Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH NASIKH & MANSUKH

Posted on November 11, 2013 by alkautsarkalebbi

NASIKH DAN AL MANSUKH


Oleh:  ida “LEN”

A.    PENDAHULUAN
                        Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad  SAW. Al
Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai  bukan hanya kebahagiaan  di
dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an memuat ayat tentang
cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang
ibadah,muamalah, dll.Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an dan Terjemahnya”Al Qur’anul
Karim adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang
berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan
yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu
ataupun sebagai makhluk social, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.[1]

                        Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk memperbaiki
umat dibidang akidah, ibadah danmu’amalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi
itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan
rububiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada aqidah yang satu itu semuanya
sama.[2]

            Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu
bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta
mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.[3]

Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang


dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada
yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga  timbul pembahasan
tentang Nasikh dan Mansukh.[4]
Firman Allah SWT dalam surah al Baqarah ayat 106 tentang nasikh dan mansukh yaitu:

‫نس َها نَ ۡأ ِت خِب َ ۡي ۬ ٍر ِّم ۡنہ‬


ِ ُ‫ ما نَنس ۡخ ِم ۡنءاي ٍة أَ ۡون‬...
ََ َ َ
Terjemahan
Ayat mana saja yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya….
(Qs Al Baqarah:106) [5]
Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Allah,
baik ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun ayat-ayat dalam kitab-kitab
suci terdahulu.[6]
Sungguh, ayat–ayat al-Qur’an merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan
muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu, sering kali pada saat al-
Qur’an berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu,
tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara
sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi, orang yang tekun mempelajarinya akan
menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian
hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada
akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan
terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui dimana ujung
pangkalnya.Demikian menurut M.Quraish Shihab dalam buku beliau “Wawasan al-
Qur’an”[7]

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi


para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan
sahabat dan  tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.[8]

             Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan mansukh di atas, maka
dalam bab selanjutnya penulis bermaksud membahas tentang pengertian nasikh
mansukh, ruang lingkup dan syarat-syarat nasakh, pembagian nasakh, bentuk-bentuk
nasakh, pendapat ulama tentang nasakh, serta beberapa contoh nasikh mansukh.
B. NASIKH DAN MANSUKH

1. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH

     Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya.
[9]  Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj
ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29. Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi
etimologi, kata ini dipakai untuk  beberapa pengertian: menghilangkan, melenyapkan, atau
menghapus, dapat juga berarti memindahkan(memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempat lain). Kata nasakh dapat juga berarti mengganti atau menukar, membatalkan dan
mengubah, dapat juga berarti pengalihan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus,
memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus
dinamakanmansukh.[10] Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkannasikh ialah ayat
yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang dinasakh.[11]

            Pengertian nasakh secara terminology menurut Manna’ Khalil al Qattan sebagaimana
termaktub dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an nasakh ialah “mengangkat(menghapus) hukum
syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain”.[12] Menurut Muhammad ‘Abd Azhim al
Zarqaniy sebagaimana dikutip Dr Usman, M.Ag dalam buku Ulumul Qur’an, bahwa nasakh adalah
mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.[13]

            Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M Quraish Shihab menandaskan
bahwa para ulama mutaqaddimin(ulama abad I hingga III H) memperluas arti nasakh, mencakup
hal-hal, yaitu :

a.       Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang
kemudian
c.       Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
d.      Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum bersyarat.  [14]
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti dikutip oleh Quraish Shihab
diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang
berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan
diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah
atau izin berperang pada periode Madinah.[15]

    Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama yang datang
kemudian(muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang
ditetapkan terakhir.[16] Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang
diangkat atau yang dihapuskan”[17] Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama
RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah mengangkat atau menghapuskan
hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan
mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus.[18]

2. RUANG LINGKUP DAN SYARAT-SYARAT NASAKH

 Mengenai lingkup nasakh, Manna’ Khalil al Qattan menyimpulkan bahwa nasakh hanya
terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar(perintah) atau
nahyi(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah, sifat-
sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan
etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal itu karena semua syari’at
ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok(usul) semua syari’at
adalah sama.[19] Firman Allah dalam QS Asy Syuura ayat 13 yang terjemahnya :”Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa
yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”(QS Asy
Syuura ayat 13)[20]Nasakh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna
talab(tuntutan:perintah atau larangan), seperti janji(al wa’d) dan ancaman(al wa’id) demikian
menurut Syaikh Manna’

            Adapun syarat-syarat nasakh adalah :

a.       Hukum yang mansukh adalah hukum syara’


b.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari
khitab yang hukumnya mansukh
c.       Khitab yang dihapuskan atau diangkat hukumnya tidak terikat(dibatasi) dengan waktu
tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Yang demikian tidak dinamakan nasakh.[21]

3. PEMBAGIAN NASAKH
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah
dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, dan
nasakh Al Qur’an dengan sunnah.berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al Qur’an dan
tafsirnya.

a.       Nasakh sunnah dengan sunnah


Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan
dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh
menjadi boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi” Dahulu aku melarang
kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi). Dalam hal nasakh
sunnah dengan sunnah ini Manna’Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat
bentuk, yaitu(1). nasakh mutawatir dengan mutawatir.(2) nasakh ahad dengan ahad.(3)
ahad dengan mutawatir.(4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama
dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat.  Namun jumhur ulama tidak
membolehkan.[22]
b.      Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan
dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi
menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al Baqarah/2
ayat 144:
ÉeAuqsùy7ygô_urtôÜx©Ï‰Éfó¡yJø9$#ÏQ#tysø9$#4ª…@ÇÊÍÍÈ
Terjemahan:
Maka hadapkanlahwajahmu ke arah Masjidil Haram…          [23]

Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak
wajib, tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu
turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:

“Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar
dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”(Al
Baqarah/2:185)[24]

Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al
Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa
saja yang ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau
antara Kitab dengan  sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.[25]

c.       Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an


Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil
ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka
yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an,
berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh
mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat
diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang
ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum
yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang
sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak
ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang
telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat al Qur’an yang ada sekarang tidak
ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari
depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji”.[26] Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di
belakang, tidak ada ayat Al Qur’an yang dinasakh maupun  mansukh. Ayat-ayat Al Qur’an
memang telah menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan
Injil. Pendapat demikian misalnya dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani, seorang mufassir
yang menulis kitab Jami’ut Ta’wil. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa
sesama Al Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.

d.      Nasakh Al Qur’an dengan sunnah


Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah. [27]
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
  Nasakh Al Qur’an dengan hadits ahad.
 Jumhur berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al Qur’an
adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan,
di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan
yang maznun(diduga)
  Nasakh Al Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.Dasarnya adalah firman Allah
dalam surah an Najm ayat 3-4. Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan(kepadanya)”. Serta Surah An Nahl ayat 44. Artinya “Dan kami turunkan
kepadamu Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka”. Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Sementara itu Asy Syafi’I, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat
106:
Terjemahan
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya…..
[28]
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al
Qur’an.[29] Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al Qur’an dengan sunnah, karena Al
Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil
yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang
menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya
sama.

4. BENTUK-BENTUK NASAKH

Para ulama yang mengakui tentang adanya nasakh mengemukakan ada tiga bentuk
nasakh, yaitu:

Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap, nasakh hukum dan tilawah,


nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.[30]
a.       Nasakh hukum sedang tilawahnya tetap
Misalnya hukum ‘iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya dalam surah Al
Baqarah ayat 240 ditetapkan ‘iddahnya selama satu tahun, kemudian  dinasakh menjadi
hanya empat bulan sepuluh hari seperti ditetapkan dalam Surah Al Baqarah ayat
234(ayat 240 turun lebih dahulu daripada ayat 234). Lalu timbul pertanyaan. Apakah
hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua, yaitu:
(1) Al Qur’an di samping dibaca untuk diketahui makna dan diamalkan
hukumnya, juga Al Qur’an sebagai Kalamullah yang membacanya mendapat pahala.
(2) Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan, sehingga  dengan tetapnya
tilawah dan terus dibaca untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya
kesulitan(masyaqqah) dari hukum yang dihapus.
b.      Nasakh Hukum dan Tilawah
Dalam hal ini baik hukum maupun tilawahnya dihapus sehingga ayatnya maupun
hukumnya sudah tidak ada lagi, dan diganti dengan hukum baru pada ayat AlQur’an.
Bentuk ini menurut sebagian besar ulama tidak terdapat dalam Al Qur’an, karena ayat-
ayat Al Qur’an sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, hingga wafat beliau,
bahkan hingga sekarang, tidak ada yang berubah atau berkurang. Nasakh hukum dan
tilawah hanya ada pada kitab-kitab suci terdahulu, yaitu antar kitab-kitab Zabur, Taurat,
dan Injil yang telah dinasakh Al Qur’an. Meskipun begitu, ada sebagian ulama yang
berpendapat bahwa nasakh hukum dan tilawahnya ini ada juga dalam Al Qur’an seperti
yang diriwayatkan oleh Muslim dan beberapa perawi hadits lain, dari Aisyah, ia
berkata:
”Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang diketahui itu
menjadikan muhrim(haram dinikahi), kemudian dinasakh oleh lima susuan yang
diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat ‘lima susuan’ ini termasuk ayat Al Qur’an
yang dibaca”. Kata-kata Aisyah “lima susuan ini termasuk ayat Qur’an yang dibaca”,
pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap, tetapi tidak demikian
halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian dijawab,
bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang
wafat. Yang jelas bahwa tilawahnya itu telah dinasakh(dihapuskan) tetapi penghapusan
ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu
ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.
c.       Nasakh Tilawah Sedang Hukumnya Tetap
Menurut sebagian besar ulama bentuk ini juga tidak terdapat dalam Al Qur’an,
tetapi terdapat antar kitab-kitab suci terdahulu. Dalam fiqih ada istilah yang
disebut”Syar’un man qablana”yaitu syari’at orang-orang sebelum kita. Hukum syari’at
itu masih kita lakukan hingga sekarang, seperti kewajiban khitan bagi anak laki-laki
sebelum usia balig. Tetapi ayat yang mewajibkan khitan pada kitab-kitab suci terdahulu
sudah tidak perlu kita baca lagi.
Tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa nasakh tilawah tetapi
hukumnya tidak dinasakh ada juga dalam Al Qur’an, yaitu tentang hukum rajam, ayat
yang telah dinasakh dan kini tidak terdapat dalam Al Qur’an, yaitu;
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka hendaknya
dirajam kedua orang tersebut dengan pasti sebagai siksaan dari Allah, dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[31]
 

5. PENDAPAT ULAMA TENTANG NASAKH

a. Menerima Adanya Nasakh

Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil-dalil
sebagai berikut; (1)perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena
hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.(2)Nash-nash kitab dan
sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain Firman Allah dalam Surah
An Nahl ayat 101

Terjemahan
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain….[32]

Juga dalam Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :106.

 
Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan
dalam bukunya Wawasan baru ilmu tafsir, bahwa memang terdapat nasakh
sebelum Rasul wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh.
[33]  Menurut Abdul Azim al Zarqani sebagaimana dikutip M Quraish Shihab bahwa
para pendukung nasakh mengakui bahwa nasakh baru dilakukan apabila;(a) terdapat
dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan. (b)
Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.
[34] Termasuk ulama-ulama yang menerima adanya nasakh  adalah Al Suyuthi
dan Imam Syafi’I.
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian diikuti oleh
para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah; (1) sekiranya dalam Al Qur’an ada
nasakh, maka berarti dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam Al Qur’an
dinyatakan tidak ada kebatalan(QS.41:42). (2)Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu
peninjauan lebih lanjut. Kosakata”ayat” tidak hanya berarti ayat Al Qur’an tetapi dapat berarti
mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al Qur’an(Taurat, Zabur, dan Injil) disamping itu kata
nasakh mempunyai arti bermacam-macam. Maka lafal ‡|¡YtR dalam ayat 106 Surah Al
Baqarah dapat diartikan “kami menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al Qur’an dari
Lauh Mahfuzh ke langit dunia.(3)Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang
telah dinasakh.(4) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.(5)Adanya
ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum
bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah dinasikh-
kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara
lain.[35]  Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat dalam bukunya Tekstualitas Al Qur’an; kritik
terhadap ulumul Qur’an, bahwa fenomena nasakh yang keberadaannya diakui oleh ulama
menimbulkan problema yaitu bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan
konsekuensi yang ditimbulkannya bahwa teks mengalami perubahan melalui nasakh, dengan
keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di Lauh Mahfuzh?[36]

6. BEBERAPA CONTOH NASIKH MANSUKH

Al Suyuti  menyebutkan beberapa contoh ayat nasikh dan mansukh sebagaimana disebutkan
dalam Mabahis fi ‘Ulumul Qur’an(Studi ilmu-ilmu Qur’an. Juga terdapat dalam Al Qur’an dan
Tafsirnya, Yaitu:

          Firman Allah dalam Q.S.  al-Baqarah/ 2 :115.


Terjemahan

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana pun kamu menghadap di
situlah wajah Allah.[37]

Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :144.


 
Terjemahan:
Maka hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Haram … [38]

Menurut Syaikh Manna’ ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan

salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam
keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku,

sebagaimana dijelaskan dalam  as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan

salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah

menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dalam sunnah.[39]

          Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :18


Terjemahnya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak apabila menjemput seseorang diantara
kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dari karib
kerabat….”[40]
 

Dikatakan, ayat ini mansukh  oleh ayat tentang kewarisan An Nisa/4: ayat 11-12

dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi “ sesungguhnya

Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,

maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[41]

          Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :184.

Terjemahan
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa)
membayar fidyah….”[42]

Ayat ini dinasakh oleh:

Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/ 2 :185

Terjemahan
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia
berpuasa…..”[43]

Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin

Akwa, “ ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184, maka orang yang ingin tidak

berpuasa, ia membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya

yangmenasakhkannya”.

Ibn Abbas berpendapat, ayat pertama adalah muhkam, tidakmansukh. Bukhari

meriwayatkan dari ‘Ata’, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: “Dan bagi

mereka yang kuat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar

fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan, ayat ini

tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang
tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan

makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka

makna yatikuwnahu bukanlah yastatiyuwnahu(sanggup menjalankanya). Tetapi

maknanya ialah “mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan

memaksakan diri”.[44]
         Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240
‫اع ا إِىَل احْلَ ْو ِل َغْي َر‬ ِ ِ ِ ِ َّ
ً َ‫اج ا َوص يَّةً أل َْز َواج ِهم َّمت‬ ً ‫ين يَُت َو َّف ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْز َو‬
َ ‫َوالذ‬
ٍ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫إِ ْخ ر‬
ُ‫يم ا َف َع ْل َن يِف أَن ُفس ِه َّن من َّم ْع ُروف َواهلل‬ َ ‫اح َعلَْي ُك ْم ف‬
َ َ‫اج فَ إ ْن َخ َر ْج َن فَالَ ُجن‬ َ
– 240 : ‫يم – البقرة‬ ُُ ‫َع ِز ُُيز َح ِك‬
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan
mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)[45]

Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.

‫َش ُه ٍر َو َع ْش ًرا فَِإ َذا‬ْ ‫ص َن بِأَن ُف ِس ِه َّن أ َْر َب َع ةَ أ‬ ِ ِ َّ


ً ‫ين يَُت َو َّف ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْز َو‬
ْ َّ‫اجا َيَتَرب‬ َ ‫َوالذ‬
‫وف َواهللُ مِب َا َت ْع َملُ و َن‬ِ ‫بلَ ْغن أَجلَه َّن فَالَ جنَ اح علَي ُكم فِيم ا َفع ْلن يِف أَن ُف ِس ِه َّن بِالْمعر‬
ُْ َ َ َ َ ْ َْ َ ُ َُ َ َ
–234 : ‫َخبِريُ * – البقرة‬
 

Artinya:  “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat.  ( QS. Al-Baqarah /2:234)[46]

 
 

C. PENUTUP

         Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan
mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
         Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang
bermakna ‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat tentang
persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan
hari kemudian, etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
         Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al
Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur ulama
mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadis para
ulama sepakat hal tersebut tidak ada.
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,  Jogyakarta: LKis
Pelangi Aksara, cet 4 2005
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, diterj.  Mudzakir,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor:
PT Pustaka Litera AntarNusa,cet 14, 2011.

————–, Pengantar studi ilmu Al Qur’an, diterj, H.Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta: Pustaka al
Kautsar, cet 4, 2009

Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010

————-, Al Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta:Proyek pengadaan kitab suci Al Qur’an, 1985

Shihab, M Quraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994

————,  Wawasan al-Qur’anBandung; PT: Mizan Pustaka, 2007

Tim Penyusun, Al Qur’an dan Terjemahnya; Tafsir Al Qur’anul Karim,Medinah Munawwarah:


Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif,
1411 H

Usman, M.Ag,Dr, Ulumul Qur’an, Yogyakarta:Teras, cet I, 2009

           

  

           

           

           

 
[1] Al Qur’an dan Terjemahnya;Tafsir Al Qur’anul Karim(Medinah Munawwarah: Mujamma
Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H)h 23
[2]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an,  terj. MudzakirAS, Studi Ilmu- Ilmu
Qur’an  (Cet.14; Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 325.
Lihat Qs Al Anbiyaa ayat 25, Artinya:” Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya:bahwasanya tidak ada tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”
[3]Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Cet ke-4;Jakarta:pustaka Al Kautsar)h 284
[4] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), h.143
[5] Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit h 29
[6] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi)h 259
[7]M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet.1; Bandung: PT Mizan Pustaka 2007 ), h.10.
[8] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an,op.cit h 329
[9] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2009) h 255Lihat juga M. Quraish
Shihab, Membumukan Al Qur’an, h 143
[10] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, ibid h 256-257
[11] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
[12] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an op cit h 326
[13] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, op cit h 258
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 144
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 327. Lihat juga Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni,(Cet ke-
4;Jakarta:pustaka Al Kautsar)h286
[18] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
[19] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 328. Lihat juga Lihat juga
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,h286-287. Juga Dr. Usman,M.Ag, Ulumul
Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2009) h 260
[20] Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit h 785
[21] Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an op cit h 286
[22]  Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 336
[23] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 37
[24] Ibid h 45
[25]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 335
[26] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 779
[27] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 260-262
[28] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,op cit h 29
[29] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 334-335
[30] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 262
30
Lihat juga Nashruddin Baidan, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta:pustaka pelajar, 2005,h
174, juga Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, h 336-337
[31] Ibid, h 262-264
[32] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,op cit h 417
[33] Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005, h
176
[34] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 146
[35]Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, op cit h 178-180
[36] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al Qur;an; kritik terhadap ulumul Qur’an,cet 4,
Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005, h 141
[37]Departemen Agama RI., op. cit.,  h.31
[38]Ibid., h. 37
[39]Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 344.
[40]Departemen Agama R.I., op. cit., h. 44
[41]Manna Khalil al-Qattan op. Cit., h.345
[42] Departemen Agama R.I., op. cit., h.44
[43]Departemen Agama R.I.,  op. cit.,h. 45
[44]Manna Khalil al-Qattan op. cit.,  h. 345
[45] Departemen Agama RI, op cit, h 59
[46] Ibid h, 57
Share this:

Source: https://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/11/11/makalah-nasikh-mansukh/

Anda mungkin juga menyukai