Anda di halaman 1dari 33

Case Based Discussion

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Oleh:

Muhammad Hazqi Rama 1940312052

Preseptor:
Dr. dr. Yusri Dianne Jurnalis, Sp.A, (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERA UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Case Based Discussion yang berjudul
“MENINGITIS TUBERKULOSIS“ ini dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat
untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai Meningitis
Tuberkulosis, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Dr. dr. Yusri
Dianne Jurnalis, Sp.A, (K) sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan
waktu. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca
terutama dalam meningkatkan pemahaman tentang Meningitis Tuberkulosis.

Padang, Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Meningen 5


Gambar 2 Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis 8
Gambar 3 Pemeriksaan Kernig Sign 13

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR GAMBAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 5
1.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen 5
1.2 Definisi 6
1.3 Epidemiologi 6
1.4 Etiologi 7
1.5 Patofisiologi 8
1.6 Manifestasi Klinis 11
1.7 Diagnosis 15
1.8 Pemeriksaan Penunjang 18
1.9 Tatalaksana 18
1.10 Komplikasi 21
1.11 Prognosis 21
BAB 2 LAPORAN KASUS 22
BAB 3 DISKUSI 30
DAFTAR PUSTAKA 33

4
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi dan Fisiologi Meningen


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan
sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen
terdiri dari 3 lapisan, yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter. 2

Gambar 2.1. Anatomi Meningen 2


1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. Sifat dari durameter
yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan berwarna abu-abu. Bagian pemisah dura
: falx serebri yang memisahkan kedua hemisfer dibagian longitudinal dan tentorium
yang merupakan lipatan dari dura yang membentuk jaring- jaring membran yang
kuat. Jaring ini mendukung hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah
otak (fossa posterir). 2
2. Arakhnoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut arakhnoid.
Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid

5
terdapat flexus khoroid yang bertanggung jawab memproduksi cairan serebrospinal
(CSS). Membran ini mempunyai bentuk seperti jari tangan yang disebut arakhnoid
vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS diproduksi 500 cc dan
diabsorbsi oleh vili 150 cc. 2
3. Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan, yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak. Piameter
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
Piameter merupakn selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang mengikuti
setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura- fisura, juga melekat pada
permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal sampai ke ujung medula
spinalis setinggi korpus vertebra. 2

1.2 Definisi
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya adalah
peradangan pada selaput otak, yang sering disebut meningitis. Meningitis merupakan
penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang. Bayi, anak-anak,
dan dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai resiko tinggi untuk
terkena meningitis. 3
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat membantu
untuk mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis, mengingat bahwa
insiden kematian akibat meningitis masih cukup tinggi. 4
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru.
Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru-paru, seperti perikardium, usus,
kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. 3

1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
6
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis. 5
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4
atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala
sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual. 6

1.4 Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik
gram positif, berukuran 0,4-3µm mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis,
spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium
bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti. 4

7
Gambar 2.2. Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis 4

1.5 Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang. 7
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama
masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun
jarang. 6 Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus
tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah
trauma kepala. 6
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang
8
yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh
akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh
darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat
gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat
terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan.
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang
terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah
saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia
dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi
iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi
atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen. 6,7
2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan dengan trombosis dan infark
pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau
berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan
sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar
arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis
dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan
adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang
ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa
9
infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan.
Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-
cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami
flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta
oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga
hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan
perubahan fibrin. 6,7

3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
6,7

Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis


4
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia. Gambaran patologi yang terjadi
pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis.
• Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
• Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
4. Meningitis proliferatif.
• Terlokalisasi, pada selaput otak.
• Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon
pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang
mempengaruhi. 6,7

10
Patogenesis terjadinya meningitis tuberkulosis secara skematis, dapat diamati
sebagai berikut:
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi
Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dormain

Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS TUBERKULOSA

1.6 Manifestasi Klinis


Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat
dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:
11
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
• Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
• Biasanya gejalanya tidak khas.
• Timbul perlahan-lahan.
• Tanpa kelainan neurologis.
• Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan
suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja
tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan
didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh
adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.

12
Gambar 2.3. Kernig Sign

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di


dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang
mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan
hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid.
Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis.
Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat
terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang
lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.
Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:
• Akibat rangsang meningen → sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama).
• Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea

13
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial yang
sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama ± 2-3 minggu. Pada stadium
ini gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat infark batang
otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami
organisasi. Gejala-gejala yang dapat timbul, antara lain:
• pernapasan irregular
• demam tinggi
• edema papil
• hiperglikemia
• kesadaran makin menurun
• irritable dan apatik
• mengantuk
• stupor
• koma
• otot ekstensor menjadi kaku dan spasme
• opistotonus
• pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
• nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
• hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan

14
yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan
terlambat atau tidak adekuat. 6,7,8

1.7 Diagnosis

Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran


(tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis
(baik yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran
klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis
tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai
sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare,
hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3%
kasus).9
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda rangsang
meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang
dari 2 tahun. 9

15
Tabel 2.1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan TB

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada
anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat
mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga saat ini
cara mantoux lebih sering dilakukan.
Pada uji mantoux, dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative)
dari kuman Mycobacterium tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya
pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur

16
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 9
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1. Pembengkakan (indurasi) : 0-4 mm → uji mantoux negatif.
Arti klinis: tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan (indurasi) : 3-9 mm → uji mantoux meragukan.
Arti klinis: hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypic atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (indurasi) : ≥ 10 mm → uji mantoux positif.
Arti klinis: sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Dari pemeriksaan laboratorium biasa disapatkan anemia ringan dan
peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Pada pemeriksaan cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis
(dengan cara pungsi lumbal) didapatkan:
• Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung
lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
• Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut
dapat mencapai 1000 / mm3.
• Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen.
• Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
17
• Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
• Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman.
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal
selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu
hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.
• Dari pemeriksaan radiologi:
▪ Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
▪ Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan
kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
▪ CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
▪ Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal
pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang
sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak
hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak
atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan
tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau
talamus.

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
▪ Darah lengkap
▪ Uji tuberculin
▪ Radiologi
▪ Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara
pungsi lumbal)

1.9 Tatalaksana
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
18
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan
6,7,8,9
klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep
baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan
dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus,
yaitu:
• Terapi Umum
▪ Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif
▪ Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein
▪ Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
▪ Keseimbangan cairan tubuh
▪ Perawatan kandung kemih dan defekasi
▪ Mengatasi gejala demam, kejang.
• Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
▪ Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
▪ INH : 1 x 400 mg/hari, oral
▪ Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
▪ Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
▪ Etambutol :15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
▪ INH : 1 x 400 mg/hari, oral
▪ Rifampisin : 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
▪ Menghambat reaksi inflamasi
▪ Mencegah komplikasi infeksi
19
▪ Menurunkan edem cerebri
▪ Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
▪ Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
▪ Kesadaran menurun
▪ Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri
penyebabnya dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil
biakan sebaiknya diberikan antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika
diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas
demam.
• Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,
Streptococcus, Meningiococcus.
• Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.
• Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman gram
negatif.

20
1.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,
paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan
saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan
pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh
penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang
hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan
kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi
intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang
sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi
prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin. 6

1.11 Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat
meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur
kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang
lebih tua usianya. 6

21
BAB 2
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : KSS
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Hendra Setiawan
Nama Ibu : Melati Daeva
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Jalan Padang Pasir no. 5B

B. ANAMNESA
(Alloanamnesis dengan ayah penderita)
Keluhan Utama

Pasien datang ke RSUP Dr. M. Djamil padang dengan keluhan penurunan


kesadaran disertai muntah yang semakin meingkat sejak 2 hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 1 bulan SMRS, pasien mengalami demam, tidak terlalu tinggi dan
tidak menggigil, disertai batuk (+), pilek (-). Nafsu makan berkurang, porsi
makan berkurang setengah dari yang biasa. Keringat malam tidak ada.
Sejak ± 2 minggu SMRS, Pasien masih mengalami demam hilang timbul,
tidak terlalu tinggi dan tidak menggigil. Pasien mengalami batuk, berdahak
(+). berwarna putih, darah (-). Pasien mengalami kejang (+), frekuensi
1x/24 jam, fokal (+) (pada tangan kanan dan mulut), lama ±3 menit, setelah
kejang pasien sadar.
Sejak 2 hari SMRS, Pasien tidak mau makan, terlihat lemas dan mengalami

22
penuruna kesadaran. Demam tinggi, dan mengalami muntah (+) 2 kali
dalam sehari. Pasien di bawa ke puskesmas terdekat, lalu dirujuk ke RSUP
M. Djamil Padang.
Pasien sudah berobat ke puskesmas saat pertama kali terjadi keluhan, di
beri obat syrup oleh dokter umum, keluhan membaik untuk sementara.
Penurunan berat badan ada sebanyak 2 kg dalam 1 bulan, tidak diketahui
berat badan sebelumnya.
Buang Air Kecil jumlah dan warna biasa
Buang Air Besar warna dan konsistensi biasa

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat kontak dengan penderita TB (+) → Tetangga korban sedang
dalam pengobatan TB

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


- Riwayat sakit yang sama dalam keluarga disangkal
- Riwayat sakit TB dikeluarga disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


- Masa kehamilan : Cukup bulan
- Partus : Spontan (G1P1A0)
- Ditolong oleh : Bidan
- Tanggal : 20 Mei 2018
- Berat badan lahir : 2900 gram
- Panjang badan lahir : 48 cm
- Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makan
- ASI: Lahir – sekarang
- Bubur susu: 6 bulan – 1 tahun
- Nasi biasa dengan sayur tempe : 1 tahun –
sekarang

23
Riwayat Perkembangan
- Berbalik : 3 bulan
- Tengkurap : 5 bulan
- Merangkak : 7 bulan
- Duduk : 9 bulan
- Berdiri : 10 bulan
- Berjalan : 1 tahun
- Berbicara : 1 tahun (beberapa suku kata)
- Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/Umur Booster/Umur
BCG 1 bulan
DPT 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Polio 1 2 bulan
2 4 bulan
3 6 bulan
Hepatitis B 1 Saat lahir
2 1 bulan
3 6 bulan
Haemofilus Influenza B1 2 bulan
2 4 bulan
3 9 bulan
Campak 9 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

24
Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Umur 28 tahun 27 tahun
Pendidikan SMP SD
Pekerjaan Buruh Ibu Rumah Tangga
Penghasilan ± 50.000/hari -
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah di
Tidak Ada Tidak Ada
derita

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Apatis
Nadi : 122 x/menit, reguler,
Pernapasan : 42 x/menit
Suhu : 36,9 °c
Berat Badan : 10 kg
Tinggi Badan : 85 cm
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Dispnea : tidak ada
Edema : tidak ada

Status Gizi

BB/U : Z score > -2 SD s/d Z score < 0 gizi

TB/U : Z score > -2 SD s/d Z score < 0 gizi

BB/TB : Z score > -2 SD s/d Z score < 0 gizi

Kesan : Gizi baik

25
Khusus
Kepala
Bentuk : Normocephal, simetris, lingkar kepala 44 cm
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Cekung (-), Pupil bulat isokor ø 3 mm, reflek cahaya
+/+ normal, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
edema palpebra -/-
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-).
Telinga : Sekret (-)
Mulut : mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).
Tenggorokan : T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.
Thorak

- Paru-paru
• Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi subcostal (-)
• Palpasi : fremitus kanan = kiri
• Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
• Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-), stridor (-)
- Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, voussure cardiac tidak terlihat
• Palpasi : Thrill tidak teraba, iktus tidak teraba
• Perkusi : Dalam batas normal
• Auskultasi : HR: 122 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur
(-), gallop (-).
- Abdomen
• Inspeksi : Datar
• Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : Bising usus (+) normal

26
• Lipat paha dan genitalia : Pembesaran KGB (-)
• Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema pretibial (-),
spastik (+), CRT < 2 detik

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan Tungkai kanan Tungkai Kiri Lengan kanan Lengan kiri

Gerakan Terbatas Terbatas Terbatas Terbatas


Kekuatan 3 4 3 4
Tonus Hipertoni Hipertoni Hipertoni Hipertoni
Klonus - -
Reflek fisiologis Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat
Reflek patologis Babinsky + Babinsky + - -
• Fungsi sensorik : Dalam batas normal
• Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
• GRM : Kaku kuduk (+), Brudzinsky I, II (+), Kernig
sign (-)

D. DIAGNOSIS KERJA
Meningitis Tuberkulosis
E. DIAGNOSIS BANDING
• Meningitis bakterialis
• Ensefalitis
F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
No Parameter Hasil Rujukan
1 Hb 11,6 g/dl 11,3-14,1 g/dl
2 Ht 26 % 37-41 %
3 Leukosit 25.300 / mm3 6.000-17.500 / mm3
4 Trombosit 562.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL
5 Natrium (Na) 144 mEq/L 135-155 mEq/L
6 Kalsium (Ca) 9,1 mg/dl 8,4 – 10,4 mg/dl
7 Laju Endap Darah 17 mm/jam 0 – 15 mm/jam
27
Pemeriksaan LCS

No Parameter Hasil Pemeriksaan


1 Volume 2 cc
2 Kejernihan Jernih
3 Bau Berbau
4 Berat jenis 1.019
5 pH 7,0
6 Jumlah Leukosit 500,0 sel/µl
7 Protein 1200 mg/dl
8 Glukosa 35 mg/dl

Pemeriksaan Mantoux Test


Pada uji Mantoux didapatkan hasil mantoux positif: 12mm
Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan :
- Trakea ditengah
- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- CTR<50%
- Hillus tidak melebar
- Corakan bronkvesikular tidak meningkat
- Tampak kedua infiltrate melebihi 1/3 lapangan paru kanan dan kiri
- Tulang dan Jaringan lunak baik
Kesan : TB Paru aktif

Pemeriksaan Kultur
• Hasil Mikroskopis: Gram (+) Basil (+)
• Hasil Biakan : mycobacterium tubercolosis

G. PENATALAKSANAAN
• Dexametasone 3 x 2 mg (iv)
28
• Parasetamol syrup 10-15 mg/kgbb; 3 x ¾ cth (7,5ml),
• R/H/Z/E 100 mg/75 mg/20 mg/125 mg.

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

29
BAB 3
DISKUSI

Seorang Pasien laki-laki datang ke RSUP Dr. M. Djamil padang dengan


keluhan penurunan kesadaran disertai muntah yang semakin meingkat sejak 2
hari SMRS. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang,
Dari anamnesis riwayat perjalanan penyakit didapatkan adanya riwayat
penurunan kesadaran, adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis baik
yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik, adanya gambaran klinis
yang ditemukan pada penderita sesuai dengan stadium yang mengindikasikan
meningitis tuberkulosis. Pada Meningitis tuberkulosis keluhan yang timbul
terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium prodormal selama 2-3
minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Stadium II
atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala ditandai
dengan nyeri kepala yang hebat dan adang disertai kejang terutama pada bayi
dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh
dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai
dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma hingga meninggal
dunia
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan hasil penderita nampak sakit
sedang, kesadaran apatis, nadi 122 x/menit dengan isi dan tegangan cukup,
pernafasan 42 x/menit, suhu 36,9ºC, berat badan 10 kg, panjang badan 85 cm.
Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
(-), mata cekung tidak ada, cor dan pulmo dalam batas normal, abdomen datar,
lemas dan cubitan kulit kembali cepat, dan pada ekstremitas akral dingin tidak
ada.
Pada pemeriksaan neurologikus didapatkan fungsi motorik pada tungkai
dan lengan berupa gerakan terbatas, kekuatan 3 untuk tungkai dan lengan kanan
serta 4 untuk tungkai dan lengan kiri, hipertoni pada keempat ekstremitas,
refleks fisiologis yang meningkat, dan pada tungkai didapatkan refleks babinsky
positif. Fungsi sensorik dan nervus craniales dalam batas normal. Gejala

30
rangsang meningeal berupa kaku kuduk (+), Brudzinsky I, II (+), Kernig sign (-).
Dari pemeriksaan fisik ditemukan gejala Stadium II meningitis
tuberkulosis seperti ditemukannya tanda-tanda infeksi intrakranial seperti
gangguan kesadaran, gangguan neurologis berupa refleks fisiologis yang
meningkat dan refleks babinsky + pada kedua tungkai. Hasil ini dapat
memperkuat kemungkinan telah terjadinya infeksi intrakranial berupa meningitis
dan dapat menyingkirkan kemungkinan kejang demam kompleks. Pada
pemeriksaan fisik juga terdapat demam, sehingga kemungkinan penyakit seperti
epilepsi dapat disingkirkan.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium, ditemukan peningkata LED yaitu
17mm/jam. Pada meningitis tuberkulosis biasa didapatkan anemia ringan dan
peningkatan laju endap darah pada 80% kasus. Pada pemeriksaan lumbal pungsi,
didapatkan warna cairan cerebrospinal jernih, berbau, jumlah leukosit 500,0 sel/µ,
protein 1,2 g/dl dan glukosa 35 mg/dl. Adanya temuan warna cairan yang jernih,
peningkatan kadar protein dan penurunan kadar glukosa memperkuat
kemungkinan diagnosis meningitis tuberkulosis. Selain dari hasil lumbal pungsi,
diagnosis pasti meningitis tuberkulosis didapat dari pemeriksaan kultur dengan
hasil ditemukannya bakteri gram (+) basil (+) mycobacterium tuberculosis.
Pada pemeriksaan rontgen toraks untuk mendapatkan gambaran fokus
infeksi didapatkan kesan TB paru aktif. Pada uji Mantoux juga didapatkan hasil
mantoux positif: 12mm (>10mm) mengindikasikan sedang atau pernah terinfeksi
mycobacterium tuberculosa.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini antara lain Obat Anti
Tuberkulosis rifampisin 100 mg, isoniazid 75 mg, etambutol 125 mg dan
pirazinamid 20 mg. Diberikan pula golongan glukokortikoid seperti
kortikosteroid dexametason 0,2-0,3 mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari selama
4–5 hari. Pada pasien ini diberikan deksametason 3 x 2 mg iv, antipiretik berupa
parasetamol sirup dengan dosis 10-15 mg/kgbb, pada pasien diberikan 3x ¾ cth
untuk mengatasi demam.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
31
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya. Ketika seseorang menderita Meningitis
Tuberkulosis biasanya akan sembuh dengan sekuele neurologis. Maka prognosis
pada pasien ini quo ad vitam dubia ad bonam dan quo ad fungsionam dubia ad
malam.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. 2005. Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak. Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI. Jakarta. P. 54-56.

2. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the Nervous
System in Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The
McGraw-Hill Companies. p403-408, p421-423.

3. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika. 2008.


Infeksi Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda
Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.

4. Amin, Z., Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

5. Kemenkes RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB).


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
364/Menkes/SK/V/2009.

6. Depkes RI. 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Gerakan


Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

7. Depkes RI. 2009. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis.


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

8. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition.


Lippincot William and Wilkins. p. 443.

9. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th
edition. IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.

33

Anda mungkin juga menyukai