TAHUN 2004-2008
Anwar Nasution1
1. Pendahuluan
Hampir tidak ada kaitan antara kebangkrutan PT Bank Century (BC) dengan
krisis keuangan global yang terjadi sejak Agustus 2007. BC adalah merupakan bank
papan bawah dan bukan pemain penting baik di pasar uang antar bank maupun di
bursa valuta asing nasional maupun global. Kesulitan keuangan suatu bank ditularkan
kepada bank ataupun lembaga keuangan lainnya (contagious) melalui pasar uang
antar bank dan pasar devisa devisa tersebut.
1
BI dalam menegakkan aturan perbankan, sejak pendirian BC hingga sepanjang
usianya yang singkat selama periode Desember 2004-Nopember 2008. LPS hanya
berfungsi sebagai kasir juru bayar tanpa memantau dan dan menganalisis kondisi
keuangan bank-bank yang dijaminnya. Sebagai satu-satunya pemeriksa bank, BI tidak
memiliki data lengkap, akurat dan terkini atas informasi mengenai BC walaupun
sudah menempatkan on-site supervisor pada bank itu. BC adalah merjer tiga bank
yang sudah masuk bursa (Tbk), yakni Bank Pikko, Tbk, Bank CIC, Tbk dan Bank
Danpac, Tbk yang seharusnya diawasi oleh Bapepam. Kalau kualitas perusahaan Tbk
di bursa efek-efek Jakarta seperti ini, saham yang diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia tidak jelas kualitasnya yang menjurus ke penipuan.
BC berdiri setelah BI, pada tanggal 6 Desember 2004, memberikan ijin merjer
atas ketiga bank yang sudah masuk bursa diatas. BC dimiliki oleh 3 orang pemegang
saham pengendali yakni: RAR, (Rafat Ali Rivzi, warganegara Inggeris turunan
Pakistan), RT (Robert Tantular, WNI) dan AHT (Alwarraq Hesham Tallat, warga
Saudi Arabia). RAR mengendalikan sahamnya kegiatan usahanya di Indonesia
melalui Chinkara Capital yang didirikan pada tanggal 8 Oktober 1999. Dewasa ini,
AHT ikut menjadi pemilik Chinkara Capital yang kemudian berubah nama menjadi
FGAH (First Gulf Asia Holding). Bank CIC adalah bank milik keluarga RT dan
sudah terkenal sering melakukan penyimpangan aturan perbankan. AHT merupakan
Wakil Komisaris Utama BC. Perusahaan milik keluarga RT yang menjadi pemegang
sekitar 43 persen saham BC, antara lain, adalah ADS (Antaboga Delta Sekuritas ) PT
Century Mega Investindo dan PT Century Super Investindo.
RDG (Rapat Dewan Gubernur BI) tanggal 27 Nopember 2001, yang pertama
kali membahas permohonan Chinkara Capital untuk mengambil alih atau akuisisi
ketiga bank itu, menetapkan tiga persyaratan yang harus dipenuhi olehnya sebelum
permohonannya itu dapat disetujui. Ketiga persyaratan itu adalah: (i) mencukupi
keperluan modal bank sehingga mencapai minimum 8 persen; (ii) memperbaiki
manajemen bank dan (iii) mencegah terulangnya tindakan yang melawan hukum
(Grafik-1). RDG sekaligus menugaskan kepada DPwB1 untuk mengkoordinir
penelitian mengenai kepemilikan saham dan kemungkinan tindakan yang melawan
hukum. Salah satu bentuk tindakan yang melawan hukum yang dibahas dalam RDG
tersebut adalah masalah dugaan pencucian uang.
Laporan pemeriksaan pada ketiga bank itu, yang tersedia pada tanggal 21
Nopember 2001, memang menunjukkan bahwa CIC dan Pikko sudah pantas untuk
dibubarkan sedangkan Danpac masih cukup sehat. CIC dan Pikko pantas ditutup
2
karena tidak memenuhi CAR, memiliki manajemen yang buruk dan sering melanggar
aturan prudensial perbankan, termasuk dugaan kriminal. Namun, pejabat BI yang
memeriksa ketiga bank itu percaya bahwa RAR pemilik Chinkara Capital yang akan
mengakuisisi Pikko dan CIC memiliki kemampuan untuk menambah modal dan
kemauan untuk memperbaiki manajemen kedua bank itu dan berjanji untuk tidak lagi
melakukan pelanggaran hukum. Atas dasar itulah Dewan Gubernur BI memberikan
kesempatan bersyarat kepada Chinkara Capital untuk memperbaiki ketiga bank
tersebut.
Pada hakikatnya, keputusan rapat tanggal 16 April 2004 tersebut adalah sama
dengan keputusan Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 27 Nopember 2001. Bedanya
adalah bahwa keputusan rapat tanggal 16 April 2004 lebih tegas baik dalam
persyaratan modal yang harus dipenuhi oleh Chinkara untuk (i) dapat melakukan
akuisisi maupun (2) ketegasan mengenai jadwal waktu penambahan modal yang harus
dipenuhi. Dalam rapat tanggal 16 April 20042, pemilik dan pengurus BC telah berjanji
untuk melakukan tiga hal. Komitmen pertama adalah bahwa BC mencukupi
kekurangan modal Pikko dan CIC sekitar Rp300-400 miliar sehingga CAR mencapai
minimal 8 persen. Dalam kaitan ini, pemilik bank berjanji untuk mengganti MTN
(Medium Term Notes) senilai US$32 juta yang dikeluarkan oleh Bank Dresner
sebagai setoran modal yang ternyata macet dan tidak punya peringkat (rating). Untuk
menyelesaikan MTN bermasalah itu, RAR diwajibkan menempatkan uang tunai (cash
collateral) dalam escrow account di bank di Jakarta sebagai jaminan selambat-
lambatnya dalam 7 hari kerja sejak tanggal rapat tersebut. Komitmen kedua adalah
agar ketiga bank itu memperbaiki manajemennya. Komitmen ketiga adalah agar
pemilik ketiga bank itu untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Pada tanggal 22 Juli 2004, Direktur DPwB1 mengajukan dua catatan. Catatan
pertama (No. 6/29/DGS/DPwB1/Rahasia) yang melaporkan perkembangan terakhir
rencana merjer ketiga bank itu. Catatan kedua (No. 30/DGS/DPwB1/Rahasia) yang
melaporkan adanya temuan baru berupa rekayasa yang dilakukan oleh RAR atas
laporan keuangan Bank Pikko dan pelanggaran ketentuan BMPK (Batas Maksimum
Pemberian Kredit) oleh CIC. Temuan baru itu dapat membatalkan kelulusan ‘fit and
proper test’ RAR.
2
Rapat tanggal 16 April 2004 langsung dipimpin oleh Anwar Nasution dan dihadiri oleh Mr. Rafat Ali
Rivzi serta pengurus Bank Pikko, CIC dan Danpac maupun oleh pejabat BI terkait. Tujuan
penyelenggaraan rapat itu adalah untuk meminta ketegasan terakhir dari Chinkara pada ketiga
persyaratan akusisi yang diputuskan dalam RDG tanggal 27 Nopember 2001. Untuk pertama dan
terakhir kalinya, Anwar Nasution bertemu dengan Mr. Rafat maupun pengurus ketiga bank tersebut.
Baik secara pribadi maupun urusan dinas, Anwar Nasution tidak pernah bertemu maupun berkenalan
dengan Mr. Alwarraq Hesham maupun Robert Tantular.
3
Menurut keterangan Sdr. Sabar Anton Tarihoran, mantan Direktur DPwB1, yang menulis kedua
catatan tanggal 22 Juli 2004 tersebut, ia salah kutip dan kutipan itu sebenarnya adalah bersumber dari
disposisi Deputi Gubernur Maulana Ibrahim atas Catatan DPwB1 kepada Gubernur BI No.
6/16/GBI/DPwB1/Rahasia tanggal 16 April 2004.
3
baru. Toleransi ini diberikan berdasarkan keputusan Rapat KEP di Bali tanggal 3-4
Juli 2003. KEP ádalah Komite Evaluasi Perbankan yang beranggotakan para Direktur
yang membidangi perbankan di BI. KEP merupakan forum komunikasi untuk saling
tukar menukar informasi sesama anggotanya dan menyiapkan rekomendasi bagi
penyempurnaan kebijakan serta peraturan perbankan kepada RDG. Toleransi yang
kedua yang diajukan oleh DPwB1 dalam catatannya No. 6 itu ádalah berupa
penundaan sanksi fit and proper test atas RAR. Menurut keterangan pembuat Cacatan
itu, tujuan penundaan tersebut adalah untuk menggiring RAR sebagai pemegang
saham pengendali agar dapat memenuhi kecukupan modal Pikko dan CIC.
Penulis tidak menyatakan pendapat atas isi kedua Catatan DPwB1 tanggal 22
Juli 2004 termasuk pada disposisi yang ternyata salah kutip itu. Alasannya adalah
karena Anwar Nasution berpendapat bahwa perubahan persyaratan akuisisi yang
ditetapkan dalam RDG 27 Nopember 2001 dan keputusan rapat tanggal 16 April 2004
hanya dapat dilakukan oleh RDG sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan di
BI. Pendapat Anwar Nasution tidak berubah dari keputusan RDG tahun 2001 dan
rapat bulan April 2004. Menjelang dua hari sebelum berakhirnya masa tugasnya di
Bank Indonesia, ia tidak lagi akan mengikuti RDG yang membahas topik tersebut.
4
Ternyata bahwa BI memberikan toleransi yang lebih luas daripada usul
DPwB1 tanggal 22 Juli 2004 untuk memungkinkan ketiga bank tersebut melakukan
merjer. Tolerasi yang pertama adalah mengenai permodalan. SSB bermasalah tetap
digolongkan sebagai lancar hingga tanggal jatuh temponya sehingga dapat
diperhitungkan sebagai setoran modal bank berdasarkan harga bukunya. Toleransi ini
sekaligus membebaskan BC dari kewajiban untuk memupuk cadangan PPAP
(Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktip) atas SSB bermasalah tersebut. Ternyata
bahwa selain SSB bermasalah Pikko sebesar $32 juta juta diatas, CIC juga memiliki
SSB bermasalah yang tidak punya peringkat ataupun jaminan sebesar $127 juta.
Toleransi yang kedua adalah untuk menangguhkan pemeriksaan atas ketiga bank
tersebut hingga proses merjer selesai. Toleransi ketiga adalah menunda penelitian
riwayat hidup (track record) pemegang saham pengendali dan pengurus ketiga bank
itu serta menunda pengenaan sanksi fit and proper terhadap RAR. Padahal sudah
diketahui bahwa selain tidak punya modal, pemegang saham pengendali ketiga bank
itu (dua diantaranya adalah warga negara asing) juga memiliki reputasi yang buruk.
Seperti ternyata sekarang ini, merjer ketiga bank itu justru menimbulkan malapetaka
bagi perekonomian nasional Indonesia dan bukan menciptakan manfaat.
Sejak mulai lahir pada tanggal 6 Desember 2004 hingga diambil alih oleh LPS
pada tanggal 23 Nopember 2008, BC terus menerus melakukan rangkaian
pelanggaran aturan tanpa tindakan apa-apa dari BI, Bapepam maupun LPS. Padahal,
selain melakukan pengawasan secara tidak langsung melalui pemeriksaan laporan
(off-site supervision) Bank Indonesia menempatkan pengawas tetap (on-site
supervision) di BC sejak tahun 2005. Dalam usianya yang hanya empat tahun itu,
masalah BC adalah tetap pada SSB valas yang tidak dapat diselesaikan, pelanggaran
BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), PDN (Posisi Devisa Neto) dan
rangkaian pelanggaran aturan lainnya termasuk tindakan kriminal perbankan. Baru
berusia dua bulan sejak didirikan, pada bulan Pebruari 2005, modal BC telah menjadi
negatip sebesar -132,5 persen4. Berbagai tindak kejahatan perbankan termasuk
pembukaan L/C dan pemberian kredit fiktip, biaya operasional fiktip, penggelapan
tabungan nasabah oleh pemilik dan pengurus BC sendiri maupun pemecahan deposito
nasabah besar agar dapat memenuhi batas jaminan deposito oleh LPS serta
pelanggaran aturan bank dalam pengawasan khusus.
5
maupun kesalahan BC. Menurut aturan yang dibuat oleh BI sendiri, BC seharusnya
masuk dalam pengawasan khusus karena ketidak cukupan modal karena perubahan
status SSB yang telah disebut diatas. Namun, BI hanya memasukkannya dalam
kelompok pengawasan intensip yang lebih ringan. BI pun tidak menerapkan aturan
yang mewajibkan BC membuat PPAP sebesar 100 persen. Sementara itu, karena
melanggar aturan PDN, seharusnya BC dikenakan denda hukuman sebesar Rp22
milyar namun diringankan oleh BI menjadi setengahnya sebesar Rp11 milyar.
6
dalam status pengawasan khusus, mulai tanggal 6 Nopember 2008 hingga 10 Agustus
2009. Menurut aturan yang ditetapkan oleh BI sendiri, dalam status seperti itu, pihak
terkait dengan bank maupun pihak lain yang ditetapkan oleh BI dilarang untuk
melakukan penarikan dana dari rekening simpanan (giro, tabungan dan deposito) nya
yang ada di BC. Dalam kenyataan, ketentuan ini telah dilanggar dengan adanya
penarikan dana oleh pihak terkait sebesar Rp938.654 juta yang terdiri dari Rp628.162,
USD29.394.984, AUD166.857, SGD66.768 dan EUR4.465. Sebesar Rp71,7 milyar
dari dana Rupiah itu ditarik secara tuniai dan sisanya sebesar 556,4 milyar dipidah
bukukan ke bank lain.
Persoalan yang dihadapi oleh BC adalah masalah klasik yang dihadapi oleh
bank nasional. Selama ini, bank swasta didirikan dan dipergunakan oleh pemiliknya
untuk memobilisir dana masyarakat, termasuk meminjam dari bank sentral serta luar
negeri, guna membelanjai kegiatan usaha perusahaan terkait miliknya sendiri. Praktek
seperti ini telah menjadi salah satu pemicu krisis pada tahun 1997. Sebagaimana telah
diuraikan diatas, pemegang saham pengendali serta pengurus bank memiliki berbagai
perusahasan non-bank yang kegiatan operasional semuanya terkait erat dengan BC.
Sebagaimana telah disebut dimuka, secara formal, tidak ada manajemen ganda BC
dengan anak-anak perusahaan itu. Namun dalam realita, RT, misalnya, ikut campur
dalam kegiatan operasional sehari-hari bank tersebut. Demikian juga RAR dan AHT.
Struktur berbagai perusahaan terkait dilingkungan BC seperti inilah yang luput dari
pemantauan BI maupun LPS.
Menurut catatan resmi bukunya, per 31 Desember 2008, kredit yang diberikan
oleh BC kepada pihak yang terkait dengan RT mencapai setidaknya Rp592 milyar
atau 12 persen dari jumlah seluruh kredit sebesar Rp4,8 triliun. Kredit kepada pihak
terkait dengan pihak RT itu diberikan dengan prosedur yang melanggar pedoman
yang dibuatnya sendiri5. Untuk menutup kerugian kredit macet kepada pihak terkait
dengan RT, BC telah memupuk penyisihan kerugian sebesar Rp494 milyar atau
sebesar 77 persen dari kreditnya kepada pihak terkait tersebut. Sebahagian dari kredit
pada perusahaan terafiliasi tersebut digunakan untuk pembayaran kepada investor
ADS dan kerugian kredit ditutup dengan membentuk penyisihan tersebut diatas.
Tidak diketahui berapa jumlah kredit BC kepada perusahaan yang terkait dengan
pemegang saham pengendali lainnya, RAR dan AHT. Menurut laporan, beberapa dari
perusahaan terafiliasi milik RT dan RAR tersebut sedang disidik oleh penegak hukum
atas dugaan kegiatan tindak pidana pencucian uang, penipuan dan penggelapan.
5. Pantaskan BC diselamatkan?
7
Sementara) dari LPS. BC adalah merupakan bank kecil yang kurang modal dengan
reputasi yang sangat buruk dan dananya sangat tergantung pada sekelompok nasabah
besar serta pada pinjaman antar bank.
Kecuali penjelasan normatip dan hasil stress test BI yang mengambang, tidak
pernah Pemerintah memberikan penjelasan kenapa BC perlu diselamatkan.
Pemerintah tidak pernah menjelaskan secara rinci bagaimana persisnya kesulitan
ekonomi global mempengaruhi posisi keuangan BC dan bagaimana mekanismenya.
Juga tidak ada penjelasan bagaimana caranya kondisi keuangan BC itu ditularkan
pada puluhan bank lainnya sehingga menimbulkan dampak sistemik yang disebut oleh
Pemerintah itu. Padahal, sebagaimana telah disebut dimuka, BC adalah hanya
merupakan bank kecil papan bawah dan bukan merupakan pemain besar dalam
transaksi devisa maupun dalam transaksi pasar uang antar bank. Oleh karenanya, jika
ditangani dengan baik, dampak sistemik kegagalan BC yang sangat kecil pada
industri perbankan nasional dapat diisolir.
Peranan BC dalam transaksi devisa adalah juga sangat kecil karena tidak
memiliki nasabah eksportir maupun importir besar. Sementara itu, kecuali SSB nya
sendiri yang terus menerus bermasalah, BC bukan merupakan bank yang aktip dalam
penempatan portepel di luar negeri. Satu sen pun tidak ada uangnya sendiri ataupun
uang nasabahnya yang diinvestasikan dalam bentuk subprime mortgages yang
menjadi masalah di Amerika Serikat. Aset BC hanya merupakan 0,72 persen dari aset
seluruh perbankan, dana pihak ketiga yang dikumpulkannya hanya merupakan 0,68
persen dari dana seluruh bank dan kreditnya merupakan 0,42 dari seluruh kredit bank.
Majoritas kredit BC adalah untuk modal kerja dunia usaha kelas menengah kebawah
disektor jasa-jasa, perdagangan, restoran maupun industri pengolahan. Karena bukan
merupakan pemain penting, keterkaitannya dengan bank-bank lain melalui pasar uang
antar bank adalah juga kecil.
8
juga FPJP langsung diberikan pada BC sebesar Rp689.394 juta. Jumlah FPJP ini
diberikan kepada BC berdasarkan informasi posisi CAR nya sebesar 2,35 persen pada
bulan September 2008. Ternyata kemudian bahwa CAR BC pada tanggal 31 Oktober
2008 sudah menjadi minus 3,53 persen. Ini menggambarkan bahwa BI tidak memiliki
informasi BC yang terkini walaupun sudah BI menempatkan on-site supervisor di
bank itu dan keduanya memiliki sistem teknologi informasi yang canggih. Keputusan
pemberian FPJP dan PMS kepada BC didasarkan atas stress test yang digunakan
sebagai early warning indicators yang akan diulas dalam bagian berikut.
9
6. Penggunaan Penyertaan Modal Sementara
Sebelum diambil alih oleh LPS, baik BI maupun LPS tidak mengetahui
bagaimana persisnya kondisi keuangan BC. Ketidak tahuan ini lah yang menjadi
penyebab kenapa biaya penyelamatan BC yang semula diperkirakan hanya sebesar
Rp630 milyar terus membubung lebih dari 10 kali lipat menjadi Rp6,76 triliun.
Jumlah biaya penyelaman BC ini adalah setara dengan 583 persen dari modal
dasarnya yang disetor pada tahun 2007. Suntikan PMS (Penyertaan Modal
Sementara) oleh LPS dilakukan selama empat tahap, yakni: 23 Nopember 2008
(Rp2.776 milyar), 5 Desember 20048 Rp2.201 milyar), 3 Pebruari 2009 (Rp1.155
milyar) dan 21 Juli 2009 (Rp630 milyar). Sebesar Rp1.550.250 juta dari PMS tersebut
diberikan dalam bentuk SUN dan sisanya sebesar Rp5.212.111 juta dalam bentuk
uang tunai. Sisanya, sebesar Rp6.762,36 milyar, digunakan untuk memperbaiki CAR
BC sehingga mencapai minimum 8 persen. Menurut keterangan DPR, Perpu No. 4
Tahun 2008 tentang JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan) yang digunakan oleh
Pemerintah sebagai dasar bagi pemberian PMS kepada BC sebenarnya tidak berlaku
lagi karena sudah ditolak oleh DPR.
Suntikan FPJP dari BI serta PMS dari LPS adalah terutama dinikmati oleh
ketiga saham pengendali BC. Sebesar Rp3.185,89 milyar dari Rp5.869,49 milyar dana
PMS yang digunakan untuk memperbaiki CAR. Sebesar Rp3.185,89 milyar
daripadanya adalah dinikmati oleh RAR dan AHT karena LPS telah membeli SSB
mereka yang bermasalah dengan harga buku tanpa dinilai oleh perusahaan appraisal.
Sisanya sebesar Rp2.753,59 milyar dinikmati oleh keluarga RT, termasuk
penggelapan valas sebesar $18 juta oleh TDT maupun penyimpangan-penyimpangan
lain yang merugikan BC. Pokok pinjaman FPJP sebesar Rp689,39 milyar dan
bunganya sebesar Rp1,24 milyar dilunasi dengan penjualan SUN pada tanggal 11
Pebruari 2009. Sisa PMS digunakan untuk transaksi valas (Rp32,99 milyar),
penempatan pada SBI (Rp528,25 milyar), penempatan pada FASBI (Rp545,49
milyar), rekening giro di BI (Rp281,03 milyar) dan FTE (Fine Tune Extension) di BI
(Rp154,21 milyar).
10
Adalah sangat naif untuk menyamakan pengambil alihan BC oleh LPS dengan
penyelamatan the Northern Rock (NR) bank yang dilanda krisis di Inggris pada tahun
2008. NR adalah mortgage bank yang bergerak dalam penyediaan kredit perumahan
bagi golongan menengah ke bawah. NR kolaps karena turunnya nilai asetnya dalam
sub-prime mortgages Amerika Serikat. Deposannya pun adalah dari kalangan itu.
Kredit pemilikan rumah merupakan prioritas di semua negara maju termasuk di
Inggris. Dilain pihak, deposan utama BC adalah sekelompok nasabah besar. Arah
penggunaan kredit BC pun bukan untuk kelompok masyarakat kecil dan menengah
serta bukan untuk sektor yang di prioritaskan oleh Pemerintah. Struktur NR pun
berbeda dengan BC. NR merupakan entitas yang berdiri sendiri sedangan BC
dikelilingi oleh puluhan anak perusahaan milik pemegang saham pengendali yang
terus menerus merongrongnya. Governance NR bukanlah bandingan governance BC.
Gabungan antara perilaku pemegang saham pengendali BC yang menggelapkan dana
deposannya sendiri dan penyimpangan hukum lainnya telah semakin menurunkan
reputasi BC yang kemudian memicu penarikan dana nasabah besar dari bank tersebut.
Rumor yang ditiupkan oleh analis PT Danareksa pada awal Nopember 2008 hanya
merupakan sekedar penyebab tambahan.
7. Nasabah besar
11
dananya pada bank-bank negara serta BPD yang secara implisit dijamin oleh
Pemerintah.
Penarikan besar-besar an (bank run) dana deposan besar dari BC, terutama
oleh BUMN, telah menyebabkan BC mengalami kesulitan likuditas yang sangat
parah. Selama periode 24 Nopember 2008 hingga 10 Agustus 2009, sebesar
Rp4.018,79 milyar dana pihak ketiga ditarik dari BC. Jumlah ini setara dengan 84
persen dari jumlah simpanan 40 nasabah besar atau 37 persen dari seluruh dana pihak
ketiga masyarakat yang disimpan di bank tersebut pada bulan September 2008.
Dengan perkataan lain, deposan besar dan BUMN yang hanya tertarik pada tingkat
suku bunga tinggi dan komisi itu telah menjadi sumber instabilitas industri perbankan
dan industri keuangan di Indonesia. Sumber keresahan dan krisis seperti ini yang
seharusnya dapat dipantau oleh BI dan dicegah oleh Pemerintah, utamanya Meneg
BUMN. Pelaku keresahan yang merugikan keuangan negara itu seharusnya dapat
dikenakan hukuman yang setimpal dan bukan justru dibantu serta diselamatkan.
Jika Indonesia ingin masuk dalam gelanggang global dan bank-bank nasional
kita diterima untuk melakukan transaksi dengan pihak asing, aturan maupun supervisi
perbankan dimasa datang harus mengacu kepada aturan internasional yang sudah
disepakati dalam kesepakatan atau perjanjian Basel 1, Basel 2 dan rangkaian
kesepakatan G-20.11 Dewasa ini, Indonesia merupakan anggota BIS dan G-20 yang,
11
Lihat Shelagh Herrefin. 2005. Modern Banking. Chicester, U.K.: John Wiley&sons Ltd. Chapter 3-
4 . Daniel K. Tarullo. 2008. Banking on Basel: The Future of International Financial Regulation.
Washington, D.C,: Peterson Institute for International Economics. London Summit of G-20: Leaders’
Statement, 2 April 2009 dan Leaders’ Statement, The Pittsburg Summit of G-20, September 24-25,
2009.
12
antara lain, menekankan pengaturan yang ketat atas seluruh industri keuangan dan
peningkatan integritas pengatur dan pemeriksanya.
13
9. Pemeriksaan Bank dan Lembaga-Lembaga Keuangan
Pro Kontra
1. Efisiensi karena besarnya skala organisasi Jika tujuan pendiriannya tidak jelas, lembaga
ini kurang efektip dibandingkan dengan
lembaga supervisi terpisah yang berdiri sendiri.
2. Menekan biaya dengan memanfaatkan skala Biaya justru meningkat jika organisasi menjadi
ekonomi terlalu besar
3. Meningkatkan akuntabilitas Moral hazard akan terjadi jika sasaran tidak
dikomunikasikan dengan jelas
4. Meniadakan persaingan antar lembaga dan Proses integrasi dapat memicu politisasi atau
meniadakan duplikasi pekerjaan masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka
pengaturan dan pengawasan industri keuangan
5. Memudahkan kesamaan perlakuan (level Ada kemungkinan kehilangan staff inti jika
playing field) dalam pengaturan dan proses integrasi tidak dapat dikendalikan
pengawasan atas semua industri keuangan dengan baik.
Sumber: Martin Cihak dan Richard Podpiera. 2006. “Is One Watchdog Better Than Three?
International Experience with Integrated Financial Sector Supervision”. IMF Working Paper No.
WP/06/57. March. Tabel 3. hal. 13
14
tanda-tanda kearah penyatuan semua lembaga pengatur dan pengawas lembaga
keuangan tersebut.
Semua model EWI yang digunakan sebagai alat prediksi oleh BI dewasa ini
adalah dikembangkan di negara maju yang memiliki latar belakang pengalaman
historis, kultur serta struktur perusahaan yang sangat berbeda dengan di Indonesia.
EWI yang digunakan oleh BI itu belum di sesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Penggunaan semena-mena EWI seperti itu ditambah dengan data yang tidak lengkap,
tidak akurat, dan tidak up-to-date akan menghasilkan kesimpulan serta rekomendasi
yang keliru seperti halnya dengan yang dilakukan dalam kasus BC. EWI yang
digunakan oleh BI saat ini adalah (i) stress test yang sudah digunakan secara luas di
13
Demirguc-Kunt, Asli, Edward J. Kane dan Luc Laeven, eds. 2008. Deposit Insurance Around the
World. Issues of Design and Implementation. Cambridge, Ma.: the MIT Press.
14
Peraturan LPS No. 2/PLPS/2006 tentang Laporan Bank Umum dan Keputusan Kepala Eksekutip No.
KEP-023/LPS/III/2006 tentang Format Laporan Bank Umum.
15
Pasal 81 UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS menetapkan modal awal LPS berkisar antara Rp4-8
triliun yang merupakan asset negara yang dipisahkan. Pasal 85 UU tersebut menyebutkan bahwa,
dengan persetujuan DPR,Pemerintah akan menutup kekurangan modal LPS jika kurang dari modal
awal tersebut.
15
seluruh dunia dan (ii) Memorandum of Understanding on Cooperation between the
Financial Supervisory Authorities, Central Banks and Finance Ministers of the
European Union-on Cross Border Financial Stability. Disamping itu, BI juga
memperhatikan Bank Survivability Criteria dari perusahaan peringkat
Standard&Poor’s serta publikasi Bank Dunia mengenai masalah yang sama.
16
EWI diciptakan di negara yang sudah penuh menggunakan mekanisme pasar.
Stándar governance perusahaan milik negara di Singapura dan Swedia, adalah setara
dengan perusahaan swasta dan tidak kegiatan operasionalnya tidak dicampuri oleh
Pemerintah. Sebaliknya, sistem ekonomi Indonesia masih belum sepenuhnya
menggunakan mekanisme pasar, antara lain, karena masih besarnya peranan
Pemerintah dalam pengendalian operasi BUMN dan BUMD, termasuk bank-bank
negara serta BPD. Itulah salah satu faktor penyebab kenapa bank-bank negara dan
BPD kita tidak mampu bersaing dengan DBS Singapura, apakah di dalam negeri
apalagi di luar negeri. Secara implicit, deposan maupun bank-bank negara adalah
dijamin penuh oleh negara.
EWI diciptakan di dunia lain yang memiliki struktur dunia usaha yang berbeda
dengan di Indonesia. Di negara lain itu, boleh saja bank dengan lembaga keuangan
lainnya membentuk konglomerasi untuk memanfaatkan skala ekonomi (economies of
scale) terutama dalam informasi tentang nasabah maupun jaringan kantor cabang.
Namun, di negara-negara industri maju itu, neraca gabungan perusahaan
konglomerasi tersebut dikonsolidasikan (one-bank holding campanies) supaya
transparan dan akuntabel. Di negara lain itu, industri keuangan tidak boleh punya
perusahaan afiliasi di luar industri keuangan. Walaupun lebih kaya dari konglomerat
Indonesia, seperti Robert Tantular, tidak pernah kita dengar Bill Gates, pemilik
Microsoft, punya bank. Tujuan utama dari penciptaan aturan BMPK (Batas
Maksimum Pemberian Kredit) adalah untuk membatasi pemberian kredit kepada
pihak terkait: pemilik, pengurus serta karyawan bank. Salah satu pelajaran yang kita
timba dari BLBI dan BC adalah bahwa syarat-syarat pertimbangan pemberikan kredit
kepada orang dalam adalah lebih ringan daripada yang berlaku bagi nasabah yang
bukan reafiliasi. Dalam bahasa teknisnya praktek seperti ini menciptakan insider
trading atau principal-agency problem16.
Seperti halnya dengan BLBI masa lalu, informasi mengenai BMPK dan
praktek insider trading di BC itulah yang tidak dimiliki oleh BI. Selain itu, dari empat
kali perubahan taksiran keperluan dana talangan BC kelihatan bahwa BI tidak
memiliki data dan informasi terkini (up-to-date information) sehingga sangat
terlambat mengetahui perkembangan kondisi keuangan BC. Akibatnya, informasi
yang tidak lengkap, tidak akurat serta terlambat yang digunakan dalam model stress
test yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia telah memberikan prediksi dan
rekomendasi yang salah bagi penanganan BC.
17
quality, earnings performance dan liquidity) yang awalnya dikembangkan oleh
Amerika Serikat dan kini sudah menyebar seluruh dunia17. Namun, model apa pun
yang digunakan, tetap memerlukan data yang lengkap, akurat dan terkini. Jika tidak,
hasilnya tidak akan memberikan, seperti yang disebut oleh pemeo dalam ilmu
ekonometri: “Garbage in, garbage out”.
Bankir dan pemeriksa bank yang sepanjang perjalanan karirnya adalah hidup
dalam era represi finansil tidak memahami berbagai bentuk risiko yang dihadapi oleh
industri perbankan dalam era mekanisme pasar setelah deregulasi sekarang ini.
Dimasa lalu, masalah governance perbankan, transparansi dan akuntabilitasnya adalah
tidak penting. Keadaan menjadi semakin parah karena financial repression yang
distortip itu sekaligus menumbuh suburkan praktek-praktek korupsi-kolusi dan
nepotisme yang juga menjalar kepada alokasi kredit serta perijinan dan pengawasan
bank.
Risiko yang dihadapi oleh industri perbankan dalam sistem pasar dapat dibagi
dalam delapan jenis yakni: (a) risiko kredit yang terjadi debitur tidak melunasi
kreditnya, (b) counterparty risk jika debitur tidak dapat melunasi kewajibannya; (c)
liquidity atau funding risk jika bank tidak dapat melunasi kewajibannya karena
keterbatasan likuiditas; (d) settlements atau payments risk terjadi karena adanya
tenggang waktu antara pelunasan hutang dengan pemasukan penerimaan tagihan
bank; (e) risiko pasar atau risko harga termasuk akibat dari (i) perubahan kurs devisa
maupun (ii) perubahan tingkat suku bunga; (f) capital atau gearing risk yang terjadi
jika tiba-tiba deposan menarik depositonya.
17
Lihat David, E.P. dan Dilruba. 2008. “Comparing Early Warning Systems for Banking Crises.”
Journal of Financial Stability. Vo 4(2): 89-120, Mayes, David G. 2007. “Early Intervention and
Prompt Corrective Action in Europe”. Bank of Finland Research. Discussion Paper No. 17 dan
Evanoff, Douglas D, G.G. Kaufman dan J.R. Labrosse, eds.,200. International Financial Instability.
Global Banking and National Regulation. Singapore: World Scientific Studies in International
Economics.
18
Di negara yang sudah maju, SDM yang tidak cocok lagi dengan sistem baru
dapat diganti dengan mempensiunkannya secara dini atau mendidik serta melatihnya
kembali. Dengan biaya mahal, konsultan asing sudah banyak didatangkan ke
Indonesia untuk melakukan perbaikan sistem pengelolaan, pemeriksaan dan
pengawasan bank. Pendidikan dan pelatihan atas pengurus dan pemeriksa bank yang
sudah ada pun telah dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Para komisaris
bank juga sudah dikirim mengikuti kursus kilat ke mancanegara mengenai
pengelolaan dan pemeriksaan bank berbasis risiko. Ternyata, bahwa pelatihan dan
pendidikan kembali bankir serta pemeriksa bank yang sudah ada tidak banyak
hasilnya karena dasar pendidikan maupun pengalaman karirnya memang sangat
berbeda dengan tuntutan kebutuhan standar Basel. Integritas pelaksana dan pengawas
bank adalah sangat penting karena mereka yang pembuat sekaligus yang
melaksanakan aturan prudensial perbankan yang dibuatnya itu. Kasus BC
menggambarkan bahwa integritas pengurus dan pemeriksa bank nasional masih
belum memenuhi standar sehingga manipulasi pembukuan dan berbagai tindakan
kejahatan perbankan masih tetap marak.
19
Grafik-1. PERANAN ANWAR NASUTION DALAM PROSES AKUISISI CHINKARA
CAPITAL ATAS BANK PIKKO, CIC DAN DANPAC, PERIODE 27 NOVEMBER 2001 -
25 JULI 2004
20
2. Ringkasan Pengawasan BI atas BC, 2004-2008
21
27 Jan 06 : PSP mengajukan cara penyelesaian
SSB valas bermasalah melalui Skema AMA 30 Okt 08 : SSB Valas USD11 juta dlm AMA tidak dapat
6 Des 04 : BI menyetujui akuisisi Pikko dengan mem pledge kan depositonya di bank di dicairkan saat jatuh tempo
dan Danpac oleh Bank CIC yg luar negeri
kemudian berubah menjadi Bank
Century walaupun belum ada 30 Okt 08 : BC mengajukan repo aset Rp1 T namun syarat PBI
persyaratan merger yang diputuskan CAR minimal 8% tidak dapat dipenuhinya
dalam RDG tanggal 27 Okt 2001 dan 21 Feb 06 : Deputi GBI menyetujui Skema AMA
rapat tanggal 16 April 2004 yang dengan cash collateralnya ditempatkan di luar
dipenuhinya. negeri atas nama pemegang saham 3 Nov 08 : SSB Valas USD45 juta dlm AMA tidak dapat
dicairkan saat jatuh tempo
3 Ags 06: AMA tdk dipenuhi PSP (SSB valas 6 Nov 08:BC ditempatkan BI ‘dalam pengawasan khusus’ tapi
tidak lancar) tetapi BI tidak melakukan tindakan & pihak terkait masih menarik tabungannya dari BC
SSB masih digolongkan lancar.
13 & 14 Nov 08 : RDG BI merubah PBI tentang FPJP dengan
menurunkan CAR menjadi 0%
TAHUN 2004 TAHUN 2005 TAHUN 2006 TAHUN 2007 TAHUN 2008
28 Feb 05 : SSB BC USD203 juta ternyata macet dan tidak punya 24 Sep 07: Komitmen AMA 3 Ags 06 tidak terlaksana. PSP membuat komitmen
rating (no rating & low interest) sehingga hrs dibentuk PPA 100% ASPA utk menyelesaikan SSB Valas Bermasalah.
dan karenanya CAR menjadi negatif 132,58%
10 Okt 07: BI menyetujui penyelesaian SSB melalui ASPA
Sesuai ketentuan, BC seharusnya masuk “Dalam Pengawasan
Khusus” tetapi dimasukkan dalam pengawasan intesif. Persyaratan ASPA tidak dipenuhi PSP sd Nov 08, BI tidak melakukan tindakan.
BI masih menempatkan “Dalam Pengawasan Intensif” karena ada Seharusnya BI melakukan tindakan terhadap BC karena kondisi SSB valas yang
komitmen PSP untuk menjual SSB. tidak lancar.
22