Peristiwa diawali dengan aksi saling culik menculik dan pembunuhan keji tanpa kejelasan
siapa pihak yang pertama kali memulainya. Korban pun berjatuhan, mulai dari pemimpin
agama, perwira TNI, perwira polisi, dan juga anggota ponpres di Madiun.
Selanjutnya pada tanggal 10 September 1948, massa pengikut PKI di daerah Ngawi mencegat
serta menghadang RM Suryo yang memakai mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo
beserta 2 mobil pengawal polisi. Ketiganya dibunuh dan kemudian mayat mereka dibuang ke
hutan.
Aksi penculikan dan pembunuhan keji pun terus berlanjut dan semakin banyak korban
berjatuhan. Bahkan dari golongan kiri sendiri pun juga jatuh korban yang diculik serta
dibunuh, yaitu dr. Muwardi. Alasan inilah yang menyebabkan ketidakjelasan pihak mana
yang memulai aksi kekejaman ini hingga mereka saling menuduh satu sama lain.
Kol. Marhadi yang juga menjadi korban mengakibatkan munculnya tuduhan bahwa para
pejabat dan petinggi pemerintahan Republik Indonesia saat itulah yang memulai aksi
tersebut. Bahkan Wakil Presiden Bung Hatta juga dituduh bekerja sama dengan Amerika buat
memusnahkan Partai Komunis Indonesia. Tuduhan tersebut sealur dengan pernyataan
Domino Theory yang dipaparkan Presiden Amerika Serikat saat itu, Harry S. Truman.
Pada tanggal 18 September 1948 isu terbentuknya pemerintahan Front Nasional Daerah atau
FND bagi keresidenan di Madiun oleh Sumarmo disiarkan di radio walau isu tersebut
kemudian dibantah oleh Sumarmo.
Pembentukan FND adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap ancaman yang disebarkan ke
pemerintahan pusat Republik Indonesia. Karena itulah PKI mengusulkan pembentukan Front
Demokratik Rakyat atau FDR serta negara Soviet Republik Indonesia tanggal 18 September
1948 oleh pemimpin PKI, Muso.
Gerakan itu didukung Menteri Pertahanan Indonesia saat itu, Amir Syarifuddin dan
mengakibatkan Presiden Soekarno menyatakan pidato terbuka di radio yang menyuruh rakyat
Indonesia buat memilih dirinya atau Muso.
Akibat semua itu muncullah penetapan mosi tidak percaya terhadap kabinet Amir Syarifudin
di Januari 1948 hingga Amir terpaksa pindah menjadi partai oposisi. Tanggal 26 Februari
1948, partai oposisi Amir kian kuat disertai penggabungan Partai Sosialis Indonesia atau PSI,
Pemuda Sosialis Indonesia atau Pesindo, serta banyaknya kelompok kiri dari Patuk Jawa
Tengah yang terdiri dari pasukan militer serta masyarakat sipil bernama Kelompok Diskusi
Patuk.
Diawali dengan pidato Presiden Soekarno, pemberontakan tak terelakkan lagi hingga memicu
konflik bersenjata. Peristiwa berdarah ini dikenal dengan peristiwa Madiun atau Madiun
Affairs, dan di masa Orde Baru dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
Berikut beberapa penyebab terjadinya pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 lalu.
Perjanjian Renville
Perjanjian antara Indonesia yang diwakili Amir Syariffudin dan Belanda ini dianggap
menguntungkan pihak Belanda dan membuat status Indonesia menjadi makin tidak jelas.
Karena itulah banyak petinggi dan juga rakyat yang menyalahkan Amir.
Wilayah Indonesia cuma diakui sebagai wilayah yang terbagi di garis Van Mook atau
Demarkasi yang merupakan garis pembatas yang dibuat Van Mook sebagai batas
kekuasaan.
Belanda tetap punya kedaulatan atas Indonesia sebelum Republik Indonesia Serikat
terbentuk.
Kedudukan atas Republik Indonesia Serikat bakal sejajar dengan kedudukan Kerajaan
Belanda di Uni Indonesia Belanda.
Republik Indonesia Serikat bakal mencakup semua bagian Republik Indonesia.
Sebelum Republik Indonesia Serikat terbentuk, Kerajaan Belanda bakal memberi
penyerahan kekuasaan pada bagian pemerintahan federal sementara.
Pengesahan serta penetapan Perjanjian Renville merugikan Indonesia, bahkan semakin
diperparah seiring masalah blokade pemerintah Belanda. Amir pun mundur dari
pemerintahan Indonesia tanggal 23 Januari 1948 yang mengakibatkan Wakil Presiden diberi
mandat oleh Presiden buat menyusun kabinet baru. Wakil Presiden Bung Hatta pun
menyusun kabinet baru tanpa mengikutsertakan golongan sosialis maupun golongan kiri.
Setelah mundur dari pemerintahan Indonesia, Amir kemudian membentuk Front Demokrasi
Rakyat atau FDR yang menyatukan komunis dengan golongan sosialis kiri. Sejak itu banyak
hal negatif terjadi hingga mengakibatkan semakin banyak masalah bermunculan di Indonesia.
Hal tersebut antara lain disebabkan karena tujuan mereka memang berusaha mengganti
sistem pemerintahan Republik Indonesia saat itu dengan membentuk gerakan baru.
Penyerangan Kawanan Buruh Dan Petani
Salah satu aksi buruk yang dilakukan kelompok tersebut antara lain adalah dengan menghasut
kaum buruh dan juga para petani agar mereka lakukan aksi mogok kerja. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya salah satu pengecaman ekonomi tanggal 5 Juli 1948 di pabrik
karung Delanggu.
Penyebab terjadinya pemberontakan PKI lainnya adalah keinginan Muso selaku pimpinan
PKI untuk merebut kursi pimpinan pemerintahan Republik Indonesia serta menjadikan partai
komunis sebagai partai penguasa daerah Republik Indonesia. Mereka pun memunculkan
skema sekaligus berusaha mendeklarasikan pemerintahan Indonesia yang menganut paham
komunis.
Muso menganggap bahwa dunia terpecah dua kubu, yaitu kubu imperialis di bawah Amerika
Serikat dan kubu komunis di bawah Uni Soviet. Karena perjuangan rakyat Indonesia
merupakan perjuangan menentang imperialis, maka sudah sepatutnya Indonesia memihak
Uni Soviet.
Muso mengeluarkan doktrin serta politik baru bernama jalan baru yang dikembangkan di
kalangan partai buruh, partai sosialis dan anggota PKI lainnya. Bahkan bersama dengan
Amir, ia mendeklarasikan pimpinan kekuasaan berada di bawah tangannya dan
memporakporandakan kepercayaan dengan menghasut hingga semua golongan saling curiga
dan bermusuhan.
PKI pun juga menyerang kabinet rasionalisasi dan reorganisasi yang disusun Bung Hatta.
Namun tanggal 2 Januari 1948, Presiden Soekarno mengeluarkan ketetapan presiden yang
menyuruh pelaksanaan gerakan rasionalisasi sebagai upaya peperangan. Isi dari ketetapan
tersebut adalah:
Di balik sejarah latar belakang pemberontakan PKI Madiun 1948, tujuan pemberontakan itu
sendiri antara lain adalah sebagai berikut:
Muso mengemukakan tiga gagasan utama terkait pemberontakan PKI di Madiun, yaitu:
B. Pengertian DI/TII
DI/TII (Darul Islam / Tentara Islam Indonesia) merupakan sebuah gerakan atau perkumpulan
organisasi yang berjuang atas nama Umat Islam yang ada di seluruh Indonesia. Nama NII
merupakan kependekan dari Negara Islam Indonesia dan kemudian banyak orang yang
mengenalnya dengan nama Darul islam atau yang biasa dikenal dengan nama DI.
Arti kata darul Islam itu sendiri ialah Rumah Islam. Jadi kesimpulan dari organisasi DI/TII
adalah tempat atau wadah bagi umat islam yang ada di Indonesia untuk menyampaikan
pendapat-pendapat mereka, supaya pendapat-pendapat tersebut bisa tertampung dan dapat
terorganisir sehingga berguna bagi umat islam di Indonesia.
Kegiatan tersebut memiliki maksud untuk menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru
saja dideklarasikan kemerdekaannya, menjadi negara dengan agama Islam sebagai dasar
negara. Dalam proklamasi Negara Islam Indonesia menyatakan bahwa, Hukum yang berlaku
dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam, dan dalam undang-undangnya
menyebutkan bahwa, Negara berdasarkan Islam dan Hukum yang tertinggi adalah Al Quran
dan Hadits. Deklarasi Negara Islam Indonesia itu begitu jelas menyatakan keharusan negara
untuk membuat undang-undang yang didasari dengan hukum Islam, dan sangat menolak
ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih.
Pemberontakan DI/TII
Pada tanggal 14 Agustus 1945 menurut Alers, sesungguhnya Kartosuwirjo sudah
mendeklarasikan suatu negara Darul Islam yang merdeka. Namun setelah tanggal 17 Agustus
1945 Kartosuwirjo membela Republik Indonesia yang dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta.
Lalu pada saat Belanda melakukan agresi militer I kepada Republik Indonesia pada tanggal
21 Juli 1947, Kartosuwirjo menggaungkan Perang suci melawan Belanda pada tanggal 14
Agustus
Kartosuwirjo bersama gerakan DI-nya awalnya mendukung Republik dalam perjuangan
melawan Belanda. Akan tetapi ketika Indonesia melakukan perjanjian Renville dengan pihak
Belanda, Darul Islam kembali bergejolak sebagai reaksi negatif dari adanya persetujuan akan
perjanjian Renville pada bulan Januari 1948. Menurut perjanjian yang tertulis itu pasukan
TNI harus ditarik dari dari daerah Jawa Barat yang terletak dibelakang garis demarkasi Van
Mook. Akan tetapi sekitar 4000 pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Kartosuwirjo, bekas
anggota PSII sebelum perang dan bekas anggota Masyumi menolak untuk berhijrah.
Reaksi keras dari Pihak Kartosuwirjo yang menentang hasil perjanjian Renville itulah yang
dianggap sebagai sebuah pemberontakan, dikarenakan sebagai warga negara, Kartosuwirjo
beserta pasukannya dapat menerima dan menjalankan hasil dari perjanjian Renville sendiri.
Bukan malah melakukan perlawanan dan malah memproklamasikan sendiri kemerdekaannya
sebagai Negara Islam Indonesia, sementara saat itu, Indonesia sudah merdeka. Hal tersebut
sama dengan Darul Islam ingin mendirikan negara di dalam sebuah negara walaupun pada
saat itu Darul Islam mendirikan sebuah negara di Pasundan, wilayah yang dikuasai Belanda
pada saat itu.
Kemudian pada saat Belanda melakukan agresi militer ke II yaitu pada tanggal 19 September
1948, Kartosuwirjo menggaungkan kembali untuk melakukan perang suci kepada pihak
Belanda. Maka dari itu, kubu Darul Islam sudah secara terbuka tidak terpaut dengan
Perjanjian Renville lagi. Lalu pada akhirnya di tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo sebagai
pemimpin dari DI mendeklarasikan terbentuknya negara Islam Indonesia sebagai pengganti
terhadap Republik Indonesia (Yogya).
1. Ingin membentuk negara yang berlandaskan agama islam dan lepas dari NKRI
sewaktu tentara Belanda menduduki ibukota RI di Yogyakarta.
2. Menjadikan Syariat islam sebagai dasar Negara (pola tingkah laku, dalam
keluarga/masyarakat/bangsa ataupun Negara) bersumber pada Alqur’an, Hadist, Isma,
Qias.
Upaya Pemusnahan yang dilakukan Pemerintah untuk menumpas gerakan DI/TII di Jawa
Barat tersebut, yaitu dengan pendekatan musyawarah yang di lakukan Muhamad Natsir.
Tetapi pendekatan musyawarah tersebut tidak membawa hasil sehingga pemerintah RI
terpaksa mengambil tindakan tegas dengan menerapkan operasi militer yang di sebut Operasi
Pagar Betis dan Operasi Baratayudha untuk menumpas gerakan DI/TII.
Kemudian pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo beserta para pengikutnya berhasil
ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Kartosuwiryo
dijatuhi hukuman mati di hadapan regu tembak dari keempat angkatan bersenjata RI pada 16
Agustus 1962
Kemudian pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar memberikan surat kepada pemerintah
pusat yang menyebutkan agar semua anggota dari KGGS (Komando Gerilya Sulawesi
Selatan) dimasukkan dalam APRIS serta menyarankan pembentukan Brigade Hasanudin.
Akan tetapi permintaan Kahar Muzakar tersebut ditolak oleh pemerintah pusat.Pemerintah
sentral bersama dengan pemimpin APRIS mengeluarkan prosedur dengan memasukkan
semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) dan Kahar Muzakar
diangkat sebagai pemimpin dengan kedudukan letnan kolonel.
Kebijakan pemerintah tersebut membuat kecewa Kahar Muzakar. Pada 17 Agustus 1951,
Kahar Muzakar bersama pasukannya melarikan diri ke hutan. Kemudian pada tahun 1952
Kahar Muzakar menyebut bahwa wilayah Sulawesi Selatan telah menjadi bagian dari Negara
Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.Pemerintah lalu mengambil tindakan tegas dengan
mengadakan operasi militer untuk mengatasi penentangan Kahar Muzakkar. Dan pada
akhirnya di bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak
Penolakan Ibnu Hadjar bermula dari kegagalan eks pejuang kedaulatan yang berasal dari
Kalimantan Selatan untuk bergabung di tentara Indonesia saat itu yang bernama APRIS
(Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Banyak mantan pejuang yang tidak dapat
masuk tentara karena disebabkan tidak bisa baca tulis, termasuk Ibnu Hadjar sendiri. Mereka
semua juga kecewa dengan adanya mantan tentara KNIL (Tentara Hindia Belanda) di
APRIS.
Ibnu Hadjar lalu membuat Kesatuan Rakjat Jang Tertindas (KRJT), dan menggempur pos
tentara di Kalimantan Selatan pada Oktober 1950.Penyelesaian secara damai mulanya
dilakukan Pemerintahan Indonesia, tetapi Ibnu Hadjar yang sempat tertangkap dan dilepaskan
untuk membujuk penentang lain menyerah malah kabur dan meneruskan
penentangannya.Penentangan tersebut kemudian berhasil dikalahkan dan Ibnu Hadjar
menyerah pada Maret 1965, dan kemudian dijatuhi Hukuman Mati.
Penentangan DI/TII di Aceh berakhir saat menyerahnya Daud Beureueh setelah dicapai
kesepakatan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.Musyawarah itu berlangsung pada
17-21 Desember 1962. Upaya tersebut menghasilkan perjanjian untuk mengembalikan posisi
provinsi Aceh, dan memberikan provinsi ini otonomi khusus. Hasil diplomasi tersebut adalah
menjadi berakhirnya penentangan DI/TII di Aceh.
C. APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang
didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Milisi ini didirikan oleh
mantan Kapten DST KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasinya dari
kesatuan Depot Speciale Troepen (depot pasukan khusus KNIL) pada tanggal 09
Januari 1949. Nama milisi ini berasal dari bagian dari kitab ramalan Jawa Kuno Ramalan
Jayabaya yang meramalkan kedatangan seorang "Ratu Adil" yang merupakan
keturunan Turki. Karena mempunyai warisan darah campuran Turki, Westerling memandang
dirinya sebagai sang "Ratu Adil" yang diramalkan akan membebaskan rakyat Indonesia dari
"tirani".
D. Andi Aziz
Peristiwa Andi Azis adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang
mantan perwira KNIL, yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan Negara Indonesia
Timur dan enggan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Andi Azis,
para perwira APRIS (ABRI) (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab
terhadap gangguan keamanan di wilayah Negara Indonesia Timur yang menurutnya didalangi
oleh pemerintah.
Awal gerakan
Andi Azis adalah seorang mantan perwira KNIL yang bergabung menjadi perwira APRIS
(ABRI), kemudian beliau diterima sebagai perwira APRIS. Pelantikannya disaksikan
oleh Letkol Ahmad Yunus Mokoginta, yang merupakan Panglima Tentara Teritorium Negara
Indonesia Timur. Namun kemudian, beliau justru menggerakkan pasukannya dari para
mantan perwira KL/KNIL lainnya untuk menyerang markas APRIS dan menyandera
sejumlah perwira APRIS, termasuk Letkol A. Y. Mokoginta. Setelah menguasai Makassar,
beliau menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan. Ia menuntut agar
para perwira APRIS (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab
terhadap gangguan keamanan di wilayah Indonesia Timur yang menurutnya didalangi oleh
pemerintah.
Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah membuat ultimatum yang meminta Andi Azis agar
segera datang ke Jakarta. Karena, apabila beliau tidak mengindahkan ultimatum tersebut,
maka Kapal Angkatan Laut Hang Tuah akan mem-bom kota Makassar. Selain itu, ultimatum
pemerintah tersebut juga meminta agar Andi Azis mempertanggungjawabkan perbuatannya
dalam waktu 4 x 24 jam, tetapi ultimatum tersebut tetap juga tidak diindahkan. Setelah batas
waktu terlewati, pemerintah mengirimkan pasukan di bawah Kolonel Alex Kawilarang. Dan
akhirnya, pada tanggal 15 April 1950, Andi Azis datang ke Jakarta dengan perjanjian dari Sri
Sultan Hamengkubuwana IX bahwa beliau tidak akan ditangkap. Tetapi, ketika Andi Azis
datang ke Jakarta, beliau justru langsung ditangkap.
Pertempuran
Gerakan ini diawali dengan kegiatan pasukan APRIS (ABRI) yang diganggu oleh KL/KNIL
dan kerap kali melakukan provokasi serta konflik dengan pasukan APRIS. Pertempuran
keduanya meletus pada tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KL/KNIL berhasil ditaklukkan oleh
APRIS dengan mengerahkan seluruh kekuatan pasukan dari angkatan darat, laut, dan udara.
E. RMS
Setelah memproklamasikan kemerdekaan, ternyata Indonesia tidak lantas terlepas dari
ketegangan-ketegangan antarkelompok masyarakat lho, RG Squad! Saat itu, beberapa
wilayah yang berada di Indonesia menolak untuk bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, salah satunya Maluku. Kalian tahu kenapa? Nah, di artikel ini kita bahas
mengapa wilayah tersebut tidak setuju dengan didirikannya NKRI, hingga berujung
pemberontakan Republik Maluku Selatan. Didirikannya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menimbulkan respon dari masyarakat Maluku Selatan saat itu. Seorang mantan
jaksa agung Negara Indonesia Timur, Mr. Dr. Christian Robert Soumokil,
memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950.
Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI, Soumokil tidak setuju dengan
penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan, Ia mencoba untuk melepas wilayah
Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon pemerintah yang
merasa kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia Serikat. Maka
dari itu, pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk langkah selanjutnya.
Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan adalah dengan menempuh jalan damai. Dr. J.
Leimena dikirim oleh Pemerintah untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada
RMS, tentunya membujuk agar tetap bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah
tersebut ditolak oleh Soumokil, justru ia malah meminta bantuan, perhatian, juga pengakuan
dari negara lain lho, terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk
Indonesia.
F. PRRI/Pamesta
PRRI adalah singkatan dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, sementara
Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta.
Pemberontakan keduanya sudah muncul saat menjelang pembentukan Republik Indonesia
Serikat (RIS) tahun 1949. Akar masalahnya yaitu saat pembentukan RIS tahun 1949
bersamaan dengan dikerucutkan Divisi Banteng hingga hanya menyisakan 1 brigade saja.
Kemudian, brigade tersebut diperkecil menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kejadian itu
membuat para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng merasa kecewa, karena mereka merasa
telah berjuang hingga mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, ada pula ketidakpuasan dari beberapa daerah seperti Sumatera dan
Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Kondisi ini pun diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat
rendah.
Akhirnya, pemberontakan PRRI/Permesta baru dapat diselesaikan pada bulan Agustus 1958,
dan pada tahun 1961 pemerintah membuka kesempatan bagi sisa-sisa anggota Permesta
untuk kembali Republik Indonesia.
Bahkan, dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom (Nasional, Agama,
Komunis) yang sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang
sah dalam konstelasi politik Indonesia. Hal ini hanya akan membukakan jalan bagi PKI untuk
melancarkan rencana-rencananya. Yang salah satunya sudah terbukti adalah pemberontakan
G-30-S-PKI yang dipimpin oleh DN. Aidit. Pemberontakan itu bertujuan untuk
menyingkirkan TNI-AD sekaligus merebut kekuasaan pemerintahan.
Selain karena ingin merebut kekuasaan, ada juga factor lain yang membuat mereka
melakukan pemberontakan itu, yakni :
Sejarah G30S/PKI
Sebelum peristiwa 30S PKI terjadi, Partai Komunis Indonesia sempat tercatat sebagai partai
Komunis terbesar di dunia. Hal ini didukung dengan adanya sejumlah partai komunis yang
telah tersebar di Uni Soviet dan Tiongkok.
Semenjak dilakukannya audit pada tahun 1965, setidaknya ada 3,5 juta pengguna aktif yang
bernaung menjalankan program dalam partai ini. Itu pun belum termasuk dengan 3 juta jiwa
yang menjadi kader dalam anggota pergerakan pemuda komunis.
Di sisi lain, PKI juga memiliki hak kontrol secara penuh terhadap pergerakan buruh, kurang
lebih ada 3,5 juta orang telah ada di bawah pengaruhnya. Belum sampai disitu, masih ada 9
juta anggota lagi yang terdiri dari gerakan petani dan beberapa gerakan lain. Misal
pergerakan wanita, pergerakan sarjana dan beberapa organisasi penulis yang apabila
dijumlahkan bisa mencapai angka 20 juta anggota beserta para pendukungnya.
Masyarakat curiga dengan adanya pernyataan isu bahwa PKI adalah dalang dibalik terjadinya
peristiwa 30 September yang bermula dari kejadian di bulan Juli 1959, yang mana pada saat
itu parlemen telah dibubarkan. Sementara Presiden Soekarno justru menetapkan bahwa
konstitusi harus berada di bawah naungan dekrit presiden.
PKI berdiri dibelakang dukungan penuh dekrit presiden Soekarno. Sistem Demokrasi
Terpimpin yang diusung oleh Soekarno telah disambut dengan antusias oleh PKI. Karena
dengan adanya sistem ini, diyakini PKI mampu menciptakan suatu persekutuan konsepsi
yang Nasionalis, Agamis dan Komunis dengan singkatan NASAKOM.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan G-30-S-PKI mulai bergerak dari Lubang
Buaya dan menyebar ke segenap penjuru Jakarta. PKI menduduki beberapa instalasi vital di
Ibukota seperti Studio RRI, pusat Telkom dan lain-lain. Pasukan Pasopati berhasil melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira TNI-AD yang menjadi target operasi.
Enam Jenderal yang menjadi korban keganasan G-30-S-PKI ialah sebagai berikut:
Sementara itu, Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil meloloskan diri dari penculikan. Akan
tetapi, putrinya Ade Irma Suryani terluka parah karena tembakan penculik dan akhirnya
meninggal di rumah sakit.
Ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean ikut menjadi sasaran penculikan
karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution. Ketika itu juga tertembak Brigadir Polisi
Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Waperdam II Dr.J. Leimena yang rumahnya
berdampingan dengan rumah Nasution.
Lolosnya Nasution, membuat Aidit dan koleganya cemas karena akan menimbulkan masalah
besar. Untuk itu, Suparjo menyarankan agar operasi dilakukan sekali lagi. Saat berada di
istana, Suparjo melihat bahwa militer di kota dalam keadaan bingung. Akan tetapi, para
pemimpin gerakan pada saat itu tidak melakukan apa-apa. Hal ini menjadi salah satu
penyebab kehancuran operasi mereka.
Sementara itu, sesudah PKI dengan G 30 S/PKI nya berhasil membunuh para pimpinan TNI
AD, kemudian pimpinan G 30 S/PKI mengumumkan sebuah dektrit melalui RRI yang telah
berhasil pula dikuasai. Dekrit tersebut diberinya nama kode Dekrit No 1 yang mengutarakan
tentang pembentukan apa yang mereka namakan Dewan Revolusi Indonesia di bawah
pimpinan Letkol Untung. Berdasarkan revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, dekrit no 1
tersebut, maka Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi, Dekrit no 2 dari G 30 S/PKI
tentang penurunan dan kenaikan pangkat (semua pangkat diatas Letkol diturunkan, sedang
prajurit yang mendukung G 30 S/PKI dinaikan pangkatnya 1 atau 2 tingkat).
Tujuan G30S/PKI
Berikut ini terdapat beberapa tujuan G30S/PKI, antara lain:
Bahwa Gerakan 30 September adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk
merebut kekuasaan di negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI
sebagai kekuatan fisiknya,
Bahwa tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan
negara dan mengkomuniskannya.
Usaha tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara
berlanjut.
Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian
kegiatan komunisme internasional.
Presiden Soekarno menyalahkan orang-orang yang terlibat dalam perbuatan keji yang
berakhir dengan gugurnya Pahlawan Revolusi serta korban– korban lainnya yang tidak
berdosa. Namun Presiden Soekarno menyatakan gerakan semacam G30S/PKI dapat saja
terjadi dalam suatu revolusi. Sikap Soekarno ini diartikan lain oleh masyarakat, mereka
menganggap Soekarno membela PKI. Akibatnya, popularitas dan kewibawaan Presiden
menurun di mata Rakyat Indonesia. Demonstrasi besar-besaran terjadi pada tanggal 10
Januari 1966.
Para demonstran ini mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA (Tri
Tuntutan Rakyat), meliputi sebagai berikut :
Pembubaran PKI
Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
Penurunan harga – harga (Perbaikan Ekonomi).
Menjelang pelantikan Kabinet Seratus Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, KAMI
melakukan aksi serentak. Dalam demonstrasi itu gugur seorang mahasiswa Universitas
Indonesia, Arief Rahman Hakim.
Peristiwa itu berpengaruh besar terhadap maraknya gelombang aksi demonstrasi. Di Istana
Bogor ketiga perwira tinggi itu mengadakan pembicaraan langsung dengan Presiden yang
didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan
kesimpulan pembicaraan, maka ketiga perwira TNI – AD itu bersama dengan Komandan
Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada
Letjen Soeharto yang kemudian Surat Perintah itu lebih dikenal dengan sebutan Surat
Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR). Isi pokoknya adalah memerintahkan kepada Letjen
Soeharto atas nama Presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk
terjaminnya keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya
revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden
Penumpasan G30S/PKI
Berikut ini terdapat beberapa penumpasan G30S/PKI, antara lain: