Ulumul Qur'an, Nasikh Mansukh
Ulumul Qur'an, Nasikh Mansukh
A. PENDAHULUAN
Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al
Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai bukan hanya kebahagiaan di
dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an memuat ayat tentang
cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang
ibadah,muamalah, dll.Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an dan Terjemahnya”Al Qur’anul
Karim adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang
berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan
yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu
ataupun sebagai makhluk social, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.[1]
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah kepada para rasul-Nya untuk memperbaiki
umat dibidang akidah, ibadah danmu’amalah. Oleh karena akidah semua ajaran samawi
itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas tauhid uluhiyah dan
rububiyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada aqidah yang satu itu semuanya
sama.[2]
Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu
bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta
mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.[3]
Berdasarkan gambaran singkat tentang nasikh dan mansukh di atas, maka
dalam bab selanjutnya penulis bermaksud membahas tentang pengertian nasikh
mansukh, ruang lingkup dan syarat-syarat nasakh, pembagian nasakh, bentuk-bentuk
nasakh, pendapat ulama tentang nasakh, serta beberapa contoh nasikh mansukh.
B. NASIKH DAN MANSUKH
Dalam Al Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya.
[9] Yaitu dalam Qur’an Surah Al Baqarah ayat 106, Surah A1-A’raf ayat 154, Surah A1-Hajj
ayat 52, dan Surah Al Jatsiah ayat 29. Nasikh-Mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi
etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian: menghilangkan, melenyapkan, atau
menghapus, dapat juga berarti memindahkan(memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempat lain). Kata nasakh dapat juga berarti mengganti atau menukar, membatalkan dan
mengubah, dapat juga berarti pengalihan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus,
memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang dihapus
dinamakanmansukh.[10] Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkannasikh ialah ayat
yang menasakh dan mansukh ialah ayat yang dinasakh.[11]
Pengertian nasakh secara terminology menurut Manna’ Khalil al Qattan sebagaimana
termaktub dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an nasakh ialah “mengangkat(menghapus) hukum
syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain”.[12] Menurut Muhammad ‘Abd Azhim al
Zarqaniy sebagaimana dikutip Dr Usman, M.Ag dalam buku Ulumul Qur’an, bahwa nasakh adalah
mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.[13]
Mengenai nasakh, al Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M Quraish Shihab menandaskan
bahwa para ulama mutaqaddimin(ulama abad I hingga III H) memperluas arti nasakh, mencakup
hal-hal, yaitu :
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang
kemudian
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
d. Penetapan syarat terhadap kukum terdahulu yang belum bersyarat. [14]
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqaniy seperti dikutip oleh Quraish Shihab
diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang
berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan
diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah
atau izin berperang pada periode Madinah.[15]
Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama yang datang
kemudian(muta’akhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang
ditetapkan terakhir.[16] Sedang mansukh menurut Syaikh Manna’ adalah” hukum yang
diangkat atau yang dihapuskan”[17] Dalam buku Al Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama
RI disebutkan bahwa” Nasakh dalam arti istilah adalah mengangkat atau menghapuskan
hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan
mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus.[18]
Mengenai lingkup nasakh, Manna’ Khalil al Qattan menyimpulkan bahwa nasakh hanya
terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar(perintah) atau
nahyi(larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah, sifat-
sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan
etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal itu karena semua syari’at
ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok(usul) semua syari’at
adalah sama.[19] Firman Allah dalam QS Asy Syuura ayat 13 yang terjemahnya :”Dia telah
mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa
yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”(QS Asy
Syuura ayat 13)[20]Nasakh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna
talab(tuntutan:perintah atau larangan), seperti janji(al wa’d) dan ancaman(al wa’id) demikian
menurut Syaikh Manna’
3. PEMBAGIAN NASAKH
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah
dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, dan
nasakh Al Qur’an dengan sunnah.berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al Qur’an dan
tafsirnya.
Contoh lain tentang kewajiban berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram menjadi tidak
wajib, tetapi sunnah saja setelah turun ayat kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan, yaitu
turunnya surah Al Baqarah/2 ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah(bulan) yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an, sebagai petujuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar
dan yang batil). Karena itu barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah.”(Al
Baqarah/2:185)[24]
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al
Itqan, menurut Syafi’I; apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa
saja yang ditetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau
antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.[25]
4. BENTUK-BENTUK NASAKH
Para ulama yang mengakui tentang adanya nasakh mengemukakan ada tiga bentuk
nasakh, yaitu:
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil-dalil
sebagai berikut; (1)perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena
hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.(2)Nash-nash kitab dan
sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain Firman Allah dalam Surah
An Nahl ayat 101
Terjemahan
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain….[32]
Abd al Wahhab al Khallab berpendapat sebagaimana dikutip Nashruddin Baidan
dalam bukunya Wawasan baru ilmu tafsir, bahwa memang terdapat nasakh
sebelum Rasul wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh.
[33] Menurut Abdul Azim al Zarqani sebagaimana dikutip M Quraish Shihab bahwa
para pendukung nasakh mengakui bahwa nasakh baru dilakukan apabila;(a) terdapat
dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan. (b)
Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.
[34] Termasuk ulama-ulama yang menerima adanya nasakh adalah Al Suyuthi
dan Imam Syafi’I.
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian diikuti oleh
para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah; (1) sekiranya dalam Al Qur’an ada
nasakh, maka berarti dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam Al Qur’an
dinyatakan tidak ada kebatalan(QS.41:42). (2)Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu
peninjauan lebih lanjut. Kosakata”ayat” tidak hanya berarti ayat Al Qur’an tetapi dapat berarti
mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al Qur’an(Taurat, Zabur, dan Injil) disamping itu kata
nasakh mempunyai arti bermacam-macam. Maka lafal |¡YtR dalam ayat 106 Surah Al
Baqarah dapat diartikan “kami menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al Qur’an dari
Lauh Mahfuzh ke langit dunia.(3)Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang
telah dinasakh.(4) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.(5)Adanya
ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum
bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah dinasikh-
kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara
lain.[35] Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat dalam bukunya Tekstualitas Al Qur’an; kritik
terhadap ulumul Qur’an, bahwa fenomena nasakh yang keberadaannya diakui oleh ulama
menimbulkan problema yaitu bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan
konsekuensi yang ditimbulkannya bahwa teks mengalami perubahan melalui nasakh, dengan
keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di Lauh Mahfuzh?[36]
Al Suyuti menyebutkan beberapa contoh ayat nasikh dan mansukh sebagaimana disebutkan
dalam Mabahis fi ‘Ulumul Qur’an(Studi ilmu-ilmu Qur’an. Juga terdapat dalam Al Qur’an dan
Tafsirnya, Yaitu:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka ke mana pun kamu menghadap di
situlah wajah Allah.[37]
salat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam
keadaan takut dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku,
salat fardu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan An Nisa/4: ayat 11-12
dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi “ sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,
Terjemahan
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa)
membayar fidyah….”[42]
Terjemahan
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia
berpuasa…..”[43]
Hal ini berdasarkan keterangan dalam as-Sahihain, berasal dari Salamah bin
Akwa, “ ketika turun Surah Al-Baqarah ayat 184, maka orang yang ingin tidak
yangmenasakhkannya”.
meriwayatkan dari ‘Ata’, bahwa ia mendengar Ibn Abbas membaca: “Dan bagi
fidyah, memberi makan seorang miskin.” Ibn Abbas mengatakan, ayat ini
tidak dimansukh, tetapi tetap berlaku bagi mereka yang telah lanjut usia yang
tidak lagi sanggup berpuasa. Mereka boleh tidak berpuasa dengan memberikan
makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya. Dengan demikian, maka
maknanya ialah “mereka sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan
memaksakan diri”.[44]
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 240
اع ا إِىَل احْلَ ْو ِل َغْي َر ِ ِ ِ ِ َّ
ً َاج ا َوص يَّةً أل َْز َواج ِهم َّمت ً ين يَُت َو َّف ْو َن من ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْز َو
َ َوالذ
ٍ ِ ِ ِ ِ ٍ إِ ْخ ر
ُيم ا َف َع ْل َن يِف أَن ُفس ِه َّن من َّم ْع ُروف َواهلل َ اح َعلَْي ُك ْم ف
َ َاج فَ إ ْن َخ َر ْج َن فَالَ ُجن َ
– 240 : يم – البقرة ُُ َع ِز ُُيز َح ِك
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan
mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)[45]
C. PENUTUP
Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan
mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang
bermakna ‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat tentang
persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan
hari kemudian, etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Para ulama berbeda pendapat tentang ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al
Qur’an. Sedangkan hadis yang dinasakh oleh ayat Al Qur’an jumhur ulama
mengakui adanya hal tersebut. Dan ayat Al Qur’an yang dinasakh oleh hadis para
ulama sepakat hal tersebut tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Jogyakarta: LKis
Pelangi Aksara, cet 4 2005
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, diterj. Mudzakir,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor:
PT Pustaka Litera AntarNusa,cet 14, 2011.
————–, Pengantar studi ilmu Al Qur’an, diterj, H.Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta: Pustaka al
Kautsar, cet 4, 2009
Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010
[1] Al Qur’an dan Terjemahnya;Tafsir Al Qur’anul Karim(Medinah Munawwarah: Mujamma
Khadim Al Haramain Asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H)h 23
[2]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. MudzakirAS, Studi Ilmu- Ilmu
Qur’an (Cet.14; Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), h. 325.
Lihat Qs Al Anbiyaa ayat 25, Artinya:” Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya:bahwasanya tidak ada tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”
[3]Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni,
(Cet ke-4;Jakarta:pustaka Al Kautsar)h 284
[4] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), h.143
[5] Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit h 29
[6] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi)h 259
[7]M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Cet.1; Bandung: PT Mizan Pustaka 2007 ), h.10.
[8] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an,op.cit h 329
[9] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2009) h 255Lihat juga M. Quraish
Shihab, Membumukan Al Qur’an, h 143
[10] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, ibid h 256-257
[11] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
[12] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an op cit h 326
[13] Dr. Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, op cit h 258
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 144
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 327. Lihat juga Syaikh
Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,terj H. Aunur Rafiq El-Mazni,(Cet ke-
4;Jakarta:pustaka Al Kautsar)h286
[18] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya loc cit
[19] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit h 328. Lihat juga Lihat juga
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an,h286-287. Juga Dr. Usman,M.Ag, Ulumul
Qur’an,(Yogyakarta:Teras, cet.1, 2009) h 260
[20] Al Qur’an dan Terjemahnya, op cit h 785
[21] Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an op cit h 286
[22] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 336
[23] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 37
[24] Ibid h 45
[25]Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 335
[26] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:1985, h 779
[27] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 260-262
[28] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,op cit h 29
[29] Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, op cit, h 334-335
[30] Departemen Agama RI,Al Qur’an dan Tafsirnya, op cit h 262
30
Lihat juga Nashruddin Baidan, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta:pustaka pelajar, 2005,h
174, juga Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, h 336-337
[31] Ibid, h 262-264
[32] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,op cit h 417
[33] Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005, h
176
[34] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an, op cit h 146
[35]Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, op cit h 178-180
[36] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al Qur;an; kritik terhadap ulumul Qur’an,cet 4,
Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005, h 141
[37]Departemen Agama RI., op. cit., h.31
[38]Ibid., h. 37
[39]Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 344.
[40]Departemen Agama R.I., op. cit., h. 44
[41]Manna Khalil al-Qattan op. Cit., h.345
[42] Departemen Agama R.I., op. cit., h.44
[43]Departemen Agama R.I., op. cit.,h. 45
[44]Manna Khalil al-Qattan op. cit., h. 345
[45] Departemen Agama RI, op cit, h 59
[46] Ibid h, 57
Share this:
Source: https://alkautsarkalebbi.wordpress.com/2013/11/11/makalah-nasikh-mansukh/