Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS HASANUDDIN

SPONDYLOSIS LUMBALIS

Disusun oleh:

Nurul Qanitah Shahabuddin C014172146

Residen Pembimbing
dr. Anthony Evans
dr. Reza Romadhona Fahlevi

Supervisor Pembimbing
dr. Jainal Arifin, M.Kes, Sp.OT (K) Spine

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Nurul Qanitah Shahabuddin
NIM : C014172146
Judul : Spondylosis Lumbalis

Telah menyelesaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Bagian Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 4 Januari 2020

Residen Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Anthony Evans dr. Reza Romadhona Fahlevi

Supervisor Pembimbing

dr. Jainal Arifin, M.Kes, Sp.OT (K) Spine

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
1. Definisi......................................................................................................3
2. Epidemiologi.............................................................................................3
3. Anatomi.....................................................................................................4
2.3.1 Diskus intervertebralis......................................................................6
2.3.2 Facet joints.......................................................................................9
2.3.3 Ligamen............................................................................................10
2.3.4 Biomekanisme normal kolumna vertebra lumbalis..........................11
4. Patofisiologi...............................................................................................13
5. Manifestasi Klinis......................................................................................14
6. Pemeriksaan Fisis......................................................................................15
7. Pemeriksaan penunjang.............................................................................20
8. Tatalaksana................................................................................................22
9. Komplikasi................................................................................................25
10. Prognosis...................................................................................................26
BAB III. KESIMPULAN......................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tulang belakang terdiri atas 33 vertebrae yang terbagi menjadi regio servikal,
thorakal, lumbal, sakral, dan koksigeal. Struktur vertebra terdiri atas korpus
vertebrae pada bagian anterior dan lengkung neural yang terdiri atas pedikel dan
laminae pada bagian posterior. Penghubung antara vertebra satu dan lainnya
adalah diskus intervertebralis. Diskus ini memiliki fungsi sebagai shock absorber
dan mentransmisikan beban yang diterima oleh corpus vertebra satu ke corpus
vertebra lainnya.(1)

Struktur tulang belakang ini dapat mengalami proses degeneratif sebagai


hal normal yang terjadi seiring bertambahnya usia. Keadaan degeneratif
mempengaruhi diskus intervertebralis, korpus vertebrae dan sendi yang
berhubungan dengan vertebra lumbal disebut spondylosis lumbalis.(2) Spondylosis
lumbalis merupakan salah satu penyebab nyeri punggung bawah. Berdasarkan
penelitian diketahui spondylosis lumbalis memiliki prevalensi 66% pada populasi
usia >65 tahun di Korea.(3)

Spondylosis lumbalis juga dikenal dengan istilah Degenerative Disc


Disease (DDD) dengan gejala nyeri punggung bawah akibat degenerasi diskus
intervertebralis. Beberapa perubahan patologis yang terjadi berupa pengeringan
diskus, fibrosis dan penyempitan. Annulus dapat mengalami penonjolan, fissure
atau mengalami degenerasi musinosa. Dapat juga ditemukan defek anatomis dan
sklerosis dari end-plates dan osteofit pada apofisis vertebra.(2)

Degenerasi pada diskus utamanya disebabkan oleh proses penuaan. Selain


itu indeks massa tubuh (IMT), kejadian trauma tulang belakang, beban yang
diberikan pada tulang belakang (twisting, lifting, bending, dan postur yang tidak
netral dalam waktu lama) dan faktor genetik juga ikut meningkatkan risiko
spondylosis lumbalis.(2), (3,) (4)

Penanganan pada spondylosis lumbalis terbagi menjadi manajemen non-


operatif, intervensi minimal invasif dan operatif. Manajemen nonoperatif seperti

1
tirah baring, latihan fisik, penggunaan orthotik dan modalitas tambahan serta
farmakoterapi. Adapun tindakan intervensi minimal invasif seperti injeksi spinal
epidural, injeksi intradiskus dan annuloplasti termal juga biasa dilakukan.
Manajemen operatif yang dilakukan adalah fusi lumbar (arthrodesis). Manajemen
terbaru yang masih dalam tahap penelitian adalah terapi biologis (molekuler, gen
dan stem cells).(1), (5)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Spondylosis berarti perubahan mekanik berupa respon hipertrofi dari


vertebra yang berdekatan terhadap degenerasi diskus (walaupun osteofit tidak
selalu terbentuk jika tidak ditemukan kelainan pada diskus). Spondylosis lumbalis
digunakan untuk menyatakan kondisi degeneratif yang mempengaruhi diskus
intervertebra, korpus vertebra dan/atau berhubungan dengan sendi pada vertebra
lumbalis.(2)

Spondylosis lumbalis secara radiologis memiliki karakteristik yaitu adanya


osteofit, sklerosis endplate dan penyempitan diskus itervertebra. (5)

2
2.2 Epidemiologi
Cho et al dalam penelitiannya melaporkan prevalensi spondylosis lumbalis
mencapai 66% dari populasi usia >65 tahun di Korea. Tingginya prevalensi ini
kemungkinan akibat perbedaan usia, jenis kelamin, obesitas, besar sampel,
modalitas radiografi dan variasi etnik. Bahkan dalam beberapa penelitian lain
ditemukan progresifitas dari insidens spondilosis lumbalis.(3)
Yoshimura et al. melaporkan kejadian spondylosis lumbalis lebih banyak
ditemukan di United Kingdom dibandingkan Jepang, kemungkinan akibat
perbedaan etnis. Penelitian sebelumnya mengaitkan spondylosis lumbalis dengan
usia, obesitas, dan massa tulang.(5) Yohimura et al pada penelitiannya yang lain
mendapatkan data insidens kumulatif spondylosis lumbalis pada usia 70 tahun
untuk laki-laki adalah 37.9% dan perempuan sebesar 43.8%.(6)
Berdasarkan penelitian Tsujimotot et al ditemukan adanya hubungan
antara spondylosis lumbalis dengan nyeri punggung bawah pada komunitas di
Jepang. Spondylosis lumbalis yang terjadi pada level L3-L4, L4-L5 atau L5-S1
berhubungan erat dengan nyeri punggung bawah.(5)
Spondylosis lumbalis yang menyebabkan nyeri punggung bawah dapat
menyebabkan penurunan kualitas hidup. Pada tahun 2010 penelitian yang
dilakukan oleh Global Burden of Disease (GBD) menyatakan bahwa nyeri
punggung bawah berada di peringkat tertinggi dari 291 kondisi yang
menyebabkan kerugian akibat kecacatan dengan 83 juta orang yang dinyatakan
cacat seumur hidup. (7)

2.3 Anatomi
Vertebra adalah pilar yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan
melindungi medulla spinalis. Vertebra terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang
tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra
cervical), 12 ruas tulang thorakal (vertebra thoracalis), 5 ruas tulang lumbal
(vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral (vertebra sakralis) dan 4 ruas tulang
coccygeal.(1)

3
Gambar 1. Tampakan lateral tulang belakang(1)
Setiap vertebra lumbalis memiliki 3 komponen fungsional: korpus vertebra
untuk menahan beban, arkus neuralis untuk melindungi elemen neural dan tulang
prosesus (prosesus spinosus dan transversus) untuk meningkatkan efisiensi kerja
otot.(8)
Korpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, dan lengkung
neural digabungkan oleh facet (zygoapophyseal) joints (gambar 2). Ujung dari
permukaan distal korpus vertebra orang dewasa membentuk cincin tulang
kortikal. Cincin epifisis ini menjadi zona pertumbuhan pada remaja dan menjadi
tempat terikatnya annulus fibrosa. Kartilago hyaline berada didalam cincin ini
(gambar 3). Ukuran dari korpus vertebra membesar dari L1-L5 yang
menunjukkan penambahan beban yang harus diserap oleh tiap level.(8)
Arkus neural terdiri atas dua pedikel dan dua lamina (gambar 2). Pedikel
ini berada di setengah dari bagian atas korpus dan membentuk pelindung untuk
cauda equina yang berisi kanalis spinalis dari lumbar. Ligamentum flavum
(yellow ligament) mengisi ruangan interlaminar di tiap level.(8)
Tempat untuk terikatnya otot adalah prosesus transversus dan prosesus
spinosus.

4
Gambar 2. Komponen vertebra lumbalis: korpus, pedikel, facet joint superior dan inferior,
prosesus transversus dan spinosus, foramen intervertebralis dan hubungannya dengan discus
intervertebralis serta sendi posterior.(8)

Gambar 3. Cincin epifisis lebih lebar di bagian depan dan mengelilingi priringan kartilago hialin (8)

2.3.1 Diskus Intervertebralis

Diskus intervertebralis (gambar 4 dan 5) merupakan struktur yang


kompleks baik secara anatomis maupun fisiologis. Secara anatomis, struktur ini
tersusun seperti susunan ban mobil, dengan lapisan fibrosa di luarnya (annulus
fibrosus) yang mengandung tabung gelatin di dalamnya (nucleus pulposus).(8)

5
Gambar 4. Diskus intervertebralis dengan struktur disekitarnya(9)

Gambar 5. Struktur diskus intervertebralis


A. serat annulus fibrosus tersusun konsentris
membentuk amellae yang mengelilingi nukelus
pulposes. B. Pembesaran dari bagian tengah
diskus. 1, nucleus pulposus; 2, annulus fibrosis;
3,serat kolagen tersusun horizontal di endplate
kartilago; 4, endplate tulang; 5, saluran
vascular yang berhubungan langsung dengan
dengan endplate kartilago; C. Pembesaran
bagian perifer diskus, 6; serat terluar annulus
fibrosus, 7; perlekatan serat terluar pada
endplate tulang (serat tipe Sharpery

Diskus intervertebralis terdiri atas tiga bagian:


a. Annulus Fibrosus
Annulus fibrosus menyusun aspek terluar dari diskus dan tersusun
atas cincin konsentris (lamella) dari kolagen tipe 1. Sel seperti fibroblast
dan serat elastin berada di antara lamella yang berdekatan. Serat kolagen
masuk ke endplate dan melekat pada diskus ke kopus vertebrae. (4) Serat
dari annulus fibrosus dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama: serat
terluar yang melekat antara korpus vertebra dan permukaan bawah dari
cincin epifisis, serat tengah yang melintas dari cincin epifisis pada satu
korpus vertebra menuju ke korpus vertebra dibawahnya, dan serat
terdalam yang melintas dari satu endplate kartilago menuju endplate
kartilago lainnya.(8)

Seiring dengan perubahan degeneratif pada diskus, pergerakan


abnormal terjadi antara korpus vertebra yang berdekatan. Pergerakan
abnormal ini menyebabkan traksi yang membuat serat terluar annulus
menegang sehingga menghasilkan pertumbuhan spur yang disebut
traction spur (macnab spur). Akibat serat terluar yang melekat pada

6
korpus vertebra dibagian bawah dari cincin epifisis, maka spur ini
terbentuk sekitar 1 mm dari batas discus intervertebralis dan terproyeksi
secara horizontal. Hal ini membedakan morfologi radiologi traction spur
dari tipe osteofit pada umumnya (tipe claw) yang tumbuh di ujung korpus
vertebra dan melengkung melewati serat terluar dari discus intervertebralis
(gambar 6). Makna utama klinis dari traction spur adalah indikasi fase
instabilitas pada segmen vertebra(8).

Gambar 6. Traction spur dan claw spondilophyte (8)


b. Nukleus Pulposus
Nukleus pulposus mengisi bagian tengah diskus intervertebralis
dan tersusun atas kolagen tipe 2 dan serat elastin yang tertanam pada
matriks proteoglikan yang terhidrasi dan mengandung kondrosit.(4)

Gambar 7. Annulus fibrosus tersusun atas kolagen tipe 1 yang diatur oleh sel fibroblast.
Arah serat di tiap lapisan tegak lurus terhadap lapisan dekatnya. Nukleus pulposus
tersusun atas serat kolagen tipe 2, proteoglikan berlekatan dengan molekul air, dan
kondrosit yang mengatur kolagen tipe 2 dan matriks proteoglikan (8)

Nukleus pulposus terbentuk dari gelatin, Beban kompresi axial


didistribusikan bukan hanya secara vertical namun juga radial melalui

7
nukleus. Distribusi radial dari beban vertikal diserap oleh serat dari
annulus seperti simpai yang mengelilingi drum berisi air (gambar 8).(8)

Gambar 8. Hoop stress. Diagram ini menunjukkan beban dari air di dalam drum ditahan oleh
simpai yang mengelilingi drum. Ketika beban terlalu besar, simpai akan pecah dan terlepas.
Fungsi annulus mirip dengan simpai pada drum air ini. (8)

Beban ditransmisikan menuju nukleus melewati endplate kartilago


hyaline. Kartilago hyaline ini bersifat avaskuler sehingga sesuai dengan
fungsi tersebut. Jika beban ditransmisikan melalui struktur vaskuler
seperti tulang, maka tekanan lokal akan menghentikan suplai darah dan
secara progresif tulang akan mati.(4)

c. Endplate vertebra

Endplate vertebra merupakan pertemuan antara diskus dan


korpus vertebra dan tersusun atas selapis tulang cancellous yang
bersusun dengan lapisan tipis kartilago hyaline. Metabolism diskus dan
nutrisinya bergantung pada difusi nutrisi melewati endplate vertebra.(4)
Diskus intervertebral pada usia diatas 8 tahun memiliki supai
darah, dan kecukupan nutrisinya bergantung pada difusi dari cairan di
jaringan. Transfer di cairan terjadi melalui dua rute: (a) Aliran dua arah
dari korpus vertebra menuju diskus dan dari diskus menuju korpus
vertebra dan (b) difusi menuju annulus mealui aliran darah di
permukaannya. Kemampuan transfer cairan ini dari diskus menuju ke
korpus vertebra terdekat mengurangi peningkatan tekanan intradiskus

8
pada beban kompresi yang tiba-tiba. Transfer cairan berfungsi seperti
katup keamanan yang melindungi diskus.(8)

2.3.2 Facet joint


Facet joint/ sendi zigoapifisis merupakan sendi yang menyebabkan
terjadinya gerakan meluncur sederhana. Walaupun kapsul dari sendi
zigoapofisis diperkuat oleh ligamentum flavum di anterior dan ligamentum
supraspinosus di posterior, struktur utama yang mempertahankan
pergerakan sendi adalah serat terluar dari annulus. Ketika serat annular ini
mengalami perubahan degeneratif, maka pergerakan sendi akan menjadi
berlebih. Hal ini merupakan alasan mengapa perubahan degeneratif pada
diskus menyebabkan sendi posterior terkait mudah untuk menegang.
Hubungan yang erat antara diskus dan dua facet joint membuat Kikardy-
Wilis memberikan sebutan “kompleks tiga sendi”.(4)

2.3.3 Ligamen
Terdapat empat ligamen pada vertebra lumbal yaitu ligamentum
longitudinal anterior, ligamentum longitudinal posterior, kompleks
ligamentum interspinosus / supraspinosus dan ligamentum flavum (yellow
ligament)(gambar 9).(4)

Gambar 9. 4 Ligamen Vertebra lumbalis(9)

9
Ligamentum longitudinal anterior (LLA): Ligamen ini mengatur
panjang aspek anterior tulang belakang. Ligament ini menempel pada serat
annular anterior tiap diskus dan merupakan ligament yang kuat dan
berguna untuk reduksi fraktur.(4)

Ligamentum longitudinal posterior (LLP): Ligamen ini merupakan


pasangan dari ligamentum longitudinal anterior. Ligamen ini signifikan
pada seluruh area tulang belakang kecuali regio lumbal bawah. Walaupun
sering disebut dalam diskusi penyakit diskus lumbal, ligament ini
cenderung tipis dan kurang bermakna pada tulang belakang lumbal bagian
bawah dimana penyakit diskus lumbal paling sering terjadi.(4)

Kompleks ligament interspinosa/supraspinosa: ligamentum ini


harus akan bekerja sama membentuk struktur yang memudahkan tulang
belakang untuk gerakan fleksi.(4)

Ligamentum flavum (the yellow ligament): ligamentum ini diberi


nama seperti itu karena mengandung banyak serat elastin. Ligamentum
flavum menghubungkan interval interlaminar yang melekat pada
ligamentum interspinosa di daerah medial dan faset kapsul di lateral.
Secara normal, ligamentum ini mengatur konfigurasi taut, peregangan
untuk fleksi dan kontraksi serat elastin. Seiring bertambahnya usia,
ligamentum flavum kehilangan serat elastinnya dan mengalami hipertrofi
dari serat kolagen, sehingga ligamentum flavum tertekuk dan terjadi
gangguan pada thecal sac, yang berkontribusi terhadap stenosis spinalis.(4)

2.3.4 Biomekanisme Normal Vertebra Lumbalis


a. Penahan Beban
Pada potongan lateral dan posterior, kompresi aksial dan fleksi,
diskus menjadi elemen penahan beban utama. Pada potongan anterior dan
aksial, facet menjadi peran utama dalam menahan beban. Kemampuan

10
untuk menyerap dan menahan beban berkurang secara signifikan seiring
dengan degenerasi diskus lumbalis.(4)
 Facet joint
Facet joint bukan merupakan penahan beban utama kecuali pada
vertebra lumbal bagian bawah, dimana facet joint dapat menerima 20%
dari beban kompresif. Peran ini sangat penting dalam pergerakan ekstensi.
Facet joint memfasilitasi pergerakan dari piringan sagittal (fleksi/ekstensi)
dan membatasi pergerakan rotasi (torsi) dan bending.(4)
 Biomekanik ligamen
Ligamen dari vertebra lumbalis berlaku seperti gelang karet.
Mereka memiliki properti elastis yang memudahkan ligamen untuk
meregang dan menahan kekuatan tarikan. Dibawah kompresi, ligamen
terikat dan fungsinya menurun. Untuk menahan kekuatan tarikan, ligamen
menghasilkan pergerakan yang cukup tanpa menyebabkan cedera pada
struktur vital. Secara pasif, ligament mengatur tekanan pada segmen
sehingga otot tidak perlu bekerja terlalu berat.(4)
 Ligament load bearing
Ligamen terkuat dari tulang belakang adalah ligamentum
longitudinal anterior dan kapsul facet joint. Kompleks ligamentum
interspinosus-supraspinosus memiliki kekuatan menengah, dan ligamen
terlemah adalah ligamentum longitudinal posterior. Ligamentum flavum
terdiri atas serat elastin yang signifikan jumlahnya, sebagai fungsi
peregangan dibanding tahanan.(4)
 Peran kavum abdominal
Terdapat beberapa kontroversi mengenai peran kavum abdominal
dalam berbagi beban dari vertebra lumbal. Farfan mengeluarkan teori
bahwa peningkatan tekanan intraabdominal dapat melindungi vertebra
lumbalis, namun Schultz et al menyimpulkan sebaliknya. Untuk saat ini
yang perlu dipahami adalah kavum abdominal dan otot di sekitarnya
mensatbilkan tulang belakang untuk aktivitas seperti mengangkat.(4)

11
b. Tekanan intradiskus
Faktor penentu terakhir terhadap biomekanikal cedera tulang belakang
adalah tekanan intradiskus. Nachemson et al merancang transducer spesifik yang
menghitung tekanan di diskus intervertebralis L3-L4 dalam berbagai kondisi.
Mereka memeriksa diskus normal yang memperlihatkan perbedaan gaya pada
diskus dalam berbagai postur dan posisi beban. Jika gaya ini melewati beban yang
dapat diserap diskus, maka cedera pada segmen yang bergerak akan muncul, dan
perubahan patologik tampak pada kompleks tiga sendi.(4)

Gambar 10. Pemberian tekanan di L3-L4 dalam posisi berbeda (8)

2.4 Patofisiologi
Perubahan degeneratif diistilahkan dengan kaskade degenerative oleh dr.
Kikardy-Willis untuk menjelaskan progresifitas dari degenerasi vertebra lumbalis.
Proses ini merupakan konsep dari kompleks tiga sendi yang tersusun dari diskus
intervertebral dan dua sendi zigoapofisis yang membentuk unit spinal fungsional,
unit anatomic terkecil dari kolumna spinalis dengan karakteristik fungsi dasarnya.
(4)

Perubahan progresif degeneratif yang meliputi kompleks tiga sendi ini


diuraikan dalam tiga fase yaitu: fase disfungsi, instabilitas dan stabilisasi.(4)

12
Fase pertama/disfungsi: biasa dipicu oleh trauma minor atau aktivitas yang
berlebihan yang menimbulkan nyeri punggung bawah. Otot tulang belakang
segmental dapat terasa sakit saat ditekan dan kaku . Fase ini terjadi akibat robekan
sirkumferensial pada annulus dan degenerasi nukleus (berkurangnya komposisi air
dan proteoglikan). Akibatnya material diskus dapat mengalami herniasi menuju ke
kanalis spinalis melalui robekan annular.(4)

Fase kedua/instabilitas: kapsul dari facet joint menjadi longgar akibat


disrupsi internal dari diskus sehingga terjadi instabilitas segmental. Pada fase ini
dapat ditemukan spondilolistesis degenerative dan jebakan dinamis pada lateral
nerve root.(4)

Fase ketiga/stabilisasi: sebagai kompensasi dari fase instabilitas, osteofit


terbentuk disekitar facet joint dan diskus intervertebralis. Ligamentum flavum
dapat menebal dan menyebabkan penyempitan dari kanalis spinalis. Steonsis
central spinalis dan jebakan terfiksir lateral nerve root dapat timbul.(4)

Gambar 11. Kaskade degeneratif. Interaksi facet joint dan diskus intervertebralis selama tiga fase spondilosis (4)

13
2.5 Manifestasi Klinis
Pasien dengan spondylosis lumbalis biasanya memilki riwayat nyeri
punggung bawah yang persisten didaerah lumbosakral, sendi sakroiliaca dan
menjalar ke bokong dan paha belakang. Nyeri tersebut berasal dari kolumna
spinalis dan struktur sekitarnya, seperti dari komponen tulang dari kolumna
spinalis, perubahan sendi sakroiliaka atau perubahan pada jaringan lunak (diskus,
ligament dan otot). Gejala nya biasa dipicu dengan posisi duduk atau jalan dalam
waktu lama dan mereda oleh istirahat; tanda klaudikasio neurologik pada kaki
tidak terlihat kecuali disertai dengan stenosis lumbalis).(1),(3),(8)

Gejala penjalaran jarang tampak di tahapan awal. Pada tahapan akhir, kolaps
diskus terjadi signifikan yang dapat menjadi stenosis foraminal dan gejala
radikular dengan onset terlambat. Deformitas tulang belakang yang
mempengaruhi integritas struktur segmen yang bergerak disebabkan oleh proses
degeneratif. Deformitas tersebut dapat berbentuk unisegmental (spondilolistesis
degeneratif) maupun multisegmental (skoliosis atau kifosis degeneratif).(1),(3),(8)

2.6 Pemeriksaan Fisis


Pemeriksaan fisis yang rutin dilakukan untuk mengidentifikasi pasien
dengan nyeri punggung bawah meliputi beberapa tahapan yaitu
a. Gait/ Cara berjalan
Perhatikan cara berjalan pasien. Apakah ada antalgic gait yang
mengarahkan ke penyakit panggul atau lutut?(8) Apakah ada leaning
forward yang mengarahkan ke arah stenosis spinalis? Apakah pasien
berjalan wide based yang mengarahkan ke arah myelopathy? (9)

b. Kontur tulang belakang


Pemeriksa melihat sisi samping dan perubahan postur secara kasar
dari pasien. Sebaiknya perubahan postur ini diperkirakan berada pada
potongan sagital atau koronal atau frontal.(8)

14
Gambar 12. Inspeksi kontur tulang belakang(9)
c. Range of Motion (ROM)
Range dan ritme pergerakan tulang belakang diuji. Range dari
pergerakan fleksi ke depan diketahui dengan melihat seberapa jauh
tangan dapat menyentuh lantai. Ritme dari fleksi ke depan diketahui
dengan menempatkan ujung jari pada prosesus spinosus dan mencari
jaraknya saat tulang belakang dilakukan fleksi.(8)

Gambar 13. Pemeriksaan range of motion(9)

15
d. Knee and ankle reflexes, respon plantarfleksi superficial
Dua pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk diujung
meja pemeriksaan. Pertama, pemeriksaan knee and ankle reflexes. Dengan
posisi duduk seperti ini biasanya membuat pasien nyeri punggung bawah
lebih nyaman dan memudahkan pemeriksaan reflex tanpa postur yang
menimbulkan sakit (sesuatu yang akan mengacaukan pemeriksaan reflex).
Selanjutnya, reflex yang diperiksa adalah respon plantarfleksi superficial.
Salah satu yang dilhat dari respon plantar adalah kontraksi reflex dari fasia
tensor femoris.(8)

Gambar 14. Pemeriksaan knee and anke reflexes(9)


e. Uji kekuatan
Posisi terbaik untuk mengetahui kekuatan otot pasien adalah
supinasi. Kekuatan otot harus digolongkan dalam derajat dari 0-5
menggunakan metode standar. Dimana pada derajat 4 digolongkan lagi
menjadi beberapa subgroup(8):
• 4+ Kelemahan signifikan (tapi bukan grade 3)
• 4++ Kelemahan moderat

16
• 4+++ Hampir normal tapi lemah

Tabel 1. Derajat kekuatan otot(9)

f. Pemeriksaan sensorik dan motorik


Pemeriksaan sensoris dan motorik diperiksa dengan area
sebagaiberikut(9).

17
(9)
Gambar 15. Pemeriksaan sensorik dan motorik
g. Tanda dari root tension
Root tension berarti nyeri pada ekstremitas yang dipicu oleh
peregangan dari nervus perifer. Beberapa tes yang dilakukan adalah
straight leg raising (SRL) test, contra lateral SRL test, popliteal
test/bowstring sign, reverse SLR test/femoral nerve stretch test.(8)

Gambar 16. Pemeriksaan straight leg raising test

Gambar 17. Pemeriksaan popliteal test/bowstring sign

18
Gambar 18. Pemeriksaan reverse straight leg raising test
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. X-Ray
Pemeriksaan dengan x-ray direkomendasikan untuk pemeriksaan awal.
Tanda pada pemeriksaan x-ray yang dapat ditemukan adalah tanda-tanda
degeneratif meliputi(1),(8):
 Penyempitan diskus intervertebralis (loss of height), sklerosis
endplate dan adanya osteofit.
 Spondilolistesis degeneratif
 Skoliosis degeneratif

Adapun tanda yang menunjukkan adanya instabilitas adalah(1),(8)

 Vacuum sign/knuttson’s phenomenon (terkumpulnya gas nitrogen


pada diskus)
 Traction spur/macnab spur

(8)
Gambar 19. Vacuum sign/knuttson’s phenomenon

19
Gambar 20. Spondilolistesis akibat perubahan Gambar 21. Traction spurs
facet joint(8) dan osteofit (8)
b. CT Scan
CT Scan merupakan metode yang baik untuk mengevaluasi proses
patologi pada tulang , namun bukan merupakan pilihan bagi penyakit diskus
degeneratif yang mengenai jaringan lunak. Namun jika tersedia CT Melogram
bisa didapat tanda kompresi elemen neural sentral maupun lateral, anomaly pada
tulang dan hipertrofi faset tulang. (1)

c. MRI

MRI merupakan modalitas radiologi terbaik untuk visualisasi dan evaluasi


elemen diskus dan neural dan sebagai alat diagnostic pada patologi diskus.
Protokol standar adalah dengan MRI T1 dan T2. Tanda yang didapatkan adalah
hilangnya air, loss of body disc height, disc bulges, dan tanda morfologi yang
ireguler pada nukleus pulposus dan end plate. Dapat pula ditemukan stenosis
sentralis pada thecal sac <100mm2, obliterasi lemak perineural dan kompresi
resesus lateral atau foramen serta hipertrofi facet dan ligamentum.(1), (12)

Gambar 22. MRI potongan


sagittal T2. Herniasi diskus pada
L3-L4 dan terjadi migrasi kaudal
material herniasi yang mengarah
ke penyempitan kanalis spinalis
(tanda panah).(13)

Gambar 23. MRI potongan


aksial T2. Bulging pada L3-L4,
penyempitan kanalis spinalis
bilateral (tanda panah).
Penebalan ligamentum flavum
(lingkaran putih).(13)

20
Gambar 24. MRI potongan sagittal T2. Loss of body height corpus vertebra.(13)

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan spondylosis lumbalis dibagi menjadi beberapa jenis yaitu.

a. Non operatif
 Tirah baring dan tetap aktif beraktivitas
Tirah baring yang direkomendasikan maksimal 2 hari pada psien
dengan nyeri akut karena jika lebih dari itu akan merugikan keadaan
umum pasien dan tidak memberikan perbaikan nyeri. Setelah tirah
baring, sebaiknya kembali ke aktivitas secara progresif dan mulai
melakukan terapi fisik.(1)
 Terapi fisik
Program latihan yang direkomendasikan seperti aerobic, peregangan,
latihan fleksi dan ekstensi rutin, core conditioning, dan protokol
stabilisasi punggung. Tujuannya dalah untuk meningkatkan kekuatan

21
inti, fleksibilitas tulang belakang dan otot panggul, serta
pengkondisian pasien. Selain itu pasien juga harus diedukasi
mengenai biomekanik tubuh yang benar, gaya hidup sehat, kontrol
berat badan, nutrisi yang adekuat, relaksasi stress dan mengurangi
dan/atau menghindari merokok.(1)
 Ortotik
Manajemen konservatif lainnya adalah penggunaan pendukung
lumbal. Baik itu brace maupun shoe insoles¸namun pada beberapa
peneitian sistematik Cochrane tidak ditemukan adanya perubahan
signfikan pada nyeri punggung bawah dengan menggunakan
pendukung lumbal ini.(1)
 Modalitas terapi fisik tambahan
Modalitas yang digunakan seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS), stimulasi elektrik otot, ultrasound, and
iontoforesis. Dapat juga digunakan terapi panas maupun dingin.
Efektivitas dari modalitas ini masih minim berdasarkan beberapa
literatur.(1)
 Farmakoterapi
Pilihan obat yang digunakan untuk menangani nyeri adalah opioid,
acetaminophen dan NSAIDs (non steroidal anti inflammatory drug)
serta steroid oral dapat menghasilkan perbaikan nyeri yang baik. Lini
pertama yang sering digunakan adalah NSAIDs dan acetaminophen
yang efektif untuk terapi jangka pendek dari nyeri punggung bawah
akut maupun kronik. Opioid diketahui memiliki efek samping yang
lebih berat seperti mual muntah, perubahan status mental hingga
adiksi. Sehingga penggunaannya disarankan hanya untuk beberapa hari
pada nyeri akut dan tidak direkomendasikan untuk nyeri kronik.
Steroid oral yang diberikan secara tapering ditemukan dapat
mengurangi gejala nyeri punggung bawah namun juga memiliki efek
samping perdarahan gastrointestinal sehingga perlu diberikan agen
protektif gastrointestinal.(1)

22
b. Intervensi non operatif
 Injeksi spinal epidural
Keuntungan injeksi steroid epidural dibandingkan secara oral
adalah kemampuan steroid yang dapat mencapai konsentrasi lebih
tinggi pada daerah nyeri yang diperkirakan dengan efek sistemik
yang minimal. Rute pemberiannya adalah: kaudal, interlaminar dan
transforaminal. Rute transforaminal menjadi pilihan utama karena
distribusi epidural lebih tersebar.(1)
 Injeksi intradiskus
Efek yang diharapkan dari injeksi intradiskus adalah supresi proses
inflamasi pada diskus yang diperikrakan menjadi penyebab nyeri
diskogenik.(1)
c. Operatif
Jika manajemen konservatif telah maksimal dilakukan atau jika
gejala bertambah berat, maka intervensi operatif diperlukan. Terapi
operatif utama yang dilakukan adalah arthrodesis (fusi). Teknologi fusi
yang sering digunakan adalagi fusi posterolateral dan anterior, namun
beberapa tahun terakhir tekah berubah menjadi fusi sirkumferensial. Fusi
lateral juga mulai berkembang karena tekniknya yang minimal invasif.
Penggunaan material baru dan osteobiologik juga sedang didiskusikan.
Terdapat juga lumbar disc arthroplasty, stabilisasi dinamik dari segmen
yang bergerak dan perbaikan diskus secara biologis.(1)

23
Gambar 25. Arthrodesis (fusi) spinalis(14)
d. Terapi biologis
Beberapa dekade terakhir perbaikan biologik diskus sedang
berkembang. Terapi molekuler, terapi gen dan stem cells merupakan
alternatif namun belum sampai pada tahap siap digunakan secara klinis
dengan kesuksesan yang bisa diprediksikan.(1)

2.9 Komplikasi
Spondylosis lumbalis dapat menimbulkan gangguan sekunder seperti
stenosis spinalis dan spondilolistesis degeneratif. (1) Pada stenosis spinalis, terjadi
kompensasi hipertrofi yang dilakukan oleh ligamentum dan facet joint untuk
menyebarkan beban ke area yang lebih luas, sehingga menyebabkan kanalis
spinalis menyempit dan menekan korda spinalis yang menghasilkan nyeri.(12)
Spondilolistesis degeneratif merupakan spondilolistesis yang arkus neuralisnya
masih intak dengan frekuensi terbanyak terjadi di segmen L4-L5. Kondisi ini
terjadi akibat instabilitas yang dipengaruhi oleh perubahan struktur ligament,
diskus dan facet joint sehingga terjadi translasi ke depan maupun lateral.(8),(12)

Gambar 27. MRI potongan sagittal T2: herniasi diskus L4-L5 dengan
penyempitan kanalis spinalis (tanda panah)(13)

24
Gambar 27. MRI potongan aksial T2: Penyempitan facet joint (tanda panah).
Ligamentum flavum tampak menebal(13)

Gambar 28. Spondilolistesis degenerative (15)

2.10 Prognosis
Rivero-Arias et al dalam penelitiannya mengenai analisis biaya selama 2
tahun mengikuti pasien yang dilakukan operasi dan diberikan rehabilitasi
menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan terhadap rata-rata kualitas
hidup per tahun antara kelompok yang diterapi dengan manajemen konservatif
dan operatif. Dari penelitian Chou et al ditemukan bahwa operasi fusi tidak lebih
baik dari rehabilitasi intensif dengan penekanan pada kebiasaan kognitif. Terdapat
<50% pasien yang dioperasi memperoleh hasil maksimal setelah operasi. Namun
pada pedoman terapi lainnya memberikan pandangan yang lebih berhati-hati,
khususnya pada pasien dengan gejala yang sangat parah bahwa ada kesempatan
untuk hasil yang lebih memuaskan pada manajemen operatif apalagi jika terapi
non operatif telah gagal.(1)

25
BAB 3

KESIMPULAN

Perubahan degeneratif vertebra dihubungkan dengan perubahan pada


diskus, korpus dan sendi di sekitar vertebra yang menghasilkan mekanisme
progresif dinamis dengan perubahan yang berhubungan dengan penyempitan
diskus intervertebralis.

Kaskade degeneratif Kirkaldy-Wilis menjelaskan 3 fase meliputi fase


disfungsi, fase instabilitas dan fase stabilisasi. Fasi disfungsi muncul akibat
mikrotrauma yang berulang dan menghasilkan robekan annulus menyebabkan
hilangnya keseimbangan air dan loss of body height. Fase instabilitas ditandai
dengan kehilangan integritas mekanik, resorpsi diskus progresif dengan adanya
degenerasi facet yang menyebabkan subluksasi dan instabilitas. Fase stabilisasi
terjadi penyempitan diskus yang kontinyu dan fibrosis terbentuk dengan
pembentukan osteofit.

Manifestasi utama yang dirasakan pasien adalah yeri punggung bawah


yang persisten didaerah lumbosakral, sendi sakroiliaca dan menjalar ke bokong
dan paha belakang, Gejala nya biasa dipicu dengan posisi duduk atau jalan dalam
waktu lama dan mereda oleh istirahat. Beberapa terapi yang telah dikembangkan,
meliputi manajemen non operatif dan operatif. Namun tidak terdapat perbedaan
signifikan terhadap rata-rata kualitas hidup per tahun antara kelompok yang
diterapi non operatif dan operatif. Jika gejala sangat parah, terdapat kesempatan
untuk hasil yang lebih memuaskan dengan manajemen operatif apalagi jika terapi
non operatif telah gagal.

26
DAFTAR PUSTAKA

(1): Garfin SR, Eismont FJ, Bell GR, Fischgrund JS, Bono CM (eds).Rothman-
Simeone and Herkowitz's The Spine Seventh Edition. Philadelphia : Elsevier;
2018.
(2): Middleton K, Fish DE. Lumbar spondylosis: clinical presentation and
treatment Approaches. Curr Rev Musculoskelet Med. 2009; 2: 94–104
(3): Cho HJ, Morey V, Kang JY, Kim, KW, Kim TK. Prevalence and Risk Factors
of Spine, Shoulder, Hand, Hip, and Knee Osteoarthritis in Community-dwelling
Koreans Older Than Age 65 Years. Clin Orthop Relat Res. 2015; 473 :3307–
3314
(4): Devlin VJ. Spine Secrets Plus Second Edition. Philadelphia : Elsevier; 2012
(5): Tsujimoto R, Abe Y, Arima K, Nishimura T, Tomita M, Yonekura A.
Prevalence of lumbar spondylosis and its association with low back pain among
community-dwelling Japanese women. BMC Musculoskelet Disord.2016; 17: 493
(6): Yoshimura n, Muraki S, Oka H, Mabuchi A, Kinoshita H, Yoshida M, et al.
Epidemiology of lumbar osteoporosis and osteoarthritis and their causal
relationship—is osteoarthritis a predictor for osteoporosis or vice versa?: The
Miyama study. Osteoporos Int. 2009; 20: 999–1008
(7): Ravindra VM, Senglaub SS, Rattani A, Dewan MC, Hartl R, Bisson E, et al.
Degenerative lumbar spine disease: estimating global incidence and worldwide
volume. Global Spine Journal. 2018; 8(8) : 784-794
(8): Wong DA, Transfeldt E (eds).Macnab’s backache. Philadelphia : Lippincott
williams & wilkins; 2007
(9): Thompson, Jon C. Netter's Concise Orthopaedic Anatomy 2nd Edition.
Philadelphia : Elsevier, 2018.
(10): Battista C. Orthobullet Hip physical exam-adult. [online] 17 Juni 2018.
[Dikutip: 2 januari 2020]. https://www.orthobullets.com/recon/5037/hip-physical-
exam--adult
(11): Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH.
Rheumatology. 6th ed. Philadelphia : Elsevier; 2015. Diakses dari :

27
https://sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/patrick-test [diakses pada
2 januari 2020].
(12): Moore D, Ahn L. Lumbar spinal stenosis. [online] 1 november 2019.
[Dikutip: 2 januari 2020]. https://www.orthobullets.com/spine/2037/lumbar-
spinal-stenosis
(13): Suthar P, Patel R, Mehta C, Patel N. MRI Evaluation of lumbar disc
degenerative disease. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2015; 9 (4) :
4-9
(14): Richards W. The do’s and don’ts of exercising after a spinal fusion. [Online]
21 November 2019. [Dikutip: 2 januari 2020] https://fitness4backpain.com/the-
dos-and-donts-of-exercising-after-a-spinal-fusion/
(15): Moore D, Ahn L. Degenerative spondylolisthesis. [online] 26 november
2019. [Dikutip: 2 januari 2020]. https://www.orthobullets.com /spine /2039 /
degenerative-spondylolisthesis? Expand Left Menu=true

28

Anda mungkin juga menyukai