Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi- sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan

nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku- kini

melingkupi proses yang lebih luas. Jumlah simbol-simbol yang dipertukarkan

tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol

yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami komunikasi pun seolah tak ada

habisnya. Mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti

melingkupi kehidupan manusia.

Belajar memahami Komunikasi Antarbudaya berarti memahami realitas

budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Seperti apa yang

dikatakan oleh Samover dan Porter bahwa hubungan antarbudaya dan komunikasi

sangat penting untuk memahami komunikasi antarbudaya karena hal itu

mempengaruhi budaya orang-orang untuk berlajar berkomunikasi (Lubis, 2008:

2). Selanjutnya Samover dan Porter melukiskan hubungan antara komunikasi dan

kebudayaan sebagai berikut: masyarakat di Paris makan siput, tetapi masyarakat

di Santiago meracuni siput, mengapa?, masyarakat di Iran duduk di lantai dan

berdoa lima kali sehari, tetapi masyarakat di Las vegas berdiri semalaman di

depan mesin judi, mengapa?; sebagian lagi berbahasa Tagalok, sedangkan yang

lainnya berbahasa Inggris, mengapa?; sebagian orang mengecat dan mendekor

seluruh bagian tubuhnya, tetapi yang lainnnya menghabiskan miliaran rupiah

untuk mengecat dan menghiasi wajah mereka, mengapa?; sebagian orang

Universitas Sumatera Utara


berbicara kepada Tuhan, tetapi yang lainnya berharap Tuhan yang berbicara

kepada mereka, mengapa?. Jawaban umum pada semua pertanyaan tersebut

adalah sama yaitu kebudayaanmu memberi jawaban atas pertanyaan itu dan tidak

terhitung pertanyaan lainnya tentang seperti apa dunia dan bagaimana kamu hidup

dan berkomunikasi dengan dunia itu (Lubis, 2008: 3).

Edward T Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan

(Lubis, 2008: 3).Konsekuensinya kebudayaan merupakan landasan

berkomunikasi. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya

meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, kelompok, dengan

tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku

komunikasi para peserta (Liliweri, 2004: 11), sedangkan Sitaram berpendapat

bahwa Komunikasi antarbudaya sendiri bermakna sebagai sebuah seni untuk

memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan

(Lubis, 2008: 10).

Young Yun Kim menjelaskan untuk memahami, mencari kejelasan dan

mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang komunikasi antarbudaya, maka

ada 3 dimensi yang perlu kita perhatikan yaitu, tingkat keorganisasian kelompok

budaya, konteks sosialnya, serta saluran komunikasi yang dilaluinya (Lubis, 2008:

12).

Menurut Samover dan Porter, karakteristik budaya adalah di mana budaya

itu adalah simbol, tumbuh dan berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya,

dipelajari dan dipertukarkan (Lubis, 2008: 4). Hal itu berarti melalui budaya kita

bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya siapa kita adalah

Universitas Sumatera Utara


realitas budaya yang kita terima dan pelajari. Untuk itu, saat komunikasi

menuntun kita bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain maka kita pun

dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan itu tentu

menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang

terjalin.

Identitas etnis secara sederhana dipahami sebagai sense tentang self

individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnik tertentu dan sikap

maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Artinya identitas

etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan perilaku terkait

etnisnya. Artinya, identitas etnis dibangun atas kesadaran kita akan budaya kita.,

budaya mempengaruhi identitas etnis kita. Bahkan melalui konteks budaya lah.

Identitas etnis dipertukarkan dan dipelajari dari generasi ke generasi.

Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukan hal yang mudah,

dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat

ada istilah ‘’mereka’’ dan ‘’kita’’. Masalahnya, perkembangan zaman membuat

budaya juga berubah, nilai-nilai budaya dulu mungkin sekarang sedikit demi

sedikit, lambat laun makin memudar. Di mana akibat perubahan zaman dan

pengaruh budaya massa, memahami identitas etnis sendiri bisa jadi lebih susah

daripada memahami identitas etnis lain. Namun yang menjadi masalah tentu

bukan sekadar pengaruh media massa dalam membantu membangun persepsi

khalayak baik secara sengaja atau tidak dalam menggambarkan etnis tertentu

dalam tayangannya, tapi control dan pilihan tentu ada di tangan audiens,

Universitas Sumatera Utara


bagaimana si audiensnya dalam menanggapi realitas yang dibangun lingkungan

dan pandangannya sendiri dalam persepsinya.

Memasuki dunia baru di mana kita dituntut untuk beradaptasi bukanlah hal

yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, kita dituntut belajar serta

memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin sulit. Jika

lingkungan yang baru adalah lingkungan yang berbeda jauh budayanya dengan

lingkungan sebelumnya. Sebuah lingkungan baru, di mana realitas etnisnya amat

berbeda. Menghadapi budaya yang berbeda bukan perkara mudah, begitupun

pengalaman Mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU, adaptasi

harus dimulai perlahan. Memasuki dunia baru yang benar-benar berbeda, karena

pada dasarnya manusia mempunyai mental, kemauan, dan kemampuan untuk

berkomunikasi sehingga dapat mengenal dan mengevaluasi siapa yang

berkomunikasi dengan dia (Liliweri, 2004: 90).

Indonesia dan Malaysia lebih menggunakan model kelompok etnis

dominan dalam mendefinisikan konsep bangsa(nation). Orang Jawa dan Sumatera

(di Indonesia) dan orang Melayu (di Malaysia) sering digunakan sebagai model

dalam mendefinsikan konsep bangsa di kedua Negara tersebut (Rahardjo, 2005:

15).

Indonesia dan Malaysia walaupun punya kesamaan rumpun budaya yaitu

Melayu, tapi kita juga pasti menyadari bahwa begitu banyak perbedaan seperti

perbedaan bahasa, adat kebiasaan sehari-hari serta nilai atau norma yang dianut

terlebih lagi, Indonesia bukan hanya terdiri dari etnis Melayu dan begitupun

Malaysia. Mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Fakultas Kedokteran USU,

Universitas Sumatera Utara


tentu bukan hanya yang beretnis Melayu. Mengenai hal ini, kita pasti menyadari

bahwa komunikasi antarbudaya pasti terjadi. Usaha untuk menjalin komunikasi

antarbudaya dalam praltiknya bukanlah hal yang sederhana. Lewis & Slade

menguaraikan 3 (tiga) kawasan yang paling problematika dalam lingkup

pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai, dan perbedaan

pola perilaku kultural (Rahardjo, 2005: 54).

Dalam konteks penelitian ini, peran identitas etnis dalam komunikasi

antarbudaya menjadi penting untuk diperhitungkan mengingat andil identitas etnis

selama ini kurang disadari. Kita tentu perlu tahu, saat kita berkomunikasi

khususnya komunikasi antarbudaya, apakah kita menyadari diri kita sebagai

bagian dari satu kelompok etnis tertentu dan lawan bicara kita sebagai anggota

kelompok etnis lain dan jawaban itu akan menggiring kita pada satu pertanyaan

utama apakah kesadaran akan identitas etnis itu memiliki peran dalam komunikasi

yang kita lakukan?. Untuk itu, jawaban dari pertanyaan itu nantinya akan

membantu untuk menjawab realitas yang lebih spesifik mengenai komunikasi

antarbudaya yaitu etnisitas. Dan nantinya kan dilihat apakah komunikasi

antarbudaya terjalin secara efektif ?.

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa asal

Malaysia di Fakultas Kedokteran USU. Pemilihan lokasi penelitian yaitu di

Fakultas Kedokteran USU dilakukan karena mahasiswa asal Malaysia paling

banyak berada di Fakultas ini. Menyadari bahwa status mereka pendatang maka

untuk itu penting memahami bagaimana para mahasiswa tersebut memulai culture

shock yang pasti terjadi dan bagaimana realitas identitas yang dibangun, baik

Universitas Sumatera Utara


menyangkut etnisnya sendiri maupun mengenai etnis lain (etnis di lingkungan

baru). Telaah persepsi identitas etnis ini setidaknya dapat membantu dalam

memperoleh pengetahuan tentang bagaimana selama ini mereka membangun

komunikasi dalam interaksi khususnya komunikasi antarbudaya. Jawaban

mengenai tindak komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Malaysia tersebut,

akan menunujukkan pada tataran kompetensi komunikasi seperti apa yang mereka

miliki. Howell, salah seorang penasihat Gundykunst, menyebutkan ada empat

tataran kompetensi komunikasi, yaitu, unconscious incompetence, yaitu seseorang

yang salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan tidak menyadari apa yang

sedang ia lakukan, conscious incompetence yaitu seseorang mengetahui bahwa ia

salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu,

conscious competence yaitu, seseorang berpikir tentang kecakapan

komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan

supaya menjadi lebih efektif, dan unconscious competence yiatu seseorang telah

mengembangkan kecakapan komunikasinya. (Rahardjo, 2005:69). Selain itu

penting untuk menjawab peran identitas yang terbentuk baik mengenai identitas

etnis sendiri maupun identitas etnis orang lain terhadap berbagai kemungkinan

yang terjadi dalam komunikasi antarbudaya. Ketertarikan penelitian ini didasari

pada kemungkinan adanya perasaan in group maupun out group yang sedikit

banyak mendorong atau bahkan menghambat komunikasi dalam interaksi, yang

bisa jadi nantinya akan bisa ditarik kesimpulan apakah komunitas mahasiswa asal

Malaysia ini tertutup atau bahkan sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian ini nantinya akan melihat sejauh mana peran identitas etnis

dalam komunikasi antarbudaya, apakah akan membantu mahasiswa asal Malaysia

di Fakultas Kedokteran USU dalam menjalin komunikasi yang efektif atau

menghambat komunikasi. Pada akhirnya akan ditemukan kompetensi komunikasi

seperti apa yang mereka miliki.

Meneliti para mahasiswa asal Malaysia terkait masalah komunikasi

antarbudaya, maka menyangkut beberapa masalah potensial dalam komunikasi

antarbudaya yang mereka jalani, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri,

kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme.

Kekuasaan, etnosentrisme, culture shock ( Samovar, Porter & Mc Daniel, 2007:

316).

Dengan menggunakan analisis studi kasus, maka diharapkan berbagai

pertanyaan seputar masalah identitas etnis dan komunikasi antarbudaya di

kalangan mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU dapat terjawab.

Universitas Sumatera Utara


I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

- ‘’ Bagaimanakah bentuk dari identitas etnis yang muncul ketika

mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU berinteraksi

dengan teman yang berbeda etnis?

a. Apakah mucul perasaan in group dan out group?

b. Apakah muncul stereotip?

c. Apakah muncul sikap etnosentrisme?

d. Apakah ada pengetahuan tentang budaya etnis ( tradisi, nilai,

perilaku)?

e. Apakah ada rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok

etnis?

f. Apakah ada komitmen dan evaluasi positif terhadap kelompok etnis?

- ‘’ Apakah ada perubahan identitas etnis saat mahasiswa asal Malaysia di

Fakultas Kedokteran USU berinteraksi dengan orang lain yang berbeda

etnis?

a. Apakah mereka mempertahankan identitas etnis mereka?

b. Apakah terjadi pembauran identitas etnis?

c. Apa saja yang meliputi perubahan/pembauran yang terjadi?

- ‘’ Bagaimanakah kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal

Malaysia di Fakultas Kedokteran USU?

Universitas Sumatera Utara


- ‘’Sejauh manakah identitas etnis berperan dalam komunikasi

antarbudaya mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU?’’

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk itu menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu

dibuat pembatasan masalah. Dan adapun pembatasan masalah dari penelitian ini

adalah :

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

studi kasus.

2. Subjek penelitian dikhususkan pada mahasiswa asal Malaysia di

Fakultas Kedokteran USU yang berada di tingkat pertama, kedua dan

tiga (stambuk 2007, 2008, 2009).

3. Subjek penelitian ini dibatasi lagi pada mahasiswa asal Malysia yang

bertenis Melayu. Pembatasan ini bermaksud untuk fokus penelitian

pada kelompok etnis Melayu Malaysia saja.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui identitas etnis yang terbentuk pada mahasiswa asal

Malaysia di Kedokteran USU baik dalam memaknai serta memahami

identitas etnis mereka maupun identitas etnis lain.

2. Untuk mengetahui perubahan identitas etnis yang mungkin terjadi di

kalangan mahasiswa asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

Universitas Sumatera Utara


3. Untuk mengetahui kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa

asal Malaysia di Fakultas Kedokteran USU.

4. Untuk mengetahui peran identitas etnis yang dibangun dalam

komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Malaysia di Fakultas

Kedokteran USU.

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan

memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antar budaya

dengan metodologi kualitatif.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan

memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.

3. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama

dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di

dekat kita.

I.6 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak tau landasan berpikir

dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari

sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1991:39-40).

Universitas Sumatera Utara


Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba

membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap

mampu menjawab masakah penelitian. (Bungin2007: 31),

Teori digunakan peneliti untuk men-justifikasi dan memandu penelitian

mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk

lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut (Mulyana, 2001:16)

Dalam penelitian ini, teori-teori yang relevan adalah Komunikasi,

Komunikasi Antar Budaya, Identitas Etnik, dan Teori Interaksi Simbolik.

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis yang

artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan anatar dua orang

atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam Bahasa Latin

Communico yang artinya membagi (Cangara, 2005: 18).

Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi

dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakat. Pengaruh

keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya

membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu, menurut Dr

Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan

bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas (Cangara, 2005: 1).

Sedangkan Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi

terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun

kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain

Universitas Sumatera Utara


untuk merasa, berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana,

2007: 4).

Gordon I Zimmerman merumuskan bahwa kita dapat membagi tujuan

komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita berkomunikasi untuk

menyelesaikan tuigas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita. Kedua, kita

berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain.

Jadi komunikasi mempunyai fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi

yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang

melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan

orang lain (Mulyana, 2007: 4). Sedangkan William I. Gorden merumuskan 4

fungsi komunikasi yaitu; komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi

ritual, dan komunikasi instrumental, tidak saling meniadakan (Mulyana, 2007: 5).

Berbagai pakar komunikasi mencoba merumuskan definisi komunikasi.

Sebagaimana dikemukakan John R Wenburg dan Wiliam W. Wilmot juga

Kenneth K. Sereno dan Edward M. Bodaken setidaknya ada tiga kerangka

pemahaman mengenai komunikasi, yakni komunikasi sebagai tindakan satu arah,

komunikasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Definisi yang

sesuai dengan konsep komunikasi sebagai tindakan satu arah misalnya adalah

pendapat Carl I. Hovland yang meyatakan proses yang memungkinkan seseorang

(komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal)

untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan) (Mulyana, 2007: 68).

Sedangkan definisi komunikasi sebagai konsep transaksi, misalnya, pendapat Judy

Universitas Sumatera Utara


C.Pearson dan Paul E. Nelson yang merumuskan komunikasi sebagai proses

memahami dan berbagi makna (Mulyana, 2007: 76).

Esensi komunikasi terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang

‘’melayani’’ hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang

dan waktu (Liliweri, 2004: 5).

1. 6.2 Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri

antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar

belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian komunikasi

antar budaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. komunikasi antar budaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada


perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi
3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian
5. komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. efektivitas antarbudaya merupakan tujaun komunikasi antarbudaya
(Liliweri, 2004: 15)

Proses komunikasi antarbudaya sama seperti proses komunikasi lainnya,

yakni suatu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri,

2004: 24).

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan

berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan

bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi

antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi

antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan

Universitas Sumatera Utara


antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk

memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan

memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat

kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi

dan mengurangi konflik.

Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi

(apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik

para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat

ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat

kebebasan, suasana di mana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta

komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan

komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan

minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antara

budaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan tentang

komunikan, dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48).

Pada komunikasi antarbudaya penting untuk megetahui tentang

identifikasi bersama (homofili). Prinsip homofili dalam komunikasi antarbudaya

setidaknya akan membantu komunikator dan komunikan untuk memperoleh

semacam persamaan yang nantinya akan mendorong proses komunikasi. Atau

dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip homofili, orang cenderung untuk

berinteraksi dengan individu-individu lain yang serupa dalam hal karakteristik-

karakteristik sosial dengannya. Misalanya homofili dalam penampilan, latar

belakang, sikap, nilai dan kepribadian. Namun perbedaan-perbedaan dalam

Universitas Sumatera Utara


komunikasi antar budaya juga bisa menjadi kerangka atau matriks dimana

komunikasi terjadi. Dengan adanya derajat perbedaan (heterofili), orang-orang

yang berkomunikasi tadi akan menerima hal-hal yang baru, yang informasional

justru melalui ikatan yang lemah tadi.

Maka bila perbedaan-perbedaan disadari atau diakui potensi pengaruhnya

terhadap komunikasi, masalahnya kemudian mungkin terletak pada cara-cara,

strategi atau teknik komunikasi yang dipakai. Dalam komunikasi antar budaya,

perbedaan-perbedaan individu dapat diperbesar oleh perbedaan-perbedaan

kebudayaan. Persepsi tentang kebudayaan-kebudayaan ini adalah titik tolak dari

asumsi yang paling dasar dari komunikasi antar budaya, yaitu kebutuhan untuk

menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan untuk menjembataninya melalui

komunikasi (Lubis, 2008:26-27). Perbedaan kebudayaan dan gaya komunikasi

berpotensi untuk menimbulkan masalah-masalah dalam Komunikasi antar budaya.

Tetapi tidak saja perbedaan, melainkan juga yang lebih penting lagi adalah

kesulitan dalam mengakui perbedaan itu sendiri.

Seperti hal nya dalam proses komuniksi dalam bentuk lain, komunikasi

antar budaya juga menuntut adanya kesediaan orang-orang yang terlibat dalm

komunikasi tersebut untuk membuka diri. Dengan didorong homofili dan

ketertarikan antarpribadi setidaknya komunikasi antarbudaya akan berlangsung

lancar.

Universitas Sumatera Utara


I.6.3 Identitas Etnis

Identitas etnis secara substansial bermakna sama dengan etnisitas atau

rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna sama

oleh para ahli (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 151).

Dalam konteks identitas etnis, Mead dalam Mulyana berpendapat bahwa

konsep diri seseorang bersumber dari partisipasinya dalam budaya di mana ia

dilahirkan atau yang ia terima. Budaya diperoleh individu lewat simbol-simbol

dan simbol-simbol ini bermakna baginya lewat eksperimentasi dan akhirnya

Familiarity dengan berbagai situasi. Identitas etnis juga merupakan suatu proses.

Ia berbentuk lewat interpretasi realitas fisik dan sosial sebagai memiliki atribut-

atribut etnis. Identitas etnis berkembang melalui internalisasi pengkhasan diri oleh

orang lain yang dianggap penting, tentang siapa aku dan siapa orang lain

berdasarkan latar belakang etnis mereka (Mulyana, 2001: 231)

Identitas etnis berhubungan pada latar belakang etnis mereka yang

dianggap sebagai inti diri mereka. Diri yang berkonteks etnis inilah yang disebut

identitas etnis (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 152).

Phinney mendefinisikan bahwa identitas etnis merupakan sense tentang

self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu dan

sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Mereka juga

menyatakan bahwa perkembangan identitas etnis merupakan suatu proses

eksplorasi dari identitas yang tidak terseleksi sampai identitas etnis yang dicapai.

Dari definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam diri individu terdapat

sense tentang diri dalam kaitannya sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu

Universitas Sumatera Utara


dan proses inilah yang menyebabkan identitas etnis terbentuk.

( http://suryanto.blog.unair.ac.id/).

Menurut Phinney dan Alipora identitas etnis adalah sebuah konstruksi

kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of

belonging) pada kelompok etnis, evaluasi positif pada kelompok, berminat

didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam

aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi

masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnis akan

membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan

etnisnya. Weinreich juga menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas

etnik merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol

bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi

(http://suryanto.blog.unair.ac.id/).

Freedman, Peplau & Sears berpendapat, salah satu yang mendorong

terbentuknya identitas etnis adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnis

yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan

kesamaan latar belakang, hal mana membuat mereka memiliki kesamaan adat dan

perilaku. Kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan seidentitas

(http://suryanto.blog.unair.ac.id/).

Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan identitas

etnis. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas, mereka juga

memerlukan kehadiran entitas atau etnis lain sebagai komparasi dan penegas

identitas tersebut. Identitas etnis merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok

Universitas Sumatera Utara


yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari

bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi

dengan kelompok lain identitas etnis mereka terbangun, dan semakin intens

interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya

(http://suryanto.blog.unair.ac.id/).

Status identitas etnis atau derajat identifikasi etnis yang dimiliki seseorang

tergantung pada banyak hal. Dua yang terpenting adalah derajat dari homogenitas

dan heterogenitas kehidupan lingkungan tempat tinggal. Semakin homogen

masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap

kelompok etnisnya juga semakin rendah dan semakin heterogen masyarakat di

lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnis semakin

tinggi. Dalam masyarakat yang homogen, dalam hal ini satu etnis, tidak ada

kebutuhan untuk menunjukkan identitas kelompok etnisnya pada orang lain hal

mana membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnis.

Menurut Keefe identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi

etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan

pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala

seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang

menjadi anggota kelompok etnis sendiri dan siapa yang menjadi anggota

kelompok etnis lain. Ia pun mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada

antara kelompok etnis sendiri dan kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan

emosional tertentu terhadap etnisnya (http://suryanto.blog.unair.ac.id/).

Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnis merupakan

Universitas Sumatera Utara


fenomena objektif dan subjektif. Fenomena objektif manakala seseorang

menegaskan identitas etnisnya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti.

Fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of

belonging) akan kelompok etnisnya (http://suryanto.blog.unair.ac.id/).

Menurut Phinney dalam Steinberg yang dikutip dari

smartpsikologi.blogspot.com, ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnis

minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:

- Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan


standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan
sebagai kelompoknya)
- Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing
dan tidak diterima)
- Separation (memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetap memakai
budaya sendiri)
- Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara
berbarengan).
Marcia mengkategorisasikan identitas status etnis dalam empat kategori

yang berbeda. Bila telah mengeksplorasi etnisnya dan akhirnya ada komitmen

terhadap etnis maka individu akan mencapai identitas status achievement. Bila ada

eksplorasi terhadap etnisnya tetapi tidak memiliki komitmen terhadap etnis maka

individu mencapai identitas status moratorium. Bila tidak ada eksplorasi atau

pengetahuan mengenai etnisnya tetapi memiliki komitmen terhadap etnis maka

disebut memiliki identitas status foreclosure. Dan terakhir bila tidak

mengeksplorasi terhadap etnisnya dan juga tidak meiliki komitmen terhadap etnis

maka individu disebut memiliki identitas diffusion.

(http://smartpsikologi.blogspot.com/)

Jadi, persepsi identitas etnis bisa disimpulkan sebagai proses menafsirkan

informasi indrawi seputar etnis.

Universitas Sumatera Utara


I.6.4 Teori Interaksi Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung

perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau

perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis

sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial

yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus

untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya pandangan fenomenologis atas

realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas

kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik

mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia.

Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif , reflektif dan kreatif, menafsirkan,

menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak

gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh

kekuatan-kekauatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu

terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah

yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan

struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi

manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil

terhadap seperangkat objek yang sama. (Mulyana, 2001:59-61)

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif

interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang

Universitas Sumatera Utara


subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai

proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka

dengan mempertimbangkan ekspetasi orang lain yang menjadi mitra interaksi

mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan

bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia

bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di

sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan

Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan

menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna

dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu

medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan

perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial

dan kekuatan sosial. (Mulyana, 2001:68-70)]

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya

adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas,

interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama,

individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan,

termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-

komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk

interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan

dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan

individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi

yang ditemukan dalam interaksi sosial.

Universitas Sumatera Utara


I.7 Kerangka Konsep

Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka

langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu

pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil

penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995:40). Konsep adalah penggambaran

fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang

menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:33).

Maka konsep operasional yang akan diteliti adalah

- Identitas Etnis

- Komunikasi Antarbudaya

I.8 Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka konsep

operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep

operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian,

maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Identitas Etnis 1. Identitas etnis sendiri dan kelompok


etnis lain:
a. identifikasi etnisnya sendiri
b. identifikasi terhadap etnis lain
c. mengidentifikasi perbedaan-perbedaan
yang ada antara kelompok etnis sendiri
dan kelompok lain.

2. Derajat keterikatan pada kelompok dan


kebudayaannya:
a. Membentuk kelompok
kecil/perkumpulan
b. komitmen
c. evaluasi positif pada kelompok/etnis
d. berminat di dalam dan berpengetahuan
tentang kelompok/etnis
e. turut serta terlibat dalam aktivitas sosial
kelompok
f. Sense of belonging
g. Pemahaman akan rasa cinta pada
kelompok &budaya
h. harapan akan masa depan yang berkait
dengan etnisnya.

Universitas Sumatera Utara


Komunikasi 1. Pertukan pesan antar budaya
2. Komponen dari kompetensi komunikasi:
Antarbudaya

a. motivasi
b. pengetahuan
c. kemampuan
3. Masalah potensial dalam Komunikasi
Antarbudaya:
a. pencarian kesamaan
b. penarikan diri
c. kecemasan
d. pengurangan ketidakpastian
e. sterotip
f.prasangka
g.etnosentrisme
h. culture shock

I.9 Definisi Operasionalisasi Konsep

Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah

dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi operasional adalah suatu

petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur suatu variabel. Dengan

kata lain, definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu

peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995:

46).

Maka variabel yang terdapat dalam penelitian ini perlu didefinisikan

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


A. Identitas Etnis:

1. Identitas etnis sendiri dan kelompok lain, yaitu

a. identifikasi etnisnya sendiri: identifikasi/mengeksplorasi pengetahuan

seputar etnisnya

b. identifikasi terhadap etnis lain: identifikasi/mengeksplorasi pengetahuan

seputar etnis lain

c. mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnis

sendiri dan kelompok lain: memiliki identifikasi/ekspolrasi pengetahuan

tentang perbedaan yang ada antara kelompok etnisya sendiri dengan

kelompok etnis lain.

2. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya: bagaimana ia

mempersepsi keterikatan emosional tertentu terhadap etnisnya yang

berhubungan dengan:

a. Membentuk kelompok kecil/perkumpulan : tindakan membentuk suatu

perkumpulan dengan anggota etnis yang sama.

b. komitmen: memiliki loyalitas atau perasaan terikat terhadap kelompok

etnisnya.

c. evaluasi positif pada kelompok/etnis: tindakan pelabelan positif pada

etnisnya.

d. berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok/etnis: selalu

berminat dalam kelompok dan berminat mengeksplorasikan pengetahuan

seputar etnisnya.

Universitas Sumatera Utara


e. turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok: terlibat dalam aktivitas

kelompok etnisnya.

f. Sense of belonging: perasaan memiliki kelompok etnisnya.

g. Pemahaman akan rasa cinta pada kelompok dan budaya : memiliki

kecintaan pada kelompok dan budayanya.

h. harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya: harapan yang

dibangun terkait etnisnya.

B. Komunikasi antarbudaya:

1. Pertukaran pesan antar budaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal

mapuna non verbal.

2. Komponen dari kompetensi komunikasi:

a. motivasi: hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif deengn

orang lain.

b. pengetahuan: kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa yang kita

butuhkan untuk dilakukan agara komunikasi berjalan secara efektif dan

tepat.

c.kemampuan : kemampuan kita dalam mengolah perilaku yang perlu dalam

berkomuniksi secara tepat dan efektif (Gundykunst & Young, 2003: 275)

3. Masalah potensial dalam Komunikasi Antarbudaya:

a. pencarian kesamaan : usaha untuk mencarai orang yang memiliki kesamaan

budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu kelompok.

b. penarikan diri : penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari suatu

komunitas

Universitas Sumatera Utara


c. kecemasan : perasaan psikologis yang secara tiba-tiba menghasilkan sebauh

situasi baru yang kurang aman/nyaman.

d. pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi ketidakpastian atau

dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan lawan

bicara saat berinteraksi.

e. stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain) berdasarkan

sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan

keanggotaan mereka dalam satu kelompok

f.prasangka : keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih dahulu

disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada sekolompok

orang.

g.etnosentrisme: mengangap kempok budaya/ etnisnya yang lebih baik

(superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu pengkategorisasian

individu berdasarkan warna kulit, rambut, dan lainnya.

h. culture shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan tanda

keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika kita

memasuaki lingkungsn baru yang berbeda budaya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai