Jalan La Trobe, orang-
orang Muslim pergi ke taman-taman di belakang pondok kapal di seberang Jembatan
Prince. Setelah shalat, diedarkan buah-buahan dan manisan untuk semua orang,

93
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 36.
94

makanan kecil yang tampak aneh dan eksotik bagi orang yang lewat. Pada
kesempatan-kesempatan yang lebih khidmat anggota komunitas bertemu di rumah-
rumah masing-masing untuk shalat berjemaah. Usaha-usaha komunitas juga
menyangkut perolehan lahan di Kuburan Fawkner sebagai lahan kuburan. Sumbangan
dikumpulkan untuk membangun sebuah bangunan kecil di dekat lapangan untuk
tempat melakukan shalat jenazah.
Pada umumnya kaum laki-laki jarang berada di rumah. Kebanyakan tugas
mengajarkan tentang Islam dan nilai-nilainya untuk generasi selanjutnya diserahkan
pada kaum wanita. Harapan regenerasi melalui imigrasi Asia selanjutnya dihapus oleh
kebijakan migrasi diskriminatif Australia. Menjelang 1921 hanya ada kurang dari tiga
ribu warga penetap (resident) Muslim di Australia. Ketidak seimbangan perbandingan
menyeluruh antara wanita dan pria menyulitkan pemeliharaan identitas keislaman di
Australia. Mereka diasingkan baik secara keagamaan dan rasial dari masyarakat kulit
putih Anglo-Celtic yang dominan sehingga banyak dari generasi kedua ini memilih
tak beragama. Proses degradasi yang lambat ini berlangsung selama tiga puluh tahun
berikutnya.
Namun di tengah komunitas yang hampir mati ini ada kaum Muslim yang
melanjutkan komunitas Muslim dari sebuah gelombang kedua, yaitu kaum imigran
Albania yang bekerja sebagai pekerja kasar di Australia Barat, Queensland, dan
Victoria selama tahun 1920-an dan 1930-an. Mereka datang dengan yang lainnya dari
Eropa Tengah dan Selatan sebagai akibat sedikit terbukanya kebijakan resmi Australia
yang juga berkulit putih, tetapi beragama Islam. Meskipun jumlahnya kecil, kaum
Muslim ini menjadi penentu yang kelak datang setelah Perang Dunia I untuk mencari
kehidupan yang lebih baik di lahan yang baru serta membawa kebangkitan Islam di
Australia.
Semula Australia adalah tempat tujuan yang tak dikenal bagi orang-orang
Albania. Perjalanan dari Eropa memakan waktu empat puluh hari dengan kapal laut,
karena umumnya berupa kapal-kapal kargo yang berhenti di pelabuhan-pelabuhan
untuk mengambil dan menurunkan barang-barang kiriman. Pilihan orang-orang
Albania untuk meninggalkan tanah air mereka sebagian merupakan penolakan atas
kepasrahan pada nasib. Selama beberapa ratus tahun, orang-orang Albania telah
95

meninggalkan desa-desa mereka untuk bekerja di negeri-negeri tetangga. Mereka


ingin melarikan diri dari stagnasi ekonomi yang telah menghancurkan negeri mereka
sejak abad ke-15, ketika Albania jatuh ke tangan kekuasaan kekaisaran Usmani.94
Pekerjaan seperti itu sering berarti bahwa para lelaki harus meninggalkan
keluarga mereka selama ber-bulan-bulan. Para wanita secara tradisional tetap tinggal
untuk mengurus bagian-bagian kecil lahan yang tak cukup untuk menghidupi
sekalipun penduduknya berjumlah kecil. Imigrasi ke Australia berarti perpanjangan
cara hidup berpindah-pindah, tetapi jarak yang begitu jauh membuat migrasi ini tak
mungkin hanya bersifat sementara. Masa berpisah harus dihitung dalam bilangan
tahun, bahkan sering berarti seumur hidup seseorang.
Orang-orang Muslim Albania yang datang ke Australia pada tahun 1920-an
sebagian besar masih bujangan dan berjenis kelamin pria, kerap masih dalam usia
muda --delapan belas tahun, terkadang juga limabelas tahun. Dipenuhi semangat
berkelana dan harapan yang besar, mereka berupaya mencari uang yang cukup agar
bisa kembali ke Albania untuk membeli sepotong lahan pertanian dan mempersiapkan
masa depan. Karena sedikitnya pengetahuan tentang Australia, surat-surat ke rumah
dari sejumlah kecil pendatang awal menceritakan adanya kesempatan-kesempatan dan
memberi petunjuk sekedarnya. Benang-benang tipis pengetahuan ini membentuk
sebuah jaringan komunikasi yang vital dan kasat mata bagi para pendatang baru.
Imigrasi ke Australia dikuatkan ketika Perang Dunia I melahirkan persepsi
bahwa negara berpenduduk kecil ini membuka kesempatan sebuah invasi. Australia
menginginkan orang untuk datang dan bekerja di daerah-daerah pedesaan yang
kurang tenaga kerja. Betapapun, orang-orang Muslim yang datang belakangan,
bersama dengan kedatangan orang-orang non-Inggris lainnya, mendapatkan status
mereka tidak jelas. Mereka bukanlah jenis migran yang diharapkan.95
Mereka bukan sebagai keturunan Asia, karena itu mereka tidak terkena
kecaman-kecaman seperti yang dialami orang-orang Muslim sebelumnya oleh

94
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.59.

95
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 59.
96

‘kebijakan Australia putih’. Selama abad ke-20, betapapun, Pemerintahan


Persemakmuran memperkenalkan prosedur-prosedur yang membatasi masuknya
orang-orang Eropa ke Australia. Menjelang tahun 1928 suatu sistem quota
diberlakukan. Hambatan selanjutnya pada pemasukan orang non-Inggris, atau
‘imigran asing’, yaitu setiap orang diminta pada saat mereka datang memperlihatkan
sebuah surat jaminan tertulis dari seorang sponsor atau sejumlah empat puluh pounds
sebagai semacam jaminan tertulis sementara pekerjaan belum diperoleh.
Kebalikannya, para pemukim-pemukim Inggris yang masuk ke Australia lewat
Program Bantuan Pemasukan Kerajaan Inggris (the United Kingdpm Assisted Passage
Scheme), hanya diminta membayar tiga pounds.
Sistem yang diberlakukan mempunyai pembatasan yang paling keras adalah
‘tes dikte’. Pada tingkat yang lebih taktis bagi mereka, seperti Hekuran Emil, ketika
datang ke Australia merasa lebih baik mengadopsi nama versi Australia untuk
dirinya.96
Yang pertama dari imigran-imigran ini harus membawa pinjaman uang.
Tingkat suku bunga tinggi- dihitung dari satu bulan pada tingkat antara 6 dan 8
persen. Lepas dari kesukaran selama dua bulan perjalanan yang jauh, sangat penting
memiliki uang begitu mereka mendarat. Karena pekerjaan di ladang dan pertanian
membentuk ikatan dengan tanah tumpah darah para migran, mereka umumnya
mendapat pekerjaan di daerah-daerah pedesaan.
Kondisi di Australia, tidak sebaik tanah yang mereka tinggalkan. Sebagian
besar dari mereka mendarat di Fremantle di tahun 1925, di mana beberapa pekerjaan
diperoleh dalam industri gandum dan pembukaan lahan. Hal ini semakin menyulitkan
karena keterbatasan bahasa dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat,
meskipun Refik Sulejman, salah seorang dari kelompok pemula berhasil menguasai
bahasa isyarat dan mendapat pekerjaan di perkebunan.
Sebagaimana migran lainnya yang hidup jauh dari tanah air mereka, sedikit
dari orang-orang Albania yang pendiam sedikit demi sedikit mulai membangun
sebuah kehidupan. Penghasilan mereka bisa membiayai migrasi Albania selanjutnya.

96
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.46.
97

Pada umumnya kaum imigran ini berasal dari kota-kota dan desa- desa kecil. Mereka
pada umumnya bertalian darah – saudara laki-laki dan sepupu laki-laki. Yang lainnya
berasal dari desa yang sama. Di antara yang pertama kali tiba kelompok migran ini
adalah anggota-anggota dari keluarga Ahmet, Sali dan Sherif, Hekuran Emin, Kamber
Jafer, Selim Shaloli, Estrif Shemshed Sulejman, dan Demir Rustem. Mereka datang
pertama kalinya di Australia Barat dan memilih bekerja di Queensland memotong
tebu, memetik kapas dan bekerja di ladang-ladang tembakau di sekitar Cairns,
Mareeba, dan di pinggir kota Brisbane. Pekerjaan itu banyak menimbulkan
penderitaan di tubuh, seperti cidera tulang belakang. Serikat Organisasi dalam hal ini
tidak begitu memperhatikan penderitaan yang dialami tenaga kerja Muslim hingga
saat pabrik gula merosot selama era Depresi,
Bagi para imigran, penindasan atas keberadaan mereka selama bertahun-tahun
pada umumnya tak terhindarkan. Sebagian dari mereka saat itu meninggalkan cerita
yang panjang. Cerita-cerita tentang udara panas dan debu di perkebunan, kerja tujuh
hari seminggu, ‘sedih dan kesepian dan bercucuran air mata’ adalah bagian dari
penderitaan mereka. Tak ada mesin, sedang penghasilan untuk kerja seharian sangat
minimal. Pekerjaan pun jarang dan orang-orang Albania terpaksa menerima tawaran
bekerja apa saja dari pagi hingga malam hanya untuk memperoleh upah delapan
shilling sehari.
Tanpa uang lebih, kondisi kehidupan hanya sebatas memenuhi kebutuhan
dasar. Gubuk-gubuk didirikan dari bahan apa saja yang ada dan biasanya dari tiang-
tiang kayu dan keranjang-keranjang hessian. Bahkan sebuah gubuk tua telah cukup.
Pengalaman-pengalaman ini menjadi bagian kenangan kolektif bagi kelompok ini.
Betapapun, sejarah sebuah migrasi dan pengalaman hidup telah tertanam selama
berabad-abad menyaksikan survival mereka.97
Hekuran Emin mengingat betapa ia bertahan selama periode depresi yang
membuatnya semakin yakin dari sebelumnya untuk tetap bertahan pada pekerjaannya
dan pergi ke sebuah tanah pertanian kecil miliknya. Ia menabung dengan susah payah
dan mengenang perasaannya yang bak seorang raja ketika ia memasukkan tujuh belas
dollar dan enam pence ke bank. Namun apa yang menjadi pusat kesuksesan bagi

97
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.59.
98

orang Albania terletak pada kenyataan bahwa industri tempat mereka bekerja
merupakan hal yang vital bagi ekonomi negeri ini dan insentif untuk mendorong
pekerja masuk ke industri-industri dan hadiah lahan ditawarkan pada mereka yang
siap mengerjakan tanah pertanian dengan cara bagi hasil. Orang Albania juga
bergabung dengan konsentrasi pekerja Italia yang lebih besar jumlahnya di
Queensland untuk mengambil kesempatan yang ditawarkan berupa lahan bebas.
Kesempatan selanjutnya muncul di Victoria. Pekerjaan didapati sebagian di
daerah-daerah perkebunan di sekitar Shepparton. Yang pertama dari orang-orang
Muslim yang datang ke area ini di pertengahan tahun 1920-an. Kemudian ke distrik
Queensland terus masuk ke distrik-distrik lainnya. Sekali lagi cara hidup yang
kooperatif yang menjadi wujud lahan rumah mereka memungkinkan banyak dari
mereka membeli properti dan membangun usaha yang menguntungkan sebagai
pengelola kebun dan ahli taman.
Menjelang pecahnya Perang Dunia II, hanya 10 persen dari mereka yang
menaturalisasikan diri, sedangkan sebagian besar masuk Kristen. Meskipun tenaga
kerja menjadi tulang punggung bagi kesuksesan, kehidupan kekeluargaan dilihat
sebagai bagian kehidupan menetap di Australia. Ymer bersaudara di tahun 1938
pulang ke kampung halamannya untuk menikah, sedang yang lain mengambil alih
tanggung jawab mengurus 300 acre lahan pertanian di Queensland selama
kepergiannya..
Berkumpul kembalinya sebuah keluarga atau mencari isteri ke Albania,
betatapun penuh dengan frustrasi, pejabat-pejabat imigrasi Australia meyakinkan
bahwa keberadaan sponsor yang memadai bisa diperoleh dan juga uang yang diminta
sebagai pas masuk. Adapun mereka yang tetap tinggal, banyak yang memilih untuk
menikahi wanita Australia.
Anak-anak pergi ke sekolah dasar lokal, berbaur denga anak-anak
berkebangsaan lain – Yunani, Italia, Australia dan Jerman sehingga merefleksikan
karakter yang kosmopolitan pada lokalitas di mana mereka tinggal. Banyak di antara
mereka yang pulang lebih cepat, kerap mengecewakan guru-guru mereka, tetapi
tenaga kerja diperlukan bagi kehidupan keluarga. Hal ini berlaku terutama pada para
99

gadis-gadis dan banyak dari mereka tetap bersekolah hanya selama hukum
memungkinkan.
Kedatangan para isteri dan sanak saudara memberi arti perubahan dalam pola
hidup. Rumah dan keluarga menjadi bagian kehidupan kaum laki-laki dan rutinitas
keseharian. Karena tak ada organisasi sosial atau keagamaan yang resmi, adat dan
tradisi tidak dijaga ketat di dalam keluarga dan terkadang perayaan-perayaan
peristiwa keagamaan – hanya membawa potongan kecil dunia Muslim ke pedesaan
Australia.
Tahun-tahun peperangan menyaksikan imigrasi mengarah ke titik beku.
Orang-orang Albania yang negaranya di aneksasi oleh Italia sebagai anggota kekuatan
Poros, termasuk di antara mereka yang diasingkan sebagai musuh asing (enemy
alien). Dalam retrospeksi ini merupakan pernyataan bahwa prosedur ini telah
melakukan diskriminasi. Di antara orang Albania yang diasingkan di perkemahan
pengintipan di Monte di Queensland, masih anak-anak, berusia sekitar enambelas
tahunan bersama beberapa perorangan yang telah di naturalisasikan. Penerbitan The
Aliens Tribunal di tahun 1940 menjadi semacam pengakuan resmi pada keberadaan
tempat pengasingan itu. Hal ini tetap berlangsung terus sampai periode pasca perang
yang membawa sejumlah besar kaum Muslim penetap ke Australia.98

Periode Keempat: Membangun Basis Sebuah Populasi


Fase berikutnya merupakan masa bulan madu bagi kaum muslim. Hal ini
diawali dengan persoalan internal dan eksternal masyarakat Australia itu sendiri yang
terjadi sebelum dan setelah perang Dunia II. Secara internal, pertumbuhan jumlah
populasi Australia sangatlah lambat (9 juta jiwa), sedangkan pertumbuhan ekonomi
meningkat dengan cukup signifikan sehingga memerlukan tenaga kerja baru yang
harus diimpor dari luar negeri. Secara eksternal, Australia menghadapi sikap
permusuhan dari invasi tentara Jepang ke Asia Tenggara yang telah menduduki Papua
Nugini dan sempat memborbardir pertahanan Australia di Darwin serta munculnya
negara-negara baru kawasan Asia, yang sebagian merupakan tetangganya, seperti

98
Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An
Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 86.
100

Indonesia, Malaysia, Singapura, Pakistan, dan India. Kedua situasi yang tak
menguntungkan ini, pemerintah Australia segera mempercepat pertambahan populasi
dalam kerangka pertahanan nasional jangka panjang dengan cara memperlunak
seleksi kriteria imigrasi kedatangan para migran dan refugee, sekaligus dapat
memperkuat proses industrialisasi yang sedang berlangsung.
Menurut Gary D. Bouma, sampai tahun 1947 kaum immigran Muslim terdiri
dari para pelajar, profesional, pemimpin bisnis dan tokoh pemerintahan yang terbawa
karir mereka ke Australia atas dasar berbagai alasan. Baru pada akhir tahun 1960-an,
dengan diperbaharuinya kebijakan immigrasi Australia diteruskan dengan pecahnya
perang saudara di Libanon, mulai datang immigran Muslim dalam jumlah yang cukup
besar. Kelompok terbesar imigran Muslim datang dari Turki (14.5 persen) atau
Libanon (17..4 persen). Immigrasi Muslim Libanon dapat dibagi dalam dua periode
pra 1975 (tahun pecahnya perang saudara Libanon) dan paska 1975. Yang terdahulu
ditandai dengan rantai imigrasi keluarga-keluarga Sunni-Muslim’. Setelah tahun 1975
muncul gelombang immigrasi Muslim Libanon, terdiri dari keluarga-keluarga Shi’ite
dan Sunni. Keluarga adalah satuan dasar immigrasi. Gelombang terbesar adalah
immigrasi orang-orang Turki yang dimulai akhir tahun 1960an dan berlanjut ke tahun
1980an dan meliputi sejumlah orang dewasa dalam usia kerja dalam proporsi tinggi.
Orang-orang Muslim Turki dari kedua jenis kelamin dipekerjakan terutama dalam
pekerjaan-pekerjaan pemropsesan.99
Fase terakhir ini bisa disebut sebagai pembentukan basis komunitas muslim di
tengah masyarakat Australia, khususnya sejak tahun 1960-an sampai 1970-an. Secara
umum masyarakat Islam Australia adalah masyarakat perkotaan (urban), seperti
terlihat dalam sensus Australia (1996), mayoritas muslim (50%) menetap di Sydney
dan Melbourne (32%) serta sebagian kecil lainnya tersebar di kota-kota utama
lainnya. Basis komunitas muslim dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok
yang berbasiskan pada etnisitas. Pada umumnya etnis Turki merupakan jumlah
terbanyak yang bertempat tinggal di Sydney, diikuti etnis Libanon, dan Banglades.
Etnis Indonesia juga termasuk yang paling banyak mendiami kota ini. Begitu pula, di

99
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 22.
101

negara bagian Victoria, banyak didiami etnis Turki dan Albania. Dan pada umumnya
mereka menganut paham Sunni dan Syi’ah, sebagian kecil aliran Ismailiah, dan
Ahmadiah baik Lahore maupun Qadyan. Kedua, berbasiskan pada lokalitas (tempat
tinggal). Banyak masyarakat muslim yang menempati suatu tempat sehingga cukup
untuk membentuk suatu komunitas, seperti daerah Preston di Melbourne dan daerah
Lakemba di Sydney.
Sayangnya kesatuan komunitas muslim yang sudah terbentuk belum berfungsi
menyatukan berbagai komunitas etnis Islam, namun terfragmentasi dalam berbagai
etnis. Faktor kesetiaan etnis masih tetap dipelihara sehingga interaksi sosial di antara
mereka sangat terbatas. Etnis Turki, Libanon, dan Albania sangat menonjol bagaikan
sebuah festival lansekap Islam Australia, yang masih berjalan sendiri-sendiri.
Mungkin dapat dimengerti, fragmentasi etnis muslim ini merupakan sebuah
konsekuensi yang tidak dapat terelakkan bagi psikologi masyarakat yang menempati
‘rumah baru’ yang masih asing.
Pola kedatangan immigran dalam jumlah kecil sebelum Perang Dunia kedua,
beberapa diantara tahun 1947 dan pertengahan tahun 1960-an, dengan penambahan
jumlah mendasar sejak saat itu hingga 1991, menjadi karakteristik hampir semua
kebangsaan orang Muslim di Ausrtralia. Di antara orang Muslim yang dipekerjakan
hanya 18 persen yang telah tiba di Australia sebelum tahun 1971. Tabel 1
memperlihatkan tahun-tahun kedatangan orang Muslim yang dipekerjakan sehingga
terefleksi dalam pola ini.

Tabel 1: Karakteristik Muslim di Australia pada Census tahun 1991 (khusus


yang dipekerjakan saja), berdasarkan tahun kedatangan.
102

Muslim yg Prosentase
bekerja
Tahun kedatangan
Sebelum 1971 18.54
1971-75 19.29
1976-80 14.35
1981-86 13.10
1988-89 11.34
1990-91 3.74
Tidak terdapat (not applicable) 10.58
Tidak dinyatakan 2.09
Sumber: matrix table sensus 1991 CSC 6033 (di luar pengunjung luar negeri)

B. Negara-negara Asal Muslim Australia


Menurut sensus 1986, sekitar dua pertiga orang Muslim lahir di luar negeri.
Salah satu realisasi paling penting yang dapat ditarik dari sini adalah bahwa satu
pertiga dari orang Muslim Australia lahir di Australia. Prosentase orang Muslim yang
lahir di luar negeri lebih sedikit dari orang-orang Hindu (72 persen) dan Buddhis (85
persen), tapi lebih besar dari orang Yahudi (51 persen), Katholik (25 persen) dan
Uniting (7 persen). Lebih sedikit dari 10 persen orang Muslim lahir di Australia
berasal dari orang tua yang lahir di Australia atau di Inggris. Kelompok besar orang
Muslim di Australia datang dari Turki, Libanon, Yugoslavia (paling akhir dari tempat-
tempat bekas negara Yugoslaviaseperti Bosnia, Makedonia dan Kosovo) serta
Siprus, lebih dari 50 persen lahir di tempat-tempat ini. Tak ada negeri lain yang
merupakan tempat asal orang Muslim Australia lebih dari 5 persen. Kelompok
Muslim lainnya yang lebih dari 1 persen adalah Malaysia, Indonesia, Mesir dan
Fiji..100

100
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, Australian h. 23. Lihat juga ABS
1991.
103

Sensus tahun 1991 memberi informasi rinci tentang negeri asal penduduk
Muslim Australia. Orang-orang ditanya tentang negeri asal lahir mereka. Jawaban dari
orang yang lahir di negeri yang bukan menjadi tujuan tempat tinggal mereka memberi
indikasi jelas tentang keragaman etnis Muslim di Australia.
Penetap Muslim di Australia tercatat lebih dari 67 negeri yang berbeda sebagai
negeri tempat lahir. Hal ini menunjukkan mereka sebagai kelompok etnis agama yang
paling tersebar di Australia. Seperti halnya dua kelompok terbesar, terdiri dari hampir
satu pertiga dari keseluruhan, lahir di Libanon (17.4 persen) atau Turki (15.5 persen).
Kelompok terbesar Muslim adalah kelahiran Australia (35%). Persentase ini akan
terus bertambah dengan semakin besarnya jumlah orang Muslim di masa depan lebih
karena kelahiran daripada karena faktor imigrasi. Lapisan selanjutnya negeri asal,
terdiri dari 24.1 persen Muslim Australia, termasuk mereka yang dicatat sebesar 1
persen atau lebih. Yugoslavia (3.5 persen), Indonesia (3.3 persen), Asia selatan
Lainnya (2.8 persen), Siprus (2.5 persen),Iran (2.4 persen), Pakistan (2.3 persen), Fiji
(2.2 persen), Mesir (1.6 persen), Malaysia (1.4 persen), Afrika Utara Lainnya dan
Timur Tengah (1.1 persen), Syria (1.0 persen). Sisanya yang 8 persen terdiri dari lebih
53 negara.
Tabel 2: Karakteristik Muslim di Australia menurut Sensus 1991 berdasar
tempat lahir

Tempat lahir Orang Persentasi


Australia 51.321 35.007
Oseania
Pulau Chrismas 464
Kokos/Pulau2 Keeling 372
Selandia Baru 211
Papua New Guinea 33
Fiji 3.253
Oseania lain/Antartika 33
Total.............................................. 4.155 2.834
104

Eropa
Inggris 759 0.518
Irlandia 21 0.014
Siprus 3.669 2.503
Yunani 415 0.283
Italia 66 0.045
Malta 15 0.010
Portugal 12 0.008
Spanyol 12 0.008
Yugoslavia 5.160 3.519
Austria 60 0.041
Perancis 27 0.018
Jerman 227 0.155
Belanda 49 0.033
Cekoslowakia 12 0.008
Hongaria 6 0.004
Polandia 18 0.012
Rumania 33 0.023
Eropa lain 801 0.546
Uni Sovyet lain 75 0.051
Latvia 3 0.002
Ukraina 6 0.004
Jumlah ........................................ 11.446 7.808

Timur Tengah
Jalur Gaza 12 0.008
Iran 3.514 2.397
Irak 285 0.194
Israel 82 0.056
Jordania 449 0.306
Libanon 25.507 17.399
105

Siria 1.498 1.022


Turki 21.306 14.533
West Bank 18 0.012
Mesir 2.329 1.589
Timur Tengah lain & Afrika Utara 1.662 1.134
Jumlah .............................. 56.662 38.651

Asia Tenggara
Kamboja 9 0.006
Indonesia 4.782 3.262
Laos 9 0.006
Malaysia 2.051 1.399
Birma 157 0.107
Filipina 72 0.049
Singapur 1.118 0.763
Vietnam 120 0.082
Asia Tenggara lain
Cina (bukan Taiwan) 234 0.159
Hong Kong 86 0.059
Jepang 36 0.025
Korea 10 0.007
Makau 3 0.002
Taiwan 3 0.002
India 1.180 0.805
Pakistan 3.339 2.278
Srilangka 555 0.379
Asia Tenggara lain 4.055 2.766
Jumlah ..................................... 9.501 6.481

Amerika
106

Kanada 69 0.047
Amerika Serikat 128 0.087
Argentina 15 0.010
Cili 9 0.006
Amerika & Karibia lain 61 0.042
Jumlah ................................ 282 0.192

Afrika (bukan Afrika Utara)


Mauritius 107 0.073
Afrika selatan 1.376 0.939
Zimbabwe 87 0.059
Afrika lain (bukan Afrika Utara) 1.364 0.930
Jumlah ........................................ 2.934 2.001

Respons lain 134 0.091


Tidak menyatakan 1.355 0.924
Jumlah ........................................ 146.600

Sumber: Matriks Tabel Sensus CSC6015 (di luar pengunjung luar negeri)

Latar belakang imigran Muslim sangat beragam, kedatangan mereka relatif


baru dan jumlah mereka relatif besar di antara kelompok-kelompok immigran yang
baru tiba.

Bahasa
Seperti yang bisa diduga dari begitu bervariasinya etnik-etnik kelompok,
berbagai jenis bahasa dipakai di rumah-rumah orang Muslim Australia. Tabel 3
107

memperlihatkan urutan bahasa yang dipakai dengan perbandingan jumlah penduduk


Australia.
Tabel 3: Karakteristik Muslim di Australia berdasarkan Sensus 1991 menurut
bahasa yg dipakai di rumah-rumah (%)

Bahasa yg dipakai di rumah Muslim Penduduk


Australia
Hanya bahasa Inggris 7.72 82.6
Bahasa Aborigin - 0,3
Bahasa Arab termasuk Libanon 38.42 0.9
Bahasa Cina 0.18 1.6
0.32 0.4
Kroasia 0.03 0.3
Belanda 0.04 -
Bahasa Filipina 0.06 -
Bahasa Fiji 0.21 0.3
Bahasa Perancis 0.18 0.7
Bahasa Jerman 0.22 1.8
Bahasa Yunani 1.76 -
Bahasa Hindi 6.59 -
Bahasa Indonesia/Melayu 0.16 2.6
Bahasa Italia 0.26 0.4
Bahasa Makedonia - 0.3
Bahasa Malta - 0.4
Bahasa Polandia 0.08 -
Bahasa Rusia 0.57 0.1
Bahasa Serbia 0.04 0.6
Bahasa Spanyol 0.10 -
Bahasa Tamil 25.34 0.2
Bahasa Turki 2.68 -
Bahasa Urdu 0.09 0.7
108

Bahasa Vietnam 1.45 0.3


Bahasa Yugoslavia & Serbo-Kroasia 12.52 3.1
Bahasa lainnya 0.91 2.4
Tidak menyatakan

 Menandakan jumlah yg terlalu sedikit untuk bisa dihitung secara terpisah dan
dimasukkan dalam ‘lainnya’.
 Termasuk ‘bahasa lain yg diinikasikan tapi tidak dinyatakan’ dan ‘kurang
bisa di catat’.
Sumber: Matriks tabel sensus tahun 1991 CSC6015 dan profil komunitas dasar,
Katalog ABS No. 2722.0 tabel B11.

Dampak Imigrasi Orang Muslim


Ada dua dampak yang nyata dari imigrasi Muslim ke Australia, yaitu suatu
perubahan dalam mosaik komposisi kagamaan Australia dan berdirinya sebuah
komunitas Muslim yang signifikan lengkap dengan struktur sosial dan budayanya. 101
Dampaknya pada komposisi keagamaan di Australia ditelaah berdasarkan hasil
Sensus tahun 1991 dan dijabarkan lebih lanjut dalam sebuah profil komunitas Muslim
secara khusus pada bab berikutnya.
Sebagai hasil imigrasi paska perang, khususnya dalam hal imigrasi Muslim,
mosaik keagamaan di Australia berubah untuk selamanya. Menurut Biro Statistik
Australia, jumlah orang yang dicatat beragama non-Kristen bertambah mendekati
187,000 (150 persen) antara tahun 1976 dan 1986. Tujuh puluh persen dari kenaikan
ini berasal dari imigrasi. Selama waktu ini lebih dari 36,000 orang Muslim datang ke

101
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 10.
109

Australia. Tabel 4 menunjukkan perubahan proporsi relatif antara kelompok beragama


kristedn dan non-Kristen di Australia. Perubahan-perubahan ini memperlihatkan
dampak imigrasi.
Tabel 4: Kelompok-kelompok Kristen dan Non-Kristen
di Australia, 1911-91 (%)
Kelompok agama 1911 1933 1947 1966 1976 1986 1991
Kristen 98.5 86.4 88.0 88.2 73.0 73.0 74.0
Non kristen 1.0 0.5 0.7 0.7 2.0 2.0 2.6
Tidak menyatakan 0.5 13.1 10.3 12.2 12.3 12.3 10.2
Tidak beragama - - 0.8 8.3 12.7 12.7 12.9

Sumber: laporan sensus ABS


Secara demografis Australia adalah negara Kristen. Tujuh-puluh empat persen
penduduknya menganut berbagai aliran agama Kristen. Selalu ada 10-12 persen yang
tidak memberi jawaban (sebelum 1933 dikenakan denda bila tak menjawab
pertanyaan tentang agama). Ketika diberi izin untuk menyatakan bahwa seorang tak
punya agama sejumlah proporsi penduduk muncul. Orang-orang ini umumnya muncul
dari kalangan kategori beragama Kristen dan sebagian besar dari Kristen Anglikan
(Gereja Inggris). Kelompok-kelompok non Kristen menurun dari tahun 1911 sampai
1933, barangkali bersamaan dengan menurunnya populasi orang Cina, kemudian naik
lagi secara signifikan dari tahun 1966 hingga sekarang.
Di tahun 1947 orang yang non Kristen termasuk kurang dari 0.5 persen dari
penduduk Australia. Sensus tahun 1947 melaporkan adanya 411 orang beragama
Buddha, 32,019 Yahudi, dan 4,132 beragama ‘bukan non-Kristen’. Tak ada jumlah
Muslim yang dilaporkan. Perubahan satu-satunya menjelang tahun 1966 adalah
meningkatnya orang beragama Yahudi menjadi 63,275 dan 13,647 untuk ‘bukan non-
Kristen’. Sensus tahun 1971 adalah sensus pertama yang menunjukkan jumlah besar
orang Muslim yang dilaporkan secara terpisah. Banyak yang meragukan akurasitas
sensus ini di kalangan kelompok agama minoritas dan juga di kalangan kelompok
minoritas lain. Tak diragukan bahwa jumlah kaum Muslim diabaikan dalam sensus
itu. Hal Ini sebagian disebabkan oleh kurang memadainya formulir sensus dan
110

prosedur-prosedur lainnya, sebagian lagi disebabkan oleh kesulitan bahasa bagi orang
yang bukan berbahasa Inggris, dan sebagian lagi pada ketidak tahuan orang tentang
bagaimana cara menjawab pertanyaan tentang agama yang dianut. Bagaimanapun,
sensus itu tetap menjadi alat terbaik untuk membandingkan besaran relatif berbagai
kelompok dalam sebuah masyarakat. Tanpa sensus itu akan sama halnya dengan
negara lain seperti Amerika serikat atau Inggris tak ada perkiraan yang bisa dipercaya
mengenai ukuran relatif kelompok-kelompom agama. Menurut hasil sensus tahun
1971, ada 22311 orang Muslim di Australia yang besarnya 0.2 persen dari seluruh
jumlah penduduk. Tabel 4.5 memperlihatkan rincian pola pertumbuhan di kalangan
kelompok non-Kristen sejak tahun 1971.
Naiknya jumlah pertumbuhan penduduk Muslim sangat meyakinkan. Faktor
pendorong pertambahan ini adalah imigrasi. Faktor lain disebabkan oleh tingkat
perkawinan dan kesuburan yang tinggi orang-orang Muslim di Australia.102 Hampir
semua wanita Muslim telah menikah di awal usia duapuluhan dan banyak yang
mempunyai keluarga besar. Hanya relatif kecil pertumbuhan yang disebabkan
pergantian agama dari kelompok lain.
C. Interaksi Komunitas Muslim dengan Masyarakat Australia
1. Masalah dan Isu Minoritas Muslim Australia
Sejak kehadiran kelompok Muslim di Australia dulu dan sekarang tidak
terlepaskan dari berbagai himpitan masalah dan isi-isu.103 Di antara masalah-masalah
itu, yaitu:
a. Hambatan Sosial, Budaya dan Bahasa
Kaum Muslim yang datang ke Australia membawa beragam kekayaan budaya
dan latar belakang ke dalam masyarakat yang masih baru dan asing bagi mereka.
Banyak di antara mereka merasa tercerabut dan mengalami trauma ketika mendapati
diri mereka sebagai sebuah minoritas agama berada dalam situasi yang tidak dikenal
dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang tidak
pernah mereka kenal. Pada mulanya, tidak ada negara atau komunitas lokal yang mau

102
Pengolahan data berdasarkan ABS 1991.
103
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
h. 36-45.
111

memberi dukungan, apalagi menawarkan pengakuan pada keyakinan mereka atau


pada praktek-praktek keagamaan yang mengidentifikasikan mereka sebagai sebuah
komunitas. Namun, sebagai pendatang baru, mereka merasa dihitung kecil dan
menghadapi sikap-sikap yang masih bersifat streotip yang mengandung kebencian.
Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakan
respon yang biasa terjadi pada saat tiba di sebuah daerah di mana cara hidup lokal
kelihatan begitu membosankan, kosong, ikatan kekeluargaaan lemah dan tak
berkembang.
Hambatan tersebut di atas berkaitan erat dengan latar belakang pengalaman
hidup dan pendidikan mereka di negara asal. Pendidikan mereka di masa lalu telah
menanamkan sebuah kesetiaan buta atau fanatisme pada agama mereka (Islam)
sehingga membatasi kemampuan mereka untuk memahami Islam dalam perspektif
yang lebih luas dan visi mereka tentang masa depan serta komunitas Islam yang
kohesif di Australia. Mereka tidak dibekali dengan kemampuan bahasa Inggris yang
memadai atau pengetahuan yang luas tentang kepercayaan mereka untuk mampu
menjelaskannya pada anak keturunan mereka yang tumbuh di tengah lingkungan yang
berbeda dari ayah-ayah mereka.
Namun pada perkembangan terakhiri, hambatan bahasa semikin berkurang,
khususnya di kalangan generasi kedua dan ketiga yang lahir di Australia. karena
interaksi dan pendidikan mereka yang intensif dan formal di tengah masyarakat
Australia. Tidak demikian halnya, bagi pendatang baru yang pada umumnya lahir di
negara asal, tampak masih lemah dalam berbahasa Inggris dan kurang berinterkasi
dengan penduduk setempat.

b. Kurangnya Jumlah Pemeluk


Jumlah yang kian mengecil dari kaum Muslim pada suatu tahap dalam sejarah
Islam di Australia juga menampilkan sebuah masalah pada para orang tua Muslim
ketika akan menetapkan agama bagi anak keturunan mereka. Kasus Jalal Deen
menjadi sebuah kasus ilustratif, ia menjadi sumber informasi penting tentang keadaan
kaum Muslim yang pertama datang. Sebagai seorang Muslim yang taat dan rajin
beribadah, Jalal Deen memberi pilihan pada putera satu-satunya untuk menjalankan
112

ibadah Kristen. Ia dan isterinya yang kelahiran Inggris mengambil keputusan ini
karena mereka tidak ingin putera mereka tumbuh di tengah agama yang tengah
sekarat di Australia. Mereka melihat Islam sebagai faktor pengisolasi dari komunitas
yang lebih besar bagi putera mereka.104

c. Pembangunan Mesjid
Orang Muslim keturunan Afganistan merupakan perintis dalam pembangunan
mesjid di Australia. Perhatian pertama mereka adalah bagaimana memperoleh sebuah
tempat untuk menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya seperti halnya
pada kelompok lain di Australia. Dari buku karangan Musa Khan diketahui bahwa
dari tahun 1895 komunitas Muslim di Perth, membutuhkan perlunya sebuah tempat
yang cocok untuk beribadah, mulai mencari lahan di kota Perth dari Pemerintah.
Upaya ini tidak berhasil. Komunitas itu kemudian merubah kegiatan mereka dan
mencari dana dari anggota-anggotanya. Di tahun 1901, sejumlah dana mesjid
terkumpul sehingga memungkinkan mereka untuk membeli sebidang tanah di pinggir
kota Perth. Penyelesaian mesjid di tahun 1905 menimbulkan sebuah masalah yang
lain lagi. Sebuah keretakan serius terjadi antara keturunan Afghanistan dan India
selama masa pengelolaan mesjid Perth. Kedua kelompok mengklaim hak mereka atas
berbagai dasar dengan tidak mengindahkan kenyataan bahwa tujuan keagamaan
bersama mereka sebenarnya sudah tercapai.

d. Diskriminasi
Meskipun multikuturalisme sudah menjadi kebijakan negara untuk seluruh
masyarakat Australia, namun dalam kenyataan sehari-hari masih ditemui praktek-
praktek diskriminatif. Hal ini berkaitan dengan kurang komunikasi dan miskonsepsi
antara warga masyarakat dan para penddatang. Sebagai contoh adalah masalah izin
bagi sebuah proyek mesjid senilai dua juta dollar di Keysborough, Melbourne, yang
diurus oleh masyarakat Islam Turki. Izin itu tidak dipenuhi karena alasan-alasan
menganggu lingkungan masyarakat setempat yang berbeda dengan kelompok Islam.

104
Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, h. 25.
113

Contoh-contoh prasangka terhadap Islam dan kaum Muslim juga banyak


ditemui dalam berbagai media cetak dan elektronik. Peranan media sangat dominan di
dalam memberikan citra negatif terhadap opini publik baik menyangkut masalah
dalam negeri maupun luar negeri.

e. Kurangnya Jumlah Imam


Keterbatasan finansial juga menjadi faktor penting yang membatasi kegiatan
komunitas Muslim di Australa dalam upaya mencapai tujuan mereka. Peran Imam di
sini tidak hanya sebagai pemimpin shalat. Ia bisa memberikan pendidikan Islam dan
memberi bimbingan, menghubungi antar kelompok dan membantu mereka
memecahkan masalah perbedaan-perbedaan agar bersatu dan menampakkan
kepercayaan dengan baik pada masyarakat tuan rumah. Pemimpin agama pada
komunitas Muslim berasal dari para Imam yang telah merupakan kebiasaan sejak
kedatangan umat Islam ke negara ini. Kekurangan jumlah Imam yang terlatih akan
menyebabkan kemunduran dalam komunitas Muslim Australia.105 Demikian pula
pemimpin-pemimpin agama yang di ‘impor’ dari masing-masing daerah asal etnik,
pada umumnya belum mengenal lingkungan mereka yang baru. Akibatnya terjadi
kesenjangan informasi dan dakwah yang ingin mereka sampaikan.

f. Status Ekonomi
Wacana tentang status ekonomi kaum Muslim di Australia adalah sangat
mendasar. Tidak ada data yang spesifik untuk menggambarkan kegiatan ekonomi
kaum Muslim di negeri ini. Namun demikian, seperti diindikasikan oleh Hussein,
beberapa informasi tak langsung bisa diperoleh dari hasil studi Pemerintah yang baru-
baru ini diterbitkan mengenai penduduk atas dasar asal negeri para pekerja. Ia
mengkonfirmasikan bahwa ‘sebagian besar tenaga kerja Muslim di New South Wales
dan Victoria bekerja menjadi ‘buruh pabrik’ (factory work). Selanjutnya, sebagai
konsekuensi menurunnya manufaktur industri, kaum Muslim ini juga menghadapi
kenyataan besarnya jumlah pengangguran secara relatif.

105
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
114

Satu dari faktor-faktor utama di atas adalah masalah kompetensi dalam


berbahasa Inggris. Latar belakang ekonomi kaum Muslim memberi pengaruh besar
pada sikap mereka terhadap pendidikan dan Islam.

g. Etnisitas
Masalah-masalah yang timbul dari aspek etnisitas kaum Muslim muncul di
tengah keberadaan dua kelompok Muslim di Australia seperti digambarkan dalam
kasus mesjid Perth. Perbedaan-perbedaan berasal dari etnisitas di antara kaum Muslim
merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi Muslim di Australia.106
Keanekaan etnik di dalam komunitas Islam di Australia tidak menjadikan mereka
menjadi sebuah komunitas yang homogen dan kuat. Perbedaan-perbedaan bahasa
menambah keanekaan dan membatasi cakupan interaksi sosial di antara kaum
Muslim. Umpamanya, seorang Muslim Turki dan seorang Muslim Arab bisa hidup di
daerah perumahan lingkungan yang sama, shalat berdampingan di mesjid yang sama,
namun tidak mengadakan kontak sosial akibat adanya batasan bahasa. Ini juga terjadi
pada Muslim yang lain. Pengetahuan bahasa Inggris sebagai sebuah bahasa umum
sangat vital dalam hal ini. Namun seperti telah diuraikan sebelumnya, kompetensi
berbahasa Ingggris merupakan kekurangan utama di kalangan kaum migran Muslim.
Keanekaan etnik menciptakan masalah utama bagi Muslim Australia. Hal itu
menimbulkan friksi, ketidak percayaan dan jurang komunikasi antar individu dan
antar berbagai kelompok masyarakat. Sampai sejauh ini telah menimbulkan frustrasi
dalam upaya mengorganisasi dan merencanakan kaum Muslim menjadi satu
komunitas. Kelekatan emosi kaum migran pada kelompok etniknya yang tertentu
lebih mengatasi sentimen Islami mereka. Akibatnya dalam banyak kasus, faktor
etnisitas mendahului faktor agama. Hal ini telah menumbuhkan sebuah perasaan tidak
percaya antara berbagai masyarakat khususnya dalam hubungan mereka dengan
Dewan Negara dan organisasi AFIC. Umpamanya, seorang Turki pertama kali merasa
menjadi seorang Turki baru kemudian menjadi seorang Muslim. Ia akan lebih

106
Wawancara penullis dengan Pengurus AFIC Victoria dan tokoh-tokoh masyarakat Islam
sesudah shalat Jum’at, September 2000 di Melbourne, memperkuat pernyataan bahwa sampai saat ini
orientasi kelompok Muslim Australia lebih kepada etnik daripada Islam itu sendiri.
115

memilih menjadi anggota masyarakat Muslim Turki daripada masuk dalam


masyarakat Muslim lainnya.
Berlawanan dengan ini adalah sebuah gambaran lain yang muncul dalam
konteks yang lebih luas. Di sini kaum Muslim adalah bersaudara, karena kitab Qur’an
menekankan pada kesatuan umat Islam (al-umma) Keyakinan inilah yang membawa
mereka pada persatuan di depan masyarakat tuan rumah yang asing. Persaudaraan
Islam menumbuh suburkan sentimen mereka dalam berbagi rasa dengan Muslim di
seluruh dunia. Terlepas dari keanekaan internal mereka dalam hal etnisitas, mereka
masih menganggap diri mereka sebagai bagian dari komunitas Muslim Dunia. 107

h. Perilaku Religius dan Masalah Organisasi


Salah satu masalah utama lainnya yang dihadapi kaum Muslim di negeri ini
berkaitan dengan latar belakang agama mereka. Masalah yang serupa muncul di
antara kaum Muslim sebagai minoritas di Inggris, Amerika, dan New Zealand. Ini
adalah akibat dari kurangnya organisasi, koordinasi, kepemimpinan, dan perilaku
terhadap Islam. Kekurangan pelatihan dalam hal organisasi dan kepemimpinan bisa
ditelusuri ke belakang pada sejarah Islam yang tidak membedakan antara negara dan
agama. Dalam agama Kristen masalah negara dan gereja diselesaikan melalui
pemisahan dan penerimaan
sekularisme. Gereja telah mengembangkan organisasinya sendiri. Sementara itu,
dalam Islam penyesuaian seperti itu tidak terjadi. Dalam sebuah negara Muslim, tidak
ada organisasi selain mesin negara untuk mengurus kebutuhan keagamaan. Oleh
karena itu, ketika seorang Muslim tiba di sebuah negeri sekuler seperti Australia, ia
menemui hal yang baru. Berdasarkan pengalaman masa lalunya di sebuah negara
Muslim, ia mengharapkan bahwa negara akan memberi perhatian pada kebutuhan
keagamaannya. Ketika hal ini tidak terjadi, seorang akan merasa diabaikan dan
merasa diperlakukan secara diskriminatif.
Kedua, kurangnya kepemimpinan organisasi yang menempatkan kaum
Muslim dalam situasi tak menguntungkan ketika sampai pada masalah bagaimana

107
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 67.
116

mengorganisir diri mereka sendiri dan menyediakan fasilitas untuk kebutuhan


beragama.108
Pandangan di atas menggambarkan bentuk organisasi yang dibutuhkan kaum
Muslim dalam situasi minoritas. Namun demikian, organisasi Muslim di Australia
semakin berkembang dan berusaha untuk memayungi kebutuhan-kebutuhan dasar
mereka.
Perilaku yang diperlihatkan kaum Muslim terhadap pendidikan juga
menimbulkan masalah penyesuaian. Kondisi ini tidak terlepaskan dengan latar
belakang mereka yang berasal dari daerah pedesaan (rural). Kaum Muslim di
Australia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang berpandangan
moderat dan fleksibel dan yang telah melakukan penyesuaian-penyesuaian di negeri
tuan rumah; dan mereka yang konservatif, tidak fleksibel dan dengan memegang
teguh Islam tanpa berdarakan pada nilai-nilai dasar Islam. Hampir semua dari kaum
Muslim dengan pandangan yang konservatif ini telah bermigrasi dari negeri-negeri di
mana Islam telah dimodernisir atau dikalahkan, seperti Turki, Mesir, Albania,
Yugoslavia, dan Libanon. Pada umumnya mereka tidak mam[pu menyerap
perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat baru dan asing bagi mereka.
Aspek signifikan lain tentang perilaku religius kaum Muslim berkenaan dengan
interpretasi mereka tentang ideologi keislaman. Seperti diungkapkan oleh Doueihi
(1979:11) ‘Muslims in Australia differ in many ways, icluding interpretation of the
Koran’ (“Muslim di Australia berbeda dalam berbagai cara, termasuk interpretasi
kitab Qur’an). Hendaknya dicatat bahwa keanekaan interpretasi ideologi kebanyakan
bersumber dari perbedaan latar belakang etnik mereka. Bagi kaum Muslim di
Australia hal ini telah menjadi sebuah faktor yang amat krusial karena ia menambah
perbedaan lain pada mereka di samping faktor bahasa dan kebangsaan.109

2. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Masyarakat Australia

108
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 73.
109
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 73. Lihat juga
Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad &
Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 207.
117

Lepas dari fakta bahwa seolah-olah Australia adalah sebuah negara yang
mayoritas memeluk agama Kristen, ia adalah negara sekuler dan pada umumnya
minat pada praktek ibadah keagamaan sangat kecil. Dalam interaksi sosial, kaum
Anglo-Celtic atau Euro-Australia jarang bertemu dengan kaum Muslim kecuali pada
kesempatan-kesempatan khusus. Mereka menemui kelompok Muslim sebagai
individu yang mereka identitaskan sebagai ‘orang Asia’, seperti orang Indonesia,
Pakistan, Filipina, atau Cina. Denominasi agama pada tingkat pergaulan yang
demikian tidak selalu relevan. Etos publik Australia secara menyeluruh bersifat
sekuler. Merujuk kepada Tuhan di depan umum dianggap hal yang memalukan.
Kaitan dengan agama dilepaskan dari semua formulir lamaran kerja dan tidak perlu
diindikasikan dalam formulir sensus nasional --afiliasi keagamaan bisa diindikasikan
untuk tiket masuk ke rumah sakit supaya pelayanan yang tidak melanggar agama bisa
diberikan atau ritus pemakaman yang pantas bisa dilaksanakan. Di Australia praktek
agama adalah masalah pribadi, lepas dari ritus-ritus sewaktu-waktu seperti
pembacaan doa pada Tuhan pada pembukaan sidang Parlemen, dan bahkan bisa
dianggap sebagai bukti ketebelakangan sosial dan keterbelakangan intelektual
tertentu.
Sebagian kecil orang Muslim merasa nyaman dengan arus utama komunitas
Australia yang sekuler. Partisipasi aktif bisa bervariasi mulai dari sekedar identifikasi
sebagai seorang Muslim sampai partisipasi penuh dalam kegiatan sosial dan
keagamaan komunitas. Beberapa di antaranya tidak tertarik, sedangkan yang lain,
menghadapi tantangan kekosongan agama mereka dengan menemukan kembali
sebuah identitas Muslim yang telah mati suri. Bagi banyak orang Muslim,
pengalaman hidup dan bekerja dalam apa yang secara publik disebut sebuah
masyarakat sekuler menghadirkan masalah yang nyata. Islam adalah sebuah agama
dengan sebuah peraturan ritus yang memiliki simbol-simbol sebagai representasi
komunitas. Jadi, isu pelaksanaan ibadah agama muncul tak terelakkan, termasuk
shalat, puasa, berpakaian, dan peraturan yang berkaitan dengan makanan dan
minuman. Islam mempunyai kalendar 12 bulan menurut perhitungan bulan
(Kamariyah) nya sendiri yang ditandai dengan hari-hari tertentu yang sakral dan
118

upacaranya sendiri. Praktek-praktek seperti ini bagian dari identitas Muslim sebagai
‘sebuah masyarakat yang terpisah’. Bagi sebuah dunia yang sekuler, atau bahkan bagi
tradisi agama yang tidak begitu banyak mempunyai aturan ritual bisa menimbulkan
rasa hormat atau bisa menimbulkan penolakan.110
Lima kali ritus shalat setiap hari, puasa, dan hari-hari besar Islam dalam
kehidupan komunitas Muslim memberi implikasi pada tempat kerja. Melalui
wawancara dengan responden Muslim, Bouma melaporkan bahwa sering para pekerja
dan rekan sekerja memberi respon pada masalah keagamaan ini dengan rasa hormat
yang meningkat pada pekerja Muslim dan pada Islam, walaupun sukar meyakinkan
sejauh apa mereka bisa mewakili kelompoknya. 111 Tanpa suatu pengakuan yang
layak di tempat kerja tentang cara hidup kaum Muslim, mereka akan merasa menjadi
anggota kelompok pinggiran di Australia. Festival tradisional Kristen Natal dan
Paskah ditandai sebagai hari libur umum masyarakat Australia tradisional sebagai hal
yang secara agamis diangap netral. Namun ini tidak membantu kaum Muslim yang
mempunyai hari-hari perayaan agamanya sendiri. Menunda waktu kerja harian
sejenak untuk melakukan shalat adalah sebuah masalah baru bagi pihak majikan.
Masalahnya bukan hanya soal waktu, tetapi juga kebutuhan tersedianya sebuah ruang
pribadi khusus untuk melakukan shalat, juga fasilitas lain untuk melaksanakan
penyucian (wudhu) bagi kaum perempuan dan laki-laki, yang memerlukan saluran air
khusus.112
Puasa menimbulkan masalah yang lebih besar. Hal itu mengesankan sebuah
beban yang berat, terutama selama bulan-bulan musim panas ketika siang hari rata-
rata berlangsung selama sampai tujuh belas jam untuk berpuasa, membuatnya
semakin berat dengan suhu udara tang tinggi. Ini menuntut beberapa keringanan atau
setidaknya pengakuan di pihak pengelola managemen perusahaan. Meskipun

110
Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck
Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 207.
111
Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 208. Lihat juga Gary
D. Bouma, Religiuos Tolerance in Australia, The World Conference on Religion and Peace, 1995, h.
27.
112
Masih banyak para pemilik pabrik yang mempekerjakan penganut Islam yang tidak mau tahu
tentang peranan dan makna hari-hari libur bagi kaum Muslim. Namun sebagian lagi sangat toleran dan
menganggap hal itu secara moral dan integritas akan meningkatkan produktifitas kerja.
119

peraturan-peraturan Fikih mengenai puasa mempunyai kelenturan yang realistis, bagi


kebanyakan orang Muslim, puasa merupakan hal yang harus diterima, tak peduli
betapapun besarnya kesulitan yang timbul. Akhir puasa merupakan salah satu
perayaan besar dalam kalendar Muslim. Hari itu dan perayaan yang menandai puncak
upacara haji di Mekkah merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup komunitas
Muslim, dan ketidak mampuan berperan dalam upacara uitu, apapun alasannya, akan
merusak kehidupan keluarga dan menyebabkan kehilangan rasa tenteram secara
psikologis. Pekerja-pekerja Muslim membutuhkan berpartisipasi dalam ritus-ritus dan
festival ini tanpa mengalami kehilangan atau kerugian keuangan.
Persyaratan makanan menimbulkan sebuah masalah. Tidak semua kantin di
tempat kerja yang dapat menyediakan daging yang halal dan meskipun ikan, telur,
dan porsi vegetarian tersedia. Bagi mereka, kedekatan dengan piring berisi babi
dengan piring yang bisa mereka makan sudah menimbulkan persoalan. Alkohol
memainkan peran besar dalam kehidupan sosial kebanyakan orang Australia selama
acara rekreasi dan relaksasi setelah kerja. Bentuk gaya hidup ’berteriak’ saat meminta
minuman merupakan bagian penting dalam ikatan sosial. Sementara minuman non
alkohol dan kumpul bersama-sama dalam keadaan setengah ’mabuk’ sebagai bagian
dari effek alkohol merupakan hal yang sukar diterima orang Muslim.113
Kemudian, ada lagi soal pakaian. Secara umum, hal ini lebih menyangkut
perempuan daripada kaum laki-laki. Bagi beberapa perempuan, suatu penutupan total
tubuh selain bagian wajah atau tangan dianggap sebagai tanda komitmen pada Islam
dan merupakan suatu kesadaran. Gaya berpakaian ini bisa tampak terlalu merupakan
dandanan yang tidak bisa ditolerir, secara potensial mengasingkan calon majikan atas
dasar kecurigaan atau melalui perhatian bahwa umum akan melihatnya sebagai hal
yang memalukan.
Situasi ini berulang ketika anak-anak pergi ke sekolah. Para orang tua ingin
melihat anak-anak mereka mendapat kesempatan melakukan shalat dengan fasilitas

113
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, Departement of
Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in
Assotiation with The University of Melbourne, 2004, h. 52.
120

untuk wudhu, dan bahwa makanan halal bisa tersedia. Beberapa isi roti sandwich
yang paling populer di kalangan anak-anak Australia termasuk produk daging babi.
Masalah akan muncul dalam keikut sertaan dalam kegiatan sosial seperti kunjungan
ke McDonald’s, ekskursi, atau barbecuqes, atau tidur dengan teman. Bagi para gadis
yang telah mencapai usia pubertas, masalah bisa menjadi runcing: apakah mereka
harus ‘menutup‘ atau berada dalam kelas campuran, pakaian bagaimana yang harus
mereka pakai untuk olah raga, atau bila mereka harus berenang dalam acara
gabungan laki-laki dan perempuan. Anggota komunitas Muslim lebih merisaukan hal-
hal itu bagi anak-anak mereka daripada untuk diri mereka sendiri, karena anak-anak
membutuhkan dukungan dan perlindungan keimanan mereka dan sangat rapuh tidak
seperti halnya orang dewasa. Sejumlah sekolah ada yang menyediakan fasilitas yang
diperlukan. Beberapa guru meminta pedoman bagaimana caranya agar anak-anak
Muslim bisa berintegrasi di sekolah dan membantu mereka agar tahu di mana shalat
bisa dilaksanakan.
Tak ada formula yang instan untuk menyelesaikan isu-isu ini, terutama
disebabkan kaum Muslim merupakan minoritas memiliki cara mereka sendiri dan ada
perbedaan-perbedaan di kalangan Muslim sendiri tentang bagaimana mereka
seharusnya diperlakukan, Ada yang lebih suka berdekatan dengan komunitas
Australia yang lebih besar serta memiliki sikap terbuka dan percaya diri pada dunia
luar. Ada yang merasa membutuhkan suatu ruang Islami khusus dalam komunitas
mereka sendiri, di mana mereka dapat menjadi diri mereka sendiri. Beberapa lebih
suka menginterpretasikan secara luas, yang lainnya lebih cenderung pada norma-
norma yang lebih konservatif, norma-norma sikap yang diatur dalam tradisi Islam
tertentu. Semua, satu sama lain, mencari cara sendiri untuk menjawab situasi yang
baru, namun tetap menjaga apa yang disebut sebagai inti nilai-nilai transendental
Islam. Yang cukup menghebohkan adalah isu tentang nikah antar agama, terutama
pernikahan seorang perempuan Muslim dengan seorang non Muslim, yang
mempunyai risiko perpecahan keluarga yang tak dapat disatukan kembali.114

114
Michael Humphrey, ‘Islam, Immigration and the State: Religion and Cultural Politics in
Australia’, dalam Alan Black (ed.), Religion in Australia: Sociological Perspectives, Allen and Unwin,
Sydney 1991, h. 179. Lihat juga Michael Humprey, Islam: A Test in Multiculturalism in Australia,
Asian Migrant, vol. II, no.2, April-June, 1989, h. 49-51.
121

Pertautan orang Muslim dan non-Muslim Australia merupakan suatu proses


yang terus berlangsung. Banyak dari apa yang telah berlalu sebagai dokumentasi
tentang kemajuan atau tidak adanya kemajuan terkadang berdasarkan hasil
wawancara, yang bisa atau bisa juga tidak mewakilkan yang sebenarnya, atau bersifat
anekdot saja. Namun, dalam beberapa kasus, ada suatu dasar hukum perlindungan
bagi agama minortitas. Dinas Pelayanan Umum Negara Bagian New South Wales
(The New South Wales Public Service), umpamanya, telah menerbitkan sebuah edaran
pada kepala-kepala departemen untuk meyakinkan bahwa tidak ada satu orang pun
yang ditolak menggunakan waktu untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Banyak
majikan swasta juga bersikap yang sama.
3. Persepsi Masyarakat Australia terhadap Komunitas Islam
Penilaian populer tentang agama-agama di Australia bisa mengundang sikap
positif, tetapi sebaliknya bisa juga bersifat negatif dan streotif. Buddhisme diangga
penganut agama yang secara intelektual necis dan
terdidik dan ada apresiasi terhadap tapak-tapak sakral dan roh-roh serta perlakuan
hormat pada lahan dan alam spiritualitas Aborigin. Islam, di pihak
lain, secara luas dipandang melalui kacamata yang stereotip dan pindah agama ke
Islam (berlawanan dengan Buddhisme, umpamanya) dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Ada rasa simpati sampai batas tertentu pada beberapa aspek tertentu
dalam sufisme.
Ada sebab lain yang menimbulkan sikap di atas terhadap Islam. Islam sebagai
sebuah stereotip yang sarat politik berdasar pada citra media yang mendominasi
kesadaran publik. Tidak disadari secara luas bahwa Islam berarti penyerahan diri pada
kehendak Tuhan dalam segala hal, seorang Muslim adalah seorang yang melakukan
sikap penyerahan diri dan bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral serta
kebajikan sosial seperti yang dicontohkan dalam al-Qur’an. Ini bukan untuk
menggambarkan bahwa ada rasa permusuhan pribadi yang meluas terhadap pribadi-
pribadi Muslim di Australia, namun memang cukup ada rasa kebencian terpendam
mengenai hal ini. Ada keberatan-keberatan yang disuarakan terhadap pertumbuhan
pendidikan Islam di Australia, sebagian tentunya, atas dasar semakin membesarnya
pendanaan bagi sekolah-sekolah swasta dan akhirnya akan mengganggu pembiayaan
122

sistem sekolah pemerintah.115 Mereka yang merasa syak wasangka tentang


multikulturalisme pada umumnya juga tidak senang dengan diberlakukannya
dukungan negara pada sekolah-sekolah agama. Ada yang merasa bahwa kritik
terhadap Muslim dan sekolah Islam bisa menjadi bagian laten dalam diskursus rasis,
menciptakan suatu bentuk masyarakat yang kurang toleran dengan menuduh mereka
yang tampil beda secara kultural.
Hanifa Deen memberi sejumlah contoh rasa permusuhan itu pada tingkat
pribadi.116 Ia menceritakan tentang sepasang manusia yang ditemuinya di sebuah kafe
di Sydney ketika mengetahui bahwa ia sedang menulis buku tentang Muslim di
Australia, mulai mencela sikap arogansi permpuan Muslim yang mengenakan cadar.
‘Memangnya mereka pikir mereka itu apa?’ ‘Mereka kira mereka tinggal di mana?’
Hanifa Deen menceritakan lagi pengalaman seorang perempuan Libanon, yang secara
teratur menggunakan cadar, mendaftar di sebuah kursus pembangunan masyarakat di
sebuah college di daerahnya. Dia menyangka akan bisa bertemu dan berbicara dengan
perempuan non Muslim. Namun tiap kali dia datang ke kelas, dia ditanyai pertanyaan-
pertanyaan seperti, ‘Bagaimana rasanya memakai tas gantungan itu?’ ‘Apakah
suamimu tidak ingin mengambil isteri kedua , kemudian yang ketiga, waktu kamu
mulai menjadi tua?’ atau ‘Apa kamu memakai itu di tempat tidur?’ Dalam sebuah
kelas diskusi mengenai hubungan kaum gay dan masalah adopsi, ia mengatakan
bahwa ia bisa membayangkan sepasang orang lesbian yang mengangkat anak, namun
mendapat kesulitan dengan sepasang laki-laki yang melakukan hal yang sama.
Seorang teman kelas yang lesbian kemudian keluar, melaporkan apa yang telah
dilihatnya pada pimpinan college, dan sang dosen menyuruh dia membaca peraturan-
peraturan tentang bagaimana menghargai kepercayaan orang lain’.
Di pihak lain, orang Muslim kerap dianggap sebagai sekte ’minoritas
pinggiran’ dengan segala konotasi bahwa asosiasi seperti itu menggambarkan,
ketiadaan sejarah atau peradaban; di pihak lain, mereka bisa dilihat sebagai kelompok

115
Lihat juga Stephen J. Rimmer, The Cost of Multiculturalism, h. 11.
116
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 226. Lihat juga Hanifa
Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, the AustraliaCouncil, Sydney, 1995, 12-13.
123

yang potensial menjadi anggota komplotan konspirasi internasional yang berbahaya.


Nilai-nilai yang dicontohkan dalam kehidupan Muslim berlalu tanpa diperhatikan. Di
bawah sadar, orang Muslim juga menanggung derita akibat kecurigaan orang
Australia yang cukup meluas mengenai segala sesuatu yang bukan
Anglo/Celtic/Eropa Utara, yang dalam saat-saat tegang, bisa meletus secara tak
diduga. Perang Teluk, peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, dan Bom
Bali 2002, merupakan beberapa contoh. Hal ini merupakan beberapa kasus khusus,
tetapi telah memprovokasi sikap irasional dalam kantong tertentu masyarakat
Australia, termasuk di beberapa distrik di Sydney, ketika beberapa orang yang
mungkin keturunan Arab muncul kemudian disiksa di tengah jalan.117
Kecurigaan masyarakat Australia terhadap Islam dan kaum Muslim sebagian
dipengaruhi oleh informasi-informasi media Australia baik cetak maupun elektronik
yang memberikan citra negatif dan bernada menghasut. Di
antara pencitraan itu adalah Islam sebagai sebuah kata benda abstrak, digunakan
sebagai sebuah istilah portmanteau (bermakna ganda) untuk menghindari reaksi
kecurigaan dan ketakutan, tanpa merujuk pada Islam sebagai agama yang mempunyai
komitmen dan dedikasi pada nilai-nilai agung dan kemanusiaan. Dan dalam
kenyataan, mereka menganggap bahwa
ada sejumlah kelompok Muslim ’eksklusif’ yang memiliki kebencian ideologis pada
masyarakat Australia (dan Kristen), yang dalam berbagai kesempatan, menyatakan
pandangannya.118

Sikap Positif pada Islam dan Muslim


Sejauh yang terkait dengan gereja-gereja arus besar di Australia, sektarianisme
dari paruh pertama abad ke-20 sebagian besar digantikan oleh kesadaran tentang

117
Kasus terakhir adalah peristiwa penganiayaan terhadap sekelompok pemuda keturunan Asia di
pinggir sebuah pantai kota Sydney yang kemudian menimbulkan gelombang protes terhadap sikap
yang rasis. Memang sikap masyarakat Australai sangat mudah terpancing oleh peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan Islam dalam konteks baik domestik maupun internasional. Di lain pihak, sebagian
dari mereka juga akan membela, bila ada peristiwa yang menyangkut masalah kemanusiaan dan
keadilan, seperti penyerangan Israel terhadap kamp-kamp Palestina dan Libanon.
124

keberadaan satu sama lain sebagai komunitas yang dihormati, bukannya yang
disaingi, dalam kaitan perjalanan keimanan. Kehangatan dan persahabatan sebagian
besar menggantikan persaingan dan kebencian lama. Perubahan sikap ini meluas ke
tradisi-tradisi agama di luar Kristen. Bagi banyak orang, termasuk Yudaisme dan juga
secara keseluruhan, dengan tumbuh dan pentingnya komunitas imigran dari luar
Eropa, agama-agama seperti Islam, Hindu, Buddha, Sikh, dan semacamnya – menjadi
kepercayaan baru selain dari apa yang sudah menjadi arus besar Australia selama ini.
Gambaran ini juga terjadi di beberapa gereja negara-negara Eropa dengan
meningkatnya kesadaran atas eksistensi kaum imigran sebagai kelompok minoritas.
Hal ini bisa dilihat poster-poster di depan pintu gereja yang mengumumkan
penyelenggaraan kuliah tentang Islam: ‘Kenalilah
tetanggamu’ (Get to know your neighbours).
Banyak komunitas Kristen di Australia dewasa ini berusaha untuk mengerti
dan menghargai teologi, nilai-nilai moral, dan disiplin sosial dalam ajaran Islam.
Mereka merujuk pada orang Muslim sebaga anggota dari suatu komunitas
monoteisme yang lebih besar, mengakui orang Muslim sebagai bagian dari umat
Tuhan dalam apa yang disebut doa penawar (bidding prayers) dalam liturgi Minggu
yang mengangkat suatu komunitas yang memperoleh berkah dari Tuhan. Bilamana
ada tamu Muslim dalam acara-acara yang diikuti komunitas campuran agama seperti
acara pernikahan, pembaptisan, dan pemakaman, ayat-ayat dari Qur’an juga terkadang
dikumandangkan.
Sejumlah organisasi yang bertujuan untuk mencapai pengertian agama secara
timbal balik, memberi kaum Muslim semacam perasaan terikat dengan Australia. Di
antaranya adalah the World Conference on Religion and Peace (WCRP), yang telah
merintis peran mendorong pemberian dukungan kelompok pada kaum imigran baru.
Organisasi ini menyelenggarakan sejumlah konferensi dan mengeluarkan berbagai
booklet yang memberi dasar-dasar pengertian antar agama dan penghormatan satu
sama lain dalam hal-hal yang praktis, umpamanya membantu pemukiman masyarakat
dan memeriksa kelayakan persiapan pemerintah untuk pendatang baru. Judul-judul
publikasi mereka menunjukkan tujuan organisasi: With Other Faiths—A Guide to

118
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.
125

Living with other Religions; Religious Pluralism in a Liberal Society; Faith to Faith –
Belief in a Pluralist Society and Guidelines on Dialogue with People of Living
Faiths.119 Booklet yang pertama menggambarkan dua inisiatif daerah, satu di
antaranya berkaitan dengan hubungan masyarakat di kota Springvale, dekat kota
Melbourne. Satu lagi, sekelompok pemimpin agama mengorganisir sejumlah
pertemuan dalam bentuk rapat bulanan secara teratur. Yang lain berupa serangkaian
program diskusi diselenggarakan di mesjid Preston di Melbourne. Salah satunya,
dipimpin seorang Muslim dan seorang Kristen, dengan mengambil tema ‘Kepahaman
Agama sebagai Keanggunan Manusiawi’ (Religious Understandings of Human
Dignity). Pimpinan mesjid dan pendeta lokal serta anggota kongregasi bersama
membuat sebuah komitmen untuk mendukung pertemuan-pertemuan ini.
Di New South Wales dan Victoria, pimpinan-pimpinan komunitas agama
melakukan pertemuan dua kali setahuan untuk menbicarakan isu-isu lokal seperti
rasisme dan pencemaran rasial, dan di Victoria, sekelompok lain menggarap
pendekatan bersama pada euthanasia (pelaksanaan kematian secara lunak pada kasus
penyakit yang tak tersembuhkan). Satuan-satuan antar agama, atas nama UNICEF,
membahas isu yang berkaitan dengan anak-anak di Pasifik dan Asia Tenggara. Sekitar
enam tahun yang lalu, WCRP mengundang seorang profesor Malaysia, Chandra
Muzaffar, ke Australia untuk memberi sambutan pada pertemuan tentang ‘Agama dan
Kehormatan Manusia: Hak-hak dan Tanggung Jawab’ (Religious and Human Dignity:
Rights and Responsibilities). Namun demikian, hingga saat ini tidak banyak
pertemuan yang ditujukan pada dialog teologis, sebagian disebabkan pada kenyataan
bahwa komunitas Muslim di Australia pada saat ini lebih memusatkan perhatian pada
isu-isu survival dan juga kalangan cendekiawan kelas menengah Muslim.
Meskipun jumlahnya masih kecil, namun ada pertumbuhan kesadaran di
Australia tentang nilai-nilai dan kepahaman agama dalam teologi tradisi agama
minoritas, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial yang tercermin dalam
tradisi budaya mereka. Satu indikasi dari hal ini tampak dengann masuknya tema-

119
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, in Yvonne Yazbeck Haddad &
Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211 . Lihat juga Abdullah
Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
126

tema dan motif-motif budaya sastra Islam dalam literatur Australia berbahasa Inggris.
Pengertian terhadap unsur-unsur biasa dalam tradisi beragam ditanamkan melalui
sistem pendidikan, dan para guru agama mempunyai tanggung jawab khusus, bersama
dengan para pengarang buku teks, atas penyelenggaraan kuliah-kuliah di berbagai
tingkatan. Ini dilakukan di luar batas toleransi kawasan keragaman sampai pada suatu
penyadaran bahwa ada unsur-unsur yang bisa diendapkan bersama.
127

BAB IV:
DINAMIKAPEMBANGUNAN KOMUNITAS ISLAM AUSTRALIA

Penggambaran yang begitu mencolok tentang perayaan Idul Adha di Lakemba


tahun 1994 dilukiskan oleh A.H. John dan Abdullah Saeed, dalam tulisannya tentang
kehidupan minoritas Muslim Australia. Keduanya mengatakan, bahwa betapa
hidupnya dinamika komunitas Muslim di Australia dan peran dari salah satu mesjid
yang paling dikenal di kawasan Australia.120

‘Belum pernah saya ikut dalam perayaan Idul-adha yang


begitu meriah seperti yang diadakan di Lakemba. Saya tertegun
melihat banyaknya pengunjung, suara-suara dan dengungan di
udara. Panorama itu menampung berbagai kenangan tadinya
tekubur dalam ingatan saya. Saya bergegas memanggil kenangan
nostalgia yang kikuk, begitu ingatan tentang masa muda muncul.
Saya menikmati ritus pembacaan doa dan dorongan emosi yang
senantiasa menempel dari perbauran aneh antara kerapuhan,
penyerahan dan solidaritas. Orang-orang telah mulai berkumpul
sejak terbitnya matahari.... Menjelang jam 7 pagi Jalan Wangee
dipenuhi kerumunan orang yang bergembira ria. Kerumunan
manusia meluber sampai ke taman depan rumah-rumah dan ke
balkon-balkon atau menjorok ke luar dari tembok-tembok pembatas.
Semua ingin bersama merayakan Idul Adha. Besoknya,koran-koran
melaporkan bahwa lebih dari 7.000 orang memenuhi mejlis
Lakemba . . . Saya terpesona. Dari titik yang menguntungkan di
seberang mesjid, saya bisa melihat dari atas kepala-kela yang
berseliwerab. Pemandangan itu jauh berbeda dari apapun yang
pernah saya bayangkan. Di dalam mesjid, aspek-aspek keagamaan
dan politik kehidupan Lakemba mulai terkuak. Para pembesar,
pemimpin kelompok dan politisan memberi hormat (dan terlihat
memberikan penghormatan itu), dan ada doa-doa serta khotbah-
khotbah yang khusuk. Namun di luar yang terlihat adalah sebuah
festival (keramaian) – sebuah keramaian kaum muda di luar suasana
kerja ditingkah gelombang demi gelombang berisi tawa dan

120
Penulis juga menyaksikan hal yang serupa ketika dipercaya menjadi khatib dan imam pada
shalat ‘Iedul Fitri’ di Monash University, Melbourne, 2000, yang dihadiri oleh warga Muslim
Australia yang datang dari berbagai latar belakang negara.
128

celotehan orang-orang. Magnit yang begitu mempesona dan nyata


dari peristiwa itu betul-betul tak dapat tak terkirakan’121

Komunitasnya sendiri tidak begitu besar, begitu juga pembentukannya


sebagai salah satu dari agama yang hidup di benua itu, tidaklah berjalan mudah.
Seperti halnya penganut agama monoteistik yang berimigrasi ke
berbagai bagian dunia non-Muslim, peralihan selalu dihadapi dengan penuh kesulitan,
belum lagi masalah kecurigaan dan tidak adanya penerimaan yang baik dari pihak
warga negara asli.
Muslim di Australia di tahun 2000 membentuk sebuah jaringan masyarakat
yang kohesif dan membentuk sebuah kelompok masyarakat yang berbeda di tengah
populasi yang beragam. Di tahun 2004, hampir 300.000 orang Muslim menjadi
residen di Australia, yang merupakan lenih dari sekitar 1,5% dari populasi.
Keakuratan jumlah ini belum pasti, sebagian dikarenakan adanya keengganan kaum
imigran dari bagian dunia tertentu untuk memberikan informasi yang lebih bersifat
pribadi tentang diri mereka sendiri dibanding sebatas yang diperlukan undang-
undang. Angka-angka pengunjung mesjid dan keanggotaan dalam organisasi Islam
menunjukkan bahwa jumlah 400.000 merupakan angka yang lenih realistis. Namun
angka 300,000 pun sudah menunjukkan Islam sebagai agama terbesar di Australia
setelah Kristen, meskipun lebih sedikit dalam jumlah dibanding hampir tiga juta orang
yang menyatakan diri tidak menganut agama, lebih dari 16% penduduk. Angka ini
hanya memberi sedikt informasi tentang atau memberi gambaran pada dimensi
kemanusiaan komunitas Muslim di Australia, tantangan-tantangan yang mereka
hadapi, dan kepedihan serta kegembiraan yang mereka alami. Ini perlu dilihat dalam
konteks latar belakang dan sejarah migrasi Muslim, struktur Australia sebagai sebuah
nation-state, dan penyebaran kaum Muslim di dalamnya.
Australia terdiri dari 6 negara bagian yang luas dan dua teritorial. Populasinya
sebagian besar perkotaan (urban), dan kesetiaan dinyatakan dalam persaingan antara
ibukota-ibukota negara bagian dan derah teritorial: Adelaide, Brisbane. Canberra (Ibu
Kota Negara Federal), Darwin, Hobart, Perth, Melbourne, dan Sydney. Tiap negara

121
Anthony H. John, Anthony and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yazbeck
129

bagian memiliki sejumlah besar kota-kota kecil, desa-desa, dan pemukiman di


pedalaman. Sydney dan Melbourne dianggap hampir meliputi sepertiga pupulasi
Australia dan mendekati menjadi megacities dengan kebanggaan dan karakter
korporasinya. Kota-kota ini juga merupakan gabungan satuan-satuan yang terdiri dari
bagian-bagian kecil identifikasi dan kesetiaan, kerap dibedakan berdasarkan etnisitas,
kelas sosial, profesi, pola pekerjaan, dan status sosial penduduknya. Di dalam celah-
celah struktur inilah jumlah 1.5 persen kaum muslim menempatlkan diri mereka.
Meskipun tidak besar, angka ini jelas bila dibandingkan dengan angka sensus
tahun 1947,122 di mana tidak ada orang Muslim terindikasikan, dan hanya 0,5 persen
dari populasi yang tercatat tidak masuk golongan berdoniminasi Kristen. Baru di
tahun 1971 kaum residen Muslim dicatat, jumlah mereka mencapai jumlah 0,2 persen
dari jumlah populasi. Angka tahun 1996 yang lebih 1,1, persen mencerminkan kurva
pertumbuhan yang
cukup berarti. Sama pula pentingnya, perorangan yang ditampilkan dalam anggka di
atas itu tidak tersebar secara merata, dan dalam hal inilah pembagian Australia ke
dalam negara-negara bagfian dan kota-kota menjadi signifikan. Separuh orang
Muslim Australia ada di Sydney, 32 persen di Melbourne, dan hanya 4,3 persen
tinggal di luar kota-kota besar.
Dibandingkan dengan sisa populasi, kaum Muslim menduduki 2,1 persen dari
jumlah penduduk Sydney dan 1,6 persen dari penduduk Melbourne. Namun di
beberapa distrik Sydney, orang Muslim mencapai 5 persen dari populasi, dan, dalam
jumlah kecil, sampai dengan 10 persen, cukup besar untuk dapat dilihat dan
diidentifikasikan sebagai sebuah komunitas Muslim. Kenyataannya mereka telah
menciptakan sebuah kepentingan massa kritikal, sebuah kenyataan visual, sebuah
demografi, secara sosial dan industrial, dan berkapasitas membuat seorang individu
dan memberi kontribusi nyata dalam pembentukan sebuah Australia. Inipun belum
terhitung sejumlah orang Muslim di Australia yang menduduki posisi strategis
sebagai profesional. Banyak dari orang Muslim hanya mengadakan hubungan utama
dengan rekan sejawat dalam profesinya saja, sedangkan hubungan mereka dengan

Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 195.
130

orang Muslim lainnya mungkin masih dalam tahap marginal atau bahkan sangat
insidental terkait dengan etnisitas atau komitmen keagamaan mereka. 123
Menurut sensus tahun 1996, 72,161 atau 35,9 persen komunitas Muslim
Australia yang lahir di negeri ini merupakan kelompok tungal terbesar.124 Mereka
yang dilahirkan di luar negeri, sebagian besar lahir di Libanon, 27,125 (13,5%),
diikuti Turki pada angka 22,270 (11,1%). Dalam susunan besaran angka menurun,
6,939 dari Indonesia, 6,651 dari Bosnia-Herzegovina, dan 5,221 dari Iran, diikuti
orang Muslim yang lahir di Fiji, Siprus, Malaysia, Mesir, Makedonia, India, dan
Singapura, sampai Amerika Serikat, diwakili jumlah sampai 242. Mereka yang lahir
di Australia sebagian besar tetap menjaga komunitas etnik dengan orang tua mereka.
Tidak semua merupakan anak-anak dari generasi pertama kaum migran, ada sejumlah
kecil keluarga-keluarga Muslim hasil bentukan lama, demikian juga mereka yang
berasal dari peralihan dari orang Australia. Namun karakteristik orang Muslim yang
lahir di Australia relatif muda, stabil dalam kehidupan kekeluargaan, jumlah anak, dan
tingkat perkawinan luar agamanya paling rendah di Australia merupakan indikator
pertumbuhan komunitas Muslim yang kuat dan berlanjut, dan berakar Islam sebagai
agama di Australia.125 Sementara itu, pertumbuhan komunitas Muslim Australia juga
sangat beraneka. Headline surat kabar, stereotip, dan klise-klise populer tentang Islam
menggambarkan bahwa di sana ada sebuah entitas tunggal Muslim, ketika dalam
kenyataannya banyak komunitas-komunitas Muslim yang ‘merajut’ kesatuan Islam
Australia.

A. Inkubasi Lembaga Kepemimpinan


Munculnya kepemimpinan Muslim di Australia tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan pusat-pusat ibadat dan kegiatan sosial di mesjid-mesjid di satu pihak dan

122
Philip Huges, ‘Australia’s Religious Profile’, dalam Bouma, Gary D. Bouma (ed.), Many
Religions, All Australian: Religious Settlement, Identity and Cultural Diversity, h. 29-30.
123
Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, ‘Searching for Identity; Muslims in Australia’,
dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, UNSW
Press, Sydney, 2003, h. 3.
124
Angka-angka ini merupakan perkembangan dari data ABS 1991
125
Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, ‘Searching for Identity; Muslims in Australia’,
dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 5.
,
131

etnisitas di pihak lain. Kedua aspek telah mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin


yang berusaha dan mengatur kebutuhan-kebutuhan umat Islam Australia dengan
pembentukan berbagai lembaga atau organisasi baik dalam skala kecil maupun besar.
Lebih dari 200 mesjid yang terpusat di perkotaan dan tersebar di berbagai kota yang
sangat sedikit jumlah populasi Muslimnya, namun memiliki pemimpin masing-
masing yang memainkan peran penting dalam membentuk kemusliman Australia,
khususnya dalam bidang pendidikan agama.

1. Mesjid sebagai Pusat Agama dan Aktifitas Sosial


Mesjid memiliki peran sentral dalam kehidupan sebuah komunitas Muslim
baik dalam kehidupan sosial maupun ibadat. Mesjid menjadi pusat ibadat dan tempat
ekspresi, interpretasi, penanaman, perayaan upacara-upacara keagamaan, dan praktek
keagamaan. Ia menjadi sebuah rujukan komunitas dan menjadi alat identifikasi diri di
ranah rumah yang baru.126
Sampai akhir tahun 1960-an, tidak cukup banyak kaum Muslim di Australia
bisa mendirikan semacam lembaga-lembaga yang bisa mengatur dasar-dasar
kehidupan Islami bagi komunitas. Muslim di Australia hanya punya sumberdaya di
dalam ruang yang kecil untuk memulai dan memerlukan pembentukan sebuah tempat
untuk diri mereka sendiri di antara komunitas lain dengan cara-cara hidup dan
prioritas spiritual yang berlainan. Upaya membangun diri sendiri dan mendefinisikan
identitas mereka sendiri, kerap harus dilakukan di tengah suasana kebencian terbuka
di pihak orang Australia lainnya.
Ada dua sumber dukungan dalam menghadapi tantangan ini. Pertama,
pergantian (shfit) ideologi yang telah dikemukakan sebelumnya dari ‘assimilasi’ ke
‘multikulturalisme’. Kedua, dukungan yang diberikan komunitas Muslim dari luar
negeri untuk membangun mesjid-mesjid dan fasilitas sembahyang, penyediaan imam,
dan pembinaan faslitas pendidikan bagi anak-anak Muslim. Secara kebetulan, ini
bersamaan dengan waktu ketika terjadi meledaknya harga minyak dan apa yang

126
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.
132

disebut ’petro-dollars’ untuk proyek-proyek bantuan yang melimpah; berbagai


komunitas Muslim mengambil manfaat penuh kesempatan-kesempatan ini. 127
Gary Bouma memberi sebuah pandangan yang simpatik tentang mesjid-mesjid
di Australia. Ia mencatat pada saat penulisan buku itu, ada lima puluh tujuh mesjid di
negeri ini. Mesjid pertama yang dibangun mungkin di luar Adelaide tahun 1887 oleh
orang Afgan; yang lainnya muncul di New South Wales sekitar 1891 di broken Hill.
Sejumlah mesjid Australia berusia seratus tahun. Sebuah yang dibangun di ibu kota
nasional Canberra selama tahun 1950-an sebagai tempat bagi staff diplomatik dasar
kedutaan-kedutaan negara Islam dan mahasiswa Muslim dari luar negeri. Mesjid
pertama di Sydney dibangun akhir tahun 1960-an; di Sydney dan New South Wales
terdapat lebih dari dua puluh mesjid, sebagian besar dibangun sejak tahun
1968. Dari itu semua, yang terbesar dan bagi sebagian orang dianggap yang tercantik,
adalah Mesjid Imam Ali di Lakemba, yang lain adalah Mesjid Raja Faisal, dibangun
oleh Masyarakat Islam New South Wales.128
Kota Melbourne memiliki lebih dari dua puluh lima mesjid. Yang terbesar, di
Preston, Victoria, dibuka tahun 1976 oleh Asisten Sekretaris Jenderal the World
Muslim League disaksikan wakil pribadi Perdana Menteri
Malcolm Fraser, yang kemudian menjadi Pemimpin Kelompok Oposisi Gough
Whitlam, dan para pemuka agama, termasuk Archbishop Katolik Roma Melbourne.
Peristiwa itu dianggap hal yang signifikan dalam pembangunan Australia sebagai
sebuah negara dan diterima baik oleh pemerintah dan masyarakat, juga oleh agama
yang lebih tua di Australia. Mesjid-mesjid ini sebagian besar merupakan hasil
dukungan komunitas lokal,
meskipun dalam beberapa kasus, bantuan datang dari pemerintah negara-negara
Islam. (Lihat tabel 5).

Tabel 5: Estimasi Distribusi Terbaru Mesjid-mesjid di Australia129

127
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 210.
128
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 56-57
133

Teritori Ibu Kota Australia 1


New South Wales 28
Queensland 10
South Australia 4
Tasmania 1
Victoria 29
Western Australia 7
TOTAL (2000) 80

Menurut data terakhir, seperti yang disebutkan Abdullah Saeed130, ada lebih
dari 100 mesjid dan sejumlah besar fasilitas shalat lainnya di seantero Australia.
Mesjid tidak hanya ada di Sydney dan Melbourne, tetapi semua ibu kota di Australia
punya mesjid. Pada umumnya mesjid adalah non sektarian (tidak terikat pada satu
sekte/aliran); artinya mereka tidak terikat ada satu kelompok aliran agama tertentu
atau sekolah resmi tertentu. Biasanya, tiap orang Muslim, tak peduli apapun etnis,
budaya, orientasi keagamaannya, atau sekolahnya, bisa datang dan melaksanakan
shalat di mesjid mana saja. Pada suatu mesjid tertentu, memang terlihat terlihat
praktek shalat Sunni berlangsung bersamaan dengan cara Muslim Shi’ah atau seorang
dari Afrika sembahyang bersebelahan dengan seorang yang kelahiran
Australia.
Sebuah mesjid bisa dijalankan oleh sebuah masyarakat yang didominasi oleh
sebuah kelompok etnik tertentu, seperti orang Pakistan, Bosnia atau Afganistan.
Bagaimanapun, kegiataan berjamaah ini bukan dilakukan oleh hanya satu kelompok
etnik. Orang Muslim yang berdiam di kawasan itu, tak peduli apapun latar belakang
etniknya, biasanya datang ke mesjid setempat.
Di Australia ada tiga jenis mesjid yang berbeda. Mesjid terbesar mempunyai
beberapa fasilitas seperti, ruang kelas, sebuah toko buku, dan kantor-kantor. Ada juga

129
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck and
Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.
130
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53. Lihat juga
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 49. Micheal Humphrey, ‘Community,
Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian
Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988, h. 258-259.
134

mesjid-mesjid kecil yang tidak punya fasilitas ekstra, dan lainnya ada ruang shalat,
seperti pada ruang kerja dan di universitas-universitas.131
Persetujuan pembangunan mesjid tidak selalu mudah diperoleh. Beberapa
orang mengeluh pada penguasa lokal, di antaranya karena masalah kemacetan lalu-
lintas selama waktu shalat atau gangguan ketenangan di pagi hari karena suara azan.
Di tahun 1995 sebuah gereja Prebysterian yang tidak dipakai di didistrik kota Sydney
Bankstown dibeli oleh sebuah organisasi Pusat Islam Bangladesh (the Bangladesh
Islamic Centre). Dewan Daerah Bankstown, yang telah memberikan izin
pembangunan gereja di tahun 1954, menolak pemanfaatannya sebagai mesjid. Di
tahun 1998 masalah ini masuk ke Pengadilan Lahan dan Lingkungan (Land and
Environment Court), yang mendukung penolakan itu, menegaskan bahwa, sebuah
mesjid, meskipun juga sebuah tempat beribadah, bukan sebuah
gereja, yang didefinisikan sebagai tempat memuja dalam tradisi Kristen. Penegasan
ini berhasil ditentang atas dasar pihak hakim tidak mampu menilai definisi kamus
secara lebih luas, di antaranya yang memasukkan sebuah mesjid atau sebuah kuil ke
dalam pemaknaan kata ‘gereja’, dan karena itu, sejauh sebagai ‘gereja’ merujuk pada
sebuah tempat untuk beribadah bukan sebuah struktur fisik, sehingga sebuah mesjid
termasuk dalam deskripsi tersebut. Saat keputusan itu dibatalkan bertepatan dengan
perayaan ‘Id al-Adha.132

2. Organisasi-organisasi Muslim Australia


Etnik atau orang Muslim membentuk sejumlah kelompok masyarakat Islam,
pusat-pusat dan perserikatan di Australia. Beberapa di antaranya berbasiskan etnik
tertentu. Di tiap negara bagian, banyak kelompok masyarakat ini yang masuk dalam
dewan Islam negara bagian, yang menjadi payung organisasi bagi masyarakat di
negara bagian tersebut.

131
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
132
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck and
Jane I. Smith (eds.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 203.
135

Di tahun 1960-an, upaya-upaya dilakukan untuk mengorganisir ikatan-ikatan


masyarakat Muslim Australia dan sebuah langkah utama dalam proses mendirikan
AFIS (the Australian Federation of Islamic Societies) sebagai sebuah organisasi
nasional. Didirikan tahun 1964 oleh pemuka Islam seperti Fehmi al-Imam, Abdul
Khaliq Kazi dan Ibrahim Dellal. AFIS bekerja sebagai organisasi payung yang
mengkoordinasikan berbagai kegiatan Muslim yang penting. Organisasi ini mewakili
kaum Muslim dari berbagai latar belakang etnik berbeda: orang India, Pakistan,
Mesir, Libanon dan Turki semua berpartisipasi. Pada akhirnya AFIS bergabung ke
dalam AFIC (The Australian Federation of Islamic Councils) pada tahun 1976.
Semua Dewan Islam merupakan anggota dari organisasi payung nasional yang
dinamai AFIC. Tidak semua kelompok di sebuah negara bagian masuk dalam dewan
Islami negara bagian, karena sangat bersifat opsional (pilihan), sehingga sukar untuk
mengatakan bahwa AFIC mewakili semua Muslim atau mayoritas masyarakat Muslim
di Australia.
Orang Muslim membentuk sejumlah kelompok masyarakat Islam, pusat-pusat
dan perserikatan di Australia. Beberapa di antaranya berbasiskan etnik tertentu. Di
tiap negara bagian, banyak kelompok masyarakat ini yang masuk dalam dewan Islam
negara bagian, yang menjadi payung organisasi bagi masyarakat di negara bagian
tersebut.133
Latar belakang pendirian AFIC terjadi di tahun 1973, ketika diselenggarakan
sebuah Konferensi pemimpin-pemimpin Muslim dari negara-negara minoritas di
Mekkah. Dr.M.Ali Kettani, seorang Muslim Marokko, ditunjuk sebagai Ketua Dewan
Minoritas yang merekomendasikan agar Islam tidak dapat hidup di sebuah negara
minoritas, kecuali bila hanya ada satu suara. Isi rekomendasi tersebut:
1. Komunitas Muslim harus mandiri (self-sufficient).
2. Islam harus diteruskan ke generasi kedua dengan menanamkan pendidikan.

133
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.
136

3. Seharusnya ada pertukaran dan komunikasi antara satu negara dengan yang
lain.134

Di tahun 1974, Raja Faisal dari Saudi Arabia mengirim sebuah delegasi terdiri
dari Dr. Kettani, mewakili Liga Dunia Muslim (The World Muslim League) dan
Mr.I.Mosley mewakili Saudi dari Kementerian Luar Negeri ke Australia dalam
sebuah misi khusus. Tujuan utama delegasi ini adalah untuk menyelidiki pertikaian
antara dua kelompok Muslim di Sydney yang masing-masing meminta bantuan dana
bagi proyek masing-masing dan saling mengeluhkan yang lainnya. Setelah tiba di
Sydney, delegasi mengadakan tur ke semua negara bagian kecuali Tasmania dan
Northern territory. Dalam laporannya Dr, Kettani mengedepankan beberapa gagasan
dan rekomendasi mengenai organisasi dan kesejahteraan kaum Muslim di Australia.
Ia merekomendasikan 1,2 juta dollar bantuan untuk berbagai proyek
bagi kaum Muslim di Australia dan mendesak pemerintah Saudi Arabia untuk
mengakui AFIC sebagai satu-satunya organisasi mewakili Muslim di Australia. Ia
juga menyarankan agar semua makanan halal yang di impor ke Saudi Arabia diberi
sertifikasi oleh organisasi tersebut. Semua rekomendasi diterima oleh Liga Dunia
Muslim dan pemerintah Saudi Arabia dan di tahun 1976 AFIC menetapkan anggaran
dasarnya yang baru.135

Struktur dan fungsi Organisasi Muslim di Australia


Dalam sebuah newsletter AFIC (1976) diumumkan reorganisasi dari struktur
lama AFIS dengan dalih berikut ini. Organisasi kelompok-kelompok dan masyarakat
yang ada sekarang kekurangan dalam koordinasi dan ini mempengaruhi kemajuan dan
keberfungsian yang lancar dari organisasi Muslim dan tujuan-tujuannya.

134
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
h. 51. Lihat juga Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 139.
135
Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria,
h. 51.
137

Di bulan April 1976, di sebuah Konperensi di Brisbane, wakil-wakil kaum


Muslim dari semua bagian Australia bertemu dan memutuskan untuk menerima
bentuk struktur organisasi dan administrasi berlapis tiga. Pada tingkat lokal
masyarakat Islam berdasarkan lokalitas atau kebangsaan akan berfungsi independen
untuk menyediakan sarana pelayanan bagi anggotanya. Pada tingkat tertinggi Dewan
Islam di semua Negara Bagian akan membentuk badan Federal berupa the Federation
of Islamic Councils.
Masyarakat Islam lokal mempunyai sebuah jurisdiksi lokal. Dewan Negara
bagian (the State Councils) yang terdiri dari masyarakat setempat yang
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan masyarakat di negara bagiannya masing-
masing. Mereka memecahkan masalah-masalah di tingkat negara bagian dan bila
perlu mewakili mereka di AFIC. Organisasi AFIC sendiri berjalan di tingkat Federal
atau Nasional, menjadi pemimpin keseluruhan. Ia mewakili Muslim Australia pada
Pemerintah federal dan organisasi Muslim luar negeri serta menerima semua bantuan
dana.
Fungsi utama AFIC adalah pembangunan mesjid-mesjid dan sekolah-sekolah dan
sertifikasi makanan halal. Kegiatan yang terakhir ini memberi sumbangan berarti
secara finansial pada organisasi. Daging dalam jumlah cukup besar di ekspor ke
negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, dan Indonesia. Sebelum di
ekspor, daging itu harus diberi sertifikat halal, dan karena sertifikat itu diberikan atas
dasar biaya tertentu, penghasilan cukup besar menjadi dana dari kegiatan ini.
Demikian pula, AFIC bekerja sebagai kelompok advokasi Muslim kunci dengan
pemerintah federal dan telah aktif berperan sejak tahun 1970-an. Kini, ketegangan-
ketegangan di dalam masyarakat Muslim dan tantangan-tantangan pada otoritas AFIC
telah melemahkan pengaruhnya. Lebih lanjut lagi, desentralisasi sertifikasi daging
halal telah mengambil monopoli samar yang pernah dinikmati AFIC dulunya. Di luar
itu, AFIC masih berfungsi sebagai organisasi payung bagi banyak orang Muslim,
meskipun tidak lagi seberhasil dulu dalam membawa bersama beberapa masyarakat
Muslim bebas untuk menciptakan sebuah gerakan bersatu yang kuat untuk melakukan
lobi demi kepentingan kaum Muslim di Australia.136

136
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland di Melbourne, 3 Nopember 2000.
138

B. Kepemimpinan Kelompok dan Individual dalam Komunitas Islam

Munculnya kepemimpinan dalam komunitas Islam di Australia terkait dengan


lembaga mesjid, keberadaan etnik, profesi, dan AFIC sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Bila ditelusuri lebih lanjut hingga saat ini, tidak ada satu pemimpin
tunggal agama di seluruh Australia, meskipun ada upaya-upaya belakangan ini untuk
mengembangkan hal itu. Di negara bagian Victoria dan New South Wales ada sebuah
Dewan Imam (Board of Imams) yang mewakili semua atau mungkin hampir semua
imam di negara bagian tersebut. Secara resmi, the Board of Imams ini mewakili
pandangan-pandangan keagamaan masyarakatnya. Dalam prakteknya, secara relatif
hanya sedikit imam yang aktif terlibat di Dewan itu. Ini berarti bahwa, meskipun ada
pada tingkat negara bagian, belum ada kepemimpinan agama yang telah menyatu.
Karena itu diperlukan waktu yang lama untuk menciptakan sebuah
kepemimpinan agama yang menyatu di Australia. Salah satu kesulitannya adalah
kenyataan terlalu beranekanya keberadaan umat Muslim secara etnik, agama, teologis,
legal dan spiritual, dan biasanya sulit untuk menyetujui satu orang atau satu badan
sebagai perwakilan resmi pandangan-pandangan agama dari keseluruhan masyarakat
itu.
Saat ini beberapa macam kepemimpinan yang tumbuh di antara kaum Muslim
di Australia yang memainkan peran sebagai para pemimpin Muslim. Karena adanya
perbedaan itu, maka peran kepemimpinan mereka juga berbeda di tengah masyarakat
Islam.137 Secara umum peta asal-usul kepemimpinan kelompok Islam Australia dapat
dibagi dua, yaitu pertama, lahir secara individual karena inisiatif sendiri untuk
memberi kontribusi kemuslimannya kepada umat Islam. Biasanya mereka datang dari
kelompok profesional dan mahasiswa internasional yang sedang menuntut ilmu di
Australia dari berbagai latar belakang keilmuan, tetapi memiliki pengetahuan agama

137
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 132-134. Lihat juga Micheal Humphrey, ‘Community,
Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian
Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988, h. 261.
139

yang cukup. Kedua, pemimpin yang muncul dari kelompok etnik, AFIC, dan negara
bagian.

1. Asal-usul Kepemimpinan Individu


Model kepemimpinan individu pada umumnya muncul dari hasil inisiatif
sendiri dalam usahanya untuk memberikan sumbangsihnya pada pengembangan umat
Islam di tengah masyarakat yang sekuler. Kemunculannya mereka biasa dimulai saat
pembangunan sebuah mesjid atas hasil inisiatif individual, seseorangg atau
sekelompok kecil orang, yang kemudian memainkan peran sebagai pemimpin dalam
menjalankan kegiatan mesjid. Orang yang terlibat dalam hal ini belum tentu otomatis
menjadi ‘pemimpin’ agama.. Mereka bisa saja berasal dari orang biasa di kalangan
komunitasnya -- para profesional seperti akontan, pengacara, dokter, guru, dan
sebagainya-- yang berniat mendirikan sebuah mesjid dan menyelenggarakan jasa
peribadatan bagi komunitas Muslim setempat. Dalam kenyataannya, bentuk
kepemimpinan seperti ini banyak terdapat di Australia dan banyak mesjid yang
difungsikan dengan cara ini. Beberapa mesjid dibangun berasal dari dana yang
diberikan sebuah pemerintahan asing, seperti negara Turki atau Arab Saudi, atau
melalui bantuan organisasi luar negeri. Dalam kasus-kasus seperti itu, pihak
perwakilan yang bekerja atas nama pemerintahan asing atau penyandang dana bisa
terus menjadi bagian dari kepemimpinan mesjid. Mesjid-mesjid lainnya dijalankan
oleh masyarakat atau asosiasi dengan sebuah anggaran dasar yang memberi semacam
sistem kepemimpinan bergilir, untuk mencegah dominasi pribadi satu orang atau
sekelompok orang pada mesjid atau masyarakatnya.
Pemimpin individu lainnya yang muncul dengan kehadiran mahasiswa-
mahasiswa internasional yang sedang melakukan studi di berbagai universitas,
sekolah tinggi (college), akademi, dan institut. Mereka berdatangan dari berbagai
belahan dunia, seperti Indonesia, Malaysia, Bosnia, Singapura, Iran, dan negara-
negara Timur Tengah. Menurut sensus Departemen Pendidikan Australia tahun 1999,
terdapat 83.111 mahasiswa yang sedang belajar di 13 perguruan tinggi Australia.138

138
Irene Donohue Clyne, ‘A Community on Campus: Muslim Students in Australian Universities’,
dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (eds.), Muslim Communities in Australia, h. 145.
140

Menurut Sensus 1996, terdapat 10.498 mahasiswa Muslim yang menuntut ilmu di
Australia.
Mereka melakukan aktifitas sosial dan keagamaan di kala waktu senggang dan
di tengah kesibukan kuliah mereka. Ada pula yang melakukannya secara reguler.
Mereka pada umumnya melakukan kegiatan tersebut saat diminta oleh sekelompok
pengajian tertentu yang telah mengenal mereka baik secara etnik maupun latar
belakang negara yang sama. Kegiatan tersebut dilakukan pada hari-hari libur yang
bertempat di rumah-rumah warga Muslim atau dalam gedung pertemuan. Para
pendakwah mahasiswa ini berasal dari perguruan tinggi umum dan agama. Dalam
kasus Indonesia, mahasiswa dari perguruan tinggi umum berasal dari Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajahmada, dan lain-lainnya. Nama-nama
seperti Dedi Mulyana, Antonio Syafi’i, Budi Faisal, , dan lain-lainnya merupakan
pemimpin agama dari perguruan tinggui umum ketika mereka sedang menuntut ilmu.
Sedangkan dari perguruan tinggi agama, kebanyakan berasal dari Universitas Islam
Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Nama-nama yang dikenal
sebagai pemimpin dari perguruan tinggi agama ini antara lain Bambang Pranowo,
Fachry Ali, Shirazi, Arskal Salim, dan lain-lainnya.139
Mereka pada umumnya diminta untuk memberikan pengajian agama, cara
baca tulis al-Qur’an untuk anak-anak, dan membantu proses pernikahan. Acara
pengajian dihadiri oleh warga Muslim yang mempunyai latar belakang etnik yang
sama dan kadangkala dari etnik lain dengan menggunakan dua bahasa yang berbeda.
Kepemimpinan individu seperti ini tidak bersifat permanen, tetapi bersifat
temporal. Kegiatan yang dilakukan pemimpin individu akan berakhir ketika kuliahnya
selesai. Namun kepemimpinan tersebut akan berlanjut dengan digantikan oleh
mahasiswa internasional lainnya yang selalu datang belajar setiap tahunnya.

2. Asal-usul Kepemimpinan Kelompok


Kepemimpinan kelompok berasal dari mesjid, etnik, organisasi sosial Islam,
organisasi mahasiswa internasional, dan kelompok yang mewakili negara bagian.

139
Wawncara pribadi dengan Dedi Mulyana di Jakarta, 14 Februari 2006.
141

Salah satu pemimpin itu adalah pemimpin agama. Mereka disebut imam dari sebuah
mesjid yang berfungsi memberi pelayanan sehari-hari di mesjid dalam berbagai
kegiatan keagamaan. Di Australia seorang imam secara garis besar dapat disamakan
dengan seorang ‘menteri agama’. Menurut Standar Penggolongan Pekerjaan Australia
(the Australian Standard Classification of occupations) atau disingkat ASCO, para
‘menteri agama’ melaksanakan fungsi-fungsi spiritual terkait dengan kepercayaan dan
praktek keyakinan agama dan memberi motivasi, pedoman serta pelatihan kehidupan
keagamaan bagi masyarakat kelompoknya, kelompok pengajian atau komunitas.
Persyaratan akademik untuk bisa masuk ke dalam satuan kelompok ini adalah
minimal bergelar akademik tingkat bakaloriat atau yang lebih tinggi. Ada persyaratan
terkait dengan komitmen pribadi yang tinggi dan peminatan, disamping kualifikasi
atau pengalaman formal lainnya.
Tugas seorang imam mencakup: 140
 melaksanakan shalat secara teratur;
 menyiapkan dan memberi ceramah (umpamanya, di hari Jum’at) dan tugas-
tugas khusus lainnya,
 memberi nasehat dan pengarahan spiritual,
 ikut serta da;am kegiatan-kegiatan sosial dan kesejahteraan masyarakat,
mendorong orang agar lebih menyadari tanggung jawabnya, dan
mengorganisir proyek-proyek partisipasi masyarakat;
 Melaksanakan kelas pelajaran agama, mengawasi shalat; dan kelompok-
kelompok diskusi,
 Melaksanakan penasehatan pra perkawinan dan keluarga dan merujuk pada
dinas-dinas profesional terkait yang diperlukan,
 Melaksanakan nikah dan upacara kematian sesuai peraturan agama dan
undang-undang sipil serta menyimpan catatannya sesuai persyaratan undang-
undang yang berlaku.

Sheikh Fehmi adalah salah satu contoh pemimpin Muslim Australia yang
paling aktif dalam dialog antar agama dan salah satu dari direktur eksekutif dari the
142

World Conference on Religion and Peace of Australia. Ia menganut paham moderat


dalam menginterpretasikan Islam dan amat yakin bahwa kaum Muslim harus hidup
harmonis di tengah multikultural Australia. Untuk karyanya dalam bidang ini, ia
menerima satu dari penghargaan tertinggi Australia, the Order of Australia.141
Di Australia, hampir semua imam pada umumnya hasil ‘impor’ dari luar
negeri, di mana mereka memperoleh pelatihan disiplin keagamaan. Banyak para imam
ini merupakan lulusan lembaga pendidikan Islam di India, Pakistan atau Indonesia,
atau dari universitas seperti Universitas Azhar di Mesir, atau Universitas Islam Arab
Saudi.
Bila sebuah mesjid dijalankan oleh sekelompok etnik tertentu – umpamanya,
orang Turki, Pakistan, Afganistan, Mesir atau Iran – maka sang imam pada umumnya
juga diambil dari orang yang berlatar belakang sama dan dibawa ke Australia dari
negeri ‘asal’ nya. Tidak semua mesjid dengan jelas memisahklan garis-garis etnik,
sehingga cara memilih imam juga bervariasi. Dalam hampir semua kasus, suara
terbesar untuk membawa seorang imam dari sebuah komunitas yang paling dekat
kaitannya dengan diri mereka sendiri.
Jenis kepemimpinan agama yang diimpor ini mempunyai masalahnya sendiri,
di mana ada di antara iman tersebut yang ternyata tidak atau kurang memahami
budaya Australia bahkan ada yang tidak menguasai bahasa Inggris. Masalah ini bisa
menjadi berkurang, bila sang imam hanya berurusan dengan sekelompok jamaah
mesjid dari etnik tertentu saja, saat sang imam maupun jamaahnya bisa berbagi
bahasa ‘ibu’ dan menganut cara pandang keagamaan yang sama. Namun demikian,
perbedaan dalam bahasa dan budaya bisa menciptakan masalah pelik, terutama bila
berkenaan dengan para mualaf atau generasi kedua atau ketiga kaum Muslim
Australia yang tidak bisa berbicara dengan bahasa yang dikuasai sang imam – apakah
itu bahasa Persia, Arab, Turki atau lainnya – dan bisa menampilkan perbedaan
perspektif dan cara pandang yang cukup besar. Dalam kasus ini, akan sukar menjada

140
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 134.
141
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 135. Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians:
Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
143

komunikasi terbuka antara pemimpin agama impior dan bagian-bagian penting


komunitasnya.
Oleh karena itu, muncul perasaan di kalangan kaum Muslim akan pentingnya
membangun lembaga-lembaga Australia untuk mendidik para pemimpin agama dari
negeri asal. Ini masih menjadi impian yang berlum terlaksana, karena memakan waktu
bagi sebuah komunitas untuk mengembangkan program pelatihan, terutama sumber
daya besar yang diperlukan untuk hal itu. Ini berati bahwa, di masa depan, para
pemimpin agama di Australia akan terus diimport dari luar negeri. Baru belakangan
ini saja mulai terlihat munculnya beberapa orang Muslim Australia yang berkunjung
ke negeri-negeri Muslim seperti Indonesia dan Malaysia untuk mendapat pelatihan
agama, agar kelak bisa kembali pulang dan memainkan peran penting dalam masalah-
masalah komunitas lokal setempat. Kaum Muslim inilah, yang bisa bicara bahasa
Inggris, yang merasa nyaman dan kenal dengan lingkungan Australia, yang dapat
memainkan peran semakin signifikan dalam kehidupan komunitas Muslim Australia,
namun jumlah pemimpin seperti itu masih kecil.
Muncul sejajar dengan dengan pelatihan luar negeri orang Muslim kelahiran
Australia adalah jenis lain dari otoritas keagamaan, yang dapat dirujuk sebagai jenis
kepemimpinan ‘biasa’. Ini adalah orang yang melalui pelatihan agama Islam
tradisional yang formal, namun telah membaca dengan baik dalam area Islam atau
studi keislaman. Beberapa di antaranya telah mengambil peran sebagai pemimpin
agama atau imam (tidak penuh waktu) di beberapa mesjid atau komunitas Muslim dan
kemasyarakatan.
Efektifitas mesjid sebagai sebuah lembaga tergantung pada kualifikasi dan
kualitas kepemimpinan yang bisa diberikan seorang imam. Tahun 1980-an
menunjukkan, di antara mereja yang masuk ke Australia ada sejumlah signifikan
sarjana dalam disiplin kajian Islam, terutama dari universitas-universitas Islam di
Timur Tengah dan subkontinen India. Secara formal, mereka layak untuk bertindak
sebagai profesional keagamaan, meskipun seringkali mereka tidak terbiasa dengan
kondisi di Australia. Sejumlah mereka disponsori perpindahannya ke Australia oleh
pemerintah negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi. Memang sejak awal migrasi
besar-besaran orang Turki di akhir tahun 1960-an, ada minat resmi orang Turki pada
144

bentuk kehidupan beragama bagi komunitas expatriat di Australia. Pemerintah Turki


menyatakan minat ini dengan mengirikan para imam ke sejumlah mesjid Turki dan
menyediakan dana untuk pembangunan mesjid. Arab Saudi juga luar biasa aktif
mendanai proyek-proyeks serupa. Bahkan saat harga minyak dunia merosot, dana
yang signifikan disediakan bagi masyarakat di akhir tahun 1980-an dan 1990-an untuk
membangun infrastruktur ini.142
Imigrasi yang relatif berskala besar kaum Muslim di tahun 1980-an, juga di
tahun 1990-an, berarti para pemimpin agama berdatangan dari sejumlah komunitas
dan budaya. Kebijakan multikulturalisme mempermudah bagi para pemimpin agama
yang mendapat dukungan dari komunitas mereka masing-masing untuk mendapatkan
visa, dan pemerintah dari negara-negara seperti Mesir dan Turki mendukung para
Imam melayani masyarakat dari komunitas sebangsa dengan mereka.
Kepemimpinan agama yang efektif sangat mendasar bagi terciptanya rasa
identitas keagamaan. Bila hal itu tidak dapat ditumbuhkan di halaman rumah, maka
itu harus diimpor. Walaupun para pimpinan yang ‘diimpor’ ini pada umumnya
menyediakan kepemimpinan yang hebat,143 yang lainnya yang tidak terbiasa dengan
kondisi di Australia, termasuk budaya lokal dan tuntutan yang dimninta komunitas
lokal dala sebuah lingkungan yang sekuler, menjadi hal yang kontroversial. 144
Ketidakbiasaan itu terkadang menimbulkan kesulitan-kesulitan dengan komunitas
agama juga dengan beberapa segmen masyarakat yang lebih luas.
Kenyataannya, sebuah masalah yang terus berlanjut bagi komunitas muslim di
Australia adalah yang terkait dengan evolusi kepemimpinan agama
yang profesional yang berpengetahuan cukup tentang budaya Islam dan budaya
Australia. Beberapa imam yang terbina baik telah menghabiskan waktu cukup lama di
Australia dan bisa memahami adanya ketegangan antara pemeliharaan identitas dan
adaptasi pada budaya yang lebih luas. Para pemimpin agama yang sudah ada
menggunakan pengetahuan lokal mereka dan kefasihan berbahasa Inggris untuk

142
Wawncara dengan Bilal Cleland di Melbourne, 5 Nopember 2000.
143
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.
144
Dalam wawancara penulis dengan Bilal Cleland, mantan Sekjen AFIC dan aktifis Muslim
berlatar belakang Anglo-Saxon, dan beberapa Pengurus AFIC lainnya, 8 Oktober tahun 2000,
mengatakan sulitnya perkembangan Islam di Australia karena Imam yang lebih berorientasi etnis dan
tidak mengenal lingjkungan baru yang ditempatinya.
145

bertindak aktif pada tingkat lokal, negara dan federal dalam memperomosikan
kebutuhan kaum Muslim dan dalam memainkan peran signifikan menengarai dan
memfasilitasi antara masyarakat yang lebih luas, pemerintah, dan komunitas Muslim.
Di samping itu muncul pula pemimpin kelompok di kalangan kaum Muslim
Australia yang berasal dari tiga tingkatan atau lapisan. Menurut Abdullah Saeed, hal
Ini dapat dilihat pada:

 Masyarakat Islam di tiap negara bagian atau teritori;


 Dewan Islam di tiap negara bagian dan teritori; dan
 Federasi Dewan-Dewan Islam Australia (AFIC – the Australian Federation of
Islamic Councils).145

Masyarakat dan asosiasi Muslim, setidaknya dalam teori, terjaring melalui dewan
Islam negara bagian terkait. Semua dewan negara bagian kemudian diwakili di tingkat
nasional oleh AFIC.
Ketiga lapis ini diatur oleh undang-undang. Keanggotaan bergilir pada badan
korporasi ini sebagian besar terdiri dari pemimpin-pemimpin kalangan biasa, bukan
kaum imam yang telah mendapat pelatihan khusus tentang disiplin keagamaan islami.
Ini sebagian diakibatkan oleh jarak yang sering muncul antara imam dan budaya lokal
serta bahasa setempat. Karena itu, pihak pemimpin kalangan biasalah yang
memainkan peran cukup substansial dalam mewakili kaum Muslim dalam
berhubungan dengan para politisi, pemerintah, media, dan organisasi-organisasi
komunitas non-Muslim lainnya.146
Sejauh apa suatu hubungan yang produktif bisa muncul dari antara tiga pelapisan
organisasi korporasi masyarakat Muslim ini masih bisa diperdebatkan. Ketegangan-
ketegangan antara masyarakat Muslim dapat dicerminkan pada area kepemimpinan
dan bisa melibatkan pertengkaran-pertengkaran etnis, politis, dan keagamaan dalam
sebuah masyarakat atau dewan negara, antara satu masyarakat dengan yang lainnya,

145
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 138.
146
Lihat Gary D. Bouma et al (ed.), ‘Muslims Managing Religuos Diversity’, dalam lAbdullah
Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 63.
146

antara sebuah masyarakat dan sebuah dewan, atau bahkan antara sebuah dewan dan
AFIC.
Meskipun ada beberapa posisi pemimpin yang ada pada masyarakat Muslim di
Australia, tidak banyak upaya signifikan yang dilakukan untuk menyatukan
pencalonan pemimpin-pemimpin agama atau satu pemimpin agama sebagai wakil
seluruh penduduk Muslim Australia, meskipun beberapa komunitas menginginkan
posisi seperti itu. Sebagai akibat banyaknya perbedaan etnis, politis, dan teologis yang
muncul di antara kaum Muslim Australia, maka sangat sulit sekali bagi orang untuk
memilih seseorang yang dapat diterima mewakili keseluruhan komunitas Muslim. 147

Bagi sementara orang, tokoh yang mendekati persyaratan itu adalah Taj al-Din
al-Hilali, seorang imam berbasis di Sydney. Ia dianggap oleh sebagian kaum Muslim
dan non-Muslim sebagai ‘Muftinya Australia’. Gelar ‘Mufti’148 dengan jelas diberikan
oleh Kongres AFIC pada Taj al-Din, sementara terjadi kampanye di tahun 1980-an
oleh sekelompok Muslim dan masyarakat Libanon yang minta ia di deportasikan dan
kemudian Menteri Imigrasi, Hurford, mengabulknnya lalu memutuskan untuk
mendeportasikannya. Tidak semua orang Muslim di Australia yang menganggap dia
sebagai sang ‘Mufti dari Australia’, juga mereka tidak mengakui fatwa-fatwa yang
dikeluarkannya. Seperti halnya imam manapun di Australia, dia mempunyai pengikut
yang kuat di bagian-bagian tertentu dalam komunitas Muslim, khususnya di daerah
Lakemba, Sydney.
Di tahun 1990-an, kepemimpinan religius kolektif mulai muncul dengan
berdirinya sebuah Dewan Para Imam (Board of Imams) di berbagai negara bagian
Australia, seperti di New South Wales dan Victoria. Tiap Dewan mengumpulkan para
imam mesjid untuk berdiskusi dan membuat keputusan-keputusan tentang masalah-
masalah yang menjadi perhatian kaum Muslim. Meskipun secara teoritis sebuah
Dewan mewakili para imam dari semua mesjid di negara bagiannya, dalam
prakteknya hanya sejumlah kecil yang benar-benar berperan dalam pertemuan-
pertemuan mingguan atau bulanan dan memberi kontribusi selama proses

147
Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 55.
148
Seorang yang berhak mengeluarkan fatwa atau dekrit-dekrit agama.
147

pengambilan keputusan. Apakah Dewan para Imam ini akan berkembang menjadi
sebuah kepemimpinan religius kolektif pada level nasional atau tidak belum jelas
benar. Ini merupakan sebuah bentuk kemungkinan, yang pada saat ini tidak mungkin
bisa terjadi. Sebuah konferensi nasional para imam diselenggrakann oleh AFIC di
tahun 1998 untuk membentuk ikatan (kohesi) nasional pada kepemimpinan para
imam, namun inisiatif ini belum dilanjutkan dalam konferensi-konferensi selanjutnya.
Kepemimpinan agama juga muncul dari organisasi mahasiswa internasional
yang sedang belajar di Australia. Mereka memainkan peran yang cukup signifikan
bersama masyarakat Islam dalam kegiatan keagamaan dan informasi yang bersifat
umum di Australia. Mereka mendirikan The Muslim Student Association (MSA) dan
Federation of Australian Muslim Students and Youth (FAMSI). Sasaran dakwah
mereka tidak hanya terbatas pada internal kampus, tetapi juga pada masing-masing
etnis Muslim Australia. Karena itu, mereka kerap diangkat sebagai pemimpin agama.
Pertanyaan tentang siapa yang berbicara atas nama siapa? Dalam isu
keagamaan, apakah ada sebuah otoritas yang dapat menjadi acuan kaum Muslim?
Meskipun ada Mufti Australia yang dapat memberikan fatwa, namun belum tentu
semua orang akan mengkutinya. Salah satu yang dapat menjadi sumber
representasi kelompok Islam adalah Dewam-Dewan Para Imam; namun pada
umumnya para imam berbicara atas nama komunitas agamanya sendiri, atau
setidaknya beberapa anggota dari komunitas
tersebut. Sejak peristiwa pemboman tanggal 11 September 2001 dan serangan balik
yang diakibatkannya pada kaum Muslim di Australia, ada permintaan untuk
menyatukan suara kaum Muslim tentang isu-isu keagamaan. Terlepas dari bisa
tidaknya hal ini menjadi kenyataan, adalah tidak mungkin untuk mencegah pihak
komunitas lainnya mengutarakan opini mereka, khususnya para pemimpin kalangan
biasa yang berpengaruh.
Berdasarkan hal ini, bisa dikemukakan bahwa tidak seorangpun atau satu
kelompok masyarakat pun yang bisa berbicara atas nama seluruh komunitas Muslim,
apalagi mengenai masalah-masalah keagamaan. Komunitas dibagi secara teologis,
dalam orientasi religiusnya, dan dalam paham etnisitas dan pendekatan pada Islam di
Australia. Selanjutnya, ada kaum Muslim yang bervariasi bentuk komitmen nya pada
148

Islam mulai dari yang secara total mengikat diri sampai yang secara total menolak.
Jadi, seorang pemimpin agama secara satu persatu tidak bisa berbicara atas nama
sekian banyak masyarakat yang berbeda. Secara historis, komunitas Muslim telah
menerima dan memanifestasikan keanekaan dalam batasan mereka, dan lebih dasri ini
menjadi kasus di Australia. Satu-satunya kesimpulan yang bisa dicapai adalah bahwa
kepemimpinan agama di kalangan masyarakat Muslim Australia akan tetap terbagi
selama waktu ke depan yang tak terperkirakan.149

C. Latar belakang Sosio-Ekonomi Komunitas Muslim Australia


Sebagai hasil imigrasi, pembentukan keluarga di Australia, tingkat fertilitas yg
tinggi, dan upaya luar biasa untuk mendirikan sekolah-sekolah, kelompok
kemasyarakatan, perserikatan-perserikatan, mesjid dan pusat-pusat kebudayaan ada
komunitas Muslim yang bisa diidentifikasikan. Gambaran sejak sensus tahun 1991
bisa memberi sebuah gambaran yang dinamis tentang sosio-ekonomis komunitas ini.
Asal kebangsaan, tanggal kedatangan dan bahasa seperti telah dibicarakan
sebelumnya, namun ada korelasi lebih lanjut dengan profil kaum Muslim, yaitu
distribusi geografis di Australia, usia-jenis kelamin, dan partisipasi dalam pendidikan
serta tenaga kerja.

Distribusi Geografis
Gary D. Bouma dalam bukunya tentang Mesjid dan Pemukiman Muslim di
Australia,150 menguraikan sebagian besar kelompok Muslim sebagian besar menetap
di Sydney, negara bagian New South Wales (51,02 persen) dan Melbourne, negara
bagian Victoria (33,38 persen). Sebagian kecil (15,60 persen) hidup di luar sebuah
dari kota-kota utama Australia.
Tabel 6 memperlihatkan distribusi geografis populasi Muslim di Australia menurut
negara bagian dan jenis kelamin dibandingkan dengan populasi lainnya (Sensus
1996).

149
Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland di Melbourne, 4 Nopember 2000.
150
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 28.
149

Tabel 6: Populasi Orang Muslim Menurut Negara Bagian dan Jenis Kelamin
Dibanding dengan Sisa Populasi lainnya (Sensus 1996)
150

Muslim Muslim Muslims as % Proportion of


population population of State total Muslim
of State of State population population for
/Territory /Territory Australia
residing in
New South State/Territory
Wales (%)
Male 1,80
Female 53 734 2 983 447 1,59 51,02
Total 48 554 3 055 249 1,69 50,80
102 288 6 038 696 50,92
Victoria
Male 1,62
Female 34 930 2 150 301 1,44 33,17
Total 32 117 2 223 219 1,53 33,61
67 047 4 373 520 33,38
Western
Australia 0,76
Male 6 594 862 645 0,69 6,26
Female 5 989 863 450 0,73 6,27
Total 12 583 1 726 095 6,26

Queensland 0,30
Male 5 022 1 673 220 0,26 4,77
Female 4 399 1 695 630 0,28 4,60
Total 9 421 3 368 850 4,69

South 0,37
Australia 2 566 702 215 0,31 2,44
Male 2 232 725 721 0,34 2,34
151

Female 4 798 1 427 936 2,39


Total

Australia 0,87
Capital 1 280 147 830 0,78 1,22
Territory 1 186 151 413 0,82 1,24
(ACT) 2 466 299 243 1,23
Male
Female 0,20
Total 442 226 338 0,16 0,42
365 233 321 0,18 0,38
Tasmania 807 459 659 0,40
Male
Female 0,38
Total 390 101 370 0,40 0,37
378 93 731 0,39 0,40
Northern 768 195 101 0,38
Territory
Male 19,11
Female 355 1 858 24,03 0,34
Total 352 1 465 21,28 0,37
707 3 323 0,35
Other
territories* 1,19
Male 105 313 8 849 224 1,06 100,00
Female 95 572 9 043 199 1,12 100,00
Total 200 885 17 892 423 100,00

Total
Australia
Male
152

Female
Total

* Cocos Islands, Christmas Island and Jervis Bay Territory.


Source: Australian Bureau of Statistics (ABS) 1996 Census of Population and
Housing.
Table Compiled from ABS data by Lici Inge and Christine Asmar, University of
Sydney, 2000.
153

1. Profil Usia dan Jenis Kelamin


Sebagaimana hampir semua penduduk imigran di awal tahapan imigrasi dan
permukiman, imigran Muslim cenderung lebih banyak dari kalangan laki-laki muda.
Mayoritas Muslim (54%) di Australia di bawah usia 25 dan perbandingan
jumlah pria melebihi wanita di tiap kelompok. Perbandingan pria/wanita adalah 1:12,
sedangkan dengan penduduk Australia perbandingannya 0.985. Penjelasan umumnya
adalah bahwa pria lebih banyak berinisiatif melakukan imigrasi daripada wanita. Pria
lebih mudah diterima berimigrasi daripada wanita. Pria lebih mungkin pergi lebih
dahulu dan kemudian membawa anggota keluarga yang lain. Mereka yang berimigrasi
dalam usia muda mempunyai tingkat perkawinan kecil. Kecenderungan ini mungkin
tak begitu nyata di kalangan orang Libanon, di mana imigrasi beserta keluarga telah
menjadi norma yang biasa. Terlebih lagi, dengan adanya ideologi pro-keluarga dalam
Islam, komunitas Islam sekarang menjadi semakin terfokus dengan keluarga, berada
di antara yang paling tinggi tingkat perkawinan dan fertilitasnya. Ini nyata pada
kelompok usia yang lebih muda di mana perbandingan pria – wanita lebih mendekati
rata-rata nasional bagi Australia.151

Aktifitas Masyarakat Muslim


Masyarakat Muslim Australia secara umum terbagi dua. Pertama,
kelompok Muslim yang berbasiskan etnisitas. Di Victoria sebagai contoh, ada 10
macam kelompok keturunan Turki, 1 di Geelong, dan satu lainnya di Mildura dan
Moroopana. Begitu juga 2 kelompok Albania dan satu kelompok Croasia. Mayoritas
mayarakat Islam yang bertempat tinggal di Victoria menganut paham Sunni, ada dua
kelompok Syi’ah.
Begitu pula di negara bagian New South Wales, kelompok Turki merupakan
jumlah terbanyak. Ada juga dari kelompok Libanon dan Bangladesh. Kedua
kelompok terakhir ini memiliki organisasi berdasarkan etnis.
Kelompok kedua, adalah berbasiskan pada lokalitas (tempat tinggal). Banyak
ditemukan masyarakat Islam yang menempati suatu tempat sehingga cukup untuk

151
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 29.
154

membentuk suatu komunitas dan biasanya di suatu tempat yang tersedia tanah yang
cukup untuk membangun atau suatu bangunan yang dijual dan kemudian ditempati
bersama-sama. Hal ini terlihat di area Mesjid Preston di Melbourne dan daerah
Lakemba di Sydney.152
Di Sydney, masyarakat Islam bertempat tinggal daerah pinggiran (suburbs),
seperti Auburn, Smithfield dan Greenacre. Di Lakemba terdapat Pusat Kebudayaan
Islam dan Nerwork Informasi. Lembaga ini menyediakan jasa kepada masyarakat
Muslim, seperti tempat pertemuan dan informasi. Tempat-tempat ini kadang-kadang
bergaya Islam. Mereka juga menyediakan daerah pekuburan Muslim. Di Melbourne,
daerah pekuburan Muslim terdapat di Fawkner dan Springvale.
Organisasi Islam juga terdapat di Australia baik yang berafiliasi kepada etnis
maupun negara bagian. AFIC yang berbasis di Sydney merupakan representasi
perwakilan umat Islam di Australia. Lembaga ini tidak membawahi kelompok-
kelompok Islam lainnya melainkan sebagai wahana pemersatu kepentingan umat
Islam secara menyeluruh dalam bidang politik, media, dan jasa lainnya. 153

2. Pemukiman
Secara historis, kaum penunggang onta dari Afganistan dibawa ke Australia
antara tahun 1860 dan 1910 merupakan orang terawal dari kelompok etnik lainnya
yang datang dan menyebabkan kehadiran kaum Muslim in Australia masa kini;
mereka telah menjadi bagian dari sejarah dan cerita rakyat Australia. Ceritanya
dimulai ketika Thomas Elder dan Samuel Stuckey menyadari kelayakan
menggunakan binatang onta sebagai alat transportasi dan eksplorasi ke pedalaman
Australia, dan di tahun 1866 mengimpor 124 onta dan tiga puluh empat penunggang
berkebangsaan Afganistan. Mengomentari pentingnya penunggang onta Afganistan
ini, ditulis oleh Christine Stevens sbb.:
Selama hampir lima pulun tahun kaum lelaki Muslim dan binatang
mereka menyeberangi tiga perempat kawasan benua Australuia
untuk memberi pelayanan dan menyambung hidup serta industri di
pedalaman yang keras. Tanpa keahlian yang istimewa dan
pemeliharaan orang-orang Muslim yang berguna ini – di antara

152
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 4.
153
Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 4.
155

orang-orang pertama Muslim yang menjadi bagian dari campuran


kebudayaan masyarakat kontemporer Australia – akan banyak
kekayaan tradisional Australia yang tetap tidak tergali selama
berbagai dekade.154
Tim yang pertama menetap di stasiun biri-biri Beltana di penggembalaan
Flinders (Flinders Ranges).155 Laporan-laporan menunjukkan bahwa, selama periode
ini (1860 – 1910), antara 2,000 dan 4,000 orang laki-laki dibawa ke Australia untuk
bekerja di industri transportasi onta ini. Orang-orang Afganistan ini bekerja di padang
pasir di pedalaman dari kawasan yang kemudian menjadi koloni terpisah dari
Australia Selatan (termasuk teritorial Utara), Australia Barat, Queensland, new South
wales, dan Victoria, memberi garis kehidupan yang vital antara pembangunan
pemukiman yang bertebaran di sepanjang benua dan pemukiamn-pemukiman utama
di selatan dan timur pantai negeri ini.
Orang-orang Afganistan membentuk komunitas yang kuat, namun terisolasi di
pinggiran kota-kota pedalaman. Mereka dipandang sebagai pendatang sementara saja
(dan memang sebagian besar mereka hanya berniat tinggal beberapa tahun saja untuk
mengumpulkan uang guna dibawa pulang ke negara asalnya) dan mereka tidak
ditemani keluarga mereka. Pada mulanya, berdasarkan kecurigaan terhadap orang
luar, mereka tidak diterima baik di kalangan wanita Aborigin maupun Eropa.
Belakangan, beberapa di antara mereka berhasil mendapat isteri dari kelompok-
kelompok wanita yang termarginalkan: isteri-isteri yang diasingkan atau wanita
Aborigin yang diusir dari kelompok budaya mereka atau mereka yang tidak memiliki
tanah.
Hanifa Deen, seorang keturunan asli dari kaum Muslim Afganistan ini,
menceritakan apa yang ia dengar dari ayahnya tentang kekayaan orang-orang
Afganistan ini dalam bukunya Caravanserai – Journey Among Australian Muslims.
Ketika mereka kembali pulang setelah beberapa tahun tinggal di Australia, beberapa
orang asal Punjab Utara, dari mana mereka dulu di rekrut, mengisahkan kehidupan
mereka di Kawasan selatan yang luas. Mereka menjadi sumber inspirasi bagi yang

154
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 62.
155
Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L,
Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 52.
156

lain yang tengah menderita kesulitan ekonomi untuk pergi mencari keberuntungan ke
sana. Pekerja-pekerja baru ini menuju Australia melalui Singapura dan Hong Kong.
Akhirnya, di tahun 1880-an, mereka mulai mendiami Perth, Syndey, dan Melbourne,
mengumpul di beberapa distrik tertentu, termasuk Redfern di Sydney. Banyak dari
mereka bekerja sebagai penjaja. Banyak dari mereka bekerja sebagai penjaja. Sambil
menjajakan dagangan mereka di jalan, menyediakan barang-barang yang dibutuhkan
di luar pusat-pusat utama penduduk, mereka menumbuhkan suatu sistem perkreditan
timbal balik di kalangan petani di pedalaman. Sementara menurut Steven, mereka
dibenci di beberapa tempat, Hanifa Deen justru mengatakan bahwa mereka disenangi
dan dihormati karena kejujuran dan peran yang mereka mainkan itu. Setelah tiba
sebelum diberlakukannya Kebijakan Australia Putih, mereka juga mampu
menghidupkan diri mereka di kawasan pedesaan, umpamanya di lembah La trobe,
sebagai pekerja pertanian; beberapa di antara mereka mengurus perkebunan pisang di
Queensland.156 Dalam skala kecil bentuk interaksi ini merupakan contoh awal
hubungan sosial yang bermanfaat antara kaum imigran Muslim dan pemukim Kristen
di Australia yang telah lebih dahulu datang.
Pengenalan trasnportasi mekanik di akhir abad ke-16 membawa kehancuran
alat angkut onta. Ketika di tahun 1901, sebuah Federasi didirikan di bekas-bekas
koloni di mana benua Australia pernah menjadi bagiannya, komitmen awalnya pada
Kebijakan Australia Putih telah mengeluarkan hampir semua orang non-Eropa dari
hak-hak untuk mengajukan permohonan naturalisasi dan semakin memarginalkan
orang-orang Afganistan. Penolakan kewarga-negaraan, dan dengan semakin
mengecilnya kesempatan mendapat pekerjaan, menyebabkan banyak dari mereka
yang masih tinggal memilih untuk pulang ke negeri asal mereka.157 Namun, ada juga
yang tetap tinggal di daerah-daerah seperti Wyndham, di pantai barat laut (north-west)
Australia. Penciutan jumlah ini semakin mempersulit mereka yang masih menetap
utnuk mempertahankan identitas keislaman mereka. Menjelang tahun 1921, tinggal
hanya kurang dari tiga ribu penetap Muslim di Australia. Diasingkan dalam

156
Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, h. 23.
157
Mary Lucille Jones, ‘Muslim Impact on Early Australian Life’ dalam Mary Lucille Jones (ed.),
An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 46.
157

keagamaan dan ras oleh kelompok dominan masyarakat Anglo-Celtic putih, banyak
keturunan Muslim ini kehilangan keyakinan keIslaman mereka.
Namun, mereka tidaklah lenyap tanpa bekas. Onta-onta yang mereka
tinggalkan di pedalaman Australia berkembang biak dan secara teratur di ekspor ke
Saudi Arabia dan negara-negara Teluk untuk lomba balap. Lebih penting lagi,
beberapa mesjid yang telah mereka bangun tetap hidup. Salah satu yang tertua ,
dibangun tahun 1889 dan masih dipakai, ada di Adelaide; yang lain, dibangun tahun
1891 di Broken Hill, New South Wales, sekarang menjadi sebuah museum dibawah
pengurusan the Broken Hill Historical Society.158 Sisa sejumlah mesjid lainnya masih
bisa dilihat di jalur lama ke arah barat laut (north-west) antara Adelaide dan Brisbane.
Pedagang-pedagang onta meninggalkan jejak mereka dalam lansekap Australia
dengan cara yang lain. Sekarang, di Alice Springs, masih ada jalan bernama
Mahomet, Jalan Khalick, juga ada the Charlie Sadadeen School. Nama populer bagi
Trans Australian Railway adalah Ghan, berasal dari nama pengendara onta Afganistan
yang membantu pendirian sistem transportasi pertama melintasi kawasan tengah
Australia yang gersang tahun 1879.159 Dan memang, seorang Afganistan asli yang
datang tahun 1886, tingggal di sini sampai kematiannya di tahun 1962 pada usia 106
tahun.160
Namun demikian, sebuah penghormatan kecil pada kaum Muslim dari sub-
kontinen India berlanjut selama tahun-tahun berlakunya Kebijakan Kulit Putih
Australia. Di tahun 1920 ada sedikit angin tenang dalam penerapan undang-undang
imigrasi (the Immigration Act), yang memungkinkan terjadinya reuni sejumlah kecil
keluarga. Dengan merdekanya sub-kontinen India dan terciptanya negara Pakistan,
sejumlah orang Muslim ini atau keturunan mereka kembali ke tempat asal mereka,
namun yang lain tetap tinggal di Australia.
Secara umum, federasi di tahun 1901 menandai masa akhir masuknya orang
Muslim ke Australia. Kebanyakam kaum imigran berasal dari Inggris dan Eropa;
secara agama, mereka membawa tradisi Judeo-Kristiani dan memberi kontribusi pada

158
Lihat Micheal Humphrey, ‘Community, Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata
(ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, h. 258-259.
159
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 20.
160
Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 32.
158

perkembangan sebuah Australia yang homogen. Sebuah pengecualian adalah


sejumlah kecil orang Albania, tadinya berkewarga-negaraan Kekaisaran Usmani
(Ottoman), yang masuk ke Australia selama tahun 1920-an dan 1930-an. Sebagai
orang Eropa, mereka tidak terkena pembatasan-pembatasan yang diberlakukan pada
kaum Muslim sebelumnya akibat Kebijakan White Australia. Mereka ibaratnya
sebuah gemercik air bukan sebuah alur jeram. Antara tahun 1930 dan 1939 hanya
sekitar empat ratusan dari mereka tiba di Australia, kebanyakan laki-laki belum
menikah, bahkan ada yang baru berusia lima belas tahunan. Mereka bekerja sebagai
pekerja kasar (casual laborers) di Australia Barat, dan Queensland, juga di Victoria.
Sejumlah kecil menetap di Melbourne. Mesjid Albania yang paling terkenal ada di
Jalan Drummond di distrik Carlton di tengah kota Melbourne.161 Sebuah arus besar
yang baru mulai menggulir di tahun 1940-an, berupa rombongan imigrasi sekala kecil
terdiri dari orang Turki-Siprus yang Muslim, dibekali kenyataan bahwa mereka
berkewarganegaraan Inggris menurut data paspor mereka.
Namun, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam gerak imigrasi
kaum Muslim sampai akhir tahun 1960, meskipun keadaan sudah memungkinkan
segera setelah berakhirnya Perang Dunia II. Kebutuhan untuk membangun kembali
ekonomi Australia mendorong munculnya kebijakan imigrasi yang baru dan kuat
dengan slogan ‘populate or perish’ (‘diami atau
tanggung derita’). Menteri Keimigrasian Arthur Calwell, mengatasi kecurigaan dari
perserikatan dagang dengan memprakarsai sebuah kebijakan yang membawa ribuan
kaum imigran ke Australia. Mereka pertama kali datang dari
Inggris, yangs ecara ekonomi lemah setelah perang. Seorang imigran Inggris dapat
berlayar ke Australia dengan £10. Kaum imigran direkrut secara aktif dari Italia dan
kawasan Eropa lainnya. Penerapan skema ‘Snowy Moontains’ (Gunung Buatan Salju)
telah membawa ribuan kaum imigran ke negeri ini, termasuk menggantikan orang-
orang dari Yugoslavia, Bulgaria, Siprus, Polandia, Hongaria, dan Rusia. Di antara
mereka mungkin termasuk kaum Muslim Eropa, yang tidak bisa dikeluarkan oleh

161
Mesjid yang indah ini terletak di tengah kota yang strategis dan di tengah perumahan kelompok
Kulit Putih. Setiap Jum’at, khutbah disampaikan dalam bahasa Albania dan disimpulkan dalam bahasa
Arab. Menurut pengamatan penulis, yang sering shalat Maghrib di mesjid ini tampak lebih berorientasi
pada masyarakat Muslim pada umumnya ketimbang etnik (moderat).
159

kebijakan Australia Putih, namun urutan latar belakang etnik mereka jauh di luar
campuran Anglo-Celtic
campuran yang telah menjadi tulang punggung utama populasi Australia.

3. Pendidikan
Peningkatan pendidikan Islam di Australia sangat berkaitan AFIC. Organissasi
ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern Islam dari tingkat dasar sampai
menengah di tahun 1980-an, yang dibiayai oleh Saudi Arabia. Antara lain, The King
Khalid Islamic College di Melbourne dan The Malik Fahd Islamic School di Sydney,
dan Islamic College di Perth. Kurikulum yang diajarkan tidak hanya bersifat
keagamaan, tetapi juga pelajaran umum. Alumni-alumni sekolah ini diakui bermutu
dengan diterimanya mereka di pendidikan tinggi Australia. Kelanjutan finansial
sekolah-sekolah Islam ini dan sekolah Islam lainnya didukung dan disubsidi oleh
pemerintah Australia dari pungutan pembayar pajak Australia. Bandingkan dengan
negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris yang tidak memiliki sistem
sekolah Islam yang didanai oleh negara.162
Pentingnya lembaga-lembaga pendidikan modern Islam sangat mendukung
kelanjutan proses pendidikan generasi kedua dan ketiga warga muslim yang datang
dan lahir di Australia. Karena latar belakang mereka yang datang dari negara
berkembang dan sedang diamuk perang saudara, maka sebagian besar dari mereka
berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian. Hanya sebagian kecil yang
memiliki kualifikasi pendidikan akademi/tinggi dan keahlian sehingga mau tidak mau
mereka termajinalkan dalam berbagai akses yang dituntut dalam struktur sosial
masyarakat Australia yang sudah mapan.
Bagaimanakah partisipasi orang-orang Muslim lebih lanjut dalam
memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan? Sensus tahun 1991 memberi
informasi tentang kualifikasi yang diterapkan dan usia lepas sekolah. Perbandingan
dengan gambaran nasional memang penting, namun sebuah gambaran yang lebih
lengkap bisa diperoleh dengan membandingkan orang-orang Muslim dengan profil

162
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.
160

kelompok immigran dari agama minoritas lainnya yang baru datang, seperti orang-
orang Hindu atau Buddha.
Pola menyeluruh tentang perolehan kualifikasi bagi kaum Muslim cukup sama
dengan pola-pola nasional. Orang-orang Muslim ternyata sangat berlebihan
keterwakilannya dalam kelompok berpendidikan tinggi. Hal ini tidak mengherankan
bila diingat nilai tinggi yang diberikan pada pendidikan dan pengetahuan dalam Islam
dan dari kenyataan bahwa para pelamar imigrasi kebanyakan lebih disukai yang
berkualifikasi tinggi selama proses seleksi. Para pria Muslim khususnya kurang
terwakilkan di kalangan yang berkualifikasi ahli kejuruan. Apakah orang-orang
Muslim terhambat dalam hal keahlian magang? Lepas dari keadaan terwakilkan
secara berlebihan di kalangan penyandang gelar perguruan tinggi dan di kalangan
tanpa kualifikasi keahlian, para pria dan wanita Muslim kurang terwakilkan dalam
tiap jenis kualifikasi lainnya.163

Fasilitas Pendidikan
Awal tahun 1950-an, terjadi gerakan-gerakan di antara generasi Muslim yang
lebih tua, sedikit saja jumlahnya, ke arah terciptanya sebuah kerangka kerja
terorganisir untuk memelihara Islam di Australia. Pendirian ‘Sekolah Minggu’
menandai pengakuan para orang tua akan kebutuhan penyediaan pendidikan Islami
bagi anak-anak mereka. Satu dari sekolah- sekolah awal yang dibuka di Melourne di
tahun 1957 memiliki limabelas anak-anak.164 Baru pada awal tahun 1980-an sekolah-
sekolah reguler Islam yang pertama didirikan.

Tabel 7: Karakteristik Muslim di Australia menurut Sensus tahun 1991 (hanya


orang yang berusia 15 tahun keatas), berdasarkan perolehan kualifikasi (%)
Muslim Jumlah Muslim Jumlah
Kualifikasi Pria pria Wanita Wanita

163
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 33.
164
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 30.
161

Gelar lebih tinggi 3.09 1.43 1.02 0.54

Ijazah magister 0.45 0.73 0.40 1.18

Gelar Bakaloriat 5.85 6.31 3.89 5.07

Ijazah sarjana S1 1.71 2.27 2.02 5.51

Ijazah associate 0.77 1.53 0.55 2.57

Kejuruan ahli 8.79 18.66 1.37 2.19

Kejuruan dasar 1.69 2.50 2.69 4.05

Catatan tidak tepat 1.56 1.06 1.18 0.75

Tidak berkualifikasi 64.21 55.02 75.04 67.01

Tidak menyatakan 11.83 10.49 11.83 12.61

Sumber: Tabel matriks sensus 1991 CSC 6037 dan ABS Cat. No. 2722.0, tabel B15.

Pemerintah Australia (persemakmuran dan negara bagian) mendukung sekolah


berbasis masyarakat dan menyediakan insentif yang kuat bagi kaum Muslim untuk
mendirikan sekolah Islam mereka sendiri. Tidak seperti negara-negara Barat lainnya
seperti Amerika Serikat, yang tidak memiliki sistem sekolah Islam yang didanai dari
hasil pembayaran pajak, dan Inggris, Australia memberikan dukungan substansial
pada sekolah-sekolah swasta, selama mereka memenuhi persyaratan tertentu. Sebagai
hasil adanya dukungan ini, yang pertama kali dimenangkan sistem sekolah Katholik
di tahun 1960-an, sekolah-sekolah swasta dari bermacam jenis menjadi berlipat ganda
162

jumlahnya. Termasuk di dalamnya sekolah-sekolah elit sekuler, sekolah-sekolah


berbasis etnik, dan sejumlah sekolah Kristen fundamentalis. Jumlah anak-anak dalam
sekolah-sekolah ini tumbuh sampai lebih dari 50% antara tahun 1986 dan 1994.
Tingkat pendaftaran baru dapat diharapkan semakin tumbuh sejak pemerintah federal
mengakhiri batas minimum dan maksimum penerimaan di sekolah-sekolah swasta,
menyesuaikan rumus pendanaan pendidikan menurut selera mereka.165
Dalam konteks inilah, sejak awal 1980-an, kaum Muslim mampu memulai
pendirian sekolah-sekolah dasar dan menengah untuk mengajarkan kurikulum inti
negara, di mana mereka berdomisili, sejalan dengan pengajaran bahasa Arab dan
pelajaran agama Islam. Dengan kata lain, mereka menyediakan pendidikan sekuler di
dalam sebuah lingkungan Islami. Dengan infrastruktur awal bagi sekolah-sekolah
yang sebagian besar datang dari sumber-sumber di luar, pendanaan lanjutan dari
pemerintah persemakmuran dan negara bagian digunakan untuk memperluas sistenm
pendidikan islami secara memadai.
Sejumlah sekolah-sekolah ini menjalankan pendidikan akhir dua tahun untuk
tingkat menengah, dan beberapa di anataranya mampu memasukkan pelajaran bahasa
seperti bahasa Turki dalam kurikulumnya. Lepas dari kesulitan-kesulitan awal,
standar kurikulum mulai membaik secara bertahap, dan sekolah yang telah berhasil,
seperti the King Khalid Islamic College di Melbourne, the Malik Fahd Islamic School
di Sydney, dan the Islamic College of Perth, bersaing dengan sekolah-sekolah
bergengsi yang telah mapan lainnya dalam penyediaan pendidikan bermutu.166 Di
King Khalid Islamic College of Victoria, umpamanya, semua pelajar yang lulus di
tahun 1998 mendapat tempat di universitas, sebuah tingkat keberhasilan yang jauh
berada di atas rata-rata di Victoria dan sebuah contoh mencolok yang mendongkrak
mobilitas sosial di kalangan generasi baru imigran Muslim. Kini ada dua puluh tiga
sekolah Islam yang ada, dengan jumlah populasi pelajar sekitar 10,000. Sebagai
tambahan, banyak sekolah Islam akhir minggu dan kelas-kelas Baca Qur’an dilakukan
di hampir semua mesjid dan sekolah-sekolah Islam.

165
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 205.
166
Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 56.
163

Sejalan dengan diberlakukannya program pemerintah tentang pendidikan


multikultural di Australia di tahun 1981, maka setiap sekolah Islam memasukkan
kurikulum ini dalam pelajaran-pelajaran mereka. Tujuan program ini sesuai dengan
kebijakan multikulturalisme yang ingin menciptakan suatu identitas nasional dalam
realitas mayarakat Australia yang multi-etnis dan bangsa. Dalam konteks komunitas
Muslim di Australia, program ini juga bertujuan agar mereka meninggalkan
pandangan mereka yang sempit, khususnya kelompok konservatif yang ekslusif,
menjadi inklusif dan menerima pluralisme budaya dan agama di tengah dominasi
budaya Australia. Pertentangan ideologis antara ideologi politik Islam dan
multikulturalisme yang selama ini ’mengganjal’ interaksi sosial di antara kedua belah
pihak bisa diminimalisir sehingga secara perlahan akan terbentuk identitas nasional
yang kuat dalam meciptakan kehidupan yang harmonis.
Di luar dukungan sekolah, banyak organisasi lain, yang membicarakan isu-
isu lain yang berkaitan dengan berbagai kebutuhan masyarakat dalam ideologi
multikulturalisme. Ada komite-komite untuk mendiskusikan dan merumuskan
kebijakan atas isu-isu penting, seperti pendidikan multikultural, pernyataan awal dan
akhir bulan Ramadhan atau menjediakan makanan yang halal. Brunswick167,
umpamanya, sebuah kawasan tengah kota, distrik kelas pekerja di Melbourne,
menghadirkan kelab-kelab halal Turki, restoran, coffee house, dan toko roti. Juga ada
komite-komite yang dibentuk untuk mendiskusikan isu–isu tentang pakaian dan
apakah wajib bagi perempuan untuk memakai jilbab. Ada organisasi persahabatan,
seperti the El-Sadeaq Society, berpusat di Melbourne. Organisasi ini mempunyai
sebuah pusat komunitas dan mesjid kecil untuk aggotanya yang kebanyakan
berkebangsaan Mesir, dan berfungsi sebagai keluarga perwalian, mencakup orang
Mesir dari segala usia, ditujukan untuk memberi pelayanan keagamaan, pendidikan,
rekreasi, dan kebutuhan sosial yang tidak disediakan oleh negara bagian atau oleh
masyarakat. Kelompok lain, seperti the Arabic Speaking Welare Workers Association,
dan the Arab Women’s Solidarity Foundation, ditujukan untuk fungsi kesejahteraan

167
Distrik Brunswick merupakan kawasan tempat tinggal kelompok Muslim dari berbagaii negara,
termasuk para mahasiswa internasional, umumnya dari Indonesia karena akses yang dekat dengan
beberapa kampus, tempat mereka belajar.
164

sosial, dukungan komunitas, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah


masyarakat.168
Yang cukup mencolok, oleh karena berpusat di ibu kota nasional, adalah the
Canberra Islamic Centre. Organisasi ini dibentuk di bulan Desember 1993
melambangkan budaya Islam dan gaya hidup Islam, menyediakan fasilitas-fasilitas
sosial dan budaya, dan menjadi penghubung dengan pemerintah Australia dan
kedutaan-kedutaan negara-negara Islam di
Canberra atas nama kaum Muslim. Oleh karena organisasi the Islamic Centre tidak
tergantung pada kedutaan negara Muslim manapun untuk dukungan dana tetapi
bertujuan untuk bisa membiayai diri sendiri, organisasi itu terdaftar sebagai sebuah
sumbangan di mana dari donasinya bisa dipotong pajak. Organisasi ini bukan anggota
dari AFIC, meskipun ada kontak dengan organisasi itu. Anggaran dasarnya menjamin
bahwa tidak ada kelompok etnik tertentu yang mendominasi di sana. Organisasi ini
mendapat lokasi yang bagus dari pemerintah ibukota, the ACT (Australian Capital
Territory), rencana denah disetujui, dan konstruksi pembangunannya sudah dimulai.
Di sini akan tercakup sebuah Perpustakaan Islam Nasional Australia, di mana ribuan
buku telah dikoleksi, juga berbagai fasilitas rekreasi seperti kolam renang bagi
perempuan. Diresmikan dengan sambutan pembukaan dari Gubernur Jenderal di
tahun 1997, Pusat ini melakukan rapat-rapat bulanan, dan mempunyai sekitar dua ribu
anggota.
Organisasi Muslim satu sama lain aktif di semua negara bagian dan kawsan
(teritorial) Australia, termasuk kelompok pendukung peralihan (convert support
groups) dan lembaga pendidikan. Banyak lembaga sosial dan pendidikan Muslim
yang mengambil insiatif bekerja sama dengan agen perjalanan uuntuk mengorganisir
kelompok tur bagi mereka yang berniat menjalankan ibadah Haji atau ‘Umra dengan
biaya yang layak.169 Berbagai komunitas juga telah mendirikan bank-bank Islam
dalam skala kecil,

168
Untuk mengetahui jumlah lembaga atau kelompok sosial keagamaan Islam di Australia, lihat
lampiran.
169
Setiap tahun kelompok-kelompok tur ini memberangkatkan ummat Islam yang menunaikan
ibadah haji dan umrah. Dan jumlah perseta yang berangkat setiap tahunnya mengalami peningkatan.
165

meskipun hanya ada satu pemberi dana lokal yang Islami. Koperasi Komunitas
Muslim Australia (the Moslem Community Co-operative of Australia), yang dalam
proses menaikkan statusnya menjadi sebuah lembaga perkreditan (a credit union).
Banyak organisasi perempuan telah terbentuk untuk maksud-maksud pengabdian atau
pendidikan, sebagai kelompok pendukung dan membantu kaum perempuan mengurus
kehidupan di Australia. Sebuah Jaringan Nasional Wanita Muslim se-Australia
(Muslim Women’s National Network of Australia) menerbitkan sebuah newsletter
secara reguler.
Sambil berpartisipasi dalam arus besar media, kaum Muslim menjalankan
stasiun-stasiun radio berskala kecil di kawasan-kawasan utama metropolitan
Melbourne dan Sydney. Koran dan majalah Muslim lokal juga ikut serta. Australian
Muslim News adalah sebuah publikasi jangka panjang di bawah panji AFIC.
Penerbitan lain termasuk majalah Salam, Nida’ al-Islam, dan serangkaian newsletter
mahasiswa. Hampir semua berbasis di Sydney atau Melbourne.

Tabel 8: Sekolah-Sekolah Islam170


1982- 1990-1995 1996-2000 %
1989 primer
Kawasan Ibukota 0 0 0
Australia 3 1 6 4,000 65%
New South Wales 0 1 0 250 100%
Queensland 0 0 1 100 100%
Australia Selatan 0 0 0 0
Tasmania 2 2 3 3,000 65%
Victoria 1 2 1 1,900 65%
Australia Barat 6 6 11 9,250
TOTAL

4. Pekerjaan

170
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad
& Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.
166

Secara umum status sosial ekonomi kelompok Islam masih pada tingkat
marginal, karena berbagai hambatan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan.
Sebagian kecil dari mereka ada yang menduduki posisi ‘upper class’, namun sebagian
besar menempati posisi ‘lower class’. mereka Gary D. Bouma171 dalam
penelitiaannya tentang pemukiman dan pekerjaan kaum Muslim Australia,
menguraikan bahwa distribusi kerja kaum Muslim yang dipekerjakan memberi
gambaran lain tentang caranya komunitas Muslim membentuk diri. Banyak dari
kaum imigran yang tiba lebih awal dilaporkan memasuki dunia kerja di bidang
pekerjaan proses dan industri. Tabel 9 menggambarkan dari Sensus 1991, bagaimana
pola itu berkembang pada semua Muslim yang bekerja pada saat itu.
Tabel 9 memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti namun kerap ditemui
antara pola pekerjaan laki-laki dan perempuan, di mana lebih banyak buruh
administrasi perempuan dan tenaga penjual (sales) atau pemberi jasa (service
personnel) dan lebih banyak seniman laki-laki. Karena 13.1 persen dari total tenaga
kerja di Australia terlibat dalam perburuhan atau kerja sejenis, kaum Muslim
ditampilkan secara berkelebihan dalam kategori ini. Suatu bentuk penampilan
berkelebihan juga tampak dalam kategori operator pabrik dan mesin serta supir (12.7
persen) dan penjual (7 persen). Muslim kurang ditampilkan dalam jenis kerja lainnya.
Status tenaga kerja dari suatu komunitas imigran merupakan satu dari
indikator yang paling sensitif tentang bagaimana ia menyatu dengan masyarakat yang
dimasukinya. Tabel 10 menunjukkan data ini bagi kaum Muslim. Angka-angka yang
dibandingkan dengan total penduduk Australia adalah: Yang bekerja – 54,3 persen;
Tidak bekerja – 7,1 persen dan Tidak bekerja – 36,2 persen (ABS Cat. No. 2722.0,
tabel B20). Sebagai perbandingan 48 persen Kaum Laki-Laki Muslim dan 25 persen
Muslim wanita yang telah bekerja, dengan jumlah tingkat menyeluruh 37,5 persen.
Data ini berada di bawah rata-rata nasional.

171
Sebagai bahan perbandingan, dalam menganalisis status sosial ekonomi masyarakat Islam
Australia bisa dilihat dalam Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 30-34,
dan Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 36-40.
167

Tabel 9: Characteristics of Muslims in Australia at the 1991 Census (employed


persons over 15 only) by industry (%)

Industry Muslim Total Muslim


male male female

Agriculture, forestry, fishing, hunting 1.09 5.49 0.80


Mining 0.09 1.88 0.21
Manufacturing 28.96 16.45 22.25
Electricity, gas and water 0.79 1.95 0.35
Construction 4.09 8.90 0.53
Wholesale or retail trade 16.69 17.95 19.82
Transport and storage 9.18 6.23 1.67
Communication 1.48 2.02 1.32
Finance, property and business 7.09 9.77 11.86
Public administration and defence 2.74 6.26 3.94
Community service 6.37 10.43 16.56
Recreation, personal other services 5.73 5.42 6.97
Not classifies 0.56 0.42 0.37
Not stated 11.35 6.83 13.33

Source: Census matrix table CSC6033 and Basic Community Profile Cat. No.
168

2722.0. table B21

Industri
Sekali lagi, tabel 11 menunjukkan bahwa kaum Muslim secara tidak
proporsional terlibat dalam industri manufaktur. Dengan 13 persen tenaga kerja
Australia yang masuk dalam dunia manufaktur, kaum Muslim tampak ditampilkan
secara berlebihan di sana. Orang Muslim ditampilkan agak sedikit dalam jasa
pelayanan masyarakat, administrasi umum, konstruksi, dan komunikasi.

Table 10: Charcteristics of Muslims in Australia at the 1991 Census (persons


aged 15 and over only), by labour force status

Muslim male Muslim female

Labour force Status Persons % Persons %

Waged or salaried 20.095 36.67 9. 579 21.91


Self-employed 2.733 5.39 1.075 2.46
Employer 1.428 2.82 482 1.10
Unpaid helper 172 0.34 265 0.61
Unemployed 11. 231 22.17 6.141 14.04
Not in labour force 14 236 28.10 24.504 56.04
Not stated 764 1.51 1.683 3.85
Total 15+ 350. 659 100.00 43.729 100.00

Source: 1991 Census matrix table CSC 6034 (excludes overseas visitors)
169

Table 11: Characteristics of Muslims at the 1991 Census (employed


persons over 15 only), by occupation group (%)

Occupation group Muslim Total Muslim Total


male male female female
Labourers and related workers 21.08 13.26 20.51 11.19
Plant and machine operators and drivers 18.79 10.39 11.78 2.54
Salespersons and personal service 8.31 8.86 17.03 20.56
Clerks 4.39 5.96 18.44 27.30
Tradesperson 17.53 20.89 3.98 3.52
Para-professionals 2.98 6.39 3.89 7.25
Professionals 9.58 12.17 7.79 13.02
Managers and administrators 6.89 15.24 4.47 7.92
Inadequately described 1.83 1.52 1.53 0.80
Not stated 8.61 5.32 10.57 5.89

Source: 1991 Census matrix table CSC 6033 and Basic Community Profile, ABS
Cat. No. 2722.0, table B22

Pendapatan (Income)
Distribusi pendapatan orang Muslim dapat diamati untuk memperoleh profil
komunitas dan lokasinya di tengah masyarakat Australia. Dalam hal ini data yang ada
berasal dari data penghasilan keluarga dan ini ditampilkan dalam tabel 12.
Komunitas Muslim itu muda, energik, dan menumbuhkan dirinya sendiri di
Australia. Dilihat dari Sensus tahun 1991, profil komunitas ini menampakkan
kesamaan secara garis besar dengan pola nasional dengan menampilkan beberapa fitur
170

berbeda, dengan semua komunitas imigran baru telah dan akan memakan waktu bagi
orang Muslim untuk bisa membentuk profil mereka sendiri. Sebagaimana halnya
beberapa grup etnik nasional di Australia yang telah mempunyai profil komunitinya
yang berbeda. Wajar bila diharapkan bahwa beberapa kelompok agama itu juga akan
memiliki profil yang khusus (berbeda). Profil seperti itu tak mungkin bisa dibuat
pembandingan. Sensus Australia memasukkan pertanyaan tentang ‘agama’ sehingga
memungkinkan pembandingan ini.
Menurut penelitian Bouma, angka yang tidak bekerja 22 persen untuk laki-laki
dan 14 persen untuk wanita keduanya ada di atas angka nasional. Kesulitan yang
dihadapi kaum Muslim ketika mencari kerja. Kesulitan untuk mendapat kerja
khususnya dinyatakan oleh mereka yang datang setelah tahun 1980, dan sebagian
besat terletak pada keterpurukan ekonomi. Ini ada di luar dari kenyataan bahwa
mereka sebenarnya bisa memperoleh sumberdaya dari komunitas Muslim yang lebih
terorganisir untuk membantu mereka mencarikan pekerjaan. Data ini merupakan
indikasi yang semakin membesar.172
Table 12: Family Income of Muslims in Australia at the 1991 Census (%)
Family income Muslim All
families families

$0-$3000 0.72 0
$3000-$8000 1.31 1.2
$80001-$12 000 2.57 2.2
$12001-$16 000 9.31 9.3
$16 001-$25 000 15.92 13.7
$25 001-$30 000 7.71 7.4
$30 001-$35 000 4.96 5.7
$35 001-$40 000 5.72 6.2
$40 001-$50 000 8.31 11.7
$50 001-$80 000 7.38 16.0

172
Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 14.
171

$80 001-$100 0000 0.99 2.8


$100 001-$150 000 0.75 2.6
Over $150 000 0.16 0.6
Partial income stateda 31.01 17.2
No income statedb 3.25 2.7

a. Comprises families where at least one, but not all


member(s) aged 15 years or more did not state an
income and/or at least one spouse or child was
temporarily absent.
b. Comprises families where no members present
stated an income.
Source: 1991 Census matrix table CSC6043 and Basic
Community Profile Cat. No. 2722.0, yable B31.

dari dampak resesi pada kelompok ini. Di pihak lain, 41 persen yang tidak bekerja ada
sedikit di bawah rata-rata nasional, dan mungkin mewakili mereka dari struktur usia
muda dalam populasi kaum Muslim.
172

BAB V
‘DUNIA SIMBOLIK’:
ISLAM DAN IDE MULTIKULTURALISME

Manusia sebagai makhluk hidup yang berkebudayaan, menandai baik fisik


maupun non fisik berwujud dalam bentuk simbol berupa sekolah-sekolah, mesjid,
aturan-aturan, larangan, dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa definisi
kebudayaan tergabung dalam suatu dimensi simbol. Dengan demikian terlihat bahwa
kebudayaan dapat merupakan simbol yang menyatakan makna tertentu dari suatu
representasi.
Menurut Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures,
menyebutkan bahwa simbol merupakan segala sesuatu – seperti benda-benda, orang,
peristiwa, tingkah laku, ucapan-ucapan – yang mengandung pengertian tertentu
tentang kebudayaan yang bersangkutan. Simbol juga dapat berupa gambar, tulisan,
atau bentukan tertentu yang masing-masing telah diberi suatu arti tertentu. Dalam
melihat simbol, antara obyek yang diberi arti dan representasinya memiliki hubungan
arbitrer. Simbol juga menandai atau mewakili sesuatu yang lain, atau segala sesuatu
yang telah diberi arti, atau makna tertentu.173
Geertz juga menganggap bahwa simbol merupakan unsur penting dalam kajian
kebudayaan, bahkan kebudayaan itu sendiri dikatakannya sebagai kumpulan simbol.
Lebih lanjut, menurut Geertz, kebudayaan merupakan suatu pola makna-makna yang
diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep-
konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang
dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan

173
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., New York, 1973, h. 91.
173

mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Simbol digunakan


untuk mengacu pada banyak hal, bahkan seringkali dipakai sejumlah hal sekaligus. 174
Simbol-simbol yang ada cenderung dibuat atau dimengerti oleh para warga
pemiliknya berdasarkan konsep-konsep yang mempunyai arti tetap dalam suatu
jangka waktu tertentu. Seseorang biasanya menggunakan simbol berdasarkan
pengetahuan mengenai pola-pola yang terdiri atas serangkaian aturan untuk
membentuk serta mengkombinasi bermacam-macam simbol dan menginterpretasikan
simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya Karena sebuah simbol
merupakan suatu hasil arbitration (kesepakatan), maka simbol yang dimaksudkan
oleh suatu kebudayaan akan berbeda dari makna suatu simbol pada kebudayaan yang
lain, tergantung dari kesepakatan antar pendukung kebudayaan tersebut.
Kebudayaan merujuk pada suatu pola pemahaman yang ditransmisikan secara
historis mencakup simbol-simbol, sebuah sistem yang diwariskan dalam konsep yang
diekspresikan berupa bentuk-bentuk simbolik yang digunakan sebagai alat untuk
berkomunikasi, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan mereka dan
bersikap terhadap kehidupan.
Istilah seperti ‘makna’, ‘simbol’, dan ‘konsepsi’ merupakan dunia nilai-nilai
yang ditafsirkan oleh masyarakat Islam Australia berbeda dengan pemeluk agama
Islam di tempat lainnya. Mereka menafsirkan sendiri nilai-nilai Islam di tengah
pergumulannya dengan masyarakat Australia yang pada umumnya bersifat
individualistik dan sekularistik. Dengan demikian, aktualisasi keislaman mereka
merupakan hasil suatu interaksi timbal balik antara pengalaman hidup keberagamaan
mereka dan pandangan masyarakat Australia di dalam memahami simbol-simbol
agama. Simbol-simbol agama tersebut oleh banyak peneliti Australia sebagai
mulainya era kebangkitan umat Islam Australia sejak tahun 1990-an, seperti peran
AFIC yang sangat sentral dalam komunitas Islam, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah
Islam, dan klausul agama yang masuk dalam agenda nasional kebijakan
multikulturalisme.

174
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 89-91.
174

A. Interaksi Islam dan Multikulturalisme Australia


Penduduk Muslim di seluruh dunia berjumlah lebih dari 1.300 juta jiwa, dan
sebagian besar dari mereka (80%) bukan berasal dari keturunan Arab. Tujuh puluh
lima persen atau 2/3 dari jumlah kaum Muslim tersebut berdiam di negara-negara
yang berpenduduk mayoritas beragama Islam; sedangkan selebihnya (25%) menyebar
di sisa bagian dunia yang lain. Jumlah ini menjadikan mereka kelompok yang
signifikan di negara-negara yang sebagian besar non-Muslim, seperti di India, Cina,
Rusia, negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Ada sekitar
20.000.0000 Muslim berdiam di Eropa dan Amerika, dan di Australia jumlahnya
mencapai lebih dari 281.578 orang.175
Kehadiran komunitas Muslim merupakan salah satu faktor utama yang
mengubah komposisi demografis dan politik negara Australia, dan ini berlangsung
sejak akhir Perang Dunia II. Di tahun 1945, ia merupakan sebuah negara satu warna
(monochromatic), satu bahasa (monolingual) dengan penduduk kurang dari sembilan
juta. Secara politis, negara ini sukar melepaskan diri dari ikatan dengan Inggris;
secara rasial, ia sebagian besar terdiri dari orang Anglo-Celtic yang pikmentasi
kulitnya dilindungi oleh Kebijakan Australia Putih. Secara agama, negeri ini
didominasi oleh tiga tradisi yang saling bersaing dalam agama Nasrani: Katholik
Roma, Anglikan, dan Protestan. Di tahun 2000, Australia telah memiliki populasi
lebih dari dua kali lipat hingga lebih dari 19.000.000 orang. The White Australian
policy kini telah dihapus sehingga negeri ini telah menjadi rumah bagi serangkaian
etnik, bahasa, dan tradisi agama yang hak-hak dan tradisinya diakui di bawah payung
kebijakan yang mengatasnamakan multikulturalisme. Kelompok Muslim Australia
turut memberi kontribusi sebagai mitra sejajar, di mana mereka mendapat dorongan
untuk mengembangkan dan memperluas tradisi etnik mereka dengan cara mereka
sendiri.
Gambaran simbolik di atas merupakan salah satu kekuatan luar biasa dari
kelompok Muslim yang juga diterima baik oleh warga negara yang telah lebih lama
menetap. Ada secercah harapan bahwa jumlah pertemuan antara orang-orang dari
latar belakang yang berbeda yang sekarang ikut berbagi sebuah tanah air bersama

175
Disusun berdasarkan ABS 2001.
175

akan terus menuju sebuah persepsi yang lebih jernih tantang nilai-nilai dasar bersama
di balik bentuk-bentuk budaya yang beraneka. Masing-masing kelompok berupaya
mencapai keserasian lintas tradisi budaya satu sama lain guna lebih menyadari nilai-
nilai dan harapan yang mereka miliki bersama Dengan demikian, seluruh masyarakat
Australia dapat menyadari bahwa keragaman tradisi agama ini justru bisa
menghasilkan sebuah otoritas tertinggi dan transenden (mencerahkan) pada nilai-nilai
kelompok serta memberi peluang pada terciptanya prinsip-prinsip ketertiban dalam
kehidupan sosial.176
Manfaat dari kebijakan multikulturalisme ini telah dirasakan oleh kaum
Muslim Australia dengan dperolehnya sebuah suara dan sebuah identitas. Untuk
menghargai potensi dan kenyataan kontribusi mereka pada Australia, dapat dilihat
dari aspek kekayaan dan keragaman mereka. Keberadaan orang Muslim menyebar di
berbagai aspek profesi dan lapangan kerja dalam beragam tingkat pendidikan,
kesempatan, dan dorongan untuk memajukan mobilitas. Namun demikian, kesetiaan
etnik masih tetap dipelihara, dan ini menjadi karakteristik tradisi ke-Islaman. Oleh
karena itu, selalu ada pembauran (fusi) dalam bentuk-bentuk universal dengan
doktrin-doktrin Islam, kepercayaan, serta gaya hidup lokal, dengan etnisitas yang
tetap menjadi unsur penting dalam komposisi umat Islam di Australia.
Kaum Muslim Australia membawa sederet kekayaan budaya dan keragaman
latar belakang yang dicerminkan dalam aneka respon mereka pada lingkungan yang
baru. Banyak yang merasa tercerabut dan mengalami trauma ketika mendapati diri
mereka sebagai sebuah minoritas agama berada dalam situasi yang tidak dikenal dan
dipaksa untuk mengadopsi berbagai strategi hidup yang berbeda. Pada mulanya, tidak
ada negara atau komunitas lokal yang mau memberi dukungan, apalagi menawarkan
pengakuan pada keyakinan mereka atau pada ritus-ritus yang mengidentifikasikan
mereka sebagai sebuah komunitas. Mereka membawa sebuah keyakinan (keimanan)
yang diekspresikan melalui budaya dengan akar sejarah yang dalam, sebuah ragam
kekerabatan dan jaringan dukungan asosiasi, dan sebuah kesadaran, betapapun samar
formulasinya, sebagai pendukung sebuah tradisi besar dalam pembelajaran, seni dan

176
Hambatan utama pembauran ummat Islam Australia dengan kelompok lain, khususnya Kaum
Kulit Putih adalah masalah bahasa. Meski praktek Multikulturalisme memberi akses pada training
176

budaya. Namun, sebagai pendatang baru, mereka merasa dihitung kecil dan
menghadapi sikap-sikap yang masih bersifat streotip yang mengandung kebencian.
Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakan
respon yang biasa terjadi pada saat tiba di sebuah daerah di mana cara hidup lokal
kelihatan begitu membosankan, kosong, ikatan kekeluargaan lemah dan tak
berkembang.
Masyarakat Muslim di Australia pada umumnya bersifat perkotaan dan sedang
mengalami tahap perkembangan dalam membina hubungan-hubungan yang kompleks
antar berbagai komunitas. Islam di Australia hadir dengan semua tradisi utamanya
(Suni dan Syiah) serta komunitas yang lebih kecil seperti aliran Ismailiah dan
Ahmadiah, baik dari Lahore maupun Qadiani. Keragaman ini terdapat dalam gaya,
intensitas pengamalan ibadah, corak penafsiran teks kitab suci, dan cara interaksi
sosial mereka dengan komunitas non-Muslim. Semua komunitas ini bergerak dalam
berbagai cara dan kecepatan yang berbeda dalam sebuah proses menyesuaikan diri
dengan budaya dominan Australia. Secara umum, ini merupakan sebuah cerita sukses
dari sebuah pencapaian yang nyata. Dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun,
komunitas Muslim telah mulai meningkatkan diri mereka dan menciptakan struktur
sosial dan kemasyarakatan untuk mendukung suatu cara hidup Islam. Terpaut masa
sejarah satu abad atau lebih, mesjid-mesjid telah tampil dengan keindahan
arsitekturnya yang khas, dan tidak lagi menjadi sekedar penampilan eksotik di tengah
lanskap Australia. Tempat-tempat ini menjadi sarana untuk melakukan shalat dan
merayakan identitas keislaman.177
Kesuksesan cerita komunitas umat Islam di Australia adalah memerlukan
suatu proses yang panjang dan mendapat perhatian pemerintah federal Australia.
Selama tahun 1970-an dan 1980-an, imigran yang baru, terbagi dalam kelompok
penetap dan menurut negara (by residence and by state). Australia sebagai sebuah
negara federal, mulai melakukan konsolidasi posisi mereka yang terdiri dari berbagai
etnis. Kelompok-kelompok Islam bermekaran, masing-masing berlokasi di sekitar
area mesjid atau fasilitas sembahyang dan diatur agar memenuhi kebutuhan dan

bahasa, namun hal ini tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh kelompok etnik Muslim.
177

tuntutan masyarakat. Kelompok-kelompok itu secara defininitif telah bersifat suatu


rintisan dan organisasi yang tidak jelas. Namun menjelang tahun 1980-an mereka
menjadi terbina dengan baik dan efektif. Di setiap negara bagian, beraneka kelompok
mendirikan Dewan Islam Negara Bagian untuk mengupayakan kesejahteraan,
pendidikan dan fasilitas keagamaan, serta berkoordinasi dengan tingkat pusat. The
Islamic Council of Victoria, umpamanya, memiliki dewan para imam, mekanisme
perwakilan kaum Muslim di tingkat pemerintahan negara dan sederet kegiatan
termasuk dialog antar agama.
Terbentuknya struktur dewan-dewan Islam dari semua negara bagian dan
organisasi etnis yang diwakili oleh Dewan Federasi Islam Australia (AFIC) pada
tingkat negara federal sejak tahun 1970-an, menurut Mary Lucille Jones sebagai
simbol kebangkitan Islam di Australia.178 Organisasi ini telah berhasil membangun
kesatuan umat Islam di Australia dan sebagai mediator dan fasilitator kebutuhan
masyarakat dan perpanjangan tangan dengan pemerintah federal Australia. Wadah ini
telah mendirikan lebih dari ratusan mesjid dan fasilitas ibadat di berbagai kota negara
bagian dan sekolah-sekolah Islam sejak awal tahun 1980-an.
Organisasi ini dibiayai dengan dukungan dari masyarakat lokal, dari negara-
negara Muslim kaya minyak, dari dana yang diperoleh dari penerbitan sertifikat halal,
dan, dan, dengan meningkatnya sumber modal dari permodalannya sendiri.
Memanfaatkan dana-dana ini, AFIC mampu menyediakan biaya yang memadai untuk
mendukung berbagai kegiatan komunitas Muslim, baik di tingkat lokal maupun
nasional, dan membuat kontribusi ke arah pembangunan lanjutan mesjid-mesjid dan
fasilitas sembahyang, penyediaan uman, dan pendirian fasilitas pendidikan untuk
anak-anak Muslim. Organisasi ini tetap hidup ketika harga minyak dunia merosot di
akhir tahun 1980-an, dan akibat lanjutan berupa pengurangan petro dollar yang
tersedia untuk ‘propagasi Islam’ sedunia dengan bersyukur pada bantuan melimpah

177
Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck
Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 212.
178
Mary Lucille Jones, ‘To Rebuild What was Lost: The Post-War Years and Beyond’, dalam
Mary Lucille Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h.
98.
178

yang telah diperoleh dalam dekade sebelumnya. Dalam mempertahankan semua


kegiatan organisasi, Kerajaan Saudi memainkan peranan khusus.179
Organisasi AFIC telah memainkan peran penting dalam merubah sikap mental
kelompok Islam yang baru datang dengan membawa alam pemikiran fanatik dan
konservatif tersebut sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebijakan
multikuralisme yang diterapkan pemerintah. Mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan
ibadat sekaligus tempat identifikasi diri dan inetraksi sosial masing-masing etnis
Muslim telah melahirkan pemahaman-pemahaman baru, seperti nilai demokrasi,
filosofi ideologi multikulturalisme, modernitas, dan sekularisasi.
Selain itu sekolah-sekolah juga berperan dalam mensosialisasikan pendidikan
multikultural dalam menghayati makna toleransi dalam pluralisme agama dan
menerima kehadiran identitas nasional Australia yang hidup berdampingan dengan
pendidikan Islam. Sekolah-sekolah Islam telah mencapai keberhasilan nyata bila
diukur dari standar komunitas yang lebih luas, meskipun masih ada masalah-masalah
dalam pengembangan kurikulum berbahasa Arab yang baik dan bahan-bahan
pengajaran tambahan serta rekrutmen guru-guru yang kompeten dan terbiasa dengan
metode modern dalam mengajar. Sekolah-sekolah ini telah memfasilitasi cara
mempertahankan dan memperkuat agama dan tradisi budaya orang Muslim dalam
konteks Australia sebagai bagian dari misi untuk menumbuh suburkan generasi
Muslim yang hidup selaras dengan masyarakat Australia di samping tradisi islami.180
Di tengah proses integrasi umat Islam dalam masyarakat Australia , Islam
masih belum dimengerti dengan baik oleh sebagian masyarakat Australia. Kaum
Muslim diakui sebagai bagian dari lanskap keagamaan yang telah banyak
memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi Australia, namun masih
tetap dianggap sebagai orang asing. Meskipun ’kantong-kantong’ intoleransi masih
ada, komunitas Australia pada umumnya tidak saja toleran, tapi juga menerima
orang Muslim sebagai manusia,

179
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 139.
180
Dalam konteks kasus generasi di Amerika Serikat, para pemuka agama mengkhawatirkan
generasi ketiga akan mengalami distorsi keagamaan, khususnya Islam. Hal serupa juga dijumpai oleh
kalangan pemuka Islam di Australia.
179

seperti halnya individu dari latar belakang etnik atau warna kulit manapun.
Penerimaan ini dudukung sejumlah undang-undang dan lembaga yang melindungi
kelompok minoritas etnik. Dalam Undang-Undang Persemakmuran (the
Commonwealth Act) yang terkait di sini adalah Equal Employment Opportunity
(Commonwealth Authorities) Act 1987, the Human Rights and Equal Opportunity
Commission Act 1986, the Racial Discrimination Act 1975, the Racial Hatred Act
1995.
Pengakuan tentang peran agama dalam masyarakat multikultural Australia
telah menjadi bagian dari simbol betapa pentingnya penting pertimbangan dan
masukan agama pada tingkat politik Australia. Kebijakan-kebijakan multikultural
Australia selalu menyebut agama, seperti tercantum dalam buku putih Agenda
Nasional 1989 tentang multikulturalisme yang mengidentifikasikan tiga dimensi
dasar kebijakan multikultural, yaitu identitas budaya, keadilan sosial, dan efisiensi
ekonomi. Identitas budaya didefinisikan sebagai ‘hak semua orang Australia, dalam
batas-batas yang ditentukan dengan hati-hati untuk menyatakan dan membagi warisan
budaya individual mereka, termasuk bahasa dan agama’. Keadilan sosial
diidentifkasikan sebagai ‘hak semua orang Australia untuk mendapat perlakuan dan
kesempatan yang sama, dan penghapusan hambatan-hambatan dalam bentuk ras,
etnisitas, budaya, agama, bahasa, jender atau tempat lahir’. Bouma berpendapat
bahwa pertimbangan tentang isu-isu agama justru menjadi masukan yang sangat
diperhitungkan di saat kebijakan-kebijakan multikultural Australia dirumuskan.181
Sebuah masyarakat multikultural, menurut Bouma, adalah yang dicirikan oleh
pluralitas agama, yaitu kesediaan untuk hidup bersama antara organisasi-organisasi
agama, sebuah semangat (spirit) saling menghormati antar agama, dan kesediaan
bekerja sama antara pihak pemerintah dan aparatnya di semua lapisan dengan
organisasi agama. Negara Australia dan pemerintah federal berkomitmen pada
kebijakan-kebijakan multikultural untuk mengurangi diskriminasi atas dasar agama.
Ketika tidak ada perundangan yang bisa dikategorikan sebagai ‘Bill of Rights’,
undang-undang melawan pelecehan dan diskriminasi atas berbagai dasar
180

diberlakukan. Ketika banyak kemajuan telah tercapai ada banyak ruang untuk
melangkah lebih maju. Ada kasus-kasus pelecehan, intimidasi, pemanggilan-nama,
penolakan kerja, penolakan persetujuan membangun mesjid dan kuil, masalah-
masalah perumahan atau akses kepada jasa pelayanan berdasarkan perbedaaan agama
di Australia. Bagaimanapun, tidak ada rasa antipati yang berdasarkan kesepakatan
bersama, atau diakui agama, atau dinyatakan secara terbuka terhadap kelompok
lain.182
Bouma mengidentifikasikan faktor demografi dan faktor struktur sosial
sebagai kontributor kunci pada keberhasilan Australia sebagai sebuah masyarakat
multikultural, yaitu kurangnya (tiadanya) situasi tumpang tindih antara perbedaan
etnik dan agama; kurangnya (tiadanya) ghettonisasi masyarakat agama dan etnik;
depolitisasi perbedaan agama, penyelesaian konflik agama/etnik yang tanpa kekerasan
(non violent) sebagian besar melalui perundangan dan sidang pengadilan, eksistensi
organisasi-organisasi yang secara efektif mempromosikan hubungan antar kelompok
secara positif; dan ukuran kelompok minoritas yang relatif kecil. Bouma menganggap
bahwa realitas sosial kelompok minoritas bukanlah sebuah tantangan nyata pada
kelompok-kelompok agama dominan, karena jumlah mereka dibandingkan dengan
mayoritas kelompok etnik Australia kurang dari empat persen. Di samping itu,
kelompok-kelompok non-Kristen juga mempunyai keanekaan etnik yang
menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan terjadi tantangan yang signifikan bagi
terciptanya konflik.
Kenyataan di atas dllihat berbeda dengan pandangan Michael Humphrey,
salah seorang peneliti Islam Australia. Menurutnya, tantangan agama dalam
kehidupan multikulturalisme di Australia masih menghadapi berbagai persoalan. Ia
menganggap formulasi ‘Islam di Barat’ menggambarkan pertemuan dua kebudayaan
yang tidak cocok dan menyamaratakan (homogenising), yang satu agama dan yang
lainnya sekuler. Dari perspektif Barat, kehadiran Islam yang muncul lewat imigrasi,
dimunculkan sebagai sebuah kasus percobaan (as a test) bagi masa depan sebuah

181
Miichel Spuler, ‘The Impact of Multiculturalism on Australian Religious Traditions’, in
Jounal DISKUS, vol. 5, 1999, h. 1. Pendapat ini banyak didukung oleh para akademisi. Diakses dari
www.uni.marburg.de/religionswissenschaft/journal/diskus, tanggal 28 Pebruari 2005.
181

negara sekuler. Islam di Australia sebagai sebuah masalah bagi ‘multikulturalisme’,


sementara di Perancis, ‘Islam’ dilihat sebagai penghambat sekularisme nasional.
Nilai-nilai agama Islam , kepercayaan, dan prakteknya dipandang sebagai sesuatu
yang berada dalam situasi konflik dengan organisasi dan irama kehidupan masyarakat
di kota-kota Barat. Praktek-praktek keislaman berupa shalat, puasa, dan kerudung
(hijab) menantang kompromi ruang publik sekuler dan nilai-nilainya dalam hal
persamaan gender yang berhubungan dengan sosial dan hak-hak individu. Kehadiran
Islam yang dihasilkan imigrasi tetap dipandang sebagai ‘yang lain’ (other), sesuatu
yang secara esensi budaya tidak sesuai dan menolak untuk menjadi bagian masyarakat
nasional di Barat.183
Kritik terhadap Islam, seperti disebutkan oleh Michael Humphrey, adalah
representasi sebuah ‘resistensi permanen’ kelompok Muslim Australia terhadap
modernitas, sekularisasi dan assimilasi. Dalam wacana multikulturalisme, sebuah
kritik terhadap Islam, sebagian berupa kritik terhadap sikap resistensi budaya. Sebagai
konsekuensinya, perbedaan budaya tidak hanya menjadi sekedar masalah pluralisme;
tapi jugai memberi tanda adanya jarak dari assimilasi atau jarak sebagai
warganegara.184
‘Resistensi’ kaum imigran Muslim yang menjadi wacana masyarakat Australia
tampak berfokus pada modernitas yang mempunyai garis sejajar secara internasional
dengan ketakutan pada politik Islam. Barat melihat politik Islam sebagai sesuatu yang
anti-modern dan reaksioner, terutama dalam bentuk Iran yang revolusioner. Politik
Islam belum siap untuk turut berpartisipasi di dunia yang berbasiskan globalisasi
sebagai sesuatu yang berbasiskan pasar dan ‘konsumerisme’ demokratik.
Resistensi budaya yang dikemukakan oleh Humphrey, tidak sepenuhnya bisa
disalahkan, tapi sedang berproses di tengah keragaman umat Islam itu sendiri yang
mempunyai corak penafsiran sendiri-sendiri terhadap sumber-sumber ajaran Islam.
Hal ini tak terlepaskan oleh latar belakang sosial, budaya, dan agama kaum Muslim
yang pada umumnya datang dari daerah pedesaan (rural) yang memiliki pemahaman

182
Miichel Spuler, ‘The Impact of Multiculturalism on Australian Religious Traditions’, dalam
Jounal DISKUS, 2004, h. 2.
183
Michael Humphrey, ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’, dalam Abdullah
Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 33.
182

keagamaan yang tradisional, kemudian masuk ke tempat baru yang asing dan bersifat
‘mega cities’.
Beberapa isu kelompok Muslim yang menjadi perhatian dalam kerangka
resistensi budaya, antara lain politik Islam, sistem perundangan sendiri, dan
demokrasi. Persoalan politik Islam yang menyangkut negara Islam adalah
menyangkut penafsiran umat Islam yang berbeda. Pada umumnya masyarakat Islam
Australia yang menganut paham ini sangat sedikit dan ide tentang kekhalifahan atau
pan-Islamisme telah berakhir sejak tahun 1924 pada masa dinasti Usmani runtuh.
Kelompok ini juga tidak memiliki keinginan untuk mempunyai sistem perundang-
perundangan sendiri, karena hampir semua tampak cukup nyaman dengan sistem
perundangan Australia, yang tidak membatasi pelaksanaan ibadah agama sebagai
individu.
Dalam aspek demokrasi, masyarakat Islam cenderung menolak ketika paham
ini diperkenalkan ke dunia Islam oleh Barat, karena paham ini dianggap bertentangan
dengan konsep Islam tentang negara dan pemerintahan. Namun sekarang, mayoritas
umat Islam mendukung demokrasi dan di banyak negara Muslim, paham ini telah
diberlakukan sebagai bagian dari bentuk pemerintahan tanpa mengingkari masih
adanya rezim yang otoriter di beberapa negara.
Pandangan di atas dapat menjelaskan bahwa resistensi permanen umat Islam
Australia yang menganggap Islam sebagai agama yang bertentangan dengan nilai-
nilai dasar orang Australia tidak dapat dijadikan landasan yang kuat. Arus utama
(mainstream) kelompok Muslim Australia beranggapan bahwa mereka juga terikat
dengan nilai-nilai dasar Australia sama dengan orang Australia lainnya. Nilai-nilai itu
mencakup komitmen pada negara Australia, kepentingan dan masa depannya,
penerimaan terhadap struktur dan prinsip-prinsip masyarakat Australia, seperti
Konstitusi (undang-undang), aturan hukum (rule of law), demokrasi parlementer,
kebebasan beragama, kesamaan gender, dan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional.

184
Wawancara pribadi dengan Adis Dudireja via internet, 10 Juli 2006.
183

B. Refleksi Islam terhadap Multikulturalisme


Multikulturalisme merupakan sebuah sejarah baru sebagai jawaban atas
mengalirnya para imigran ke negara-negara Barat setelah pecahnya Perang Dunia II.
Ini memuncak pada tahun 1960-an, yang berakibat pada perubahan komposisi
demografis baik secara etnik, sosial maupun budaya. Pada gilirannya hal ini
memunculkan sejumlah problem migrants tentang adanya perbedaan budaya mereka
dengan prinsip nilai-nilai budaya demokrasi liberal. Hal ini memerlukan pengambilan
kebijakan yang tepat oleh negara-negara Barat untuk menjaga integrasi sosial para
imigran agar dapat menyesuaikan diri dengan budaya dominan dan pandangan hidup
di tempat mereka yang baru. Masalah berikutnya adalah bagaimana memelihara
warisan kultural dan identitas kelompok yang telah dibawa kaum migran dari
kampung halaman masing-masing (cultural baggage).
Permasalahan di atas sebenarnya muncul berdasarkan keraguan Barat pada
kelompok Muslim yang dianggap tidak mampu meyesuaikan diri di tengah nilai-nilai
masyarakat Barat karena latar belakang nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan
mereka yang masih bersifat tradisional. Kelompok Muslim masih menganggap
bahwa demokrasi, hak asasi, persamaan (kesetaraan), dan lain-lain bukanlah
merupakan bagian ajaran Islam, melainkan sesuatu yang di ‘impor’ dan ‘asing’ dalam
tradisi Islam.
Bila menggunakan pendekatan Islam historis baik secara sosio-kultural,
tekstual maupun kontekstual, wacana di atas sebenarnya bukanlah sesuatu yang
‘asing’ dalam ajaran Islam. Demokrasi, kesetaraan, dan lain sebagainya merupakan
bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Al-Qur’an sebagai rujukan teks suci yang utama
menyebutkan, bahwa semua manusia yang ada di permukaan bumi adalah ‘al-
khulafa’, kehadirannya merupakan representasi dari Tuhan. Manusia diciptakan dalam
bentuk yang paling sempurna dan dianugerahi pengetahuan (laqad khalaqnā al-
insāna fi ahsāni taqwīm). Mereka diberi amanah untuk memberdayakan seluruh
sumber daya alam sesuai dengan sunnah Allah agar dapat mengambil manfaat untuk
kesejahteraan seluruh umat manusia.
Keragaman etnis dan rasial menurut al-Qur’an, adalah kehendak Allah sebagai
Pencipta alam semesta (wa min ayātihi khalqu al-samāwati wa al-ardhi wa ikhtilāfu
184

al-sinatikum wa alwanikum –QS al-30:22) dan di mata Tuhan keutamaan manusia


adalah pada nilai ketakwaannya (Inna akramakum ‘indal Illahi atqākum –QS al-
Hujurat 49:13). Al-Qur’an tidak hanya memperhatikan ekpresi pluralisme agama
(Allazhīna Amanū wa al-lazhīna hādū wa al-nashāra wa al-sab’īna...-QS al-Baqarah
2:62)) yang didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan amal baik, Tuhan
berkehendak Allah untuk menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
agar saling mengenal (Innā ja’alnākum min zhakarin wa unsyā wa ja’alnākum
syu’ubā wa qabbaila li ta’ārafū –QS al-Hujurat 49:13) dengan tujuan agar masing-
masing berlomba-lomba dalam kebajikan dan kebaikan (Fastabiqū al-khairāt –QS
al-Baqarah 2:148) serta kata sepakat (kalimat sawa’ –QS Ali ‘Imran 3:64) di tengah
kemajemukan komunitas agama.185
Esensi ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an yang
menyangkut hubungan antar manusia berpusat pada dimensi keadilan. Dimensi
keadilan itu terlihat dalam wahyu Tuhan yang pertama pada periode-periode awal
Mekkah tentang perlunya keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat. Beberapa
cendekiawan menganggap bahwa komponen keadilan sosial merupakan salah satu
katalisator utama penciptaan kejadian dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dalam beberapa
ayatnya menerangkan tentang keseimbangan dalam penciptaan lingkungan alam dan
menggunakan fenomena alam sebagai tanda (ayat) tentang Kekuasaan Tuhan, Maha
Pengasih, Penyayang dan Maha Kuasa. Dengan cara itu secara tidak langsung, al-
Qur’an memberi penekanan, bahwa ras manusia perlu memanfaatkan sumber daya
alam ini dengan cara yang selaras, berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Dari analisis tersebut di atas, jelaslah bahwa Qur’an telah dengan tegas
mendorong perlunya kerjasama antar manusia dan kelompok manusia serta
kepahaman timbal balik atas dasar prinsip-prinsip keadilan dalam definisinya yang
paling luas. Dengan demikian ada dua kandungan tujuan al-Qur’an dalam hubungan
dengan keberagaman budaya, yaitu:
- Penghargaan pada hak-hak dasar kemanusiaan
- Menjunjung tinggi keadilan.

185
Wawancara pribadi dengan Adis Dudireja, 10 Juli 20006. Lihat juga tulisanya berjudul Debates
Among Muslims about the Nature of Prophetic Authority –Implications for the Role of Islam in the
185

Prinsip ajaran Islam di atas tampak sejalan dan sesuai dengan dua tahap
perkembangan dan tujuan dari multikulturalisme Australia, yaitu fase pertama,
penekanan pada keanekaan budaya atas dasar prinsip penghargaan pada hak-hak asasi
manusia. Pada fase ini, perlindungan dan pemeliharaan budaya merupakan salah satu
faktor kunci untuk dapat memberi dorongan orang untuk mempertahankan warisan
budaya mereka dan menghargai tradisi budaya yang beraneka dengan tujuan untuk
memperkuat identitas nasional bangsa dan pengayaan (enrichment) budaya. Prinsip
paling penting dalam hal ini adalah toleransi (tasamuh). Berdasarkan pandangan itu,
masyarakat harus memberi penghargaan yang sama pada tradisi budaya orang lain. Di
samping itu, perlu adanya kesediaan masyarakat untuk mendorong tradisi-tradisi lain
agar bergerak maju dalam konteks sebuah masyarakat demokratis yang menghormati
hak-hak setiap individu. Prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hak
semua individu tanpa memperdulikan latarbelakang etnik, budaya, dan agama. Di
Australia, ini diperkuat melalui kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya
undang-undang anti diskriminasi sosial (The Racial Discrimination Act). Undang-
undang ini merupakan legitimasi dalam kerangka rule of law.
Fase kedua, memasukkan dimensi keadilan sosial sebagai inti dari prinsip
multukulturalisme. Ini berarti ideologi ini tidak hanya menekankan pada kemerdekaan
pribadi perorangan, tetapi juga tentang keadilan sosial bagi semua. Prinsip dasar di
sini adalah setiap orang berhak memperoleh persamaan sosial (social equity),
terutama persamaan untuk mendapatkan akses dan pelayanan dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidup, seperti pemukiman awal, penyediaan sarana informasi,
kesejahteraan sosial, dan lapangan kerja.
Demikian pula, kebijakan multikulturalisme tidak hanya berkait dengan
masalah toleransi, tetapi juga penerimaan pada budaya lain sebagai sesuatu yang
mempunyai nilai yang sama untuk dikembangkan masyarakat itu sendiri, seperti
terlihat dalam konsep al-maslahat dan al-masāwah dalam ajaran Islam. Hal ini
terlihat dalam tujuan multikulturalisme,186 yaitu pertama, perekat sosial (social
cohesion), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan berbagai

World Today, diakses via internet 7 Nopember 2006.


186
Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 34.
186

cara guna mencapai kebutuhan bersama; kedua, identitas budaya (cultural identity),
yaitu hak masyarakat dijamin dan diperbolehkan untuk mengekspresikan dan
mewarisi budaya masing-masing, termasuk bahasa dan agama; ketiga, persamaan
kesempatan dan akses (equality and access) di mana masyarakat diberi kesempatan
dan akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan pekerjaan;
keempat, kesamaan tanggungjawab (equal responsbility), komitmen dan partisipasi
yang sama (commitment and participation) yang mensyaratkan kelompok minoritas
setia kepada negara melalu rasa tanggungjawab dan partisipasi dalam kegiatan
masyarakat dan berpegang teguh kepada ideologi multikultural.
Hubungan agama dan multikulturalisme dalam masyarakat Australia memang
menjadi wacana perdebatan, karena terlihat adanya perbedaan nilai-nilai satu sama
lain. Ideologi multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan Pemerintah Australia
dianggap sebagai sebuah idealisme sekuler. Di kepala banyak politisi dan pemimpin-
pemimpin akademik Australia tampaknya ada semacam keyakinan  atau katakanlah
sebuah harapan  bahwa komponen agama dalam kebudayaan itu bersifat urusan
pribadi. Pada saat kebijakan multikulturalisme harus berhadapan dengan nilai-nilai
publik; bagi kaum politisi Australia umumnya, agama diletakkan di ‘belakang pintu
yang tertutup.’
Namun demikian, agama merupakan bagian dari budaya Australia. Agama
sebagai bagian dari budaya yang tak terpisahkan dari sistem nilai masyarakat
Australia yang sedang mengalami perubahan. Agama mempengaruhi kehidupan orang
– dalam pengertian baik ataupun buruk – sejak pertama kali orang Eropa datang ke
daratan ini. Agama orang Aborigin Australia sekarang mulai mempengaruhi cara
berfikir sebagian orang Australia khususnya dalam lingkup keadilan ekologis
(ecojustice) dan spiritualitas.
Untuk membahas agama dalam konteks multikulturalisme, menurut Robert
Crotty, harus dimulai dari pembahasan mengenai makna kebudayaan. Meminjam
definisi budaya Geertz, Crotty beranggapan bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah
sebuah sistem simbol yang diwariskan turun temurun. Kebudayaan bersifat dinamis
dan dapat menyesuaikan diri, bukannya statis atau deterministik. Kebudayaan
187

memberikan ketertiban di dunia di mana baik kelompok maupun individu bisa


memperoleh maknanya sendiri-sendiri. Multikulturalisme adalah sebuah kebijakan
yang mencari cara memelihara berbagai bentuk budaya dalam sebuah masyarakat
tertentu.187 Tiap agama harus dilihat sebagai sebuah sistem budaya yang menawarkan
ketertiban dan pemaknaan pada titik-titik kritis munculnya ancaman kekacauan
(chaos). Kebenaran yang Mutlak (Ultimacy) adalah representasi simbolik ketertiban
dunia dan maknanya harus tercermin dalam ketertiban yang kita jumpai sehari-hari.
Tiap individu dalam masyarakat dunia sekuler dihadapkan dengan sederet budaya
agama dan budaya dunia sekuler yang bisa saja mempunyai pandangan-pandangan
dunia yang saling bertabrakan. Keragaman ini memungkinkan munculnya pluralisme
agama di mana semua budaya agama diakui sebagai sebuah variabel, namun juga
menjadi simbolisasi Kebenaran yang Mutlak (the Ultimate).
Crotty lebih lanjut memperkenalkan sebuah kerangka nilai besar yang bisa
disandang bersama oleh budaya dominan dan budaya-budaya minoritas dalam sebuah
masyarakat tertentu. Dalam konteks ini, assimilasi berupaya merubah secara bertahap
semua budaya minoritas agar bisa cocok dengan adonan dalam budaya dominan.
Multikulturalisme sebagai sebuah altrernatif, menawarkan sebuah kebijakan interaksi
dan pengayaan timbal balik baik pada budaya dominan maupun budaya minoritas
yang terkait. Pluralisme agama menawarkan sebuah kebijakan yang analog dengan
kebijakan interaksi.
Para pengamat agama berpendapat setidaknya terdapat tiga sikap mental
dalam kehidupan beragama. Pertama, eksklusivisme, yaitu pandangan bahwa budaya
agama tertentu memonopoli kebenaran, karena ia satu-satunya yang mempunyai
kebenaran simbol yang hakiki dan cara-cara yang tepat untuk memelihara hubungan
dengan kebenaran mutlak itu. Kedua, inklusivisme, yaitu pandangan yang mengatakan
bahwa agama yang mereka anut merupakan agama yang benar, namun demikian
budaya agama lain bisa saja memiliki kebenaran meskipun hanya sebagian -
dibanding dengan budaya mereka. Ketiga, pluralisme, yang berpendapat bahwa

187
Robert Crotty, ‘Multiculturalism and Religious Pluralism: Interaction and Overlap’, dalam
Norman C. Habel (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, h. 31-32.
188

semua budaya agama itu benar, semua agama dianggap mempunyai kebenaran sejauh
menyangkut simbol yang Mutlak.
Dalam konteks masyarakat multikultural Australia, sikap mental
keberagamaan kelompok Islam masih dibayangi oleh sikap pencarian jati diri (search
for identity) antara identitas Islam dan identitas nasional Australia. Terlepas dari
wacana perdebatan kedua bentuk ini, pada kenyataannya masyarakat Islam Australia
tengah berproses untuk menegaskan terjadinya pembauran di antara keduanya melalui
pengalaman keseharian dalam interaksi sosial mereka di tengah manstream penduduk
Australia. Memang, kata Azyumardi Azra, kompatibilitas Islam dengan nilai-nilai
demokrasi yang dianut Barat tidaklah mudah untuk dipertemukan. Namun demikian,
diperlukan perumusan konseptual untuk dapat diterapkan dalam tingkat
wacana dan praksis.188 Citra diri dalam suatu masyarakat tidaklah statis. Identitas
adalah relatif dan tergantung situasi, selalu berubah dan menyesuaikan diri pada
lingkungan-lingkungan sosial yang tengah bergerak. Identitas seseorang pada
umumnya merupakan sebuah kombinasi kesetiaan dan rasa tanggung jawab. Identitas
kelompok dapat berubah dalam setting sosial yang beragam, dan hal ini tampak pada
identitas kaum Muslim Australia.
Kelopok minoritas Muslim Australia tidak mungkin dapat berintegrasi dan
‘survive’ di dalam masyarakat Australia tanpa membuat paradigma baru yang
membentuk sebuah identitas baru. Identitas baru tersebut adalah hasil kombinasi dua
nilai yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Percampuran ini disebut
dengan cultural hybridity, yaitu masyarakat Islam yang mempunyai sebuah identitas
berdasarkan komitmen pada norma-norma sekuler masyarakat Australia dan tradisi
Islam/etnis. Proses ini pada dasarnya sedang berlangsung dalam kehidupan Muslim
Australia, khususnya dalam generasi kedua dan ketiga. Sebuah generasi yang tidak
lagi mempertentangkan persoalan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender,
ideologi politik Islam, dan lain sebagainya. Di sisi lain, pihak tuan rumah dengan
sungguh-sungguh dapat menghilangkan sikap yang rasis dan ethnosentris baik dalam

188
Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dinamics in a Global Context,
International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta, 2006, h. 148-149. Lihat juga Azyumardi Azra
dalam ‘Kata Pengantar’ buku karangan Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, alihbahasa
Zubair dan Ilham B. Saenong, Teraju, Jakarta, 2003, h. xvi.
189

bentuk fisik maupun kebudayaan yang menjadi ciri kebijakan assimilasi dan
menggantinya dengan multikulturalisme.
Munculnya multikulturalisme sebagai kebijakan ideologi politik Australia
merupakan sebuah politik kebudayaan baru. Politik ini dibangun atas dasar bahwa
pluralisme budaya tidak cukup hanya dengan penghargaan terhadap perbedaan-
perbedaan kebudayaan, khususnya terhadap kelompok minoritas Islam dan kelompok
lainnya. Ini perlu diikuti dengan suatu pembentukan identitas baru berupa etnisitas
baru dengan segala representasi simbol budaya warga pendatang, yang disebut oleh
McGuigan sebagai ‘kesadaran ganda’ atau ‘identitas campuran’ (hybridity).
Konstruksi kesadaran ganda muncul di tempat mereka yang baru melalui proses
migrasi global. Mereka menciptakan diaspora-diaspora baru di mana mereka harus
belajar untuk menempati paling sedikit dua identitas, berbicara dua bahasa budaya,
dan menterjemahkan serta bernegosiasi di antara keduanya.189
Hasil rekonstruksi percampuran berbagai elemen bertujuan untuk menciptakan
identitas baru sekaligus cara untuk bertahan hidup (survive) dan berjuang dalam
kondisi krisis dan transisi. Sebuah perjuangan untuk representasi yang melibatkan
demistifikasi, yaitu untuk menentang streotip yang negatif dan merendahkan serta
marginalisasi pada orang berkulit berwarna secara sosial budaya, ekonomi, dan
politik. Dengan demikian, hibriditas adalah sebuah konsep yang menekankan ‘posisi-
antara’ dan interkultural serta melibatkan semacam kreolisasi.
Syarat utama keberhasilan identitas baru yang bersifat campuran tersebut
haruslah sejalan dengan prinsip dasar multikultralisme Australia dan ajaran Islam itu
sendiri, yaitu adanya pemahaman yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman
sosial, budaya, dan agama.
Ada beberapa model hubungan negara dengan multikuratulisme. Model
pertama adalah Negara sekularisme yang mendukung eksistensi dan kebebasan untuk
melaksanakan kewajiban agama dalam ideologi multikulturalisme. Model agama ini
tumbuh dalam alam multikulturalisme sebagai bentuk yang menekankan multi-religi
dan tetap berada di wilayah sekuler. Agama diyakini sebagai tindakan individu dan
190

merupakan ritual budaya yang tetap dipelihara, namun tidak esensial. Model ini
seperti terlihat pada bagan di bawah.190
Model 1. Agama non-Esensialistik/Semangat Multikulturalisme
Multikulturalisme

Multi-agama Sekuler

Model kedua berpendapat bahwa pandangan agama yang esensialistik


biasanya didukung oleh sebuah masyarakat yang digerakkan oleh ideologi tunggal
dan tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Dalam hal ini, agama
menjadi esensial dan mendikte jalannya negara.

Model 2: Esensialistik dan Supremasi Agama

Ideologi Tunggal

Agama Established Anti Sekuler

Model ketiga menempatkan agama dalam pandangan esensialistik, namun


berada dalam wilyah sekuler dengan menggunakan agama sebagai alat negara.

Model 3: Esensialistik dan Supremasi Negara

189
Thung Ju Lan, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya,
Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002, h. 56-57.
191

Ideologi Tunggal

Agama Established Sekuler

Ada juga model keempat yang menekankan multi-agama, tetapi tidak dalam wilayah
semangat multikulturalisme.
Model 4: Agama Essensialistik/Semangat Multi-Religi/non-Multikultural
Komunalisme

Agama Established Multi-agama

Pengaruh Serangan 11 September 2001 dan Bom Bali terhadap Komunitas


Muslim di Australia
Bagi masyarakat Australia dan negara-negara Barat yang menganut
paham sekuler pada umumnya, citra ekslusif kerap dialamatkan kepada masyarakat
Muslim, karena mereka dianggap memiliki potensi konflik yang membahayakan
multikulturalisme. Akibatnya, sebagaimana terlihat dalam perkembangan terakhir ini,
multikulturaslisme mengalami degradasi, khususnya setelah peristiwa pemboman 11
September 2001 pusat perdagangan kota New York dan kantor pusat keamanan
Pentagon serta bom Bali di tahun 2003. Degradasi itu ditandai dengan bangkitnya

190
Model ini dipinjam dari Maloty Nye, yang dikutip oleh Gadis Arivia dalam, ‘Multikulturalisme:
Re-imagining Agama’, dalam Refleksi, vol. VII, no. 1, Fakultas Uhsuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta,
192

kembali aspirasi ideologi assimilasi (monokulturalisme) di Inggris dan Australia.191


Peristiwa itu merupakan hari-hari yang terburuk bagi masyarakat Muslim di Australia.
Suasana Islamophobia mendadak diacungkan kepada kelompok minoritas Muslim
Australia. Ini menjadi alasan lain mengapa orang Muslim menjadi sasaran ancaman
bernuansa kematian, peledakan bom, ancaman fisik dan surat pos bernuansa
kebencian . Orang-orang yang menampakkan kemuslimannya, khususnya wanita,
diludahi, mendapat perlakuan kekerasan, jilbab mereka dirobek. Di Brisbane sebuah
bis yang membawa anak-anak dari sebuah sekolah Muslim dilempari batu ketika
lewat.192
Akibat buruk setelah peristiwa 11 September 2001 dan bom Bali, termasuk
dengan menambahnya jumlah pencari suaka yang merapat di pantai-pantai Australia
selama beberapa tahun yang lalu menjadi sebuah perdebatan memanas di Australia—
baik di surat-surat kabar, perbincangan radio dan juga di layar televisi – tentang
kehadiran Islam dan kaum Muslim di Australia. Sebagian orang menanggap bahwa
kini tiba saatnya bagi Australia untuk melihat dengan keras pada Islam dan potensi
ancaman yang dibawanya pada Australia, masyarakatnya dan nilai-nilainya. Sebagian
lain beranggapan bahwa cara penyama-rataan (generalisasi) seperti itu tak dapat
dipakai mengingat keragaman yang luar biasa dalam masyarakat Muslim di praktek
Islam – tidak mungkin orang menempatkan seluruh masyarakat Muslim dunia yang
jumlahnya 1200 juta dalam satu keranjang untuk kemudian menamai mereka semua
sebagai teroris. Dasar keimanan, nilai-nilai dan norma-norma serta lembaga
keagamaan mereka tiba-tiba menjadi titik pusat pembicaraan media dan dinas-dinas
keamanan orang Australia. ‘Islam’ dan ‘Muslim’ telah menjadi label yang bermuatan
masalah. Simbol-simbol Islam telah menjadi target kebencian, yang kerap diarahkan
pada orang Islam, oleh sekelompok kecil masyarakat Australia yang vokal. Juga ada
sejumlah dokumentasi kasus-kasus kekerasan terhadap orang Muslim dalam
masyarakat.193

2005, h. 11-12.
191
Tahir Abbas, Religion, Radicalism and Multiculturalism: Indonesia and UK Experience,
International Seminar Paper, Muhammadiyah dan British Council, Jakarta, 30 Januari, 2006, h. 26
192
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 191.
193
Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. iv-v.
193

Dengan menguaknya kejadian-kejadian di New York dan Washington serta


keterlibatan orang Muslim pada penyerangan itu menjadi semakin jelas, khususnya
mereka yang sebelumnya belum pernah mengadakan kontak dengan masyarakat
Muslim di Australiai atau di luar negeri, menjadi curiga pada Islam dan Muslim.
Orang Muslim perlu menjelaskan apa arti Islam bagi mereka, khususnya dalam
konteks kehidupan orang Australia. Mereka perlu menguakkan konsep-konsep keliru
seperti soal jihad dan hijab serta meyakinkan masyarajat yang kini semakin skeptis
bahwa Islam itu sendiri tidak bisa disalahkan sebagai kebencian yang dilakukan kaum
ekstrimis dan radikal di antara mereka.
Pembahasan tentang tentang Islam dalam konteks Australia agak sulit untuk
dilakukan. Sebagian kesulitannya adalah karena Islam bukan satu hal, seperti yang
biasanya dipandang. Islam diyakini dan menjadi jalan hidup dalam berbagai cara
berbeda oleh kaum Muslim di dunia. Benar bahwa ada sejumlah pemikiran,
keimanan, praktek-praktek dan nilai-nilai fundamental yang sudah menjadi hal yang
biasa bagi semua orang Muslim, namun di hampir semua kawasan yang
melaksanakannya di banyak negeri yang berbeda, hal-hal seperti itu berjumlah relatif
sedikit. Orang Muslim sering tidak setuju pada sejumlah tafsir/interpretasi dan
rinciannya. Mereka juga, seperti halnya pada tradisi agama lainnya, punya berbagai
bentuk orientasi teologis, aliran-aliran hukum dan bagian-bagian politik-keagamaan.
Mereka juga terbagi-bagi dalam berbagai bentuk aliran yang bersifat konservatif,
liberal, tradisionalis, modernis dan post-modernis.
Orang Muslim hanya satu dari beraneka kelompok etnik beragama di
Australia. Orang Muslim Australia datang dari hampir seluruh penjuru dunia,
membawa gaya bahasa dan perbedaaan budaya dari negeri asal mereka dan juga cara-
cara menerjemahkan Islam yang beerbeda-beda. Menambah kerumitan ini adalah
pada kenyataan bahwa lebih dari 36 persen orang Muslim Australia lahir dan
dibesarkan di negeri ini serta pengalaman keIslaman mereka hanya dalam konteks
Australia – banyak yang beralih menjadi Islam di kalangan orang Eropa dam latar
belakang lainnya, sementara yang lain hanya merupakan generasi kedua, ketiga, dan
bahan keempat dari orang Muslim Australia yang bagi mereka tidak ada ‘rumah’ lain
selain Australia.
194

Dalam tabel berikut ini, digambarkan adanya tantangan-tantangan besar yang


bernuansa konflik dari kelompok Muslim di Australia bagi kelangsungan kehidupan
masyarakat multikultural yang dihadapi negara-negara demokrasi liberal dan
negara-negara lainnya, khususnya Australia.194

Tabel 13: Perbedaan antara Tiga Model Identitas Muslim Australia


MODEL ORIENTASI DASAR HUBUNG- MENTAL-
IDENTITAS WAKTU LOYALITAS AN ITAS
SOSIAL
Skriptualis Dulu, Sekarang, Agama (Islam) Muslim Ekslusif
dan Masa depan dan
Formalistik
Essensialis Dulu, Sekarang, Negara Baru, tapi Orang Inklusif dan
dan Masa Depan masih Australia Substansiali
berorientasi pada dan Negara s
Budaya, Agama, Asal
dan negara asal
Kosmopolitan Utamakan Masa Universal Antar Pluralisme
Depan Bangsa

Dalam hal ini, kasus Muslim Australia mungkin bisa menjadi gambaran
konflik antara identitas multikulturalisme sebagai identitas bangsa dan sikap ekslusif
agama. Menurut pengamatan penulis, terdapat polarisasi identitas migran etnis
Muslim Australia. Polarisasi tersebut berdasarkan citra, pengalaman hidup, sikap
mental, dan perilaku mereka dalam hubungan sosial mereka dengan masyarakat dan
pemerintah Australia yang bersifat multikulturalistik. Dalam kaitan ini, terlihat

194
Tabel ini dilihat melalui pengamatan dan wawancara penulis dengan mengadopsi tabel
penelitian Dedi Mulyana yang disesuaikan dengan objek kajian penulis. Lihat Dedi Mulyana,
Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and
Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne,
1995, h. 263-270.
195

beberapa model identitas keagamaan Islam, yaitu Skriptualis, Essensialis, dan


Kosmopolitan.
Gambaran di atas menjelaskan bahwa model identitas Skriptualis yang tidak
mengakomodasi sistem sosial politik Australia dalam kerangka kebijakan
multikulturalisme sulit untuk mendapatkan pengakuan politik (poltical recognition),
karena dianggap memiliki mentalitas yang ekslusif, formalistik, dan tekstual. Hal ini
tentu menghambat bangunan integrasi dan mereka tidak bisa ‘survive’ di tempat
mereka yang baru. Bila dibandingkan dengan penelitian Begum Zubaida di tahun
1984, kelompok ini merupakan mayoritas, sedangkan dalam penellitian ini
sebaliknya, yaitu kelompok kecil. Perubahan pandangan ini disebabkan oleh pengaruh
pendidikan multikultural dan meningkatnya pendidikan dan ekonomi mereka di
tengah masyarakat Australia.
Di pihak lain, kelompok essensialis dan kosmopolitan terlihat mampu
menyesuaikan diri dan menyerap sistem politik tempat tinggal mereka yang baru
tanpa harus kehilangan identitas keagamaan. Kedua kelompok terakhir ini
menganggap bahwa multikulturalisme tetap menjamin kebebasan beragama di
Australia, karena itu mereka tetap memiliki loyalitas kepada negara mereka yang baru
dan dengan identitas baru pula, yaitu identitas nasional Australia.
Ada beberapa kendala yang dihadapi masyarakat Muslim Australia di dalam
merespon kebijakan tersebut, antara lain kurangnya kemampuan bahasa Inggris,
kurangnya keahlian (skill), fragmentasi kelompok agama yang terpusat pada latar
belakang etnis, dan dangkalnya interpretasi terhadap ajaran Islam, dikarenakan latar
belakang negara asal yang dilanda peperangan (Libanon dan Irak). Diperlukan
pemahaman baru bagi masyarakat Muslim Australia dalam menafsirkan ajaran-ajaran
pokok Islam yang bersifat universalism transcendental atau universalism
transculturalism sehingga bisa hidup berdampingan dengan multikulturalisme di
negara-negara Barat. Mengutip pendapat Prof.Dr. Taufik Abdullah dalam seminar
Islam and the West,195 11-12 September 2002, menegaskan bahwa multikulturalisme
merupakan alternatif untuk memecahkan masalah “clash of civilization” antara Islam

195
Prof.Dr. Taufik Abdullah dalam Pengantar Seminar Internasional Islam and the West,
diselenggarakan oleh Pusat Bahasa-bahasa UIN Jakarta, 11-12 September 2002.
196

dan Barat. Dengan kata lain, perpaduan universalims transcedental dengan


multikulturalism bisa menghindarkan konflik antara “religious culture dan secular
culture”.
Berangkat dari pengalaman negara-negara yang sudah menjadikan
multikulturalisme sebagai ideologi, seperti Australia dan Canada yang penduduknya
bersifat multi-etnis dan bangsa terlihat mampu meredam ketegangan-ketegangan dan
kekerasan-kekerasan dalam bentuk konflik budaya dan agama, termasuk terorisme
serta radikalisme. Kedua negara ini, khususnya Australia banyak dijadikan model
multikulturalisme di banyak negara dunia dalam membangun suatu kesatuan sosial
(social integration) dan kohesi sosial (social cohesiveness) hingga saat ini.
197

BAB VI
KESIMPULAN / PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehadiran kelompok Muslim di Australia telah berlangsung lama dan
mendahului invasi kaum kulit putih pada abad ke-18. Periode-periode kedatangan
tersebut mengalami pasang surut sesuai dengan situasi perkembangan politik migrasi
yang terjadi di Australia. Periode pertama ditandai dengan kedatangan kelompok
nelayan Makassar ke pantai utara Australia untuk menangkap trepang, namun tidak
meninggalkan bekas yang berarti bagi perkembangan Islam di daerah tersebut.
Periode kedua dimulai di tahun 1860-an dengan kedatangan kelompok Muslim
Afghanistan dengan membawa kenderaan onta untuk melakukan eksplorasi tambang-
tambang mineral di daerah pedalaman yang sulit dan pembukaan lahan-lahan
pertanian. Kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Australia di masa-masa
awal diakui secara luas oleh masyarakat Australia. Namun hal ini tidak berlangsung
lama saat diberlakukannya Kebijakan Kulit Putih Australia di tahun 1901 tentang
pembatasan naturalisasi kewargaa-negaraan yang berlaku hanya bagi kulit putih,
sedangkan bagi warga non-kulit putih ditolak kehadirannya. Peraturan yang bersifat
rasis dan diskriminatif ini mengakibatkan merosotnya jumlah penduduk Muslim di
Australia. Meski masa tinggal mereka tidak berlangsung lama, kontribusi mereka
terhadap perkembangan Islam diakui sejarah Australia sebagai fondasi kedatangan
Islam di Australia seperti terlihat adanya pembangunan-pembangunan mesjid.
Perkembangan Islam yang menurun di awal abad XX selama 47 tahun di
Australia, kembali menampakkan keberadaannya setelah meletusnya Perang Dunia II.
Perkembangan politik dalam dan luar negeri Australia secara tidak terduga membuka
pintu imigrasi bagi masuknya para imigran Muslim dari berbagai negara tanpa
peraturan yang sangat ketat. Kecilnya jumlah penduduk Australia di tengah
198

perkembangan ekonomi Australia yang meningkat tajam dan ancaman invasi tentara
Jepang ke Asia Timur merupakan alasan utama pemberlakuan peraturan imigrasi
tersebut. Gelombang besar imigrasi kaum Muslim dari Turki dan Libanon yang
signifikan ke Australia terjadi di tahun 1960-an dan 1970-an, karena alasan ekonomi
dan politik ke Australia telah membentuk basis populasi komunitas Islam di Australia
yang menyebar di seluruh negara bagian, khususnya di kota-kota besar seperti Sydney
dan Melbourne.
Eksistensi komunitas Islam di Australia ditandai dengan maraknya
pembangunan-pembangunan mesjid di berbagai kota negara federal dan berdirinya
organisasi-organisasi etnik Islam serta payung organisasi komunitas Islam di tingkat
pemerintahan pusat (AFIC). Fungsi mesjid bagi umat Islam di Australia secara
simbolik bukan hanya tempat melakukan kegiatan ibadah, tetapi merupakan tempat
ekspresi, interpretasi, dan perayaan upacara keagamaan. Ia menjadi rujukan
komunitas dan alat identifikasi identitas kultural masyarakat Islam. Demikian pula
organisasi AFIC yang memainkan peran sentral dalam memajukan kehidupan
beragama dan pendidikan dan mewakili suara kelompok Muslim Australia.
Seiring dengan tingginya fluktuasi penduduk imigran di Australia yang
menyebabkan pertumbuhan penduduk Australia meningkat hingga dua kali lipat di
tahun 1987 menimbulkan tekanan dari komunitas etnik dan sebagian penduduk
Australia terhadap kebijakan pemerintah yang masih menerapkan pendekatan
assimilaitif yang bersifat rasis dan diskriminatif. Masing-masing komunitas etnis dan
bangsa yang berasal dari 170 negara menganggap ideologi ini gagal dalam
mengakomodasi warisan kultural mereka, karena itu diperlukan adanya suatu
kebijakan baru yang mengakui eksistensi komunitas etnis (political recognation).
Tekanan ini mendapat respon yang positif dari Pemerintahan Whitlam di tahun 1973
dan didukung oleh masyarakat Australia secara luas dengan diberlakukannya
kebijakan baru Multikulturaslime dan menghapus kebijakan lama. Kebijakan baru ini
tidak hanya diberlakukan kepada masyarakat migran, tetapi mengikat kepada seluruh
masyarakat Australia dalam membangun tatanan nilai ideal bagi identitas nasional
Australia yang plural dan mengurangi ketegangan dan konflik.
199

Respon kelompok minoritas Muslim terhadap multikulturalisme, khususnya


pendidikan multikultural, menurut Begum Zubaida, terpecah menjadi dua. Kelompok
Konservatif yang mendominasi komunitas Muslim di tahun 1970 dan 1980 melihat
ideologi Islam bertentangan dengan ideologi multikulturaslisme yang sekuler.
Ideologi politik Islam yang masih dipegang kuat oleh kelompok yang baru datang ini
menuntut sistem sistem syariat Islam, termasuk pengadilan Islam, harus diberlakukan
bagi umat Islam di Australia. Sementara ideologi multikulturalisme menuntut
loyalitas semua warganegara, tanpa pengecualian untuk tunduk dalam sistem politik
dan kelembagaan yang terdapat dalam negara Australia. Pandangan kelompok
minoritas Moderat berpendapat sebaliknya. Ideologi multikulturalisme tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, karena tujuan dari prinsip-prinsip
multikulturalisme yang ingin menyatukan realitas masyarakat yang plural dalam suatu
identitas nasional sejalan dengan kandungan isi al-Qur’an, yaitu toleransi dan
keadilan.
Sikap resistensi kultural kelompok Konsevatif tersebut di atas seakan
mengokohkan ketakutan masyarakat Australia terhadap politik Islam yang selama ini
mereka anggap tidak cocok dengan nilai-nilai budaya Barat. Islam di Australia dilihat
sebagai salah satu masalah bagi keberhasilan multikulturalisme, seperti halnya Islam
di Perancis yang menghambat sekularisme nasional. Nilai-nilai agama Islam,
kepercayaan, dan praktek keagamaannya dipandang sebagai sesuatu yang berada
dalam konflik dengan organisasi dan irama kehidupan masyarakat di kota-kota Barat.
Praktek keislaman berupa hijab (cadar) dan tidak adanya kesetaraan jender merupakan
tantangan yang nyata terhadap kompromi ruang publik yang sekuler. Karena itu,
kehadiran Islam yang dihasilkan imigrasi selalu dipandang sebagai ’yang lain’ (the
other), yang secara esensial bertententangan dengan budaya Barat dan menolak untuk
menjadi bagian dari masyarakat nasional di Barat, khususnya Australia.
Namun persoalan hambatan ideologis dan isu-isu lain yang dihadapi umat
Islam di Australia di tahun 1980-an bukanlah yang statis melainkan bersifat dinamis.
Mereka melakukan negosiasi kemusliman mereka dengan kehidupan masyarakat
Australia dan lembaga-lembaga yang ada. Latar belakang mereka yang sebelumnya
bersifat pedesaan masuk ke daerah perkotaan telah merubah pandangan-pandangan
200

mereka tentang lanskap Australia dengan segala pernik budayanya. Secara ekonomis,
kehidupan mereka terangkat dengan meningkatnya penghasilan mereka setiap tahun.
Begitu pula di bidang pendidikan, rata-rata generasi kedua dan ketiga lebih terdidik
dengan berdirinya sekolah-sekolah Islam reguler yang juga disubsidi pemerintah
Australia. Secara kultural, mereka mulai melakukan dialog dengan berbagai antar
agama dalam memahami pluralisme agama yang diselenggarakan berbagai pimpinan
etnis yang juga berbeda agama.
Berbagai negosiasi kemusliman telah berhasil memenuhi tuntutan mereka
seperti pemberian otorisasi dari negara dalam perkawinan menurut ajaran Islam
melalui imam-imam yang ditunjuk negara, mendapatkan visa untuk mendatangkan
pemimpin agama dari mancanegara, area pemakaman sesuai dengan tradisi Islam, izin
pembangunan mesjid, pendirian sekolah-sekolah Islan dengan memasukkan
kurikulum Islam disamping kurikulum nasional Australia. Dengan demikian, hak
asasi seseorang untuk melaksanakan agama dijamin pemerintah.
Setidaknya ada dua hal penting yang mempengaruhi kehidupan beragama etnis
Muslim di Australia. Pertama adalah dukungan ideologi multikulturalisme. Ideologi
ini tidak hanya menciptakan toleransi, tetapi lebih penting lagi mendorong
terwujudnya rasa keadilan sesuai dengan tujuan multikulturalisme itu sendiri. Kedua,
adanya dukungan komunitas Muslim luar negeri dengan pembangunan mesjid-mesjid
dan fasilitas sembahyang, penyediaan imam, dan fasilitas pendidikan bagi anak-anak
Muslim. Kedua faktor ini, khususnya ideologi multikulturalisme, telah merubah
pandangan mereka yang tadinya mayoritas konservatif menjadi inklusif dan moderat.
Reinterpretasi agama terhadap doktrin ajaran agama berlangsung di tengah
pergumulan mereka dengan masyarakat yang heterogen sejalan dengan meningkatnya
tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi kelompok Muslim.
Untuk menghindari terjadinya dikhotomi antara identitas kultural Islam dan
prinsip-prinsip nilai multikulturalisme yang masih menjadi ‘hantu’ sebagian
masyarakat Australia, maka identitas kelompok Islam haruslah melebur ke dalam
identitas nasional Australia yang ditandai dengan adanya loyalitas terhadap negara
dan bangsa. Perpaduan antara dua identitas Islam di satu pihak dan ideologi
multikulturalisme sebagai ideologi sekuler di pihak lain, bisa diselesaikan dengan
201

pendekatan budaya campuran atau kesadaran ganda (cultural hybridity) sehingga


terhindar dari konflik antara budaya Islam dan sekularisme. Cara pandang ini
diperlukan agar masyarakat Muslim dapat berintegrasi dan ‘survive’ dalam dominasi
masyarakat kulit putih yang menganut paham demokrasi liberal.
Kesadaran ganda di atas memerlukan pemahaman yang bersifat universal dan
transkultural di dalam memahami ajaran Islam agar dapat compatible dengan nilai-
nilai Barat yang bersifat humanisitik, demokratis, dan rasional, di samping tentu saja
menghindari aspek negatif di belakang nilai-nilai tersebut. Bila tidak, masyarakat
Muslim akan terkungkung dalam etnis agama yang sempit dan dapat memberi
pengertian salah sehingga dapat menimbulkan sifat prejudice dan stereotip negatif
terhadap umat Islam. Sikap ini akan menjadikan seorang Muslim sebagai ‘a real
Australian’, dan tidak harus menjadi ‘a typical Australian’. Bagi kelompok Muslim,
ideologi multikulturalisme adalah ‘pintu gerbang’ untuk memperkenalkan
pemahaman dan pengertian Islam yang sesungguhnya kepada khalayak masyarakat
kulit putih yang selama ini ‘ignorance’ dan ‘intolerance’ terhadap Islam.

B. SARAN
Keberhasilan multikulturalisme sering menjadi acuan negara-negara lain di
dunia di dalam menerapkan ideologi tersebut. Belajar dari pengalaman Australia,
mungkin bangsa Indonesia dapat meminjam konsep tersebut untuk diterapkan di
Indonesia sebagai perwujudan dari Bihinneka Tungga Ika. Penerapan Konsep
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu, saat ini telah kehilangan daya gebrak
tentang pentingnya hidup bersama dalam perbedaan. Tunggal Ika lebih ditekankan
ketimbang Bhinneka, sehingga akhrnya melahirkan persatuan semu (pseudo-unity).
Multikulturalisme pada hakekatnya tidak hanya sekedar mencari persatuan, tetapi juga
menumbuhkembangkan budaya perbedaan dan keharmonisan.
Di sini perlunya kebijakan multikulturalisme sebagai kebijakan politik negara
Indonesia dalam kerangka pembentukan masyarakat multikultural yang sehat. Namun
hal ini tidak bisa dilakukan secara taken for granted dan trial error, sebaliknya
diupayakan secara sistematis , programatis, integrated, dan berkesinambungan.
Beberapa langkah yang paling strategis untuk mengelola keragaman, tidak hanya
202

menyangkut persoalan agama, tetapi sekaligus etnik, antara lain, pertama,


pembentukan institusi, seperti Lembaga Urusan Multikultural (Indonesian Institute of
Multicultural Affairs) dan Kantor Urusan Multikultural (The Office of Multicultural
Affairs). Kedua badan ini bertugas menciptakan kerangka Kebijakan Agenda
Nasional, menerbitkan buku-buku, mengadakan bank of research, dan menyiapkan
tenaga ahli sehingga memudahkan perolehan pengakuan kelembagaan dan terciptanya
komitmen di pihak Pemerintah pada prinsip-prinsip multikulturalisme. Alternatif lain,
pemerintah perlu membentuk Komisi Urusan Etnis dan Agama (Ethnic Affairs
Commission) untuk dijadikan semacam social engineering untuk mereformasi
multikulturalisme Indonesia dengan menyusun sebuah agenda Nasional bagi
terwujudnya multikulturalisme bangsa.
Kedua, langkah strategis lainnya adalah melalui pendidikan multikultural yang
diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan formal dan non-formal dalam
masyarakat luas. Tahap pertama bentuk pendidikan ini bisa dalam bentuk pendidikan
interkultural sebagai wujud cross-cultural untuk mengembangkan nilai-nilai universal
yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda. Pada tahap ini, seperti
yang diungkapkan Prof. Azyumardi Azra, bahwa pendidikan interkultural ditujukan
untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan budaya atau kelompok
lain, khususnya kalangan minoritas. Selain itu juga ditujukan untuk timbulnya
toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan
lain-lain. Tahap berikutnya ditujukan bagaimana mengelola dan memelihara serta
memperkaya warisan kultural yang terdapat dalam masyarakat sehingga masing-
masing kelompok bisa saling berbagi (sharing) dan saling memiliki.

Daftar Bacaan
Abbas, Tahir, Religion, Radicalism and Multiculturalism: Indonesia and UK
Experience, International Seminar Paper, Muhammadiyah dan British
Council, 30 Januari, Jakarta, 2006.
203

Adam, Enid and Philip Hughes, The Buddhists in Australia, Bureau of Immigration,
Multicultural and Population Research, Canberra, 1996

Advisory Council on Multicultural Affairs, Towards a National Agenda for a


multicultural Australia: A Discussion Paper, Commonwealth of Australia,
Canberra, 1988

Ata, Wade Abe (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, Spectrum
Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988

Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for all


Australians: Our Developing Nationhood, Commonwealth of Australia,
Canberra, 1982.

Azra, Azyumardi, Indonesia, Islam, and Democracy: Dinamics in a Global Context,


International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta, 2006.

------------ ‘Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia’


dalam Kongres Budaya Indonesia, yang diadakan oleh Menbudpar RI.
Diakses dari www.kongresbud.budpar.go.id, Desember 2006.

Bainbridge, Sims William, The Sociology of Religious Movements, Routledge,


New York, 1997.

Barth, Frederick, Kelompok Etnik dan Batasannya, alihbahasa Nining I. Soesilo, UI-
Press, Jakarta, 1988.

Basset-Burr, Sarah, Muslims in Australia: A Bibliography, Ecumenical Migration


Centre, Melbourne, 1991.

Baubock, Reiner et all (eds.), The Challenge of Diversity: Integration and Pluralism
in Societies of Immigration, Avebury, Vermont, 1996.

Baz, Ibn Shaykhs and Shaykh Uthaymeen, Muslim Minorities: Fatawa Regarding
Muslim Living as Minorities, Message of Islam, United Kingdom, 1998.

Begum, Zubaida, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims


in Victoria, unpublished dissertation, Monash University, Melbourne, 1984

Bell, Daniel, The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in Social Forecasting,


Basic Book, Inc., New York, 1973.

Bilimoria, Purushottama, The Hindus and Shikhs in Australia, Bureau of Immig-


ration, Multicultural and Population Research, Canberra, 1996.

Binder, Leonard, Islamic Liberalism, A Critique of Development Ideologies, The


University of Chicago Press, Chicago, 1988.
204

Black, Alan (ed.), Religion in Australia: Sociological Perspectives, Allen and Un


win, Sydney, 1991.

Bouma, Gary D., Religion: Meaning, Transcendence and Community in Australia,


Longman Checire, Melbourne, 1992.

--------------, Mosques and Muslim Settlement in Australia, Australian Government


Printing Service, Canberra, 1994.

--------------, Religious Tolerance in Australia, World Conference on Religi on


and Peace, Melbourne, 1995.

--------------, The Religious Factors in Australian Life, Marc Australia (World


Vision), Melbourne, 1986.

--------------- (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden


tity and Cultural Diversity, The Christian Research Association, Melbourne,
1996

Burnley, Ian (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies,
Longman Chesire, Melbourne, 1985

Castles, Stephen (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of


Nationalism in Australia, Pluto Press, Sydney, 1988

Chauvel, Richard D., Budaya dan Politik Australia, Yayasan Obor Indonesia, Ja
karta, 1982

Clark, Gordon L. et all (eds.), Multiculturalism, Difference and Postmodernism,


Longman Chesire, Melbourne, 1993

Clark, Manning, A Short History of Australia, A. Mentor Book, New York, 1969

Cleland, Bilal, The Muslims in Australia: A Brief History, Islamic Council of Victoria,
Melbourne, October 2002

Coughlan, James E., and Deborah J. McNamara (eds.), Asian in Australia: Patterns of
Migration and Settlement, Macmillan Education Australia, Melbourne, 1997

Deen, Hanifa, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, the Australia


Council, Sydney, 1995

Department of Immigration and Ethnic Affairs, National Consultations on


Multiculturalism and Citizenship, Australian Government Publishing Service,
Canberra, 1982
205

Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs,


National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future,
Australian Government Publishing Service, Canberra, 1989

During, Simon (ed.), The Cultural Studies Readers, Routledge, London, 2000

Eliade, Mircea, Australian Religion: An Introduction, Cornell University Press,


Ithaca, 1973

Engel, Frank, Australian Christians in Conflict and Unity, The Joint Board of
Christian Education of Australia and New Zealand, Melbourne, 1984

Esman, J. Milton and Itamar Rabinovich, Ethnicity, Pluralism, and the State in the
Middle East, Cornell University Press, Ithaca, 1988

Esposito, John L. (ed.), Islam in Asia: Religion, Politics, and Society, Oxford, Press,
New York, 1987

Fawcett, Liz, Religion, Ethnicity and Social Change, Macmillan Press, London,
2000

Foster, Lois and David Stockley, Multiculturalism: The Changing Australian


Paradigm, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1984

Foster, Lois and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary His


tory and Critique, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1988

Geertz, Clifford, The Religion of Java, The Free Press Glencoe, London, 1960.

-------------, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., New York, 1973.

Goodman, David, D.J. O’Hearn and Chris Wallace-Crabbe (eds), Multicultural


Australia: The Challenges of Change, Scribe, Victoria, 1991

Goosen, Gideon, Religion in Australian Culture: An Anthropological View, St.


Pauls, Sydney, 1997

Goot, Murray, Multiculturalists, Monoculturalists and Many in between: Attitudes to


Cultural Diversity and their Correlates, in Australian and New Zealand
Journal of Sociology, vol. 29, no. 2 1993, 226-253

Graetz, Brian and McAllister, Dimensions of Australian Society, Macmillan Company


of Australia, Melbourne, 1988

Gurry, Tim (ed.), An Emerging Identity: Focus on Australian History,Victoria,1987


206

Habel, Norman C. (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, Australian


Association for the Study of Religious (AARS), Adelaide, 1992

Haddad, Yvonne Yazbeck (Ed.), Muslim in the West, Oxford University Press,
London, 2002

Hage, Hassan and Rowanne Cough (eds.), The Future of Australian Multicultural ism,
The University of Sydney, 1999

Hardjono, Ratih, Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya,
Gramedia, Jakarta, 1992

Hiro, Philip, Islamic Fundamentalism, Paladin, London, 1988

Jaensch, Dean, The Politics of Australia, Macmillan Education Australia,


Melbourne, 1992

Jones, Mary Lucille (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in


Seventeen Century, Law Printer, Melbourne, 1993

John, H, Anthony and Saeed, Abdullah, “Muslims in Australia”, dalam Muslim


Minorities in the West: Visible and Invisible, Yvonne Yazbeck Haddad & Jane
I. Smith (ed.), Altamira Press, New York, 2002

Jonston, Marjorie, Australian History, Longman Cheshire, Melbourne, 1985

Juan, E. San Jr., Hegemony and Strategies of Transgression: Essays in Culltural


Studies and Comparative Literature, State University of New York Press,
New
York, 1995

Jupp, James (ed.), The Challenge of Diversity: Policy Options for a Multicultural
Australia, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1989

--------------, Ethnic Politics in Australia, George Allen and Unwin, Sydney, 1984

Kumar, Ranjit Research Methodology – A Step by-Step Guide for Beginners,


Longman, London, 1996.

Lan, Thung Ju, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan
Budaya, Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002

Lawson, E. Thomas and Robert N. McCauley, Rethingking Religion: Connecting


Cognition and Culture, Cambridge University Press, New York, 1993

Lerda, Valeria Gennaro (ed.), From ‘Melting Pot’ to Multiculturalism: The Evolution
of Ethnic Relations in UN and Canada, Bulzoni Editore, Roma, 1990
207

Lopez, Mark, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975,


Melbourne University Press, Melbourne, 2000

Macquarrie, John, Principles of Christian Theology, SCM Press, London, 1966

Malik, Iftikhar H., Islam and Modernity: Muslims in Europe and the US, Pluto Press,
London, 2004

McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, Social Science Press,
Katoomba, Sydney, 1988
Martin, Jean I., The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, George
Allen & Unwin, Sydney, 1978

Mol, H., Religion in Australia, Longman Chesire, Melbourne, 1971

--------------, The Faith of Australians, Allen & Unwin, Sydney, 1985.

Mulyana, Deddy, Islam dan Orang Indonesia di Australia, Logos, Jakarta, 2000.

--------------, Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social


Construction and Transformation of Ethnic Identity, unpublished
dissertatation, Monash University, Melbourne, 1995, h. 263-270.

Nile, Richard (ed.), Immigration and politics of Ethnicity and Race in Australia
And Britain, Bureau of immigration Research (Australia) and the University
of London, Melbourne and London, 1991

Nurdin, M. Amin, ‘Managemen Konflik Negara terhadap Masyarakat Multikultural:


Kasus Komunitas Muslim Australia’, in Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan
Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, vol. VII, no.1, 2005

------------, ‘Kajian Multikulturalisme dan Kaitannya dengan Kerukunan di Indonesia’,


makalah yang disampaikan pada seminar Strategi Sosialisasi Multikultural
dalam Rangka Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa,
diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
bekerjasama dengan Litbang Depag RI, Jakarta, 10 Juli 2006.

Omar, Wafia and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, Australian Government
Service, Canberra, 1996

Parekh, Bhikhu, Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political


Theory, Macmillan Press, London, 2000

Payne J. Richard and Jamal R. Nassau, Politics and Culture in Developing Wprld:
The Impact of Globalization, Longman, New York, 2003
208

The Parliament of the Commonwealth of Australia, Australian Population ‘Carry ing


Capacity’: One Nation – Two Ecologies, Australian Government Publishing
Service, Canberra, 1994

Ramadan, Tariq, Menjadi Modern Bersama Islam, alihbahasa Zubair dan Ilham B.
Saenong, Teraju, Jakarta, 2003

Research Center for Regional Resources (PSDR), Identity, Multiculturalism and


Formation of Nation States in Southeast Asia, The Indonesian Institute of
Sciences (LIPI) and Japan Foundation, Jakarta, 2004

Ricklefs, M.C., ‘Culture, Ethnicity, and Religion as Process: Inter-culturally as the


Key to the Future’, in KULTUR, vol. 1, no. 1, Center for Languages and
Cultures of the State Institute for Islamic Studies (IAIN), Jakarta, 2000

Rimmer, Stephen J., The Cost of Multiculturalism, Stephen J. Rimmer, Bedford


Park, 1991

Robertson, Roland and William R. Garrett (ed.), Religion and Global Order: Religion
and the Political Order, Paragon, New York, 1991

Rubinstein D. William, Judaism in Australia, Bureau of Immigration, Multicultural


and Population Research, Australia.

Saeed, Abdullah, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions,


Departement of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and
Australian Multicultural Foundation in Assotiation with The University of
Melbourne, 2004

--------------, Islam in Australia, Allen & Unwin, Sydney, 2003

-------------- and Shahram Akbarzadeh, (eds.), Muslim Communities in Australia,


UNSW Press, Sydney, 2003

Said, Edward W., Orientalism: Western Conceptions of the Orient, Penguin


Books, New York, 1995

Siddiqui, Ataullah, Christian – Muslim Dialogue in Twentieth Century, Macmillan


Press, London, 1997

Theophanous, Andrew C., Understanding Multiculturalism and Australian Identity


Elikia Books Publication, Victoria, 1995

Vasta, Ellie, Multiculturalism and Ethnic Identity: Relationship between Racism


and Resistance, in Australian and New Zealand Journal of Sociology, no.2,
August 1993, 209-225
209

Youngman, Drew, Double Standar: An Independent View of Religiuos Dis


crimination in Australia, Self-Published, Australia, 1995

Ward, Rowland and Robert Humphreys, Religious Bodies in Australia: A


Comprehensive Guide, New Melbourne Press, Victoria, 1995

Wu, D.Y.H, et all (ed.), Emerging Pluralism in Asia and the Pacific, The Chinese
University of Hong Kong, Hong Kong, 1997

Yin, Robert K. Case Study Research Design and Methods, Sage Publications, Beverly
Hills, London, 1985

- Sumber-sumber lain dari Jurnal, Majalah, harian, dan internet seperti Australian and
New Zealand Journal of Sociology, Salam, al-Nida’, the Age, dan Sydney Heral
Morning dari tahun 1980 sampai 1997.

- Lampiran-lampiran
Lampiran -1*

Daftar Mesjid Utama di Australia


Queensland
Darra Mosque West End Mosque Redfern Mosque
47 Ducie St 12-14 Princhester St 328 Cleveland St
Darra 4076 West End 4101 Surry Hills 2010

Kotku Eagleby Mosque Woodridge Mosque


262 Fryer Rd Cnr Third Ave & Curtisii Crt of Campbelltown
Eagleby 4207 Kindston 4114 44 Westmoreland Rd
Lumeah 2560
Kuraby Mosque
1408 Beenleigh Rd New South Wales Rooty Hill Mosque
Kuraby 4112 Cr Woodstock & Duke Sts
Al Hijra Mosque Rooty Hill 2766
Gold Coast Mosque 45 Station St
2 Allied Dr West Tempe 2044 Rydalmere Mosque
Arundel 4214 465 Victoria Rd
Al Jihad Mosque Rydalmere 2116
Holland Park Mosque 12 South Creek rd
309 Nursery Rd Dee Why 2099 Smithfield Mosque
Holland Park 4121 30 Bourke St
Al-Imam Ali Mosque Smithfield 2164
Lutwyche Mosque 65-67 Wangee Rod
33 Fuller St Lakemba 2195 Suburban Islamic Asso-
Lutwyche 4030 ciation of Campbelltown
Auburn Gallipoli Mosque 44 Westmoreland Rd
210

Victoria
Islamic Council of Fitzroy Mosque Springvale Mosque
Victoria 144 Palmer Dr 68 Garnsworthy St
66-68
South Jeffcott St
Australia Fitzroy
Western 3065 Australia Springvale 3171
Australian
West Melbourne 3003
Footscray West Mosque Capital
SunshineTerritory
Mosque
Coburg Islamic Centre 294 Essex St 618 Ballarat Rd
Adelaide Mosque
31 Nicholson St’Coburg Geraldton Mosque
Maidstone 3012 Canberra
SunshineIslamic
3020 Centre
20 Little
3058 Gilbert St 67 George Rd 29 Goldfinch Cres
Adelaide 5000 Geraldton 6530
Geelong Mosque Theodore 2905 Mosque
Thomastown
Turkish Cypriot Cnr Orr & Bostock Sts 157 Station St
Park Holme Mosque
Communi-ty of Australia Katanning Mosque
Manifold Heights 3218 Canberra Mosque
Thomastown 3074
658
Lot IMarion
BallaratRdRd 24 Britannia St 130 Empire Circuit
Park
DeerHolme 5043
Park 3023 Katanning
Heidelberg6317
Mosque Yarralumla 2600
Cnr Lloyd & Elliot Sts
Al-Khalil
Islamic Mosque
Society of Newman Mosque
West heidelberg 3081
Cnr
Footscray St & Torrens Rd
Audley Lot 1536
Woodville
50 Ealeigh North
St 5012 Abydos Way Afghan
Jaame Masjid Tasmania
Footscray 3012 Newman 6753
14 Photinia St
Gilles Plains Mosque Doveton 3177 Hobart Islamic Centre
52-56
IslamicWandana
Society Ave
of Perth Mosque 166 Warwick St
Gilles Plains
Victoria 5086 427 WilliamMosque
Lysterfield St Hobart 7000
90 Cramer St Pert 6805
1273 Wellington Rd
Whyalla Islamic Society
Preston 3072 Lysterfield 3156
5 Morris Crs Port Hedland Mosque
Whyalla Norrie North
Broadmeadows Mosque5608 34 Trumpet Mosque
Maidstone Way
45-55 King St South Hedland
36 Studley St 6722
Northern
Broadmeadows 3047 Maidstone 3012 Territory
Rivervale Islamic Centre
Brunswick Islamic 7Mildura
MalvernMosque
Rd Alice Springs Islamic
Centre Rivervale 6103
49 Tenth St Centre
660 Sydney Rd Mildura 3502 Lot 8130 Lyndavale Dr
Brunswick 3056 Alice Springs 0871
Newport Mosque
Campbellfield Mosque 1 Walker St Darwin Mosque
46 Mason St newport 3015 53-59 Venderlin Dr
211

___________________

*http://www.islamaustralia.com.au/Mosues/Aust_List_List/mosques_in_aust.htm.

Daftar Organisasi Muslim di Australia

The Australian Federation of Islamic Islamic Society of Victoria


Councils 90 Cramer St
Mail Address Preston VIC 3072
PO Box 1185
Waterloo DC NSW 2017 Federation of Australian Muslim Students
and Youth (FAMSY)
932 Bourke St PO Box 451
Zetland NSW 2017 Newport VIC 3015

Islamic Council of New South Wales Inc. Suite 2/108 Haldon Street
405 Waterloo Rd Lakemba NSW 2193
Chullora NSW 2190
Muslim Aid Australia
Islamic Council of Victoria Suite 15-16
66-68 Jeffcott St 168 Haldon St
West Melbourne VIC 3003 Lakemba NSW 2195

Islamic Council of Queensland Muslim Women’s International network of


Compton Rd (cnr Acacia Rd) Australia
Karawatha QlD 4117 PO Box 213
Granville NSW 2142
Islamic Society of South Australia
658 Marion Rd Islamic Women’s Welfare Council of
Park Holme SA 5043 Victoria
169 Fitzroy St
Islamic Council of Western Australia Fitzroy VIC 3065
7 Malvern St
Rivervale WA 6103

Islamic Council of the Northern


212

Lampiran -2**

Daftar Sekolah Islam di Australia

New South Wales Victoria Queensland


Al Noori Muslim Primary Werribee College Brisbane Muslim School
School 201 Sayers Rd 6 Agnes St
75 Greenacre Rd Hoppers Crossing Buranda QLD 4102
Greenacre NSW 2190 VIC 3029
Islamic School of Brisbane
Arkana College Darul-ulum College of 45 Acacia Rd
344 Stoney Creek Rd Victoria Karawatha QLD 4117
Kingsgrove NSW 2208 Baird St
Fawkner VIC 3060
Malek Fahd Islamic
School King Khalid Islamic South Australia
405 Waterloo Rd College
Greenacre NSW 2190 Head Office Islamic College of South
Merlynston Secondary Australia
Noor Al Houda Islamic Campus 52 Wandana Ave
College 56 Bakers Rd Cilles Plains SA 5086
2b Third Ave. Coburg North VIC 3058
Condell Park NSW 2200
Coburg Primary Campus
Qibla College 653 Sydney Rd
44-48 Westmoreland St Coburg VIC 3058 Western Australia
Minto NSW 2566
Minaret College Al-Hidayah Islamic
King Abdul Aziz College Main Campus School
420 Woodstock Ave. 36 Lewis St Hedley St
Victoria Park WA 6100
213

** http://www.islam-australia.com.au/Schools/schools_in_aust.htm

Anda mungkin juga menyukai