Disusun oleh :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thaharah merupakan cara mensucikan diri dari hadats besar maupun hadats kecil.
Pengertian thaharah sendiri ialah bersuci atau bersih. Pada hakikatnya tujuan bersuci
adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan
sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada
Allah SWT. Thaharah ialah wajib bagi setiap umat islam. Ini merupakan bahwa Islam
sangat menghargai kebersihan jasmani dan rohani. Terdapat banyak cara mensucikan
diri dari najis dan hadats.
Disini kami akan membahas mengenai kaifiat (cara) bersuci yang meliputi media bersuci
seperti volume air, media tayammum, membersihkan najis mughallazah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian thaharah?
2. Berapa banyak volume air dalam bersuci?
3. Apa pengertian Tayammum?
4. Apa Dalil pensyariatan Tayammum?
5. Apa media tayammum?
6. Apa itu Najis Mughallazah?
7. Bagaimana cara membersihkan Najis Mughallazah?
Bab III
PEMBAHASAN
Artinya: “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)
1. Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan
tayamum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.
1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2019, hlm. 13.
kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Jawab Rasulullah SAW., “Air
laut itu suci lagi menyucikan, bangkainya halal dimakan.” (HR. Lima ahli hadits
menurut keterangan Tirmidzi, hadits ini shahih.)
Artinya: “tatkala Nabi SAW. Ditanya bagaimana hukumnya sumur buda’ah beliau
berkata, “airnya tidak dinajisi suatu apapun.” (HR. Tirmidzi dan katanya hadits
hasan.)
C. Pengertian tayammum
Menurut bahasa, tayammum berarti menyengaja. Sedangkan menurut terminologi
syara’, ia berarti menyengajakan diri menyentuh debu yang suci untuk mengusap wajah
dan kedua tangan dengan sekali atau dua kali sentuhan, dengan niat agar memperoleh
kebolehan melakukan sesuatu yang sebelumnya terhalang oleh adanya hadats, bagi
orang yang tidak menemukan air atau takut adanya bahaya apabila menggunakannya. 3
D. Dalil Pensyariatannya
Tayammum ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.
Artinya: dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun.” ( Q.S. An-Nisa
(4): 43)
Sedangkan dari sunnah adalah hadis narasi Jabir dibawah nanti.
Sementara dari ijma’, para ulama telah sepakat secara bulat bahwa tayammum
disyariatkan sebagai pengganti wudhu dan mandi dalam kondisi-kondisi tertentu.
E. Media Tayammum
Sudah dimaklumi media yang digunakan bertayammum adalah ash-shaid ath-thayyib
(permukaan bumi yang bersih (baik)), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT.
Artinya: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu.” (Q.S. Al-Maidah: 5/6)
2
Moh Rifai, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2012, hlm. 14.
3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2015, hlm.
99.
Artinya: “dijadikan (permukaan) bumi seluruhnya bagiku dan umatku sebagai tempat
untuk sujud dan media atau alat bersuci.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 22190,
dinyatakan shahih lighairihi oleh syaikh syu’aib al arnauth.)
Oleh karena itu ada ijma’ dari para ulama tentang bolehnya bertayammum dengan
debu yang bersih, seperti disampaikan oleh Ibnul Mundzir dalam pernyataan beliau,
“Para Ulama berijma’ (bersepakat) bahwa tayammum dengan tanah yang berdebu
diperbolehkan.4
Demikian juga Ibnu Adilbarr t menyatakan: ulama ahli fikih bersepakat bahwa
tayammum dengan debu diperbolehkan. 5
Kesepakatan para ulama ini didasarkan kepada Hadits Hudzaifah Ibnul Yaman r.a., Nabi
SAW. Bersabda:
Artinya: “dan dijadikan debunya sebagai media atau alat bersuci untuk kita, apabila
tidak mendapatkan air.” (HR. Muslim no. 522)
Ijma’ para Ulama ini berkenaan dengan penggunaan debu sebagai media tayammum,
sedangkan selain debu yang ada dipermukaan tanah, maka terjadi perbedaan pendapat
para Ulama Fikih tentang kebolehan penggunaannya sebagai alat dan media
tayammum dalam tiga pendapat:
4
Al-Ijma, hlm. 36. Dan Al-Ausath 2/37
5
At-Tahmid 19/290
6
Al-Fatawa Al-Kubra 5/309 dan Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; Kara
Al-Ba’li, hlm. 20.
7
Lihat Subulus Salam Al-Mausulatu Ila Bulughil Maram 1/351-352.
8
Lihat Ats-Tsamul Mustathob fi Fiqhis Sunnah Wal Kitab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani
1/31.
9
Lihat Taudihul Ahkam Min Bulughil Maram 1/414.
10
Lihat Fatawa Islamiyah 1/277.
11
Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy, hlm. 38.
12
Lihat Al Wajiz Fi Fiqhil Kitab Was Sunnah, hlm. 56.
Pendapat kedua: tidak diperbolehkan tayammum dengan selain debu yang bisa
menempel ditangan. Inilah pendapat Abu Yusuf raimahullah dari ulama Hanafiyah,
pendapat Syafiiyah dan Hanabilah.13
F. Najis Mughallazah
Ialah najis anjing dan babi serta seluruh keturunannya. 14
BAB III
PENUTUP
13
Al-Mabsuth 1/108, Al-Majmu 2/170 dan Al-mughni 1/324
14
Moh Rifai, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2012, hlm. 14.
15
Ibid,. hlm. 15
A. Kesimpulan
Dalam hukum islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan
amalan yang penting, terutama karena diantara syarat-syarat shalat telah ditetapkan
bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadats dan suci
pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. 16
Artinya: “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)
3. Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan
tayamum.
4. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.
DAFTAR PUSTAKA
16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2019, hlm. 13.
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah,
2015
Rifai, Moh, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2012.