Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH MUQARRANAH MAZAHIB FIL IBADAH

“Memahami Kaifiyat Bersuci Dalam Islam”

Disusun oleh :

Aji Prasetyo (1830102036)

Nike ardiana (1830102048)

Dosen Pengampuh : DR. CHOLIDI, MA

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2020-2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Thaharah merupakan cara mensucikan diri dari hadats besar maupun hadats kecil.
Pengertian thaharah sendiri ialah bersuci atau bersih. Pada hakikatnya tujuan bersuci
adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan
sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada
Allah SWT. Thaharah ialah wajib bagi setiap umat islam. Ini merupakan bahwa Islam
sangat menghargai kebersihan jasmani dan rohani. Terdapat banyak cara mensucikan
diri dari najis dan hadats.
Disini kami akan membahas mengenai kaifiat (cara) bersuci yang meliputi media bersuci
seperti volume air, media tayammum, membersihkan najis mughallazah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian thaharah?
2. Berapa banyak volume air dalam bersuci?
3. Apa pengertian Tayammum?
4. Apa Dalil pensyariatan Tayammum?
5. Apa media tayammum?
6. Apa itu Najis Mughallazah?
7. Bagaimana cara membersihkan Najis Mughallazah?
Bab III

PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah (bersuci)


Dalam hukum islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan
amalan yang penting, terutama karena diantara syarat-syarat shalat telah ditetapkan
bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadats dan suci
pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. 1

Firman Allah SWT.:

Artinya: “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)

Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:


a. Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya.
b. Kaifiat (cara) bersuci.
c. Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d. Benda yang wajib disucikan.
e. Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

Bersuci ada dua bagian

1. Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan
tayamum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

Macam-macam Air dan pembagiannya

1. Air yang suci dan menyucikan


Air yang demikian boleh diminum dan sah dipakai untuk menyucikan
(membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari
bumi dan masih tetap (belum berubah) keadaannya, seperti air hujan, air laut, air
sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata
air.
Firman Allah SWT.:
Artinya: “dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan
kamu dengan hujan itu.” (Q.S. Al-Anfal: 11)

Sabda Rasulullah SAW.:


Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. telah bertanya seorang laki-laki kepada Rasulullah
SAW. Kata laki-laki itu, “Ya Rasulullah, kami berlayar di laut dan kami hanya
membawa air sedikit, jika kami pakai air itu untuk berwudhu, maka kami akan

1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2019, hlm. 13.
kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Jawab Rasulullah SAW., “Air
laut itu suci lagi menyucikan, bangkainya halal dimakan.” (HR. Lima ahli hadits
menurut keterangan Tirmidzi, hadits ini shahih.)

Artinya: “tatkala Nabi SAW. Ditanya bagaimana hukumnya sumur buda’ah beliau
berkata, “airnya tidak dinajisi suatu apapun.” (HR. Tirmidzi dan katanya hadits
hasan.)

Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci-menyucikan”


walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga
(warna, rasa, dan baunya) adalah sebagai berikut:
a. Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu
belerang.
b. Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
c. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan
atau kiambang (tumbuhan).
d. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar
memeliharanya, misalanya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari
pohon-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.
2. Air suci, tetapi tidak menyucikan
Zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk
dalam bagian ini ada tiga macam air, yaitu:
a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu
benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas, seperti air kopi,
teh, dan sebagainya.
b. Air sedikt, air kurang dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadats
atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu berubah sifatnya dan tidak
pula bertambah timbangannya.
c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan
pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.
3. Air yang bernajis
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi,
baik airnya sedikit ataupun banyak, sebab hukumnya seperti najis.
b. Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit berarti
kurang dua kulah- tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan
najis.
Kalau air itu banyak, berarti dua kulah atau lebih, hukumnya tetap suci dan
menyucikan.

Sabda Rasulullah SAW.:


Artinya: “Air itu tak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau
baunya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
4. Air yang makruh
Yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air
ini makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian: kecuali air
yang terjemur di tanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang
bukan bejana yang mungkin berkarat.
Sabda Rasulullah SAW.:
Artinya: “Dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya
matahari, maka Rasulullah SAW. Berkata kepadanya, janganlah engkau berbuat
demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan
penyakit sopak.” (HR. Baihaqi)

B. Volume Air dalam bersuci


Ialah dua kulah yang mana sama dengan 217 liter, jika berbentuk bak, maka besarnya =
panjang 62,4 cm, lebar 62,4 cm dan dalam atau tinggi 62,4 cm atau melebihinya, 2

C. Pengertian tayammum
Menurut bahasa, tayammum berarti menyengaja. Sedangkan menurut terminologi
syara’, ia berarti menyengajakan diri menyentuh debu yang suci untuk mengusap wajah
dan kedua tangan dengan sekali atau dua kali sentuhan, dengan niat agar memperoleh
kebolehan melakukan sesuatu yang sebelumnya terhalang oleh adanya hadats, bagi
orang yang tidak menemukan air atau takut adanya bahaya apabila menggunakannya. 3

D. Dalil Pensyariatannya
Tayammum ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT.:

Artinya: dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun.” ( Q.S. An-Nisa
(4): 43)
Sedangkan dari sunnah adalah hadis narasi Jabir dibawah nanti.
Sementara dari ijma’, para ulama telah sepakat secara bulat bahwa tayammum
disyariatkan sebagai pengganti wudhu dan mandi dalam kondisi-kondisi tertentu.

E. Media Tayammum
Sudah dimaklumi media yang digunakan bertayammum adalah ash-shaid ath-thayyib
(permukaan bumi yang bersih (baik)), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT.

Artinya: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu.” (Q.S. Al-Maidah: 5/6)

Juga diisyaratkan dalam sabda Rasulullah SAW.:

2
Moh Rifai, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2012, hlm. 14.
3
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2015, hlm.
99.
Artinya: “dijadikan (permukaan) bumi seluruhnya bagiku dan umatku sebagai tempat
untuk sujud dan media atau alat bersuci.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 22190,
dinyatakan shahih lighairihi oleh syaikh syu’aib al arnauth.)

Oleh karena itu ada ijma’ dari para ulama tentang bolehnya bertayammum dengan
debu yang bersih, seperti disampaikan oleh Ibnul Mundzir dalam pernyataan beliau,
“Para Ulama berijma’ (bersepakat) bahwa tayammum dengan tanah yang berdebu
diperbolehkan.4
Demikian juga Ibnu Adilbarr t menyatakan: ulama ahli fikih bersepakat bahwa
tayammum dengan debu diperbolehkan. 5
Kesepakatan para ulama ini didasarkan kepada Hadits Hudzaifah Ibnul Yaman r.a., Nabi
SAW. Bersabda:

Artinya: “dan dijadikan debunya sebagai media atau alat bersuci untuk kita, apabila
tidak mendapatkan air.” (HR. Muslim no. 522)

Ijma’ para Ulama ini berkenaan dengan penggunaan debu sebagai media tayammum,
sedangkan selain debu yang ada dipermukaan tanah, maka terjadi perbedaan pendapat
para Ulama Fikih tentang kebolehan penggunaannya sebagai alat dan media
tayammum dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: diperbolehkan menggunakan semua yang ada dipermukaan tanah


dan semua yang ada diatasnya, seperti debu, pasir, batu atau tembok yang sejenisnya.
Inilah pendapat Mazhab Al-Hanafiyah, Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Al-
Hanabilah apabila tidak mendapatkan debu serta dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah.6 Asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar 1/305-306), Al-Amir
As-Shanani rahimahullah.7 Syaikh Al- Albani rahimahullah.8 Syaikh Abdullah Alu Bassam
rahimahullah.9 Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah. 10 Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al
Fauzan.11 Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Khalafiy. 12

Dalil pendapat ini adalah:

1. Firman Allah SWT.:


Artinya: “maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih).”
(Q.S. Al-Maidah: 5/6)
2. Hadits Imran bin Hushain r.a. bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya: “gunakanlah permukaan bumi yang baik, karena itu mencukupkanmu.”
(HR. Al-Bukhari no. 344)

4
Al-Ijma, hlm. 36. Dan Al-Ausath 2/37
5
At-Tahmid 19/290
6
Al-Fatawa Al-Kubra 5/309 dan Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah Min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; Kara
Al-Ba’li, hlm. 20.
7
Lihat Subulus Salam Al-Mausulatu Ila Bulughil Maram 1/351-352.
8
Lihat Ats-Tsamul Mustathob fi Fiqhis Sunnah Wal Kitab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani
1/31.
9
Lihat Taudihul Ahkam Min Bulughil Maram 1/414.
10
Lihat Fatawa Islamiyah 1/277.
11
Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy, hlm. 38.
12
Lihat Al Wajiz Fi Fiqhil Kitab Was Sunnah, hlm. 56.
Pendapat kedua: tidak diperbolehkan tayammum dengan selain debu yang bisa
menempel ditangan. Inilah pendapat Abu Yusuf raimahullah dari ulama Hanafiyah,
pendapat Syafiiyah dan Hanabilah.13

Dalil pendapat ini adalah:

1. Firman Allah SWT.


Artinya: “maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih).”
(Q.S. Al-Maidah: 6)
2. Hadits Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya: “dijadikan untukku debu sebagai alat bersuci.” (HR. Ahmad dalam
musnad no 763, al Baihaqi dalam as-Sunan Al-Kubra 1/213 dan dishahihkan al-
albani t dalam silsilah ahadits shahihah no. 3939)

Pendapat ketiga: hanya diperbolehkan menggunakan debu dan pasir saja,


sedangkan selainnya tidak diperbolehkan, inilah satu dari pendapat Abu Yusuf
rahimahullah dari kalangan Hanafiyah dan satu riwayat dalam mazhab
Hanabilah (Mukhtashar Al-Qaduri hlm 51 dan al-Inshaf 1/271)

F. Najis Mughallazah
Ialah najis anjing dan babi serta seluruh keturunannya. 14

G. Cara membersihkan Najis Mughallazah


Sesuatu yang terkena najis mughallazah, seperti jilatan atau kotoran anjing dan babi,
cara menyucikannya adalah harus dengan menghilangkan benda najisnya terlebih
dahulu lalu membasuhnya dengan air 7 kali basuhan dan salah satu basuhannya harus
dicampur dengan tanah yang suci.15

BAB III

PENUTUP
13
Al-Mabsuth 1/108, Al-Majmu 2/170 dan Al-mughni 1/324
14
Moh Rifai, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2012, hlm. 14.
15
Ibid,. hlm. 15
A. Kesimpulan
Dalam hukum islam, soal bersuci dan segala seluk-beluknya termasuk bagian ilmu dan
amalan yang penting, terutama karena diantara syarat-syarat shalat telah ditetapkan
bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadats dan suci
pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. 16

Firman Allah SWT.:

Artinya: “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)

Perihal bersuci meliputi beberapa perkara berikut:


f. Alat bersuci, seperti air, tanah, dan sebagainya.
g. Kaifiat (cara) bersuci.
h. Macam dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
i. Benda yang wajib disucikan.
j. Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.

Bersuci ada dua bagian

3. Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus untuk badan, seperti mandi, berwudhu, dan
tayamum.
4. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

DAFTAR PUSTAKA

16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2019, hlm. 13.
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah,
2015

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2019.

Rifai, Moh, Risalah Tuntunan Sholat Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2012.

Anda mungkin juga menyukai