STROKE VERTEBROBASILER
Diajukan oleh:
PUTU GEDE SUDIRA
11/326346/PKU/12873
BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
PRESENTASI KASUS NEUROTOLOGI
Oleh : dr. Putu Gede Sudira
Moderator : Prof. Dr. dr. Sri Sutarni, Sp.S(K)
Penilai : dr. Cempaka Thursina, Sp.S
Dr. dr. Ismail Setyopranoto, Sp.S (K)
Rabu, 25 Februari 2015
IDENTITAS
Nama : Ny. R
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Wirobrajan, Yogyakarta
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Masuk RS : 31 Januari 2015
No RM : 01.61.17.xx
ANAMNESIS
Diperoleh dari pasien (1 Februari 2015)
KELUHAN UTAMA
Pusing berputar
ANAMNESIS SISTEM
Sistem serebrospinal : pusing berputar hebat yang memberat dengan perubahan
posisi kepala dan leher, membuka mata, pusing hilang timbul,
durasi 5-15 menit, intensitas berat, disertai mual dan keringat
dingin
Sistem kardiovaskuler : riwayat tekanan darah tinggi dan serangan jantung
Sistem respirasi : tidak ada keluhan
Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
Sistem integumentum : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
RESUME ANAMNESIS
Seorang wanita, 68 tahun, dengan keluhan pusing berputar hebat yang disertai mual dan
keringat dingin, memberat dengan perubahan posisi kepala dan leher serta membuka mata,
intensitas berat, durasi 5-15 menit. Pasien memiliki penyakit penyerta berupa riwayat
serangan jantung, darah tinggi, diabetes melitus, dan kolesterol tinggi.
DISKUSI
Anamnesis yang dilakukan pada pasien mengarahkan pada keluhan utama berupa
sindroma vertigo vestibularis perifer yang manifestasi gejalanya meliputi sensasi pusing
berputar (spinning) hebat, disertai timbulnya gejala autonom keringat dingin, mual, dan
muntah, memberat dengan perubahan posisi kepala dan leher ataupun saat membuka mata.
Pasien memiliki penyakit penyerta yang sekaligus menjadi faktor risiko peyakit
kardiovaskular berupa riwayat serangan jantung (ACS), hipertensi, diabetes melitus, dan
dislipidemia.
Vertigo
Keluhan vertigo atau pusing berputar merupakan suatu ilusi gerakan yang dirasakan
oleh pasien, umumnya sensasi berputar ini akan meningkat saat terjadi perubahan posisi
kepala pasien. Definisi Perdossi untuk vertigo adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari
tubuh atau lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang timbul terutama dari jaringan
otonomik yang disebabkan gangguan alat keseimbangan tubuh. Vertigo dapat merupakan
suatu gejala mandiri tanpa ada gejala lain, tetapi dapat juga merupakan kumpulan gejala
(sindroma) yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, keringat
dingin, mual, muntah), dan pusing (Joesoef, 2003; Greenberg, 2001; Perdossi, 2000; Sutarni,
2006).
Salah satu teori terjadinya vertigo akibat adanya ketidaksesuaian informasi yang
dihantarkan oleh susunan saraf aferen ke pusat kesadaran. Jaringan saraf yang terlibat dalam
proses timbulnya vertigo adalah:
1. Reseptor alat keseimbangan tubuh. Berperan dalam mengubah rangsang menjadi impuls
bioelektrokimia, terdiri dari reseptor mekanis di vestibulum, reseptor cahaya di retina dan
reseptor mekanis atau propioseptik di kulit, otot, dan sendi.
2. Saraf aferen berperan dalam proses transmisi impuls dari reseptor ke pusat keseimbangan.
Terdiri dari saraf vestibularis, saraf optikus dan saraf spino-vestibulo-serebelaris.
3. Pusat keseimbangan. Berperan dalam modulasi, komparasi, koordinasi dan persepsi.
Letaknya di nukleus vestibularis, nukleus okulomotorius, formatio retikularis,
hipothalamus, serebelum, dan korteks serebri (Joesoef, 2003).
Penyebab vertigo terbanyak adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV),
neuritis vestibularis akut, labirintitis, Meniere’s disease, migraine serta reaksi ansietas.
Umumnya diagnosis vertigo tidaklah sulit, tetapi sulit mendiagnosis lokalisasi lesi dan sangat
sulit mendiagnosis etiologinya. Sifat vertigo ini hampir mirip satu dengan yang lainnya
sehingga memerlukan pengamatan yang teliti dan anamnesis yang lengkap agar diagnosis
dapat ditegakkan dan terapi dapat dipilih secara tepat.
Sampai saat ini, masih banyak pendapat para ahli mengenai gold standard dalam
penegakan diagnosis vertigo. Beberapa referensi menyatakan bahwa anamnesis dan beratnya
keluhan dapat dijadikan parameter. Anamnesis memegang peranan paling vital dalam
mendiagnosis vertigo, karena 50% lebih informasi yang berguna untuk diagnosis berasal dari
anamnesis. Bed side examination dapat mengarahkan diagnosis tipe vertigo, apakah vertigo
tipe sentral, perifer, ataukah vertigo tipe campuran (Harsono 2000; Perdossi, 2000; Sutarni,
2006).
Fisiologi alat keseimbangan
Informasi ditangkap oleh reseptor alat keseimbangan tubuh (reseptor vestibuler,
reseptor visual, dan reseptor propioseptik). Arus informasi berjalan sensitif bila ada gerakan
atau perubahan gerakan pada kepala atau tubuh. Akibat gerakan ini menyebabkan
perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya cilia dari hair cell akan menekuk.
Tekukan cilia akan menyebabkan perubahan permeabilitas membran hair cell sehingga ion
Ca2+ masuk ke dalam sel. Influks Ca2+ menyebabkan depolarisasi dan juga merangsang
pelepasan neurotransmiter eksitatorik (glutamat, aspartat, asetilkolin, histamin, substansia P,
dan lainnya) yang selanjutnya akan meneruskan impuls sensorik ini lewat saraf aferen
(vestibularis) ke pusat alat keseimbangan di otak dan timbullah persepsi. Bila semua dalam
keadaan sinkron dan wajar maka muncul respon berupa penyesuaian otot mata dan penggerak
tubuh, sehingga tidak terjadi vertigo (Joesoef, 2003).
Klasifikasi vertigo
Berdasar gejala klinis yang menonjol, vertigo dibagi 3 kelompok, yaitu : vertigo
paroksismal, vertigo kronis, dan vertigo dengan serangan akut berangsur berkurang tanpa
bebas keluhan (Harsono, 2000; Perdossi, 2000).
1. Vertigo paroksismal. Ciri khas berupa serangan mendadak, berlangsung selama
beberapa menit hingga hari, menghilang sempurna, suatu ketika muncul lagi, dan
diantara serangan penderita bebas dari keluhan. Berdasar gejala penyertanya dibagi :
a. Dengan keluhan telinga : tuli atau telinga berdenging: sindrom Meniere,
arachnoiditis pontoserebelaris, TIA vertebrobasilar, kelainan odontogen, serta
tumor fossa posterior.
b. Tanpa keluhan telinga : TIA vertebrobasilar, epilepsi, migraine, vertigo anak, dan
labirin picu.
c. Timbul dipengaruhi perubahan posisi : vertigo posisional paroksismal benigna.
2. Vertigo kronis. Ciri khas berupa serangan vertigo menetap lama, keluhan konstan
tidak membentuk serangan-serangan akut. Berdasar gejala penyerta dibagi :
a. Dengan keluhan telinga : OMC, tumor serebelopontin, meningitis TB, labirinitis
kronik serta lues serebri.
b. Tanpa keluhan telinga : kontusio serebri, hipoglikemia, ensefalitis pontis, kelainan
okuler, kardiovaskuler dan psikologis, post traumatik sindrom, intoksikasi, serta
kelainan endokrin.
c. Timbul dipengaruhi perubahan posisi : hipotensi orthostatik dan vertigo servikalis.
3. Vertigo serangan akut berangsur-angsur berkurang tapi tidak pernah bebas serangan.
Berdasarkan gejala penyertanya dibagi :
a. Dengan keluhan telinga : neuritis N.VIII, trauma labirin, perdarahan labirin,
herpes zooster.
b. Tanpa keluhan telinga : neuritis vestibularis, multipel sklerosis, oklusi arteri
serebeli inferior posterior, ensefalitis vestibularis, serta hematobulbi.
Pasien ini memberikan gejala utama yang mengarah ke sindrom vertigo vestibularis
perifer. Sensasi pusing berputar yang hebat yang muncul dan diperberat dengan perubahan
posisi kepala dan leher serta membuka mata, adanya gejala otonom (mual dan keringat
dingin). Namun pasien ini memiliki faktor risiko yang dapat merupakan pencetus terjadinya
vertigo vestibularis tipe sentral. Gejala otonom juga dapat terjadi pada kasus vertigo sentral.
Infark yang terjadi pada distribusi arteri postero inferior serebelaris dan arteri anteroposterior
serebelaris selalu menyebabkan vertigo berat, mual dan muntah (Joesoef, 2003).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
BPPV adalah salah satu jenis vertigo vestibuler tipe perifer yang paling sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari (sekitar 20-30%), ditandai dengan serangan-serangan yang
menghilang secara spontan (Bintoro, 2006). Pada penyakit ini perubahan posisi kepala,
terlebih bila telinga yang terlibat ditempatkan disebelah bawah akan menimbulkan vertigo
yang berlangsung singkat yang disertai mual dan muntah, tidak dikeluhkan adanya tinnitus
maupun penurunan fungsi pendengaran (Lumbantobing, 2007).
Serangan BPPV dapat dicetuskan oleh perubahan sikap, misalnya bila penderita
berguling ditempat tidur, menoleh kepala, melihat ke bawah dan menengahkan. Dapat
muncul tiap perubahan kepala namun biasanya paling berat pada sikap berbaring pada sisi
telinga yang terlibat berada dibawah. Disertai rasa tidak seimbang yang berat, namun
penderita jarang sampai kehilangan kontrol dari sikapnya dan jatuh. Serangan akan mereda
bila penderita terus mempertahankan sikap atau posisi pencetusnya, namun penderita
umumnya segera merubah sikap atau posisinya untuk menghindari sensasi yang tidak
menyenangkan ini (Lumbantobing, 2007).
Penyebab BPPV sebagian besar (50%) adalah idiopatik. Beberapa karena trauma leher,
kepala, infeksi telinga tengah, ototoksisitas, Meniere, pasca operasi, mastoiditis kronis atau
insufisiensi vertebrobasiler (Perdossi, 2002).
Insufisiensi Vertebrobasilar
Insufisiensi vertebrobasilar merupakan salah satu penyebab utama vertigo dan
gangguan keseimbangan pada orang tua. Sistem pembuluh darah ini memperdarahi bagian
perifer maupun sentral dari sistem vestibular. Penyebabnya kebanyakan adalah aterosklerosis,
penyebab lain adalah osteofit yang menekan arteri vertebralis. Gejala klinisnya berupa
vertigo yang disertai tanda-tanda defisit batang otak seperti diplopia, disartria, disfagia,
ataksia, hemianopia homonim (Perdossi, 2002).
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinik : Pusing berputar, hilang timbul, durasi ± 5-15 menit, intensitas berat,
memberat dengan perubahan posisi kepala dan membuka mata,
disertai mual dan keringat dingin
Diagnosis topik : Suspek organon vestibularis perifer DD sentral
Diagnosis etiologik : BPPV DD insufisiensi vertebrobasiler
Status Mental
Kewaspadaan : alert
Observasi perilaku
I. Perubahan perilaku : tidak ditemukan
II. Status mental
- Tingkah laku umum : normoaktif
- Alur pembicaraan : teratur
- Perubahan mood dan emosi : normal
- Isi pikiran : realistik
- Kemampuan intelektual : baik
Sensorium:
1. Kesadaran : compos mentis
2. Atensi : baik
3. Orientasi : baik
4. Memori jangka panjang : baik
5. Memori jangka pendek : baik
6. Kecerdasan berhitung : baik
7. Simpanan informasi : baik
8. Tilikan, keputusan, rencana : baik
MMSE 27/30
ADL 0
IADL 0
FAQ 2
MoCA-Ina 27/30
Status Neurologis
Kesadaran : compos mentis, E4V5M6
Sikap tubuh : normal dan simetris
Kepala leher : mesocephal, tragus pain (-), bising karotis (-), kaku kuduk (-), deformitas (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
AL 7,9 x 103/uL Albumin 4,48 mg/dL
HB 12,5 g/dl BUN 11 mg/dL
AT 221 x 103/uL Creatinin 0,59 mg/dL
AE 4,2 x 106/uL GDP 192 mg/dL (↑)
Hematokrit 37,3 % GD2JPP 235 mg/dL (↑)
Neutrofil 76,9 % HbA1C 12,4% (↑)
Limfosit 18,1 % SGOT 14
Monosit 3,1 % SGPT 17
Eosinofil 1,9 % Na+ 146 mmol/L
Basofil 0,1 % K+ 3,5 mmol/L
Kolesterol total 180 mg/dL Cl- 105 mmol/L
HDL 35 mg/dL PPT 12,3
LDL 128 mg/dL INR 0,86
Triglisrida 203 mg/dL (↑) APTT 24,4
Asam urat 3,7 mg/dL
Pemeriksaan EKG (31 Januari 2015)
Kesan
NSR 68x/menit.
LVH dengan RBBB
Kesan
Pulmo dalam batas normal
Kardiomegali (CTR > 0,5)
Kesan :
Spondiloarthrosis cervicalis
Pemeriksaan CT Scan Kepala (31 Januari 2015)
Kesan :
Atrofi cerebri
PENATALAKSANAAN
Sindroma Vertigo
Penatalaksanaan pasien dengan vertigo meliputi terapi simptomatik, terapi kausal, dan
selanjutnya terapi rehabilitatif. Kebanyakan kasus vertigo tidak diketahui penyebabnya, bila
penyebabnya diketemukan, maka terapi kausal merupakan pilihan utama. Terapi simptomatik
ditujukan untuk 2 hal utama, yaitu rasa vertigo dan gejala otonom (mual, muntah).
Mekanisme kompensasi sentral akan menyebabkan gejala berkurang, namun pada fase akut
terapi simptomatis sangat diperlukan untuk kenyamanan, ketenangan pasien dan segera dapat
memobilisasi pasien dalam rangka rehabilitasi. Terapi simptomatis hendaknya tidak
berlebihan agar mekanisme kompensasi tidak terhalang.
Pemilihan obat vertigo tergantung dari titik tangkap kerja obat, berat vertigo, fase dan
tipe vertigo. Berikut mekanisme kerja obat anti vertigo:
a. Ca entry blocker bekerja dengan cara mengurangi eksitatori SSP dengan menekan
pelepasan glutamat dan bekerja langsung sebagai depresor labirin. Digunakan untuk
kasus vertigo sentral atau perifer, contoh : flunarizin.
b. Antihistamin memiliki efek antikolinergik dan merangsang inhibitori monoaminergik
yang menimbulkan inhibisi pada nukleus vestibularis, contoh : sinarizin,
dimenhidrinat, prometazin.
c. Antikolinergik bekerja untuk mengurangi eksitabilitas neuron dengan menghambat
jaras eksitatorik-kolinergik ke nukleus vestibularis yang bersifat kolinergik
mengurangi respon nukleus vestibularis terhadap rangsang, contoh : skopolamin dan
atropin.
d. Monoaminergik memiliki efek merangsang jaras inhibitori monoaminergik pada
nukleus vestibularis, sehingga berakibat mengurangi eksitabilitas neuron, contoh :
amfetamin dan efedrin.
e. Antidopaminergik bekerja pada chemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di
medula oblongata, contoh : klorpromazine dan haloperidol.
f. Benzodiazepin akan menurunkan resting aktifitas neuron pada nukleus vestibularis
dengan menekan retikular fascilitatory system, contoh : diazepam.
g. Histaminik menginhibisi neuron polisinaptik pada nukleus vestibularis lateralis,
contoh : betahistin mesilat
h. Antiepileptik bekerja dengan meningkatkan ambang, khususnya pada vertigo akibat
epilepsi lobus temporalis, contoh : karbamazepin dan fenitoin.
Terapi rehabilitatif bertujuan meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pasien
dengan gangguan vestibuler. Mekanisme kerja melalui:
a. Substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensori untuk fungsi vestibuler yang
terganggu.
b. Mengaktifkan kendali tonus nukleus vestibularis oleh serebelum, sistem visual, dan
somatosensori.
c. Menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimuli sensorik yang
berulang-ulang.
Terapi (vestibuler exercise) yang diberikan berupa : metode Brandt-Daroff, metoda Hallpike-
Epley manuver, latihan visual vestibuler, dan latihan berjalan (Joesoef, 2003).
Stroke Akut
Prinsip penatalaksanaan stroke pada fase akut meliputi :
1. Membantu proses restorasi dan plastisitas otak. Tahap ini bertujuan mempertahankan
wilayah oligemia iskemik penumbra dengan cara membatasi durasi kejadian iskemik
dan derajat keparahan cedera iskemik (proteksi neuronal). Mencegah kondisi
hipertermi, hipotermi, hipertensi, hiperglikemia, hipoglikemia, peningkatan tekanan
intrakranial, infeksi, gangguan elektrolit, dan kejang.
2. Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi ke level normal. Sebagai
contoh, pasien dengan hipertensi, target pengendalian tekanan darah setelah lewat fase
akut stroke hingga dibawah 140/90 mmHg, apabila pasien sebelumnya menderita
hipertensi dan diabetes melitus maka dipertahankan dibawah 135/85 mmHg.
3. Mencegah komplikasi
Komplikasi yang kerap terjadi pada pasien dengan stroke yang harus tirah baring
adalah pneumonia, dekubitus, infeksi saluran kemih. Pasien mutlak harus dilakukan
tindakan fisioterapi. Pada fase akut pasien belum dapat berpartisipasi penuh pada
program terapi aktif, untuk itu dilakukan latihan ROM (range of motion) setiap hari
dan positioning yang tepat untuk mencegah pemendekan dan kontraktur sendi. Terapi
aktif dapat dilakukan perlahan-lahan (isometrik, isotonik, isokinetik). Pasien tetap
dimonitor untuk kemungkinan tidak stabilnya hemodinamik dan aritmia jantung,
intensitas latihan juga harus dimonitor, karena otot yang terlalu keras berlatih justru
akan membuat kelemahan semakin progresif.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah :
1. Non Medikamentosa
- Motivasi keluarga dan pasien
- 02 3 Lt/menit NK dengan Posisi kepala 30o
- Diet DM 1500 kalori dengan IVFD NaCl 0,9 % 16 tpm
- Metode Brandt-Daroff
- Fisioterapi aktif
2. Medikamentosa
- Inj. Citicolin 500 mg/ 12 jam (iv)
- Inj. Levemir 30 unit – 0 - 0
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Flunarizin 2 x 5 mg
- Captopril 3 x 25 mg
- Amlodipin 1 x 5 mg
- Bisoprolol 1 x 2,5 mg
- Fenofibrat 1 x 300 mg
PROGNOSIS
Frekuensi, insidensi, dan prevalensi sindrom vertebrobasilar bervariasi tergantung pada
area spesifik dan sindrom terlibat. Sebagian besar penelitian melaporkan mortalitas pasien
dengan oklusi arteri basilar pada angka 75-80%. Sebagain besar individu yang selamat dari
oklusi arteri basilar mengalami disabilitas yang berat dan persisten (Kamper et al., 2008).
Dari berbagai faktor diatas, maka prognosis pasien ini sebagai berikut :
Death : bonam
Disease : bonam
Disability : bonam
Discomfort : malam
Dissatisfaction : malam
Distitution : bonam
Follow Up
Tanggal 31/01/2015 01/02/2015 04/02/2015 07/02/2015
Keluhan Pusing berputar, Pusing berputar Pusing berputar Pusing berputar
mual, membaik minimal
KU Lemah, CM, Lemah, CM, Sedang, CM, Sedang, CM,
E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6
Tanda vital TD 140/80 TD 160/90 TD 120/80 TD 120/80
RR 20x/m RR 22x/m RR 18x/mnt RR 24x/m
Nadi 68 (r) Nadi 80 (r) Nadi 80 (r) Nadi 82 (r)
T 36.8 T 36,4 t 36,6 T 36,4
Nn.craniales Normal Normal Normal Normal
Gerak dan 5 4+ 4 +
4+ 4 +
4+ 4 +
4+
Kekuatan 5 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+ 4+
R.fisiologis +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1
+1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1
R.patologis - - - - - - - -
- - - - - - - -
Hasil Lab BUN 11 GDP 240 GDP 174 GDP 192
Crea 0,59 GD2JPP 365 GD2JPP 192 GD2JPP 235
A.urat 3,7 HbA1C 12,4 Na+ 139
+ +
Na 146 PPT 12,3 K 3,5
K+ 3,4 INR 0,86 Cl- 108
Cl- 105 APTT 24,4
SGOT 21
SGPT 37
Problem Vertigo Vertigo Vertigo Pasien rawat jalan
Hipertensi DM Vertigo
Insufisiensi Hipertensi dalam DM
vertebrobasilar terapi Hipertensi dalam
DM terapi
Plan Inj.Citicolin 500 Terapi lanjut Terapi lanjut Terapi lanjut
mg/12 jam (iv) Clopidogrel 1x75 mg Inj. Levemir 30–0-0
Flunarizin 2 x 5 Captopril 3 x 25 mg unit
mg Amlodipin 1 x 5 mg Fenofibrat 1x300 mg
Bisoprolol 1x 2,5 mg
DAFTAR PUSTAKA
Bintoro CA, Rahmawati D., 2006. Vertigo, Badan Penerbit UNDIP, Semarang
Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press,
Jogjakarta
Kamper, L., Rybacki, K., Mansour, M., Winkler, S.B., Kempkes, U., Haage, P., 2008. Time
management in acute vertebrobasilar occlusion. Cardiovasc Intervent Radiol. 2008;32(2):226-
232
Joesoef, A.U., 2002. Neurootologi Klinis – Vertigo, Airlangga University Press, PERDOSSI
Joesoef, A.A., 2003. Tinjauan Neurobiologi molekuler dari Vertigo. Makalah Konas V
Perdossi, Bali
Perdossi, 2002. Neuro-Otologi Klinis Vertigo. Kelompok Studi Vertigo. Pengurus Pusat
PERDOSSI
Sutarni, 2006. Diagnosa dan Manajemen Vertigo, dalam : Simposium Nyeri Kepala, Nyeri, dan
Vertigo Perdossi, Surabaya