20200623-Diskursus Sains Filsafat Agama Dan Pandemi PDF
20200623-Diskursus Sains Filsafat Agama Dan Pandemi PDF
FILSAFAT,
AGAMA,
PANDEMI
SEBUAH DISKURSUS
PEMIKIRAN
1
DAFTAR ISI
PENGANTAR DISKURSUS TUMBUH ....................................................................... 4
I. 17 Mei: Goenawan Mohamad ........................................................................ 8
II. 20 Mei: Goenawan Mohamad ................................................................... 11
III. 28 Mei: A.S. Laksana............................................................................... 13
IV. 1 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka ................................................................ 30
V. 1 Juni: Ulil Abshar Abdalla .................................................................. 32
VI. 1 Juni: Hasanudin Abdurakhman ........................................................... 37
VII. 2 Juni: Taufiqurrohman......................................................................... 40
VIII. 2 Juni: Hasanudin Abdurakhman ........................................................ 46
IX. 2 Juni: Jamil Massa ............................................................................... 48
X. 2 Juni: Dwi Pranoto ............................................................................... 50
XI. 3 Juni: Lukas Luwarso ........................................................................... 53
XII. 2 Juni: Dunia Filsafat Ledalero............................................................ 61
XIII. 2 Juni: Nuruddin Asyhadie ................................................................. 71
XIV. 3 Juni: Azis Anwar Fachrudin ............................................................ 73
XV. 3 Juni: Goenawan Mohamad.................................................................... 77
XVI. 3 Juni: Ardi Kresna Crenata............................................................... 80
XVII. 3 Juni: Ulil Abshar Abdalla ............................................................... 85
XVIII. 3 Juni: F. Budi Hardiman ................................................................. 90
XIX. 4 Juni: Goenawan Mohamad................................................................. 95
XX. 5 Juni: Fitzerald Kennedy Sitorus ..................................................... 103
XXI. 4 Juni: Farid Gaban........................................................................... 118
XXII. 5 Juni: Nirwan Ahmad Arsuka ........................................................... 122
XXIII. 5 Juni: Budi Munawar Rachman ..................................................... 128
XXIV. 6 Juni: Hamid Basyaib ...................................................................... 138
XXV. 6 Juni: Husain Heriyanto ................................................................. 142
XXVI. 8 Juni: A.S. Laksana .......................................................................... 148
XXVII. 10 Juni: Sabrang Damar Panuluh................................................... 163
XXVIII. 9 Juni: Lukas Luwarso ................................................................... 176
XXIX. 9 Juni: Bambang Sugiharto .............................................................. 191
2
XXX. 12 Juni: Goenawan Mohamad ............................................................. 208
XXXI. 15 Juni: Hamid Basyaib..................................................................... 226
XXXII. 16 Juni: Hamid Basyaib ................................................................. 237
XXXIII. 17 Juni: Hamid Basyaib ................................................................. 245
XXXIV. 19 Juni: Goenawan Mohamad .......................................................... 255
XXXV. 19 Juni: Ulil Abshar Abdalla......................................................... 261
XXXVI. 19 Juni: Hamid Basyaib ................................................................. 263
XXXVII. 20 Juni: Hamid Basyaib ................................................................. 270
XXXVIII. 21 Juni: Hamid Basyaib .............................................................. 277
XXXIX. 21 Juni: Lukas Luwarso ................................................................. 288
3
PENGANTAR DISKURSUS TUMBUH
Jika video yang diunggah oleh PDUI itu baru ditonton kurang dari dua
ribu kali sejak diunggah 20 Mei hingga 3 pekan kemudian, tulisan
Sulak telah memancing banyak pemikir dan peminat topik tersebut
untuk masuk ke arena gelanggang. Berbeda nasibnya dengan video
diskusi yang kalah jauh dengan video “Keke Bukan Boneka” yang
sudah ditonton lebih dari 32 juta kali hanya dalam dua pekan sejak
diunggah.
4
memantik diskusi dan berdebat dengan Sanusi Pane, Purbatjaraka,
Tjindarbumi, Ki Hajar Dewantara, Adinegoro, dan lain-lainnya
tentang sebuah tema yang sangat hangat ketika itu: kebudayaan dan
pendidikan. Kongruen dengan diskusi hari ini, hanya saja dengan
topik yang berbeda.
5
Lantaran pangkal mulanya adalah diskusi webinar di 20 Mei itu, saya
transkripkan apa yang dikatakan GM di forum tersebut sebagai
pelengkap bahan.
6
gurunya waktu itu mengajarinya dengan membuat jembatan keledai
dengan memanjangkannya dalam kalimat yang mudah diingat: (H)ari,
(Li)bur (Na)nti (K)ita (R)e(b)ut (C)inta (s)ejati (Fr)ansisca.
Saya tak tahu Fransisca sekarang ada di mana atau menikahi siapa.
Upaya membuat dokumen tumbuh ini juga didorong oleh niat untuk
menemukan lebih banyak pemikiran. Siapa tahu jika disatukan dalam
dokumen yang tunggal akan menggugah lebih banyak orang untuk
masuk dan turun gelanggang meramaikan diskusi yang makin
dimudahkan berkat adanya teknologi hari ini. Produk sains yang
mereka bicarakan itu.
7
Maka, jika ada tautan pemikiran lain yang belum terekam dalam
catatan saya, silakan sampaikan utasnya di sini, sehingga serpihan
pemikiran dari banyak orang ini makin lengkap dan utuh. Syaratnya
cuma satu: identitas penulisnya jelas, dan pemikirannya inheren
dengan topik yang dibahas, sehingga orang-orang yang berminat
pada diskusinya makin terangsang untuk menyampaikan gagasannya.
Buku digital dari diskusi tersebut sudah ada dalam format PDF.
Catatan diskusi tersebut sudah saya rapikan ejaan dan strukturnya
secara urutan waktu dan sudah melampaui 300 halaman. Dengan
dipolakan dan diatur, siapapun yang tertarik, bisa ikut menikmati
dan lebih mudah mengikuti.
Jika ada yang berminat, silakan japri dan saya akan kirimkan
kompilasinya. Saya juga sangat berterima kasih jika ada yang
berkenan untuk mengirimkan tautan baru dari siapapun
penulis/pemikir yang ikut masuk dalam gelanggang diskusi.
Buat apa?
Supaya wacana media sosial kita juga diwarnai oleh perdebatan dan
diskusi yang lain. Yang lebih bernas. Yang lebih berisi. Bukan oleh
video seorang ustadz yang membahas lagu “Balonku” dan meletus
balon hijau atau “Naik-naik ke Puncak Gunung” di mana di situ
banyak pohon cemara.
PASTI
8
manusia enam bulan yang lalu”, kini membingungkan mereka yang
bergulat mengalahkannya. Bahkan sekarang kembali diperdengarkan
suara bahwa bahaya COVID-19 sesungguhnya dilebih-lebihkan.
“Di sepanjang zaman, banyak hal berubah dalam ilmu,” kata seorang
dokter ahli di Boston yang dikutip.
Tak ada yang baru dalam kata-kata itu, sementara ada yang
dilupakan, bahwa kita tak hidup “di sepanjang zaman”. Kita —apalagi
orang awam— dikepung ketidaktahuan, ditodong ancaman sakit dan
kematian, dan semua terjadi hari ini. Kita tak sempat meninjau
“sepanjang zaman”. Kita esok harus memutuskan: sampai kapan kota
kita ditutup? Sampai berapa lama kehidupan ekonomi dihentikan,
dengan korban yang tak jarang tragis, seperti seorang anak
perempuan India berumur 12 yang mati ketika harus berjalan kaki
kembali ke kampungnya — 150 km dari kota yang dilokdon dan
merebut sumber hidupnya?
9
Tak mudah menjawab ini —tak mudah bagi para ilmuwan. Sama tak
mudahnya bagi pengambil keputusan politik yang menentukan sebuah
kebijakan dengan dibantu ilmu pengetahuan yang masih bertanya-
tanya.
Apalagi dewasa ini mulai ada rasa cemas bahwa perlombaan riset di
pelbagai lembaga keilmuan — yang diukur KPI, “key performance
indicators” — pelan-pelan merusak semangat keilmuan. Para
ilmuwan didorong-dorong untuk mencapai hasil yang mengesankan.
Ilmu ingin cepat menjawab dan mulai malas bertanya. Para periset
yang berangkat dari rasa ingin tahu dipinggirkan, sementara
pimpinan lembaga yang harus mencari dana dan nama membayangi
tiap proyek peneletian. Di masa pandemi yang cepat menyebar ini,
ada desakan lain, yang bukan main-main: niat menyelamatkan
kehidupan.
Di masa lalu —yang berlum benar-benar lalu— ada jalan lain dari
situasi bertanya-tanya. Orang bisa menyodorkan sesuatu yang di
luar dirinya. Menanggungkan cemas di pundak sendiri memang
terlalu berat. Maka di Eropa, selama pandemi besar abad ke-13,
beberapa ribu orang Yahudi — ya, mereka orang lain — dibakar
hidup-hidup. Atau, orang merujuk nasib dan bintang-bintang. Atau,
lebih sering, Tuhan.
10
berbicara tentang agama yang tanpa janji, tanpa penghiburan: “iman
tanpa theodice”.
Ada yang didapat di masa modern itu, tapi juga ada yang hilang. Kita
tak menyerah ke sebuah ketakutan yang tak kita pahami, tapi dengan
itu “kita meremehkan rasa ngeri, berlindung dalam sesuatu yang
seakan-akan pengetahuan”, ensconcing ourselves into seeming
knowledge.
Saya bukan saintis dan tidak punya latar belakang pendidikan sains.
Saya akan susah payah berbicara, dan lebih susah-payah lagi
berkhidmat kepada sains. Bagi saya sains seperti halnya kesenian,
11
dunia yang lebih saya kenal, bukanlah sebuah bidang kerja atau
keahlian, yang harus disikapi dengan khidmat tetapi dengan kritis.
Tadi disebut peran sains dalam pandemi ini, dan memang menjadi
sangat penting di Indonesia dan juga di mana-mana. Keputusan
publik yang penting dalam pandemi ini umumnya didasarkan pada
pendapat pada ilmuwan. Terutama para epedemiologist dan
virologist, meskipun sains bukan segala-galanya.
Ilmu atau sains punya dua peran, yaitu menafsirkan dunia dan
mengubah dunia. Sekarang menafsirkan dunia sudah disisihkan
menjadi mengubah dunia. Dengan prestasi yang hebat, sains kemudian
membuat jarak dengan kehidupan. Ilmu bukan tidak berguna, justru
berguna, tetapi ada hal-hal lain yang terlepas dari ilmu. Einstein
12
bilang sederhana dan agak lucu, bahwa politik lebih sukar dari ilmu.
Ada hal-hal yang lebih rumit/complicated yang tidak dapat
dipecahkan oleh ilmu.
“Semua yang hidup pasti mati; jika tidak sekarang besok, jika tidak
besok lusa, pekan depan, bulan depan, tahun depan, atau sekian tahun
lagi, tetapi kematian pasti tiba. Itu penemuan terbaik manusia
tentang dirinya,” kata Steve Jobs dalam ceramahnya di Stanford
University, 12 Juni 2005.
13
Cerita selanjutnya, berkenaan dengan apa yang terjadi setelah
kematian, tergantung pada informasi yang Anda yakini, atau, lebih
tepat, yang diyakini oleh orang tua Anda: Pada umumnya tiap-tiap
orang meyakini apa yang diyakini oleh orang tua masing-masing.
Jika orang tua Anda meyakini informasi bahwa orang yang mati akan
pergi ke surga atau neraka, Anda akan cenderung meyakini pula
kebenaran informasi itu. Dalam keyakinan ini, kematian hanyalah
awal dari kehidupan yang sebenarnya di mana seseorang akan
mendapatkan berkah sepanjang hidup atau siksa yang kekal.
Apa pun informasi yang Anda yakini, kemungkinan besar Anda tidak
memilih sendiri keyakinan itu. Setidaknya, itu yang terjadi dalam
tradisi para pemeluk agama-agama besar, Kristen, Islam, Hindu,
Budha, dan Yahudi; anak-anak tidak memilih sendiri agama mereka.
Orang tua yang memilihkan agama untuk mereka sejak mereka kanak-
kanak atau bahkan sejak hari pertama kelahiran.
***
14
Ada satu-dua perlawanan di masa-masa awal; beberapa muncul dalam
bentuk celoteh serampangan (misalnya "COVID-19 tidak masuk ke
Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal.”),
dan beberapa bersandar pada argumen keagamaan bahwa kita tidak
perlu takut pada Corona, kita hanya perlu takut pada Tuhan, bahwa
Tuhan lebih besar dari Corona, bahwa Tuhan punya kehendak baik
dengan menurunkan wabah.
15
pendakwah yang keras menjadi lebih pendiam. Mereka mematuhi
keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan informasi saintifik.
16
rajin memberi kita rujukan ke masa lampau, membandingkan wabah
berabad-abad lalu dengan wabah hari ini, dan menyimpulkan bahwa
situasinya masih sama. “Kembali Entah yang menyembul ke depan,”
tulisnya dalam kolom “Entah.”
17
terlambat? Kita bisa membandingkan kecepatan ini dengan
kelambatan dalam kasus apa saja yang terjadi berabad-abad lalu.
Dengan kasus Jeanne d’Arc di abad kelima belas, misalnya. Gadis 19
tahun itu dinyatakan bid’ah dan dibakar hidup-hidup di kayu salib
dan vonis terhadapnya baru diralat oleh Paus dua puluh satu tahun
kemudian melalui pengadilan ulang. Lima abad setelah kematiannya,
di abad ke-20, ia ditahbiskan sebagai orang suci agama Katolik.
Tentu masalah akan selalu ada; selama manusia hidup dan melakukan
aktivitas, selalu akan terbuka kemungkinan munculnya masalah, dan
itu bahkan bisa terjadi dalam situasi normal, tidak hanya ketika
wabah.
18
Yang terasa mengganggu dalam diskusi “Berkhidmat pada Sains”
adalah cara ia merendahkan derajat sains dengan mengajukan
anekdot tentang Albert Einstein dan politik yang lebih rumit
dibandingkan fisika. Itu sebuah simplifikasi, jika bukan falasi—
dalam penalaran kita mengenalnya sebagai kekeliruan appeal to
authority.
Hanya karena Einstein berkata seperti itu, bukan berarti fisika, dan
secara umum sains, adalah hal yang remeh-temeh. Ada banyak hal
lain di luar politik yang bagi Einstein niscaya lebih rumit ketimbang
fisika, misalnya merenda sweater musim dingin, membuat kruistik,
atau mengarang novel.
Saya tidak tahu seserius apa ajakan untuk berkhidmat pada sains.
Mungkin itu efek dari kepercayaan diri yang naik, atau semacam
euforia, di kalangan saintis karena di masa pandemi ini orang betul-
betul menaruh kepercayaan dan harapan kepada sains. Mungkin juga
itu sekadar percakapan menunggu waktu buka puasa. Namun, serius
atau tidak serius ajakan itu, ketika seseorang yang dianggap pemikir
dihadirkan dalam diskusi, ia tentu dihadirkan tidak untuk
menyodorkan falasi.
***
19
Para filsuf dan pemikir dan saintis generasi awal adalah orang-
orang yang sering menjadi korban, sebab berpikir adalah tindakan
yang membahayakan iman dan bisa menyesatkan orang banyak dan
begitu pula temuan-temuan sains.
Tetapi sains tak bisa dibendung, bahkan oleh iman yang gemar
menghukum. Para saintis terus memproduksi informasi baru, dan
banyak informasi yang mereka sampaikan telah menggugurkan
informasi-informasi agama dan juga spekulasi filsafat. Apa boleh
buat, itu tak terhindarkan. Agama adalah sistem tertutup yang
informasi-informasinya tidak bisa direvisi.
20
berusaha menegakkan dirinya sendiri. Keduanya, baik agama maupun
filsafat, sama-sama berupaya membangun monumen masing-masing.
Bedanya, agama menyampaikan informasi-informasi yang sangat
mudah dicerna dan menyandarkan kebenarannya pada iman para
pemeluk, sementara filsafat menyodorkan informasi yang rumit dan
membuktikan kebenaran falsafinya dengan penalaran yang ketat.
21
Goethe benar dengan perumpamaan itu. Pemujaan terhadap batu-
batuan, misalnya, atau ritual menyambut roh nenek moyang yang
datang tiap Rabu malam, atau arak-arakan besar untuk
mengantarkan jenazah mengikuti tradisi kuno —Anda bisa
menambahkan contoh lain sampai tak terhingga— adalah perbuatan-
perbuatan yang puitik. Para penggemar fotografi akan mendapatkan
gambar-gambar indah dari ritual-ritual semacam itu.
***
22
IV. 31 Mei: Goenawan Mohamad
Saya senang membaca A.S. Laksana menulis sebuah esei untuk saya:
sebuah kritik atas pandangan saya tentang sains. Saya juga senang
membaca dua kesalahannya di situ —plus satu kekurangan yang
penting.
***
Yang pasti: saya tak cocok dengan pemikiran Hegel. Entah dari
Google mana Sulak menemukan informasi bahwa saya “[lebih]
berkhidmat pada Hegel”. Sebab, dalam pelbagai soal, saya seorang
“anti-Hegelian”, meskipun tidak galak.
23
pandang totaliter yang tak memungkinkan yang beda, yang ganjil,
yang tak disangka-sangka.
***
Kesalahan kedua: Sulak mengira saya orang yang percaya bahwa sains
menjanjikan kepastian. Di sini, ia telah sangat salah membaca.
Sebab inilah yang saya tulis dalam Catatan Pinggir (yang juga
dikutip Sulak): “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang
meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan
dan perdebatan“.
24
“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an
adherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the
authority of scientific knowledge; whereas I do not believe in any
authority and have always resisted dogmatism; and I continue to
resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the
scientist must believe in his theory…”
***
25
tak jelas “untuk apa”— makin diberi arti dalam kaitannya dengan,
misalnya, navigasi GPS.
***
26
empiris; ia datang dari Inggris, dari mana empirisme berkumandang
lima abad kemudian.
27
Dengan pandangan itu, menurut Husserl, ilmu-ilmu alam
memproduksi “Geschlossenheit”, kerangka abstraksi yang tertutup
bagi —dan menjauh dari— apa yang konkret dan unik dalam
pengalaman. Dengan sains modern yang dasarnya diletakkan Galileo,
dunia yang tercerap indera diselimuti “jubah idea”, “Ideenkleid”, dan
diberi makna baru. Keberhasilan perspektif ilmiah modern ini
dahsyat, dan telah mengubah bukan saja pengetahuan manusia
tentang dunia, tapi juga manusia sebagai subjek yang mengetahui.
Bahkan mengubah arti rasionalitas itu sendiri.
28
Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas
sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih
dahulu diposisikan dalam kerangka. Jika Husserl menyebut
“Geschlossenheit”, Heidegger memperkenalkan istilahnya yang lebih
beredar, “Gestell”. Sains “membaca” realitas dalam bentuk sudah
dalam pigura, dan dengan itulah ia menangkap dan mengendalikan
realitas. Menangkap dan mengendalikan itu penting: dalam tatapan
sains, dunia hadir sebagai reservoir, bahan yang dicadangkan untuk
sewaktu-waktu dipergunakan —yang menunjukkan, seperti
disinggung Heidegger— hubungan asali antara sains dan teknologi.
Dunia, tentu saja, tidak sekadar yang ada dalam ukuran itu.
Sayangnya, para ilmuwan sering tak sadar akan itu. Gaston
Bachelard, yang bertentangan dengan Heidegger dalam pandangannya
tentang sains, mengakui: “Para saintis lebih meyakini realisme
pengukurannya ketimbang kenyataan objeknya.”
“We are told that by its aid the stars are weighed and the billions of
molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental
weapons to grasp it.” — Alfred North Whitehead, dalam “An
Introduction to Mathematics”.
29
***
Tapi untuk menghormati kawan debat, baiklah kita terima dulu saja
tuduhan terhadap sains, tuduhan tua yang tak mampu memperbarui
diri, dan yang yakin bahwa sains tak sanggup berproses mengoreksi
dan melampaui diri. Sesekali mengalah bolehlah. Katakanlah sains
memang pongah dan gemar mengagulkan diri. Terus kenapa? Dosa?
Kembali kita bisa belajar dari sport, khususnya dari tokoh yang
diberi gelar "Sportsman of the Century" (Sports Illustrated) dan
"Sports Personality of the Century" (BBC poll): Muhammad Ali.
Ali yang besar mulut itu memang menyebut dirinya "petinju yang
paling ilmiah" di arena laga. Prestasinya yang tak tertandingi oleh
petinju lain, bahkan oleh atlet manapun di abad ke-20 itu tentu saja
dahsyat, tapi akan tampak jomplang jika dibandingkan dengan
prestasi sains. Tidak sekelaslah. Tapi karena itu, kalimat-kalimat
30
pongah dan mengagulkan diri yang dilontarkan Ali, akan cukup
pantas jika dipinjam sebentar oleh sains, untuk main-main saja.
Misalnya:
“If you even dream of beating me you'd better wake up and apologize.”
"I’m not the greatest. I’m the double greatest. Not only do I knock
‘em out, I pick the round. I’m the boldest, the prettiest, the most
superior, most scientific, most skillfullest fighter in the ring
today.”
Kalimat-kalimat Ali ini jelas luar biasa pongah, namun bisa terasa
menghibur, karena mengandung kejujuran yang brutal tanpa tedeng
aling-aling. Ali memang pongah, tapi ia bukan pembual. Selain
baris-baris yang bisa dituduh gemar mengagulkan diri, Ali juga
dicatat meninggalkan kalimat ini:
"Only a man who knows what it is like to be defeated can reach down
to the bottom of his soul and come up with the extra ounce of power
it takes to win when the match is even."
https://www.usatoday.com/…/muhammad-ali-best-quot…/85370850/
Seperti Ali, sains juga bisa mencicipi rasa "kalah". Pandemi Sars-
COV-2 atau COVID-19 itu membuat kedudukan sains kalah sementara.
Tapi, seperti Ali yang tak gentar mempertahankan pendiriannya,
para saintis pun akan terus berusaha "merogoh dasar jiwanya". Dan
seperti halnya perjuangan Ali serta para atlet tulen lain,
perjuangan sains juga bisa menunjukkan "the beauty and the
universal celebration of human spirit."
31
VI. 1 Juni: Ulil Abshar Abdalla
Buku ini telah menyihir saya pada saat saya baru berumur sekitar 19
tahun. Manifesto ini telah mengilhami ribuan belia Muslim di
seluruh dunia, mendorong mereka menjadi fundamentalis-radikal
dan terperosok dalam gejala takfir (mudah mengafirkan orang lain).
32
Setelah membaca buku ini, selama beberapa saat saya sempat
tenggelam dalam semacam "pengalaman mabuk". Dalam periode
"mabuk" inilah saya pernah berpikir dengan amat pongah bahwa
semua orang di sekitar saya adalah "jahiliyyah", berada dalam
kegelapan akidah. Sayalah satu-satunya orang yang "ngekepi"
(memeluk) akidah paling benar. Untungnya, saya hanya "merasa" saja,
dan tidak pernah mengutarakannya secara lisan.
Saat tersihir oleh ide-ide Qutb, saya sebetulnya sedang "lupa". Tak
lama berselang, saya mulai merasakan hal yang aneh pada gagasan
Qutb. Saya merasa, jika diterus-teruskan, pandangan Qutbian ini
bisa membawa saya kepada sikap hidup yang "totaliter", mutlak-
mutlakan.
33
buku-bukunya Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Stephen Hawking,
Carl Sagan, Richard Feynman, Steven Weinberg, E. O. Wilson, Steven
Pinker, Peter Atkins, Victor Stenger, dan masih banyak yang lain
lagi.
Ya, saya hanya mabuk sebentar saja. Saya disadarkan kembali setelah
mulai merasakan keanehan di kalangan para pendukung sains ini.
Mereka memiliki watak-watak yang agak mirip dengan para penganut
Qutbiisme-religius -- pongah, dan merasa dirinya secara moral
berada di ketinggian, mengatasi orang-orang lain; self-
righteousness.
34
"Occupied by their own concerns, a great many men and women have
a dull, hurt, angry sense of being oppressed by the sciences. They
are frustrated by endless SCIENTIFIC BOASTING (huruf besar dari
saya, UAA). They suspect that as an istitution, the scientific
community holds them in contempt. They feel no little distaste for
those speaking in its name. They are right to feel this way. I have
written this book for them."
Pada sisi lain, saya juga memiliki kejengkelan yang tak kalah
mendalam terhadap kepongahan sekuler yang saya lihat pada
fenomena "saintisme" --sebuah cara pandang yang melihat sains
sebagai satu-satunya penjelas yang tepat terhadap Kehidupan
dengan "k" besar. Sementara yang lain, terutama agama, adalah
takhayul dan khurafat yang merupakan sisa-sisa dari masa kanak-
kanak manusia.
35
saya tumbuh; kecuali jika "diprovokasi" secara tidak proporsional
oleh pihak lain: apa boleh buat.
36
"Pretense" seperti inilah yang dikritik oleh para sarjana seperti al-
Ghazali, Berlinski, atau John Lennox (seorang matematikawan dari
Universitas Oxford yang menulis buku berjudul "God's Undertaker:
Has Science Buried God?"). Yang dikritik oleh orang-orang seperti
al-Ghazali bukanlah filsafat atau sains per se, melainkan "asumsi-
asumsi ideologis" yang bersembunyi di balik otoritas sains.
Saya tetap mengagumi sains. Di mata saya, sains adalah salah satu
(bukan satu-satunya!) bentuk pengetahuan manusia yang
dianugerahkan oleh Tuhan untuk kemaslahatan mereka. Yang tidak
saya kagumi adalah saintisme dan "kepongahan saintifik", atau
kepongahan-kepongahan lainnya.
Sekian.
37
menganut penjelasan itu. Bahwa kehidupan berasal dari evolusi
organisme sederhana, kemudian berevolusi menjadi makhluk yang
lebih kompleks, lalu terus berevolusi menjadi berbagai spesies,
termasuk spesies homo sapiens, yaitu kita ini.
Sains tidak pongah, karena mengaku pada hal-hal yang dia belum
tahu, seperti soal bagaimana senyawa organik menjadi organisme
tadi. Tapi sains tidak berbagi kebenaran, khususnya dengan agama.
Agama punya teorinya sendiri soal bagaimana munculnya makhluk-
makhluk itu. Yaitu diciptakan oleh Tuhan.
38
Yang repot merujuk ke sains adalah kaum agamawan. Tadinya mereka
percaya bahwa alam semesta diciptakan secara instan oleh Tuhan.
Lalu mereka beralih ke pandangan bahwa ada proses dalam
penciptaan itu, karena sains menunjukkan adanya proses. Konyolnya,
ada yang menerima dan memakai teori sains sebagian, tapi menolak
sebagian yang lain, yaitu teori evolusi tadi.
Bagi sains, sejauh yang saya tahu, hanya ada kehidupan, tidak ada
Kehidupan. Saya mencoba menafsir Kehidupan itu adalah berbagai
dimensi non-jasadi, atau dunia pasca dunia fisik, yang dijelaskan
oleh agama. Orang beragama boleh yakin soal itu, sains tidak
keberatan. Tapi sekali lagi, sains tidak peduli.
Kalau bagi Ulil ada ruang kompromi di mana sains dan agama bisa
cocok dan rukun, saya ingin tahu dalam hal apa yang dia maksud.
Kalau ada ruang di mana sains mau berbagi kebenaran dengan agama,
saya ingin tahu.
39
VIII. 2 Juni: Taufiqurrohman
***
Benarkah? Tidak!
40
GM mencomot separuh paragraf dari kuliah Popper yang berjudul
“Knowledge and the Shaping of Reality: The Search for a Better
World”:
41
yang berbeda: positivisme logis mengajukan kriteria keterbuktikan
(verifiability); sementara Popper mengajukan kriteria
keterbantahan (falsifiabilty).
Itu kekeliruan pertama GM. Hal kedua yang membuat esai GM itu
kurang berdasar adalah saat ia membuat proposisi implikatif:
“Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong
“mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-
panjang melakukan riset”.
42
antara sains sebagai panglima dengan sains yang mencari kepastian.
Sebab, semakin ia tidak pasti—dalam arti: terus memperbaiki diri—
maka sains semakin layak kita percayai.
Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai “krisis sains” di situ
bukanlah krisis epistemologis yang terjadi pada sains itu sendiri,
melainkan krisis kemanusiaan yang—kata Husserl—disebabkan oleh
sains yang bekerja dengan fondasi matematika. Sains menjadi jauh
dari dunia yang konkret, dunia yang kita hidupi bersama. Di situ
sains menjadi sesuatu yang nirmanusia.
43
(enframing). Pembingkaian inilah, kata Heidegger, yang menjadi
esensi dari teknologi. Namun, pertanyaannya: memangnya ada jenis
pengetahuan lain yang tidak membingkai atau—dalam istilah GM—
“mereduksi” objeknya? Menghadapi pertanyaan ini, Heidegger di fase
akhir pemikirannya kemudian melirik puisi. Di situlah kritik
Heidegger terhadap sains pada akhirnya tidak menghasilkan apa-
apa, selain hanya kata-kata penuh metafora.
***
Tulisan panjang Ulil, yang banyak menyebut nama ilmuwan dan filsuf
(alias: name-dropping), sebenarnya hanya punya satu poin bahwa ia
tidak suka dengan saintisme yang ia definisikan sebagai “pandangan
yang melihat sains modern—terutama sains dalam pengertian ilmu-
ilmu kealaman—sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan
manusia yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar
pengetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris”.
Selebihnya adalah otobiografi intelektual Ulil sendiri.
44
poin utama tesis saintisme yang muncul di tengah gerakan
Pencerahan Prancis abad ke-18. Di dalam tesis ini, sama sekali tidak
ada kepongahan seperti yang dituduhkan oleh Ulil; saintisme justru
merupakan antitesis dari sikap keras kepala. Ilmuwan harus selalu
tunduk pada bukti-bukti empiris yang ditemuinya, bukan pada
keyakinan personal atau bahkan teori yang telah dirumuskannya.
45
***
46
orang-orang yang berbeda dari orang kebanyakan. Mereka
mengamati, berpikir, dan membuat kesimpulan. Sayangnya, mereka
tidak melakukan pengukuran. Akibatnya, banyak kesimpulan mereka
yang salah.
Betul bahwa sains diinisiasi oleh filsuf. Betul pula bahwa sains
modern berpijak di atas pencapaian yang dibuat oleh para ilmuwan
muslim. Tapi semua itu sudah berlalu. Itu tinggal sejarah saja.
47
Tuhan yang dipercayai melalui agama-agama itu bukan Tuhan yang
menciptakan dan mengatur alam semesta ini.
Orang lain yang juga disorot adalah Sam Harris. Harris melakukan
sejumlah eksperimen yang menunjukkan bahwa gagasan soal agama
dan Tuhan, ritual-ritual, adalah hasil kerja otak belaka. Artinya,
gagasan tentang Tuhan adalah produk pikiran manusia belaka.
Temuan-temuan Harris ini sudah banyak dibantah.
Tapi sejauh yang saya tahu bantahan itu tidak spesifik mengatakan
bahwa gagasan tentang Tuhan tidak berasal dari otak. Yang dibantah
adalah klaim bahwa di otak ada spot khusus yang berperan mengolah
gagasan tentang Tuhan. Riset mutakhir menunjukkan bahwa gagasan
tentang Tuhan bisa diproses di bagian yang sama dalam otak dengan
gagasan tentang sains.
Orang tak suka dengan kesimpulan bahwa gagasan tetang Tuhan itu
diproduksi otak. Mereka percaya bahwa gagasan tentang Tuhan
dibisikkan atau disampaikan oleh Tuhan sendiri kepada manusia,
khususnya melalui orang-orang suci. Ya monggo sih. Silakan
buktikan bahwa pengetahuan itu berasal dari Tuhan. Gimana cara
membuktikannya?
TANPA JUDUL
48
Di kamus Oxford, definisinya menjadi semakin sempit lagi menjadi “a
person who studies one or more of the natural sciences (for example,
physics, chemistry, and biology)”. Kamus Cambridge pun setali tiga
uang.
Adapun soal Richard Dawkins yang katanya pongah itu, aha, saya
belum berani berpendapat panjang lebar sebab saya belum baca
bukunya The God Delusion. Saya baru punya The Greatest Show on
Earth (Pertunjukan Paling Agung di Bumi) dan enak banget membaca
gagasannya di buku itu.
49
Kemudian mereka dirayakan penuh romantisme di zaman ini. Iya,
dirayakan doang.
Di satu titik, teman saya benar, di dunia yang fana ini ada orang-
orang yang entah dengan alasan apa menjadikan sains sebagai agama.
Tapi namanya bukan scientist, melainkan scientolog. Agamanya
disebut scientology.
50
mendefinisikan, dan menilai. Tentu saja, GM tidak secara ketat
melakukan langkah-langkah itu dalam tulisannya. Namun, yang
pasti, GM meletakan sains sebagai objek; persis seperti ia
menggunakan Karl Popper untuk membela sikap skeptisnya terhadap
sains.
51
Laksana dalam kerangka kasus aktual, GM malah menyebut
pernyataan-pernyataan A.S. Laksana sebagai usang sembari
menegakan posisionalitasnya sendiri.
52
kita akan menemukan pengabaian keputusan etik dan pilihan-pilihan
politis yang memerosokan kita ke dalam kekejian. Saya khawatir,
pengabaian GM terhadap pandemi terjadi karena pengambilan posisi
yang demikian.
53
(realitas selalu berubah) mendapat antitesis Permenides (realitas
abadi, tak pernah berubah), dan Plato men-sintesis: yang berubah
cuma realitas fisik, realitas ide tidak berubah.
Diskusi soal tema besar bIsa didekati dengan dua cara, dengan
merujuk dan menelaah gagasan-gagasan sebagai rangkaian
compendium pemikiran yang saling menegasi, melengkapi, dan
memperkuat. Atau memilih paradigma spesifik yang selaras dengan
cara berpikir kita dalam membidik persoalan. Mengangkat tesis atau
persoalan baru, sebagai metode dialektis untuk memancing
pemikiran, meskipun menggunakan paradigma lama.
54
mengenal kritik atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran
modern; (4) Sains hanya diwakili ilmu alam, atau ilmu riset
kuantifikasi.
Sejumlah poin gugatan pada dunia sains yang cukup menohok. Narasi
GM mengajak kita untuk kembali menyoal basis paradigma sains, yang
pernah dipertanyakan para pemikir besar pada zamannya. Namun di
tahun 2020, sains terbukti terus berkembang pesat dan membuat
berbagai penemuan baru dan membuka pemahaman baru. Wacana yang
dipaparkan GM menyoal sains terasa bernuansa nostalgik, kalau
bukan anakronistik.
Kepastian Sains
55
Progres yang tak bisa dihentikan untuk memahami bagaimana dunia
bekerja, dengan terus meningkatkan akurasi dan validitasnya.
Siapapun yang memiliki aspirasi untuk selalu well-informed perlu
mengetahui bukan hanya temuan-temuan sains yang penting, namun
juga pada esensi paradigma sains.
56
Sejak penemuan itu, sedikit demi sedikit “dunia virus” mulai
terungkap. Dunia mikroba baru, yang sebelumnya sama sekali tidak
diketahui.
Setelah “berkenalan” dengan virus lebih dari 100 tahun, hingga saat
ini saintis belum sepenuhnya mampu memahami dengan pasti
organisme ini. Bukan cuma karena ukurannya sangat kecil, namun
juga karena keanekaragamannya. Virus dengan cepat mampu
bermutasi menjadi jenis baru. Yang sejauh ini diketahui,
penyebabnya COVID-19 adalah virus baru dari keluarga virus Corona.
Keluarga virus ini memicu wabah SARS (Severe acute respiratory
syndrome) di 29 negara, pada 2002-2003. Virus ini dinamai SARS-
CoV-1, sementara COVID-19 diamai virus SARS-CoV-2. Sumber asal
virus diperkirakan sama, dari kelelawar. Virus biang keladi COVID-
19 sudah diidentifikasi, namun masih perlu waktu untuk bisa
mengatasinya.
57
Karl Popper dalam risalahnya “Conjectures and Refutations”
mengulas problem yang membedakan sains dan pseudo-sains.
Memilah astronomi dengan astrologi; membedakan teori evolusi
dengan kreasionisme (intelligent design); atau ilmu alam dengan
ilmu sosial (humaniora). Melalui penerapan prinsip falsifikasi,
Popper membuat garis demarkasi yang jelas antara yang sains dengan
yang bukan.
Popper bukan cuma sepakat dengan Hume dalam soal kritik atas
logika induktif, namun menjabarkan dalam metode falsifikasi untuk
menolak “kepastian” semu.
58
tentatif dan aproksimatif. Satu teori sains diamini karena
pemaparannya lebih baik dan lebih akurat. Teori gravitasi Newton
yang selama 200 tahun dianggap "kebenaran", kemudian terbukti
tidak cukup akurat dalam memprediksi revolusi planet Merkuri
mengelilingi matahari.
Pencarian Kebenaran
59
Menafsirkan realitas ontologis adalah upaya mencari makna hidup.
Pencarian makna lazimnya adalah wilayah agama, spiritualitas, atau
filsafat. Sains tidak menyentuh pemaknaan, karena abstrak.
Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah “apa makna kehidupan”,
melainkan “bagaimana membuat hidup lebih bermakna”. Makna hidup
pada akhirnya harus dihadapkan atau didamaikan dengan “hal-hal
yang tidak menyenangkan” dengan dunia. Misalnya soal penderitaan,
ketidak-adilan, kejahatan, termasuk pandemi.
60
Sains perlu disiarkan sebagai pegangan hidup, karena tidak seperti
ideologi, politik, atau keyakinan, yang sering memecah-belah, sains
menyatukan manusia. Untuk pertama kali dalam sejarah peradaban,
manusia bisa bersatu dalam satu metode, satu pemikiran bersama,
mengabaikan latar belakang kultural dan identitas.
***
61
pengetahuan saintifik, tanpa merasa ada gangguan apapun pada
imannya. Lalu di mana letak pertentangannya?
Andaikan Einstein katakan bahwa agama tidak perlu ada, karena sains
adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka ia tentu salah.
Sebaliknya, jika agama katakan bahwa sains tidak perlu, karena doa
adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka agama tentu
salah.
62
Jadi, pertentangannya bukan antara sains dan agama, namun antara
klaim pemeluk agama yang rasional, dengan klaim pemeluk agama
yang buta terhadap rasionalitas dan penemuan sains. Atau di kutub
lain, pertentangannya ialah antara klaim ilmuwan yang beriman,
melawan klaim ilmuwan yang tidak pentingkan soal iman.
Dalam tradisi Katolik, salah satu teori utama hukum kodrat ialah
bahwa manusia dari kodratnya berakal budi, dan karenanya mesti
dituntun oleh akal budinya. Dengan ini, selain pelbagai metode
rasional yang berhubungan dengan filsafat dan teologi, metode ilmu
empiris juga sebenarnya mulai dikembangkan di Eropa dalam
universitas sejak St. Albert Magnus.
Mengapa?
63
Peredaran Benda Langit) yang berisi teori “heliosentrisme”: bahwa
bumi berputar mengelilingi matahari.
Pengaruh St. Agustinus tampaknya masih kuat saat itu: “Orang tidak
membaca bahwa dalam Kitab Suci terkandung perkataan Tuhan: ’Aku
akan mengirimkan engkau Penolong yang mengajarkan gerakan
matahari dan bulan”. Atau St. Ambrosius, misalnya, menulis:
“Mendiskusikan kodrat dan posisi bumi tidak menolong kita akan
harapan pada hidup abadi”.
64
ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan menunjukkan
bagaimana langit [planet, bintang-bintang dan galaksi] bekerja”.
Pada tahun 1611, para Jesuit Roma membuat upacara khusus sehari
untuk menghormati Galileo. Manakala seorang rahib Dominikan pada
tahun 1614 mengkritik Galileo dari mimbar kotbah, pimpinan Ordo
Dominikan menegur keras secara resmi dan memaksanya meminta
maaf terhadap Galileo di hadapan hampir setengah anggota Ordo.
Padahal, ada juga hal kemudian terbukti bahwa Galileo salah, seperti
soal jarak komet dalam debatnya selama kurang lebih 5 tahun dengan
imam dan astronom Jesuit Orazio Grassi (1583-1654).
65
sikap sekaligus klaim-klaim Galileo. Siapa yang mesti bertindak
sebagai penyelidik dan hakim?
Kedua, saat Galileo bertemu dengan Paus Urbanus VIII pada tahun
1623, Paus yang adalah sahabat lamanya menerimanya dan
mengizinkannya menulis terus menulis tentang teori
heliosentrisme, namun bukan untuk membelanya mati-matian atau
mempertahankannya sebagai kebenaran (karena seperti kita lihat,
teori ini tidak bisa dibuktikan Galileo atau siapapun saat itu dengan
alat yang masih terbatas), namun sebagai sebentuk sumbangan bagi
masyarakat ilmiah, dengan argumentasi positif atau negatif.
Namun, ketiga, dan ini kiranya jadi soal utama: bahwa Galileo
menganggap dirinya adalah seorang religius, di mana penemuan
teleskopnya mesti mengubah penafsiran Kitab Suci.
66
metode ilmu empirisnya, namun klaim otoritasnya yang menganggap
bahwa sebagai ahli astronomi, ia juga punya otoritas terhadap soal
iman. Dengan pamflet-pamfletnya, ia menantang diadakan debat
teologis.
Jadi, yang tampak di sini, sebenarnya bukan bahwa Gereja anti ilmu
pengetahuan, namun pertama, justru karena Gereja sangat
menghargai sains dan ingin mempertahankan sains otoritatif pada
masanya, yaitu sains Aristoteles dan Ptolomeus, maka Gereja merasa
perlu menolak teori baru yang dirasa meragukan pada saat itu. Pada
67
dasarnya, sebagaimana ungkapan Kardinal Baronio: ”Maksud Roh
Kudus ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan
menunjukkan bagaimana langit [bintang-bintang dan galaksi]
bekerja”.
68
masyarakat ilmiah sudah mempunyai alat yang canggih untuk
membuktikan kebenaran teori Galileo, namun pada masa itu hal
ikhwal belumlah jelas. Apalagi ia memasuki soal iman, yang kiranya
menimbulkan antipati para pengujinya. Pelbagai keangkuhan
bertemu, dan soal pun jadi kompleks.
Namun, pada masa itu, orang tidak dapat melihat paralaks bintang
dari bumi (karena pada masanya orang belum paham bahwa jarak
bintang sedemikian jauh dan susah diamati dengan peralatan di masa
69
itu), sehingga teori heliosentrisme dianggap meragukan (pelbagai
detail yang lebih tepat, bisa lihat secara khusus “stellar parallax”).
Sebaliknya, kesimpulan bahwa kita tidak bisa melihat paralaks
bintang ini terasa sangat meyakinkan di masa itu, sementara Galileo
juga tidak punya dasar kepastian tentang teorinya sendiri, karena
alat teleskop untuk membuktikannya belum memadai.
Dengan ini, bahwa Galileo benar dalam kesimpulan akhir tentu jelas
dengan sendirinya, namun bahwa Gereja anti sains adalah propaganda
belaka, karena Galileo tidak pernah mampu membuktikannya, dan
Gereja justru punya niat baik menyelamatkan sains yang dianggap
paling otoritatif pada masanya. Selain itu, pengucilan ini tidak
berhubungan dengan doktrin infalibilitas, karena tidak terjadi atas
nama Gereja Universal; artinya secara resmi “Ex Cathedra”, namun
tanggapan Gereja belaka atas sikap masyarakat ilmiah dan lembaga
inkuisisi, yang kemudian direalisasikan Gereja sebagai kekuasaan
sipil saat itu, dalam situasi yang kacau.
70
Meminta maaf dalam kasus Galileo, sangat berbeda konteksnya
dengan narasi Gereja telah bersalah terhadap sains dan mesti
dianggap sebagai musuh sains.
Peace.
TANPA JUDUL
71
Semalam Kangmas Sulak menelepon, mengajak saya untuk nyebur
dalam diskusi dengan Mbah Goen yang dipantik esai tanggapan
terhadap sampaian Mbah Goen dalam webinar “Berkhidmat kepada
Sains”. Sebelumnya, beberapa orang juga menyenggol saya untuk
menanggapi diskusi publik itu. Ke Mas Sulak saya katakan, fisik saya
tak memungkinkan untuk turut dalam "perang esai" tsb.
72
4. Jika dalam "menyelamatkan orang sengsara" itu adalah sains
sebagai pragmatik, terus Mbah Goen itu menolak apa dong?
Benarkah demikian?
Sekali lagi: penjelasan paling valid dan paling objektif bagi segala
hal yang ada. Boleh juga dikatakan, saintisme ialah paham yang
menyatakan bahwa sains adalah Kebenaran itu sendiri (dengan “K”
kapital) dengan cakupan total pada segala yang ada. Redaksi dari
definisi-definisi yang diajukan boleh jadi berbeda, tapi acuan
maknanya pada esensinya sama.
73
Dengan makna ini, tidak ada yang peyoratif sama sekali, karena ia
mengacu secara deskriptif pada suatu ideologi. Buku-buku dan
artikel-artikel jurnal ilmiah sudah ditulis untuk mengritik
saintisme, bukan saja oleh para teolog, melainkan juga kalangan dari
latar belakang filsafat bahkan tak sedikit dari para praktisi sains
itu sendiri. (Misal, jika mau baca artikel untuk pembaca populer, ini
tulisan panjang dari profesor biologi: "The Folly of Scientism"
https://www.thenewatlantis.com/publications/the-folly-of-
scientism)
74
Dengan tiga gambaran itu, dari sekian banyak contoh lain yang biasa
muncul dari kelompok neo-ateis, penggunaan kata “saintisme” tepat
menyasar posisi filosofis yang hendak diacu. Tidak ada yang
peyoratif dalam hal ini.
Bila hendak diperas dalam dua paragraf singkat apa kritik utama
pada saintisme, sesungguhnya tidak benar-benar sulit. Sains
tidaklah bisa mendaku sebagai kebenaran itu sendiri sebab
kebenaran sains bertumpu pada kebenaran lain, yakni keyakinan
metafisis yang harus diasumsikan benar agar sains bisa bekerja—
yang pernah saya tulis di postingan lama Fesbuk saya. Di antara
contoh keyakinan metafisis itu ialah: bahwa hukum logika dan
matematis benar (kebenaran koherensial); pikiran bisa tepat
merefleksikan dunia eksternal (kebenaran korespondensial);
kausalitas riil adanya; induksi valid sebagai metode; dan
seterusnya.
75
of-the-gaps”. Sebenarnya dengan nalar saintisme, kita juga bisa
memakai frasa “philosophy-of-the-gaps” untuk ranah kajian
filsafat yang belum bisa dijelaskan sains.
***
Boleh jadi ada yang keberatan, bahwa saintisme yang demikian itu
bukan satu-satunya definisi. Saintisme dalam penggunaan awalnya
berarti “sikap ilmiah” (scientific attitude), untuk membedakannya
dari dogma.
Keberatan ini bagi saya terasa trivial. Jika demikian yang dimaksud,
maka itu bukanlah makna yang diacu dalam penggunaan dan kritik
terhadap “saintisme” dalam wacana agama-dan-sains setengah abad
mutakhir. (Kasih tahu saya ya jika Anda menemukan dalam wacana
agama-dan-sains ada kritik terhadap saintisme dengan acuan makna
“sikap ilmiah”.)
76
padanan yang pas dengan makna ini. Di zaman pra-modern, khususnya
dalam kurikulum Aristotelian, kata “sains” yang diacu saat ini
bernama “natural philosophy” (ini frasa yang dipakai Isaac Newton
dalam Principia Mathematica); dan kata “natural philosophy”
dipakai untuk membedakannya dari “moral philosophy” (yang
mencakup politik, ekonomi, dan etika).
77
kalimat kemudian: “…katakanlah sains memang pongah dan gemar
mengagulkan diri. Terus kenapa?”
Pertama, karena saya tak pernah dengar ada yang menuduh sains
demikian.
Saya lebih baik di sini bicara soal “scientism”, yakni sikap (ada yang
menganggapnya ideologi) yang menjunjung sains tinggi banget,
katakanlah, setinggi 10 x Monas.
***
Dalam tanggapan saya buat tulisan A.S. Laksana beberapa hari yang
lalu — yang juga saya pasang di sini — saya kutip Karl Popper yang
mengatakan bahwa saintisme “secara dogmatis menekankan otoritas
pengetahuan ilmiah”.
Karena saya anggap dalam hal ini Popper kurang terang dan tajam,
akan saya pinjam penjelasan Ian Hutchinson, seorang fisikiawan yang
mengajar sains nuklir di MIT.
78
Saintisme, kata Hutchinson dalam “Monopolizing Knowledge” (2011),
menganggap sains — artinya ilmu-ilmu alam modern, pewaris
revolusi ilmu yang bermula sejak abad ke-16 —sebagai satu-satunya
sumber “pengetahuan yang sebenarnya”. Kata kunci: “satu-satunya”.
Dengan kata lain, jika “tidak ilmiah” itu artinya tidak mengikuti
prosedur ilmu-ilmu alam modern dengan kekuatan kuantifikasinya
— yang menurut Husserl dimulai Galileo di abad ke-7 — tak berarti
itu pengetahuan yang keliru, kuno, dan dianggap sudah (pantas) mati.
Atau hanya pandangan berdasarkan suka dan tak suka secara pribadi.
Lebih tegas lagi kita temukan dalam pembukaan buku “The Grand
Design” yang tersohor yang disusun Stephen Hawking dan Leonard
Mlodinow. Di situ dikatakan “filsafat sudah mati” dan pertanyaan
dasar seperti tentang “kodrat realitas” sudah diambil alih untuk
dijawab sains, terutama ilmu fisika.
Ini bisa dianggap kepongahan Hawking, tapi karena saya tak ingin
membahas budi pekerti, lebih baik saya katakan pernyataan itu tak
menyelesaikan pertanyaan yang lebih dasar.
79
menjawab: “The universe is comprehensible because it is governed
by scientific laws; that is to say, its behavior can be modeled.”
Yang tak ditanyakan lagi oleh dua orang piawai itu: mengapa alam
semesta kita kok diatur oleh hukum-hukum sains, “governed by
scientific laws.” Itu pertanyaan Einstein yang tersirat dalam
paradoks yang dikemukakannya. Itu pertanyaan filsafat yang belum
mati.
80
Di program itu, Mehdi Hasan memang sedang mengajak Dawkins
berdebat soal apa yang dikemukakannya di bukunya yang sangat
kontroversial, The God Delusion. Buku ini ditulis dengan semangat
membara seorang ateis garis keras yang mencoba menyadarkan
orang-orang bahwa beragama itu nonsens, bahwa agama tidak layak
dianut apalagi dibela dan diperjuangkan.
Ada juga versi film dokumenter dari buku ini, dengan semangat yang
kurang-lebih sama. Intinya, di The God Delusion Dawkins
memaparkan bahwa ada terlalu banyak hal tak masuk akal di dalam
agama dan sebagai seseorang yang hidup di era modern ia tak habis
pikir orang-orang mau-mau saja membiarkan diri mereka dikekang
olehnya, bahkan tenggelam di dalamnya. Di kata pengantar buku ini,
dengan penuh percaya diri, Dawkins mengatakan bahwa jika
seseorang membaca buku tersebut dengan baik ia pastilah akan
menanggalkan dan meninggalkan agamanya dan menjadi ateis.
81
bahwa benar atau tidaknya sesuatu, bahwa ada atau tidaknya sesuatu,
harus bisa dibuktikan secara empiris, sesuai dengan rasionalitas
horisontal tadi. Jawaban Dawkins, di luar dugaan, adalah iya. Ia
mengaku bahwa ia akan menerima keberadaan Tuhan apabila suatu
saat nanti Tuhan bisa dialaminya secara empiris.
82
Tapi jangan salah, hal-hal abstrak dan tak kasatmata yang
merupakan bagian dari berkembangnya peradaban banyak juga yang
dipengaruhi oleh sains, seperti kesadaran gender, kesadaran
ekologis, dan kesadaran sosial.
83
Kenapa begitu?
Dan masih ada banyak situasi lainnya. Intinya, kita tidak bisa begitu
saja mengatakan bahwa sains mengungguli agama atau sebaliknya,
apalagi jika keunggulan di sini adalah keunggulan yang sifatnya
absolut. Setiap keunggulan selalu memiliki konteks, dan konteks
inilah yang harus kita lihat dan cermati. Orang-orang yang
mengatakan bahwa sains sudah pasti mengungguli agama sama
kelirunya dengan orang-orang yang mengatakan bahwa agama jelas-
jelas mengungguli sains. Mereka sama-sama tenggelam di dalam
arogansinya yang toksik dan menjijikkan.
84
kedokteran di Amerika Serikat pada zaman dulu masih sangat
diracuni oleh rasialisme yang menargetkan orang-orang kulit
hitam; dan sebuah sekolah kedokteran terkemuka di Jepang hingga
beberapa tahun silam masih sangat dikotori oleh seksime.
86
marah: kenapa ajaran Tuhan yang dimaksudkan untuk menegakkan
kehidupan yang damai di bumi, justru menimbulkan perang yang
berdarah-darah?
Mari kita telaah, kenapa tidak ada perang karena perbedaan pendapat
dalam sains. Tanpa meneliti lebih saksama hal ini, kita bisa tertipu
oleh "argumen retoris" para pendukung sains itu.
Baik sains dan agama, secara ontologis atau wujudiah, masuk dalam
wilayah yang sama: keduanya adalah bagian dari aktivitas mental
manusia, meskipun dasar-dasar legitimasinya beda; agama
bersumber dari wahyu, sains dari observasi atas data-data empiris.
Tetapi keduanya jelas berbeda secara mendasar dari segi berikut ini:
agama masuk dalam apa yang oleh teolog Lutheran Paul Tillich
disebut sebagai "the ultimate concern", hal yang begitu mendalam
mempengaruhi "psyche", jiwa, dan emosi manusia karena menyangkut
pertanyaan mendasar dalam hidup. Perbedaan dalam hal-hal yang
menyangkut "the ultimate concern" memang rawan menimbulkan
konflik, karena menyangkut emosi yang terdalam pada diri manusia.
87
Seorang saintis memang tidak akan bertengkar hingga berujung pada
konflik fisik karena perbedaan hipotesis atau interpretasi terhadap
suatu data. Tetapi ini tidaklah sesuatu yang khas sains. Betapa
banyak bidang dalam kehidupan manusia di mana perbedaan di sana
tidak berujung pada konflik dan saling mengkafirkan, karena tak
menyangkut "the ultimate concern".
Dua orang Ngawi (ini sekadar contoh saja) tak akan saling
memurtadkan karena salah satunya beranggapan bahwa Soto
Lamongan lebih lezat ketimbang Soto Bangkong. Mereka berbeda,
tetapi tidak akan adu-jotos.
88
berlangsung sejak dekade tahun 1950-an sampai runtuhnya Tembok
Berlin pada 1991. Dalam Perang Dingin ini, dua mazhab sekuler, bukan
agama, saling berseteru: kapitalisme dan komunisme.
89
Konflik ini bisa diatasi, dan karena itu muncul disiplin keilmuan
yang bernama "conflict resolution".
Bedanya hanya satu: dua orang Ngawi itu tidak pongah. Mereka
berbeda soal soto, dan tetap bersahabat, tidak saling mengafirkan.
Tetapi mereka tidak lalu berpikiran bahwa agama, nasionalisme,
demokrasi, dan kapitalisme kalah unggul dibanding soto.
Bahwa soto perlu ada, saya sepakat. Tetapi meremehkan dan mengejek
hal-hal lain di luar soto, seolah-olah yang non-soto adalah non-
sense, itulah sejenis kepongahan.
Sekian.
90
ontologi (Heidegger), tentang realitas yang didekati sains. Kancah
itu tumpang tindih. Tapi mereka terlanjur saling senggol.
Jika ini arena tinju, yang mereka tampilkan belum pertandingan yang
ditunggu. Mereka baru ada di “babak adu mulut” untuk menunjukkan
siapa mereka. ASL tampil antusias pada sains, sementara GM bersikap
hati-hati dengan antusiasme itu. ASL bilang GM memuja atau -
istilah dia - “berkhidmat pada” Hegel, tapi GM membantah dengan
menyatakan dirinya anti-Hegelian.
Untuk itu saya minta izin untuk masuk ke dalam kancah mereka.
Bukan untuk memenangkan, melainkan untuk sekadar memanaskan.
“Panasnya pertarungan,” kata Bob Marley, ”adalah semanis
kemenangan”.
***
91
menjadi dogmatisme baru? Pisau kritis jangan diarahkan hanya
kepada agama, tetapi juga kepada sains.
Dalam hal ini GM sepakat dengan Popper, Heidegger dan – jika mau
lebih afdol semestinya juga – dengan Kuhn dan mungkin juga
Feyerabend. Sains tetap hipotetis dan falsifiable. Bukanlah
keyakinan yang diberikannya kepada sains, melainkan kewaspadaan.
Ada roh pasca-Pencerahan yang hinggap di benaknya.
Yang di sisi kiri berkata: ”Aku sedang mencari jawaban” dan tidak
terlalu dini merasa menemukannya. Yang di kanan tidak tahan dengan
ketidakpastian pencarian, maka sejak subuh berkata: ”Akulah
jawaban”.
Hal-hal yang di kanan itu jelas tidak disukai GM, bukan karena dia
tidak suka jawaban. Dia tidak suka jawaban yang memasung kebebasan
dan menyeragamkan yang majemuk.
Logis juga kalau dia lalu juga waspada terhadap kekuasaan yang
nongkrong di belakang keyakinan itu, entah itu di belakang sains,
agama atau bahkan di belakang filsafat. Sikap ASL lurus saja seperti
bapak positivisme, Auguste Comte yang mengira mitos diusir
filsafat, dan filsafat diatasi sains. Jelas dia menyambut sains
sebagai pembebas, lalu menengok ke masa silam untuk memaklumkan
bahwa “iman yang gemar menghukum” akhirnya digilas sains.
92
Syukur bahwa proyek itu berantakan. Tapi entah kenapa, impian
mereka tidak segera tamat di benak mereka yang antusias pada sains.
Wujud historisnya adalah laboratorium-laboratorium Nazi. Di bawah
sorot mata Joseph Mengele, sang malaikat maut, wanita-wanita
Yahudi Polandia yang disterilisasi tanpa bius hanyalah preparat
risetnya. Tidak lebih. Silau oleh cahaya dingin kebenaran sains,
manusia bisa kehilangan hati nurani dan empatinya.
Filsafat tidak terprivilegi. Dia pun bisa tergoda untuk menepuk dada
dan berujar “Akulah jawaban”. Di saat itu dia berubah menjadi
doktriner yang intimidatif. Rousseau di tangan Robespierre, algojo
Revolusi Prancis, menjelma menjadi doktrin teror. Di bawah
Stalinisme Plato juga bisa mengintimidasi seni dan sastra.
Schopenhauer di tangan Musolini menjadi dogma gerakan. Namun
filsafat itu sendiri tidak ingin “membangun monumen”, seperti
dikira ASL.
93
bagi rezim biopolitis global yang mulai mengawasi tubuh dan
mengobok-obok privasi warga. Berkat sains kita memang lebih siap
menghadapi pandemi ini, tetapi konyol jika bersikap naif terhadap
der Wille zur Macht di balik sains. Sains itu politis, seperti
dicurigai Feyerabend. Politik lebih sering menikung ke labirin dunia
makna daripada bertahan di dunia fakta. Tidak mengherankan jika
sains juga diperumit oleh politik, seperti di saat pandemi ini.
***
Sejak tadi saya gatal untuk menggiring debat masuk lebih dalam.
Entah, apakah ada yang tertarik. Ada tiga persoalan. Pertama, agama
dan sains kerap dihadap-hadapkan. Itu tidak realistis. Sains tidak
dapat melepaskan diri sepenuhnya dari peran agama, sekurangnya
secara historis. Max Weber pernah bertanya, kenapa sains modern
berkembang di Barat dan tidak di India? Karena monoteisme
menyumbang untuk menghadapi alam bukan sebagai hal gaib,
melainkan sebagai materi yang bisa ditangani. Menolak berhala
adalah awal materialisasi alam dalam monoteisme.
94
saja? Konstruksi-konstruksi rasional seperti itu tidak bisa
permanen. Jadi, ya, mengapa harus “berkhidmat kepada” mereka?
Yang ketiga adalah tentang hubungan antara sains dan dunia makna.
Realitas terdiri atas benda dan makna. Sains berhasil mengetahui
benda. Tetapi bisakah makna didekati oleh sains (ilmu alam)?
Bagaimana mungkin dari benda muncul kehidupan, dan dari kehidupan
muncul kesadaran?
Model jawaban ini juga saya bikin sesuai dengan itu, terpecah-pecah;
berbeda dengan tulisan sebelumnya.
Tentang Ragu
Catatan saya:
95
Kayaknya Taufiq benar. Saya bersyukur. Ragu sering jadi awal
filsafat dan ilmu — misalnya “keraguan Descartes”, “Cartesian
doubt”.
***
Catatan saya:
Tentu saya bisa membantah bahwa saya punya “kebiasaan buruk dalam
menulis essay,” dan bahwa saya “cherry-picking” kutipan. Tapi saya
tak anggap perlu membela diri buat satu penilaian yang mirip
adhominem. Saya tak ingin membuat percakapan ini menyimpang —
atau jadi pertandingan tinju tempat kita balas membalas pukulan
norak.
96
Catatan saya:
Saya tak tahu di mana dalam tulisan saya ada kalimat yang
menyatakan “protes kepada sains”. Mungkin Taufiq ketemu tulisan
Goenawan Mohamad yang bukan saya.
Dengan kata lain, tak ada protes saya kepada sains. Dalam jawaban
saya kepada Nirwan Arsuka — orang yang lebih mengenal dunia sains
ketimbang saya — saya bahkan mengatakan: “Saya tak meragukan apa
yang didapat manusia dari sains”.
Catatan saya:
97
Tapi kemudian, terutama di hari-hari ini, sang penjelajah
didudukkan sebagai panglima kebijakan publik dalam pelbagai hal.
Sebagai sang pemimpin, pendapatnya menentukan mana kebijakan
yang benar mana yang keliru. Untuk itu ia mau tak mau di- (ter)-
dorong memproduksi kepastian.
98
Kekuasaan-kekuasaan itu menghendaki target dan hasil yang siap
pakai. Makin dianggap penting satu rencana riset, makin dibutuhkan
ia untuk menentukan nasib bisnis dan kesejahteraan rakyat, makin
dituntut ia untuk menawarkan satu produk yang tak bersifat
provisional.
***
Tentang Husserl
Catatan saya:
99
Itu berarti matematika dan sains matematis, (dalam kiasan yang
disukai Husserl), telah membentuk Ideenkleid, “jubah ide” yang
menutupi apa saja yang kita cerap di dunia-kehidupan — apa saja
yang konkret. Dengan metode induksi yang dipakai sains, semesta dan
segala isinya dihadirkan dalam abstraksi dan formulasi. Sains
menganggap itu gambaran realitas yang ada secara objektif dan
benar.
Dalam penafsiran saya, itu berarti yang tertutup oleh “jubah ide”
dan lain-lain harus ditemui kembali. Artinya kita perlu kembali
berada dalam dunia-kehidupan yang dibangun dari hal-hal yang unik
dan kompleks.
Sebab ada hal lain yang perlu tersingkap. Sains modern tak pernah
mempertanyakan, bagaimana sebenarnya alam semesta, hingga dapat
ditampilkan secara koheren dalam bentuk matematis? Bagaimana
caranya mem-verifikasikan itu?
100
“Apabila kita memahami segalanya tentang matahari, segalanya
tentang atmosfir, dan segalanya tentang rotasi bumi, kita masih
terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari terbenam.”
***
Komentar saya:
101
Seorang psikolog juga harus berada dalam sikap “Gelassenheit”,
ketika ia berhubungan dengan orang yang datang kepadanya karena
hendak melepaskan diri dari situasi kejiwaan tertentu.
Komentar saya:
***
Tentang Saintisme
102
adopting the scientific approach, also called ‘the spirit of science’
and ‘the scientific attitude’.”
Komentar saya:
Hal ini sudah saya uraikan cukup panjang dalam tulisan saya buat
Nirwan Arsuka. Mudah-mudahan Taufiq sudi membacanya.
Sekian dulu.
103
permasalahan-permasalahan sains dalam sebuah seminar online
yang berjudul “Berkhidmat kepada Sains”.
104
Tapi, di sisi lain, ada juga tulisan yang melihat sains dengan lebih
realistis. Posisi ini mengatakan bahwa sains memang menghasilkan
banyak kemajuan dan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
umat manusia, namun ini tidak berarti bahwa sains tidak mengandung
kelemahan atau keterbatasan. Sains bukanlah segala-galanya. Sains
hanyalah salah satu cara dalam menyingkapkan realitas. Dan oleh
karena itu, kita masih tetap membutuhkan filsafat, metafisika,
agama, dan lain-lain.
Seandainya batas-batas ini jelas, maka menurut saya kita tidak lagi
menganggap sains sedemikian hebat atau agung, sedemikian
agungnya, sehingga ia dianggap pantas membuat metafisika dan
agama menjadi tidak relevan. Seandainya batas-batas ini jelas, maka
kita akan sadar bahwa, dengan segala keberhasilan dan
kesuksesannya yang memang tidak dapat disangkal, sains tetaplah
sains, ia tidak mungkin melampaui hakikatnya sekalipun ia
sedemikian gemilang; dan sejalan dengan itu filsafat tetaplah
filsafat, dan agama tetaplah agama. Masing-masing memiliki
wilayah, metode, epistemologi dan tugasnya sendiri-sendiri.
105
material ilmu. Apakah yang membedakan sebuah ilmu dari ilmu
lainnya? Apa yang membedakan ilmu kedokteran dari ilmu psikologi
dan dari ilmu anatomi? Ketiga ilmu ini sama-sama meneliti tubuh
manusia. Tapi mengapa mereka berbeda sebagai ilmu? Apa yang
membedakan ilmu ekonomi dan ilmu politik? Keduanya sama-sama
meneliti masyarakat, tapi mengapa mereka berbeda?
Sains
Objek material sains atau ilmu alam adalah dunia pengalaman
empiris, sementara objek formalnya adalah keterukuran objek-
objek empiris tersebut. Sains meneliti alam dengan tujuan agar
fenomena-fenomena alam itu dapat dikontrol, dijelaskan,
dikendalikan, atau diprediksi. Dan untuk itu, sains berusaha mencari
106
hukum-hukum yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam
yang diteliti.
Keterbatasan sains ini diakui oleh para raksasa sains itu sendiri.
Teori Relativitas Khusus Einstein (1905) memperlihatkan bahwa
tidak ada konsep mengenai keseluruhan (das Ganze) yang dapat
dioperasionalkan karena tidak ada sistem referensi yang serba
mencakup dan sempurna; yang ada hanya relasi-relasi dalam sebuah
sistem yang otonom.
107
dapat menjelaskan seluruh semesta dengan model matematika
(mathesis universalis). “Ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat
memahami sebuah totalitas; semua pengetahuan selalu limitatif,
terbatas“ (Philosophie und Wissenschaft, Hg. Willi Oelmüller, 1988,
hal. 120 dst).
Kedua, sains itu secara tematis reduktif. Artinya objek itu dilihat
atau diteliti dari sudut pandang tertentu (objek formal) yang
terbatas, sedangkan sudut pandang lainnya diabaikan. Sosiologi
misalnya melihat manusia dari sudut pandang keberadaannya dengan
dengan manusia lain, dan mengabaikan aspek-aspek psikologis,
mental atau ekonomis dari manusia-manusia tersebut. Sama hanya,
sekalipun dewasa ini penelitian mengenai neuron-neuron di dalam
otak sudah sedemikian maju, hal itu tidak dapat menjelaskan
keseluruhan fenomena kesadaran (consciousness); fenomena mental
tidak dapat diindentikkan sepenuhnya dengan realitas fisikal-
natural.
108
Misalnya, panas adalah sebuah dimensi kualitatif. Dalam ilmu alam
modern, panas diukur secara kuantitatif melalui termometer dan
kemudian dapat diungkapkan dalam bentuk angka-angka. Panas, yang
tadinya kualitatif, menjadi kuantitatif.
109
berdiri. Sains menjadi tercerabut dari dunia kehidupan (Lebenswelt).
Ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kritik terhadap
sains, antara lain dari seorang ahli matematika dan filsuf, yakni
Edmund Husserl. Ini juga disinggung oleh Mas GM dalam tulisannya.
Anehnya, krisis sains itu bersumber justru dari hal yang memberikan
dia keunggulan. Sains berkembang karena bantuan matematika,
terutama geometri.
110
Geometri adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang abadi. Dan
kebenaran geometri itu sah secara absolut untuk semua manusia,
untuk semua zaman, semua orang, dan bukan hanya menyangkut hal-
hal faktual historis, tapi juga bagi segala sesuatu yang bisa
dipahami. (lihat “Asal-Usul Geometri” dalam die Krisis der
europäischen Wissenschaften und die transzendentale
Phänomenologie, hal. 18 dst).
111
Di sini saya tidak berbicara mengenai kritik filsuf Martin Heidegger
terhadap sains dan ilmu pengetahuan. Cukuplah dikatakan bahwa
sekarang ini tak ada lagi bagian dunia kehidupan sekarang yang tidak
dipengaruhi atau ditentukan oleh sains dan teknologi. Dulu
teknisisasi dunia kehidupan itu berlangsung melalui sains
(Technisierung durch Wissen), tapi sekarang yang terjadi adalah
teknisisasi sains itu sendiri (Technisierung des Wissen selber).
Artinya, sains berkembang sedemikian rupa untuk melayani
kepentingan teknologi; sains menjadi pelayan teknologi, dan bukan
lagi melayani manusia. (Philosophie und Wissenschaft, hal. 65).
Filsafat
Bagaimana dengan filsafat?
112
Apa objek formal filsafat? Tidak lain dari sudut pandang yang
sedalam-dalam dan seradikal-radikalnya. Filsafat merefleksikan
objek materialnya secara sangat mendalam dan radikal. Jadi, kalau
sains bertolak dan berhenti pada pengalaman empiris, filsafat
bertolak dari pengalaman empiris dan melampaui pengalaman
empiris itu. Filsafat tidak puas hanya di permukaan, ia ingin
mencapai struktur terdasar dari sesuatu (ontologi).
Karena itu, filsuf Jerman Karl Jasper pernah berkata secara agak
paradoksal bahwa filsafat memiliki die Spezialität des Allgemeinen,
artinya, bahwa spesialisasi filsafat adalah yang umum.
113
Contoh-contoh pertanyaan sains: Berapakah gigi beruang es? Dalam
kondisi bagaimana tembaga melebur? Siapakah penemu benua
Australia? Seberapa cepatkah benda padat jatuh? Seberapa
berbahayakah tenaga atom? Bagaimana cara meraih kekuasaan
politik? Zat apakah yang dikandung oleh jamur? Apakah bahasa
Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu? Berapakah diameter
bumi? Bagaimana virus Corona berkembang biak? Dan seterusnya.
Sains, justru karena mereka bersifat khusus dan empiris, tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai makna
eksistensial manusia itu sendiri. Dan tidak ada sains atau ilmu
pengetahuan yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
eksistensial demikian.
114
menjadi bahan perdebatan. Dan anehnya yang terlibat dalam
perdebatan itu bukanlah para ahli yang mengetahui ilmu cloning,
melainkan para ahli bidang etika, filsafat manusia dan lain-lain.
Ilmu cloning itu sendiri tidak dapat lagi menjawab pertanyaan
“apakah kloning manusia itu boleh?” karena hal itu sudah berada di
luar wilayah kompetensinya.
Banyak sekali masalah etis yang sangat serius yang diakibatkan oleh
perkembangan ilmu yang sedemikian cepat dan maju dewasa ini.
Apakah cangkok jantung dengan menggunakan organ jantung hewan
tertentu misalnya dapat dibenarkan secara etis manusiawi? Ilmu
kedokteran mampu melakukan euthanasia, tapi apakah itu dapat
dibenarkan?
115
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kompetensi ilmu filsafat.
Filsafat juga memberi jawaban misalnya mengenai kesahihan etis
dari metode-metode yang digunakan oleh ilmu tertentu. Filsafat
juga berguna untuk memberikan penjelasan atas implikasi-
implikasi yang disebabkan oleh ilmu-ilmu itu. Tentu filsafat tidak
dapat sendirian. Ia juga harus bekerja sama dengan ilmu-ilmu
lainnya itu.
Oleh karena itulah jamak terjadi, seorang saintis yang tidak puas
terhadap pendekatan ilmunya sendiri, kemudian belajar filsafat, dan
memperoleh wawasan yang lebih luas dan dapat melihat ilmunya
sendiri dengan lebih kritis. Saintis macam ini kemudian sering
menghasilkan gagasan inovatif dalam bidang ilmunya. Ke dalam
kelompok saintis ini kita dapat memasukkan Thomas Kuhn, Paul
Feyerabend, Imre Lakatos, Karl R. Popper, dan lain-lain.
Kematian Metafisika?
116
Heidegger benar ketika ia mengatakan bahwa selama manusia
merupakan animal rationale, ia sekaligus merupakan animal
metaphysicum (as long as man remains the animal rationale he is
also the animal metaphysicum). (The Way Back into the Ground of
Metaphysics, hal. 209).
Kesimpulan
Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan kelemahan, justru
keterbatasan itulah kekuatan sains. Dengan keterbatasan itu, sains
dapat melakukan penelitian yang sedemikian mendalam pada objek
tertentu sehingga dengan demikian kita memperoleh pengetahuan
yang mendalam mengenai objek tersebut.
117
terjadi pada sains. Pada filsafat juga itu terjadi. Sekarang orang
tidak lagi berbicara mengenai filsafat sosial, misalnya, karena
wilayah itu terlalu luas. Filsafat sosial kemudian dibagi ke dalam
wilayah lebih spesisik, misalnya filsafat politik, filsafat ekonomi,
dan lain-lain.
118
Saya melihat sains sebagai kebutuhan praktis. Metode saintifik
merupakan satu-satunya common-ground bagi banyak orang yang
beragam untuk merumuskan kebijakan publik (public policy) yang
membingkai kehidupan kita bersama, baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional.
Kita tidak hidup di ruang kosong dan dalam dunia yang sempurna.
Anggaran riset ilmiah kita, misalnya, sangat terbatas, yang sudah
jelas membatasi kita dalam mempromosikan "perangai sains"
(scientific temper), bahkan jika kita semua sepakat tentang
keutamaannya.
119
dengan kebijakan bantuan sosial yang belum lama ini banyak
diperbincangkan.
Ada banyak tema riset sains yang tentu saja bagus jika bisa kita
lakukan semua, dari perikanan hingga rekayasa genetika hingga
eksplorasi antariksa. Tapi, keterbatasan anggaran dan kapabilitas
menuntut kita membuat prioritas. Manakah yang harus didahulukan:
riset pertanian yang bisa mengangkat kesejahteraan petani,
misalnya, atau riset genetika nuklir 4.0 yang jauh dari kebutuhan?
120
produk hasil riset. Apa yang disebut ilmiah atau tidak ilmiah pada
akhirnya tentang adu kuat kapital (uang).
Tidak cukup untuk mengatakan bahwa "sains itu tidak sempurna, bisa
dikoreksi dan tidak final". Banyak persepsi dan pengetahuan kita
tentang produk sains seperti obat-obatan, misalnya, tidak mudah
dikoreksi; semata-mata karena merasuk dalam kesadaran kita lewat
iklan-iklan produk yang masif dari hari ke hari. Ada ketimpangan
relasi-kekuasaan di antara promotor sains.
121
Di tengah deru modernitas yang ilmiah (katanya), suku-suku
tradisional digusur dan tradisi mereka dilecehkan. "Keutamaan
sains" dipakai dalih oleh kalangan pengagum developmentalisme dan
orang-orang mabuk investasi untuk menyingkirkan warga yang
diberi label primitif.
Sejak akhir abad ke-20 hingga hari ini, masih bisa kita dijumpai
literatur yang menyerukan islamisasi pengetahuan. Penulisnya
antara lain adalah Naquib Alattas, Ismail Raja Al-Faruqi atau
Muhammad Mumtaz Ali. Mereka ini masih menganggap sains itu
122
jahiliyah bahkan kafir dan karena itu harus diislamkan agar benar-
benar jadi pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh alam.
Pembacaan Dekat
Ledakan pandemi Corona adalah rapid test yang sangat bagus untuk
menguji klaim superioritas berbagai jenis pengetahuan. Hasil test
itu segera menunjukkan bahwa agama yang meletakkan diri paling
superior itu ternyata adalah jenis pengetahuan yang paling banyak
diam menghadapi Corona.
Sains memang yang paling awal dan paling gigih membaca COVID-19.
Ketika korban di Indonesia belum berontokan, sains sudah berhasil
mengurutkan genom virus tersebut, dan memberi nama yang bagus:
Sars-COV-2. Nama yang merupakan singkatan dari Coronavirus
Sindrom Pernapasan Akut Berat-2, menjelaskan wujud dan tabiat
virus ini sekaligus asal-usulnya yang adalah galur baru dari
keluarga virus bermahkota yang sudah dikenal sebelumnya. Nama ini
123
adalah indeks yang baik karena terang menunjukkan lokus virus ini
dalam tatanan hal ihwal.
Dua Mazhab
124
sebagai debat antara mazhab "model" melawan mazhab "bukti." Di
Amerika, mazhab "model" diwakili oleh epidemiolog kesehatan publik
dari Harvard, Marc Lipsitch, dan mazhab "bukti" diwakili oleh
epidemiolog klinis John Ioannidis dari Stanford.
125
Bias Niat Mulia
Kerja sama antar ilmuwan membuat hasil bacaan yang semula berbeda
dapat diuji bersama untuk kemudian diramu dengan totalitas
pembuktian. Metasains ditegakkan. Asal diberi waktu yang memadai,
sains optimis akan dapat menemukan obat yang diperlukan.
126
memandulkan semangat revolusioner mereka.... dihipnotis oleh bola,
kesadaran pekerja menjadi mandeg dan mereka membiarkan diri
dituntun seperti domba oleh musuh-musuh kelas mereka.
Permainan Bersama
Jika sains sanggup ambil manfaat dari Corona, agama juga bisa. Kalau
agama tak berubah setelah pandemi, maka tuduhan yang pernah
diajukan Martin Heidegger untuk sains, yakni “tidak berpikir”
mungkin cocok dilimpahkan ke agama. Pelajaran yang bisa langsung
disebar adalah bahwa agama dapat memberikan sumbangan besar,
justru jika ia bungkam dan tak ngotot menyumbang. Etika publik dan
transaksi argumen yang demokratis jadi kian perlu dijunjung.
Khazanah religius memang kekayaan privat paling berharga buat
para penganutnya, yang mungkin ditawarkan, tanpa paksaan dan
pengistimewaan, untuk memperkaya khazanah publik.
Pilihan yang lebih asyik, yang juga berlaku untuk sastra dan filsafat
tentu saja adalah memasuki tatanan baru (new normal) dengan
menjadi penonton yang literate, yang paham aturan main sains dan
127
mengikuti perjuangan ilmu yang terbatas dan tak sempurna itu untuk
memahami dan menjinakkan wabah besar yang sama sekali tak punya
rasa hormat pada kedaulatan wilayah, keagungan ibadan dan segala
jenis konstruksi sosial manusia.
Selamanya.
Saya dalam status ini, ingin ikut berbagi pikiran bahwa saintisme
itu adalah pandangan yang menyempitkan sains. Sains hanyalah salah
satu cara manusia mengerti realitas. Ada banyak cara lain manusia
bisa mengetahui realitas, misalnya bisa melalui filsafat, teologi,
mistisisme dan seterusnya. Ketika seseorang mengatakan bahwa
realitas hanya bisa diketahui melalui sains, itu adalah “saintisme”.
Menurut saya, sains itu mempunyai dua muka. Jika kita menganggap
bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah
"sebuah kenyataan yang sempurna," maka kita akan melihat sains
sebagai hanya kebenaran inderawi.
128
Sains pernah mengukuhkan bahwa kebenaran mutlak adalah yang
didasarkan pada panca-inderawi saja. Pandangan ini disebut
“saintisme.” Karena itu, pertanyaannya adalah, "Apakah ada sesuatu
hakikat yang berada di luar sains?" Saintisme akan menjawab tidak
ada. Kebenaran hanyalah kebenaran material yang bisa
dideskripsi¬kan melalui hukum-hukum sains saja.
129
Tesis 1: Sesuatu Itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada
lahiriahnya.
130
“tak terlihat”. Atau dalam filsafat India yang menyatakan tentang
maya. Apa yang disebut maya ini sebenarnya bukanlah bahwa, “dunia
ini adalah khayalan”, tetapi bahwa “cara dunia memamerkan dirinya
kepada kita adalah mengelirukan”.
Dalam konteks ini, ada do’a yang “aneh” dari Kitab Suci Yahudi dan
Kristen, “Maka didiklah kami menghitung hari-hari kami, semoga
akan terbit kearifan di hati kami” (Mazmur 90:12).
Tesis 2: Selain dari yang kita lihat pada sisi lahiriahnya, terdapat
"sesuatu yang lebih" dari itu, Dan “itu” menakjubkan.
Kita sudah melihat bahwa sifat sebenarnya dari “sesuatu itu,” secara
radikal “berbeda” dari yang tampak. Mereka, para saintis menyetujui
bahwa "yang berbeda" itu, lebih tinggi tingkatannya dari segala yang
kita alami dalam penglihatan sehari-hari.
131
dibandingkan dengan kemuliaan dan keindahan yang akan kita alami
kelak."
Dari fisika mikro, kita juga mengetahui bahwa adanya zat yang 100
miliar kali lebih kecil dari elektron. John Weller memberitahukan
kita bahwa cakrawala yang kita ketahui ini, 13 miliar tahun umurnya,
dan 26 miliar tahun cahaya yang terjauh, jauhnya dari bumi. Angka-
angka ini mempunyai platform yang begitu besar, sehingga
menjadikan sains berkata secara mistis, sebagai tak terbatas atau
tak tergambarkan, maka dianggap “infinite”.
Tesis 3: "Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat diketahui dengan cara
yang biasa dilakukan.
132
hukum-hukum kemungkinan, bukan hukum sebab akibat yang
memberikan kepastian. Perkembangan ini mengakibatkan terbukanya
ruang “mistik” dalam penjelasan fisika, juga menjadi fenomena yang
tak pernah terduga, karena fisika sebelumnya sangat bersifat
materialistik dan sekular dalam melihat kenyataan alam.
Contoh paling terkenal tentang sifat ini adalah cahaya, yang bisa
diamati sebagai gelombang elektro-magnetik atau partikel-
partikel foton, tergantung dari rancangan percobaan yang
diterapkan padanya. Niels Bohr menjelaskan ini melalui prinsip
komplementaritas. Prinsip ini mengatakan bahwa, gambaran dunia
subatomik sebagai partikel dan gelombang merupakan dua
penjelasan yang saling melengkapi tentang satu kenyataan yang
sama, kendati kita tidak bisa memperolehnya secara sekaligus.
Percobaan yang dirancang untuk mendeteksi gelombang hanya dapat
mengukur aspek gelombang dari elektron. Sedangkan percobaan yang
dirancang untuk mendeteksi partikel, hanya dapat mengukur aspek
partikelnya. Sebuah percobaan tak mungkin mengukur kedua aspek
itu secara serempak.
133
Kedua prinsip ini memperlihatkan kenyataan dunia subatomik yang
tidak bisa dilepaskan dari kesadaran pengamatnya. Jika fisika klasik
mengasumsikan adanya dunia di luar sana dalam keadaan pasti, dan
tak tergantung pada tindakan pengamat, maka kedua prinsip ini
menampilkan gambaran kenyataan yang sebaliknya: pengamat dan
yang diamati saling berkaitan erat.
134
Prinsip ini mempunyai jangkauan implikasi yang sangat jauh. Jika
kita dapat membayangkan alam semesta sebagai sebuah jaringan
partikel-partikel yang saling berinteraksi dalam sebuah sistem
kuantum, maka prinsip ini mengungkapkan sifat kesalinghubungan di
alam semesta. Ini merombak secara menyeluruh pandangan klasik
tentang kausalitas yang terbatas pada efek-efek lokal.
Pada tahun 1951, David Bohm melihat aspek lain dari percobaan
Enstein, Podolsky dan Rosen. Sambil melanjutkan keraguan Enstein
perihal prinsip ketidakpastian, David Bohm berpendapat bahwa
prinsip ini muncul hanya karena ketidakmampuan kita untuk
menjelaskan sesuatu yang lebih mendasar dari teori kuantum.
135
Apa yang kita lihat dari perkembangan sains baru ini, menuntut kita
"berjalan lebih jauh." Pada mekanika kuantum, sebagaimana
dikatakan Schilling dalam The New Consciousness in Science and
Religion, bahwa, "Kesimpulan...akan paradoks materi-gelombang...
dicapai... dengan memakai simbol matema¬tika semata (tentang
mekanika kuantum), dan pada umumnya dengan mengelakkan konsep
yang mempunyai gambaran-gambaran." Ini memunculkan semacam
."visi mistik," dalam sains yaitu:
Pertama, visi alam yang baru itu adalah sesuatu yang terlalu hebat
untuk diungkapkan dengan kata-kata. Apa yang diketahui adalah
terlalu sedikit, atau masih jauh dari pengetahuan biasa, dan hampir
tidak dapat dinyatakan atau dikabarkan kepada mereka yang tidak
terlibat dalam bidang itu.
136
beberapa menit, tetapi kajian bertahun-tahun tentang teori ini,
belum juga menjamin penguasaan atas teori tersebut.
137
Akhirnya
138
Saya diajaknya masuk-keluar gang becek, melewati para preman di
sudut-sudut pasar, lalu naik angkot sempit, turun untuk masuk ke
gang-gang lain yang buntu, menyeberangi sungai besar dengan
perahu, lanjut dengan jalan kaki lagi di jalan setapak, terus naik
mobil omprengan.
Badan saya sudah lengket dengan keringat. Dan dalam keadaan lapar
karena tak pernah diajaknya masuk ke restoran, saya diturunkan
begitu saja di tengah jalan -- saya bahkan tidak diantarkan kembali
ke rumah saya dan tak diberi ongkos pulang. Saya benar-benar
nelangsa; batin saya hampa dan terombang-ambing tak tentu arah.
Maka saya berencana mengirimkan somasi kepada dia, dan kalau dua
kali somasi saya tak digubris, saya akan mendatangi kantor Yanmas
(Pelayanan Masyarakat) di Polda Metro Jaya. Orang itu telah
membuat saya jengkel, menderita dan putus asa.
Begini bunyinya: "Sains itu terbatas. Itu sudah jelas. Tapi itu bukan
kelamahan, justru keterbatasan itu kekuatan sains. Dengan
keterbatasan itu sains dapat melakukan penelitian yang sedemikian
mendalam pada objek tertentu sehingga dengan demikian kita
memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai objek tersebut."
139
Apa boleh buat, rumusannya memang seperti itu. Saya membacanya
dari kiri ke kanan sebagaimana layaknya untuk pembacaan bahasa
Indonesia; dan ketika saya baca dari kanan ke kiri seperti dalam
bahasa Arab, maknanya tidak berubah.
Jadi, terbatas itu kuat, bukan lemah. Orang yang ceking dan jalannya
sempoyongan adalah atlet angkat besi yang potensial; bisa juga jadi
petinju seperti Ariel Noah, eh Mike Tyson (Ariel itu penyanyi, kata
keponakan saya).
Jadi, berarti sains dan filsafat sama-sama terbatas dan karena itu
sama-sama kuat? Sitorus tidak menyimpulkan apakah dengan
kesamaan itu sains dan filsafat akan seri (draw) jika bertarung.
Selalu ada yang baru dalam proposisi Sitorus. Tupoksi ilmu dan
filsafat, sebagai "kedua disiplin ilmu", ternyata berbeda, jadi harus
ditarik demarkasi.
140
adalah dehumanisasi. Saintisme adalah kedunguan." Saintisme
adalah... oh, kutukannya selesai di situ, rupanya.
141
Cicak sains sudah pergi jauh, jauh sekali, sambil menumbuhkan ekor
baru yang sangat besar dan bermanfaat. Sahabat saya, Fitzgerald
Kennedy Sitorus namanya, terus menggenggam ekor filsafat.
TANPA JUDUL
Bahasa dan sastra (sistem penanda) memang penting tapi makna dan
realitas (sistem petanda) yang dirujuk bahasa lebih penting. George
Sarton, seorang peneliti dan penulis sejarah sains terkemuka asal
Harvard University, menulis “Sebagian besar penulis (most men of
letters) dan, maaf saya tambahkan, tak sedikit saintis, hanya
mengetahui sains melalui pencapaian-pencapaian materialnya,
tetapi mengabaikan spirit ilmiahnya dan gagal memahami keindahan
internal sains sebagai usaha mengesktraksi alam semesta” (A
History of Science, 1952).
142
sains di berbagai universitas dunia dan wajib dibaca oleh setiap
orang yang hendak memahami betul karakteristik dan dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan secara memadai agar –mengutip
ungkapan Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific
Revolutions” (1962)- tidak sekadar menjadi seorang turis museum
sains yang mengenalnya melalui brosur (a tourist brochure) atau
sebuah teks bahasa (a language text), atau mungkin istilah sekarang
dikutip dari mbah Google.
Menarik pula dicatat, hampir di kurun waktu yang sama, ketika sains
modern mencapai perkembangan revolusioner yang menakjubkan
dengan kemunculan teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum
(Niels Bohr, Heisenbeg, Schrodinger), Karl Popper menulis The Logic
of Scientific Discovery (1959). Uniknya, melalui pendekatan yang
berbeda, yaitu historis (Sarton) dan logika formal-material
(Popper), setelah mendedah dengan penuh seksama dan rinci
bagaimana sains itu berkembang, keduanya menyimpulkan bahwa
teori-teori saintifik adalah hasil dari imajinasi kreatif yang
diproses dan dikonstruksi oleh pengujian yang terpola dan
terstruktur.
143
Nalar Realis dan Konstruksi Sains
Pengujian yang terpola dan terstruktur itu berasal dari mana? Tidak
lain ia berasal dari logika. Di mana logika itu? Ia hadir dalam
pikiran. Ibn Sina mendefinisikan logika sebagai perangkat metodis
berupa prinsip-prinsip dasar berpikir yang jika dioperasionalkan
akan mencegah kesalahan pemikiran (Isyārāt wa Tanbīhāt,
bab Manthiq). Ibn Sina dengan jeli menggunakan frase “mencegah
kesalahan pemikiran” (al-khathā-i fī al-fikr) karena peran kunci
logika (formal) terletak dalam pencegahan kesalahan pemikiran,
bukan pencarian kebenaran.
144
Ibn Sina menguraikan bahwa pengalaman dengan dunia empiris
terjadi melalui tiga persepsi (al-idrāk) yang utama, yaitu persepsi
inderawi (al-ḫissī), persepsi imajinatif (al-khayālī), dan persepsi
intelek (al-‘aqlī). Melalui pengalaman indera, dokter atau ahli
virus mengenali gejala-gejala infeksi virus SARS-CoV-2, yang
kemudiaan diidentifikasi sebagai penyakit COVID-19. Bagaimana
dokter tiba pada kesimpulan itu? Tak lain karena mereka
mengoperasionalkan persepsi imajinatif yang merekam pengalaman.
Tanpa imajinasi tidak akan ada secuil pengalaman inderawi apapun
yang terekam dalam mental pikiran. Demikian uraian Ibn Sina
mengenai pentingnya imajinasi dalam rekonstruksi pengetahuan.
Tapi, kenapa hanya dokter atau ahli virus yang bisa mengidentifikasi
gejala-gejala COVID-19? Bukankah banyak orang yang telah
terinfeksi COVID-19 tersebut yang artinya mereka telah memiliki
pengalaman inderawi dan imajinatif? Kenapa hanya dokter yang bisa
mengidentifikasinya padahal sebagian besar dari mereka tidak
mengalami langsung gejala-gejala COVID-19 tersebut?
Sebagai contoh, ketika kita memanaskan air dengan kompor gas lalu
air itu mendidih, maka akal kita menciptakan konsep (dalam filsafat
Islam dikenal dengan intizā’) tentang relasi kausal antara dua
peristiwa, yaitu panas sebagai penyebab dan mendidihnya air sebagai
akibat. Bukti nyata konsep sebab itu adalah konsep filosofis
terletak pada keadaan bahwa kita tidak bisa menunjuk contoh
partikular sebab itu.
146
seterusnya gas kompor itu juga sekaligus adalah akibat dalam
hubungannya dengan keberadaan tabung gas, dan demikian
selanjutnya.
Dengan kata lain, sains meminjam dari filsafat karena konsep sebab
akibat hanya dibuktikan melalui akal semata. Jadi, rukun iman
pertama sains itu adalah percaya kepada hukum sebab akibat. Tentu
banyak konsep filosofis lain yang telah diasumsikan dan diterima
begitu saja oleh para saintis seperti “ada”, “tiada”, “mungkin”,
“niscaya”, “mustahil”, “keteraturan”, “chaos”, “tatanan”, “alam
semesta”, “kemanusiaan”, “keadilan”, “kebebasan”, “awal”, “akhir”,
“cita-cita”, “visi”, “titik nol”, “kehendak”, “sistem”, “keseluruhan”,
“bagian”, “teori”, “kebahagiaan”, dan seterusnya yang tidak mungkin
kita hidup tanpa konsep-konsep ini.
147
Demikian pula, para saintis juga pasti sudah mengoperasionalkan
konsep-konsep logis dan matematis seperti “universal”,
“partikular”, “kontradiksi”, “dan”, “atau”, “jika maka”, “walaupun”,
“garis lurus”, “titik”, “dimensi dua”, “vektor”, “arah”, “induksi”,
“deduksi”, dan seterusnya.
Uraian yang agak detail ini (tentu jika kita bicara konstruksi sains
harus siap berbicara dengan nalar logis-analitis dan tidak berpuas
diri dengan narasi besar yang miskin eksplanasi) saya posisikan
sebagai pemicu diskusi tentang sains secara lebih konstruktif dan
mulai memasuki gelanggang perdebatan ilmiah.
Dan saya berbuat manusiawi sekaligus dua. Selebihnya, dari judul itu
kita bisa menarik gambaran bahwa kurang lebih seperti itulah
pengetahuan berkembang menurut Popper. Satu pernyataan bisa
dibuktikan salah oleh pernyataan lain, dan seterusnya. Jika
pernyataan saya lebih kuat, pernyataan Goenawan harus menyingkir.
Jika pernyataan Goenawan lebih kuat, pernyataan saya terkubur.
Anda bisa mengganti kata ‘pernyataan’ dengan ‘teori’.
148
Kutipan Popper yang saya sebut pada paragraf di atas ada dalam
pernyataannya yang lebih panjang tentang pengetahuan:
Yang terpenting dari pernyataan itu adalah “bisa keliru”, dan itulah
karakteristik semua pengetahuan. Karena itu Popper merumuskan
pengetahuan atau teori sebagai sebuah konjektur—sebuah dugaan
atau konklusi sementara atau hipotesis yang disusun dalam
keterbatasan informasi—ia selalu bisa disangkal atau dibuktikan
salah.
149
Dalam semangat seperti itu, apa gunanya tudingan saintisme
diajukan? Ia hanya akan terdengar sebagai sebuah alergi, itu satu
jenis simptom, dan efek buruk simptom itu diperkuat dengan ajektif
‘pongah’ atau ‘sisa-sisa positivisme abad kesembilan belas.’ Jika
apresiasi terhadap sains dituding sebagai saintisme, saya pikir
orang lain berhak juga mengatakan bahwa tindakan penudingan
adalah agomoisme atau sisa-sisa permusuhan Abad Pertengahan.
***
Saya akan meragukan kewarasan saya sendiri jika tidak sedih oleh
fakta-fakta seperti itu. Hawe Setiawan mengirimi saya foto buku
Bertrand Russell “Dampak Ilmu Pengetahuan atas Masyarakat”, dan
di bawah foto itu ia membuat saran: Sepertinya tulisan yang cocok
untuk gejala saat ini adalah “Dampak Masyarakat atas Ilmu
Pengetahuan”.
150
menanyakan apa hukumnya meminum air kencing unta? Apa penemuan
berikutnya setelah seks adalah penemuan Allah?
Kalaupun semua pusat sains ditutup, saya akan tetap berpikir bahwa
scientific temper patut dikedepankan dan disuarakan terus-
menerus. Anda tidak harus memuja sains dengan mata berbinar-binar
untuk mengembangkan perangai ilmiah. Dan perangai ilmiah tidak
akan menghalangi Anda untuk bersikap kritis terhadap sains.
***
151
Tentu pernyataan Einstein itu mencengangkan banyak orang; saya
membaca juga anekdot itu dan tafsir orang terhadapnya. Fisika lebih
mudah menemukan jawaban konkret ketimbang politik. Politik hanya
tampak lebih mudah karena sembarang orang sepertinya bisa menjadi
pengamat, tetapi jawaban yang konkret sulit didapatkan: Politik
berurusan dengan manusia dan tingkah polah yang sering bias dan
irasional dan itu menjadikannya sulit diprediksi.
Jadi, keajekan atau gejala yang lazim saya temui dalam kenyataan
orang-orang yang jatuh cinta tidak berlaku untuk menggambarkan
hubungan Goenawan dan Hegel. Di luar cinta, kebencian juga
mendorong orang rajin membicarakan orang lain; kita bisa
menjumpainya dalam propaganda untuk menjatuhkan lawan politik.
Tetapi saya tidak yakin itu motif Goenawan dalam kesukaannya
merujuk Hegel. Ia dan Hegel tidak dalam pertarungan politik, dan
Hegel sudah lama mati.
152
Sebagai teknik, presentasi semacam itu serupa dengan teknik para
politisi yang berfoto dengan engkongnya sebagai latar belakang.
Sebagai tindakan, ia serupa yang dilakukan orang-orang zaman dulu
untuk pamer kekayaan dengan memasang gigi emas: ia bisa indah bisa
ruwet, tetapi sudah pasti menyilaukan.
Saya tak akan membela diri dari tudingan itu. Barangkali memang ada
kesan bahwa saya sedang memperhadapkan sains dengan agama di
dalam tulisan saya. Mungkin itu terjadi karena saya kesulitan
memahami kolom “Entah”, sehingga tanggapan saya terhadap kolom
itu tampak oleh Goenawan seperti tindakan orang gila: memukuli
memedi sawah.
Saya bisa menjelaskan apa yang saya alami saat membaca kolom itu.
Namun, sebelum dinyatakan salah memahami atau keliru
mengidentifikasi masalah atau kurang informasi, saya akan
mengakui bahwa saya tidak mampu menangkap apa isi pikiran yang
ditawarkan: Saya hanya menemukan cipratan-cipratan seperti saya
menyaksikan lukisan ekspresionis.
153
Cipratan tentang wabah itu saya sangkal. Tidak sama. Kualitas
informasi yang membuatnya tidak sama. Di zaman dulu, upaya
menangani wabah dilakukan berdasarkan informasi dari kalangan
agama. Di masa sekarang dari kalangan sains.
154
Sekiranya Goenawan menyampaikan aspek ini pada diskusi
“Berkhidmat pada Sains”, presentasinya akan lebih bermakna dan
kita akan mendapatkan informasi-informasi lain di seputar ini dari
para pembicara lain, dan juga dari para peserta aktif, yang mencoba
menanggapi kritiknya.
***
Faktanya, jagat raya terbentang dan banyak hal tidak diketahui dan
manusia berusaha tahu. “Ada apa di sana? Lalu ada apa lagi di sana?
Lalu ada apa lagi di sana?” Rasa ingin tahu semacam itu melahirkan
geografi, sebuah ilmu yang menjawab pertanyaan: “Ada apa saja di
sana?” Sejumlah pendapat menyatakan bahwa geografi adalah induk
ilmu pengetahuan.
Rasa ingin tahu tidak sekadar melahirkan jawaban, tetapi rasa ingin
tahu berikutnya, dan begitu terus hingga hari ini. Manusia
memerlukan model untuk mempresentasikan pengetahuannya dan
juga untuk menguji hipotesis. Guru SD menggunakan bola dan lampu
senter untuk menjelaskan terjadinya siang dan malam. Arsitek
membuat maket untuk mempresentasikan bangunan yang hendak
mereka wujudkan. Museum menampilkan diorama. Para ilmuwan di
laboratorium Bern, Swiss, menggunakan lalat buah untuk menguji
hipotesis mereka tentang gen penyortir sel-sel rusak yang jika
digandakan akan membuat manusia berumur lebih panjang. Gen itu,
mereka manamainya Azot mengikuti nama dewa pelindung nelayan
bangsa Aztec, ada pada manusia dan lalat buah. Laporan penelitian
mereka menginformasikan keberhasilan percobaan itu: Umur lalat-
155
lalat buah mereka bertambah antara 50-60 persen ketika gen Azot,
yang semula hanya dua, mereka jadikan tiga.
Kita tahu bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan bisa dialami
langsung atau diinderai. Jagat raya, dengan seratus miliar galaksi,
terlalu besar untuk dialami langsung oleh tubuh manusia. Molekul
terlalu kecil. Bagaimana cara memahami perilaku benda-benda di
jagat raya dan kromosom di dalam tubuh dengan pendekatan Husserl
dan Heidegger atau siapa pun yang menyarankan pengalaman
langsung dan persentuhan inderawi? Apakah saran mereka relevan
untuk cabang pengetahuan biologi molekuler?
156
Saya pikir dia agak gila. Pertama-tama, keindahan yang dia lihat
bisa dilihat oleh orang lain dan oleh saya juga. Meskipun pemahaman
estetika saya tidak sebaik dia, saya bisa menghargai keindahan
bunga. Dan, pada saat yang sama, saya melihat lebih banyak lagi
tentang bunga itu daripada yang dia lihat. Saya bisa membayangkan
sel-sel dan tindakan-tindakan rumit di dalamnya yang juga
memiliki keindahan.
***
157
Dengan persamaan matematika, orang-orang seperti Einstein dan
Stephen Hawking dan para astronom lain bisa membangun model
untuk memahami jagat raya. Dengan pola yang matematis, Beethoven
melahirkan komposisi-komposisinya. Piano adalah instrumen yang
sangat matematis. Musik adalah ekspresi artistik yang sangat dekat
dengan matematika: bahkan musik yang lahir dari ibu-ibu di dusun
yang mendeplok padi pada lesung, bahkan tetabuhan untuk
membangunkan orang sahur.
158
sudah diperkenalkan kepada kita sejak SD melalui soal cerita.
Masalahnya, sampai lulus SMA, saya tidak tahu bahwa itulah yang
dinamakan model matematis. Tidak ada yang memberi tahu hal itu;
setidaknya, dalam pengalaman saya, tidak pernah saya mendengar
penjelasan tentang pemodelan itu sampai saya tamat SMA.
Jawaban yang benar adalah N=2A. Maka, kita bisa mengatakan bahwa
N=2A adalah model matematis yang mewakili perbandingan jumlah
burung nuri dan anjing di rumah Tini.
***
“’We are told that by its aid the stars are weighed and the billions
of molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of
Hamlet's father, this great science eludes the efforts of our mental
159
weapons to grasp it.’ — Alfred North Whitehead, dalam “An
Introduction to Mathematics”.
160
karena tidak tahu kenapa harus mempelajari sinus, cosinus, tangent,
akar kuadrat, dan sebagainya.
Saya pikir Mas Goen tidak perlu melakukan hal itu. Dengan cara ia
mengutip Whitehead, kita bisa melihat bagaimana seluruh
tudingannya, yang menggunakan argumen Husserl, berbalik ke
arahnya: Ia menyembunyikan, ia mereduksi, ia membuat disinformasi.
Saya menyampaikan hal ini dengan ingatan terhadap hal yang paling
ditekankan dalam kerja jurnalistik: Berkomentar itu bebas, tetapi
fakta itu suci. Tulisan Goenawan, dengan banyak kutipan narasumber,
saya baca sebagai semacam laporan jurnalistik yang rumit.
Penekanan saya pada jurnalistiknya, bukan rumitnya. Sebagai
laporan jurnalistik, semestinya ia menjunjung tinggi fakta di atas
kepentingan pribadi penulisnya.
***
161
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan pengakuan
bahwa saya hanya menyebut nama-nama teman. Tidak ada nama hebat
di dalam tulisan ini, kecuali penulis Rumania Nicolae Teodosie
Draghicescu, dan itu pun fiktif.
Untuk hari ini manusia tidak takut lagi pada binatang buas,
kebanyakan dari mereka sudah punah dan yang masih ada hampir
punah, tetapi manusia masih mempertahankan perasaan tidak aman
pada manusia lain di luar kelompoknya.
162
terwariskan turun-temurun sejak generasi pertama homo sapiens,
dan melakukan upaya sadar untuk menumbuhkan sikap respek kepada
manusia lain, kepada lingkungan, kepada alam.
Untuk yang sudah telanjur tua, saya pikir kita harus berani
memeriksa apa yang tersimpan di dalam kepala kita.
Suatu sore, tiba-tiba menyeruak pesan sebaran berisi esai Pakde A.S.
Laksana dan Pakde Goenawan Mohamad. Tidak berselang lama,
menyusul tulisan-tulisan sejenis dari begawan yang lain. Termasuk
Pakde Ulil Abshar Abdalla. Ini jarang terjadi.
Satu demi satu saya tekuni. Topik serta sudut pandangnya menarik.
Tidak selumrah yang biasa saya baca. Rasanya seperti menyaksikan
sebuah arena diskusi yang tenang tapi menghanyutkan. Masing-
masing menawarkan pendapat menggoda.
163
Lalu, sekonyong-konyong, muncul dorongan untuk turut menyahut.
Menonton memang menyenangkan, tapi ikut melempar opini,
barangkali bakal lebih asyik. Bukan karena saya ingin tampil lebih
pandai. Sama sekali bukan! Hanya terlalu sayang apabila tukar
pikiran serupa itu tak diombyongi.
Beberapa hal yang bisa saya jangkau dari catatan-catatan itu antara
lain sebagai berikut.
164
Namun sebelum jauh, perlu saya sebut di sini, bahwa penggunaan kata
Sains pada catatan setelah paragraf ini, merujuk pada maksud Sains
natural.
Sengkarut Benar-Salah
Begini ceritanya.
Dimulai dari alat utama pencarian dalam Sains, yakni: metode ilmiah.
Perhatikan tahapan-tahapan dalam metode ilmiah itu. Masih ingat?
Kurang lebih sebagai berikut.
165
Masalahnya, hipotesis kerap dibangun dari referensi atas entitas
teori lain yang tak bisa diobservasi, by definition. Proses
perbandingan saat observasi langsung itu pun harus meliputi semua
kemungkinan kasus pada hipotesis-fenomena yang diuji. Semua
observasi ini juga tak bisa dilakukan, by definition.
Lalu Karl Popper, satu dari sekian filsuf Sains berpengaruh pada
abad 20, membantu menawarkan falsifiability sebagai garis
demarkasi atas benar dan salah. Dia bilang, “Hanya pernyataan yang
mungkin disalahkan, yang bisa dianggap sebagai bagian dari
hipotesis Sains”.
166
Meneliti Kembali Kebenaran Sains
Tapi ada masalah besar di sini. Real world tidak pernah membuat
pernyataan apa-apa atas itu!
167
Jika kriteria kebenaran adalah koherensi internal di dalam model,
maka mustahil memastikan keabsahan obervasi atas realitas, telah
benar-benar sesuai dengan kesejatian realitas itu sendiri.
Truth pada real world jadi hilang karena pandangan ekstrim, bahwa
semua yang disebut kebenaran hanyalah konstruksi individu.
Kebenaran tergantung pada referensi masing-masing individu. Ini
168
bikin susah. Terutama saat truth atau derajatnya, diperlukan untuk
mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat orang banyak.
Jalan Tengah
Adalah Ram Roy Bhaskar, seorang filsuf asal Inggris yang melahirkan
pendekatan Critical Realism. Pemikiran tersebut termaktub dalam
bukunya, A Realist Theory of Sains, yang terbit tahun 1975. Bhaskar
membuat gebrakan, dengan memisahkan antara real world dan
observable world.
Terlihat jelas, bahwa real world memang tak tersentuh sedikit pun.
Sains hanya membangun model, sedikit demi sedikit, hipotesis demi
hipotesis. Masa berlakunya sendiri tergantung dengan tingkat
kongruensi hipotesis tersebut pada fenomena yang tengah diuji. Jika
ada yang lebih presisi, usanglah dia!
169
mudah berasumsi, jika Sains makin berkembang dan tetap konsisten,
kian dekatlah ia dengan kebenaran dari observable world tersebut.
170
Apakah Sains cukup ekspresif? Sebentar! Ini tidak mudah dijawab
tanpa simplifikasi. Saya akan coba menggunakan generalisasi.
Sebutlah broad stroke.
Nanti dulu.
171
belum pernah ada model sepresisi Sains sepanjang sejarah manusia
yang tercatat.
172
Sains ibarat penderita rabun jauh, sedang Agama bak penyandang
rabun dekat. Gambaran ini sekaligus menunjukkan, bahwa masing-
masing area punya panglima berbeda.
Wajah Indonesia
173
komplit, kontradiktif, juga berubah-ubah. Interdependensi
komponen di dalamnya begitu kompleks, sehingga upaya-upaya
pemecahan masalahnya pun malah melahirkan masalah baru.
174
Eksplorasi Posibilitas
Mari belajar sedikit dari sistem yang sampai saat ini memiliki
koherensi paling solid, yakni Matematika. Simbol-simbolnya mampu
membawa kita ke tempat-tempat sukar dijangkau pengalaman.
Kerumitan dimensi hasil prediksi fisika yang sulit dibayangkan,
akan mudah dialami melalui simbolisme Matematika.
Coda
Real world mungkin akan terus diam. Tapi dia tak pernah gagal
mengikuti apapun yang kita jogetkan. Untuk kita yang hidup bersama,
mungkin nada memang berbeda, tapi simfoni tetap harus
ditembangkan. Barangkali bisa membawa kita ke tempat yang belum
pernah terbayangkan.
175
-10 juni 2020
176
FBH fokus memilih menyerang sains dengan mengupas “saintisme”,
namun enggan menyentuh fideisme (agama) dan ideologisasi
(filsafat). Menunjukkan bias-berpikirnya yang terjebak pada
trilema kategori pertama. Tak soal tentu, bias berpikir adalah
manusiawi. Bagaimanapun, saya tertarik menanggapi ajakannya
untuk membuat debat “masuk lebih dalam”. Ia mengajukan tiga
premis dan pertanyaan:
177
interpretasi Kitab Injil, antara lain tentang nubuat second
coming Yesus dan hari kiamat. Ia berupaya menggali ulang wisdom
teks kitab suci dan memaknai secara harfiah—bukan sebagai
metafora atau kiasan.
178
Ungkapan Newton yang terkenal Hypotheses non fingo (“saya tidak
terpaku pada hipotesis”) adalah kredo saintifiknya. Hipotesis
apapun tentang dunia fisika, metafisika, occultis, atau mekanis,
harus dibuktikan melalui eksperimentasi. Newton melanjutkan
era revolusi saintifik, yang dimulai para saintis pendahulunya,
seperti Galileo Galilei, Nicolaus Copernicus, Johannes Keppler.
179
meragukan kisah penciptaan sebagaimana tertulis di Alkitab. Ia
melihat beragam spesies hewan yang secara fisiologis berubah. Ia
mulai berhipotesis adanya transmutasi hewan melalui proses
seleksi alam. Setelah tersedia cukup bukti ia menguraikan
teorinya dalam buku “On The Origin of Species” (1859). Sebuah
paparan temuan saintifik yang menjadi fondasi ilmu biologi
evolusioner, dikenal sebagai Teori Evolusi Darwin.
180
New Sciences dan Ketidakpastian
181
dilakukan Michelson-Marley menyudahi spekulasi. Ether terbukti
tidak ada. Penyelidikan Einstein, yang kemudian menghasilkan
Teori Relativitas Khusus (1905) juga membenarkan tidak adanya
ether.
182
membuka pemahaman baru tentang realitas yang “tidak pasti”, dan
munculnya berbagai sains baru. Antara lain Teori Chaos dan
fraktal geometri, yang menggunakan komputer (sebagai teknologi
baru) untuk membuat simulasi fenomena alam secara matematis.
183
Teori Chaos telah mengubah paradigma melihat dunia, bagaimana
menjelaskan “kekacauan” alam dan cara mengelolanya. Teori ini
semakin membuka pemahaman tentang dinamika alam, ketika ilmu
geometri fraktal diperkenalkan. Fraktal adalah pola keteraturan
geometris yang berulang, mekanisme alam mereplikasi-diri, dan
sistem peniruan-diri sehingga alam berwujud seperti yang
terlihat saat ini.
184
(14 April 2020). Penuh dengan ilustrasi simulasi grafis,
memaparkan bagaimana kira-kira proses alam semesta mewujud.
Namun, sebagaimana bukunya “A New Kind of Science”, risalah
hipotesis terbaru Wolfram ini mendapat kritikan “sengit” dari
sejumlah fisikawan. Dalam dunia sains, “kritikan sengit” adalah
mekanisme dan metode yang lazim untuk menguji validitas
hipotesis atau teori.
Ada dua isu dalam premis yang dinarasikan FBH ini. Pertama,
bagaimana sains membantu manusia memaknai dunia. Kedua,
bagaimana proses kehidupan dan kesadaran muncul. Isu pertama,
sains beririsan dengan filsafat. Isu kedua, sains beririsan dengan
spiritualisme agama, atau keyakinan.
185
spiritualitas, atau filsafat. Sains tidak menyentuh pemaknaan,
karena abstrak. Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah “apa
makna kehidupan”, melainkan “bagaimana membuat hidup lebih
bermakna”.
186
Dalam “Introduction to Artificial Life” saintis polymath
Christoph Adami menginvestigasi asal kehidupan dengan
mengkonsepsikan kehidupan sebagai jalinan informasi yang terus
menerus mengabadikan-diri (self-perpetuating information
strings). Menurutnya, hidup bukan hanya peristiwa kimiawi,
melainkan juga proses informasi. Genome manusia, dan makhluk
hidup lainnya, adalah gudang informasi tentang dunia yang
terakumulasi sedikit demi sedikit dalam proses evolusi yang
panjang. Informasi sari soal bagaimana mengubah gula menjadi
energi, bagaimana sel mereplikasi diri, sampai bagaimana
menjaga diri agar selamat dari bahaya.
187
Menyangkut kesadaran, seperti yang diuraikan Kurzwell, baru
muncul pada era ketiga evolusi informasi (era otak manusia). Otak
manusia yang kompleks mampu mengolah informasi, sedemikian
rupa, sehingga memunculkan kesadaran. Studi Neuroscience
menunjukkan, kesadaran adalah fenomena “emergence ” (muncul),
bukan “given ” (anugerah supranatural). Sebagaimana kehidupan
muncul dari benda fisik dan proses kimiawi, dari atom, menjadi
molekul, menyusun sel, menjadi organisme, spesies, manusia dan
seterusnya. Munculnya kesadaran juga melalui proses evolusi
ribuan tahun perkembangan kognisi manusia.
188
biasa umumnya adalah bagaimana menjalani hidup dengan tenang,
memiliki nafkah yang cukup dan merawat keluarga. Jeremy
Bentham, dengan filsafat utilitarian, mempromosikan misi moral
“kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya
manusia.”
189
Sintesis Trilema Sains, Filsafat, Agama:
Dunia agama penuh dengan kisah menarik dan ajaib tentang masa
lalu, yang bisa menjadi pelajaran. Dunia filsafat penuh dengan
gagasan spektakular-spekulatif, yang bisa memancing pemikiran.
Dunia sains penuh dengan temuan fakta dan perspektif baru, yang
bisa memupuk pengetahuan dan imajinasi. Banyak hal sudah bisa
dijelaskan dan dideskripsikan oleh sains dengan baik, namun
masih banyak “terra incognita” yang masih menjadi misteri. Sains
bisa mencari inspirasi dari kisah-kisah agama atau pertanyaan
filsafat.
190
menggunakan agama, memakai filsafat, atau memilih sains, bukan
sebagai perselisihan. Termasuk paham memilah sains sebagai
fakta dengan “saintisme” sebagai hantu yang menjadi momok.
***
Sains
191
Suatu saat ketika Museum of American History diminta
mengadakan pameran tentang perkembangan sains di Amerika,
para penyandang dananya sebetulnya berharap melihat
kecanggihan pencapaian-pencapaian mutakhir di bidang sains.
Bagi manusia zaman ini, sains rupanya bukan lagi sesuatu yang
sangat mengagumkan. Kalau pun masih tersisa kekaguman, maka
itu kini bercampur dengan kecemasan dan kecurigaan.
192
melihat materi / masa sebagai interkonvertibel dengan energi,
atau partikel interkonvertibel dengan gelombang. Artinya ada
tendensi kuat untuk melihat unit terdasar realitas sebagai non-
material.
Logis atau tidak logis, rasional atau irasional, kini dilihat erat
terkait pada gambaran dunia (world view ) yang partikular dan
struktur bahasa yang digunakan.
193
Logika tidaklah mesti satu seperti diyakini dahulu. Konsep
tentang “kebenaran” pun telah berubah, kini orang menemukan
berbagai kemungkinan arti konsep tersebut. Kebenaran bisa
dilihat secara berbeda dari sudut korespondensi, koherensi,
pragmatis, performatif, eksistensial, disclosive , ataupun
relasional.
Yang jelas, kini secara umum ada keyakinan bahwa dalam dunia
manusia tak ada realitas yang murni tanpa tafsir. Segala
pernyataan tentang realitas yang kita buat adalah selalu tafsiran
versi manusia. Yang dahulu diklaim sebagai “hukum alam” oleh
sains, kini hanya dilihat sebagai produk sementara hasil tafsir
manusia yang memiliki tingkat kemungkinan tinggi.
Akibat dari semua kritik itu maka kini kita menyaksikan suatu
zaman baru di mana segala jenis pengetahuan tradisional,
astrologi, prana, klenik, dan berbagai bentuk pengetahuan
194
supranatural (yang secara ganjil biasa disebut pengetahuan
“Metafisik”) yang dahulu diharamkan kini dengan leluasa hidup
berdampingan dengan sains.
Filsafat
195
Para filsuf Abad Pertengahan berada di antara kedua tradisi itu
namun dengan keyakinan baru bahwa wahyu Tuhan menjamin
ditemukannya inti semesta kehidupan. Realitas pengalaman
sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu
Tuhan akan membantu memahami realitas melalui rahmatNya dan
penyelenggaraan-illahiNya sendiri. Pada tingkat formulasi
manusiawi sendiri kita hanya akan sampai pada rumusan-rumusan
negatif (teologia negativa), sebab bahasa-bahasa kita selalu
terbatas. Di sini tentu saja filsafat lantas bercampur baur dengan
teologi.
Pada abad ketujuh belas tugas filsafat dipahami secara lain lagi.
Untuk Descartes, misalnya, tugas filsafat adalah membangun
sebuah sistem pengetahuan yang akan mendasari segala bentuk
pengetahuan lain (sains) dengan tingkat kepastian tinggi bagai
kepastian matematis.
Namun sementara itu pada abad delapan belas bagaimana pun juga
sains beserta teknologi yang dihasilkannya memang menyilaukan
pandangan. Perkembangan pengetahuan saat itu sangatlah
196
mengundang antusiasme, sedemikian hingga hakikat
“pengetahuan” dan “penalaran” menjadi tema utama permenungan.
197
makna, dan dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas,dan
sebagainya.dan sebagainya
Salah satu gagasan pokok Husserl yang bagai pedang bermata dua
itu adalah gagasannya tentang Lebenswelt atau Life-world, yaitu
anggapan bahwa dunia yang paling dasar, paling primer dan paling
real sebetulnya adalah dunia pengalaman yang dihayati sehari-
hari, dunia pra-reflektif, dan pra-ilmiah, yang mengalir begitu
saja, dengan bentuk yang tak jelas (amorf) dan sudah selalu
multidimensi.
198
Namun refleksi lanjut yang sama pentingnya sebetulnya adalah
dari filsuf Merleau-Ponty. Berangkat dari gagasan Husserl
tentang life-world tadi, Ponty memperlihatkan bahwa persepsi
adalah kontak primordial kita dengan dunia, satu-satunya modus
untuk membentuk makna realitas (Being).
Kesatuan dasar dengan dunia itu lebih langsung tampil dalam rupa
perasaan, hasrat, perilaku, dan penilaian spontan, ketimbang
dalam pengetahuan objektif ilmiah. Perasaan, hasrat, dan
sebagainya itu adalah semacam “bahasa sebelum bahasa”. Segala
pernyataan tekstual dan ilmiah yang kita buat hanyalah berbagai
upaya tak berkesudahan untuk mengartikulasikan dan
menterjemahkan pengalaman kesatuan mendasar itu
199
Maka dengan begitu Merleau-Ponty menggeser pusat gravitasi
filsafat dari kesadaran Subjek ke pengalaman kesatuan dengan
dunia. Semua pengetahuan kita berakar pada postulat-postulat
makna yang telah muncul sepanjang sejarah. Filsafat perlu
memanfaatkan segala khasanah makna itu sambil tetap selalu
memperkarakannya dalam kaitan dengan pengalaman konkrit
200
sistem itu, bagaimana interpretasi dan idealisasi pengalaman
disana dipercayai dan dipertahankan, misalnya.
Maka filsafat tak lagi mesti menjadi suatu sistem yang “all
encompassing” . Ia hanyalah perenungan reflektif lebih jauh
tentang berbagai cara bagaimana realitas kehidupan ini dipahami
dan bagaimana makna-makna diciptakan, dengan selalu
mengaitkannya kembali ke medan pengalaman-pengalaman
konkrit.
Bagi mereka yang belajar filsafat secara klasik, boleh jadi ini
akan dilihat sebagai tahap ketika filsafat kehilangan identitas
atau mengalami degradasi. Tapi dari sudut lain bisa saja ini
dilihat justru sebagai proses evolusi.
Agama
201
Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meski terasa simplistik
toh ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal
kehidupan agama bisa disebut sebagai periode “Arkhaik”, yaitu
ketika agama-agama berfokus pada realitas ilahi yang metafisik
dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang
ketat.
202
apa yang salah, apa yang dianggapnya “kodrat” apa yang
bertentangan dengan kodrat.
203
sama jugalah yang kini menjadikan agama-agama bertendensi
patologis dan menjadikannya potensi paling destruktif yang
mampu menghancurkan peradaban manusia, lebih dari senjata
pemusnah massal apa pun.
Mendudukkan Perkaranya
Tentang sains
204
dan kesahihan pengetahuan. Intelegensi manusia masih jauh lebih
misterius dan lebih luas daripada yang bisa dikategorikan oleh
sains, apalagi oleh ilmu-ilmu eksakta.
205
Yang mesti tetap dirawat dan dijunjung tinggi oleh Perguruan
Tinggi sebagai pengusung utama kehidupan sains adalah terutama
etos-nya itu, yaitu intensitasnya dalam belajar dari kesalahan,
dengan prinsip kejujuran, kekritisan, keterbukaan dan
sebagainya, itu; tapi juga komitmennya dalam bernalar bersama,
dalam kesederajatan, demi kepentingan bersama.
Tentang filsafat
206
akademisi, sebagai ilmuwan maupun cendekiawan sejati. Ini terasa
urgen justru ketika Perguruan tinggi dan dunia keilmuan umumnya
kini keasyikan terbenam dalam perspektif pragmatis dan motif
ekonomis.
Tentang agama
207
Tapi yang lebih pokok lagi barangkali adalah bahwa iman itu soal
perbuatan, bukan perkara institusi atau pun proposisi (dogma).
Dan agama, dogma atau pun kitab suci jelas bukanlah Tuhan itu
sendiri.
***
208
Di bulan April 1961, Yuri Gagarin, penerbang AU Uni Soviet, menjadi
“kosmonaut” pertama yang, dengan mengendarai kapsul pesawat
ruang angkasa Vostok I, berhasil diorbitkan mengelilingi bumi. Ia
hidup di ketinggian 187 mil dan kembali ke dunia setelah 89 menit.
Tepuk tangan gemuruh dari segala penjuru buat prestasi ilmu dan
teknologi Uni Soviet. Gagarin, manusia pertama di angkasa luar,
menjadi pahlawan jenis baru dalam sejarah.
Sajak ini dengan pedih menggugat ilmu dan teknologi justru di saat
kemajuan dua komponen peradaban itu mencapai taraf yang
menakjubkan. Suara sajak Soebagio adalah ungkapan pesimisme
terhadap sains.
***
Sajak itu bukan suara muram pertama tentang sains dan teknologi
dalam karya sastra.
209
Di tahun 1932 terbit novel “distopia” yang lebih termasyhur —lebih
menakutkan — “Brave New World”, karya Aldous Huxley. Huxley
berkisah tentang London tahun 2540, ketika manusia adalah makhluk
yang dimanipulasi teknologi.
Distopia lain kita bisa ikuti dalam film: kita kenal “Blade Runner
2049”. Atau, lebih menyentuh, “AI, Artificial Intelligence”.
Dalam film Steven Spielberg dari tahun 2001 ini, para teknolog
menciptakan “Mecha”, robot-robot canggih yang mirip manusia.
Seorang ilmuwan menghasilkan “David”, robot bocah yang bisa
mencintai orang tempat ia ditempatkan dengan cinta yang tak bisa
pudar. Ia juga bisa cemburu dan berambisi. Si David ingin seperti
Pinokio, boneka yang jadi manusia. Ditinggalkan di dekat hutan oleh
Monica, “ibu angkat”-nya, dan tersesat ke mana-mana, ia mencari
Peri Biru yang ia yakini akan bisa menyulapnya jadi bocah.
210
Beribu tahun kemudian, ia menemukan apa yang dicarinya. Tapi Peri
Biru tak sanggup. David pun pasrah. Ia hanya minta ibu angkatnya
yang ia cintai dihidupkan kembali. Satu-satunya harapan itu
terkabul. Ia bisa ketemu kembali sang ibu, meskipun sebentar. Satu-
satunya tanda “happy ending” adalah ketika si robot bocah
mendengar Monica berbisik, seraya memeluknya di tempat tidur,
“Aku sayang kamu, David, aku selalu sayang kamu”.
***
Kritik kepada sains, kekecewaan pada “seribu rumus ilmu pasti yang
penuh janji”, tak hanya dalam karya sastra dan film. Di tahun 1918,
di Universitas Munchen, Max Weber berpidato di depan para
mahasiswa, dengan judul “Wissenschaft als Beruft” (“Sains sebagai
Panggilan”). Weber, sosiolog termasyhur yang menganalisa dunia
modern dengan suram, menyebut apa yang baginya “cacat” ilmu-ilmu
alam: sains tak pernah menanyakan asumsi dasarnya sendiri, tak
pernah menanyakan makna hidup — hidup yang konon hendak
diperbaikinya, bahkan diperpanjangnya.
***
Novel seperti “Brave New World” dan “Oryx and Crake” tentu saja
hiperbolik — mungkin seperti pesan parau Jeremiah dalam
Perjanjian Lama. Mereka melipat-gandakan kegelapan hidup di
bawah dampak negatif sains. Tapi dengan dorongan ethis —tak jauh
beda dengan peringatan agar masyarakat mewaspadai kekuasaan yang
hendak mengatur hidupnya.
Lagipula, ada yang bukan fiktif dalam thema Jeremiah ini. Kasus
pestisida Monsanto yang baru terjadi seharusnya tak dilupakan
mereka yang berbicara tentang sains dengan opimisme habis-gelap-
terbit-terang. Sains pegang peran pembantu yang penting dalam
drama ini.
211
Sebuah lembaga yang didengar di mana-mana, ILSI (Internasional
Life Sciences Institute) telah membuat sains dibayar tinggi. Ia adi
penjaga kepentingan bisnis pestisida. Dari sini, atau dari institut
seperti ini, pelbagai rekomendasi ilmiah ditulis mendukung produk
yang akan dijual ke masyarakat — produk yang sebenarnya belum
diuji secara semestinya.
Tersirat dalam “GMO event” adalah sebuah sanggahan: sains tak mesti
dilihat sebagai hasil adiluhung yang layak memandu pengetahuan
lain.
***
Tapi hari-hari ini, entah kenapa, tilikan kritis atas sains akan
dianggap “anti-sains”. Atau dinilai meremehkan sains. Atau, lebih
buruk lagi, memberi mesiu kepada apa yang saya sebut Jorge-isme.
Jorge-isme saya pakai dari nama biarawan tua yang ganas dalam
novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa”. Rahib Jorge sosok agama
yang memusuhi humor dan menhgharamkan pertanyaan-pertanyaan
sebagai penghujatan. Dalam konteks kita, kaum Jorge-is adalah para
agamawan dan pengikut mereka yang dengan dogma mempertahankan,
misalnya, keyakinan bahwa bumi datar dan homoseksualitas sebuah
dosa.
212
Saya tak menaruh simpati kepada Jorge-isme. Tapi menganggap
kritik kepada sains berarti mendukung dogmatisme, itu prinsip
totaliter: “yang tak bersama kita berarti bersama musuh”. Dari
sikap seperti itu, saking sengitnya menghadapi Jorge-isme, bisa
tumbuh dogmatisme lain — dogmatisme saintis.
***
213
masing-masing unik, berubah-ubah. Tapi mereka perlu punya
identitas.
Tentu saja tak ada yang salah dengan matematika. Tak ada yang
muram sebagaimana dilihat A.S. Laksana dalam tulisan saya. Jika
dibaca dengan cara seksama, akan tampak saya tak menafikan
perkembangan sains yang menakjubkan itu, setelah berkal-kali
disodori (juga oleh Sulak), katalog sumbangan sains bagi peradaban.
Kita tahu apa syarat agar sains ada. Ia memerlukan objek yang bisa
diulangi secara persis, dalam proses eksperimen. Mengikuti metode
yang benar, air yang dipakai dalam tabung di laboratorium X harus
sama dengan yang di laboratorium Y, untuk dapat kesimpulan yang
akurat. Dalam proses itu, sang air adalah sesuatu yang konsisten,
stabil, jelas, persis, tak ambigu. Untuk itu, matematisasi sangat
membantu.
Jadi, Sulak, bagi saya tak ada yang muram dengan matematika. Yang
“muram” ialah apabila dunia diterjemahkan semuanya sebagai wujud
yang dimatematiskan.
214
Yang ingin saya katakan, yang muram adalah bila hasil kalkulasi
dihadirkan sebagai benda itu sendiri. Yang muram adalah jika hutan
dilihat hanya sebagai sekian ribu pohon, sekian jumlah flora dan
fauna, sekian hektar luas untuk dipertukaran dengan harga sekian
rupiah — dan kita pun mengabaikan rindang dan teduhnya, warna-
warni daunnya, aroma humus di dalamnya. Lebih muram lagi jika kita
memandang manusia lain sebagai sekian jam tenaga kerja, sekaligus
dilihat nilai rupiahnya.
***
Feynman seperti biasa pintar bercerita, tapi dalam soal yang satu
ini ia kedodoran.
215
Pengalaman saya: saya belajar histologi di tahun 1961. Salah satu
yang tiap praktikum saya lakukan adalah menatap preparat dengan
mikroskop. Histologi menelaah mikroanatomi sel, jaringan, dan
organ. Untuk mempertahankan dan menjaga struktur jaringan dan sel
pada preparat, digunakan “fixative” kimia. Melalui mikroskop saya
bisa melihat bentuk sel yang seperti palet pelukis, lengkap dengan
warna-warni. Tapi elemen biologis manusia ini disiapkan sebagai
preparat yang statis. Ia hanya sel. Ia baru dimatikan, dan di
mikroskop ia menampilkan nukleusmya, mitokondria, atau
cytoplasma.
Maka sains pun mau tak mau bertolak dari sesuatu yang berhenti di
satu lokasi. Ini tak cocok dengan realitas —dan disebut Alfred
North Whitehead sebagai ESL, “Error of the Simple Location”.
Dari sini kita bisa mengerti kenapa bagi Whitehead, sains tidak
mungkin meliputi, mencakup, mengartikan segala-galanya.
216
Misalnya suasana senja di sebuah pelabuhan kecil.
***
“Saya melihat lebih banyak lagi tentang bunga itu daripada yang dia
lihat. Saya bisa membayangkan sel-sel dan tindakan-tindakan rumit
di dalamnya yang juga memiliki keindahan. Maksud saya bukan hanya
keindahan pada dimensi satu sentimeter; ada juga keindahan pada
dimensi yang lebih kecil, struktur bagian dalam.”
217
Berbareng dengan itu, Feynman menganggap “keindahan” sebagai
sesuatu yang di luar atau berjarak dari si bunga. “Keindahan” bagi
Feynman adalah sesuatu yang di-“milik”-i objek. Sementara dalam
sajak Chairil Anwar, “keindahan” — atau sesuatu yang mempesona,
menyentuh hati — bukan sesuatu yang di-“milik”-i oleh lanskapa
senja itu; ia tak terpisah dari benda, alam, manusia dan suasana hati.
Beberapa belas tahun yang lalu saya pernah, bersama Arief Budiman,
memperkenalkan satu metode yang menampik pendekatan analitik
seperti itu ke dalam karya sastra. Arief menamainya “metode
Ganzheit”: di sana ditekankan bahwa dalam proses menikmati karya,
kritikus dan pembaca langsung meresapkan karya itu dalam
totalitas, Ganzheit-nya — seakan-akan langsung masuk ke dalam
karya; posisi subjek dan objek berbaur.
***
218
Whitehead “dihadirkan untuk membuat kampanye hitam tentang ilmu
yang ia cintai”.
Lho.
***
Ketika saya belajar geometri, ia memberi pesan: “Ilmu ini jangan kau
pikir akan kau pakai untuk jadi insinyur dan membangun jembatan.
Di sini kamu harus seperti tak melihat ruang atau garis — hanya
angka-angka. Yang akan kamu dapat latihan berpikir keras dan
teratur”.
219
Dalam Bab V buku ini Whitehead bicara tentang simbol-simbol
matematik dan perannya, dengan sedikit sejarah.
220
Menguraikan “bifurcation of nature”, suara Whitehead seperti
murung. Dalam “Modes of Thought” ia menulis: “The concrete world
has slipped through the meshes of the scientific net”.
Sebab kita tak mengalami dunia hanya dengan akal. Realitas adalah
sebuah “event”, “kejadian” yang berproses terus. Dalam tiap
kejadian, hubungan berlangsung antara “objek-objek inderawi”
221
(suara, warna, aroma) dan “objek ilmu” (molekul, gelombang
elektromagnetik), dan gabungan keduanya.
“When you undertand all and all about the atmosphere and all about
the rotation of the earth, you may still miss the radiance of the
sunset.”
Dalam konstelasi itu, sains tetap akan berada di “tempat yang bersih
dan lampunya terang”, untuk meminjam satu kalimat Hemingway.
Sains bukan anggota masyarakat pengetahuan yang patut dicurigai.
Tapi — dan ini sekali lagi saya ucapkan dalam polemik ini —ia tak
perlu dipromosikan ke markas komando, menjadi otoritas tertinggi
untuk kebenaran dan kebijakan.
***
222
Dengan percaya diri ASL mengatakan bahwa informasi saintifik membuat
pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari
atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita
terhadap sains.
Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari
kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan: Orang tidak
mengamuk ketika mereka diminta menghentikan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang bersifat kerumunan. Para pendakwah yang keras menjadi
lebih pendiam. Mereka mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat
berdasarkan informasi saintifik.
Namun, ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah
oleh GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot
tentang Einstein yang mengatakan Politik lebih rumit dibandingkan fisika.
Tapi GM tidak tinggal diam. Ia pun nenanggapi balik ASL dengan artikel,
“Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian,
GM mengatakan bahwa “sains tidak berpikir”.
Batasan Argumen
223
kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil
mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah
dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang
membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat. Keterhubungan
menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia dapat
berada di manapun di belahan bumi.
Pada 1971, varietas Pelita I-1 dan Pelita I-2 dilepas. Varietas ini berasal
dari persilangan IR5 dengan Sintha. Namun, bencana hadir. Dua varietas
padi unggul ini rentan terhadap hama wereng cokelat. Dikarenakan
kesesuaian mutasi genetika, hama wereng cokelat berevolusi menjadi lebih
ganas. Mimpi peningkatan produktivitas pun berantakan.
Anekdot padi unggul ini menunjukkan wajah Janus sains. Kaidah sains yang
dipahami selama ini begitu mengagungkan objektifitas, bersifat imparsial,
dan memperkosa realitas. Ia mengagungkan rasionalitas dan pengalaman-
pengalaman manusia. Melalui metode yang dilembagakan, pemerkosaan atas
realitas itu tidak dapat terhindarkan. Realitas ditundukkan berdasar
teori-teori yang sudah ditentukan sebelumnya.
Begitu pula dengan argumen relativistik GM. Ia juga memiliki batasan yang
perlu untuk dikritisi. Sebagai amunisi debat, argumen relativistik GM
tentu memiliki pesonanya sendiri. Dengan mengutip sejumlah nama filsuf
beken, seperti Husserl, Heidegger, Popper, dan lain-lain, GM memang
berhasil membuktikan masalah-masalah yang dihadapi oleh sains. Tapi
224
sekali lagi, argumen itu hanya menarik sebagai amunisi. Tak pernah lebih
dari itu.
Untuk itu, salah seorang ahli fisika partikel terbesar Edward Witten suatu
kali pernah menyindir argumen relativistik Thomas Kuhn dengan sinis.
Sindiran ini sejatinya berlaku juga untuk GM. Filsafat Kuhn, baginya, tidak
dianggap terlalu serius kecuali sebagai standar perdebatan, bahkan oleh
para pendukungnya sekalipun.
Untuk itu, argumen Kuhn yang relativistik terhadap sains, pun mudah
dipatahkan Witten. Ia melakukan itu cukup dengan satu kalimat pertanyaan
ringan: “Apakah Kuhn pergi ke dokter waktu ia sakit? Nyatanya Kuhn
melakukan itu sebelum ia meninggal dunia karena kanker paru pada tahun
1996 silam. Ini membuktikan, Kuhn meyakini ilmu pengetahuan dan bukan
filsafat relativistiknya.
Jalan Keluar
Merujuk pada apa yang kami kupas sebelumnya, sadar atau tidak kita semua
mengamini sains dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Hemat
kami, ini berlaku tidak hanya untuk mereka yang positivistik, tapi juga
mereka yang relativistik, dan bahkan mereka yang mengaku sebagai
manusia paling beragama sekalipun.
Itu artinya, tidak ada yang salah dengan sains. Sikap saintislah yang
membuat sains menjadi bermasalah – menjadi ilmu yang buruk. Itulah sebab
manusia terkadang menggunakan sains untuk mengintimidasi dan
mengendalikan, mengeksploitasi dan menindas manusia lain.
Hal ini yang lalu membatasi jenis riset yang dapat dan akan dilakukan
saintis. Integritas mereka sebagai saintis independen pun dikompromikan.
225
Pola aliansi inilah yang menurut Mae telah mempertajam kesenjangan
antara Utara dan Selatan, antara yang kaya dan miskin.
Temuan Mae ini, menurut kami, menjadi penting untuk disitir dalam melihat
kasus pandemi Corona. Sebagaimana diketahui, saat ini WHO menyebutkan
terdapat 125 proyek vaksin yang sedang dikerjakan saintis untuk
menanggulangi virus. 10 kandidat vaksin potensial sekarang sedang diuji
pada manusia dalam uji klinis di seluruh dunia.
Namun pengerjaan vaksin ini dilakukan dengan pola aliansi seperti yang
disebutkan oleh Mae. Dan sialnya kita tidak pernah tahu niatan industri –
yang dibantu dan didorong oleh pemerintah – yang akan memproduksi
vaksin selama pandemi Corona, apa sekadar mencari laba atau
menjadikannya sebagai “barang publik global” tanpa profit?
Menyikapi itu, kita memerlukan jalan keluar dari persoalan semacam ini.
Usul kami manusia perlu mengembangkan apa yang disebut oleh Hidayat
Nataadmadja sebagai inteligensi spiritual. Berdasarkan pandangan ini,
sains akan selalu dipandang memiliki nilai moral dan tidak dapat
dipisahkan dari nilai tersebut. Jika ini yang dijadikan pedoman, maka
jawaban untuk pertanyaan di atas adalah vaksin Corona dibuat semata
untuk “barang publik global” tanpa profit.
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 1 dari 6
Bukan hanya menarik, tapi penting. Itulah kesan pertama saya dari
membaca polemik antara sastrawan A.S. Laksana [selanjutnya, Sulak]
dan penulis Catatan Pinggir majalah Tempo Goenawan Mohamad
[selanjutnya, GM atau Goenawan] di laman Facebook beberapa hari
terakhir.
226
dengan cepat dimeriahkan oleh banyak peserta lain, penting dalam
konteks penumbuhan budaya keilmuan, guna menanamkan perangai
ilmiah (scientific temper) pada publik, bukan agar mereka semua jadi
ilmuwan.
Secara umum semua esai Goenawan dilandaskan pada apa yang disebut
strawman fallacy oleh cognitive science (dan psikologi sosial). Ia
sendiri menyinggung pengertian itu dalam tanggapannya kepada
Sulak; ulasan Sulak ia anggap seperti memukul "memedi sawah" alias
salah sasaran; maka bolehlah kita indonesiakan istilah itu dengan
"falasi memedi".
227
Si B tadi akan membantah "gula lebih manis" si A dengan berfokus
pada pernyataan yang tidak pernah dikatakan oleh A itu. Untuk itu
ia akan menerapkan confirmation bias, ini level lanjutan dari
motivated reasoning, yaitu sikap yang hanya memilih data dan fakta
yang cocok untuk menyanggah "gula lebih manis", bukan data untuk
membantah "gula kurang manis" seperti yang dimaksud si A.
Maksudnya tentu saja agar data itu cocok dengan skema yang sudah
terbentuk di pikirannya berkat falasi memedi tersebut.
Konsekuensi pernyataan ini tidak bisa lain kecuali: dua contoh figur
yang dipetik dari karya fiksi itu adalah penyidik yang tidak
mendapat wahyu Tuhan, sedangkan semua atau kebanyakan penyidik
lainnya (tentu maksudnya di dunia nyata, bukan di novel detektif)
mendapatkan wahyu Tuhan dalam menjalankan kerja penyidikannya.
(Pasti maksud GM adalah penyelidik, bukan penyidik; keduanya punya
pengertian berbeda).
228
Argumen-argumen pendukung untuk klaim itu kemudian bergerak di
sepanjang jalur motivated reasoning dan seterusnya tadi.
229
SUTET?" Atau pakar kimia menulis: "Teater, drama modern, adalah
tabung-tabung reaksi yang kekurangan zat-zat esensial"? Ahli ilmu
politik bisa menulis tentang seni tari seperti ini: "Tarian adalah
sistem elektoral yang tak dilengkapi KPU untuk mengawasi
pelaksanaannya."
Tentu saja metode ini lebih sering meleset daripada tepat. Seperti
sudah lama ditunjukkan oleh studi sosiologi dan psikologi, "logika"
yang berlaku bagi individu berbeda dari logika sosial atau
kolektifitas; berbeda pula kompleksitasnya jika masuk variabel
negara.
Mau tak mau kita menyandarkan tendensi itu pada aliran atau corak
filsafat yang dianutnya, yaitu Romantisisme yang muncul di akhir
abad ke-19, sebagai reaksi terhadap mekarnya filsafat Pencerahan
(Enlightenment) di Eropa. Ya, meski merupakan reaksi terhadap
Pencerahan, sejarawan menamai aliran itu "Romantisisme", bukan
filsafat "Penggelapan" atau "Penyuraman"; mungkin karena
maksudnya: para Romantisis mendambakan suasana sediakala,
sebelum Pencerahan merajalela dan menjadi semangat dominan. Dan
dengan ini kita masuk ke isu sains.
230
manusia dan pengembangan potensi pribadinya secara penuh. Tahayul
dan mitos memang terkadang punya makna sosial yang penting,
misalnya untuk integrasi bangsa.
Tanpa sains, maka tukang sihir, dukun, ahli nujum ataupun remaja
yang putus cinta, misalnya, bisa mengeluarkan macam-macam hal
yang tidak rasional dari rasio mereka. Karena semangat pembebasan
itulah maka Pencerahan disebut suatu Revolusi Humanitarian.
231
“romantics” digunakan untuk memaknai begitu banyak hal, sehingga
istilah itu sendiri akhirnya tidak berarti apa-apa.
232
tentu saja bukan dalam bentuk paparan konseptual yang cukup
matang dan layak didiskusikan.
233
kolesterol sebagai unsur yang paling berbahaya bagi kesehatan
manusia.
***
234
Pada umumnya, beginilah proses tipikal kerja sains: bermula dari
gejala yang teridentifikasi, lalu gejala itu diobservasi, lalu
dirumuskan sebagai hipotesis, kemudian didiskusikan untuk
didalami aneka kemungkinannya guna mendapatkan cara paling
efektif untuk mengetahui karakter utamanya, lalu dieksperimentasi
di laboratorium, kemudian diverifikasi, mungkin tahap eksperimen
dan verifikasi ini diulangi beberapa kali, lalu ditarik kesimpulan
tentang hal-ihwal objek tersebut (bisa berupa benda, proses, elemen
baru, dan sebagainya).
Jika naskah itu lolos dari peer review itu, yang dilakukan dengan
menutup nama penulis teks (blind review), barulah ia diterbitkan,
bukan hanya untuk diketahui para rekan sejawat tapi juga untuk
dikritisi seluruh aspeknya; ini menjadi semacam pertanggung
jawaban sosial dan ilmiah keilmuan.
Bisa juga terjadi: temuan itu lolos uji peer review, dan bertahun-
tahun setelah ia diterbitkan mungkin ia dikoreksi oleh ilmuwan lain
di tempat lain; mungkin pula ia justru menginspirasi saintis lain
untuk meneliti lebih lanjut aspek-aspek tertentu dalam paparan
hasil riset awal itu.
235
Fisikawan Universitas New York itu mengirim artikel kepada Social
Text, jurnal cultural studies dan posmodernisme terbitan
Universitas Duke; setelah dimuat, Sokal mengungkap di jurnal Lingua
Franca bahwa artikel itu hoax.
Itulah saya rasa yang dimaksud Sulak bahwa sains itu ibarat
komputer jaringan, yang simpul-simpulnya saling mendukung,
sehingga sains bisa berkembang begitu cepat, termasuk dalam
mekanisme koreksi atas kesalahan-kesalahannya.
***
Metode sains yang sangat ketat dan terus disempurnakan ini tidak
mungkin ditandingi oleh jenis-jenis pengetahuan lain -- kalaupun
semua orang, dari bangsa mana pun, setuju belaka dengan teriakan
cemas kaum filsuf atau insan religius bahwa sains bukanlah satu-
satunya jenis pengetahuan untuk mencapai kebenaran.
236
XXXIV. 16 Juni: Hamid Basyaib
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 2 dari 6
237
Heidegger, yang terlalu sering dikutipnya. Ia mencontohkan apa yang
terjadi dalam kerja ilmu kimia. Segala jenis air, misalnya, kata dia,
diringkus dengan simbol H2O. Padahal air yang dirumuskan dengan
simbol kimia itu berbeda – ada air minum, air di vas bunga, air di
comberan. Ini kritik yang aneh sekali.
238
sejak beberapa tahun lalu di Amerika dan Eropa. Goenawan sendiri
terlalu sering memigura pigura.
***
239
utama pembentuk protein dalam semua sel hidup di dalam tubuh --
asal muasalnya dari luar bumi.
Dengan itu pula mungkin akhirnya bisa diketahui kapan saat yang
paling tepat untuk memberi pelajaran apa; jenis makanan apa yang
memungkinkan otak bekerja optimal, dan lain-lain. Sekarang ahli
neurosains bisa mengetahui kenapa seorang yang sukses, misalnya,
cenderung sukses terus dalam hidupnya, dan kenapa yang gagal
cenderung selalu gagal.
240
Kalkulasi biokimia itu muncul bukan dalam bentuk angka-angka,
melainkan berupa perasaan berani ataupun takut. Misalnya, saya
memilih lompat pagar meski dengan risiko terluka, karena pilihan
itu lebih mungkin berhasil. Artinya saya lebih memilih peluang
cidera karena melompat daripada terluka karena digigit anjing.
241
Cina, Singapura dan lain-lain, agar pendidikan kita tidak semakin
tertinggal.
***
242
Pada Maret 2013 CERN mengkonfirmasi boson Higgs memang ada. Pada
Desember, Higgs dan Francois Englert mendapat Hadiah Nobel untuk
Fisika karena prediksi teoretis mereka – bukan temuan mereka yang
bisa dilihat dan dikendarai. Pengakuan atas teori semacam ini besar
maknanya. Sebagai perbandingan: partikel graviton, yang diteorikan
merupakan force-carrier gravitasi, belum diakui; belum dimasukkan
ke dalam Standard Model, suatu model yang menyediakan kerangka
pemahaman hampir semua gejala fisika, selain gravitasi.
243
Lukas Luwarso dalam tanggapannya menyebut gejala itu sebagai
“nostalgis dan anakronis.” Sudah lebih dari satu abad para fisikawan
yang telah mengubah wajah dunia hampir tak pernah mendengar
istilah itu, karena semua yang mereka kerjakan sepenuhnya abstrak,
tapi bisa dibuktikan dengan matematika – bahkan kemudian
dibuktikan dalam wujud teknologi.
***
244
lalu muncul dengan berbagai “grand theory”, seperti dikerjakan Max
Weber, Emile Durkheim atau Sigmund Freud; atau juga Karl Marx.
***
ROMANTISISME DAN
FALASI MEMEDI GOENAWAN MOHAMAD
Bagian 3 dari 6
245
metodologi untuk tiba pada kesimpulan tertentu, dan langsung saja
mengklaim truth versi masing-masing.
246
Memperlakukan investor-investor seperti Peter Thiel sebagai
representasi sains tentu meleset. Siapa tahu pula ia, dengan
sesumbarnya yang terkesan terlalu optimistik itu, hanya bermaksud
mendongkrak harga saham perusahaannya.
Siapa tahu dengan cara itu bisa muncul kesimpulan yang solid – tapi
tetap merupakan kebenaran konjektural -- bahwa ia telah salah
paham terhadap tulisannya sendiri.
***
247
proyek ekspedisi kolonialistik, untuk tujuan-tujuan ekonomi-
politik.
Tapi hal itu tidak ada hubungan dengan proses-prosedur sains, yang
tetap harus mengikuti standar metode yang terus disempurnakan,
dan pasti akan kacau jika di level itu sains dicampuri oleh pemilik
modal atau penguasa politik. Kapten kapal Beagle yang membawa
Darwin meneliti ke Galapagos dan tempat-tempat lain bahkan
kemudian marah dan menentang teori Darwin setelah terbit On the
Origin of Species yang merupakan hasil dari menumpang kapal si
kapten dan dibiayai oleh kas negara Inggris.
Yang paling populer tentu saja bohlam, yang kini tersedia dalam
versi LED yang semakin terang, sangat hemat listrik dan semakin
murah dan mudah didapat (harga lampu LED merek-merek lain
248
umumnya lebih murah dibanding merek General Electric, perusahaan
warisan Edison).
***
Salah satu, dan mungkin yang utama, dari skeptisisme Goenawan yang
mendekati antipati terhadap sains adalah kecemasannya bahwa sains
akan menghancurkan aneka misteri dunia -- atau hal-hal yang
dianggapnya misteri. Padahal baginya pesona dunia justru terletak
pada misterinya -- pernyataan ini sangat mungkin dibantahnya
karena ia tidak pernah menyatakan hal ini secara harfiah; ia, seorang
yang gemar menafsir apa saja, memang kadang bisa tiba-tiba
memakai argumen legal-formal, seperti terlihat dalam polemik ini.
Jika semua tersibak, oleh kerja sains, lalu apa lagi yang tersisa
untuk menakjubi manusia -- dan membuatnya rendah hati karena
menyadari kedaifannya?
Dan sains sejauh ini jelas mengarah ke pengungkapan total itu. Sudah
terlalu banyak "misteri" yang diungkap, seperti jelas terlihat dalam
lima ratus tahun terakhir; perubahan yang ditimbulkan sains dalam
masa ini melampaui seluruh masa hidup Homo sapien.
249
Sebagai catatan: tujuh tahun lalu ditemukan jenis manusia baru,
Homo naledi, yang 21 kerangkanya terdapat di sebuah goa di dekat
situs UNESCO The Cradle of Humankind, Afrika Selatan. Usia Homo
naledi, ini yang sangat mengejutkan, kira-kira sama dengan H.
sapien.
Temuan tim yang dipimpin oleh Lee Berger ini sangat penting dalam
studi paleoantropologi, sebab 21 kerangka itu mewakili demografi
yang lengkap [laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dewasa dan
anak-anak, bahkan bayi].
Data Homo naledi sudah diungkap sejak 2015; tinggi mereka rata-
rata 143 cm [atau 4.5 kali kepala]; mereka bisa berlari, tapi lebih
suka di atas pohon dan jago memanjat. Dari ritual permakaman yang
mereka lakukan diduga mereka belum memiliki konsep akhirat. Belum
diketahui apakah mereka punah karena dimangsa predator [termasuk
Homo sapien] atau karena sebab-sebab lain. Tapi semua data itu
tidak mempengaruhi teori “Out of Africa” yang sejauh ini masih
mapan.
Dan sejak paruh kedua abad lalu, laju kereta sains melesat
eksponensial, berkat ditemukannya perangkat-perangkat ilmiah
yang semakin canggih dan makin tersebarnya pusat-pusat kajian dan
laboratorium yang mampu memproduksi teknologi sebagai derivat
sains.
***
250
utama seperti J. Craig Venter dan George Church; di belakang mereka
ada ilmuwan-ilmuwan usia 30an di universitas-universitas besar
Amerika dan mungkin juga sekarang Cina.
251
Sejauh ini yang sudah berhasil dibuat adalah “komputer beroda”
berupa sepeda dan terutama mobil tanpa supir, yang sejak sepuluhan
tahun lalu sudah berjalan sendiri sepanjang ratusan ribu kilometer
di kota-kota yang sibuk di California. Kemungkinan mobil nir-supir
Google menabrak sesuatu jauh lebih kecil dibanding mobil bersupir
-- ini akan mengurangi signifikan kecelakaan lalu lintas.
252
manusia harus pindah dari bumi, karena kedekatannya dari bumi dan
aman karena jaraknya cukup jauh dari matahari.
Bukan tak mungkin kelak exoplanet itu bisa dijadikan seperti vila
atau lokasi wisata, seandainya umat manusia tetap tinggal di bumi.
Jarak yang jauh akan diatasi oleh kemampuan pesawat-pesawat
khusus yang jauh lebih besar daripada pesawat penumpang tercepat
yang kita kenal.
***
253
Hampir semua penyakit di masa lalu dipercaya timbul karena faktor-
faktor misterius, bersumber dari luar bumi dan sejarah, sehingga
penyembuhannya pun diupayakan dengan cara-cara yang kini
memalukan atau mengerikan untuk diceritakan – misalnya, dengan
membakar ribuan orang Yahudi di Eropa, seperti diceritakan oleh
Goenawan. Kita selayaknya tak henti bersyukur bahwa sains sejauh
ini telah cukup banyak memerdekakan umat manusia dari kungkungan
aneka misteri itu.
Semua ilmuwan akan mengakui fakta ini; mereka telah terlalu sering
mengalami sendiri bagaimana percabangan misteri itu begitu tak
terhingga kayanya. Ahli neurosains pasti merupakan salah satu
contohnya. Tiap hari mereka menemukan hal-hal baru pada aspek-
aspek kecil dalam studi otak, yang digambarkan oleh neurosaintis
Diane Ackerman sebagai “gundukan berkilau, yang sangat sibuk
dengan percakapan-percakapan neural nonstop; sebuah
laboratorium kimia yang sesak; suatu parlemen sel berwarna
kelabu-tikus; sebuah pabrik mimpi; tiran mini di dalam sebuah bola
tulang...”
254
Peminat dan konsumen sains turut terpesona justru oleh kemampuan
penyingkapan itu dan oleh misteri baru yang terbuka karenanya --
bukan terpesona oleh ketakberdayaan dan kenikmatan mental berkat
dibelenggu ketaktahuan akan misteri itu.
Pada tanggal 2 Juni 1897 ada kabar Mark Twain meninggal. Para
wartawan datang ke rumahnya untuk mengecek. Pengarang yang kocak
itu ternyata masih segar bugar. Komentarnya, kalau diterjemahkan
dengan gaya Cak Lontong: “Saya? Mati? Wah, itu dilebih-lebihkan!”.
Demikianlah, ketika dikatakan bahwa filsafat sudah mati, saya ingin
meniru Mark Twain: “The report of the death of philosophy was
exaggerated.”
***
Maka saya senang membaca tanggapan kritis Taufiqurrahman atas
tulisan saya.
Dari semua yang “menyerang” saya dalam polemik tentang sains kini,
setahu saya hanya Taufiq — mungkin karena dia terlatih dalam
filsafat —yang tanggap terhadap soal yang sejak mula saya
sarankan: agar kita menengok bersama lebih dalam bagaimana
sebenarnya sains “menafsirkan dunia”, bukan hanya bercerita
bagaimana sains “mengubah dunia”.
Menurut hemat saya, sudah saatnya kita menelaah sisi epistemologis
dari sains — dan ruangan di FB kita ini tak hanya diisi cerita tentang
255
seabrek prestasi sains yang hebat. Katakanlah mengulang-ulang
kehebatan prestasi sains itu penting sebagai semacam pembelaan,
bila pandangan kritis kepada sains dianggap sebagai “dakwaan” (kata
yang dipakai Hamid Basyaib). Tapi sesungguhnya tak perlu
pembelaan. Jangan khawatir, Bung Hamid. Saya (dan saya kira juga
Fritz Sitorus, Budi Hardiman, dan Bambang Sugiharto) tak menuding
sains sebagai penyelewengan. Saya, misalnya, sudah berkali-kali,
sejak tulisan pertama, mengatakan, bahwa saya — yang merasa “rada
Popperan” — mengagumi sains.
Yang ingin saya soroti adalah pikiran-pikiran “positivisme baru”
yang menjunjung kembali beberapa thesis Positivisme Prancis abad
ke-19 yang sebenarnya sudah lapuk. Belum jelas benar kenapa
semangat ala Comte ini berkibar lagi sekarang— bahkan dengan elan
dan dogmatisme ala mualaf.
Orang menyebut itu gejala “saintisme”. Tapi saya tak mau berdebat
panjang lagi tentang istilah itu; maka lebih baik saya melihat apa
yang diyakini Positivisme — baik Positivisme KW-1 abad ke-19
maupun “Positivisme” KW-2 abad ke-21:
A. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa dengan kemajuan
pengetahuan manusia, agama akan lenyap.
B. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa filsafat akan mati.
C. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa semua pengetahuan manusia
akhirnya akan jadi produk sains, atau menggunakan dasar
pemikiran dan metode sains modern. Kalau tidak, akan
ketinggalan zaman, atau bisa dianggap takhayul.
Apa dasar kepercayaan-kepercayaan itu? Sejauh manakah
kepiawaian sains?
***
Taufiq menjawab, dengan kalem dan jernih: sains memang tidak
berpretensi menjawab semua persoalan. Sains—dalam arti spesifik:
ilmu alam—hanya berupaya menjawab soal-soal dunia alamiah. Maka,
dalam hal ini, kata Taufiq pula, (dan ini melegakan hati saya), “kritik
Husserl dan Heidegger terhadap sains tentu saja benar.”
“Sebab sains, tak seperti fenomenologi, memang tidak hendak
menangkap dimensi subjektif manusia dalam pengalamannya
berhadapan dengan dunia. Sains justru berupaya mengetahui dunia
256
sebagaimana ia ada dalam dirinya, bukan dunia sebagaimana yang
dialami manusia.”
Kata Taufiq selanjutnya: “Dunia yang ingin diketahui sains adalah
dunia yang keberadaannya tidak bergantung pada pengalaman dan
pikiran manusia (“mind-independent world”), dunia yang objektif,
ada di sana. Dunia semacam itu bisa diakses oleh manusia melalui
matematika, bukan melalui fenomenologi transendental ataupun
melalui kata-kata penuh metafora.”
***
Taufiq merujuk ke pemikiran Quentin Meillassoux, filsuf yang dalam
usia muda, sekitar 30 tahun, mempesona dunia filsafat Barat. Dengan
bukunya yang tak tebal, (versi Inggrisnya “After Finitude”), yang
ditulis dengan bahasa yang terang, Meillassoux mencoba dengan
serius menjungkirkan bangunan epistemik filsafat Barat selama ini:
“korelasionisme”.
257
yang secara mutlak independen dari aku, atau dari zamanku, atau
duniaku.
***
258
“Panas, misalnya, adalah kualitas objek yang baru muncul begitu ada
relasi antara subjek dan objek, begitu subjek menyentuh objek
pembawa sifat panas”. Dengan kata lain, kualitas itu muncul karena
adanya relasi subjek-objek. Maka tingkat kepanasan objek yang sama
akan terasa berbeda bagi subjek yang berbeda. Tapi sebagai
temperatur, karena bisa diformulasikan secara matematis, bukanlah
kualitas yang bergantung pada sensasi subjek. Siapa pun subjek yang
mengukurnya, temperatur dari objek yang sama dalam kondisi yang
sama akan tetap.”
***
Atau kritik Ray Brassier, yang juga, seperti Harman, seorang pemikir
“mazhab” Realisme Spekulatif. Bagi Brassier, Meillassoux
mempertaruhkan otonomi das-Ding-an-sich (“the in-itself”) ke
dalam rangka kronologi atau acuan waktu; ia meletakkan “arche-
fossil” dalam parameter temporal: sebelum dan sesudah zaman
manusia. Padahal parameter itu, waktu yang terukur itu, adalah
waktu manusia, waktu subjek yang sadar. Di sini, ia tergelincir ke
dalam premis “korelasionis”.
Lalu?
259
Barangkali kita perlu kembali ke Realisme bodo-bodoan: sains tak
mungkin menjangkau sesuatu yang di luar pemikiran manusia.
Meskipun ia dapat, dengan metodenya, mampu independen dari
subjektivitas manusia, dalam batas tertentu, dalam kondisi
tertentu.
***
Seperti pernah saya sebut dalam tulisan yang lalu, teori Locke
ditampik Whitehead sebagai awal dari “bifurcation of nature”.
Latour: “if nature really is bifurcated, no living organism would be
possible, since being an organism means being the sort of thing
whose primary and secondary qualities—if they did exist—are
endlessly blurred. Since we are organisms surrounded by many other
organisms, nature has not bifurcated” (p. xiii).
260
XXXVII. 19 Juni: Ulil Abshar Abdalla
TENTANG KORELASIONISME
Catatan kecil untuk Goenawan Mohamad
Saya melihat, langkah Meillassoux ini adalah bagian dari trend besar
dalam pemikiran filsafat di Barat yang hendak "membunuh manusia"
(setelah sebelumnya membunuh Tuhan!). Ini adalah "the latest
attempt at the killing of God and, by its default, human".
Kecenderungan ini paling menonjol dalam tradisi filsafat Perancis.
Apakah ini ada kaitan dengan konsep "laïcité" yang keras di negeri
itu?
261
Saya tak cocok sama sekali dengan gaya berpikir seperti ini. Bagi
saya, manusia adalah pusat dari seluruh pekerjaan pengetahuan.
Seluruh bangunan sains modern hanya mungkin tegak dengan
mengandaikan adanya agen penting: yaitu manusia.
262
Sains hanya mengungkap satu lapis "rahasia natural" dengan metode
tertentu, dan dengan mengandaikan bahwa rahasia ini terungkap
dalam relasi antara objek dan subjek (=manusia).
Tetapi ada lapis rahasia yang lain, yaitu sesuatu pada dirinya
sendiri. Lapis inilah yang tidak bisa ditembus. Meskipun saya
bertanya-tanya pula: apakah tak bisa ditembus sama sekali, atau
tidak bisa ditembus melalui metode sains?
Dan, seperti kata GM, tatapan ini tidak harus dimaknai sebagai
"dakwaan" atas sains, atau apalagi mewakili sikap regressif kedalam
metafisika tradisional yang dianggap akan mengganggu kemajuan
sains.
263
dalam bukunya How to Create a Mind: The Secret of Human Thought
Revealed (Viking Penguin, 2012).
Tapi "beberapa langkah" itu tampaknya masih perlu dua puluh tahun
lagi, selain pikiran ciptaannya mungkin saja tak sebaik akal manusia
-- walau yang lebih mungkin adalah sebaliknya. Di buku itu ia
bilang, misalnya, membran di dalam otak manusia mampu menyimpan
300 juta informasi – ia tentu bisa membuat “otak digital” berkali-
kali lipat dari jumlah ini, sambil memberinya kemampuan untuk
memanggil informasi itu kapan saja; hal yang tidak dimiliki otak
biologis.
264
Sekadar perbandingan: pada 1997 IBM menciptakan Deep Blue, yang
memenangkan pertandingan melawan juara dunia catur Gary
Kasparov. Saya pernah memainkan partai mereka di situs
chessgames.com dan pada langkah ke sekian, Kasparov benar-benar
menjepit Deep Blue dengan sangat ketat tapi sangat halus, membuat
komputer itu terdiam cukup lama.
***
265
hibrid [cyborg atau transhuman] yang tercipta di masa itu akan
mampu meningkatkan kapasitasnya sendiri terus menerus. Ray
Kurzweil memaparkan secara terinci skenario ini dalam bukunya
yang terbit 2005, Singularity is Near: When Humans Transcend
Biology -- saya tak kunjung tamat membaca karya 652 halaman ini.
Tentu yang akan terjadi adalah seperti yang telah kita alami
berulang kali selama ini: yang akan mampu membeli teknologi hibrid
pertama-tama adalah orang-orang kaya; mereka inilah yang akan
mengalahkan manusia-manusia biasa yang hanya memiliki
kecerdasan alamiah-biologis. Lama-kelamaan semakin banyak orang
yang mampu membeli teknologi itu, karena harganya akan semakin
murah.
WHO pun sudah merevisi dan membuat standar baru kategori status
usia. Sekarang orang berusia 50-65 tahun adalah "menjelang tua",
66-75 adalah "tua", usia 76-90 "sangat tua", dan 90 ke atas adalah
"superold". Ini juga tentu berpengaruh pada penetapan batas usia
pensiun bagi pegawai di seluruh dunia.
266
Sekarang, orang-orang seperti Raymond Kurzweil meramalkan
prospek hidup abadi –suatu aspirasi tua manusia; mungkin karena ini
pula muncul konsep after life, kehidupan setelah mati. Kebetulan
sudah ada pula perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa
cryonic, suatu metode pembekuan jasad dengan nitrogen cair.
Seorang yang saat ini berusia 70, misalnya, pada saat ia meninggal
dunia kelak bisa minta jasa cryonic. Harapannya jika nanti ada
teknologi yang mampu menghidupkannya lagi ia bisa mengikuti
proses medis dan teknologi yang memungkinkannya hidup selama
ribuan tahun atau bahkan abadi.
Sejarawan Yuval Harari juga banyak menyinggung isu ini dalam buku
dan ceramah-ceramahnya. Ia meramalkan di akhir abad ini manusia
akan punah (bisa juga kita tafsirkan: ia menghitung masa lima
puluhan tahun setelah ramalan Kurzweil 2045 itu, ketika semakin
banyak warga bumi berubah menjadi manusia-hibrid).
***
269
Terlibatnya nama-nama besar itu, para teoretisi utama dan teknolog
di garis terdepan teknologi AI, menunjukkan keseriusan masalah ini.
Mereka bahkan melampirkan dokumen panduan riset prioritas dalam
petisi itu, yang boleh dimanfaatkan oleh siapa saja, agar AI bisa
mendatangkan manfaat sosial optimal.
270
untuk menekan angka kriminalitas atau menangkap buron yang sudah
bertahun-tahun lolos.
Semua itu merupakan pengawasan "over the skin"; masih kasar dan
fisikal. Pengembangan AI memungkinkan pengawasan "under the skin",
yang membuat sang mesin mampu memahami kita lebih baik dibanding
kita memahami diri sendiri.
Dengan cara itu pula sebenarnya yang terjadi adalah saling baca
antara kita dan buku. Kita membaca teks di dalamnya, sang buku
membaca emosi kita. Maka ia tahu di halaman berapa kita berhenti
membaca, kata-kata apa yang kita tandai, istilah-istilah apa yang
kita tak mengerti; kapan kita kembali ke buku itu [disertai
pemberitahuan telah berapa persen Anda membaca buku itu].
Makin lama data semacam ini makin lengkap. Dua-tiga tahun lagi
data di seputar ini, dan dengan demikian fasilitas dan fiturnya --
misalnya bacaan kita langsung bisa terhubung dengan semua buku
yang membahas isu yang sama untuk keperluan cek silang-- akan
semakin dipertajam. Makin lama data reaksi tubuh dan pikiran kita
271
pun diketahui kian mendetail; apakah kita berkeringat, apakah
tekanan darah naik, apakah asam lambung meningkat, dan seterusnya.
Tentu ini bisa negatif, tapi juga bisa sangat positif bagi kebutuhan
kita. Dengan itu kita bisa menghemat waktu dalam menyeleksi barang
yang kita butuhkan. Kita juga mungkin diberitahu bahwa kita
membutuhkan obat tertentu, meski kita bahkan tidak menyadari
gejala penyakit yang mungkin bersarang di dalam tubuh kita.
Itulah yang membuat Henry Kissinger dalam usia 90an merasa perlu
menulis artikel panjang di Atlantic Monthly, yang memperingatkan
bahaya nyata berupa keunggulan AI Cina dalam persaingan dengan
Amerika -- keprihatinan politisi veteran memang terbatas dalam
konteks kemampuan kompetisi negaranya di panggung global.
Kissinger mengaku sudah banyak berdiskusi dengan pakar-pakar
terbaik AI dan menyimpulkan bahwa dalam soal teknologi yang sama
sekali ia tidak kenali itu, RRT sudah mengungguli Amerika.
***
Berulang kali ia memohon agar jangan ada upaya apapun dari pihak
manusia untuk coba-coba mengontak makhluk-makhluk luar
angkasa. Jika kontak terjadi dan mereka tertarik dengan kita,
menurut dia, umat manusia akan sangat terancam karena mereka ia
yakini memiliki teknologi yang jauh lebih unggul dan karenanya akan
memperbudak kita.
273
"Ibarat Anda melakukan perjalanan dengan mobil," kata Kaku, "di
tengah jalan Anda buang air kecil lalu melihat semut di rerumputan.
Apakah Anda akan tanya kepada semut itu di mana ratunya dan
sebagainya? Tentu tidak, kan? Sebab semut itu sangat remeh. Begitu
juga: manusia dianggap tak berarti oleh alien luar angkasa itu."
Tapi para ahli tetap giat memburu alien dengan proyek pencarian
kehidupan di luar angkasa (SETI, search for extraterrestrial life).
Joseph Gale baru-baru ini menulis di International Journal of
Astrobiology (ya, mereka bahkan sudah membentuk disiplin
astrobiologi) bahwa temuan-temuan mutakhir AI akan mengubah
seluruh paradigma SETI. Dan Singularity yang tercapai 25 tahun lagi
akan merupakan pencapai manusia terbesar dan terakhir. Kisah
selanjutnya tidak ada yang mampu meramalkan.
***
274
editing gen bisa mengubah warna kulit sebagai salah satu
kemampuannya.
Doudna mungkin teringat dan tak mau terulang apa yang terjadi
beberapa tahun sebelumnya ketika teknologi stem cell ditemukan.
Pemerintahan George Bush Jr. melarang penerapannya, diduga karena
tekanan Christian Coalition. Para ilmuwan dan dokter spesialis
bidang itu segera menanggapinya dengan berbondong-bondong
pindah dari Amerika, konon jumlahnya beribu-ribu, terutama ke
Inggris. Amerika mengalami brain drain yang sangat merugikan.
***
275
Demikian pula, para penggiat biologi sintetik (synbio) pun mengirim
surat kepada Presiden Barrack Obama di masa kedua presidensinya.
Mereka memberitahu bahwa mereka akan segera sanggup menciptakan
makhluk baru, dan mengharap pemerintah Amerika mengeluarkan
keputusan yang jelas mengenai hal ini.
Tentu saja dampak hal itu adalah mereka bisa pindah ke negara lain
seandainya keputusan Obama tidak mendukung. Dan hal itu
menyimpan potensi bahaya. Tidak ada yang bisa menjamin karya-
karya mereka tidak digunakan oleh negara-negara lain untuk
pemanfaatan makhluk-makhluk itu dengan cara yang merugikan
Amerika dan dunia.
276
Aktifitas Church, Venter, dan lain-lain itulah yang membuat
Newsweek membuat cerita sampul kira-kira sepuluh tahun lalu: Life
2.0. Kehidupan akan segera naik ke level berikutnya, seperti
kapasitas komputer.
Ternyata ambisi itu diambil alih oleh AI, sehingga Max Tegmark
memberi judul bukunya, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial
Intelligence [2017]. Ia memberi nafas spirit yang berbeda daripada
ambisi para penggiat synbio, sesuai visinya yang sangat hati-hati
dan kritis terhadap potensi destruktif AI.
277
satu-satunya hal yang jelas dalam sikap Goenawan hanya ketika ia
membahas soal penyair dan kepenyairan.
278
Maknanya: “suatu uraian yang bagian-bagiannya tidak dianggap
sebagai proposisi-proposisi yang dapat didiskusikan secara
objektif, tetapi harus diterima sebagai ekspresi keadaan mental,
situasi kejiwaan, atau percikan ke luar suatu interioritas yang
pribadi dan intim.”
***
279
is Dead”], Daniel Bell [The End of Ideology], Francis Fukuyama [The
End of History], John Horgan [The End of Science].
Banyak juga ahli yang percaya "teori segalanya" itu mungkin diraih.
Konon sedikitnya kini ada dua calonnya, String Theory dan Loop
Quantum Gravity. Tapi tak sedikit yang tak percaya. Geoffrey West,
pakar fisika dan eks direktur Santa Fe Institute, cenderung
menertawai upaya pencarian ToE itu, yang pernah pula diupayakan
oleh Hawking tapi kemudian ditinggalkannya.
Bagi West, penulis Scale: The Universal Laws of Life and Death in
Organisms, hal itu tak masuk akal. Sebuah teori yang lengkap di
suatu disiplin atau subdisiplin mungkin saja diperoleh. Tapi ToE
sungguh sukar dibayangkan.
280
Dan barangkali optimisme (?) Stan Grof dan pesimisme Geoffrey West
itu kalah cepat dalam perlombaan dengan manusia hibrid Ray
Kurzweil. Semua rencana itu, baik perburuan ToE maupun impian West
yang membiarkan setiap disiplin memburu teori lengkapnya masing-
masing, akan menempuh jalur yang sama sekali baru, sesuai dengan
ketakterdugaan perkembangan cyborg.
Alam semesta ini, kata Stephen Hawking, yang telah memberkahi kita
dengan pemahaman yang menggetarkan tentang alam semesta,
terbentuk karena hukum-hukumnya sendiri, 13,8 miliar tahun yang
lalu. Pertanyaan tentang apa yang ada atau terjadi sebelum itu,
menurut Hawking, adalah pertanyaan yang tak bermakna, karena
pertanyaan itu mengasumsikan sudah ada waktu yang menjadi titik
referensi, padahal dalam awal pembentukan universe tersebut waktu
tidak ada.
***
Semua itu akan berhenti jika ramalan Ray Kurzweil, untuk kesekian
puluh kalinya, terbukti. Dan ia bukan hanya meramal, atau menunggu
ramalannya terbukti sendiri. Ia turut aktif mewujudkan ramalannya
itu dengan segala macam aktifitas guna melahirkan manusia-hibrid,
mematangkan situasi Singularity, ketika sejarah manusia-biologis
berakhir. Dan manusia keluar dari skema evolusi yang sudah
282
berlangsung 3.5 miliar tahun – jejak sel tunggal atau LUCA dari masa
itu, kata para ahli biologi, masih ada di dalam tubuh kita hari ini -
- untuk melangkah ke arah yang belum dapat diperkirakan.
Kita juga tak bisa hanya berdebar menunggu Singularity yang tak
lama lagi itu. Apapun yang terjadi, keadaan apapun yang melingkupi
diri kita, termasuk dikepung jenis virus baru seperti yang mencekam
kita hari-hari ini, kita boleh terus bertanya.
Teriakan itu makin parau, dan akhirnya tak lebih hanya menggemakan
kecemasan agama terhadap sains, terutama di Amerika -- hanya
kalangan itu yang sampai hari ini masih sekali-sekali mencoba
meneriakkannya, tentu tanpa hasil apapun. Mungkin karena fakta ini
maka Goenawan kemudian enggan melanjutkan pembahasan tentang
“saintisme”.
283
Saya rasa orang-orang yang memilih meledek apa yang mereka sebut
“saintisme” telah salah pilih. Bukannya turut mengapresiasi sains
modern, dengan segala kurang-lebihnya – dan siapa tahu dengan ini
makin banyak orang yang mengembangkan perangai ilmiah, dan bukan
suntuk dengan tahayul dan obskurantisme -- mereka malah sibuk
menggambar aspek karikaturalnya, sambil tak bosan-bosannya
memamah spekulasi-spekulasi filsafat baheula, yang ternyata tak
pula mereka pahami dengan memadai, seperti diakui oleh Goenawan
tentang Martin Heidegger, seorang filsuf anti-Semit dan pendukung
loyal Nazi, sehingga sejumlah penulis, misalnya Fried Gregory,
menghubungkan filsafatnya dengan Naziisme.
***
Tapi bagi Goenawan ilustrasi panjang tentang state of the art sains
di berbagai bidang itu hanyalah “katalogus sains yang hebat-hebat”
dan “tak memberi insight baru”; tanpa menyadari yang dilakukannya
adalah tak henti-hentinya menyuguhkan katalogus usang ide
filosof-filsuf lama Eropa, yang tak ada hubungan apapun dengan
perkembangan sains mutakhir. Dalam konteks ini ia tergopoh-gopoh
memburu nama yang tampak baru didengarnya, dan segera
mengutipnya, walaupun “saya belum paham benar pemikiran
Meillassoux.”
284
danger” yang patut mendapat perhatian besar kita sebagai warga
bumi?
285
atas Issac Newton; pemikiran Hume disebutnya "sensationalist
empiricism"].
Dan kekeruhan itu dari hari ke hari terlihat makin jelas. Sehingga
Bambang Sugiharto, misalnya, yang tampaknya diajak Goenawan turut
dalam polemik ini, justru banyak menjelaskan makna “model” dalam
sains [meski pointersnya itu problematik juga karena dicampuraduk
dengan teknologi], dan penjelasan itu tentu saja ditujukan kepada
Goenawan, karena dialah yang sibuk menyanggah validitas modeling
sains yang disebutnya mereduksi realitas.
Saya juga tidak pernah menyebut istilah lama “ilmu pasti” atau “ilmu
eksakta”; bahkan jurusan saya di SMA, puluhan tahun lalu, sudah
menggunakan istilah “Ilmu Pengetahuan Alam”. Karena itu saya
sering juga ikut praktikum di laboratorium, tapi saya tidak mungkin
dengan naif meyakini bahwa biologi telah diringkus dan direduksi
oleh preparat dan mikroskop di laboratorium sederhana itu.
***
286
Saya sangat heran terhadap usikan Goenawan tentang “belajar
filsafat” dan “epistemologi yang kurang siap” itu; ini saya rasa
menyentuh taktik argumentum ad hominem [biasanya ini isyarat
kelemahan atas substansi diskusi]. Padahal, setiap saya menikmati
puisi-puisinya, misalnya, saya tidak pernah peduli dan bertanya di
universitas mana ia belajar menulis puisi; saya juga tak bertanya di
fakultas apa ia belajar menulis naskah drama dan menyutradarainya.
Akhirnya, saya perlu menegaskan lagi apa yang semula saya kira tak
perlu dijelaskan bahwa yang saya maksud “filsafat sudah mati”
adalah dalam pengertian simbolik, metaforis, katakanlah seperti
“God is dead” Nietzsche – yang oleh Goenawan tak pernah didesak
untuk dijelaskan “secara ilmiah”. Dan itu tidak berarti filsafat tak
berguna sama sekali. Karl Popper menggolongkan filsafat ke dalam
pengetahuan pre-science [lihat bukunya, The Logic of Scientific
Discovery, 1959].
Ia tidak ilmiah, kata Popper, tapi yang tidak ilmiah tak niscaya
mubazir. Kesepakatan tentang hak-hak azasi manusia, misalnya,
yang diadopsi PBB sejak 1948, itu tidak ilmiah.
Di dalam tubuh manusia tidak ada HAM. Yang ada adalah jantung, usus,
ginjal, dan sebagainya. Tapi prinsip HAM penting sebagai sarana
menghormati martabat warga negara [ini juga tidak ilmiah],
terutama dari potensi pelanggaran oleh negara; dan konseptualisasi
cakupannya terus diperluas.
287
Dengarlah Richard Feynman: "Saya lebih suka memiliki pertanyaan-
pertanyaan yang tidak bisa dijawab daripada punya jawaban atas
pertanyaan yang tidak bisa diajukan."
Dan itu adalah pernyataan arif yang rendah hati -- bukan pongah
dan mengidap saintisme.
***
288
penjunjung panji-panji slogan: “sains modern satu-satunya jalan
kebenaran”.
289
Sebagaimana belakangan ini bertebaran berbagai teori konspirasi
terkait pandemi COVID-19. Dari teori virus SARS-CoV-2 sebagai
senjata biologis buatan China, eh Amerika, eh Israel, eh entah buatan
siapa; atau bisnis jahat para kapitalis farmasi untuk jualan obat dan
vaksin; hingga agenda Bill Gates untuk mendepopulasi dunia.
Kisah tentang sains, satu tema yang menarik dan membuka imajinasi
tanpa-batas, menjadi kering dan getir dalam tuturan GM. Uraiannya
soal sains seperti terkungkung dalam “kubah transparan di langit
yang tidak ada”. Mirip wacana geosentrisme abad pertengahan yang
mengira bumi diselubungi kubah langit transparan, yang memisahkan
bumi dengan surga.
Selain karya sastra dan film, GM juga merasa perlu mengutip pidato
Max Weber, dan sejumlah filsuf lain, untuk memastikan bahwa sikap
muramnya pada sains bukan cuma “nyeni”, tapi juga “filosofis”. Poin
kritik GM adalah, sains “tak pernah menanyakan makna hidup”,
sekaligus mengingatkan agar “jangan jumawa, mampu menjawab
segala hal”.
291
dengan perkembangan ilmu, sains dan teknologi. Beberapa nama bisa
disebut, misalnya Nick Bostrom, Mario Bunge, Luciano Floridi,
Stuart Russel, Kevin Kelly, untuk menyebut beberapa nama.
Filsafat Bertutur
293
(emergent) dalam proses evolusi panjang yang terus berlangsung dan
belum usai—sebagaimana deskripsi kaum empiris.
294
Tapi itu pula, misalnya, yang ditolak oleh filsuf Post-modernist,
Paul Feyerabend, yang dalam bukunya “Against Method: Outline of an
Anarchistic Theory of Knowledge” (1975). Ia berargumen sains adalah
“upaya anarkis” (an anarchic enterprise), metode sains itu tidak ada.
295
sebagai filsuf yang gemar berakrobat kata-kata dan berumit-rumit
dengan konsep.
296
subject ceases to be called philosophy, and becomes a separate
science).
Sains Bercerita
297
no cosmic plan; what a mockery, to live in exile when no one sent you
there. Exile from a place, moreover, that does not exist).
298
dewa-dewa, versi masing-masing. Kemudian agama Samawi (Yahudi,
Kristen, Islam), yang dominan dianut lebih dari tiga miliar manusia,
mengambil alih narasi mitologis kisah penciptaan. Mereka meyakini,
Tuhan monotheis menciptakan alam semesta dalam waktu enam hari.
Kisah Big Bang dianggap valid pada 1964, setelah melalui proses
penyelidikan dan perdebatan panjang. Pertama kali diindikasikan
oleh Einstein dalam Teori Relativitas (1917) dan dirumuskan oleh
George Lemaitre (1927) dengan istilah “Cosmic Egg” (telur kosmik)
sebelum bernama Teori Big Bang.
Cerita alam semesta berubah dan harus direvisi berulang kali, sesuai
dengan temuan dan pengukuran teknologi terbaru. Sebelum Teori Big
Bang, manusia memahami “dunia” sebagai bumi datar tertutup kubah
transparan yang menjadi batas langit. Dalam kubah transparan ini
ada bintang, bulan dan matahari yang mengelilingi bumi sebagai
semacam dekorasi. Ini adalah cerita versi paradigma geosentrisme,
bumi sebagai pusat dunia.
Teori Big Bang juga menyisakan misteri yang serupa. Ada apa sebelum
Big Bang? Alih-alih menyerah, “Oh itu misteri Big Bang”, sejumlah
astrofisikawan mengajukan cerita (hipotesis) baru berjudul “String
Theory.” Basis ceritanya: jika alam semesta adalah pertunjukan
drama, partikel subatomik (quark, proton, neutro, elektron,
fermion) adalah aktor-aktornya dan medan gravitasi adalah
panggung.
Namun masih ada persoalan, cerita String Theory hanya berlaku jika
panggung gravitasi bukan cuma tiga dimensi, melainkan 10 dimensi.
300
Ini yang masih belum terkonfirmasi, dunia yang dipahami dan bisa
diobservasi manusia, sejauh ini, cuma empat dimensi. String Theory
benar secara hitungan matematis, namun belum terbukti bisa
diobservasi secara empiris. Ceritanya masih dianggap fiksi, belum
menjadi fakta.
301
dan media. Kecepatan, menurutnya, mengubah hal yang alamiah. Siapa
cepat akan menguasai yang lambat. Virilio menginginkan sains
mengerem obsesi pada teknologi.
Perang suatu saat akan akan berhenti. Namun perang gagasan, “war
of ideas”, akan berlanjut. Dalam polemik mempersoalkan sains saat
ini, GM menyampaikan kekhawatiran, sains akan menjadi “panglima”
pengetahuan manusia. Statement ini sepertinya mencerminkan
302
trauma GM muda, pada politik era Orde Lama (1960-an) ketika di
Indonesia populer slogan “politik menjadi panglima”.
303
Dunia sains 25 tahun terakhir menunjukkan etalase kemajuan
mencengangkan. Berbagai wacana lama tentang realitas ontologis
mendapatkan tafsir baru. Dunia artificial Intelligence (AI) tak pelak
akan mengakselerasi berbagai penemuan teknologi dan pengetahuan
baru. Nick Bostrom adalah filsuf yang perlu dirujuk dan dikutip
untuk memahami geliat dunia sains masa kini dan mendatang,
ketimbang Husserl, Heidegger, Popper, atau Meillassoux.
304
kita tidak tahu, ke mana evolusi kultural, yang berjalan sedemikian
cepat, akan membawa perubahan pada manusia.
305