Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

URGENSI ULUMUL HADITS, PENGERTIAN DAN SINONIM


HADITS, SERTA FUNGSI, KEDUDUKAN, DAN
PERBADINGAN HADITS DENGAN AL-QUR’AN

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Ulumul Hadits”

Dosen Pengampu:
Munirah, S. Th. I, M. Hum

Disusun Oleh : Kelompok 1


Qaribkhaliq Maulana : (19.04.06708)
Rahmad Budiman : (19.04.06709)
Rio Rizaldi : (19.04.06710)
Toni : (19.04.06712)
Zainul Arifin : (19.04.06713)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


RASYIDIYAH KHALIDIYAH AMUNTAI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Urgensi
Ulumul Hadits, Pengertian Dan Sinonim Hadits, Serta Fungsi, Kedudukan, Dan
Perbadingan Hadits Dengan Al-Qur’an” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari Ibu Munirah, S. Th. I, M.
Hum, selaku dosen mata kuliah “Ulumul Hadits”.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya.

Amuntai, 10 September 2020

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................2

C. Tujuan..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Urgensi ulumul hadits.....................................................................................3

B. Pengertian hadits.............................................................................................3

C. Sinonim Hadits................................................................................................5

a. Sunnah.......................................................................................................5

b. Khabar.......................................................................................................6

c. Atsar..........................................................................................................7

D. Persamaan dan Perbedaan Pengertian Hadits dan Sinonimnya......................8

E. Fungsi, kedudukan dan perbandingan hadits dengan al-qur’an......................9

a. Fungsi........................................................................................................9

b. Kedudukan...............................................................................................12

c. Perbandingan Hadits Dengan Al-Qur’an................................................13

BAB III PENUTUP...............................................................................................15

A. Kesimpulan...................................................................................................15

B. Saran..............................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ulumul hadist adalah salah satu bidang study atau mata kuliah yang sangat
penting bagi para pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari hadist dan
keislaman secara mendalam. Ulumul hadist merupakan ilmu yang mengantar
umat islam untuk memahami kajian hadist dengan mudah dan benar. Dengan
demikian memahami Ulumul Hadist sangat penting, karena hadits merupakan
sumber ke dua setelah Al-qur’an. Manusia dalam hidupnya membutuhkan
berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam
yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian
besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya
secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat
otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Allah telah menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang
selalu menjaga Alquran dan hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur,
amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian
lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya,
mereka adalah para ahli hadis. Salah satu bentuk nyata para ahli hadis ialah
dengan lahirnya istilah Ulumul Hadis(Ilmu Hadis) yang merupakan salah satu
bidang ilmu yang penting di dalam Islam, terutama dalam mengenal dan
memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena hadis merupakan sumber ajaran dan
hukum Islam kedua setelah dan berdampingan dengan Alquran.
Sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis, perlu dikaji dan diteliti
keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada kesia-siaan. Adapun salah satu
cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dengan yang ditolak adalah
dengan mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang memuat segala
permasalahan yang berkaitan dengan hadis.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa manfaat atau urgensi mempelajari Ulumul Hadits?
2. Apa pengertian dan sinonim Hadits?
3. Bagaimana fungsi, kedudukan dan perbandingan hadits dengan al-qur’an?

C. Tujuan
1. Untuk memahami manfaat atau urgensi mempelajari Ulumul Hadits
2. Untuk memahami pengertian dan sinonim Hadits
3. Untuk memahami fungsi, kedudukan dan perbandingan hadits dengan al-
qur’an

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Urgensi ulumul hadits
Tujuan mempelajari ilmu hadits adalah untuk mengetahui hadits-hadits
yang shahih , yakni mengetahui keadaan dari suatu hadits, apakah hadits tersebut
shahih, hasan, atau bahkan dhaif (lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai
pegangan).
Sedangkan secara rinci, tujuan mempelajari ilmu hadits antara lain:
1. Mengetahui istilah-istilah yang disepakati para ulama dalam menilai,
menyaring (filterisasi) dan mengklarifikasikan ke dalam beberapa
macam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan
hadits yang diterima dan mana yang bukan hadits
2. Mengetahui kaidah-kaidah yang disepakati para ulama dalam menilai,
menyaring (filterisasi) dan mengklarifikasikan ke dalam beberapa
macam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sanad dan matan
hadits, sehingga dapat menyimpulkan mana hadits yang diterima dan
mana yang ditolak.
3. Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama
dalam menerima dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian
menghimpun dan mengodifikasikannya ke dalam berbagai kitab hadits.
4. Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits baik riwayah ataupun dirayah yang
mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits
sebagai sumber syari’ah islamiyah sehingga hadits terpelihara dari
pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab.

B. Pengertian hadits
Dalam kamus besar bahasa Arab [al-‘ashri], kata hadits berasal dari
bahasa Arab “al-hadits” yang berarti baru, berita.. Hadits secara bahasa terkadang
diartikan dengan al-jadid (yang baru) sebagai kebalikan dari al-qadim (yang

3
lama). Selain itu, hadis juga bermakna al-khabar (berita) dan al-kalam
(pembicaraan).1
Sedangkan menurut terminologi, para ahli memberikan definisi yang
berbeda-beda . Perbedaan ini disebabkan karena terpengaruh oleh terbatas atau
luasnya objek peninjauan mereka masing-masing, yang tentu saja mengandung
kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya. Menurut ahli hadis,
pengertian hadis adalah:

ُ‫اَْق َو ُال النَّيِب ُّ صلى اهلل عليه وسلم َو اَْف َعالُهُ َواَ ْح َوالُه‬
“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya”.
Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi
SAW, yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaannya.
Sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah:

ُ ُ‫اَ ْق َوالُهُ َو اَْف َعالُهُ َوَت ْق ِر ْيَراتُهُ الَّيِت ْ َتثْب‬


‫ت ااْل َ ْح َك ُام َو تُ َقِّر ُر َها‬
“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan
hukum syara’ dan ketetapannya”
Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits
adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang disyariatkan kepada manusia. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu
yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad
SAW sebagai Rasulullah.2
Dari berbagai Definisi hadits yang dikemukakan oleh di atas dapat
disimpulkan bahwa unsur hadits itu terdiri dari tiga unsur yang ketiga unsur ini
hanya bersumber dari Nabi Muhammad, ketiga unsur itu adalah:
1. Perkataan. Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad ialah
sesuatu yang pernah dikatakan oleh beliau dalam segala hal.

1
Abdul Sattar, Ilmu Hadis, Semarang: RaSAIL Media Group, 2015), hlm. 1.
2
Munzier Suparta, , Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hlm. 2-4.

4
2. Perbuatan. Perbuatan Nabi merupakan suatu cara yang praktis dalam
menjelaskan peraturan atau hukum syara’. Contohnya cara Sholat.
3. Taqrir. Arti taqrir adalah beliau mendiamkan, tidak menyanggah atau
menyetujui apa yang dilakukan para sahabat.

C.     Sinonim Hadits


hadits mempunyai beberapa sinonim (muradif) atau nama lain, yakni
diantaranya Sunnah, Khabar, dan Atsar.
a. Sunnah
Kata sunnah berasal dari bahasa Arab (sunnah), dari akar bahasa : sanna,
yasunnu,sunnatan yang diartikan “berlakunya sesuatu dengan mudah,” atau dapat
dikatakan bahwa sesuatu itu berulang-ulang sehingga menjadi pedoman atau
kaidah. Secara etimologi (bahasa) sunnah memiliki arti yang cukup beraneka
ragam. Azami misalnya, ia mengartikan makna sunnah sebagai berikut, yaitu tata
cara: cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti
oleh orang-orang belakangan; tata cara dan tingkah atau perilaku hidup, baik
perilaku itu terpuji maupun tercela; juga dapat berarti tata cara, baik maupun
buruk. Sunnah juga berarti sesuatu yang baru, artinya adalah tatanan hukum baru
yang berlaku pada masyarakat Arab ketika itu; sunnah juga berarti sesuatu yang
mengalir secara kontinyu; atau jalan atau tingkah laku yang baik maupun yang
buruk; juga berarti jalan yang baik saja. Sementara itu menurut Al-Azhariy,
sunnah adalah jalan yang lurus lagi terpuji.3
Pengertian sunnah secara istilah menurut jumhur ulama sama dengan
pengertian hadist, yaitu segala yang dinukil dari nabi Muhammad, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir dan sifat-sifat beliau (berupa perilaku,
pengajaran, dan perjalanan hidup), baik sebelum maupun setelah diutus menjadi
rasul. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan taqrir (pengakuan
nabi Muhammad) di dalam pengertian sunnah.
Menurut ahli ushul, sunnah adalah segala sesuatu yang dinukil dari nabi
Muhammad, baik berupa perkataan , perbuatan, atau taqrir beliau yang berkaitan
3
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media, 2007, hlm. 5.

5
dengan hukum syara’. Sedangkan ulama fiqih mendefinisikan sunnah sebagai
segala sesuatu yang dinukil dari nabi Muhammad, baik perkataan, perbuatan,
maupun takrir beliau berupa ketetapan yang bukan hukum fardhu atau wajib.
Sunnah dalam pandangan mereka ini termasuk salah satu dari hukum Islam yang
lima, sehingga ada yang mengartikan sunnah sebagai sesuatu yang apabila
dikerjakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak disiksa.
Seperti halnya perbedaan pengertian istilah hadist, pengertian sunnah ini
juga terdapat perbedaan antara ulama yang satu dengan ulama yang lain. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan penekanan tujuan masing-masing ahli. Misalnya,
para ulama hadits menekankan pembahasannya pada pribadi dan perilaku nabi
Muhammad sebagai teladan dan tuntunan (uswah wa qudwah). Ulama ushul fiqih
menekankan pada pribadi beliau sebagai peletak dasar hukum syara yang
dijadikan landasan ijtihad oleh mujtahid di zaman sesudah beliau. Sedang ulama
fiqih (Fuqaha) menekankan pada aspek pribadi dan perilaku beliau pada
perbuatan-perbuatan yang melandasi hukum syara untuk diterapkan pada
perbuatan seorang mukallaf.4
b. Khabar
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita
yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
Sedang pengertian khabar menurut istilah, antara satu ulama dengan ulama
yang lainnya berbeda pendapat. Menurut ulama ahli hadits sama artinya dengan
hadits, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu marfu’, mauquf, dan maqthu’,
mencakup segala yang datang dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, baik
perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain
dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi SAW disebut hadits. Ada juga
yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dan lebih luas dari pada khabar,
sehingga tiap hadits dapat dikatakan khabar tetapi tidak setiap khabar dapat
dikatakan hadits.

4
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010, hlm. 22.

6
Terdapat sebagian ulama’ yang berpendirian bahwa hadits jelas berbeda
dengan khabar. Jika hadits hanya untuk sebutan bagi informasi yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan khabar untuk sebutan bagi informasi
yang bersumber dari selain Nabi Muhammad SAW. 5 Ada juga yang mengatakan,
khabar dan hadits, di mutlakkan kepada yang sampai nabi dari Nabi Muhammad
SAW saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamakan atsar.6
c. Atsar
Atsar menurut bahasa ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu. Berarti pula
nukilan (yang dinukilkan). Menurut istilah jumhur ulama, Atsar sama artinya
dengan khabar dan hadits. Mengingat hal ini, dinamailah ahli hadits dengan
atsary.
Para fuqaha memakai istilah atsar untuk perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat,
tabi’in dll. Ada yang mengatakan bahwa atsar lebih ‘aam (umum) dari pada
khabar. Atsar dihubungkan kepada yang datang dari Nabi SAW dan yang
selainnya, sedangkan khabar dihubungkan kepada yang datang dari Nabi SAW
saja.
An-Nawawy menerangkan bahwa fuqaha khurasan menamai perkataan-
perkataan sahabat (hadits mauquf) dengan atsar, dan menamai hadits Nabi SAW
dengan khabar. Tetapi para muhadditsin umumnya, menamai hadits Nabi SAW
dan perkataan sahabat dengan atsar juga. Sebagiaan ulama memakai pula kata
atsar untuk perkataan-perkataan tabi’in saja. Az-zarkasyy memakai kata atsar
untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul
SAW (hadits mauquf).
Ath-thahawy memakai kata atsar untuk hadits yang datang dari Nabi SAW
dan sahabat. Dalam kitab beliau yang bernama Ma’ani Al-atsar, beliau
menerangkan hadits-hadits yang datang dari Nabi SAW dan yang datang dari
sahabat. At-thabary memakai kata atsar untuk hadits yang datang dari Nabi SAW

5
H. Alinurdin, Khulashoh Ulumul Hadits, 2004.
6
Teungku Muhammad Hasbi ash-shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009, hlm. 12.

7
saja. Dalam sebuah kitab beliau yang bernama Tahdzib Al-atsar, beliau
menerangkan hadits-hadits Nabi SAW saja. 7

D.    Persamaan dan Perbedaan Hadits dan Sinonimnya


1.      Persamaan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
Menurut sebagian ulama, antara keempat istilah ini adalah muradif atau
mempunyai pengertian yang sama, yaitu:

‫ما أضيف اىل النيب صلى اهلل عليه وسلم من قول اوتقرير‬
Artinya: “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
perkataan, perbuatan, ataupun taqrir (penetapan) beliau”.

2.      Perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar


Menurut sebagian ulama, sunnah lebih luas daripada hadits. Titik berat
sunnah adalah kebiasaan normatif Nabi Muhammad SAW. Khabar selain
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dapat juga dinisbahkan kepada
sahabat dan tabi’in. khabar lebih umum daripada hadits. Atsar lebih sering
digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat dan tabi’in meskipun terkadang
dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW.

Rangkuman Perbedaan Hadits dan Sinonimnya


Hadis dan Aspek dan
Sandaran Sifatnya
Sinonimnya Spesifikasi
Hadis Nabi Perkataan (qawli) Lebih khusus dan
Perbuatan (fi’li) sekalipun dilakukan
Persetujuan (taqriri) sekali
Sunnah Nabi dan paraPerbuatan (fi’li) Menjadi tradisi
sahabat
Khabar Nabi dan selainnya Perkataan (qawli) Lebih umum
Perbuatan (fi’li)
Atsar Sahabat dan tabi’in Perkataan (qawli) Umum
7
Ibid, hlm. 13.

8
Perbuatan (fi’li)

E. Fungsi, kedudukan dan perbandingan hadits dengan al-qur’an


a. Fungsi
Secara umum, dapat dikatakan bahwa fungsi hadits dipandang dari
kedudukanya terhadap Al-Qur’an, maka hadits memiliki fungsi menjelaskan
makna dan ayat–ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang maknanya sangat
dalam dan universal.8
Para ulama sepakat, bahwasanya paling tidak ada empat fungsi hadits
terhadap Al-Qur’an, mulai sebagai penguat, pemberi penjelasan, penetapan
hukum yang belum ditemukan dalam Al-Qur’an secara terang atau dzohir,
maupun berfungsi sebagai penghapus hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.
1. Bayan taqrir
Fungsi hadits sebagai penguat terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalam
Al-Qur’an. Dapat diartikan pula, bahwa hadits menjelaskan apa yang telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an, misalnya menjelaskan mengenai zakat, haji, sholat,
dan lain-lain.
Sebagai contoh dapat kita lihat pada QS. Al-baqarah : 110 di bawah ini:

‫ِّموا أِل َْن ُف ِس ُك ْم ِم ْن خَرْيٍ جَتِ ُدوهُ ِعْن َد اللَّ ِه ۗ إِ َّن اللَّهَ مِب َا‬ َّ ‫يموا الصَّاَل ةَ َوآتُوا‬ِ
ُ ‫الز َكاةَ ۚ َو َما ُت َقد‬ ُ ‫َوأَق‬
ِ
ٌ‫َت ْع َملُو َن بَصري‬
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas kemudian dipertegaskan oleh hadits Rasulullah SAW, yang berarti:
“Islam itu adalah engkau beribadah kepada Allah SWT, tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun, mendirikan sholat, menunaikan zakat yang difardhukan,
berpuasa di bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji di baitullah”
2. Bayan Tafsir

8
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008 hlm. 16.

9
Hadits mempunyai fungsi sebagai penafsiran ataupun pentafshilan
terhadap ayat Al-Qur’an mengutarakan bahwa sunah itu menjelaskan atau
memperinci kemujmalan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bersifat Mujmal (Global),
maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun
diperlukan penafsiran.
Perlu untuk diketahui, bahwa fungsi sebagai perinci ini merupakan fungsi
yang terbanyak pada umumnya.9 Kemudian, fungsi hadits dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dapat dibagi lagi dalam tiga garis besar.
a) Tafshil Al-Mujmal
hadits memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat global,
baik itu dalam hal ibadah maupun hukum. Dalam hal ibadah, dapat kita ambil
contoh bahwa dalam Al-Qur’an hanya disebutkan ayat mengenai perintah untuk
mendirikan sholat, namun kemudian mengenai tata cara, waktu, jumlah raka’at
kita dapat mengetahuinya melalui hadits. Misalnya pada hadits nabi berikut ini:
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku sholat”. (HR.Bukhari)
b) Takhshish Al-Amm
Hadits yang mengkhususkan pada ayat-ayat yang bersifat umum, sebagian
ulama menyebutnya lagi sebagai bayan takhshish. Salah satu contoh hadits yang
mengkhususkan pada ayat-ayat yang bersifat umum adalah penjelasan mengenai
surat An-Nisa ayat 11;

ۚ ِ ‫ظ اأْل ُْنَثَينْي‬ َّ ِ‫وصي ُكم اللَّهُ يِف أ َْواَل ِد ُكم ۖ ل‬


ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬ ِ ‫ي‬
ُ
ُ ْ ُ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan.
Ayat di atas bersifat umum, kemudian dikhususkan oleh nabi dengan
menyatakan bahwa seorang anak yang telah membunuh orang tuanya tidak berhak
atas warisan tersebut seperti yang dikatakan dalam hadits di bawah ini:
“Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka). (HR. At-Tirmidzi)
c) Taqyid Al-Muthlaq

9
Ibid, hlm. 18.

10
Hadits membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya keterangan
yanga ada di Al-Qur’an seacara mutlak kemudian dijelaskan oleh hadits dan
diberikan batasan-batasan mengenai kemutlakanya.
Contoh yang nyata adalah masalah hukum pemotongan tangan yang
diberlakukan untuk pencuri. Di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan mengenai
batasan potongan tangan tersebut, apakah di potong pada pergelangan tangan,
lengan, bahkan sampai pundak. Hal ini dijelaskan lagi dalam hadits bahwa potong
tangan tersebut dilakukan sampai lengan saja.
3. Bayan Naskhi
Maksud dari Bayan Naskhi adalah As-Sunnah berfungsi menjelaskan
mana ayat yang manasakh dan mana ayat yang dimansukh yang secara lahiriah
bertentangan. Bayan Naskh ini sering juga disebut sebagai bayan tabdil, yaitu
mengganti suatu hukum atau menghapuskanya.
Contoh dari Bayan Nasikh terdapat dalam penjelasan Al-Qur’an suarah
Al-Baqarah ayat 180:

‫ني‬ َ ‫ت إِ ْن َت َر َك َخْي ًرا الْ َو ِص يَّةُ لِْل َو‬


َ ِ‫الِديْ ِن َواأْل َ ْق َرب‬ ُ ‫َح َد ُك ُم الْ َم ْو‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ‫ض َر أ‬
ِ
َ ‫ُكت‬
ِ ِ
َ ‫بِالْ َم ْع ُروف ۖ َحقًّا َعلَى الْ ُمتَّق‬
‫ني‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
Ayat di atas di-naskh dengan hadits nabi yang berarti:
“Sesungguhnya Allah memberikan hak pada setiap yang mempunyai hak dan
tidak adawasiat itu wajib bagi waris” (HR. An-Nasa’i)
4. Bayan Tasyri’i
Makna dari fungsi hadits sebagai Bayan Tasyri’i yaitu hadits menjadi
salah satu yang menciptakan hukum syariat.[7] Dalam hadits terdapat hukum-
hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, sehingga kedudukanya tidak lagi
menjadi penjelas ataupun penguat ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi

11
sunah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat
dalam Al-Qur’an.[8]
b. Kedudukan
Bagi umat Islam kedudukan hadits sebagai sumber utama kedua ajaran
Islam tidak lagi diperdebatkan, karena sudah sangat jelas, landasannya baik dari
Al-Qur’an maupun dari dasar logika.10
Sebagai sumber hukum kedua yang digunakan dalam Islam, maka Hadis
tentunya memiliki kedudukan tersendiri. Banyak dari sumber-sumber hukum yang
juga berasal dari nash di dalam hadits, namun tidak dirincikan dalam Al-Qur’an
ataupun boleh juga tidak ditemukanya ayat yang membicarakanya secara tegas
dalam Al-Qur’an.
Al-Suyuthi dan al-Qismi sendiri tanpaknya sepakat bahwa paling tidak ada
empat argument rasional mengenai kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an yaitu:
1. Al-Qur’an harus lebih diutamakan terlebih dahulu ketimbang Hadits, hal ini
karena Al-Qur’an sendiri bersifat qath’i dan Hadits bersifat dzanni.
2. Hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an, sehingga dapat dijelaskan
bahwa penjabar kedudukanya pasti lebih rendah dibandingkan pada nash
yang dijabarkanya.
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan urutan serta kedudukan
As-Sunnah terhadap Al-Qur’an. Salah satu contoh yang dapat diambil
adalah dari percakapan Rasulullah SAW dengan Mu’az bin Jabal yang akan
diutus ke negeri Yaman sebagai qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau
putuskan suatu perkara?” Mu’az menjawab, “Dengan kitab Allah”. Jika
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an barulah dari hadits dan setelah itu
menggunakan ijtihad.
4. Al-Qur’an saebagai wahyu dari sang pencipta, sedangkan hadits berasal dari
hambanya. Dapat diterima secara logika, jika pencipta pastinya memiliki
kedudukan lebih tinggi dibandingkan hamba yang menjadi utusan dari sang
pencipta itu sendiri, sehingga kedudukan Al-Qur’an yang merupakan kalam

10
Daniel Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis, Surabaya: Erlangga,
2010, hlm. 42.

12
ilahi diletakan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dalam Islam.
Sedangkan Hadits ditempatkan pada bagian kedua setelah Al-Qur’an.

c. Perbandingan Hadits Dengan Al-Qur’an


Persamaannya :
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa hadits dan al-
qur’an adalah sumber ajaran islam, dan bahkan pada hakikatnya keduanya
adalah sama-sama wahyu dari Allah Swt
Perbedaannya :
1. Bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bersifat mukjizat.
Kemukizatan Al-Qur’an tersebut diantaranya terletak pada ketinggian
balaghah (kandungan sastra)-nya yang mencapai tingkatan di luar batas
kemampuan manusia, sehingga masyarakat arab khususnya dan
manusia pada umumnya tidak mampu menandinginya. Dari segi ini
terlihat perbedaan yang nyata antara al-Qur’an dengan dengan hadits,
yaitu bahwa hadits maknanya bersumber dari Allah (hadis qudsi), atau
dari Rasul Saw sendiri berdasarkan hidayah dan bimbingan Allah
(hadits nabawi), dan lafadznya berasal dari Rasul Saw serta tidak
bersifat mukizat, sedangkan Al-Qur’an makna dan lafadnya sekaligus
berasal dari Allah Swt, dan bersifat mukizat.11
2. Membaca Al-Qur’an hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca
ayatnya di dalam shalat, sementara tidak demikian dengan hadits.
3. Keseluruhan ayat al-Qur’an diriwayatkan oleh Rasul Saw secara
mutawatir, yaitu periwayatan yang menghasilkan ilmu yang pasti dan
yakin ke auntetikannya pada setiap generasi dan waktu. Ditinjau dari
segi periwayatannya tersebut, maka nash-nash Al-Qur’an adalah
bersifat pasti wujudnya atau qath’i al-tsubut. Akan halnya hadits,
sebagian besar adalah bersifat ahad dan zhanni al-wurud, yaitu tidak
diriwayatkan secara mutawatir. Kalaupun ada, hanya sedikit sekali yang
mutawatir lafaz dan maknanya sekaligus.
11
Al-Zuhayli, Ushul al-fiqh, juz 1, hlm 421-422

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
unsur hadits itu terdiri dari tiga unsur yang ketiga unsur ini hanya
bersumber dari Nabi Muhammad, ketiga unsur itu adalah: Perkataan. Yang
dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad ialah sesuatu yang pernah
dikatakan oleh beliau dalam segala hal. Perbuatan : Perbuatan Nabi merupakan
suatu cara yang praktis dalam menjelaskan peraturan atau hukum syara’. Taqrir
:Arti taqrir adalah beliau mendiamkan, tidak menyanggah atau menyetujui apa
yang dilakukan para sahabat.
Hadits mempunyai beberapa sinonim (muradif) atau nama lain, yakni
diantaranya Sunnah, Khabar, dan Atsar.
fungsi hadits terhadap Al-Qur’an, mulai sebagai penguat, pemberi
penjelasan, penetapan hukum yang belum ditemukan dalam Al-Qur’an secara
terang atau dzohir, maupun berfungsi sebagai penghapus hukum yang ada di
dalam Al-Qur’an.
hadits merupakan sumber utama kedua ajaran Islam tidak lagi
diperdebatkan, karena sudah sangat jelas, landasannya baik dari Al-Qur’an
maupun dari dasar logika. Sebagai sumber hukum kedua yang digunakan dalam
Islam, maka Hadis tentunya memiliki kedudukan tersendiri.

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila dalam makalah ini terdapat
kesalahan dalam penulisan ataupun yang lainya, kami mohon maaf. Untuk itu
kami mengharap kritik dan saran guna melengkapi makalah ini. Karena sifat
sempurna hanya milik Allah semata, dan kami hanyalah manusia biasa yang
hakikatnya punya salah dan kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Amin.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alinurdin, H, Khulashoh Ulumul Hadits, 2004.


Al-Zuhayli, Ushul al-fiqh, juz 1.
ash-shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Djuned, Daniel, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadis,
Surabaya: Erlangga, 2010.
Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media, 2007.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008.
Sattar, Abdul, Ilmu Hadis, Semarang: RaSAIL Media Group, 2015.
Suparta, Munzier , Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003..
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010.

15

Anda mungkin juga menyukai