Anda di halaman 1dari 25

TUGAS 3

“Materi AIK 6”

DI SUSUN

OLEH

Nursafitri (105731108317)

KELAS AKUNTANSI 17 C

MATA KULIAH AGAMA ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN VI

DOSEN PENGAMPU: Dr. ALIMUDDIN, M.Ag

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2020
1. ILMU PENGTAHUAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Dewasa ini, ilmu pengetahuan dengan berbagai komponen-komponennya sudah


berkembang sangat luas. Idealnya perkembangan ilmu pengetahuan tersebut telah
memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yakni kehidupan yang makin
cerdas dan baik yang mampu membangun ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban,
yang idealnya dapat membimbing manusia agar mampu berpikir positif, konstriktif,
holistik, serta dapat nerguna untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan.

Jadi, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dngan cara demikianlah maka ilmu
pengetahuan dapat digunakan untuk mewujudkan rahmat Allah di muka bumi, mengingat
semua ilmu hakikatnya berasal dari Allah SWT.

Menurut H.M. Quraish Shihab, bahwa untuk membahas hubungan Al-Quran


dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat melihat sesuatu yang sudah jelas  di
mata seperti lampu bila padam akan menjadi gelap tetapi yang lebih utama adalah dengan
melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau
sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan
ilmiah tersebut.

Pertama, Terdapat pandangan bahwa di dalam Al-Quran sudah tercakup semua


teori ilmu pengetahuan. Mulai dari teori gravitasi bumi, relativisme, anatomi, fisika,
kimia dan lain sebagainya, dianggap sudah ada di dalam Al-Quran. Kemudian, terdapat
pandangan bahwa antara perkembangan ilmu pengetahuan dan Al-Quran tidak ada
hubungannya sama sekali. Bagaimana bisa? Ilmu pengetahuan berdasarkan hasil
pancaindera dan akal pikiran terhadap fenomena alam dan fenomena sosial, sedangkan
Al-Quran berdasarkan wahyu dari Allah SWT.

Oleh sebab itu, umat Islam tidak perlu ragu dalam menerima ilmu pengetahuan
dari manapun, karena tidak ada hubungannya dengan agama. Pendapat yang demikian,
berakibat terjadinya sikap sekularisme dalam islam. Jika demikian, lantas apa
hubungannya antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan atau sains? Hal ini pun juga
sudah sempat menjadi perselisihan antara pendapat para ulama yang sudah berlangsung
cukup lama.

Semantara ini, ada seorang ahli keislaman yang berpendapat bahwa ilmu menurut
Al-Quran yaitu mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam
kehidupannya, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Untuk
pendapat yang satu ini memang sudah tidak diragukan lagi, mengingat Al-Quran adalah
kitab Allah yang telah terbukti kebenarannya yang tidak diragukan lagi dan mengingat
pula bahwa ilmu pengetahuan datangnya dari Allah SWT.

Selanjutnya, terdapat pandangan bahwa di dalam Al-Quran terdapat isyarat-


isyarat, petunjuk, dan dorongan dari ayat-ayat Al-Quran  yang memerintahkan seluruh
umat manusia untuk mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, yang diperlukan bukan dilihat dari banyaknya berbagai teori dalam Al-Quran,
tetapi dari segi spiritnya, atau dorongannya.

Dengan cara demikian, maka setiap orang akan mengkaji Al-Quran dengan
sungguh-sungguh dan akan menghasilkan berbagai temuan ilmiah. Namun demikian,
temuan-temuan tersebut agar tidak dimutlakkan, dan tidak dianggap sebagai satu-satunya
kebenaran, melainkan dianggap sebagai temuan yang bersifat temporer, dan masih dapat
diperbaharui dan dikembangan dengan akal dan kemampuan manusia dalam
memanfaatkan segala pengetahuan yang Allah berikan.

2. PENTINGNYA IMAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MUSLIM

Dalam Alquran banyak sekali kisah kisah yang didalamnya ada iman yang
melahirkan pendidikan karakter, diantarnya dari kisah Nabi yusuf, yang tidak hanya
memiliki ketampanan di luar namun didalam hatinya juga, kisah Nabi musa, Nabi isa,
Nabi Adam, Nabi Muhamad, dll. Kisah tersebut kita bisa mengetahui bahwa setelah kita
beriman kepada Allah sebagai pondasi teologis utama, pada akhirnya syariah dan akhlak
akan menjadi implementasinya.

Karakter yang dikembangkan dalam surat Luqman selanjutnya yaitu pada ayat 13
tentang makna inna al-syirka la zhulmun al-azhim yang artinya mempersekutukan Allah
merupakan kezaliman yang besar. Ayat ini menekankan pentingnya keimanan sebagai
pondasi utama setiap manusia. Sehingga setiap manusia muslim diwajibkan mempercayai
dengan sepenuh hati adanya Allah SWT. Perbuatan tidak mempercayai atau
mempersekutukan Allah disebut syirik, syirik adalah perbuatan mempersekutukan Allah
dengan makhluk-Nya, seperti patung, pohon besar, batu, dan lainnya. Mempersekutukan
Allah dikatakan kezaliman yang besar, karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu
tidak pada tempatnya. Sebagai umat Islam telah diketahui bahwa tauhid merupakan asas
puncak dan tertinggi dalam Islam, sehingga perbuatan mengingkari tauhid dengan
menyekutukan Allah merupakan dosa besar yang tidak dapat ditolerir, kecuali dengan
taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nasuha) .

Lukman juga memberikan pelajaran kepada anak anaknya. Mulai dari beriman
kepada Allah, tidak menyekutukan Allah, menghormati orang tua meskipun berbeda
paham, tidak boleh sombong, tidak boleh merendahkan orang lain dengan sebutan yang
hina dll. Lukman juga berkata tentang iman, taqwa dan tawakal adalah sebuah kesatuan
yang akan menyelamatkan manusia dalam meraih ridho Allah “Wahai anakku, Dunia ini
merupakan sebuah lautan yang dalam, telah banyak orang-orang yang hanyut
kedalamnya, mak jadikanlah iman sebgai kapalmu di dunia ini, taqwa sebagi isinya, dan
tawakal sebagai layarnya. Mudah-mudahan dengan demikian engkau bisa selamat dan
saya kwatir engkau tidak bisa selamat” .

Salah satu landasan normatif pendidikan karakter adalah berasal dari kitab suci
suatu agama. Dalam konteks agama Islam, Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman
dan rujukan utama dalam bertingkah laku. Larangan mempersekutukan Allah dalam
Islam mutlak ditaati dan dilaksanakan karena merupakan perintah dan ajaran agama
sebagai bentuk pengakuan terhadap kekuasaan Allah SWT. Landasan normatif tersebut
dibutuhkan mengingat bahwa nilai dan norma tidak bersifat netral tetapi memiliki
keperpihakan pada sumber yang lebih tinggi. Demikian pentingnya pendidikan karakter
keimanan yang berbasis nilai religius karena merupakan kebenaran wahyu Tuhan atau
disebut juga konservasi moral.

Pendidikan karakter tentang iman juga menekankan pentingnya monoloyalitas


bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah SWT, perbuatan
menyembah selain Allah SWT merupakan bentuk kemusyrikan. Novan Ardy Wiyani
mengungkapkan bahwa salah satu karakter yang harus terbentuk dalam perilaku peserta
didik adalah peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
melalui olah hati. Iman dan taqwa kepada Tuhan menurut Novan merupakan landasan
yang kuat untuk terbentuknya karakter. Dengan iman dan taqwa tersebut akan terukir
karakter positif lainnya .

3. ILMU FALAK: PENGERTIAN DAN MANFAAT MEMPELAJARI ILMU FALAK


 PENGERTIAN ILMU FALAK

Menurut bahasa, falak artinya ‫وم‬GG‫دار النج‬GG‫ م‬atau orbit atau peredaran/lintasan
benda-benda langit, sehingga ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan dan matahari pada
orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit tersebut
antara satu dengan lainnya agar dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi. 

Istilah ilmu falak dapat disejajarkan dengan istilah Practical Astronomi


(Astronomi Praktis) yang terdapat dalam dunia astronomi. karena hasil perhitungan
dari ilmu ini dapat dipraktekan atau dimanfaatkan manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Dinamakan juga Ilmu Hisab karena kegiatan yang menonjol dari ilmu
ini ialah menghitung kedudukan ketiga benda langit di atas.

 MANFAAT ILMU FALAK

Dengan mempelajari ilmu falak atau ilmu hisab, kita dapat memastikan
matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa, melakukan rukyatul hilal dengan
tepat ke posisi hilal.

Dengan demikian, ilmu falak atau ilmu hisab dapat menumbuhkan keyakinan
dalam melakukan ibadah, sehingga ibadahnya lebih khusyu’. Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah adalah mereka yang selalu
memperhatikan matahari dan bulan untuk mengingat Allah” (HR. Thabrani).

4. METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT

Untuk mengetahui akurasi dari metode-metode penentuan arah kiblat, dapat


dilihat dari langkah kerja masing-masing metode sebagai berikut :

a. Metode pengukuran dengan mengetahui azimuth kiblat


Metode ini memperhitungkan besar sudut kiblat pada bola bumi. Ketika ingin
mengetahui arah kiblat maka secara otomatis perhitungan yang dimaksud adalah untuk
mengetahui arah menuju Ka’bah di Mekah dilihat dari suatu tempat di permukaan Bumi.
Perhitungan arah kiblat dilakukan dengan menggunakan prinsip ilmu ukur segitiga bola.
Untuk perhitungan arah kiblat, ada 3 titik yang diperlukan, yaitu: titik A, terletak di lokasi
yang akan dihitung arah kiblatnya, titik B terletak di Ka’bah, dan titik C terletak di kutub
Utara. Metode pengukuran dengan mengetahui azimuth kiblat dapat diaplikasikan di
lapangan dengan menggunakan alat bantu seperti yang akan dijelaskan di bawah ini yaitu:

1) Theodolit dan GPS

Theodolit merupakan salah satu alat ukur sudut digital yang dapat
dikategorikan paling akurat untuk mengukur kiblat. Di samping theodolit, ada
Total Station yang dilengkapi dengan piranti Global Positioning System (GPS)
sebagai pemandu arah dan posisi. Sistem kerja alat ini pada dasarnya sama yaitu
dengan bantuan sinar matahari untuk mengetahui posisi azimuth matahari, dari
posisi tersebut dapat diketahui arah utara sejati yang digunakan untuk
menentukan arah kiblat tempat tersebut. Aplikasi sudut kiblat dengan alat ini
tergolong cukup akurat. Terbukti dengan pengecekan kembali yang telah penulis
lakukan pada beberapa masjid dan mushalla, hasil aplikasi sudut kiblat dengan
theodolit sama dengan hasil metode rashdul kiblat. Untuk mendapatkan hasil
pengukuran dengan theodolit yang akurat, maka dibutuhkan data yang akurat
pula. Data titik koordinat suatu tempat yang digunakan dalam penentuan arah
kiblat sebaiknya diperoleh dari GPS. GPS (Global Positioning System)
merupakan sebuah alat penerima informasi waktu dan posisi secara pasti dan
benar karena menggunakan data satelit yakni kode tertentu yang dikirimkan oleh
satelit ke penerima GPS (Abidin, 2000: 43).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini telah memungkinkan


penggunaan teknologi satelit dalam berbagai bidang keilmuan, baik yang sifatnya
ilmiah maupun praktis. Pemanfaatan teknologi satelit berupa GPS ini digunakan
dalam survei dan pemetaan khususnya penentuan posisi. Walaupun GPS bukan
satu-satunya teknologi penentuan posisi, tetapi metode ini digunakan hampir di
semua tempat tanpa terganggu oleh waktu dan cuaca. Metode GPS merupakan
teknologi satelit yang banyak digunakan di setiap Negara. Metode GPS ini
menggunakan sistem WGS 1984 sebagai acuan perhitungan posisi yang mengacu
pada datum geosentrik yang berlaku Internasional. Dengan adanya persamaan
pemakaian sistem datum posisi dengan sistem datum gravitasi normal yaitu
menggunakan sistem WGS 1984, maka dapat diperoleh keuntungan yaitu tidak
perlu dilakukan trasformasi koordinat hasil pengukuran GPS ke sistem lokal.
Sehingga sistem GPS ini dapat dimanfaatkan dalam hal penentuan posisi secara
akurat dalam pengukuran arah kiblat.

2) Segitiga Kiblat
Segitiga kiblat adalah metode pengukuran arah kiblat dengan menggunakan
perhitungan trigonometri segitiga siku. Segitiga kiblat ini salah satu metode
praktis yang dapat diterapkan ketika sudah diketahui arah utara sejati dan sudut
kiblat tempat yang diinginkan. Metode ini tergolong cukup akurat karena untuk
mendapatkan sudut kiblat, panjang kedua sisi diperhitungkan secara teliti
menggunakan penggaris. Setelah kedua sisinya dapat ditentukan, maka akan
terbentuk sebuah segitiga, di mana salah satu sudutnya merupakan sudut kiblat.

Pengukuran arah kiblat dengan segitiga ini tergolong praktis diterapkan di


lapangan dan mudah digunakan karena hanya menggunakan perhitungan
trigonometri. Namun pada aplikasinya sangat tergantung pada penunjukan titik
utara sejati sebelumnya. Selain itu, ketelitian dalam mengambil data jarak
memakai penggaris harus sangat diperhatikan karena panjang garis beberapa
milimeter, sudut yang dibentuk tidak akurat lagi. Sehingga dalam pengukuran
memakai segitiga ini harus benar-benar teliti.

3) Rubu’ Mujayyab dan Busur Derajat

Rubu’ mujayyab atau kuadrant merupakan metode pengukuran sudut kiblat


yang telah ada pada abad pertengahan yang lalu. Dalam hal ketelitian, sudut yang
dihasilkan rubu’ mujayyab ini hampir sama dengan busur derajat. Ketelitian
maksimum yang dapat dicapai hanya sampai pada satuan menit. Ini dapat dilihat
dari bentuk sexagesimal yang terdapat dalam bentuk seperempat lingkaran ini.

Selain tergantung pada penentuan arah utara sejati, tentu saja haruslah sangat
berhatihati ketika memposisikan Rubu’ Mujayyab sejajar utara atau barat sejati
dan khoit rubu’ ditarik sebesar sudut kiblat, karena ketika satuan jaib yang kecil
yang ada satuannya adalah menit terkadang menimbulkan kesalahan dalam
penarikan khoit. Di samping itu, data yang dipakai dalam rubu’ mujayyab masih
kasar dan sulit untuk dideteksi. Sehingga metode ini digolongkan pada metode
pengukuran yang kurang akurat.

4) Segitiga siku dari bayangan setiap saat

Segitiga siku-siku dari bayangan matahari merupakan alternatif pengukuran


arah kiblat yang dapat dikategorikan akurat, sederhana dan murah. Metode ini
menggunakan teknik yang hampir sama dengan alat theodolit. Komponen utama
yang harus diketahui ketika menggunakan segitiga siku adalah azimuth kiblat dan
azimuth matahari. Dengan dua komponen tersebut, maka arah kiblat dapat
ditentukan dengan mengambil bayangan sebuah tongkat yang didirikan tegak
lurus di pelataran yang datar pada waktu yang telah ditentukan.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan, tingkat akurasi dari metode segitiga
sikusiku ini tergantung pada beberapa hal, yaitu: ketepatan jam yang digunakan
untuk acuan pengukuran, ketepatan pengambilan data lintang dan bujur Ka’bah
dan tempat yang diukur arah kiblatnya sesuai dengan konsep geografik atau
geosentriks, ketepatan data deklinasi dan equation of time yang digunakan, serta
ketelitian pengambilan bayangan benda dari tingkat yang benar-benar berdiri
tegak lurus di tempat yang benar-benar datar.

Dengan kata lain, metode pengukuran arah kiblat dengan segitiga siku-siku
dari bayangan matahari setiap saat akan menghasilkan arah kiblat yang akurat
bilamana data-data pendukungnya akurat. Bila data-data pendukungnya akurat,
maka arah kiblat yang dihasilkan dapat menyamai hasil arah kiblat dengan alat
theodolit dan GPS, dan rashdul kiblat.

5) Kompas

Pengukuran arah kiblat maupun arah utara dengan berbagai model kompas
termasuk kompas kiblat, masih memiliki kesalahan/ penyimpangan bervariasi
sesuai dengan deklinasi magnetik suatu tempat. Sehingga menurut penulis,
kompas hanya digunakan sebatas ancar-ancar saja, karena melihat bukti di
lapangan ketika dilakukan pengukuran di daerah yang banyak terdapat baja, besi,
atau medan listrik, dapat mengganggu penunjukan arah utara dan selatan sejati.

Penggunaan kompas harus digunakan pada area lapangan yang sekiranya


tidak terdapat besi dan bahan logam lainnya dan tetap menggunakan koreksi
deklinasi magnetik. Ini dilakukan untuk meminimalisir penyimpangan yang
ditunjukkan utara magnetis kompas. Di samping itu, pengukuran kiblat dengan
kompas ini terbatas hanya pada satuan derajat busur yang ada pada kompas
tersebut.

b. Metode Pengamatan
1) Rashdul Kiblat

Rashdul kiblat merupakan metode pengamatan bayangan pada saat posisi


matahari berada di atas Ka’bah atau ketika matahari berada di jalur yang
menghubungkan antara Ka’bah dengan suatu tempat. Pada setiap tanggal 28 Mei
dan tanggal 16 Juli, semua bayangan benda yang tegak lurus di permukaan bumi
yang terkena sinar matahari akan menunjukkan arah kiblat. Metode arah kiblat
tradisional ini termasuk akurat bila dibandingkan dengan metode lain yang hanya
ancar-ancar seperti kompas, rubu’ mujayab, segitiga kiblat, dan busur derajat.

Berdasarkan pada deklinasi matahari yaitu pergerakan matahari ke utara


dan selatan bumi yang berubah setiap harinya, waktu rashdul kiblat dapat
ditentukan. Rashdul kiblat ini memperhitungkan posisi matahari ketika berada
tepat di atas Ka’bah walaupun posisinya sedikit condong ke sebelah utara atau
sebelah selatan Ka’bah. Pada saat itu setiap benda yang berdiri tegak lurus di atas
permukaan bumi, bayangannya akan mengarah ke Ka’bah. Peristiwa Istiwa
’adzom ini ditandai dengan adanya persamaan lintang Ka’bah dengan deklinasi
matahari.
Waktu rashdul kiblat ini adalah waktu transit matahari di atas Ka’bah,
sehingga dalam proses perhitungannya perlu dihitung meridian pass pada hari
tersebut dengan cara mengurangi waktu zawal (pkl. 12.00 MMT) dengan nilai
e.445

MP = pkl.12.00 – e

= pkl. 12.00 – 00j 02m 45d

= pkl. 11: 57: 15 MMT

Waktu zawal di Mekah pada tanggal 28 Mei 2010 adalah pkl. 11: 57: 15
MMT, sehingga untuk mengetahui deklinasi pada jam tersebut446 dilakukan cara
interpolasi dengan mengambil data dari ephemeris atau program WinHisab yaitu:

0 pkl. 11: 00: 00 MMT/ pkl. 08: 00: 00 GMT = 210 27’ 41”

0 pkl. 12: 00: 00 MMT/ pkl. 09: 00: 00 GMT = 210 28’ 05”

0 pkl. 11: 57: 15 MMT/ pkl. 09: 57: 15 GMT = 210 28’ 3,9”

Deklinasi matahari pada saat zawal di atas Ka’bah sebesar 210 28’ 3,9”.
Artinya pada waktu tersebut nilai deklinasi matahari hampir sama dengan lintang
Ka’bah geografik (210 25’ 21,17”). Waktu inilah yang merupakan waktu di mana
bayang-bayang setiap benda yang berdiri tegak lurus di permukaan Bumi dapat
menunjukkan arah kiblat.

Sehingga untuk mengetahui waktu rashdul kiblat pada tanggal 28 Mei


2010 di Indonesia bagian barat, terlebih dahulu harus dihitung perbedaan waktu
antara Mekah dan Indonesia bagian barat yaitu dengan mengetahui selisih bujur
Mekah dengan Indonesia bagian barat yaitu:

 (Bujur) Mekah = 390 49’ 34,56” BT

 (Bujur) Indonesia bagian Barat = 105o

Selisih Bujur Mekah dan lokasi = 65o 10’ 25,44”

Sehingga diketahui selisih waktu di antara 2 lokasi yaitu 04j 20m 41,7d
(65o 10’ 25,44” x 4’). Jadi waktu Rashdul kiblat di Indonesia bagian barat yaitu
dengan menambah 04j 20m 41,7d yaitu 16:17:56,7 WIB (dibulatkan pukul 16:18
WIB), dan untuk Indonesia bagian tengah yaitu tinggal menambah satu jam yaitu
pkl. 17:18 WIT, dan Indonesia bagian timur yaitu tinggal menambah dua jam
yaitu pkl. 18:18 WITA.

Waktu rashdul kiblat ternyata tidak hanya dapat dimanfaatkan pada


tanggal 28 Mei atau 16 Juli saja, akan tetapi ada toleransi di mana hari sebelum
atau sesudahnya dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat.
2) Metode Peta Satelit

Menganalisis metode peta satelit ini, yakni dengan melakukan


pengamatan arah kiblat melalui beberapa software kiblat yang ada. Seperti google
earth, program ini merupakan tempelan gambar peta-peta yang disatukan.
Keterangan ini penulis peroleh dari seorang ahli Bakosurtanal yang mengetahui
persis konsep yang digunakan dalam program google earth. Aplikasi yang dapat
dikonsumsi masyarakat umum ini pada dasarnya menggunakan bentuk matematis
astronomis yakni pendekatan Bumi berbentuk bola.

Kemudian riskannya ketika mengambil data dari google earth yang bisa
menyebabkan kesalahan sistemik. Maksudnya, ketika satu titik kita ambil jika
sumber gambar wilayah tersebut sudah berubah sekitar 1 cm, maka akan
menimbulkan pergeseran sesuai dengan perubahan tadi. Selain itu penerapan
sudut yang diperhitungkan program tidak dapat diaplikasikan di lapangan.
Dengan mengamati, maka akan hanya dapat mengetahui apakah arah bangunan
mushala dan masjid tersebut sudah mengarah kiblat dengan benar atau belum.
Sehingga, dari hal ini metode peta satelit ini tetap menjadi salah satu metode
pengamatan untuk menentukan arah kiblat, akan tetapi dengan
mempertimbangkan beberapa hal yang telah disebutkan di atas.

Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa aplikasi


pengukuran sudut azimuth kiblat yang paling akurat adalah menggunakan alat
ukur sudut Theodolit dan GPS sebagaimana beberapa point yang telah dijelaskan
terdahulu. Pengukuran azimuth kiblat dapat dinilai menghasilkan ketelitian dan
keakuratan penunjuk arah. Akan tetapi tetap harus dengan koreksi yaitu
menggunakan perhitungan dari data-data titik koordinat geosentris (yang berarti
menggunakan konsep ellipsoid). Sedangkan penentuan arah kiblat dari metode
pengamatan yaitu menggunakan rashdul kiblat dan peta satelit, dapat dipilih
bahwa metode yang paling akurat adalah metode rashdul kiblat. Karena metode
ini dapat menunjukkan ketepatan dalam menghadap kiblat yaitu adanya waktu
bayangan arah kiblat. Akan tetapi tetap melakukan koreksi yaitu menggunakan
data geosentris.

5. POSISI MATAHARI PADA AWAL WAKTU SHALAT

Kedudukan Matahari pada waktu shalat menurut hukum Islam dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1) Shalat dzuhur sejak Matahari tergelincir sampai bayang-bayang sesuatu duakali


panjangnya.
2) Shalat Ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya
sampaisempurna terbenam Matahari.
3) Shalat Magrib dimulai sempurna terbenam Matahari sampai hilang megamerah.
4) Shalat Insya dimulai semenjak hilang mega merah sampai terbit fajar keduaatau
fajar shadiq.
5) Shalat subuh dimulai semenjak terbit fajar kedua sampai terbit piringan
atasMatahari.

6. PERHITUNGAN WAKTU SHALAT

Untuk menghitung awal waktu salat, data – data yang diperlukan antara lain:
Lintang dan bujur tempat, deklinasi, tinggi matahari, saat matahari berkulminasi, sudut
waktu matahari, dan ikhtiyat.

1) Zuhur

Waktu zuhur telah didefenisikan dalam beberapa cara pada literatur fikih:

a) Saat Matahari mulai Menurun (Zawaal) setelah mencapai titik tertinggi di


langit
b) Saat bayangan sebagai penanda (tongkat tegak) mencapai panjang
minimum dan mulai bertambah.
c) Saat piringan Matahari keluar dari garis Zenit, yaitu garis diantara
pengamat dan pusat matahari saat posisinya paling tinggi.

Defenisi pertama dan kedua masih sepadan, sebagaimana panjang bayangan


memiliki hubungan terhadap ketinggian matahari dan dapat dihitung
menggunakan rumus berikut:

Panjang bayangan: Tinggi Benda x Cot (Sudut Matahari)

Sudut Matahari adalah fungsi yang kontiniu sepanjang waktu dan hanya
memiliki satu titik puncak yang menunjukkan tepatnya tengah hari. Sehingga
berdasarkan dua defenisi, zuhur dapat segera dimulai setelah Tengah Hari.

Defenisi ketiga sedikit berbeda dari dua defenisi sebelumnya, berdasarkan


defenisi ini, matahari harus melintasi garis Zenith sebelum Zuhur dimulai. Kita
dapat menggunakan informasi berikut dalam menghitung waktunya:
 Jari – jari Matahari (r) : ~695.500 km
 Jarak Matahari-Bumi (d) : 147.098.074km ~ 152.097.701 km

Dengan adanya r dan d, taktu t yang dibutuhkan untuk matahari melintasi


garis zenit dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

T : arctan (r/d) /2 π × 24 × 60 × 60

Pada nilai maksimum didapatkan dari rumusan diatas adalah 65 detik.


Sehingga, diperkirakan sekitar 1 menit hingga piringan matahari keluar dari zenit
dan dapat dianggap sebagai perhitungan waktu zuhur jika defenisi ketiga
digunakan. Waktu kulminasi matahari dapat dihitung dengan mudah
menggunakan rumusan sebagai berikut:

Waktu tengah hari: 12 – EoT + Zona waktu- Bujur pengamat

15

Dalam perhitungan waktu zuhur dalam dalam urumus umum perhitungannya


kita akan melihat rumus sebagai berikut:

Waktu dzuhur : 12 – EoT – t – Bujur Pengamat (λ) – Bujuk Tolok Daerah

Jika rumus (2) disesuaikan kembali posisinya maka akan terlihat seperti
berikut:
t- Bujur Pengamat – Bujur Tolok Daerah
Waktu Dzuhur : 12 – EoT - +
ikhtiyat 15

2) Asar

Ada dua pendapat utama dalam penentuan perhitungan waaktu Asar.


Kebanyakan sekolah (termasuk Shafi’i, Maliki, Ja’fari, dan Hanbali) mengatakan
Asar adalah waktu saat panjang bayangan sebuah benda sama dengan panjang
benda tersebut ditambah panjang bayangan saat tengah hari. Pendapat dominan
dalam Hanafi mengatakan Asar dimulai saat panjang bayangan benda adalah dua
kali panjang benda ditambah panjang bayangan benda saat tengah hari. Rumus-
rumus yang digunakan:

 Tinggi matahari: Cotan h⁰ = │tan [ø – ƍ] + 1│


 Sudut waktu matahari = Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ
Cos ø, Cos ƍ
 Awal waktu asar = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Dengan:
h° = Ketinggian Matahari Saat Asar

ø = Lintang Tempat

ƍ = Deklinasi Matahari

e = Equation of time

Rumus 1) digunakan untuk menentukan ketinggian matahari saat zuhur


yang akan memenuhi kriteria panjang bayangan adalah panjang benda ditambah
panjang bayangan saat tengah hari. Hal ini dapat dilihat dari adanya konstanta
(nilai tetap) yaitu 1 yang menunjukkan panjang atau nilai yang sama. Berikutnya
adanya operasi terigonometri dalam menentukan panjang (Bayangan) saat siang
hari, ditunjunkkan dengan menghitung nilai zenit matahari zm dengan adanya
nilai ø sebagai bidang patokan dan juga adanya ƍ yang menunjukkan posisi
matahari. Variabel ini adalah variabel yang nilainya dapat berubah – ubah yang
digunakan sebagai perhitungan nilai yang digunakan pada saat menghitung
bayangan yang terjadi bila lintang tempat dan nilai deklinasi berbeda.

Rumus 2) digunakan untuk mengukur sudut matahari yang dibentuk saat


awal waktu asar. Variabel yang digunakan adalah perbandingan lintang dan
deklinasi matahari menunjukkan penyesuaian posisi pengamat terhadap
ketinggian matahari yang memenuhi posisi matahari yang membentuk kriteria
pada rumus 1). Rumus 3) Sebagai perhitungan waktu awal salat Asar. Dimulai
dari meredian Pass yang ditambahkan dengan konversi sudut waktu matahari ke
dalam jam ditambah dengan ikhtiyat dan waktu lokal.

3) Magrib

Shalat magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai hilang mega


merah. Terbenamnya matahari itu apabila piringan matahari secara keseluruhan
sudah tidak kelihatan, karena sudah berada di bawah ufuk. Keadaan demikian,
secara astronomi dapat dikatakan bahwa matahari terbenam ketika pinggir
piringan atasnya menurut pengelihatan pengamat sudah berimpit dengan horizon
mar`i kemudian ditunjukkan dengan ketinggian matahari saat terbenam. 10
Rumus-rumus yang digunakan:

 Menentukan Dip : 1,76 √ m


 Tinggi Matahari : - (Semi Diameter + refraksi + Dip)
 Sudut waktu matahari : Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ
Cos ø, Cos ƍ
 Awal waktu magrib = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Rumus 1) Dip adalah ketinggian posisi pengamat, diukur dalam satuan


meter. Ketinggian pengamat mempengaruhi keterlihatan dari piringan matahari,
lama terbenamnya. Hal ini berlahu dalam perhitungan waktu magrib dan waktu
terbit.
Rumus 2) Waktu magrib merupakan waktu saat matahari berada di ufuk
terbenam. Ketinggian matahari adalah -1 derajat. Yang menjadi parameter dalam
perhitungan adalah refraksi dan besar piringan matahari sehingga sudut waktu
matahari dapat ditetapkan dengan jumlah dari jari – jari yang terlihat (semi
diameter) di permukaan ufuk dengan nilai refraksi yang mengakibatkan posisi
matahari lebih tinggi sebesar 34’30” ditambah dengan pengaruh ketinggian
terhadap keterlihatan matahari terbenam.

Rumus 3) dan 4) masih menggunakan formulasi yang sama dalam


perhitungannya untuk penentuan waktu. Variabel yang diperlukan sudah didapat
dari rumus 1) dan 2).

4) Isya

Pada saat itu matahari berkedudukan 18o dibawah ufuk (horizon) sebelah
barat atau bila jarak zenit matahari = 108 derajat. Adapun rumus yang digunakan
adalah :

 Tinggi Matahari : h° = -18°


 Sudut waktu matahari : Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ
Cos ø, Cos ƍ
 Awal waktu isya = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Dalam perhitungan waktu isya, kriteria kecerlangan langit (saat


menghilang mega merah di labgit hingga gelap) telah banyak dikonversikan ke
dalam satuan kesepakatan dengan ketinggian 18 derajat dibawah ufuk barat. Baik
dari pemerintah ataupun lembaga lain (lihat tabel diatas) menunjukkan nilai
ketinggian isya yang yang berlaku pada banyak negara adalah sebesar 18 derajat.

Ketinggian pengamat dan refraksi cahaya tidak dimasukkan ke dalam


perhitungan karena tidak memperhatikan posisi ketinggian matahari diatas ufuk
dan besar piringan yang terlihat. oleh karena itu Rumus 3) digunakan kembali
sebagai konversi waktu awal salat dari besaran sudut waktu matahari yang
didapat dari perhitungan sebelumnya.

5) Subuh

Kriteria dari waktu subuh sendiri adalah kebalikan dari waktu Isya, yaitu
dimulai sejak muncul cahaya fajar di langit timur. Defenisi utamanya sendiri
merujuk kepada peningkatan kecerlangan cahaya di langit setelah munculnya
cahaya zodiak. Perbedaan kriteria dalam konversinya pada ketinggian matahari
pun terlihat pada penelitian di berbagai tempat. Di indonesia sendiri
menggunakan ketinggian 20 derajat dibawah ufuk sebelah timur. Hal ini dapat
dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka indonesia yaitu Saadoe’ddin
Djambek yang disebut – sebut sebagai pembaru pemikiran hisab di indonesia.
Beliau menyatakan bahwa waktu subuh dimulai dengan tampaknya fajar dibawah
ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Menurutnya dalam
ilmu falak saat tampaknya fajar didefenisikan dengan posisi matahari sebesar 20
derajat dibawah ufuk timur. Senada dengan Abdur Rachim yang menyebutkan
bahwa waktu subuh ditandai dengan tampaknya fajar sidiq dan dianggap masuk
waktu subuh ketika matahari 20 derajat dibawah ufuk. Jadi jarak zenit matahari
berjumlah 110 derajat (90 derajat + 20 derajat). Sementara batas akhir waktu
subuh adalah waktu syuruq (terbit), yaitu = -01 derajat.

Di dalam bukunya, Susiknan Azhari 11melihat pemikiran Saadoe’ddin


Djambek dan Abdur Rachim di atas nampaknya masih banyak dipengaruhi oleh
Syaikh Taher Djalaluddin Azhari. Dalam bukunya yang berjudul Nakhbatu at-
Taqrirati fi Hisabi alauqati disebutkan bahwa waktu subuh bila matahati 20
derajat dibawah ufuk sebelah timur. Oleh karenanya sudah saatnya kajian awal
waktu salat didialogkan dengan hasil – hasil riser kontemporer agar sesuai
dengan tuntutan syar’i dan sains modern sehingga hasil yang diperoleh lebih
valid dan mendekati kebenaran. Adapun rumus yang digunakan adalah :

 Tinggi Matahari : h° = -20°


 Sudut waktu matahari : Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ

Cos ø, Cos ƍ

 Awal waktu subuh = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Pada poin 1) adalah ketinggian yang digunakan dalam perhitungan waktu


salat subuh di indonesia berdasarkan pedoman perhitungan waktu salat Depag RI,
sehingga penulis menggunakan besar nilai -20 derajat (di timur) menyesuaikan
kepada referensi yang digunakan, dan jika ingin menggunakan nilai yang lain
dapat dibandingkan pada tabel diatas (Jarak Zenit matahari waktu Subuh dan
Isya) yang bisa disesuaikan juga pada hasil penelitian di sekitar tempat
pengamatan. Karena memang masih membutuhkan jawaban dan pembuktian saat
kriteria dan keadaan langit terjadi dan memenuhi sehingga bisa dikonversikan
dan didapatkan ketinggian matahari di awah ufuk yang sebenarnya. Tidak adanya
pengaruh ketinggian tempat pengamat menunjukkan tidak diperlukannya
penampakan fisik matahari, hanya pengaruh cahaya terhadap kecerlangan langit
fajar.

Rumus 2) kembali digunakan sebagai konversi nilai


ketinggian/kedalaman matahari dalam satuan sudut waktu. Karena memang nilai
sudut waktu yang menjadi variabel utama dalam perhitungan waktu salat.

Pada rumus 3) jika diperhatikan dengan seksama perbedaan yang muncul


adalah nilai dari (t/15) menjadi negatif (-) yang berarti terjadi pengurangan
waktu. Dikarenakan waktu subuh terjadi sebelum waktu Zuhur (Meridian Pass),
maka nilai sudut waktu di arah timur menjadi pengurang untuk mendapatkan nilai
jam sebelumnya ataupun nilai waktu subuh. Pada perhitungan waktu salat yang
diatas, rumus 3) akan menunjukkan nilai (t/15) yang selalu positif (penambah)
dikarenakan waktu - waktu salat tersebut terjadi setelah tengah hari (Meridian
Pass) dan patokan utama dari setiap perhitungan adalah saat Meridian Pass.

Gambar 1. Bola Langit Saat Subuh (Sumber:Perhitungan Waktu Salat)

7. METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIYAH

Sejatinya urgensi ru`yah al-hilal tidak hanya terkait dengan awal Ramadhan,


Syawal, dan Dhulhijjah, akan tetapi ru`yah al-hilal  sangat berkaitan dengan semua
bulan-bulan hijriyah. Banyak sekali hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang
menganjurkan membaca doa ketika melihat ru`yah al-hilal dan puasa sunah pada
tanggal-tanggal dan bulan-bulan  tertentu,  misalnya: anjuran nabi untuk berdoa ketika
melihat hilal, puasa sunah pada awal-awal Dzulhijjah,  puasa sunah hari `Arafah,
puasa sunah tanggal sembilan dan sepuluh `Asyura, dan puasa sunah pada setiap
tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas bulan-bulan hijriyah.(An-Nawawi:
Riyadhush Shalihin). Pada kenyataannya umat Islam sering berselisih paham ketika
memasuki Bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.  Perbedaan  ini muncul
disebabkan oleh adanya perbedaan cara memahami hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW yang berkaitan dengan tradisi ru`yah, di mana sebagian ulama memahaminya
secara tekstual, yakni ru`yah al-hilal harus dipertahankan, dan apabila terjadi
mendung  ditempuh istikmal sebagai bentuk ittiba` dan ta`abbudi sebagaimana
dicontohkan pada zaman nabi dan generasi Islam awal (B.J. Habibi, DKK, 1991)
Sementara sebagian ulama memahaminya secara kontekstual, yakni tidak harus
dengan rsu`yah, tetapi bisa dengan menggunakan hisab, karena  tradisi ru`yah adalah
satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh umat Islam waktu itu, karena kemajuan
ilmu astronomi belum seakurat dan secanggih seperti saat sekarang (M. Syuhudi
Ismail; 2009).  Atas dasar argumen ini dan diperkuat dengan dalil-dalil ayat-ayat al-
Quran mengenai perhitungan waktu, apabila sudah ditemukan metodologi yang lebih
akurat, seperti hisab astronomi,  maka metode ini lebih diutamakan dari pada
metode ru`yah (Asymuni Abdurrahman:2007).

Metode hisab – astronomi dan ru`yah al-hilal sejatinya berpangkal dari dalil


yang sama yakni hadis Rasulullah SAW di antaranya; pertama, hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari `Abullah ibnu Umar RA. Artinya:
“Menceritakan kepada kami `Abdullah bin Maslamah  dari Malik dari Nafi` dari
`Abdillah bin Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW mengingatkan Ramadhan dan
bersabda: janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal, dan berbukalah
sehingga kalian melihat hilal, dan bila terjadi mendung yang menutupi pandangan
kalian, maka estimasikanlah” (HR Bukhari).  Kedua, Hadis Riwayat Bukhari dari Abu
Hurairah RA: artinya:“telah menceritakan kepada kami Adam, menceritakan kepada
kami Syu`bah, menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad, telah berkata; saya
telah mendengar Abu Hurairah RA mengatakan, telah bersabda Nabi SAW atau telah
bersabda Abu Qasim SAW: berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah
kalian karena melihat hilal, jika terjadi mendung yang menghalangi pandangan
kalian, maka genapkankanlah jumlah bilangan bulan Sya`ban menjadi tiga puluh
hari”.  (HR Bukhari).

 Pendapat yang mengharuskan  metode ru`yah.


Mazhab  ini menghendaki bahwa ru`yah tetap harus dilakukan walaupun
sekarang telah ditemukan metode hisab- astronomi yang lebih canggih. Pendapat
ini didasarkan pada dalil-dalil hadis Nabi Muhammad SAW yang secara sharih,
seperti hadis pada yang telah dinukil di atas. Atas dasar ini, syara` sama sekali
tidak menempatkan hisab- astronomi secara sendirian, akan tetapi hisab-
astronomi sebagai pendukung ru`yah.(Syamsul Anwar: Interkoneksi Studi Hadis
dan Astronomi,2011).Menurut Ibnu Hajar Al-`Asqalani, bahwa Abdul Aziz Ibnu
Bazizah (w.662/1264) menyatakan bahwa pandangan ulama yang menyatakan 
membolehkan penggunaan ilmu hisab itu adalah mazhab yang batil dan syari`ah
melarang melibatkan diri dalam ilmu perbintangan karena masih bersifat
spekulatif dan kira-kira, serta tidak mengandung kepastian dan probabilitas yang
kuat. Pendapat serupa juga dikemukakan Imam Ibnu Taimiyyah dalam salah satu
fatwanya bahwa barang siapa menulis atau melakukan hisab tidak termasuk umat
ini dalam masalah ini, tetapi ia telah memilih dan mengikuti jalan lain yang
bukan jalan orang-orang beriman. (Ibid) Al-Qarafi (w.684/1285) seorang fukaha
pendukung ru`yah menjelaskan bahwa mengapa untuk puasa Ramadhan dan Idul
Fithri ru`yah tidak dapat diganti dengan hisab sebagaimana untuk menentukan
waktu shalat, ru`yah dapat diganti dengan hisab. Menurutnya, puasa berbeda
dengan shalat. Sebab syar`i mulai wajibnya mengerjakan shalat adalah telah
masuknya waktu shalat, sedangkan sebab syar`i mulai wajibnya berpuasa
Ramadhan adalah terjadinya ru`yah al-hilal  itu sendiri. Oleh karenanya, puasa
dan Idul Fithri tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadi ru`yah dan bila mendung
maka denganistikma (ibid). Menurut ulama Malikiyah, sebagaimana dikutip oleh
Wahbah Az-Zuhaili, tidak diperbolehkan umat Islam menggunakan metode
hisab- astronomi dalam menentukan awal Ramadhan, Syawwal , Dhulhijjah.
Wahbah Az-Zuhaili mengutip pendapat ulama Malikiyah sebagai
berikut:’tidaklah diperbolehkan menetapkan hilal baru dengan pendapat ahli
hisab, karena menurut syari`ah, menetapkan puasa, idul fithri, dan haji adalah
dengan ru`ya hal-hilal (Wahbah Az-Zuhaili, TTP)
Senada dengan pendapat di atas, Sayyid Sabiq menuturkan bahwa
‘menetapkan awal bulan hijriyah adalah dengan ru`yah hal-hilal meskipun hanya
dengan persaksian satu orang yang adil atau dengan istikmal (Sayyid Sabiq,
Fiqhus Sunnah, 2000) Begitu juga dengan Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ia
menyatakan bahwa ‘menentukan awal Ramadhan adalah dengan ru`yah
muhaqqiqah,  atau persaksian satu orang yang adil atau dengan jalan istikmal’
(Ibnul Qayyim Al-jauziyah, 1998).Para pendukung ru`yah hanya berbeda dalam
hal apakah ru`yah cukup hanya dengan persaksian satu orang saja, atau harus
dua orang, atau harus mencapai jumlah tertentu sehingga kecil kemungkinan
berbohong. Apakah boleh kesaksian seorang wanita?, apakah harus adil?, apakah
harus orang merdeka?. Pendukungru`yah juga berbeda pendapat
mengenaiMathla`, apakah apabila telah terlihat hilal pada satu mathla` secara
otomatisberlaku ke seluruh dunia atau tidak? (Wahbah az-Zuhaili, TTP).
Di Indonesia, dalam hal ini Badan Hisab Ru`yah (BHR), yang
merupakan  lembaga thing-thang-nya Kementerian Agama  cenderung memilih
metode ru`yah. Sejatinya BHR mengakomodasimetode hisab-astronomi, namun 
hanya sebatas pendukung ru`yahitu sendiri. Hal ini maksudnya, walaupun hasil
perhitungan hisab-astronomi menyatakan hilal sudah wujud (wujudul hilal),
yakni 0 derajat,  BHR tetap tidak menerimanya, karena BHR menyepakati hisab
imakanur ru`yah, yakni ketinggian 2 derajat di atas ufuk. Sebaliknya, BHR juga
menolak kesaksian  ru`yah, mana-kala menurut hitungan hisab-astronomis masih
di bawah standar imakanur ru`yah, yakni masih di bawah 2 derajat di atas ufuk.
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang lalu, kesaksianru`yah di Cakung,
Jakarta Timur ditolak oleh BHR. Salah satu ulama yang ikut dalam
sidang itsbat berkomentar bahwa hasil pengamatan ru`yah di Cakung tidak bisa
diterima karena tidak sesuai dengan kaidah ilmuastronomi.
 Pendapat Yang Membolehkan Metode Hisab- astronomi.

Proses pemahaman Hukum Islam yang tekstual dan kontekstual sudah


muncul sejak zaman Sahabat Nabi. Sebagian ada yang memahami teks-teks
keagamaan yang tertuang dalam Al-Qur`an dan Hadis dengan tekstual, dan
sebagian lagi memahaminya secara kontekstual. Zaman itu sudah dikenal Ahlul
Hadis yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas`ud dan Ahlur Ra`yu yang
dipelopori oleh Umar bin Khattab. Kelompok pertama lebih mendasarkan kepada
dhahir ayat dan hadis. Ahlur Ra`yu dalam berijtihad lebih longgar dari Ahlul
Hadis. Dalam hal ini, Ahlur Ra`yu memahami teks-teks keagamaan secara
kontekstual, mencari Illah sebab lahirnya Keputusan hukum yang terkandung
dalam nas-nash Al-Qur`an dan Hadis Nabi SAW. Dengan metode pendekatan ini,
maka diperlukan usaha mencari pendorong atau motivasi terhadap adanya
ketentuan suatu hukum (Asymuni Abdurrahman, 2008). 

Berkaitan dengan hadis-hadis tentang ru`yah, maka dengan


pendekatan Ta`lil  al-Ahkam sebagaimana dijelaskan di atas, hadis-hadis tersebut
tidak dipahami secara tekstual sebagaimana bunyi dhahir nash. Motivasi perintah
Nabi untuk melakukan ru`yah pada waktu itu disertai dengan `Illah (kausa
hukum). Dalam masalah ini dapat dipahami dari hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dari Ibnu Umar misalnya yang menyatakan bahwa keadaan umat
pada waktu itu masih dalam keadaanUmmi, belum memahami membaca dan
menulis  secara lebih sempurna, lebih-lebih dalam ilmu astronomi (MTT, 2009).
Atas dasar ini,  apabila ilmu pengetahuan telah maju, ilmu astronomi mengalami
keakuratan dan kepraktisannya seperti saat sekarang, sudah saatnya
menggunakan metode hisab- astronomi untuk menentukan awal Bulan
Qamariyah. Di samping itu, dalam memahami nash diperlukan pemahaman yang
terpadu, komprehensif dan tidak sepotong-sepotong (istiqra` ma`nawi), sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh. Semua ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadis-hadis
yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi dikumpulkan (Asymuni
Abdurrahman, 2008) . Dalam memahami ru`yah sebenarnya banyak sekali ayat-
ayat Al-Qur`an yang berbicara tentang waktu dan peredaran benda-benda langit
yang seharusnya dijadikan pedoman untuk menentukan bulan-bulan Qamariyah.
Di antaranya adalah QS Yasin ayat 39-40.:  ‘Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir)
Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi
matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan
masing-masing beredar pada garis edarnya.

Dalam perkembangannya, ilmu astronomi mendapatkan apresiasi oleh


para ulama. Di antara ulama yang mendukung penggunaan metode hisab-
astronomi adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Musthafa Az-Zarqa, dan
Yusuf Al-Qardhawi. Muhammad Rasyid Ridha, sebagaimana dikutip oleh
Syamsul Anwar menyatakan: ‘Tujuan pembuat Syari`ah....bukan menjadikan
ru`yah hilal sebagai ibadah itu sendiri. Pengaitan penetapan awal bulan dengan
ru`yah hilal atau menggenapkan bilangannya 30 hari apabila hilal tidak terlihat,
`Illahnya  adalah karena keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi’
(Syamsul Anwar, 2009).  Senada dengan Muhammad Rasyid Ridha, Musthafa
Az-Zarqa berpendapat: ‘Saya yakin benar bahwa para ulama Salaf kita itu, yang
menolak penggunaan hisab, seandainya mereka hidup di zaman sekarang dan
menyaksikan kemajuan spektakuler yang dicapai astronomi (ilmu falak) pastilah
mereka akan mengubah pendapatnya’ (Ibid). Masih berkaitan dengan hisab-
astronomi, Yusuf Al-Qardhawi berkomentar sebagai berikut: ‘Apabila terdapat
sarana lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan hadis dan lebih terhindar dari
kemungkinan kekeliruan, kesalahan dan kebohongan mengenai masuknya bulan
baru,.....yakni setelah di kalangan mereka terdapat sarjana-sarjana dan ahli
astronomi,.... maka mengapa kita masih tetap jumud dalam soal sarana yang tidak
menjadi tujuan pada dirinya (Ibid)?. Sulaiman Rasyid, seorang ulama Indonesia
kenamaan juga sangat mendukung metode hisab- astronomi untuk menentukan
awal Bulan Qamariyah seperti halnya pemanfaatan ilmu hisab-astronomi untuk
menetukan waktu-waktu shalat. Menurutnya, ketentuan waktu-waktu shalat
adalah sama dengan ketentuan waktu memulai puasa, Idul Fithri dan haji, hanya
saja kalau shalat berdasarkan peredaran matahari, sementara puasa dengan bulan
(Sulaiman Rasyid, 2003). Secara lebih nyata,  Muhammadiyah sebagai ormas
Islam yang sangat signifikan di Indonesia, tidak hanya sekedar berfatwa atau
mendukung, tapi lebih dari itu, ormas ini menerapkan metode hisab- astronomi
dalam menentukan awal bulan Qamariyah (MTT, 2007).

Berangkat dari pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas,


bahwa ru`yah adalah satu-satunya  sarana yang paling mungkin diterapkan pada
masa Islam awal untuk mengetahui masuknya bulan baru, mengingat ilmu
astronomi belum dikuasai secara memadai, maka saat sekarang perhatian ulama
kontemporer terhadap penggunaan metode hisab- astronomi semakin gencar, dan
bahkan tidak hanya sebatas untuk menentukan waktu-waktu ibadah saja, tetapi
lebih dari itu, usaha perumusan sistem kalender Islam Internasional pun sudah
dimulai. Nama Muhammad Ilyas, seorang penggagas Kalender Islam
Internasional asal Malaysia cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan
Kalender Islam Internasional. Dalam hal ini Muhammadiyah berperan aktif untuk
mewujudkan cita-cita ini dengan mengikuti pertemuan-pertemuan Internasional,
seperti pertemuan ISSESCO, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan
Organisasi Konferensi Islam (OKI), di Sinegal pada tahun 2008 yang lalu, di
mana Muhammadiyah mengirimkan Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA sekaligus
mewakili Indonesia.

Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan pertama,  pada zaman nabi,


keadaan umat Islam masih ummi, yakni tidak bisa membaca dan menulis.
Sekalipun ada yang memahami membaca dan menulis, jumlahnya relatif sedikit
dan belum secara maksimal memanfaatkan tulis- baca. Ilmu perbintangan pada
periode nabi masih  sangat terpengaruh takhayyul- khurafat yang mengarah
kepada kemusyrikan. Peristiwa astronomis, yang dalam hal ini adalah gerhana
matahari yang seharusnya dipahami sebagai gejala alam biasa yang bisa dijadikan
pedoman dalam menghitung perjalanan waktu, justru dikait-kaitkan dengan
Kematian Ibrahim bin Muhammad, adalah bukti otentik kondisi ilmu astronomi
pada saat itu yang masih tradisional.

Kedua, para ulama pendukung hisab astronomi, termasuk


Muhammadiyah sebagai organisasi Islam besar di Indonesia, memiliki dasar yang
kuat sesuai dengan kaidah-kaidah syari`ah sebagaimana dijelaskan di atas.
Dengan demikian tertolaklah opini yang selalu saja muncul   menyudutkan bahwa
Muhammadiyah telah keluar dari kaidah-kaidah syari`ah dalam penentuan awal
bulan Qamariyah.

8. PERHITUNGAN AWAL BULAN QAMARIAH

 PERHITUNGAN AWAL BULAN QAMARIYAH


 
  Kriteria = Imkanur Rukyat
  Lokasi = Jakarta (6° 10' 00" LS, 106° 49' 00" BT)
  Tinggi Tempat = 28 meter diatas laut

1. Menghitung saat Ijtima' akhir Sya'ban 1442 H :


   
Ijtima' (Dimana matahari dan bulan terletak pada bujur astronomi yang sama).
 
Lihat rumus mencari saat Ijtima' dengan meng-klik link di bawah.
  Ijtima '= 09:30:44 WIB
   
2. Menghitung posisi dan keadaan hilal akhir Sya'ban 1442 H :
   
  a. Ijtima' Akhir Sya'ban 1442 H. Terjadi pada : Senin (Pon), 12 April 2021 M.
Pukul 09:30:44 WIB
   
b. Mencari Sudut Waktu Matahari saat terbenam :
  Data pada pukul 11:00 GMT (Perkiraan matahari terbenam) :
  Lintang Tempat (L) = -6° 10' 00.00"
Deklinasi Matahari (Dm) = 8° 51' 03.94"
Perata Waktu (e) = -0° 00' 43.82"
Semi Diameter (Sd) = 0° 15' 57"
Refraksi (Ref) = 0° 34' 30"
Kerendahan Ufuk (Ku) = 1.76 * Sqrt(Tinggi Tempat) / 60.0
  = 0° 09' 19"
Koreksi Waktu Daerah
= ((ZonaWaktu x 15) - Bujur Tempat) / 15
(Kwd)
  = -0° 07' 16.00"
  Rumus Tinggi Matahari (Hm) :
Hm = 0° - Sd - Ref - Ku
    = -0° 15' 57" - 0° 34' 30" - 0° 09' 19"
  = -0° 59' 46.00"
  Rumus Sudut Waktu Matahari (Tm) :
-Tan(L) x Tan(Dm) + Sin(Hm) / Cos(L) /
Cos(Tm) =
Cos(Dm)
 
  = -0.049925692418804
Tm = 90° 02' 59.73"
c. Mencari perkiraan Matahari Terbenam :
Waktu Matahari Terbenam = 12 - e + (Tm/15) - Kwd
 
  = 17:53:40 WIB (Waktu Lokal)
d. Dapatkan Data Ephemeris untuk Ascensio Rekta Matahari
(ARm) dan Ascensio Rekta Bulan (ARb) pada saat terbenam matahari :
ARm = 21° 02' 51.26"
 
ARb = 25° 59' 41.07"
e. Mencari Sudut Waktu Bulan (Tb)
Tb = ARm - ARb + Tm
 
  = 85° 06' 09.92"
Dapatkan Data Ephemeris untuk Deklinasi Bulan (Db) pada saat terbenam
f.
matahari :
  Db = 6° 52' 18.55"
g. Mencari Tinggi Hakiki Bulan (Hb_Hakiki) :
Sin(Hb_Hakiki) = Sin(L) x Sin(Db) + Cos(L) x Cos(Db) x Cos(Tb)
    = 4° 05' 29.89"
Hb_Hakiki = 4° 05' 29.89"
h. Mencari Tinggi Lihat / Mar'i Bulan (Hb_Lihat) :
Data :
Horizontal Parallax (Hp) = 0° 54' 14.72"
Semi Diameter Bulan (Sdb) = 0° 14' 46.86"
  Parallax (Px) = Cos(Tb) x HP
  = 0° 54' 06.41"
Hb_Lihat = Tb_Hakiki - Px + Sdb + Ref + Ku
  = 3° 47' 59.12"
i. Menghitung Lama Hilal Diatas Ufuk (LHU) :
LHU = Hb_Lihat + 0°4'
    = 3° 47' 59" x 0°4'
  = 15 m 11.94 s (Jika negatif maka = 0s)
j. Menghitung saat Hilal Terbenam / Ghurub (HG) :
HG = Waktu Matahari Terbenam + LHU
    = 18:08:52 + 15 m 11.94 s
  = 18:08:52 WIB
k. Mencari Azimuth Matahari (Am) dan Azimuth Bulan (Ab)
  1. Azimuth Matahari :
-Sin(L) / Tan (Tm) + Cos(L) x Tan(Dm) /
Cot(Arah Matahari) =
Sin(Tm)
    = 8° 51' 48.83"
Arah Matahari = 8° 47' 37.88" diukur dari titik barat ke utara
Am = 278° 47' 37.88"
  2. Azimuth Bulan :
Cot(Arah Bulan) = -Sin(L) / Tan (Tb) + Cos(L) x Tan(Db) / Sin(Tb)
  = 7° 25' 03.04"
 
Arah Bulan = 7° 22' 35.34" diukur dari titik barat ke utara
Ab = 277° 22' 35.34"
l. Letak dan Posisi Hilal :
Letak dan posisi hilal berada di belahan Utara dan di sebelah Kiri matahari.
Sejauh 1° 25' 02.54".
  Dengan keadaan Hilal di atas ufuk.
 

9. KRITERIA AWAL BULAN MENURUT MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Hisab Hakiki Wujudul


Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan
prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima‟ qablal
ghurub), saat matahari terbenam bulan sudah berada di garis ufuk dengan tanpa
melihat derajat ketinggiannya (irtifa‟), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam
(moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan
(kalender) Hijriyah. Muhammadiyah memakai wujudul hilal sebagai penentuan awal
bulan qamariyah sebagai jalan tengah antara ijtimak qablal ghurub dan Imkanu rukyat.
Dengan wujudul hilal maka menentukan awal bulan lebih dapat memberikan kepastian
serta praktis. Dasar wujudul hilal adalah surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat
185 terdapat isyarat mengenai tiga hal penting, yaitu (1) peristiwa ijtimak, (2)
peristiwa pergantian siang ke malam (terbenamnya matahari), dan dari balik
pergantian siang ke malam itu terkait (3) ufuk, karena terbenamnya matahari artinya
berada di bawah ufuk. Dan pada al-Qur‟an surat Yasin ayat 40 menegaskan bahwa
matahari tidak mungkin mendahului bulan dan ini yang dijadikan landasan teori
wujudul hilal. Dasar yang kedua adalah hadits yang mennegaskan bahwa illat rukyat
hilal adalah karena kondisi ummi, maka ketika kondisinya umat sudah cerdas maka
illat itu hilang sehingga rukyatul hilal bukan satu-satunya metode dalam penentuan
awal bulan qamariyah.

10.PEDOMAN HIDUP ISLAMI WARGA MUHAMMADIYAH

1. Kehidupan Pribadi

a. Dalam Aqidah. Prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid yang
benar,ikhlas dan penuh ketundukan—ibadur rahman—
mukmin,muslim,mutaqin yang paripurna (Q.S 25 : 63-77)menjauhi dan
menolak syirik,takhayul,bid’ah,khurafat (QS 4: 136)

b.  Dalam AkhlakDituntut meneladani perilaku Nabi dan mempraktekan


akhlak mulia (QS 68:4)amal dan kegiatan didasarkan niat yang ikhlas
dalam wujud amal saleh dan ihsan dan menjauhkan diri dari perilaku
riya’,sombong,ishraf,fasad dan kemungkaran (QS 98:5)~menunjukkan
akhlak mulia sehingga diteladani dan menjauhi akhlak
tercela~menjauhkan diri dari korupsi,kolusi dan praktek buruk lainnya

c. Dalam Ibadahmembersihkan jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi


mutaqin dengan ibadah tekun dan menjauhkan diri dari nafsu yang
burukibadah mahdah sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal
nawafil,menghiasi diri dengan iman yang kokoh,ilmu yang luas dan amal
saleh yang tulus

2. Kehidupan Masyarakat.
a. Menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan tetangga maupun anggota
masyarakat lainnya dengan memelihara hak dan kehormatan baik muslim
maupun non muslim sampai area 40 rumah.

b. Menunjukkan keteladanan dalam bersikap baik pada


tetangga,memelihara kemuliaan dan memuliakan tetangga,bermurah
hati,menjeguk dan memberi perhatian3.Dengan tetangga yang berlainan
agama diajarkan untuk bersikapadil dan baik,berhak memperoleh hak
kehormatan sebagai tetangga

Anda mungkin juga menyukai