Anda di halaman 1dari 55

Millennial harus waspadai Politik 'Sontoloyo'

29 Oktober 2018   23:55 Diperbarui: 30 Oktober 2018   08:10 130 0 0

Picute : Tribunnews.com

Saat ini kata 'Sontoloyo' begitu popular dikalangan politikus, setelah presiden Joko Widodo
melontarkan kata tersebut dan mengaku bahwa itu kelepasan. Namun kata itu sudah terlanjur
terlontar, akhirnya kata itu tidak terhindari dan akhirnya saling serang antar kubu politik.

Politikus yang menggunakan cara berpolitik memecah belah masyarakat, menyebabkan


kebencian, politik SARA dan mengadu domba dengan cara tak beradab itulah yang disebut
dengan politik sontoloyo! 

Kita melihat bahwa saat ini tak sedikit politikus yang masih menyerang dengan cara-cara tak
sehat, terlebih menjelang pilpres 2019 untuk menarik simpati masyarakat.

Namun sekarang ini ini sudah tidak zamannya lagi memakai cara-cara primitif seperti itu, karena
akan dapat menimbulkan polemik dan perpecahan yang besar nantinya. Sekarang zamannya
harus konstestasi politik dengan adu program, kentestasi adu gagasan, ide dan adu prestasi.

BACA JUGA : Apa sebenarnya makna pancasila

Kalau masih menggunakan cara-cara lama seperti itu, masih menggunakan politik SARA, politik
adu domba dan politik pecah belah itu namanya politik sontoloyo!

Seharusnya politik itu mengajarkan kedamaian, persatuan, pengembangan ide dan gagasan bukan
perpecahan, pembodohan dan lain sebagainya. Agar para kaum millennial mengikuti langkah
yang baik untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di pemerintahan demi terciptanya negara
yang bersatu, damai dan sejahtera.

Sebagai kaum millennial kita harus bijak dalam menyaring informasi yang ada dan dapat
memastikan mana politikus yang baik dan mana politik sontoloyo, supaya kita tak salah dalam
memilih, tutup Irsyad
https://www.kompasiana.com/irsyad17876/5bd73b80ab12ae104259a4a6/waspada-ujaran-
kebencian-politik-sontoloyo
Jokowi dan "Politik Sontoloyo"
21 September 2014   04:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:05 1395 13 10

14112205541525181218

Dua partai politik yang selama ini tergabung dalam Koalisi Merah Putih - PAN dan PPP -
disinyalir akan merapat ke kubu Jokowi-JK.

Kehadiran petinggi kedua partai politik itu dalam rakernas PDIP diasumsikan sebuah pertanda
yang cukup jelas. "Kalau sudah hadir kan berarti sinyal. Kalau hadir, itu tanda-tanda. Kalau mau
dipersenin, ya 80 persenanlah," kata Jokowi DI SINI.

Sepertinya Jokowi pun menyambut baik apabila kedua partai politik tersebut ingin bergabung
dalam koalisinya.

Mudah dianalisis, tidak sulit dan rumit. Salah satu tujuannya ingin memecah Koalisi Merah Putih
agar kebijakan pemerintah Jokowi-JK tidak terhalang atau dihalangi terus menerus yang akan
menyulitkan pemerintah nanti seperti yang ditengarai selama ini jika Koalisi Merah Putih masih
solid dan dominan di parlemen.
Seandainya benar PAN dan PPP bergabung atau mendukung pemerintahan Jokowi-JK, sangat
mungkin ada sebagian pihak yang mengatakan bukan hal yang aneh, atau wajar dan biasa saja.
Katakanlah, atau sebut semua ini "politik yang wajar dan biasa saja". Tapi di sisi lain tidak
tertutup kemungkinan ada sebagian pihak lagi yang mengatakan semua ini cermin dari "politik
sontoloyo".

Salah satu kesontoloyoannya adalah, Ketua Umum PAN Hatta Rajasa adalah lawan politik
Jokowi-JK pada pilpres yang lalu.

Mendadak saya teringat saat masih sekolah dulu.

Ketika diadakan pemilihan ketua kelas, tersebutlah dua calon, yaitu si A dan si B. Setelah
dilakukan pemungutan suara lebih banyak yang memilih si A dibanding si B. Maka si A lah yang
menjadi ketua kelas. Sedangkan si B?. Wakil ketua kelas. Padahal si A dan si B tadinya lawan
atau bersaing, kini jadi mitra (teman).

Begitulah, pemilihan presiden mirip dengan pemilihan ketua kelas.

Ada yang menganggapnya wajar dan biasa saja, tapi ada juga yang mengatakan semua ini
cenderung sontoloyo!.

Apakah "politik sontoloyo" bisa mencerdaskan rakyat?. Kembali sebagian pihak mengatakan
bisa saja, dan sebagian pihak lagi berpendapat sebaliknya.

Di sisi lain ada pula yang mengatakan politik itu seperti seks.

Jangan tanya mengapa, saya pun tidak tahu.

Sontoloyo dikaitkan dengan politik cenderung tidak bagus, begitupun jika sontoloyo dikaitkan
dengan seks, sebab sontoloyo itu sekali sontok sudah loyo.

https://www.kompasiana.com/ajun/54f4ca3c745513992b6c8e48/jokowi-dan-politik-sontoloyo
Lompat Katak Si Zenis
Senin 15 Des 2014 14:00 WIB

Red:

 0

 0
  

Morotai yang kini menjadi kabupaten di wilayah Provinsi Maluku Utara pernah menjadi markas
militer sekutu yang dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur. Morotai bagian barat daya dijadikan
basis untuk membebaskan Filipina dari aneksasi tentara Jepang.

Morotai adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Halmahera Utara, Kepulauan Maluku.
Sebagian besar pulau masih tertutup hutan lebat. Jepang menduduki Morotai pada awal 1942,
tetapi tidak menempatkan pasukannya di Morotai ataupun mengembangkannya.

Pada awal 1944 Morotai muncul sebagai wilayah yang penting bagi militer Jepang ketika mulai
mengembangkan pulau-pulau di Halmahera sebagai titik fokus untuk mempertahankan Filipina.

Pada Mei 1944 divisi ke-32 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang tiba di Halmahera untuk
mempertahankan pulau dan sembilan landasan udaranya. Pertempuran Morotai terjadi pada 15
September 1944 saat  akhir Perang Dunia (PD) II.

Pertempuran dimulai ketika tentara Amerika Serikat dan Australia yang dipimpin Jenderal
Douglas Mac Arthur mendarat di Morotai bagian barat daya. Pertempuran terus berlanjut hingga
akhir perang dengan tentara Jepang menderita korban jiwa yang besar akibat penyakit dan
kelaparan.

Ya, jalan berlapis koral di Morotai merupakan peninggalan Korps Zeni Angkatan Laut Amerika
Serikat. Jalan itu masih kukuh dan menjadi tumpuan utama transportasi di Pulau Morotai. Itulah
jalan warisan Jenderal Douglas Mac Arthur.

Setelah Jepang dan Amerika Serikat, tentara Indonesia pun menjadikan Morotai sebagai
pangkalan untuk menyerang lawan. Dimulai saat penumpasan PRRI-Permesta hingga Trikora.
Korps Zeni Angkatan Darat Indonesia membangun pangkalan darurat di lautan Morotai untuk
landasan pesawat tempur yang akan menyerang wilayah Papua yang diduduki tentara Belanda.
Siapa sesungguhnya Douglas Mac Arthur? Ia adalah seorang jenderal dari Korps Zeni Angkatan
Darat Amerika Serikat. Dari Morotai wilayah Indonesia, ia kemudian ditugaskan untuk
memimpin invasi ke Jepang pada November 1945. Sekaligus, menerima penyerahan Jepang
kepada Sekutu pada 2 September 1945. Mac Arthur mengurus pendudukan Jepang dari 1945
sampai 1951 dan dianggap berjasa menerapkan berbagai perubahan demokratis.

Ia pun memimpin tentara PBB di Korea dari 1950–1951 melawan invasi Korea Utara. Mac
Arthur dicabut dari jabatan pemimpin oleh Presiden Harry S Truman pada April 1951 karena
menentang kebijakan Truman dalam Perang Korea di depan umum. Mac Arthur bertempur
dalam tiga perang besar, PD I, PD II, dan Perang Korea.

Membahas strategi perang Mac Arthur saat di Morotai, dunia terhenyak ketika ia
memperkenalkan Leapfrog Strategy atau strategi lompat katak saat bertugas mengawal
pangkalan Amerika di Pasifik. Pasifik merupakan kawasan yang unik karena hampir 90 persen
merupakan lautan luas dengan pulau-pulau kecil dan sedang di dalamnya.

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di wilayah kontinen di mana pergerakan pasukan dapat
dengan mudah dilakukan melalui jalan darat atau udara. Lautan luas tentu menyulitkan
pergerakan pasukan karena membutuhkan energi yang luar biasa untuk merengkuhnya satu demi
satu. Ada beberapa pelajaran menarik yang dapat diambil dari strategi tersebut. 

Pertama, ketika tentara Jepang semakin kuat dan mendekati pangkalannya di Filipina, Mac
Arthur segera memindahkan pasukannya ke Australia. Lebih baik mundur selangkah daripada
bertahan sia-sia mengingat kekuatan Amerika lumpuh setelah Pearl Harbour dihajar Jepang.

Dengan ucapannya yang terkenal, "I shall return", Mac Arthur mulai menyusun strategi untuk
kembali meraih Filipina sekaligus menaklukkan Jepang.

Kedua, ketika kekuatan mulai pulih, rencana besar mulai disusun. Langkah awal, menaklukkan
pulau-pulau karang atau atol yang dikuasai Jepang di Pasifik. Ia tidak langsung merebut pulau-
pulau besar karena kondisi alam berupa lautan memerlukan kekuatan besar untuk merebut
sebuah pulau besar. Terbukti kemudian, pertempuran di Midway dan Kwajalein menjadi titik
balik kemenangan Amerika di Pasifik.

 
Ketiga, setelah menguasai pulau karang, langkah selanjutnya adalah menguasai kepulauan
berukuran sedang, seperti Kepulauan Solomon dan New Guinea (Papua Nugini). Barulah, setelah
itu melangkah lebih jauh, merebut Filipina dari genggaman tentara Jepang.

Ya, semua berjalan terstruktur. Langkah demi langkah, sabar dan konsisten. Itulah kunci
kemenangan pasukan Mac Arthur di Pasifik atas Jepang. Begitulah si Zenis (Korps Zeni) Mac
Arthur dengan pangkat terakhir jenderal besar bintang lima terkenal dengan penampilannya
menempelkan cangklong besar di bibirnya.

Mac Arthur, satu-satunya jenderal yang bertempur di tiga perang besar: PD I, PD II, dan Perang
Korea. Dengan rekam jejaknya, sesungguhnya ia pantas menjadi Presiden Amerika Serikat. Tapi,
hal itu tidak pernah terjadi.

Bahkan, karier militernya berakhir secara tragis. Dia dipecat oleh Presiden Harry S Truman
karena menentang kebijakan dalam Perang Korea. Truman sebetulnya musuh politik Mac Arthur
yang sangat khawatir bersaing secara terbuka.

Kendati demikian, Mac Arthur tidak sakit hati atau memelihara dendam terhadap Truman. Dia
sebetulnya merupakan saingan utama Truman untuk menduduki kursi Gedung Putih. Dia juga
tidak berusaha melengserkan Truman dari kekuasaan.

McArthur meninggal pada 1964 tanpa pernah memperoleh rehabilitasi. Tapi, namanya tetap
harum. Ucapan-ucapannya mengandung filosofi.

"I shall return" dan "old soldiers never die, they are just fading away" merupakan dua ungkapan
Mac Arthur yang paling kesohor di dunia. "I shall return" diungkapkannya ketika Presiden AS
Franklin D Roosevelt mengungsikannya ke Australia dari Filipina.

https://republika.co.id/berita/koran/teraju/14/12/15/ngm3g714-lompat-katak-si-zenis
pinterpolitik.com

Jangan menilai segala sesuatu yang kini terlihat lemah lalu di judge secara berlebihan, kita tidak
akan pernah tau apa yang akan terjadi dalam 10 tahun kemudian. Seperti halnya yang menjadi
presiden kita saat ini, ya Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Jika kita tengok 10 tahun ke
belakang, publik benar-benar tidak kenal siapa dia, namun kini satu Indonesia mungkin sudah
follow Instagram dan Twitter beliau. 

Menghadapi Pilpres mendatang, Jokowi sepertinya sudah mantap sekali melenggang sebagai
capres petahana, terlihat amunisi yang telah digenggam Jokowi serta memiliki strategi yang
cukup jitu untuk melawan lawannya yakni Prabowo Subianto. Mungkinkah Jokowi mengadopsi
strategi perang AS pada Perang Dunia II yakni strategi loncat katak?

Kita throwback ke beberapa tahun kebelakang, kita melihat karier Jokowi melesat dengan cepat
sekali dari tahun 2005 menjadi Wali Kota Solo hingga mencapai Gubernur DKI Jakarta. Saat
pengusaha mebel asal Solo itu menjabat menjadi DKI-1, pamornya meningkat drastis hingga
mampu mengalahkan politisi senior seperti Aburizal Bakrie dan Wiranto, bahkan sukses
membuat Megawati mengalah agar tidak maju pada Pilpres 2014 silam, hingga akhirnya Jokowi
yang nyapres padahal saat itu jabatannya sebagai Gubernur DKI belum usai.

Melihat kekuatan Prabowo pada Pilpres 2014 itu sangat kuat seperti didukung oleh partai-partai
islam juga didukung dua konglomerat besar pemiliki media, seperti politisi senior Golkar
Aburizal Bakrie dengan Viva Group yang memiliki TV One dan ANTV, hingga Ketua Umum
Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dengan kerajaan media MNC Group-nya, Koran Sindo dan
Okezone. Saat itu, Jokowi yang terlihat terkepung.

Jokowi seakan punya tak-tiknya sendiri hingga kini ia membuat Prabowo merasa dikepung.
Mungkin Prabowo merasa "kalah sebelum perang",  mungkin yah? Mungkin loh ini. Tetapi,
melihat kubu Prabowo seakan mereka sedang memainkan strategi The Politics of Victimhood
yang seolah-olah menjadi korban dari otoritas, tak lain tujuannya untuk cari simpati publik.

Bagaimanakah cara Jokowi memainkan Politik Loncat Katak demi memenangkan dirinya dari
Prabowo pada Pilpres 2019 mendatang. Apa yang harus diwaspadai kubu Prabowo? Menarik
untuk disimak dalam tulisan indepth berjudul "Politik Loncat Katak, Jokowi Kepung
Prabowo?" di Pinterpolitik.com
Rekrutmen Politik dan Kader Loncat Katak

Oleh Bambang Ari Satria, S.IP | Jum'at, 01 Juli 2011 13:44 WIB | 2.315 Views

Rekrutmen politik atau representasi politik memegang peranan penting dalam sistem politik suatu
negara. Karena proses ini menentukan orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik
negara itu melalui lembaga-lembaga yang ada. Oleh karena itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem
politik yang baik tergantung pada kualitas rekrutmen politik.

Kehadiran suatu partai politik dapat dilihat dari kemampuan partai tersebut melaksanakan fungsinya.
Salah satu fungsi yang terpenting yang dimiliki partai politik adalah fungsi rekrutmen politik. Seperti
yang diungkapkan oleh pakar politik Ramlan Surbakti, bahwa rekrutmen politik mencakup pemilihan,
seleksi, dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan
dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Untuk itu partai politik memiliki
cara tersendiri dalam melakukan pengrekrutan terutama dalam pelaksanaan sistem dan prosedural
pengrekrutan yang dilakukan partai politik tersebut. Tak hanya itu proses rekrutmen juga merupakan
fungsi mencari dan mengajak orang-orang yang memiliki kemampuan untuk turut aktif dalam kegiatan
politik, yaitu dengan cara menempuh berbagai proses penjaringan.

Dalam pengertian lain, menurut Suharno, rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan
pada lembaga-lembaga politik termasuk partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang
yang akan menjalankan kekuasaan politik. Ada dua macam mekanisme rekrutmen politik, yaitu
rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekruitmen terbuka, semua warga negara yang
memenuhi syarat tertentu (seperti kemampuan, kecakapan, umur, keadaan fisik) mempunyai
kesempatan yang sama untuk menduduki posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara / pemerintah.
Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar
sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai jawara. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya
tentang keadaan masyarakat atau yang di kenal sebagai platform politiknya serta nilai moral yang
melekat dalam dirinya termasuk integritasnya. Sebaliknya, dalam sistem rekrutmen tertutup,
kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap
kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok
kecil elite itu sendiri.

Bicara kader kutu loncat, maka yang dilakukan oleh kader partai ataupun elite partai yang pindah ke
partai lain bukan fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Karenanya, sudah sering kali terjadi
munculnya fenomena politik kader kutu loncat yang dilakukan kader atau elite partai politik tertentu
pindah ke partai lain yang menunjukkan adanya hubungan simbiosis mutualisme antara partai politk
tempat berlabuhnya elit partai politik ke partai lain dengan sang aktor politik itu sendiri.

Sejumlah politisi kini memutuskan berpindah partai politik. Kalau semula politisi itu hanya pihak yang
diusung dalam pilkada, tidak terlalu banyak reaksi yang muncul. Gamawan Fauzi misalnya, disorot
karena sikapnya dalam Pilpres 2009 lalu yang menunjukan dukungan terhadap pasangan SBY-Boediono
yang diusung Partai Demokrat dan mitra koalisinya. Sementara dalam pilkada Sumbar 2005, Gamawan
diusung oleh PDI Perjuangan dan Partai Bulan Bintang sebagai calon gubernur. Dan ada juga Dede Yusuf
serta Zainul Madji.

Dan saat yang sama baik Dede Yusuf maupun Zainul Majdi mempunyai kepentingan, kenapa kemudian
mereka rela pindah dari partainya ke Partai Demokrat. Zainul Majdi yang tentu berasal dari partai kecil
yang tidak lolos Parlemantary Treshold (PT), dan tentu ketika dia pindah ke Partai Demokrat akan
memberikan jaminan bagi keberlangsungan karier politiknya seorang Zainul Majdi setidaknya ditingkat
provinsi Nusa Tenggara Barat dan setidaknya buat Zainul Majdi untuk Running di Periode ke dua sebagai
Calon Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) itu akan jauh lebih dominan jika Partai Demokrat
mendukungnya sebagai calom Gubernur, apalagi sekiranya Zainul Majdi akan melanjutkan karier politik
lebih panjang di tingkat nasional karena ada kendaraan yang mengantar bagi Zainul Majdi untuk meraih
mimpi itu. Dede yusuf juga demikian dengan memodalkan kendaran PAN yang suaranya tidak begitu
besar di Provinsi Jawa Barat, Dede Yusuf akan kesulitan menjadi calon Gubernur baik melawan calon
dari partai-partai besar apalagi melawan koleganya sekarang Ahmad Heryawan dari PKS, karena PAN
bukan partai yang terlalu dominan suaranya di Jawa Barat. Jadi lagi-lagi ada hubungan saling
menguntungkan antara Zainul Majdi, Dede Yusuf dan para kutu loncat lainya.

Dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan asal comot terhadap kandidat
yang dipandang sebagai mesin politik dan tidak semestinya. Pendekatan ini cenderung mengabaikan
aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil
bukan karena mempunyai visi-misi, melainkan karena mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan.
Para pengusaha dicomot karena mempunyai duit banyak yang bisa digunakan secara efektif untuk dana
mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil karena mereka mempunyai banyak penggemar.
Partai politik secara mudah (dengan iming-iming tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau
akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk
mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi
perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, sebab dalam partai
politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme.

Begitu juga dengan Bangka Belitung, Eko Maulana Ali yang ketika dulu mencalonkan diri jadi pada Pilgub
2007 diusung oleh PBB dan mitra koalisinya sekarang tampak berpotensi diusung oleh Golkar dalam
Pilgub 2012 karena menjabat sebagai ketua DPD Golkar. Ada nama Darmansyah Husein yang sekarang
beralih ke PAN (dulunya kader PBB), Ahok yang sekarang menjadi bagian Golkar (dulunya partai kecil),
Hudarni yang menyeberang ke HANURA (dulunya Golkar) dan banyak kader politik lokal lainnya yang
meloncat.

Apa yang terjadi? Di tengah penilaian yang semakin kurang bersahabat terhadap eksistensi politisi dan
partai-partai politik, secara terang-terangan pola rekrutmen kader semakin instan. Kader yang diambil
adalah kader yang sudah jadi, alias bukan sosok yang menghadapi manis-pahitnya kehidupan
kepartaian. Ciri lain yang penting adalah kader tersebut sedang mengisi jabatan publik, yakni incumbent
sebagai kepala atau wakil kepala daerah. Inilah caranya para politisi untuk mempertahankan karier
politiknya supaya tetap eksis, tetapi tidak memikirkan apa yang dijeritkan oleh masyarakat.

Mau tidak mau, suka tidak suka, para politisi lokal tersebut dibahasakan penulis belum bisa dikatakan
sebagai kader partai, dan jauh dari loyal. Janganlah marah ketika penulis menyamakan mereka dengan
katak loncat yang sangat mudah untuk pindah sana pindah sini dalam hal mempertahankan karier
politiknya. Apalagi, menjelang pilgub Babel 2012 mereka dengan mudah mengatakan diri mereka kader
partai. Sungguh kontradiktif dengan realitas politik yang mana baru beberapa bulan ikut rekrutmen
politik tertutup sudah bisa mengklaim kader partai.

Mengutip tulisannya bung Indra J. Piliang bahwasanya semakin mudahnya kader berpindah dari satu
partai politik ke partai politik lain menunjukkan betapa politisi tidak lagi bicara persoalan ideologis.
Mengingat kader ideologis akan berbicara dan berpikir berdasarkan raison deetre kelahiran dan
kehadiran partai-partai politik. Kader ideologis tidak semata-mata membaca peluang kekuasaan yang
bisa diraih. Politik bukan hanya masalah kekinian, tetapi menghunjam ke masa lalu yang jauh dan
menerawang ke masa depan yang tak pasti.

Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis berkonklusi bahwasanya proses rekrutmen politik menjelang
Pilgub yang terjadi di Bangka Belitung belum bisa dikatakan optimal dan sangat jauh dari harapan. Ini
dibuktikan dengan mudahnya para orang yang punya kemampuan (baca: kemampuan ekonomi,
kemampuan jabatan) menyingkir mundur orang yang punya kemampuan akademis dalam hal politik,
punya visi misi yang jelas dan kompeten. Pejabat publik jauh lebih ditakuti ketika tidak menyandarkan
diri kepada partai politik tertentu. Sekalipun memiliki preferensi politik, sebagaimana manusia dewasa
umumnya, jauh lebih baik bila sang pejabat publik itu tidak secara terbuka memilih berada di partai
politik tertentu. Jadi, alangkah janggalnya bila yang terjadi adalah berpindah partai politik ketika sedang
menjabat. Bukan saja sang pejabat publik itu telah menghilangkan jasa partai yang mengusungnya atau
parpol semula, tetapi juga menghancurkan sistem kaderisasi di partai baru yang dia masuki. (**) 

Penulis adalah Ketua ISBA Palembang 2010-2012

http://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/global/529/rekrutmen-politik-dan-kader-loncatkatak.html
Politik Loncat Katak, Jokowi Kepung
Prabowo?
By

D38

Monday, October 22, 2018 19:42

Presiden Joko Widodo saat membasuh muka memakai air laut di Pantai Miangas. (Foto: Fotografer
Kepresidenan/Agus Suparto)

8 minute read

Strategi politik Jokowi mirip dengan strategi perang “loncat katak” Amerika Serikat di Perang Dunia II

PinterPolitik.com
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai Pilpres 2019
merupakan Pilpres terberat untuk Prabowo Subianto dibandingkan tahun 2009 dan 2014. Hal itu
dikarenakan koalisi pendukung merasakan Prabowo “dikepung” dari berbagai lini.

Mendengar keluhan tersebut, kubu petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku heran.
Juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, Irma Chaniago, justru merasa
Jokowi-lah yang saat ini dikepung oleh kubu Prabowo. Tiga di antara kepungan itu adalah
dikepung oleh hoaks, dikepung fitnah dan juga dikepung demo berjilid-jilid.

Terkait hal tersebut, Ketua DPP PDIP, Hendrawan Supratikno menilai kubu Prabowo sedang
memainkan strategi The Politics of Victimhood atau politik korban. Seolah-olah, Prabowo telah
menjadi korban dari otoritas dan kesewenang-wenangan. Tujuannya tak lain adalah untuk
mencari simpati publik.

Namun, jika diperhatikan secara seksama kubu Jokowi seperti menelan ludah sendiri. Justru
mereka memposisikan Jokowi sebagai korban dari politik hoaks dan demo berjilid-jilid.

Hendrawan Supratikno sendiri pernah mengatakan bahwa pada Pilpres kali ini Jokowi sudah
lebih siap dan matang dibandingkan dengan tahun 2014. Bukankah pendapat ini sejalan dengan
pendapat kubu Prabowo bahwa pada Pilpres kali ini mereka merasa seperti dikepung?

Mungkin saja kepungan itu bermakna, bahwa Prabowo merasa “kalah sebelum perang” dengan
melihat peningkatan kekuatan politik Jokowi dari 2014 ke Pilpres 2019. Benarkah begitu?

Jokowi Sudah Lebih Kuat

Menjadi Wali Kota Solo pada tahun 2005 adalah kali pertama Jokowi terjun di dunia politik
Indonesia. Dalam buku memoar “Jokowi Memimpin Kota Menyentuh Jakarta” karya
Alberthiene Endah, Jokowi mengakui tak pernah menempatkan politik dalam target hidupnya.
Namun, takdir berkata lain, pengusaha mebel itu sukses meniti karir dari Kota Solo, Gubernur
DKI Jakarta, hingga akhirnya ke Istana Negara.

Ketika masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta, popularitas Jokowi meningkat drastis. Ia
mampu menggeser nama-nama politisi tua seperti Wiranto dan Aburizal Bakrie, hingga berhasil
membuat Megawati Soekarnoputri mengalah untuk tidak maju pada kontestasi Pilpres 2014.

Karir politik Jokowi terbilang cepat dibandingkan politisi pada umumnya. Pada tahun 2004,
Jokowi belum dikenal oleh publik secara luas. Tetapi sepuluh tahun kemudian, ia tampil di
hadapan publik sebagai penantang Prabowo Subianto pada Pilpres 2014. Pengalaman minim
Jokowi membuat ia seperti tak siap ketika masuk dalam arena politik nasional.

Pada tulisan di The Wall Street Journal, Jeffrey Winters pernah mengatakan bahwa Jokowi
adalah presiden terlemah di Indonesia setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut Winters,
kesalahan utama Jokowi adalah karena bergerak terlalu cepat dari seorang wali kota kecil
menjadi pemimpin negara besar seperti Indonesia.
Jeffrey Winters pernah mengatakan bahwa Jokowi adalah presiden terlemah di Indonesia setelah
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Click To Tweet

Jeffrey Winters seperti ingin mengatakan bahwa Jokowi datang ke arena politik nasional dengan
“tangan kosong”. Bukan tak mungkin hal itu pula yang membuat Jokowi terkesan kaget ketika
dihantam dengan sejumlah isu pada Pilpres 2014.

Jika ditelusuri, Jokowi pernah dituduh sebagai keturunan Tionghoa, bagian dari Partai Komunis
Indonesia, sampai dituduh anti-Islam. Belum lagi pada Pilpres 2014, sebagian besar partai Islam
tidak memihak Jokowi, maka isu anti-Islam itu pun semakin mudah ditujukan kepadanya.

Baca juga :  Polemik Pembakaran Bendera

Hal ini berbeda dengan Prabowo yang pada Pilpres 2014 didukung oleh sebagian besar partai
Islam seperti PAN, PKS, PPP dan PBB. Saat itu, Prabowo tak mungkin bisa diserang dengan
menggunakan politik identitas.

Apalagi, Prabowo juga didukung oleh dua konglomerat besar pemilik media seperti politisi
senior Golkar Aburizal Bakrie dengan Viva Group yang memiliki TV One dan ANTV, hingga
Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dengan kerajaan media MNC Group-nya,
Koran Sindo dan Okezone. Dukungan pemilik media itu terbukti efektif. Riset dari Remotivi
menyebutkan bahwa Jokowi adalah tokoh yang paling banyak diberitakan secara negatif oleh TV
One.

Dengan melihat amunisi Prabowo pada Pilpres 2014, mungkin tepat untuk mengatakan kalau
Jokowi saat itu terkepung. Namun, kepungan itu seperti sudah tak berlaku pada hari ini.
Mengingat, status Jokowi saat ini adalah seorang petahana. Jokowi bukan lagi pemain baru
dalam dunia politik.

Tom Power dari Australian National University (ANU) dalam tulisan di New Mandala
menyatakan kalau Jokowi telah memanfaatkan instrumen negara untuk kepentingan Pilpres
2019. Menurutnya, Jokowi telah mempolitisasi lembaga hukum sampai instansi militer demi
memenuhi tujuan-tujuan politiknya.

Manuver politik Jokowi terbilang efektif. Kurang dari lima tahun, Jokowi berhasil “mencaplok”
kekuatan Prabowo sehingga sang jenderal kini seperti semakin tidak bergigi. Tercatat, partai-
partai oposisi di tahun 2014 kini mulai merapat ke kubu Jokowi. Sebut saja Golkar, PPP dan
Perindo.

Dengan merapatnya Golkar dan Perindo, tentu saja hal itu bisa membuat media seperti TV One
dan MNC Group bisa memberikan citra positif lebih besar pada Jokowi. Belum lagi Jokowi
berhasil menggandeng Erick Tohir.
Malam ini, saya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar menerima kunjungan silaturahmi
Tim Kampanye Nasional @jokowi – KH Ma'ruf Amin yang dipimpin langsung Ketua TKN
@erickthohir . Rombongan yang hadir terdiri dari seluruh Sekjen Partai Pendukung (atau yang
mewakili). pic.twitter.com/VORqmicJXc

— Aburizal Bakrie (@aburizalbakrie) October 8, 2018

Selain bisa merangkul kaum milenials dan menjadi tokoh kunci di Viva Group bersama keluarga
Bakrie, Erick juga merupakan pemilik Mahaka Group, media yang di bawahnya bernaung koran
Republika – selama ini disebut-sebut sebagai media yang cukup lantang mengkritik Jokowi.

Selain itu, Jokowi pun berhasil merebut barisan Nahdlatul Ulama (NU) dengan mengangkat KH
Ma’ruf Amin – tokoh sentral dalam ormas tersebut – sebagai cawapres untuk Pilpres 2019.
Beberapa pihak menilai, langkah itu dilakukan oleh Jokowi untuk menghindari serangan politik
identitas terhadap dirinya.

Berdasarkan data-data di atas, anggapan kalau saat ini Prabowo sedang terkepung bisa saja
benar. Hal itu dikarenakan Jokowi seperti berhasil menguasai pos-pos kekuatan Prabowo dengan
merangkul para pendukung lawannya itu untuk berbalik mendukung dirinya.

Terlihat bagaimana seorang Jokowi di Pilpres kali ini bukanlah Jokowi pada Pilpres 2014. Ia
sudah semakin siap dan matang untuk menghadapi Prabowo. Dalam konteks pembalikan
dukungan dan pengepungan itu, Jokowi seperti memainkan politik “loncat katak”. Lantas,
apakah politik “loncat katak” itu?

“Politik Loncat Katak” AS Inspirasi Jokowi?

Loncat katak adalah strategi perang yang digunakan ole Amerika Serikat (AS) dalam
menghadapi Jepang pada pertempuran di Pasifik. Dalam bahasa Inggris, strategi perang loncat
katak ini dikenal dengan istilah Island Hopping atau Leapfrogging. Dengan strategi loncat katak,
AS berhasil memaksa Jepang menyerah pada Perang Dunia II.

Baca juga :  Ma’ruf: Saya Masih Muda!

Menurut Harold C. Hutchison dalam tulisannya di We Are The Mighty, AS memiliki masalah
besar dalam pertempuran di Pasifik karena samudera tersebut sangatlah besar. Sementara itu,
pulau-pulau kecil yang strategis di Pasifik telah dikuasai oleh Jepang.

Atas dasar itulah, AS tidak ingin bunuh diri dengan datang ke daratan Jepang secara langsung.
Hal itu dikarenakan Jepang telah membangun pangkalan militer di pulau-pulau strategis di
Pasifik tersebut. Bukan tak mungkin, ketika AS masuk ke daratan Jepang, pasukan AS akan
dihantam habis dari berbagai lini.
Maka Island Hopping ini dipilih sebagai strategi alternatif untuk mengalahkan Jepang. Dengan
strategi loncat katak  tersebut, AS berusaha  merebut pangkalan militer Jepang di pulau-pulau
Pasifik sehingga posisi pasukan AS semakin dekat dengan Jepang daratan.

Dalam menguasai pulau-pulau tersebut, AS melancarkan serangan dari laut dan udara. Dari laut,
AS berhasil menghancurkan kapal pengangkut logistik dan kapal-kapal induk Jepang.

Sementara dalam merebut Pulau Mariana misalnya, armada udara AS berhasil memenangi duel
udara dengan armada Jepang. Tercatat AS berhasil mengancurkan 250 pesawat tempur Jepang
dan hanya kehilangan 29 pesawat.

Pulau Mariana sangatlah penting. Dari Mariana-lah misi penguasan pulau-pulau  lainnya mulai
terbuka. Perlahan tapi pasti, pasukan AS semakin mendekati Jepang daratan melalui pulau-pulau
tersebut.

Itulah mengapa strategi AS familiar dengan sebutan “loncat katak” karena pola pergerakan AS
dalam menghantam Jepang itu dilakukan bertahap dari pulau ke pulau. Mereka seperti sedang
melompat dari pulau paling Selatan seperti di pulau Solomon, Marshall dan New Guinea, hingga
ke pulau di Utara seperti Okinawa dan Saipan.

Maka ketika pasukan AS semakin dekat, AS pun memaksa Jepang untuk menyerah dengan
menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang pun menyerah.

Sekilas, strategi loncat katak ala Amerika tersebut seperti digunakan oleh Jokowi dalam dunia
perpolitikan di Indonesia. Sama seperti AS, di awal-awal pertempuran, Jokowi merasa
kewalahan menghadapi lawan berpengalaman di lautan luas bernama “politik”.
Atas dasar hal itu, Jokowi pun tak ingin bunuh diri dengan melakukan serangan secara langsung
kepada Prabowo. Ia seperti sadar, Prabowo saat itu sangatlah kuat. Jokowi pun berusaha
menaklukan Prabowo dengan cara menguasai pos-pos kekuatan Prabowo satu per-satu.

Mulai dari partai, media, konglomerat hingga tokoh-tokoh politik pendukung Prabowo di tahun
2014 kini berhasil dikuasai oleh Jokowi. Jokowi sama seperti AS, berusaha menguasai satu-
persatu pulau milik lawan dan menggunakan pulau-pulau itu untuk melakukan serangan balik.

Pada titik inilah bisa dikatakan bahwa Prabowo benar-benar terkepung pada Pilpres 2019.
Kepungan itu dikarenakan “pulau-pulau” milik Prabowo pada tahun 2014 kini berhasil dikuasai
satu per-satu oleh Jokowi, sehingga wajar jika kubu Prabowo merasa semakin terkepung dan
terpojok dari berbagai lini.

Dengan demikian, penting bagi Prabowo untuk membendung strategi “loncat katak” ala Jokowi
ini. Jika tak ada perubahan manuver politik, bukan tak mungkin Prabowo akan bernasib sama
dengan Jepang pada pertempuran di Pasifik. Seperti Jepang, Prabowo pun mungkin akan
dikalahkan secara telak oleh Jokowi.

Mungkin kubu Prabowo perlu berpikir bahwa ada alasan mengapa Jokowi sangat menyukai
katak dan kecebong. Sebab, bukan tidak mungkin itulah strategi politik yang sedang
digunakannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (D38)

https://pinterpolitik.com/politik-loncat-katak-jokowi-kepung-prabowo/
Arti Kata "Taktik loncat katak" menurut
Kamus Politik
Pranala (link):

Halaman ini menjelaskan Arti Kata Taktik loncat katak menurut Kamus Politik.

Taktik loncat katak:


taktik sekutu dalam perang dunia II dengan menyerang secara meloncat dari satu daerah ke
daerah lain dengan cara memilih dan menentukan terlebih dahulu mana pertahanan musuh yang
sedang lemah

Lebih lanjut mengenai Taktik loncat katak

Taktik loncat katak terdiri dari 3 kata. Kata tersebut mempunyai 10 kata terkait yakni sebagai
berikut:

Cara mengatur atau strategi dalam mencapai suatu tujuan. Misalnya taktik dalam
taktik
berperang, taktik berkampanye

perang Perjuangan senjata atau permusuhan antar dua negara atau lebih

Perang tanpa mengangkat senjata, tetapi saling berebut pengaruh dan berkonflik secara
perang dingin
terselubung antara blok barat dan timur

Perang yang dilakukan secara sem-bunyi-sembunyi yang kemudian secara mendadak


perang gerilya
menyerang pihak lawan ketika kondisinya sedang lengah

perang
Perang untuk melepaskan diri dari penjajahan
kemerdekaan

Perang koalisi Perang gabungan Negara-negara eropa melawan Perancis

Perang dengan cara menggunakan pro-paganda yang terencana, dibantu dan dilengkapi
Perang
dengan sarana atau media lainnya yang diperlukan untuk mempengaruhi jalan pikiran,
psikologi
pendapat (opini), emosi dan perilaku kelompok masyarakat bangsa

perang sabil Perang untuk mempertahankan dan membela agama bagi penganut agama Islam

Perang untuk mempertahankan atau membela agama bagi penganut Kristen. Perang
salib pernah terjadi antara umat Kristen dan umat Islam, berlangsung dari tahun 1070-
1291. penyebab terjadinya perang salib yaitu: 1. bangsa eropa ingin membantu spanyol
Perang salib
untuk merebut wilayah yang dikuasi oleh Islam 2.semangat bangsa eropa berhasil
dibangkitkan untuk merebut kembali kota suci Yerussalem 3. Paus ingin mem-
persatukan gereja katholik di bawah Roma
Perang suci Perang yang bertujuan suci seperti untuk mempertahankan keyakinan agama

https://www.maknaa.com/politik/taktik-loncat-katak
Saat Puisi 'Sontoloyo' Dibalas
'Sarumpaetisme'
Tsarina Maharani, Gibran Maulana Ibrahim - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 180 komentar

Fadli Zon (Foto: Ari Saputra/detikcom)

Jakarta - Wakil Ketua DPR yang juga Waketum Gerindra Fadli Zon kembali membuat puisi. Kali ini dia
membuat puisi dengan judul 'Sontoloyo'.

Kata 'sontoloyo' tengah ramai jadi perbincangan setelah Presiden Jokowi mengucapkan kata tersebut.
Seakan membalas pernyataan Jokowi yang juga merupakan capres nomor urut 01 itu, Fadli membuat
puisi.

Baca juga: PPP soal Puisi 'Rezim Sontoloyo' Fadli Zon: Seniman Tanggung
Berikut kutipan puisi karya Fadli:

SONTOLOYO!

kau bilang ekonomi meroket


padahal nyungsep meleset
sontoloyo!

kau bilang produksi beras berlimpah


tapi impor tidak kau cegah
sontoloyo!

kau bilang pengangguran turun


orang cari kerja makin berjibun
sontoloyo!

utang numpuk bertambah


rupiah anjlok melemah
harga-harga naik merambah
hidup rakyat makin susah
kau jamu tuan asing bermewah-mewah

rezim sontoloyo!

Puisi Fadli langsung ditanggapi oleh Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira. Dia lantas mengungkit kasus
Ratna Sarumpaet.

"Saya nggak percaya sama Fadli Zon, jujur saja. Kemarin seperti kasusnya Ratna Sarumpaet dia membuat
pernyataan tak sesuai dengan realita. Saya nggak percaya sama Fadli Zon. Sebagai pejabat publik,
kredibilitas Fadli Zon saya ragukan," kata Andreas di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis
(25/10/2018).

Tak hanya Andreas, anggota Dewan Pakar NasDem Taufiqulhadi kemudian menyebut Fadli terjangkit
'Sarumpaetisme'. Namun Taufiq tak menyebut nama Ratna Sarumpaet dalam pernyataannya.

Baca juga: Nasib Sontoloyo, Jadi Ledekan hingga Bangkrut Digulung Wabah

"Pak Fadli Zon terjangkiti sebuah gejala baru yang dikenal dengan nama 'Sarumpaetisme'. Sarumpatisme
ini sebuah sikap yang merasa benar sendiri, enggan menerima pandangan orang lain dan untuk
memaksa kehadiran pikirannya dalam masyarakat, mau melakukan apa saja. Termasuk berbohong.
Inilah yang disebut Sarumpaetisme," ujar Taufiq.
Akhirnya Fadli mendapat balasan berupa puisi yang dibuat oleh Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir.
Tanpa memasukkan nama Fadli di karyanya, Inas membuat puisi yang berjudul 'Semprul'.

Berikut kutipan puisi Inas:

SEMPRUL

Kau ini politikus semprul


Seringkali kau sok tahu
Padahal kau kura-kura dalam perahu
Kau berteriak agar nampak garang
Padahal kau mager keluar kandang

Kau ini politikus semprul


Kau bilang asing kuasai Indonesia
Padahal itu kerjaan mantan mertua
Kini direbut jadi milik bangsa
Tapi kau nyinyir bak kakek tua renta

Kau ini politikus semprul


Sontoloyo itu nasihat untukmu
Tapi kau suruh anak buahmu
Ngoceh beras, rupiah dan utang
Padahal dia berpikir pun agak kurang

Puisi balasan untuk Fadli bukan cuma buatan Inas. Ada lagi juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN)
Jokowi-Ma'ruf Amin, Irma Suryani Chaniago.

Irma yang juga Ketua DPP NasDem tersebut membuat puisi bertajuk 'Nyinyir Kali Kau Ini'. Berikut
kutipan puisi tersebut:

Nyinyir kali kau ini


Tiap hari bikin puisi basi
Macam orang tak sikat gigi
Busuk kali
Dasar sontoloyo kau ini!

Nyinyir kali kau ini


Tiap hari bisanya caci maki
Macam laki-laki nggak punya bini
Selalu cari sensasi
Dasar sontoloyo!
Nyinyir kali kau ini
Tiap hari kritik sana kritik sini
Macam paling pintar sendiri
Tapi tak punya program sendiri
Dasar sontoloyo!

Nyinyir kali kau ini


Tiap hari bikin puisi jual mimpi
Macam orang tak punya prestasi
Selalu bicara ilusi basi
Dasar sontoloyo!

Jahat kali kau ini


Nenek tua kau sutradarai
Seolah habis digebuki
Ternyata cuma fiksi
Dasar sontoloyo kau ini!

Jahat kali kau ini


Nenek tua masuk bui kau tak peduli
Padahal dia sudah bekerja dari kepala sampai kaki
Dasar sontoloyo kau ini!

Macam mana kau ini


Merasa pintar kok gampang dikibuli
Jangan mimpi merebut posisi
Kalau cuma modal puisi dan mimpi

Tak hanya itu, Wasekjen PKB Daniel Johan turut membalas puisi Fadli. Puisi buatan Daniel mengingatkan
soal data valid. Begini kutipannya:

Mereka ngaku politisi elite


Tapi tak tahu kondisi data yang valid

Mereka tidak bisa membedakan mana mengkritisi


Dan mana provokasi

Biar rakyat yang membaca


Mana yang asal bicara dan mana yang bekerja

Dan pada akhirnya


Rakyat bahagia karena pembangunan infrastruktur merajalela

Rakyat tenang
Karena bahan pangan tidak goyang
(bag/jor)

https://news.detik.com/berita/4273420/saat-puisi-sontoloyo-dibalas-sarumpaetisme
Jokowi Beberkan 5 Isu Serangan Politikus
Sontoloyo
Tim, CNN Indonesia | Minggu, 28/10/2018 15:51 WIB

Bagikan :  

Presiden Joko Widodo mencatat lima isu yang digulirkan politikus sontoloyo kepadanya, yakni soal antek
asing, TKA China, PKI, Kriminalisasi ulama, dan Suramadu. (CNNIndonesia/Safir Makki)

Jakarta, CNN Indonesia -- Calon petahana Presiden Joko Widodo kembali membahas soal politikus
sontoloyo yang belakangan jadi polemik di kalangan politisi. Jokowi kali ini mengaitkan sosok politikus
sontoloyo dengan pihak yang menyerang dirinya melalui sejumlah isu negatif menjelang Pilpres 2019.

Hal itu dipaparkan Jokowi saat menghadiri Apel Siaga Pemenangan Partai Nasional Demokrat yang
digelar di Jatim Internasional Expo, Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Minggu (28/10).

"Saya ingin menyampaikan beberapa isu, yang sering sekali membuat masyarakat banyak yang
bingung," kata Jokowi di hadapan ribuan kader Nasdem se-Jawa Timur.

Sekarang ini, kada Jokowi, politikus sontoloyo kerap kali melakukan peperangan isu. Jokowi pun
mengaku dirinya sudah jengkel terhadap hal itu. Namun, ia telah menemukan cara untuk menepisnya,
yakni memberikan penjelasan secara sederhana.
"Kalau kita bisa menjelaskan secara baik, secara sederhana, bisa diterima oleh masyarakat akan sangat
gampang sekali kita masuk dan berkomunikasi kepada rakyat," kata dia.

Jokowi mencatat setidaknya ada lima isu yang menurutnya biasa dijadikan bahan serangan politikus
sontoloyo kepada dirinya.

Antek Aseng

Isu yang pertama, kata Jokowi, adalah tentang tudingan dirinya berpihak kepada kepentingan asing.
Politikus sontoloyo, kata Jokowi, biasa menyebutnya dengan istilah 'Jokowi antek aseng'.

"Mereka bilang, Presiden Jokowi itu antek aseng, bener ndak? ada ndak?," tanya dia, pada ribuan kader
Nasdem yang hadir.

Jokowi membantah tudingan itu. Ia mengklaim pemerintahan di bawah kepemimpinannya telah berhasil
mengambil alih sejumlah blok penghasil minyak besar yang selama bertahun-tahun berada di tangan
asing.

"Perlu saya sampaikan, jadi ada blok besar yang namanya Blok Mahakam, yang dikelola oleh Perancis
dan Jepang, sekarang sudah 100 persen kita serahkan kepada Pertamina," ujar Jokowi.

Jokowi di sela Apel Siaga Pemenangan Partai NasDem Jawa Timur di JX Internasional Surabaya (ANTARA
FOTO/M Risyal Hidayat)
Lihat juga:
Rachmawati : Jangan Pilih Pemimpin yang Tumpuk Utang

Lalu blok yang kedua, adalah Blok Chevron atau Blok Rokan. Jokowi mengklaim blok itu kini sudah
berpindah tangan dan telah 100 persen di menangkan oleh pihaknya Pertamina

Jokowi juga menyinggung divestasi Freeport yang kini sudah dikuasai Indonesia melalui perjalanan
panjang. Jokowi mengklaim pemerintah Indonesia kini telah menguasai mayoritas saham perusahan
tambang itu sebesar 51,2 persen, dari sebelumnya hanya 9,3 persen.

"Sekarang pertanyaannya adalah, antek aseng-nya di mana?," tanya dia.

Banjir TKA China

Isu yang kedua adalah soal masuknya jutaan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China ke Indonesia. Jokowi
menyebut politikus sontoloyo seringkali mengumbar tudingan bahwa Indonesia saat ini diserbu oleh
setidaknya lebih dari 10 juta TKA.

"Itu hoaks," kata Jokowi, disambut tepuk tangan hadirin.

Jokowi menyebut jumlah 10 juta yang ditudingkan itu merupakan angka yang didapat dari perjanjian
kerja sama antara Indonesia dengan China untuk mendatangkan wisatawan asing, bukan tenaga kerja.

"Yang namanya 10 juta itu adalah tanda tangan kita dengan Tiongkok untuk turis, untuk turis, bukan
tenaga kerja, karena ada 180 juta turis dari Tiongkok yang menjadi rebutan negara-negara di seluruh
dunia, kita tanda tangan, komitmennya minimal 10 juta yang akan datang ke Indonesia," ujar dia.
Isu tenaga kerja jadi perhatian di era Jokowi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Lihat juga:
Pekerja China Ukur Jalan di Bekasi, PT KCIC Minta Maaf

Kendati demikian Jokowi tak menampik memang ada TKA asal Tiongkok yang kini berada di Indonesia.
Namun jumlahnya berkisar 24 ribu.

"Justru tenaga kerja kita (TKI) yang ada di Tiongkok ada 80.000. Artinya yang di sana dulu itu antek
Indonesia begitu?" kata Jokowi, disambut tawa ribuan peserta.

Jokowi mengklaim bahwa TKA yang ada di Indonesia itu jumlahnya sangat kecil, bahakan tak sampai
satu persen, hanya 0,03 persen. Hal itu tak sebanding dengan jumlah TKI yang diklaim lebih besar di
sejumlah negara.

"Tenaga kerja kita di Uni Emirat 80 persen, Saudi 33 persen, Brunei 32 persen, Singapura 24 persen,
Malaysia 54 persen, sedangkan TKA di Indonesia tak ada 1 persen," ujar dia.

PKI Balita

Jokowi juga mengaku dirinya sering kali mendapat tudingan bahwa dirinya adalah anggota partai
terlarang di Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Coba saya lahir tahun 1961, PKI dibubarkan tahun 1965-1966. Umur saya baru 4 tahun, masak ada PKI
balita? Nggak ada itu," kata Jokowi.
Ia lalu menampilkan sebuah foto yang beredar di media sosoial. Foto tersebut menampilkan potret
pimpiman PKI, DN Aidit yang sedang berpidato, yang anehnya, kata Jokowi, di foto itu ternyata juga ada
dirinya.

"Coba lihat di gambar-gambar tahun 1955 ini, DN Aidit pidato, di dekat dia ada saya, coba? Saya lahir aja
belum, gambarnya mirip saya, itu kan kebangetan," kata dia.

Buku tentang PKI karangan Rizieq Shihab disebarkan ke publik saat gelaran acara doa untuk Rizieq di
Monas beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia)

Lihat juga:
Jokowi soal Tuduhan PKI: Awas, Kalau Ketemu Saya Gebuk Betul

Kriminalisasi Ulama

Isu yang keempat, kata Jokowi, adalah soal kriminalisasi ulama. Jokowi menampik tudingan itu.

Jokowi meminta penudingnya, yakni para politikus sontoloyo, untuk menjelaskan dengan gamblang apa
maksud dan tujuan dari isu kriminalisasi ulama tersebut.

"Ulama nya mana? Yang dikriminalisasi itu siapa? suruh sebutkan siapa? Tiap hari saya dengan ulama,
tiap minggu saya masuk ke pondok pesantren, sekarang calon wakil presiden kita adalah topnya ulama
Indonesia, ketua MUI Indonesia," kata Jokowi merujuk pada KH Ma'ruf Amin yang kini mendampingi
dirinya sebagai calon wakil presiden.

Reforma Agraria
Berikutnya adalah soal tudingan inkar janji pada reforma agraria yang termaktub dalam Nawacita.
Jokowi menyebut sekarang ini pihaknya telah memberikan sertifikat lahan dengan variasi luasanya yang
beragam mulai dari 5 hektare, 10 hektare, ada pula yang sampai 1.000 hektar.

Jokowi menyatakan pihaknya saat ini baru berhasil melakukan reforma agraria untuk 1 juta 80 hektare
lahan, baik untuk tanah adat, kelompok, ataupun perorangan.

"Memang baru yang kita bagikan kurang lebih satu juta 80 ribu hektare, baik untuk tanah adat,
kelompok bersama atau individu," kata dia.

Presiden Jokowi saat bertemu Tim 11 Alumni 212 di Bogor beberapa waktu lalu. (Dok. Istimewa)

Lihat juga:
Ma'ruf Amin soal Kepulangan Rizieq: Tinggal Tentukan Waktunya

Pembebasan Suramadu

Poin terakhir, kata Jokowi, adalah berkaitan dengan Jawa Timur. Kemarin, Sabtu (28/10) dirinya sudah
resmi mengubah jembatan Tol Suramadu menjadi jembatan umum bebas hambatan non tol. Dengan
kata lain, pengendara kini bebas melintasi jembatang penghubung Pulau Jawa dan Madura itu dengan
gratis.

Tahapan pembebasan biaya Jembatan Suramadu ini pun juga cukup panjang. Jokowi menyebut
kebijakan itu diambil tak semata-mata atas gagasan dirinya, melainkan atas desakan sejumlah tokoh,
kiai, ulama, dan habaib yang ada di Madura juga.

Hal itu, kata dia, bermula pada 2015 lalu, ketika biaya yang dikenakan untuk pengendara sepeda motor
digratiskan. Ia mengatakan hal itu juga merupakan masukan dari para tokoh masyarakat, tokoh agama
dan Keluarga Besar Ikatan Keluarga Madura.

Tak sampai disitu, pada 2016, muncul lagi usulan yang meminta pemotongan tarif tol sebanyak 50
persen bagi sejumlah kendaraan berjenis mobil, truk, dan angkutan lainnya.

"Tahun 2016, tokoh memberikan saran mobil, truk, bus, itu terlalu mahal Rp30 ribu mohon dipotong 50
persen menjadi Rp15.000," kata dia.

Jokowi gratiskan Tol Suramadu. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Lihat juga:
Tol Suramadu Gratis, Gerindra Anggap Jokowi Ingin Rebut Suara

Memasuki 2018, Jokowi akhirnya membuat kebijakan dengan membebaskan biaya melintas di jembatan
sepanjang 5.438 meter itu. Ia menyebut keputusan ini diambil berdasar hasil kalkulasi.

"Ada yang tanya negara bisa rugi? Negara tidak ada hitungannya untung dan rugi, negara itungannya
rakyat sejahtera atau tidak, rakyat makmur atau tidak," ujar dia.

Jokowi geram terhadap isu-isu yang digulirkan oleh pihak yang disebutnya politikus sontoloyo tersebut.
Jokowi meminta masyarakat tak ambil pusing dengan ulah para pihak yang menurutnya tak bertanggung
jawab tersebut.

"Cara-cara seperti ini adalah cara politik sontoloyo. Jangan rakyat dibohongi dengan data-data yang
ngawur. Itu yang saya bilang kemarin politikus sontoloyo ya seperti itu," kata Jokowi. (frd/gil)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181028152618-32-342069/jokowi-beberkan-5-isu-
serangan-politikus-sontoloyo
Jumat, 26 Okt 2018 13:45 WIB

Psikologi

Jokowi Kelepasan Sebut 'Sontoloyo', Apa Sih


Kontrol Diri Itu?
Annissa Widya Davita - detikHealth

Share 0 Tweet 0 Share 0 5 komentar

Jokowi dituding kurang kontrol diri karena mengucapkan 'sontoloyo' (Foto: Angling Adhitya
Purbaya/detikcom)

Jakarta - Presiden Joko Widodo mengaku kelepasan saat mengucapkan 'politikus sontoloyo'.
Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak
menyebut Jokowi kurang 'kontrol diri'.

"Jadi justru menunjukkan bagi saya, kalau pak Jokowi nyebut beliau nggak bisa nahan lagi, menunjukkan
secara psikologis memang beliau berhadapan dengan masalah kontrol diri yang lemah," katanya, dikutip
dari detiknews.
Baca juga: Kubu Prabowo soal Jokowi Kelepasan 'Sontoloyo': Kontrol Diri Lemah

Ngomong-ngomong, kontrol diri itu apa sih? Psikolog dari Universitas Indonesia, Bona Sardo, MPSi,
menjelaskan bahwa kontrol diri merupakan suatu kemampuan dalam menahan atau mengelola dengan
baik hal yang ada pada pikiran kita ataupun perasaan yang sedang dialami.

"Hal-hal tersebut harus dikelola dengan baik sebelum akhirnya muncul dalam perkataan ataupun
perilaku," ujarnya, saat dihubungi detikHealth, Jumat (26/10/2018).

Baca juga: Inas: Prabowo Subianto 'The Great Sontoloyo'

Sering dipakai untuk memaki, sontoloyo arti sebenarnya adalah penggembala bebek. Foto: Arif
Syaefudin/detikcom

Bona menambahkan, kontrol diri diatur oleh otak bagian depan alias prefrontal cortex ataupun area
seputar dahi kita. Di bagian tersebut, otak merespons bagaimana kita harus bersikap dalam menghadapi
pengendalian diri.

Menurut Bona, seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik biasanya mengerti apa yang harus dan
tidak harus diucapkan ataupun dilakukan dalam situasi-situasi tertentu.

"Inilah kenapa kemarin saya kelepasan, saya sampaikan 'politikus sontoloyo' ya itu. Jengkel saya. Saya
nggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel ya keluar. Saya biasanya ngerem, tapi
sudah jengkel ya bagaimana," kata Jokowi menjelaskan polemik 'sontoloyo'.

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4274278/jokowi-kelepasan-sebut-sontoloyo-apa-sih-
kontrol-diri-itu?_ga=2.229139871.2064617891.1540822537-31478106.1532093586
https://news.detik.com/berita/4275403/jokowi-singgung-politik-sontoloyo-sandi-usung-
milenial-ojo-loyo

Jokowi Singgung Politik Sontoloyo, Sandi


Usung Milenial Ojo Loyo
Muhammad Fida Ul Haq - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 72 komentar

Sandiaga Uno (M Fida Ul Haq/detikcom)

Advertisement
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) bicara soal 'politik sontoloyo' untuk merujuk pada perilaku
politik kotor. Cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno enggan berkomentar dan memilih mengusung
jargon 'Milenial Ojo Loyo'.

"(Politik sontoloyo) nggak ada komentar. Saya malah bilang ke anak muda ayo, milenial ojo loyo, ojo
loyo. Ini kesempatan kita 2019 ojo loyo, kita harus semangat, ekonomi kita harus kita bangkitkan dan di
bawah Prabowo-Sandi, fokusnya adalah ekonomi," kata Sandiaga setelah bermain basket di SMA
Pangudi Luhur, Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, Sabtu (27/10/2018).

Baca juga: The Great Sontoloyo Melawan Rezim Sontoloyo

Sandiaga mengatakan pengentasan kemiskinan dan bidang ekonomi menjadi fokus kerjanya. Selain itu,
dia mengaku tetap fokus meningkatkan kesejahteraan warga melalui program lainnya.

"Kami ada juga program-program berkaitan dengan memastikan ibu-ibu dan anak-anak minum susu.
Pertanian kemarin kami di Brebes, bersama di Desa Larangan bersama dengan petani bawang, ada
tentang konsep kesehatan industri kesehatan bagaimana BPJS dikelola dengan baik, semua masuk," jelas
Sandiaga.

Baca juga: Inas: Prabowo Subianto 'The Great Sontoloyo'

Jokowi sebelumnya mengungkapkan soal alasan dirinya mengeluarkan istilah 'politik sontoloyo'. Jokowi
mengaku kesal atas kondisi perpolitikan nasional yang diwarnai oleh politik adu domba dan fitnah.

Karena kesal terhadap cara politik kotor itulah akhirnya Jokowi mengaku kelepasan mengeluarkan istilah
'politik sontoloyo'. Dia sendiri menegaskan tidak pernah mengeluarkan istilah itu sebelumnya.
Baca juga: Saat Puisi 'Sontoloyo' Dibalas 'Sarumpaetisme'

"Inilah kenapa kemarin saya kelepasan, saya sampaikan 'politikus sontoloyo' ya itu. Jengkel saya. Saya
nggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel ya keluar. Saya biasanya ngerem
(menahan diri), tapi sudah jengkel ya bagaimana," kata Jokowi, (24/10).
(fdu/jbr)
Kamis 25 Oktober 2018, 07:40 WIB

Sontoloyo, Dulu Menteri Kini Politisi


Sudrajat - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 0 Komentar

Sontoloyo (Iustrasi: Kiagoos Auliansyah)

Advertisement
Jakarta -

Sepuluh tahun lalu, jagat politik di tanah sempat geger karena kata 'Sontoloyo'. Kala itu,
pemicunya adalah Kepala BIN Syamsir Siregar. Dia rupanya tak tahan melihat kemunafikan
segelintir menteri dari parpol penyokong SBY-JK terkait kenaikan harga BBM. Di dalam rapat
kabinet semuanya seia-sekata, premium naik 28,7 persen, tapi begitu di parlemen cerita nya
menjadi lain.

"Saya menyesalkan menteri dari parpol yang mengusung pemerintah dalam rapat kabinet setuju
naik BBM. Eh, tiba-tiba di DPR lain bicaranya," kata Syamsir menjawab wartawan seusai
mengikuti peringatan hari Antinarkoba di Istana Negara, 26 Juni 2008.

Perilaku dan tindak laku anggota kabinet ini, dia melanjutkan, secara etika tidak apik dalam
menata pemerintahan yang baik. "Kalau rapat kabinet sudah putus, kok di luar ngomongnya lain.
Sontoloyo!" ujar Syamsir dengan suara meninggi.

Saat didesak siapa oknum menteri yang dimaksudnya, Syamsir yang biasa disapa Opung tak mau
menyebutkannya. Toh begitu, dia tak menyembunyikan rasa jengkelnya. "Kalau aku
presidennya, chaoow dia."

Baca juga: Sebut Politik Sontoloyo, Jokowi: Saya Kelepasan, Jengkel Saya!

Kini, 10 tahun berselang, Presiden Joko Widodo melihat indikasi serupa. Tapi bukan di level
menteri, melainkan para politisi yang menyebut diri kelompok oposisi. Pemicunya adalah
polemik Dana Kelurahan.

Program itu bukan semata-mata dari Jokowi, tapi justru disampaikan para wali kota yang
tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) dalam pertemuan di
Istana Bogor, 23 Juli 2018. Sejak era reformasi, para kepala daerah termasuk wali kota tentu
berasal dari banyak partai politik. Wali Kota Bogor Bima Arya yang menjadi wakil ketua Apeksi
berasal dari Partai Amanat Nasional. Dia ikut memberikan testimoni ikhwal asal-usul dana
kelurahan.
Jauh sebelumnya, Dewan Perwakilan Daerah bersama Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Keuangan menyepakati perlunya ada dana kelurahan dalam rapat pada 25 Agustus
2016. Kesepakatan itu dipicu oleh kecemburuan para wali kota pasca disahkannya UU
Pemerintahan Daerah dan UU Desa pada 2014. Kedua UU tersebut mengesampingkan kelurahan
sebagai bagian elemen kota dari gerojogan dana puluhan triliun dari Pusat. Padahal sejatinya, di
kelurahan pun menghadapi persoalan tak kalah kompleks dengan desa.

Lalu pada 17 Oktober 2018, tercapai persetujuan antara pemerintah dan Badan Anggaran DPR
untuk mengalokasikan Rp 3 triliun dana desa bagi dana kelurahan. Dana itu diambil dari Dana
Desa yang semula jumlahnya sebesar Rp 73 triliun.

Baca juga: Sontoloyo, antara Sukarno, Amien Rais, dan Jokowi

Dalam pembahasan tersebut, tentu para politisi yang mewakili parpol di kedua kubu hadir.
Karena itu dua hari kemudian, Presiden Jokowi mengungkapkan ke publik bahwa dirinya akan
memberikan Dana Kelurahan mulai 2019. Tapi para politisi di kubu oposisi kemudian
menyikapinya cenderung negatif. Mereka berlagak pilon, tak tahu-menahu proses pembahasan
yang sudah berjalan. Lalu menyuarakan nada minor seolah Dana Kelurahan terkait Pilpres 2019.

"Itulah kepandaian para politikus, mempengaruhi masyarakat. Hati-hati, saya titip ini, hati-hati.
Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," ujar Jokowi
masygul.

Kemarin, dia secara lebih detail menjelaskan bahwa politisi sontoloyo yang dimaksudnya adalah
mereka yang lebih mengedepankan adu domba, pecah belah, dan kebencian.

Jokowi ingin kampanye pemilu ke depan dilakukan dengan adu program, kontestasi program dan
gagasan, adu prestasi. "Kalau masih pakai cara-cara lama seperti politik kebencian, politik adu
domba, pecah belah, itu namanya politik sontoloyo."

***

Sejumlah sumber menyebutkan, kata "sontoloyo" awalnya bermakna biasa saja dalam kultur
Jawa. Kata itu merujuk profesi penggembala bebek. Tapi entah siapa yang memulai dan kapan
persisnya, kemudian berubah makna menjadi umpatan. Di tahun 1930-an, Sukarno muda telah
memperkenalkan kata "sontoloyo"sebagai umpatan dalam sebuah suratnya kepada A. Hasan,
tokoh Persis di Bandung. Surat itu kemudan dihimpun menjadi sebuah buku berjudul "Islam
Sontoloyo"

Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mencantumkan lema


"sontolojo", berarti "bodoh sekali" atau "dungu". Sementara di Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1976), kata itu dimaknai "kurang baik seperti konyol, tidak beres, bodoh." Begitu pun
Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia (2016) susunan Eko Endarmoko, memberikan sinonim
sontoloyo dengan brengsek dan konyol.
Meski tak jelas siapa yang memulai dan kapan persisnya umpatan tersebut muncul, yang pasti
kemudian amat popular. Digunakan oleh banyak pihak dari berbagai strata. Mantan Ketua PP
Muhammadiyah yang juga pernah menjadi Ketua MPR, Prof Amien Rais pun pernah
menggunakannya untuk mengumpat Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.

"Si Ahok ini memang sontoloyo, dia nggak tahu agama. Ahok itu belajar Islam yang bener dulu
ya!," kata Amien di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, 14 September 2016. Dua hari sebelumnya,
saat menjadi khatib salat Idul Adha di Jakarta Utara, Amien mengajak warga DKI Jakarta untuk
tidak memilih calon gubernur DKI Jakarta yang kerap menggusur.

Ahok yang mendapat umpatan tersebut menanggapinya santai. "Buat apa nanggapi omongan
orang sudah tua!"

Baca juga: Timses Jokowi: Politisi Sontoloyo Itu yang Kerap Manipulasi Data

Sebagai kata umpatan, pada pertengahan 1970-an, kata itu pernah begitu popular dan diabadikan
menjadi judul film: Paul Sontoloyo (1974). Film itu dibintangi aktor Kris Biantoro dan Ratmi B-
29.

Bila kita mengetikan kata "sontoloyo" di mbah gugel bahkan lebih variatif lagi. Di sana ada
informasi soal mahasiswi jurusan sendratari yang menulis tugas akhir tentang Tari Sontoloyo. Di
Wonosobo, Jawa Tengah rupanya ada tari tradisional yang menjadi tarian dasar dalam tari
Topeng Lengger Giyanti. Tari Sontoloyo ini disebut mengandung ejekan terhadap kerapuhan
penguasa dan sekaligus sebagai syiar agama Islam.

Sementara di youtube muncul berderet lagu bertajuk sontoloyo dalam irama rock, campur sari,
hingga gending. Salah satunya ada syair dalam Bahasa Jawa berbunyi seperti ini, "Ojo nglokro
koyo sontoloyo, yen ngono yen ngono kowe kebajut ngono. Jo sontoloyo jo sontoloyo,
tumandang makaryo pamrihi ojo rekoso...."

https://news.detik.com/berita/d-4272061/sontoloyo-dulu-menteri-kini-politisi?
_ga=2.158173881.2064617891.1540822537-31478106.1532093586
Kamis 25 Oktober 2018, 07:28 WIB

Jokowi Kelepasan 'Sontoloyo', Timses


Kaitkan dengan Sukarno
Kanavino Ahmad Rizqo - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 26 komentar

Presiden Joko Widodo (Foto: Hasan Al Habshy/detikcom)

Advertisement

Jakarta - Tim Kampanye Nasional (TKN) menilai wajar Presiden Joko Widodo mengucapkan 'politik
sontoloyo' sebagai peringatan untuk tidak berpolitik secara kotor. TKN mengaitkan hal tersebut dengan
ucapan Presiden pertama RI Sukarno soal 'Islam Sontoloyo'.

"Boleh kok, sontoloyo itu dulu zaman Sukarno pernah, ada jangan jadi, kalau tidak salah, 'Islam
Sontoloyo', hanya mengklaim Islam tapi tidak mengerjakan syariatnya, tidak mengamalkan, dulu sering,
dan sontoloyo artinya ngawur, nggak mutu gitu kan," kata Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Abdul
Kadir Karding, saat dihubungi, Rabu (24/10/2018).

Baca juga: Polemik Dana Kelurahan yang Bikin Jokowi sampai Kelepasan

Karding menyebut ucapan 'politik sontoloyo' merupakan puncak kekhawatiran Jokowi tentang politik
yang menghalakan segala cara. Cara-cara politik seperti itu, kata Karding, harus dicegah agar tidak
merusak keutuhan bangsa.

"Nggak apa-apa, artinya itu puncak kekhawatiran beliau melihat keadaan dan kalau itu diteruskan bisa
merusak persatuan, bisa merusak kualitas pemilu dan demokrasi kita, bisa merusak digdaya posisi kita,
bisa intinya tidak sehat lah bagi perkembangan demokrasi Indonesia kita ke depan," tuturnya.

Baca juga: Jokowi Buka-bukaan soal Politik Sontoloyo

Menurut Karding, Jokowi tak asal bicara mengenai istilah 'politik sontoloyo'. Jokowi dinilai sedang
memotret realitas perpolitikan saat ini dan mengingatkannya agar tak semaki memburuk.
"Ya kalau pemimpin seperti beliau ini, melihat beberapa hal di tengah-tengah perpolitikan kita kan
akumulatif. Jadi kalau seperti disampaikan, kalau tanda-tandanya banyak kan. Beliau mulai warning
supaya jangan berpolitik dengan kebohongan, jangan berpolitik menggunakan SARA, lalu jangan
berpolitik asal ngomong, asal ngomong itu nggak punya data dan fakta," ujar Karding.

Baca juga: Sebut Politik Sontoloyo, Jokowi: Saya Kelepasan, Jengkel Saya!

"Lalu jangan berpolitik hanya untuk kepentingan kemenangan sendiri, politiknya harus turun ke bawah,
jangan hanya pas pemilu, ini saya kira warning, itu saya kira peringatan karena semua yang disampaikan
itu fakta. Kalau dibiarkan terus menerus maka akan berbahaya bagi bangsa kita," tambahnya.

Jokowi sebelumnya mengungkapkan soal alasan dirinya mengeluarkan istilah 'politik sontoloyo'. Jokowi
mengaku kesal dengan kondisi perpolitikan nasional yang diwarnai oleh politik adu domba dan fitnah.

Karena kesal terhadap cara politik kotor itulah akhirnya Jokowi mengaku kelepasan mengeluarkan istilah
'politik sontoloyo'. Dia sendiri menegaskan tidak pernah sebelumnya mengeluarkan istilah itu.

"Inilah kenapa kemarin saya kelepasan, saya sampaikan 'politikus sontoloyo' ya itu. Jengkel saya. Saya
nggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel ya keluar. Saya biasanya ngerem, tapi
sudah jengkel ya bagaimana," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/10/2018).

https://news.detik.com/berita/d-4272041/jokowi-kelepasan-sontoloyo-timses-kaitkan-dengan-sukarno?
_ga=2.158173881.2064617891.1540822537-31478106.1532093586
Rabu 24 Oktober 2018, 18:36 WIB

Sebut Politik Sontoloyo, Jokowi: Saya


Kelepasan, Jengkel Saya!
Ray Jordan - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 548 komentar

Jokowi (Rengga Sancaya/detikcom)

Advertisement

Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan banyak politik yang baik, tapi banyak juga politik
jahat yang dia sebut 'politik sontoloyo'. Jokowi pun mengungkapkan alasan menyebut istilah tersebut.

Hal itu diungkapkan Jokowi saat Peresmian Pembukaan Pertemuan Pimpinan Gereja dan Rektor/Ketua
Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Jokowi mengatakan awalnya Indonesia sudah tidak ada masalah. Dia bahkan mengibaratkan Indonesia
mendapat nilai A.

Baca juga: Sontoloyo, dari Penggembala Bebek hingga Jadi Kata Negatif

"Pertama, ini masalah kebangsaan, 73 tahun merdeka, sejak awal sampai sekarang sebetulnya kita
nilainya sudah A, sudah rampung. Negara lain melihat kita itu terkagum-kagum," kata Jokowi.

"Sebetulnya masalah kebinekaan selesai. Tidak ada yang mempermasalahkan. Para founding father
pendiri bangsa ini sudah rampung. Dan nilainya, yang menilai kan dari luar, nilainya A. Kalau di PT itu
cum laude," tambahnya.

Baca juga: Timses Jokowi: Politisi Sontoloyo Itu yang Kerap Manipulasi Data

Tetapi, lanjut Jokowi, nilai sempurna itu rusak ketika adanya kontestasi politik, baik pilbup, pilwalkot,
pilgub, maupun pilpres. Dia menegaskan pesta demokrasi merupakan urusan yang setiap 5 tahun sekali
pasti ada.

"Tetapi ini gara-gara pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur, pemilihan presiden,
nah ini dimulai dari sini. Sebetulnya dimulai dari urusan politik yang sebetulnya setiap lima tahun pasti
ada. Dipakailah yang namanya cara-cara politik yang tidak beradab, tidak beretika, tidak bertata krama
Indonesia," kata Jokowi.

Cara-cara politik kotor dan adu domba itulah yang dinilai Jokowi dapat memecah belah bangsa hanya
untuk mendapatkan kekuasaan. Cara-cara seperti itulah yang membuat dia kesal.

"Cara-cara politik adu domba, cara-cara politik memfitnah, cara-cara politik memecah belah hanya
untuk merebut sebuah kursi, sebuah kekuasaan dihalalkan. Nah dimulai dari sini. Sehingga muncul kalau
saya sampaikan ya sedikit masalah yang sebetulnya sudah berpuluh tahun tidak ada masalah," katanya.

Baca juga: Jokowi Bicara Politik Sontoloyo, Gerindra: Mungkin Beliau Agak Stres

Karena kesal terhadap cara politik kotor itulah akhirnya Jokowi mengaku kelepasan mengeluarkan istilah
'politik sontoloyo'. Dia sendiri menegaskan tidak pernah sebelumnya mengeluarkan istilah itu.

"Inilah kenapa kemarin saya kelepasan, saya sampaikan 'politikus sontoloyo' ya itu. Jengkel saya. Saya
nggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel ya keluar. Saya biasanya ngerem, tapi
sudah jengkel ya bagaimana," katanya.

https://news.detik.com/berita/d-4271484/sebut-politik-sontoloyo-jokowi-saya-kelepasan-jengkel-saya?
_ga=2.158173881.2064617891.1540822537-31478106.1532093586
Sontoloyo, antara Sukarno, Amien Rais, dan
Jokowi
Sudrajat - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 7 komentar

Presiden Jokowi (Foto: dok Biro Setpres)

Advertisement

Jakarta -

Kata 'sontoloyo', yang kemarin dilontarkan Presiden Joko Widodo, sejatinya sudah ada sejak
1930-an. Setidaknya kita bisa melacaknya dari surat-surat Sukarno kepada sahabatnya, A. Hasan,
tokoh Persis di Bandung. Dalam salah satu surat, Sukarno menyoroti sikap kebanyakan umat
Islam saat itu yang terlalu menganggap fikih sebagai satu-satunya tiang keagamaan.

Lalu dia menyitir perkataan Halide Edib Hanum bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini 'bukan
lagi pemimpin hidup, tetapi agama pakral-bambu'. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin,
tetapi hendaklah kita insaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islam-nya masih Islam
sontoloyo!"
'Islam sontoloyo' itulah yang kemudian menjadi judul buku kumpulan pemikiran pembaruan
Sukarno tentang Islam yang diterbitkan Sega Arsy, Bandung, pada 2010. Total isi buku tersebut
dibagi menjadi 11 bab, yang antara lain mengupas pemikiran Sukarno soal keberadaan tabir
(pemisah) pria dan wanita dalam suatu pertemuan, masalah transfusi darah yang dianggap haram
oleh golongan Islam kolot saat itu, hingga pemisahan antara urusan agama dan dunia di Turki
pada masa Kemal Attaturk.

Sukarno juga menyoroti perilaku para pemuka agama yang dianggapnya berbuat sewenang-
wenang dengan mengatasnamakan Alquran, hadis, dan ilmu fikih yang ditelan mentah-mentah
tanpa interpretasi yang luas. Sukarno mengkritik para pemuka dan tokoh agama Islam kala itu
yang gampang memberi label 'kafir' kepada sesamanya hanya karena beda pendapat. Juga
menganggap bid'ah terhadap segala hal yang berbau modern untuk kemajuan.

Pada Mei lalu, pendiri Partai Amanat Nasional, Amien Rais, juga pernah melontarkan kata
'sontoloyo'. Ia menyampaikannya seusai pengajian di alun-alun Banjarnegara. Menurut Amien,
pemimpin yang tidak memikirkan rakyat tetapi menjadi agen kekuatan asing adalah pemimpin
sontoloyo.

"Bung Karno dulu mengatakan kalau ada pemimpin yang tidak memikirkan rakyatnya malah
menjadi agen kekuatan tenaga asing itu pemimpin sontoloyo. Jadi kan yang sontoloyo itu siapa,"
kata Amien kepada wartawan, Minggu (6/5/2018).

Seketika, para politikus di kubu koalisi pemerintah mengecam pernyataan Amien. Ketika
kemarin Jokowi menyebut kata 'politikus sontoloyo', apakah maknanya sama seperti yang pernah
diungkapkan Amien Rais?

Di ICE BSD, Tangerang, Banten, Presiden Jokowi secara lebih detail menjelaskan politikus
sontoloyo yang ia maksud adalah mereka yang lebih mengedepankan adu domba, pecah belah,
dan kebencian.

Jokowi ingin kampanye pemilu ke depan dilakukan dengan adu program, kontestasi program dan
gagasan, serta adu prestasi. "Kalau masih pakai cara-cara lama seperti politik kebencian, politik
adu domba, pecah belah, itu namanya politik sontoloyo."

https://news.detik.com/berita/d-4271030/sontoloyo-antara-sukarno-amien-rais-dan-jokowi?
_ga=2.191802665.2064617891.1540822537-31478106.1532093586
Sontoloyo, dari Penggembala Bebek hingga
Jadi Kata Negatif
Mochamad Zhacky - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 11 komentar

Joko Widodo (Ari Saputra/detikcom)

Advertisement

FOKUS BERITA: Dana Kelurahan & Sontoloyo

Jakarta - Presiden Jokowi, yang sekaligus capres nomor urut 01, mengembuskan frasa 'politik sontoloyo'
untuk menyebut pihak-pihak yang menganggap dana kelurahan sebagai program politis. Apa sebetulnya
arti 'sontoloyo'?

Berdasarkan 'Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)' Kemendikbud, kata 'sontoloyo' memiliki beberapa
arti, yakni 'konyol', 'tidak beres', 'bodoh'. Ketiga padanan kata 'sontoloyo' itu memiliki makna negatif.
Selain itu, dalam 'KBBI', kata 'sontoloyo' dipakai sebagai kata makian.

Baca juga: Jokowi: Hati-hati Banyak Politik Sontoloyo!


Namun ada pula arti lain dari kata 'sontoloyo' ini, jika merujuk pada bahasa Jawa. Ahli sastra Jawa
Universitas Indonesia (UI), Ari Prasetyo, mengatakan kata 'sontoloyo' sebenarnya berasal dari bahasa
Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata 'sontoloyo' merupakan suatu sebutan untuk seseorang.

"Kata 'sontoloyo' merupakan bahasa Jawa yang artinya sebutan untuk orang yang berprofesi sebagai
penggembala bebek," kata Ari saat berbincang dengan detikcom, Rabu (24/10/2018).

Baca juga: Sontoloyo, antara Sukarno, Amien Rais, dan Jokowi

Lambat laun, lanjut Ari, kata 'sontoloyo' justru masuk 'KBBI' Kemendikbud. Namun kata tersebut
mengalami pergeseran makna menjadi negatif.

"Secara umum, orang tahunya ya bermakna seperti itu. Sebagai ungkapan kekesalan, kekecewaan,
bahkan makian," terang Ari.

Menurut Ari, perubahan kata 'sontoloyo' hampir sama dengan perubahan kata 'bajingan'. Dia kemudian
mencoba menerka-nerka mengapa kata 'sontoloyo' justru berubah makna menjadi negatif.

"Perubahan makna itu kira-kira hampir sama dengan kata 'bajingan'. Awalnya ('bajingan') profesi kusir
gerobak, berubah menjadi (kata) makian," terang Ari.

"Untuk 'sontoloyo', mungkin karena satu bebek yang digiring banyak sehingga mengganggu jalan.
Kedua, bebek yang digembala makan tanaman petani, membuat orang marah atau kesal. Lalu
menyalahkan yang menggembala, (memaki dengan kata) 'si sontoloyo'," papar Ari.

Baca juga: Jokowi: Politik Sontoloyo Itu yang Sebar Kebencian dan Memecah Belah

Kata 'sontoloyo' ramai diperbincangkan karena pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Capres
nomor urut 01 itu mengingatkan warga agar berhati-hati dalam menyikapi perpolitikan Indonesia
dengan menyebut 'politik yang sontoloyo'.

"Hati-hati, banyak politik yang baik-baik, tapi juga banyak sekali politik yang sontoloyo. Ini saya
ngomong apa adanya saja sehingga mari kita saring, kita filter, mana yang betul dan mana yang tidak
betul. Karena masyarakat saat ini semakin matang dalam berpolitik," ujar Jokowi di Lapangan Sepakbola
Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (23/10).

Sejumlah politikus lalu turut berkomentar. Ada yang menyebut 'politik sontoloyo' itu politik yang suka
menyebar hoax, ada juga yang menyebut politik yang tidak menepati janji.

https://news.detik.com/berita/d-4271249/sontoloyo-dari-penggembala-bebek-hingga-jadi-kata-negatif?
_ga=2.191802665.2064617891.1540822537-31478106.1532093586
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo sempat mengingatkan warga berhati-hati
karena banyak politisi sontoloyo. Pernyataan itu dilontarkan Jokowi saat menghadiri pembagian
sertifikat tanah di Kebayoran Baru, Selasa (23/10/208). Jokowi menjelaskan maksudnya soal penyebutan
politisi sontoloyo "Jadi gini menjelang pemilu, ini banyak cara-cara yang tidak sehat yang digunakan oleh
politisi," kata Jokowi kepada wartawan usai menghadiri Trade Expo di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Rabu
(24/10/2018). Baca juga: Jokowi Minta Pengusaha Manfaatkan Peluang dari Perang Dagang "Segala
jurus dipakai untuk memperoleh simpati rakyat, tetapi yang enggak baik sering menyerang lawan politik
dengan cara-cara yang tidak beradab juga, tidak ada tata kramanya," tambah Jokowi. Jokowi
mengingatkan, saat ini bukan zamannya lagi menggunakan kampanye-kampanye politik adu domba,
politik pecah belah, dan politik kebencian. Menurut dia, kini adalah zamannya politik adu program, adu
kontestasi, adu gagasan, adu ide, adu prestasi, dan adu rekam jejak. "Kalau masih pakai cara-cara lama
seperti itu, masih memakai politik kebencian, politk sara, politik adu domba, politik pecah belah, itu
namanya politik sontoloyo," kata Jokowi. Namun, saat menyebut banyak politisi sontoloyo kemarin,
Jokowi sama sekali tidak menyinggung soal politisi yang menggunakan politik kebencian. Baca juga:
Jokowi: Hati-hati, Banyak Politikus Sontoloyo! Awalnya, Jokowi justru menyinggung mengenai program
dana kelurahan yang mendapat banyak kritik dari sejumlah politisi dari kubu oposisi. Jokowi heran dana
kelurahan untuk rakyat justru dianggap dikaitkan dengan kontestasi Pilpres 2019. "Kita semua ingin
memberikan untuk masyarakat dan rakyat, bukan untuk siapa-siapa. Jangan dihubungkan dengan
politik. Nggak rampung-rampung kita ini," kata Jokowi di Lapangan Ahmad Yani, Kebayoran Lama,
kemarin. "Itulah kepandaian para politikus, mempengaruhi masyarakat. Hati-hati, saya titip ini, hati-hati.
Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," tambah Jokowi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sebut Banyak Politisi Sontoloyo, Ini Penjelasan
Jokowi", https://nasional.kompas.com/read/2018/10/24/12562871/sebut-banyak-politisi-sontoloyo-ini-
penjelasan-jokowi.
Penulis : Ihsanuddin
Editor : Krisiandi

Anda mungkin juga menyukai