Anda di halaman 1dari 7

Callosum Neurology, Volume 2, Nomor 1: 1-7, 2019

LAPORAN KASUS
ISSN 2614-0276 | E-ISSN 2614-0284

LAPORAN KASUS: PENANGANAN


STATUS EPILEPTIKUS REFRAKTER
PADA ANAK DENGAN
MENINGOENSEFALITIS DI RUMAH SAKIT TIPE D
Fabian J Junaidi, Saphira Evani
RS Karitas, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

Diterima 08 Oktober 2018 DOI:10.29342/cnj.v2i1.46


Disetujui 09 Februari 2019
Publikasi 18 Maret 2019 Korespondensi: fab0w@yahoo.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Meningoensefalitis merupakan dari rumah sakit dengan keadaan membaik tanpa
penyakit pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh menggunakan obat kejang rumatan.
berbagai patogen. Manifestasi klinis dapat berupa Diskusi: Penanganan status epileptikus harus
kejang yang sulit diatasi sehingga dapat menjadi status dilakukan dengan cepat dan tepat sesuai dengan
epileptikus refrakter. Status epileptikus refrakter algoritma tatalaksana kejang akut dan status
merupakan kegawatdaruratan di bidang epileptikus, sekalipun di daerah perifer dengan
neuropediatrik, sehingga setiap dokter yang bekerja di keterbatasan fasilitas. Setiap tenaga medis, khususnya
IGD perlu memahami dan menguasai penanganannya. dokter yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat, wajib
Kasus: Anak laki-laki berusia 1 tahun dengan menguasai tatalaksana awal pada kejang akut dan
meningoensefalitis disertai status epileptikus refrakter status epileptikus.
yang tidak membaik dengan pemberian terapi kejang Simpulan: Kejang, khususnya status epileptikus harus
lini pertama dan lini kedua. Kejang akhirnya berhasil mendapatkan penanganan yang cepat. Penyediaan
dihentikan dengan pemberian Midazolam yang obat-obatan antikonvulsan secara lengkap dari lini
merupakan terapi lini ketiga. Pasien tersebut keluar pertama sampai lini ketiga penting termasuk di rumah
sakit di daerah perifer.

Kata Kunci: Neuropediatrik, meningoensefalitis, status epileptikus refrakter

ABSTRACT

Background: Meningoencephalitis is an infectious was discharged from the hospital with improved
disease involving central nervous system as a result of condition without any maintenance seizure medication.
multiple pathogens. Seizures are sometimes difficult to Objective: Treatment of status epilepticus must be
overcome thus may become refractory status carried out quickly and precisely in according to the
epilepticus. Status epilepticus is a neuropediatric algorithm for managing acute seizures and status
emergency, and ER doctors must understand and epilepticus, even in peripheral areas with limited
master the treatment. facilities. Emergency doctors must know the initial
Case: A 1-year-old boy with meningoencephalitis treatment of acute seizures and status epilepticus.
accompanied by refractory status epilepticus was not Conclusion: Seizures, especially status epilepticus,
successfully treated by first and second line seizure must be treated quickly. The availability of
therapies. Seizure was stopped after given Midazolam anticonvulsant drugs from the first to the third line is
which is the third line seizure therapies. The patient important, especially in remote hospitals.

Keywords: Neuropediatrics, meningoencephalitis, refractory status epilepticus

1 | Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali


Junaidi dan Evani 2019 LAPORAN KASUS
Latar Belakang epileptikus pada anak dikerjakan dan pemberian
Meningitis merupakan penyakit peradangan pada terapi disesuaikan dengan pemeriksaan yang ada.
selaput otak, sedangkan ensefalitis adalah Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk
penyakit peradangan pada otak. Dalam beberapa memberikan gambaran mengenai
kasus kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan penatalaksanaan status epileptikus refrakter di
yang dikenal dengan nama meningoensefalitis. rumah sakit tipe D di perifer dengan keterbatasan
Meningoensefalitis merupakan penyakit yang pemeriksaan penunjang serta ruang perawatan
menyerang sistem saraf pusat yang dapat intensif.
disebabkan oleh virus, bakteri, tuberkulosis, Ilustrasi Kasus
ataupun jamur. Penyakit ini dapat mengenai siapa Seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 5 bulan,
saja, terutama mereka yang memiliki daya tahan dirujuk dari puskesmas dengan keluhan utama
tubuh yang kurang, misalnya anak-anak, penurunan kesadaran sejak lebih kurang 1 jam
penderita malnutrisi, lansia, dan orang-orang sebelumnya. Pasien mengalami kejang kelojotan
dengan penyakit yang menurunkan sistem imun satu badan di rumah selama > 30 menit sampai di
tubuh (immunocompromised). Gejala yang puskesmas masih kejang, setelah kejang pasien
dialami oleh pasien yang menderita tidak sadar. Pasien memiliki riwayat demam
meningoensefalitis, antara lain: gangguan selama 2 hari, muntah sebanyak 2 kali 1 hari
kesadaran, demam, sakit kepala, kejang, dan sebelum dibawa ke puskesmas. Ada riwayat batuk
perubahan perilaku, serta dengan atau tanpa pilek dan buang air besar cair. Riwayat kejang
defisit neurologi fokal.1 Kejang yang terjadi sebelumnya disangkal. Riwayat kejang anggota
terkadang sulit diatasi sehingga dapat menjadi keluarga lainnya disangkal. Riwayat trauma
status epileptikus. Status epileptikus merupakan kepala disangkal. Riwayat kontak dengan pasien
salah satu kegawatdaruratan neuropediatrik yang tuberkulosis disangkal. Riwayat kelahiran pasien
sering terjadi. Status epileptikus ditandai dengan lahir di rumah dibantu oleh dukun beranak. Saat
kejang yang berlangsung terus menerus selama ≥ datang ke IGD Rumah Sakit Karitas, keadaan
30 menit atau kejang berulang tanpa disertai umum pasien tampak sakit berat dengan
pulihnya kesadaran diantara kejang tersebut.2 kesadaran E2M4V2. Suhu tubuh 37,9 oC, laju
Penanganan status epileptikus bertujuan untuk napas 50 kali/menit, denyut nadi 80 -112
memperkecil kerusakan saraf dan menurunkan kali/menit, saturasi oksigen 99%. Berat badan
morbiditas. Penanganan awal kejang adalah pasien 9,6 kg dan panjang badan 78 cm.
dengan pemberian antikonvulsan lini pertama Pemeriksaan fisik yang bermakna pupil isokor 4/4
yakni golongan benzodiazepin (diazepam). Jika mm dengan refleks cahaya langsung lambat, mata
kejang terus berlanjut, dapat diberikan obat lini deviasi ke kanan. Pemeriksaan auskultasi rhonki
kedua berupa fenitoin atau fenobarbital. Bila positif pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
kejang tetap berlanjut setelah pemberian kedua rangsang meningeal didapatkan kaku kuduk
obat ini, maka dapat kita sebut sebagai status positif, Brudzinski I positif, dan Kernig positif.
epileptikus refrakter. Kejang pada status Refleks patologis negatif. Pemeriksaan fisik lain
epileptikus refrakter tidak memberikan respon dalam batas normal. Hasil pemeriksaan
dengan pemberian antikonvulsan lini pertama dan laboratorium darah Hemoglobin 10,3 g/dL,
kedua yang adekuat.3 Pilihan terapi untuk status Leukosit 38.700 /mm3 (Granulosit 81,3%,
epileptikus refrakter adalah pemberian Limfosit 15,2%, Monosit 2,7%), Trombosit
Midazolam bolus dan infus atau anestesi umum. 545.000/mm3, Hematokrit 31,3%, Gula Darah
Status epileptikus refrakter meningkatkan angka Sewaktu 124 mg/dL, Pemeriksaan Malaria
kematian dan defisit neurologi yang dialami (mikroskopik) negatif. Pemeriksaan elektrolit,
pasien di kemudian hari. Pada suatu penelitian, 11 pungsi lumbal, CT (Computed Tomography)-scan
dari 27 anak yang dirawat dengan status tidak dapat dilakukan di RS Karitas. Berdasarkan
epileptikus di Ege University Hospital didiagnosis pemeriksaan tersebut pasien didiagnosis dengan
kemudian dengan meningoensefalitis.4 status epileptikus suspek meningoensefalitis,
Pada kesempatan ini penulis melaporkan sebuah sepsis, dan bronkopneumonia.
kasus status epileptikus refrakter pada pasien anak Di IGD pasien sempat kejang fokal sisi kiri tubuh,
dengan meningoensefalitis. Penanganan sesuai diberikan penanganan berupa injeksi Diazepam 5
algoritme rekomendasi penalataksanaan status mg IV bolus sebanyak 2 kali selang 5 menit.

Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali | 2


LAPORAN KASUS Junaidi dan Evani 2019
Setelah pemberian Diazepam pasien sempat panjang termasuk kematian neuron, cedera
berhenti kejang selama 15 menit, tanpa adanya neuron, gangguan sistem konduksi saraf,
pemulihan kesadaran. Kemudian pasien kembali tergantung dari tipe dan durasi kejang yang
mengalami kejang fokal sisi kiri tubuh berlanjut terjadi.5
menjadi kejang generalisata sehingga pasien Status epileptikus terkadang dapat sulit diatasi dan
diberikan loading fenitoin 180 mg IV (20 menjadi berkepanjangan walaupun dengan
mg/kgBB) dan selang 12 jam kemudian diberikan pemberian obat anti kejang, inilah yang dikenal
maintenance fenitoin 2 x 30 mg IV (6 dengan sebutan status epileptikus refrakter. Status
mg/kgBB/hari). Penangangan lain yang diberikan epileptikus refrakter dapat diartikan sebagai status
pada pasien adalah pemberian O2 via kanula epileptikus yang tetap berlanjut walaupun telah
hidung sebanyak 2 lpm, pemasangan IVFD D51/4 diberikan terapi benzodiazepin dan satu jenis obat
NS 750 mL/24 jam (~30 tpm mikro), posisi head antiepilepsi (misalnya: fenitoin).6 Dengan
up 30o, pemasangan NGT dan kateter urin, injeksi demikian, dapat disimpulkan bahwa status
Ceftriaxone 1 x 1 gram IV, injeksi Paracetamol 4 epileptikus refrakter adalah status epileptikus
x 120 mg IV, injeksi Ranitidine 2 x 15 mg IV, yang tidak membaik dengan pemberian terapi
injeksi Dexamethasone 3 x 2 mg IV, loading kejang lini pertama dan kedua.
Mannitol 20% 50 mL IV, selang 8 jam kemudian Pada sebuah studi retrospektif pada 46 pasien
maintenance 3 x 20 mL IV, pasien dipuasakan. berusia 8 bulan sampai 16 tahun, dua puluh pasien
Pada hari perawatan pertama di ruang rawat inap, (43,4%) mengalami status epileptikus refrakter.
saat mau memberikan injeksi fenitoin pasien Jenis kejang yang dialami berupa kejang fokal
mengalami kejang fokal sisi kanan tubuh, setelah (23,9%), kejang generalisata (34,8%), kejang
pemberian injeksi fenitoin kejang masih berlanjut. fokal-generalisata (41,3%). Dari 20 pasien status
Pasien kemudian diberikan bolus midazolam 1,5 epileptikus refrakter tersebut, 6 di antaranya
mg IV (150 mcg/kgBB) yang dilanjutkan dengan meninggal, 14 orang berkembang menjadi
maintenance infus midazolam 1 mg/ jam (100 epilepsi dan/atau mengalami defisit neurologis.
mcg/kgBB/jam). Infus Midazolam dinaikkan Semua pasien yang pulang dari rumah sakit
menjadi 1,5 mg/ jam (150 mcg/kgBB/jam) baru diberikan obat antiepilepsi rumatan.7
setelah itu kejang berhenti. Pemberian infus Pada pasien ini ditemukan beberapa masalah,
midazolam dilanjutkan bersama dengan antara lain penurunan kesadaran, status
maintenance injeksi fenitoin. Dosis infus epileptikus refrakter, demam, dan sesak napas.
midazolam tertinggi yang diberikan adalah 2 mg/ Dari anamnesis, pemeriksaaan fisik, dan
jam (200 mcg/kg/jam) yang dipertahankan selama pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya
24 jam bebas kejang. Pada hari ketiga perawatan, tanda dan gejala infeksi pada pasien ini. Infeksi
infus midazolam diturunkan dosisnya bertahap tersebut mengenai sistem saraf pusat dan sistem
dan dipertahankan di kecepatan 1 mg/ jam. Pada pernapasan. Infeksi pada sistem saraf pusat yang
hari perawatan kelima, setelah 2x24 jam pasien dimaksud berupa meningoensefalitis (ditandai
bebas kejang, kesadaran pasien sudah perbaikan, dengan demam dan rangsang meningeal yang
maka infus midazolam dihentikan. Injeksi fenitoin positif). Kejadian status epileptikus pada pasien
dihentikan pada hari perawatan ketujuh. dengan meningoensefalitis cukup banyak terjadi.
Pemeriksaan fisik bermakna pada hari terakhir Selain mengobati infeksi pada sistem saraf pusat
perawatan adalah tremor positif dan pasien belum dan sistem pernapasan, terapi juga difokuskan
mampu duduk sendiri (harus ditopang). Pasien pada status epileptikus yang dapat mengancam
dirawat selama 14 hari di ruang perawatan anak, nyawa secara langsung.
kemudian dipulangkan tanpa pemberian obat Semakin lama durasi kejang pada status
antikonvulsan rumatan. epileptikus maka prognosisnya akan semakin
Pembahasan buruk dan menjadi lebih tidak responsif terhadap
Status epileptikus merupakan kondisi yang timbul terapi akibat internalisasi reseptor GABA.8 Oleh
akibat gagalnya mekanisme terminasi kejang atau karena itu, tujuan terapi pada status epileptikus
dari mekanisme awal iniasi kejang yang abnormal adalah menghentikan kejang secepatnya untuk
yang menghasilkan suatu kejang yang mengurangi kemungkinan cedera neurologis lebih
berkepanjangan. Status epileptikus merupakan lanjut dan kematian. Ada beberapa hal yang harus
kondisi yang dapat menimbulkan dampak jangka dipantau sebelum pemberian obat kejang, di

3 | Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali


Junaidi dan Evani 2019 LAPORAN KASUS
antaranya adalah pemantauan ABCDE (airway, diberikan terapi kejang lini kedua (fenitoin IV,
breathing, circulation, disability, neurologic fenobarbital IV). Bila setelah pemberian terapi
exam), tanda-tanda vital, lamanya kejang, kejang lini kedua masih belum ada perubahan,
oksigenasi, rekam jantung, tersedianya akses maka dapat diulang pemberian terapi kejang lini
intravena, pemeriksaan darah yang meliputi kedua atau diberikan terapi kejang lini ketiga yang
elektrolit, hematologi, dan toksikologi. Saat merupakan dosis anestesi dari obat-obat antara
kejang muncul pasien dapat segera diberikan lain: thiopental, midazolam, pentobarbital, dan
terapi kejang lini pertama dengan menggunakan propofol. Pada saat pemberian obat kejang lini
obat golongan benzodiazepin (diazepam IV, ketiga ini, dianjurkan untuk melakukan
lorazepam IV, midazolam IM) sebagai terapi pemantauan dengan menggunakan EEG
inisial. Apabila setelah pemberian lini pertama (elektroensefalografi) secara kontinu.9
kejang secara adekuat tidak berhenti, maka dapat

Gambar 1. Algoritme Rekomendasi Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus

Pada kasus ini, pasien sudah diberikan kemungkinan ekstravasasi yang menyebabkan
penanganan awal berupa pemberian oksigen, kerusakan jaringan (purple glove syndrome)
pemasangan jalur intravena, dan pemberian obat sehingga butuh pemantauan ketat selama
kejang lini pertama, yaitu diazepam IV sebanyak pemberiannya.10
2 kali. Namun, pasien tetap mengalami kejang Pada kasus ini, setelah pemberian obat kejang lini
sehingga diberikan terapi kejang lini kedua, yaitu kedua pun pasien masih tetap mengalami kejang.
fenitoin IV. Di Rumah Sakit Karitas, injeksi Oleh sebab itu, pasien diberikan obat kejang
fenitoin masih merupakan pilihan terapi lini kedua tambahan. Bila mengacu pada algoritma, maka
karena sediaannya yang intravena sehingga pilihan terapi selanjutnya adalah fenobarbital 20
respon lebih cepat dibandingkan sediaan mg/kgBB IV bolus. Namun, pada pasien ini tidak
fenobarbital yang intramuskular (tidak tersedia diberikan fenobarbital, melainkan langsung
obat fenobarbital IV). Pemberian obat fenitoin IV diberikan terapi kejang lini ketiga yaitu bolus
harus dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan midazolam 0,15 mg/kgBB IV. Hal ini disebabkan
ketentuannya. Fenitoin memiliki efek samping karena sediaan obat fenobarbital yang ada di RS
berupa hipotensi, aritmia, alergi, dan Karitas adalah hanya sediaan intramuskular.

Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali | 4


LAPORAN KASUS Junaidi dan Evani 2019
Selain itu, pada suatu penelitian menunjukkan diturunkan perlahan (tappering off) hingga
bahwa hanya 5% kasus status epileptikus yang akhirnya pemberian Midazolam rumatan
berespons dengan pemberian fenobarbital setelah dihentikan. Setelah penghentian pemberian
sebelumnya gagal dengan terapi benzodiazepin midazolam tidak ditemukan kejang lagi pada
dan fenitoin.6 pasien tersebut.
Midazolam merupakan salah satu terapi kejang Pada kasus status epileptikus disertai demam,
lini ketiga dan digunakan ketika pemberian obat- dimana pungsi lumbal tidak dapat dilakukan,
obatan kejang lini pertama dan kedua tidak maka kecurigaan meningoensefalitis akibat
berhasil menghentikan kejang. Kelebihan bakteri meningkat. Pasien dapat diberikan terapi
midazolam adalah kerjanya cepat dan mudah antibiotik dengan dosis adekuat selama 10-14
dititrasi. Sedangkan kekurangan dari obat ini hari.12 Pengobatan meningoensefalitis pada kasus
adalah sifat takifilaksis setelah penggunaan 24-48 ini diberikan secara empiris karena keterbatasan
jam, sehingga perlu peningkatan dosis obat yang pemeriksaan untuk menunjang diagnosis
kemudian menyebabkan terjadinya akumulasi meningoensefalitis seperti pungsi lumbal dan CT-
dosis obat yang akan memperlambat kembalinya scan. Dengan berdasarkan klinis pasien dan
kesadaran pasien.6 Seringkali pemberian pemeriksaan laboratorium yang ada, maka
midazolam secara bolus sebagai terapi kejang lini pengobatan ditujukan untuk meningoensefalitis
ketiga dengan dosis untuk menghentikan kejang bakterial menggunakan antibiotik golongan
akan menimbulkan depresi napas sehingga pada sefalosporin yakni Ceftriaxone dengan dosis 100
pasien perlu dilakukan intubasi dan pemakaian mg/kgBB/hari selama 14 hari. Berdasarkan data
alat bantu pernapasan.11 Oleh sebab itu, epidemiologi etiologi terbanyak
penggunaan obat kejang lini ketiga ini harus meningoensefalitis bakterial pada anak adalah
dilakukan secara hati-hati dan dengan Haemophilus influenzae tipe B, Neisseria
pemantauan yang ketat karena memiliki beberapa meningitidis, dan Streptococcus pneumoniae.13
efek samping yang bila tidak digunakan secara Fokus infeksi pada pasien ini diduga dari paru
bijak justru dapat membahayakan nyawa pasien. (bronkopneumonia), kemungkinan fokus infeksi
Setelah pemberian obat kejang lini ketiga, lain pada pasien meningoensefalitis bakterial
sebaiknya dilakukan pemantauan ketat pada adalah infeksi sinus paranasal, otitis media,
pasien dan pasien dipindahkan ke ruang trauma kepala atau operasi yang menimbulkan
perawatan intensif. Akan tetapi, karena hubungan antara ruang subarakhnoid dengan
keterbatasan sumber daya yang ada di RS Karitas, lingkungan luar.14
Sumba Barat Daya, dan belum tersedianya ruang Pasien pada laporan kasus ini juga diberikan terapi
perawatan intensif (ICU) yang sanggup osmotik berupa Mannitol. Mannitol diberikan bila
memantau kondisi pasien dengan ketat, pasien ada kecurigaan edema serebri atau peningkatan
terpaksa dirawat di ruang perawatan biasa. tekanan intrakranial yang ditandai dengan
Namun, pemberian obat kejang lini ketiga penurunanan kesadaran dan dilatasi pupil
tersebut tetap diberikan dengan alasan demi unilateral atau bilateral yang tidak reaktif terhadap
keselamatan pasien dan dengan tujuan rangsangan cahaya. Pada pasien diberikan
menghentikan kejang yang refrakter setelah Mannitol dengan dosis awal 1 g/kgBB IV. Selain
pemberian obat kejang lini pertama dan kedua. Mannitol pilihan terapi osmotik yang dapat
Pemberian midazolam berhasil menghentikan diberikan pada pasien meningoensefalitis adalah
kejang yang dialami pasien tersebut. Kemudian hipertonik salin, sorbitol, dan glycerol. Pada
selanjutnya diberikan midazolam dengan dosis pemberian terapi osmotik harus dilakukan
rumatan untuk mencegah kejang berulang monitoring terhadap keseimbangan elektrolit dan
dikombinasi dengan injeksi Fenitoin. Selama output urine, bila terdapat gangguan pada kedua
perawatan pasien sempat mengalami kejang hal tersebut, terapi harus dihentikan.15 Terapi
berulang beberapa kali, tetapi kejang berhasil adjuvan kortikosteroid (deksametason) juga
dihentikan dengan menaikkan dosis Midazolam diberikan pada pasien kasus ini. Kortikosteroid
rumatan. Setelah perawatan selama beberapa hari memiliki efek melemahkan proses inflamasi
didapatkan penurunan frekuensi dan durasi kejang intrakranial dengan tujuan menurunkan edema
hingga didapatkan kondisi bebas kejang dalam 24 serebri, kejadian sekuel neurologis dan mortalitas
jam. Kemudian dosis rumatan midazolam pasien. Pada sebuah systematic review

5 | Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali


Junaidi dan Evani 2019 LAPORAN KASUS
kortikosteroid memiliki efek protektif untuk epilepsi dapat baru muncul bertahun-tahun
mencegah sekuel neurologis dan kehilangan kemudian (5-20 tahun).18 Namun, pada daerah
fungsi pendengaran yang berat pada pasien perifer, ketidaktersediaan obat, biaya kontrol/
meningitis bakterial akut.16 Sebuah penelitian sambung obat yang tidak ditanggung oleh jaminan
meta-analisis menunjukkan bahwa pemberian kesehatan daerah setempat, dan kendala
kortikosteroid hanya memberikan angka transportasi membuat kejadian epilepsi pasca
mortalitas yang sedikit lebih rendah dan secara meningoensefalitis sulit didiagnosis dan
statistik tidak signifikan dengan kelompok yang ditangani.
diberikan plasebo. Namun pemberian Simpulan
kortikosteroid tidak menimbulkan efek samping Status epileptikus merupakan kondisi yang
yang berat sehingga pemberiannya sebagai mengancam nyawa. Status epileptikus seringkali
adjuvan pada kasus meningoensefalitis dapat tidak dapat diatasi dengan pengobatan kejang lini
dipertimbangkan.17 pertama. Oleh karena itu, penyediaan obat kejang
Setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit lini kedua ataupun ketiga sangat penting terutama
Karitas selama 14 hari, pasien pada kasus ini pada daerah-daerah perifer dimana ketersediaan
akhirnya diperbolehkan keluar dari rumah sakit obat terbatas. Status epileptikus yang terlambat
dengan keadaan membaik tanpa diberikan obat diketahui dan tidak ditangani lebih awal dapat
kejang rumatan dengan beberapa pertimbangan. berlanjut menjadi status epileptikus refrakter yang
Pasien mengingoensefalitis yang mengalami kemudian bisa mengakibatkan kecacatan bahkan
kejang akan berisiko 22 kali lipat lebih tinggi kematian pada penderitanya.
untuk menjadi epilepsi di kemudian hari. Gejala
Daftar Rujukan
1. Pourmand R. Practicing Neurology What You American Epilepsy Society. Epilepsy Currents
Need to Know What You Need to Do. Second 2016;16: 48-61.
Edition. New Jersey: Humana Press; 2008:85-90. 10. Grover EH, Nazzal Y, Hirsch LJ. Treatment of
2. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, et al. Convulsive Status Epilepticus. Curr Treat Options
Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. Neurol 2016;18(3):11.
Jakarta: IDAI; 2016. 11. Bolon M, Boulieu R, Flamens C, et al. Sedation
3. Barzegar M, Mahdavi M, Behbehani AG, Tabrizi induced by midazolam in intensive care:
A. Refractory Convulsive Status Epilepticus in pharmacologic and pharmacokinetic aspects. Ann
Children: Etiology, Associated Risk Factors and Fr Anesth Reanim 2002;21:478-492.
Outcome. Iran J Child Neurol 2015;9(4):24-31. 12. Chin RFM, Neville BGR, Scott RC. Meningitis is
4. Saz EU, Karapinar B, Ozcetin M, et al. Convulsive a common cause of convulsive status epilepticus
status epilepticus in children: Etiology, treatment with fever. Arch Dis Child 2005;90:66-69.
protocol, and outcome. Seizure 2011;20:115-118. 13. van de Beek D, Cabellos C, Dzupova O, Esposito
5. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, et al. A definition S, Klein M, Kloek AT, et al. ESCMID guideline:
and classification of status epilepticus – Report of diagnosis and treatment of acute bacterial
the ILAE Task Force on Classification of Status meningitis. Clin Microbiol Infect. 2016;22:S37-
Epilepticus. Epilepsia 2015;56:1515-1523. S62.
6. Singh SP, Agarwal S, Faulkner M. Refractory 14. Runde TJ, Hafner JW. Bacterial meningitis.
status epilepticus. Ann Indian Acad Neurol https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470351
2014;17(1):S32-S36. 15. Wall ECB, Adjukieweicz KMB, Bergman H,
7. Jainn JL, Kuang LL, Huei SW, et al. Analysis of Heyderman RS, Garner P. Osmotic therapies
status epilepticus related presumed encephalitis in added to antibiotics for acute bacterial meningitis.
children. Europian Journal of Paediatric Cochrane Database of Systematic Reviews.
Neurology 2008;12(1):32-37. 2018;2:CD008806.
8. Niquet J, Baldwin R, Suchomelova L, et al. 16. Brouwer MC, McIntyre P, Prasad K, van de Beek
Benzodiazepine-refractory status epilepticus: D. Corticosteroids for acute bacterial meningitis
pathophysiology and principles treatment. Ann (review). Cochrane Database of Systematic
NY Acad Sci 2016;1378:166-173. Reviews. 2015;9CD0004405.
9. Glauser Tracy, Shinnar Shlomo, Gloss David, et 17. Shao M, Xu P, Liu J, Liu W, Wu X. The role of
al. Evidence-Based Guideline: Treatment of adjunctive dexamethasone in the treatment of
Convulsive Status Epilepticus in Children and bacterial meningitis: an updated systematic meta-
Adults: Report of the Guideline Committee of the analysis. Patient Prefer Adherence. 2016;10:1243-
1249.

Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali | 6


LAPORAN KASUS Junaidi dan Evani 2019
18. Michael BD, Solomon T. Seizures and
encephalitis: Clinical features, management, and
potential pathophysiologic mechanisms. Epilepsia
2012;54(4):63-71.

7 | Callosum Neurology – Jurnal Berkala Neurologi Bali

Anda mungkin juga menyukai