Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Dalam proses pembelajaran saat ini,nilai tidak hanya berdasarkan


kemamouan siswa saja berdasarkan kemampuan akademiknya saja tetapi juga
berdasarkan sikap dan tingkah laku siswa tersebut terhadap gurunya. Banyak dari
siswa yang saat ini tidak tahu bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap gurunya.
Terkadang beberapa dari sikap dan perkataan mereka dianggap kurang sopan
namun mereka tidak menyadari hal tersebut.Disini pendidikan hendaknya
bagaimana merubah pengetahuan atau ilmu yang mereka dapat itu menjadi tingkah
laku dan bagaimana mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Etika itu harus diajarkan sejak dari dini agar para murid tahu siapa dirinya
dan kepada siapa saja mereka harus hormat. Sehingga nantinya akan tampak jelas
peran orang tua dalam mendidik mereka dan juga akan tampak bagaimana mereka
merealisasikan ilmu yang telah merek dapat dalam kehidupan sehari-hari.
1.2.Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada pembahasan kali ini adalah:

a. Apa itu guru dan apa itu murid?

b. Bagaimana karakteristik murid dalam perspektif hadist?

c. Bagaimana etika murid terhadap dirinya dan juga tehadap guru?

1.3.Tujuan Pembahasan

Tujuan dari pembahasan ini adalah:

a) untuk mengetahui bagaimana seharusnya murid bersikap terhadap dirinya, disini


maksudnya bagaimana supaya mereka bisa menghargai diri mereka sendiri.

b) untuk mengetahui bagaimana sebaiknya murid berstika terhadap guru mereka.

1.4.Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data kali ini, metode yang digunakan adalah studi
keperpustakaan. Dan juga penulis mengambil beberapa data dari buku online yang
berhubungan dengan topic yang akan dijelaskan.
BAB II
PEMBAHASAN

ETIKA MURID TERHADAP GURU

A.Pengertian Guru

Dalam literature kependidikan islam, kata guru juga sering dikatakan dengan
Ustadz,mu’alim, murrabiy, muddaris dan muaddib. Sedangkan menurut
Muhammad Ali al-Khuli dalam kamusnya “Dictionary of Education; English-
Erobic”, kata “guru” disebut juga dengan mu’allim dan muddaris.

Kata ustadz biasa digunakan untuk memanggil seorang professor.Ini


mengandung makna bahwa seorang guru dituntut prosionalisme dalam
mengemban tugasnya. Seorang dikatakan professional bilamana pada dirinya
melihat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap
mutuproses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement, yaitu selalu
berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai
dengan tuntutan zamannya. Yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa
tugas mendidik adalah tugas menyiapakam generasi penerus yang akan hidup pada
zamannya dimasa depan.

Kata “mu’allim” berasal dari kata dasar ilm yang menangkap hakekat
sesuatu.Dalam setiap ilmu terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliyah.Ini
mengandung makna seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakekat ilmu
pengetahuan yang diajarkannya, sertamenjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya,
dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya.

Dalam hal ini, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Alaq: 5 sebagai berikut:
“ Dia mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui”

Ayat ini berindikasi bahwa Allah mengajarkan baca tulis dengan perantara
pena. Dan pengajaran itu berupa hal-hal yang tidak diketahui. Jadi pendidikan
dalam arti ta’lim menunjukkan proses pemberian informasi kepada obyek didik
sebagai makhluk yang berakal, di samping itu pula ta’lim juga menjadi indikator
kelebihan manusia sebagai peserta didik karena kepemilikan akal pada dirinya.
Jadi, tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu
berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil karyanya untuk tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

Dengan demikian, seorang guru dituntut untuk sekaligus melakukan transfer


of knowledge, internalisasi dan amaliyah (implementasi).Boleh dikatakan bahwa
guru tidak hanya mengenalkan sebuah konsep dari suatu ilmu, tapi lebih dari itu,
seorang guru mampu menerapkan adanya konsep itu.Melihat dari usaha-usaha
guru di atas, maka kedudukan guru dalam Islam merupakan realita dari ajaran itu
sendiri.Tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru.Tak terbayangkan
terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang belajar dan mengajar;
tak terbayangkan adanya belajar mengajar tanpa adanya guru, karena Islam adalah
agama.Maka pandangan tentang guru, kedudukan guru tidak terlepas dari nilai-
nilai kelangitan.
B.Pengertian Murid

Kata “murid” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian


orang yang sedang berguru.Menurut Ahmad Warson Al-Munawwir dalam
kamusnya “Al-Munawwir” bahwa “murid” adalah orang yang masa-masa
belajar.Sedangkan kata “murid” menurut John M. Echold dan Hassan Shadily
adalah orang yang belajar (pelajar).Istilah lain yang berkenaan dengan murid
(pelajar) adalah al-thalib.Kata ini berasal dari bahasa Arab, thalaba, yathlubu,
thalaban, thalibun yang berarti “orang yang mencari sesuatu”.Pengertian ini dapat
dipahami karena seorang pelajar adalah orang yang tengah mencari ilmu
pengetahuan,pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya
untuk bekal kehidupannya di masa depan agar berbahagia dunia dan akhirat.

Kata al-thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan
tinggi yang selanjutnya disebut mahasiswa. Penggunaan kata althalibuntuk
mahasiswa dapat dimengerti karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal
pengetahuan dasar yang iaperoleh dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan,
terutama pengetahuan tentang membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal
pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan
mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati,
memilih bahan-bahan bacaan, seperti buku-buku, surat kabar, majalah, fenomena
sosial melalui berbagai peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan
bacaan.

Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa


selanjutnyadituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah,
skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian dan lain sebagainya.Dengan demikian,
dalam arti al-thalib, seorang murid lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif dan tidak
bergantung kepada guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas,
mengkritik dan menambahkan informasi yang disampaikan oleh guru atau yang
lebih dikenal sebagai dosen atau supervisor.

Dalam kontek ini seorang dosen harus bersikap demokratis, memberi


kesempatan dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong
mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Kesempatan
belajar yang diciptakan dosen adalah agar merangsang para mahasiswa belajar,
berfikir, melakukan penalaran yang memungkinkan para mahasiswa dan dosen
tercipta hubungan sebagai mitra. Minat dan pemahaman, timbal balik antara dosen
dan mahasiswa ini akan memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar mengajar
pada bersangkutan.
C.Karakteristik Murid dalam Perspektif Hadist

Secara fitrah, anak memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa.
Hal ini dapat dipahami dari kabutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap
orang yang baru lahir, Allah SWT berfirman:

‫ار َواألَ ْفئِ َدةَ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ نَ ْ ِّم ْنأ َ ْخ َر َج ُكم َوهللا‬ َ ‫ون أٔ َّمهَا تِ ُك ْم الَ تَ ْعلَ َُموْ نَ َشيئًا َو َج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َواألَ ب‬
َ ‫ْص‬ ِ ‫ط‬ٔ ‫ٔب‬

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur.”

Dalam perspektif hadits, peserta didik mempunyai karakteristik sebagai berikut:

Peserta didik menjadikan Allah sebagai motimator utama dalam menuntut


ilmu.

Senantiasa mendalami pelajaran secara maksimal, yang ditunjang dengan


persiapan dan kekuatan mental, ekonomi, fisik, dan psikis.

‫ الى هللا من المٶمن الضيف‬p‫عن أبي هريرة قا ل رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ألمٶمن القوي خيروأحب‬

“ Dari Abu Hurairah r,a, ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda: Orang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah.”
Senantiasa mengadakan perjalanan (rihlah, comparative study) dan
melakukan riset dalam rangka menuntut ilmu karena ilmu itu tidak hanya pada satu
majlis al-‘ilm, tetapi dapat dilakukan di tempat dan majelis-majelis lain.

Memiliki tanggung jawab.

“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda: Barang
siapa yang ditanyai suatu imu pengetahuan, tetapi ia menyembunyikannya, maka
Allah akan menyedikan baginya kekangan dari api neraka di hari kiamat”. Ilmu
yang dimilikinya dapat dimanfaatkan.

D.Etika Murid
a. Etika Murid terhadap dirinya

Berniat ikhlas karena Allah semata.

Sebelum memulai pelajaran, siswa harus lebih dahulu membersihkan dirinya


dari segala sifat buruk karena belajar itu termasuk ibadah, dan ibadah yang
diterima Allah adalah ibadah yang dilakukan dengan tulus ikhlas. Oleh karena itu,
belajar yang diniatkan bukan karena Allah akan sia-sia. Nabi SAW bersabda:
artinya: “ Sesungguhnya amal perbuatan itu dilandasi atas niat…”

Hendaknya tujuan pendidikan itu karena takut kepada Allah SWT dan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:

“ Pelajarilah ilmu karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah


sebentuk takut kepada-Nya.”

Jangan meninggalkan suatu mata pelajaran sebelum benar-benar


menguasainya. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, siang dan malam, dengan
terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.

Tawaddu’, iffah, sabar, dan tabah, wara’, dan tawakal.

Disiplin dan selektif memilih lingkungan (pendidikan).

Islam sangat mengutamakan kedisiplinan, terutama penggunaan waktu,


bahkan Allah SWT bersumpah demi masa (waktu). Rasulullah SAW sendiri
mewaspadai betul waktu, sehingga beliau bersabda:
“ Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan: sehatmu
sebelum sakitmu, waktu lapangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu
sebelum masa tuamu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, dan waktu hidupmu
sebelum matimu”. (H.R. Baihaqi)

Kemudian murid juga selektif dalam membentuk lingkungan pergaulan,


karena lingkungan turut membentuk corak pendidikan, perilaku, dan pola pikir
seseorang. Seperti sabda Nabi SAW:

” Perumpamaan sahabat yang baik dan sahabat yang buruk itu bagaikan pembawa
misik (kasturi) dan penyulut api. Pembawa kasturi terkadang memberi kepadamu
atau kau membeli dirinya, atau (paling tidak) kamu mencium bau harumnya.
Adapun penyulut api, kalau tidak membakar pakaianmu, maka kamu mendapat bau
baranya”.

b. Etika Murid Terhadap Guru

Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos(tunggal) atau ta etha(jamak) yang


berarti watak, kebiasaan dan adat istiadat. Pengertian ini berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun suatu masyarakat
yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.

Dari pengertian diatas, kita hendaknya mencoba mengaitkan dengan


kemajuan pendidikan yang tidak hanya terpatri pada pengetahuan namun juga etika
yang berdampak positif untuk anak didik.Kemajuan sebuah bangsa sangat
berbanding lurus dengan kemajuan pendidikannya, rumusan ini sangat signifikan
mengingat pendidikan adalah pondasi terhadap perubahan dari tidak tahu menjadi
tahu, dari lemah menjadi semangat, dari takut menjadi berani, semua ini
merupakan implikasi dari perkembangan pendidikan.

Pendidikan merupakan ikhtiar yang strategis untuk kemajuan bangsa, dan


kemajuan bangsa harus ditopang dengan sumber daya manusia yang stabil akan
nuansa akhlak, bukan hanya tertera pada catatan yang terangkum di kurikulum dan
materi ajar, melainkan nilai-nilai mulia yang aplikatif terinternalisasi dalam diri
manuisa.

Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari perbaikan sikap dan perilaku


peserta didik dalam hal ini murid, karena tujuan utama dari pendidikan ialah
memperbaiki kualitas manusia, maka pendidikan yang berhasil ialah pendidikan
yang menghasilkan manusia yang berpengetahuan dan berakhlak mulia. Sebuah
ungkapan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, penanaman moralitas
yang terintegrasi dalam proses pendidikan dan pengajaran sedemikian penting,
karena kecerdasan Intelektual tanpa dikawal kecerdasan moral dan kecerdasan
spiritual akan mengalami keterpurukan didalam diri.
Pada zaman Rasulullah dan para Sahabat murid itu mendapatkan kedudukan
yang sangat tinggi dalam proses pendidikan, karena murid itu adalah sosok yang
sedang tumbuh dan berkembang yang harus diperhatikan oleh pendidik. Dalam hal
ini, para guru membuat aturan bagaimana muridmampu merealisasikan aturan,
sehingga dapat menciptakan proses pembelajaran yang baik.

Adapun mengenai etika murid terhadap guru, menurut Sa’id bin Muhammad Da’ib
Hawwa itu ada sepuluh:

1. Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak dan keburukan sifat,
karena ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin
kepada Allah.

2. Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena iktan-iktan itu


menyibukkan dan memalingkan kepada Allah. Jika pikiran terpecah maka tidak
bisa mengetahui berbagai hakekat. Oleh karena itu, ilmu tidak akan diberikan
kepada seseorang sebelum seseorang tersebut menyerahkan seluruh jiwanya.

3. Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidan tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya
dan mematuhi nasehatnya. Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap
sombong terhadap guru. Di antara bentuk kesombongannya terhadap guru adalah
sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari orang-orang besar yang
terkenal.

4. Hendaknya seorang murid menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di


antara mereka, baik yang ditekuni itu termasuk ilmu dunia ataupun akhirat. Karena
itu akan membingungkan akal dan pikirannya, dan membuatnya putus asa dari
melakukan pengkajian dan telaah mendalam.

5. Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang
terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-
matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya.

6. Hendaknya seorang tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus


melainkan memulai dengan yang lebih mudah.

7. Hendaklah seorang murid tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum


menguasai cabang ilmu yang sebelumnya.

8. Hendaklah mengetahui faktor penyebab adanya ilmu yang mulia. Yang


dimaksud adalah kemulian hasil, kekokohan dan kekuatan dalil.

9. Hendaklah tujuan murid di dunia adalah semata-mata untuk menghias dan


mempercantik hatinya dengan keutamaan, dan akhirat adalah untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk
tertinggi dari kalangan malaikat dan orangorang yang didekatkan (muqorrobin).

10. Hendaklah mengetahui kaitan dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang
tinggi.

Sedangkan menurut Hasyim Asy’ari bahwa etika murid terhadap ada sepuluh
macam yang harus diketahui oleh murid:
1. Murid hendaknya membersihkan hati dari segala kotoran, agar ilmu mudah
masuk pada dirinya.

2. Memfokuskan niat hanya semata-mata karena Allah dan beramal dengan


ilmunya, menjaga syariat, menerangi hati dan taqorrub Kepada Allah.

3. Berusaha semaksimal mungkin untuk segera memperoleh ilmu, tidak tertipu


oleh lamunan-lamunan kosong atau kemalasan.

4. Qona’ah dan sabar terhadap makanan dan pakaian yang sederhana agar segera
memperoleh kedalam ilmu dan sumber hikmah.

5. Pandai mengatur waktu, sehingga semua potensi bisa dimanfaatkan secara


maksimal.

6. Makan sekedarnya, tidak terlalu kenyang, agar tidak menghambat ibadah dan
memberatkan badan.

7. Berusaha bersikap waro’ (hati-hati terhadap masalah haram, subhat dan sia-sia);
memilih yang halal bagi kebutuhan hidupnya agar hati senantiasa bersinar dan siap
menerima cahaya ilmu dan keberkahanya.

8. Menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan melemahkan


keberanian, termasuk juga menghindari hal-hal yang banyak menyebabkan
lemahnya daya ingat.

9. Menyedikitkan tidur selama tidak mengganggu kesehatan diri.

10. Meninggalkan hal yang bisa menarik pada kesia-sian dan kelalaian dari belajar
dan ibadah.

Sangat jelas sekali, keharusan adanya niat dan kebersihan hati dalam
belajar.Karena belajar dianggap sebagai ibadah dan tujuannya adalah ridha dan
taqorrub kepada Allah.Untuk itu, murid harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat
bersih dan suci dari Allah.Penekanan pentingnya kebersihan hati dalam belajar itu
berdasarkan atas kepercayaan bahwa ilmu merupakan anugerah dari Allah yang
maha Agung. Semakin suci dan bersih hati manusia akan semakin baik dan kuat
menerima ilmu dan nur Allah.

Dan juga perlu disadari, bahwa hormat dan patuh kepada gurunya bukanlah
manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas,
melainkan karena keyakinan murid bahwa guru adalah penyalur kemurahan Tuhan
kepada para murid di dunia maupun di akhirat. Selain itu juga didasarkan atas
kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena memegang kunci
penyalur ilmu pengetahuan dari Allah.Dengan demikian, dalam kontek kepatuhan
santri pada guru hanyalah karena hubungannya dengan kesalehan guru kepada
Allah, ketulusannya, dan kecintaanya mengajar murid-murid.

Adapun etika murid terhadap guru dalam kesehariannya adalah sebagai berikut:
Ø Hendaklah murid menghormati guru, memuliakan serta mengagungkannya
karena Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang
baik.

Ø Bersikap sopan di hadapan guru, serta mencintai guru karena Allah.

Ø Selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah mendapat izin dari
guru

Ø Mengikuti anjuran dan nasehat guru.

Ø Bila berbeda pendapat dengan guru, berdiskusi atau berdebat lakukanlah dengan
cara yang baik.

Ø Jika melakukan kesalahan, segera mengakuinya dan meminta maaf kepada guru.

Ø Hendaknya murid memilih guru yang tidak hanya betul-betul menguasai


bidangnya, tetapi juga mengamalkan ilmunya dan berpegang teguh kepada
agamanya.

Sabda Nabi SAW:


‫ الدين با لعلم‬p‫ال يٶخذ العلم من ٳال من أمين ثقة ألن قوام‬

Artinya:

”Tidak boleh menuntut ilmu kecuali dari guru yang amin dan tsiqah (mempunyai
kecerdasan kalbu dan akal) karena kuatnya agam adalah dengan ilmu”.

Selain itu, Dalam kitab Ilmu wa Adab al-‘Alim wa al- Muta’allim dikatakan
bahwa sikap murid sama dengan sikap guru, yaitu sikap murid sebagi pribadi dan
sikap murid sebagai penuntut ilmu. Sebagai pribadi seorang murid harus bersih
hatinya dari kotoran dan dosa agar dapat dengan mudah dan benar dalam
menangkap pelajaran, menghafal dan mengamalkanny.Hal ini sejalan dengan
sabda Rasulullah saw:

‫ عمله اال وهي القلب‬p‫اال ان في الجسد مضفة ٳذا صلحت صلح سا ئر عمله وٳذا فسدت فسد سائر‬

“Ingatlah bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging, jika segumpal


daging tersebut sehat, maka sehatlah seluruh perbuatannya, dan jika segumpal
daging itu rusak, maka rusaklah seluruh awalnya.Ingatlah bahwa segumpal daging
itu adalah hati.”

Selanjutnya menurut Imam Ghazali, ada sepuluh kriteria yang harus diupayakan
oleh anak didik, diantaranya yaitu:

1. Sebelum memulai proses belajar, anak didik harus terlebih dahulu menyucikan
jiwa dari perangai buruk dan sifat tercela.

2. Semampu mungkin anak didik harus menjauhkan diri dari ketergantungan


terhadap dunia.

3. Anak didik harus selalu bersikap rendah hati, memperhatikan instruksi dan
arahan pendidik, dan mampu mengontrol emosinya.
4. Anak didik harus menghindarkan diri dari suasana perdebatan yang
membingungkan.

5. Seorang anak didik harus mmpunyai semangat mempelajari semua ilmu


pengetahuan yang layak dipelajari sebagai konsekuensi adanya keterkaitan
antardisiplin ilmu pengetahuan.

6. Anak didik harus belajar secara gradual. Ia perlu menentukan skala prioritas
ilmu pengetahuan dengan mengacu kepada manfaatnya, dalam hal ini adalah ilmu
agama.

7. Anak didik harus memahami hirarki ilmu pengetahuan.

8. Anak didik harus memahami nilai ilmu pengetahuan yang dipelajari dan
menentukan mana yang lebih utama dari yang lain.

9. Anak didik mempunyai orientasi atas pendidikannya; tujuan jangka pendek,


yaitu memperbaiki dan membersihkan jiwanya; sedangkan orientasi jangka
panjang adalah mendekatkan diri pada Allah swt dan berusaha menaikkan
derajatnya setara dengan malaikat.

10. Anak didik harus hati-hati dalam memilih sosok pendidik demi kelangsungan
proses belajar yang positif.

Kita sebagai pelajar/santri pasti menghormati guru dengan keilmuannya.


Tersebut pula pada permulaan kitab Ta’limul Muta’allim, Assyaikh Burhanul
Islam Azzarnuji telah menulis:

“Maka apabila aku melihat para penuntut ilmu pada zaman sekarang ini
(zaman Assyaikh Azzarnuji) bersungguh-sungguh kepada ilmu, dan mereka tidak
sampai pula pada ilmu yang dipelajari (tidak mendapat manfaat dan hasilnya yaitu
beramal dan menyebarkan), terhalang karena mereka telah salah jalan dan
meninggalkan syarat-syaratnya. Dan setiap yang tersalah jalan akan sesat, dan
tidak mendapati tujuan, sedikit maupun banyak. Maka aku ingin dan hendak
menerangkan kepada mereka jalan menuntut ilmu….”

Seterusnya Assyaikh Azzarnuji, menyebutkan adab atau etika perjalanan,


etika menuntut ilmu dari mulai niat pertama menuntut ilmu itu sendiri hingga
kepada memilih guru dan teman seperjuangan. Pentingnya mengagungkan ilmu
dan ulama, wara dan berbagai lagi jalan yang harus dilakukan dalam menuntut
ilmu.

Antara lain sebabnya adalah “tersalah jalan” itu sendiri, etika sopan santun
dan beradab dalam menuntut ilmu sudah jarang diamalkan. Ingatlah wahai pelajar!
Menuntut ilmu agama ini bukanlah sekedar hanya dengan mengumpulkan dan
mengoleksi pengetahuan di otak saja.Karena jika demikian, maka harddisk PC jauh
lebih alim dari kita semua. Sedangkan di dalam otak mengandung lebih dari 100
Gigabyte fail dari jutaan helaian kitab. Sudahkah kita menyimpannya dan berapa
helai sudah didapati hafalan itu.Bila kita ingin tahu kesalahan jalan menuntut ilmu,
maka ketahuilah bahwa salah jalan ini ada pada perkara-perkara yang telah
disebutkan oleh Syaikh Azzarnuji. Tersebutkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim,
ada tiga perkara:

1. Niat

2. Memilih Guru

3. Mengagungkan ilmu dan ulama.


Jadi, sebagai penuntut ilmu kita harus mempunyai niat yang ikhlas agar ilmu
yang kita cari dan kita amalkan itu menjadi berkah bagi kita dan kita juga
mendapatkan Ridho Allah dari apa yang telah kita usahakan selama ini.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
a. Keseluruhan istilah anak didik dalam perspektif hadits mengacu pada satu
pengertian, yaitu orang yang sedang menuntut ilmu, tanpa membedakan ilmu
agama atau ilmu umum.

b. Karakteristik peserta didik dalam perspektif hadits adalah: peserta didik


menjadikan Allah sebagai motivator utama dalam menuntut ilmu, mendalami
pelajaran secara maksimal, mengadakan perjalanan (rihlah, comparative study) dan
melakukan riset, bertanggung jawab mengajarkan ilmunya kepada orang lain, dan
ilmu itu harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat dan agama.

c. Tugas dan tanggung jawab murid adalah: mengutamakan ilmu yang mempunyai
kemaslahatan paling besar untuk agama umat dan kehidupan akhirat, mengulangi
pelajaran, ikut bertanggung jawab pada pendanaan pendidikan jika ia mampu,
mematuhi peraturan yang berlaku, mengutamakan menuntut ilmu dari pada amalan
sunat lainnya, dan lain-lain.

B.Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu para peserta didik untuk
semakin tahu bagaimna seharusnya mereka bersikap.Dan para peserta
didikhendaknya tahu bagaiman etika mereka jika mereka berhadapan dengan guru
mereka.
MAKALAH
ETIKA SISWA DISEKOLAH

Disusun Oleh:

ACHMAD JUNAIDI (04)

TEKNIK BISNIS SEPEDA MOTOR

SMK NEGRI 1 KALIANGET

Anda mungkin juga menyukai