Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Balaghah Al-Qur’an

“Studi Teks Surah al-Fatihah”

Dosen Pembimbing: Agam Royana, Lc., M. Ag

Disusun oleh:

1. Zia Tohri (180601033)


2. Hendrik Galang Firmansyah
3. Hajjah Nadiah (180601036)

ILMU AL QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini merupakan tugas dari mata
kuliah Balaghah Al Qur’an. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dosen Pembina
mata kuliah Balaghah Al Qur’an yaitu Bapak Agam Royana, Lc., M. Ag. yang telah
membimbing kami dalam perkuliahan. Kami mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat tulisan yang keliru, karena kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan. Semoga makalah ini dapat menambah khasanah dan wawasan kita tentang Balaghah
Al Qur’an, Terutama tentang Studi teks Surah al-Fatihah. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini.

6 Oktober 2020

Penyusun

(kelompok 10)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Riwayat Surah al-Fatihah


B. Kajian Balaghah pada surah al-Fatihah

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an dan terdiri dari 7 ayat
adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di
kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surat
dalam Al Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan
intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh surat-surat
sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu surat yang diturunkan di Mekkah
sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
Surat ini berada di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh
ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi
orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang
ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena
mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam ekstrak surat Al Fatihah.
Begitu luar biasanya kandungan surat Al-Fatihah ini maka sangat perlu pengkajian yang
seksama baik dari segi tafsiran,asbab an-nujul,munasabah ayat maupun kajian-kajian linguistik
seperti kajian disiplin ilmu nahwu sharaf dan balaghah.
Berdasarkan hal itu maka kami menyusun makalah yang kami beri judul ”STUDI TEKS
SURAH AL FATIHAH” yang mudah-mudahan makalah yang kami susun ini dapat menambah
wawasan tentang tafsir surah al-Fatihah dari segi ilmu balaghah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan Riwayat surah al-Fatihah?
2. Bagaimana Kajian balaghah Pada surah al-Fatihah?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami pengertian dan Riwayat surah al-Fatihah
2. Memahami kajian balaghah pada surah al-Fatihah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Riwayat surah al-Fatihah
Al-Fatihah berasal dari kata Fataha, yaftahu, fathah yang berarti pembukaan dan
dapat pula diartikan “ kemenangan”. Dinamai demikian kerena dilihat dari posisi surat Al-
Fatihah berada pada bagian awal yang mendahului surat-surat lain, sedangkan Al-Fatihah
dalam arti kemenangan dapat dijumpai pada nama surat yang ke-48 yang bernam Al-Fath
yang berarti kemenangan.1 Peletakan surat Al-Fatihah berada pada permulaan Al-Qur‟an
adalah dengan perintah dari Nabi Muhammad SAW sendiri, yang dinamakan dengan tauqifi.
Para ulama berbeda pendapat tentang tempat turunnya surat Al-Fatihah ini. Paling tidak ada
tiga pendapat:

1. Makiyah (surat yang diturunkan di Makkah). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas,
Qatadah,dan Abu Al-Aliyah.
2. Madaniyah (surat yang diturunkan di Madinah). Ini adalah pendapat Abu
Hurairah, Mujahid, Atha‟binYasar, Az-Zuhri dan lainnya.
3. Pendapat lain mengatakan bahwa separuhnya diturunkan di Makkah dan
separuhnya lagi diturunkan di Madinah.

Abu Laits As-Samarqandi berkata: Bahwa pendapat pertamalah yang kuat dan shahih,
berdasarkan firman Allah SWT.2

“Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan
Al- Qur‟an yang agung.” (Q.S. Al-Hijr:87)

Yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ialah surat Al-Fatihah yang terdiri
dari tujuh ayat. sebagian ahli tafsir mengatakan tujuh surat-surat yang panjang Yaitu Al-Baqarah,
Ali Imran, Al-Maaidah, An-Nissa', Al 'Araaf, Al An'aam dan Al-Anfaal atau At-Taubah.4
Selanjutnya dalam kitab asbab al-Nuzul Imam Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wakhidiy al-
1
Abuddin Natta, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 14
2
H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 14
Naysaburi yang dinukil oleh Abuddin Nata, dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan
mengatakan, bahwa dalam hal turunnya surat al-fatihah ini terdapat perselisihan, namun menurut
sebagian besar ahli tafsir mengatakan bahwa surat Al-Fatihah tersebut turun di Mekkah dan
termasuk surat Al-Qur‟an yang pertama kali diturunkan.5

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya mengatakan, hampir seluruh ulama


berpendapat bahwa surat ini bukanlah wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad
SAW. Hadits-hadits yang menyebutkan bahwa lima ayat dari surat Iqra‟ merupakan wahyu yang
pertama, dan hadits tersebut begitu kuat dan banyak yang meriwayatkan sehingga riwayat lain
tidak wajar menggugurkannya3

Salah seorang ulama yang berpendapat bahwa Al-Fatihah adalah wahyu pertama yang
diterima Nabi Muhammad SAW, bahkan sebelum Iqra’ Bismi Rabbika adalah Syekh
Muhammad Abduh. Alasan yang dikemukakan oleh beliau antara lain sebuah riwayat yang tidak
shahih (mursal) yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, di samping itu ia juga memakai argumen
logika. Adapun kesimpulan dalil yang beliau ungkapkan adalah bahwa: Ada sunnah/kebiasaan
Allah SWT, yang menyangkut penciptaan maupun dalam penetapan hukum, Allah selalu
memulainya secara umum dan global, baru kemudian disusul dengan rincian secara bertahap.
Menurut Abduh, surat Al-Fatihah dalam kedudukannya sebagai wahyu yang pertama, atau
keberadaannya pada awal al-Qur’an merupakan penerapan sunnah tersebut. Al-Qur’an turun
menguraikan persoalan-persoalan seperti : 1) Tauhid, 2) Janji dan ancaman, 3) Ibadah yang
menghidupkan tauhid, 4) Penjelasan tentang jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dan cara
mencapainya, 5) Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.

Kelima pokok persoalan diatas, tercermin dalam ketujuh ayat surat Al-Fatihah. Tauhid
pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah
juga pada ayat kelima dan ketujuh, sedang sejarah masa lampau diisyaratkan oleh ayat terakhir.

Alasan Abduh ini tidak diterima oleh mayoritas ulama, kendati ada yang berusaha
mengkompromikannya dengan mengatakan bahwa surat Al-Fatihah adalah wahyu pertama
dalam bentuk satu surat yang turun secara sempurna, sedang Iqra’ (surat Al-Alaq) adalah wahyu
pertama secara mutla, walau ketika turunnya baru terdiri dari lima ayat, seperti diketahui bahwa

3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 1(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 4
surat Iqra’ terdiri dari Sembilan belas ayat. Uraian Abduh yang berdasarkan logika diatas tetap
dapat diterima, tetapai bukan dalam konteks membuktikan turunnya Al-Fatihah mendahului
Surat Iqra’, tetapi dalam rangka membuktikan kedudukan Al-Fatihah sebagai Ummul Qur’an
atau untuk menjelaskan mengapa surat Al-Fatihah diletakkan pada awal al-Qur’an.4

Menetapkan sebab nuzul atau masa turunnya ayat haruslah berdasarkan data sejarah yang
antara lain berupa informasi yang shahih. Nalar dalam hal ini tidak berperan kecuali dalam
melakukan penilaian terhadap data dan informasi itu. Mengabaikan informasi yang kuat atau
riwayat yang shahih dan mengambil riwayat yang dhaif, walau dengan mengukuhkannya dengan
alasan logika, bukanlah cara yang benar dalam menetapkan sejarah. Itu sebabnya murid dan
sahabat dekat Syekh Muhammad Abduh sendiri yakni Syekh Muhammad Rasyid Ridha,
berkomentar dalam Tafsir Al-Manar bahwa argumentasi gurunya itu aneh.

Berdalih dengan Sunnah Allah yang disinggung oleh Abduh di atas, yakni bahwa Allah
selalu menyebutkan sesuatu secara global baru kemudian memerincinya, biasa juga diterapkan
pada kelima ayat pertama surat Iqra’. Dalam surat itu disinggung persoalan pokok yang
mengantar kepada kebahagiaan umat manusia, yakni ilmu pengetahuan dan keikhlasan (ayat
pertama dan ketiga). Disinggung juga sifat-sifat Tuhan yang merupakan inti ajaran
Islam.Demikian juga uraian sejarah yang diwakili oleh penjelasan tentang asal kejadian manusia.
Ayat-ayat al-Qur’an dalam berbagai surat dapat dapat dikatakan menjelaskan pokok-pokok
bahasan itu.

Disisi lain dalam surat Al-Fatihah dapat ditemukan ayat yang dapat dijadikan semacam
indikator bahwa Al-Fatihah bukanlah wahyu yang pertama turun. Ayat yang dimaksud adalah
ayat kelima:

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami mohon
pertolongan”. (Q.S. Al-Fatihah: 5)

Kata kami (bentuk jamak) memberi isyarat bahwa ayat ini baru turun setelah adanya
komunitas muslim yang menyembah Allah secara berjamaah. Ini tentu saja tidak terjadi pada

4
Ibid,hal: 5
awal kenabian, lebih-lebih pada awal penerimaan wahyu-wahyu Al-Qur’an. Di samping itu
kandungan surat ini jauh berbeda dengan kandungan surat-surat pertama yang pada umumnya
berkisar tentang pengenalan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pendidikan terhadap Nabi
Muhammad SAW. Menurut M. Quraish Shihab, ia tidak menemukan informasi yang pasti
tentang kapan persisnya surat ini turun. Ada riwayat yang menyatakan bahwa ia turun sesudah
surat Al-Muddatsir, ada juga yang berpendapat turunnya sesudah surat Al-Muzammil dan Al-
Qalam. Sementara itu Mujahid berpendapat bahwa surat Al-Fatihah termasuk surat yang
diturukan di Madinah. Dalam kaitan ini al-Husain bin fadhil berpendapat bahwa pendapat
Mujahid termasuk pendapat yang tergesah-gesah, dan tampaknya ia hanya sendiri yang
berpendapat demikian, dan ulama lain menyangkalnya.5

Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Fatihah diturunkan dua
kali, yaitu Mekkah dan Madinah dengan tujuan untuk memulikan surat tersebut. Dalam
hubungan ini Ibn Katsir mengatakan bahwa surat Al-Fatihah diturunkan dua kali; sekali di
Mekkah dan sekali lagi di Madinah. Semantara itu ada pula pendapat Abu al-Laits al-Samarqandi
yang mengatakan bahwa sebagian surat Al-Fatihah turun di Mekkah dan sebagiannya lagi turun
di Madinah. Namun pendapat yang terakhir ini sangat aneh (gharib jidan)

Dari berbagai pendapat diatas tentang tempat turunnya surat Al-Fatihah, tampak jelas
bahwa yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Fatihah diturunkan di
Mekkah. Namun demikan tidak terdapat keterangan tentang sebab-sebab atau peristiwa yang
menyertai turunnya surat Al-Fatihah itu, serta dalam situasi dan kondisi yang bagaimana surat itu
turun, dan tahun berapa tepatnya surat itu turun? pertanyaan ini belum ada riwayat yang
menjelaskannya. Namun dari keterangan bahwa surat Al-Fatihah itu turun pada awal
disyariatkannya shalat, maka dapat diperkirakan pada saat Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW,
yang menurut sejarah disekitar satu tahun menjelang Rasulullah SAW pindah (hijrah)
kemadinah, yaitu pada tahun ke-13 dari kenabian Muhammad SAW.

B. Kajian Balaghah Surah al-Fatihah


1. Ayat 1
5
Abuddin Natta,Op Cit. hlm.19
Allah memulai kitab-Nya dengan basmalah dan memerintahkan Nabi-Nya sejak dini,
yakni pada wahyu pertama, untuk melakukan pembacaan dan semua aktifitas dengan nama
Allah, Iqra’ Bismi Rabbika, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa basmalah merupakan pesan
pertama Allah kepada manusia.

Memulai dengan nama Allah adalah adab dan bimbingan pertama yang diwahyukan
Allah kepada Nabi-Nya, Iqra Bismi Rabbika. Permulaan itu sesuai dengan kaedah utama ajaran
Islam yang menyatakan bahwa Allah adalah al-Awwal wal-Akhir waz-Zhahiru wal-Bathin/ Dia
yang Pertama dan Dia pula yang Terakhir, Dia yang Tampak dengan Jelas (Bukti-Bukti Wujud-
Nya) dan Dia pula yang Tersemunyi (terhadap siapapun Hakikat-Nya).

Dalam segi kaidah ilmu nahwu bahwa kalimat Basmalah itu terdiri dari Ba’ adalah salah
satu dari huruf jar (‫ )حروف الج ّر‬yang berfungsi men-jer-kan kalimat ism. Sehingga kalimat yang
dimasuki huruf jar maka akan di baca kasroh, kecuali pada kalimat-kalimat tertentu. Disini
kalimat ism dimasuki huruf jar berupa Ba’, maka dibaca Bismi. Maka pada ilmu nahwu, kalimat
tersebut adalah susunan jar wa majrur.

Kemudian kata Allahi, majrur karena mudhof ilaihi kepada kata ismi. Dan kata Ar-
rahmani dan Ar-rahimi, majrur karena mereka adalah sifat dari Allahi. Dalam kaidah bahasa
nahwu bahwasanya mudhof ilaihi harus dibaca majrur, begitu juga dengan sifat atau dalam ilmu
nahwu dikenal dengan (‫ )النعت‬yaitu harus mengikuti apa yang disifati (‫)منعوت‬. Maka kata Allahi
dibaca majrur karena mudhof ilaihi dan kata Ar-rahmani dan Ar-rahimi dibaca majrur karena
menjadi sifat dari Allahi.

Kemudian pada pembahasan arti dari kata Basmalah, Awalnya makna ba’ yang dibaca bi
pada Bismillah. Ba’ atau yang dibaca Bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung
satu kata/kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas didalam benak ketika mengucapkan
Basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga Bismillah berarti “ saya atau kami memulai apa yang
kami kerjakan ini – dalam konteks surah ini adalah membaca ayat-ayat al-Quran – dengan nama
Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap
bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama Allah. Atau dapat juga diartikan perintah dari Allah
(walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk perintah) yang menyatakan, “mulailah pekerjaanmu
dengan nama Allah”. Kedua pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada
Basmalah ini memiliki semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allah sebagai pangkalan
tempat bertolak.

Kemudian kata (‫ )اسم‬ism terambil dari kata (‫ )السمو‬as-sumuw yang berarti “tinggi”, atau (
‫ )الس[[مة‬as-simah yang berarti “tanda” memang nama menjadi tanda bagi sesuatu serta harus
dijunjung tinggi. Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa kata ism menggambarkan subtansi
sesuatu, sehingga kalau disini kata Bismillah berarti “Dengan nama Allah” yang maksudnya
adalah Dengan Allah. Kata ism menurut mereka digunakan sebagai penguat. Dengan demikian,
makna harfiah dari kata tersebut tidak dimaksudkan disini. Memang dikenal dalam syair-syair
lama penyisipan kata ism untuk tujuan penguataan.

Az-Zamakhsyari dan banyak ulama mengemukakan bahwa orang-orang Arab, sebelum


kehadiran Islam, memulai pekerjaan-pekerjaan mereka dengan menyebut nama tuhan mereka,
misalnya (‫ )باسم الالت‬bismi-lata atau (‫ )باسم العزى‬bismil-uzza (keduanya nama berhala).

Penulisan kata (‫ )بسم‬bismi dalam Basmalah tanpa menggunakan huruf alif berbeda
dengan kata yang sama pada awal surah Iqra’, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku,
yakni menggunakan huruf Alif (‫)باسم‬. Pakar tafsir al-Qurthubi (w. 671 H) berpendapat bahwa
penulisan tanpa huruf alif pada Basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata.
Kalimat itu sering di tulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa
alif. Sedangkan Az-Zarkasyi (w. 794 H) menguraikan dalam kitabnya “al-Burhan” bahwa kaidah
intinya adalah bahwa penanggalan huruf alif itu mengisyaratkan ada sesuatu dalam rangkaian
katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Kata Allah, demikian juga Ar-rahman pada
Basmalah tidak dapat terjangkau hakikatnya.
Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai sifat Allah SWT. Yang
mencurahkan rahmat hanya bersifat sementara di dunia ini, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya
yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara itu meliputi seluruh makhluk tanpa
kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah
rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-
makhluk yang mengabdi kepada-Nya

Tentang tafsir kalimat basmalah ini, al-Shabuni berkata: “Saya memulai dengan
menyebut nama Allah dan menyebutnya sebelum segala sesuatu, seraya memohon pertolongan
kepada-Nya dalam semua urusanurusanku, mencari hanya kepada-Nya, karena sesunggunya Dia
adalah Tuhan yang disembah, yang mempunyai keutamaan dan karunia, luas kasih sayangnya,
banyak berbuat baiknya, dimana kasih sayangnya meliputi semua perkara, karunianya meliputi
semua makhluk.”
Selanjutnya, al-Shabuni memberikan catatan tambahan, bahwa Allah memulai surah al-Fatihah
dengan kalimat basmalah, begitu juga semua surah dalam al-Qur’an (kecuali surah al-Tawbah),
untuk mengajarkan kepada orang-orang muslim agar memulai semua aktifitasnya, baik berupa
perbuatan maupun perkataan, dengan kalimat basmalah. Dilakukan seperti itu, dalam rangka
mengharapkan pertolongan-Nya, juga sebagai pembeda dengan para penyembah berhala yang
memulai semua aktifitasnya dengan menyebut tuhantuhan berhala mereka. Para penyembah
berhala, sebelum melakukan sebuah aktifitas, biasanya mengatakan, “Dengan menyebut tuhan
lata, atau uzza, hubal, atau syu’ab.”6
Selanjutnya, al-Shabuni menyandarkan pentingnya membaca basmalah tersebut, pada
sebuah riwayat yang disampaikan Imam al- Thabari, bahwa Allah Swt., mengajarkan kepada
Nabi Saw., untuk menyebut nama-nama-Nya yang baik, sebelum semua aktifitas. Dan Allah
menjadikannya sebagai sebuah tradisi bagi semua makhluk. Ucapan tersebut adalah;
bismillâhirrahmânirrahîm, dilakukan sebelum membaca surah.

2. Ayat 2

6
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Shafwah al-Tafasir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.) juz 1. Hlm. 17
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam

Pada kalimat al-hamdu lillah ( ‫) الحمد‬. Lafadz ini merupakan jumlah khabriyah, namun
secara makna menunjukkan jumlah insyaiyyah. Diucapkannya, al-hamdu lillah ( ‫ ) الحمد‬yang
berarti, “Segala puji hanya milik Allah,” tetapi maksudnya adalah, “Bacalah oleh kalian lafadz
al-hamdu lillah ( ‫ ”! ) الحمد‬Kalimat tersebut menunjukkan ringkasan dari perintah membaca
hamdalah. Misalnya, dalam ungkapan ‘Arab dinyatakan, “Kemuliaan bagi orang ‘Arab.” (‫الكرم‬
‫ ) للعرب‬Maksudnya, “Muliakanlah orang-orang ‘Arab.” 7
Penafsiran Abu Hayyan:

Abu Hayyan ketika menafsirkan surah al-Fatihah ayat 2, membagi ayat tersebut pada tiga bagian
lafadh, yaitu (al-hamdu, lillahi, rabb al-‘alamin) Ia menafsirkan lafadh al-hamdu dengan pujian
atas segala yang indah berupa nikmat dan selainnya melalui lisan semata. Lawan kata dari al-
hamdu adalah al-dhammu yang berarti celaan. Bentuk fi’il (kata kerja) dari al-hamdu sendiri
adalah terbentuk dari lafadh hamida, bukan adopsi dari lafadh madaha. Berbeda dengan Ibn al-
Anbari, yang berpendapat bahwa lafadh hamida dan madaha, tasrifnya sama. Menurut Abu
Hayyan sendiri, dalam penggunaannya, madaha dapat dipakai untuk benda mati. Seperti tamdahu
jauharah (kamu memuji permata), tidak bisa dikatakan tahmadu jauharah. al-hamd searti dengan
al-shukr, atau al-hamd lebih umum maknanya. al-shukr, pujian pada Allah atas perbuatan-
perbuatanNya. Sedangkan al-hamd pujian padanya atas sifat-sifatNya. Yang paling benar adalah
al-hamd maknanya lebih umum. Al-hamid (orang yang memuji), ada dua macam yaitu sebagai
shakir (yang mensyukuri), dan sebagai orang yang memuji sifat-sifatnya.

Lafadh lillahi ia menafsirkan bahwa huruf jarr li menurut ilmu nahwu mengandung sejumlah arti,
yaitu li al-milk wa shibh (kepemilikan dan yang serupa), li al-istihqaq (hak milik), al-nasab,
ta’lil, ta’ajjub, tabyin, shahurat (berubah menjadi), al-zarfiyah dalam arti fi dan ‘inda, li al-intiha’
(terakhir) dan li al-isti’la’.

7
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Shafwah al-Tafasir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.) juz 1. Hlm. 20
Sedangkan lafadh rabb al-‘alamin ditafsirkan bahwa lafadh rabb memiliki arti tuan, raja, yang
tetap, yang disembah, yang memperbaiki dan pemilik.8

Penafsiran Al-Razi

Di dalam menafsirkan kata al-hamd, al-Razi tidak terlalu jauh berbeda dengan penafsiran Abu
Hayyan. Hanya saja, al-Razi di dalam menafsrirkan kata al-hamd tersebut lebih merinci
perbedaan antara kata al-hamd dengan al-madhu atau al-syukru. Ia menjelaskan perbedaan antara
kata al-hamd dengan al-madh dengan empat penafsiran, yaitu sebagai berikut,9

1) Al-Madh bisa diaplikasikan kepada makhluk hidup ataupun tidak, sedangkan al-hamd
hanya berlaku untuk makhluk yang hidup saja.
2) Al-Madh terkadang diucapkan sebelum berbuat baik atau sesudahnya, sedangkan al-
hamd hanya diucapkan setelah berbuat baik saja.
3) Al-Madh terkadang bisa digunakan di dalam sesuatu yang terlarang, sedangkan al-
hamd hanya bisa digunakan di dalam perkara yang diperintah saja.
4) Al-Madh adalah ungkapan tentang perkataan yang tidak khusus untuk satu macam
keutamaan saja, sedangkan al-hamd adalah ungkapan tentang perkataan yang
menunjukkan kepada satu keutamaan khusus.

Dari empat penafsiran tersebut, maka bisa diketahui bahwa al-madh sifatnyya lebih umum
daripada al-hamd. Hal ini akan berbeda jika yang dibedakan adalah kata al-hamd dengan al-
syukr. Al-hamd adalah kata yang digunakan untuk nikmat yang sampai kepada diri sendiri atau
kepada orang lain, sedangkan al-syukr adalah kata yan digunakan untuk nikmat yang sampai
kepada diri sendiri saja. Sehingga, kata al-hamd lebih umum dari kata al-syukr.

3. Ayat 3

8
Abu Hayyan al-Andalusi al-Ghurnati, al-Bahr al-Muhit, 30-31.
9
Muh}ammad Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, Vol. 1, 223
Maha pemurah lagi Maha Penyayang
4. Ayat 4

Yang menguasai di Hari Pembalasan


5. Ayat 5

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan

6. Ayat 6

Tunjukilah kami jalan yang lurus


7. Ayat 7

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Anda mungkin juga menyukai