Anda di halaman 1dari 18

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional:

Kasus Desa Rana Mbeling, Kabupaten Manggarai Timur, NTT


=================================================
Oleh: Lasarus Jemahat

ABSTRACT
Social relationship between tua golo and tua teno have typical
pattern. As we know that the relationship pattern between tua golo
and tua teno have the character of subordinative and coordinative.
Relationship having the character of subordinative happened
because social structure of society of Manggarai as a whole place
one of the social elite on course above from each other. Here is, tua
golo have position which is important to be compared with tua teno.
Because tua golo is the head of kampong and tua golo determining
the position of tua teno as institute managing or dividing land. The
implication of the relationship model like this is tua teno have to ask
permission of tua golo in every activity related to custom and land.
Whereas relationship having the character of coordinative happened
when tua golo and tua teno sit with in one forum to discuss things
related to problem of kampong or other of social problem.

Kata Kunci: Elit, Relasi Sosial, Konflik

I. PENDAHULUAN
Berbagai kebijakan pencangkokan oleh kepala desa, polisi, jaksa dan
institusi baru ke dalam suatu berbagai unsur negara. Pada aras
masyarakat desa dapat memberikan lokal, pengaburan peran seperti ini
implikasi negatif bagi perkembangan dapat berakibat fatal karena perubahan
institusi lokal. Dalam kondisi seperti struktur sosial dapat mempengaruhi
itu, berbagai institusi lokal menjadi perubahan sub sistem sosial yang
gamang, antara mengikuti dan lainnya. Persis di sinilah titik sentuh
menerapkan norma adat dengan konflik antara tua golo1 versus tua
berbagai konsekuensinya atau harus teno dalam konteks Manggarai Timur.
menerima sesuatu yang baru Dengan logika yang sama, perubahan
(Undang-Undang) yang datang dari struktur masyarakat Desa Rana
luar. Determinasi yang kuat dari Mbeling Manggarai Timur saat ini
negara membuat masyarakat tidak perlu dikaji lebih jauh, sebab
memiliki pilihan lain kecuali
melaksanakan sesuatu yang baru 1
Tua golo sering disebut kepala kampung.
tersebut meskipun bertentangan Dalam struktur sosial Manggarai pada
dengan kondisi sosial budaya umumnya,tua golo adalah otoritas yang
memiliki hak ulayat atas lingko (lahan). Tua
setempat. Akibatnya, elit lokal teno adalah orang yang diberi otoritas oleh
kehilangan pegangan dan legi- tua golo untuk mengurus dan membagi
timasinya sebab perannya digantikan tanah

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 67


sebagaimana masyarakat lain di mengklaim hak tua golo atas
Indonesia, masyarakat Desa Rana kepemilikan lingko (lahan) tertentu
Mbeling juga tengah berada dalam yang mestinya menjadi hak ulayat tua
perubahan2. Perubahan struktur sosial golo4. Fenomena ini menjadi menarik
masyarakat yang diikuti dengan karena selain pihak yang terlibat
munculnya implikasi praktisnya adalah otoritas elit tradisional yang
menarik untuk diamati sebab sejak mestinya menjaga struktur sosial
dulu masyarakat Manggarai pada masyarakat tetap stabil. aktor yang
umumnya adalah masyarakat yang berkonfliknya juga berbeda dengan di
selalu mencintai perdamaian. Hal ini Manggarai pada umumnya5. Jika
terutama dilihat dari model struktur merujuk temuan Lawang, di
kekerabatan yang mengikatnya3. Manggarai pada umumnya konflik
Saat ini di daerah penelitian, terjadi antara tua golo versus tua golo6
muncul kecenderungan tua teno atau antargolo vs pemerintah
sedangkan di lokasi penelitian ini,
2
Gambaran perubahan sosial di Manggarai konflik justru terjadi antara tua golo
dapat dilihat dari hasil penelitian Ulla Keech- versus tua teno dan bukan antara tua
Marx 2002. Komersialisasi Tenunan golo versus tua golo7.
Songke: Dampaknya Terhadap Masyarakat
Manggarai: Studi Kasus di Kecamatan
4
Cibal, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, Beberapa contoh kasus konflik tanah yang
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik melibatkan tua golo versus tua teno yakni,
Universitas Muhammadiyah Malang, kasus tanah sekolah SDK Watu Weri,
kerjasama dengan Australian Consortium SLTPN 3 Kota Komba yang berkedudukan
For In-Country Indonesian Study (Acicis) di Watu Weri, Kasus tanah Lekolelang, dan
dan South-East Asia Centre Australian kasus tanah milik Desa Rana Mbeling di
National,hal. 14. Lihat juga Samuel Clark sekitar kantor desa (Laporan Tahunan
(Ed.), 2004, Bukan Sekedar Persoalan Kepala Desa Rana Mbeling, 2007. Kantor
Kepemilikan : Sepuluh Studi Kasus Konflik Desa Rana Mbeling)
5
Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa Dalam studi tentang kasus konflik tanah di
Timur dan Flores, Conflict and Manggarai dan Manggarai Barat, Lawang
Community Development Research and menemukan bahwa aktor yang berkonflik
Analytical Program Indonesian Social adalah tua golo vs tua golo, atau golo vs
Development Paper No. 4 pemerintah, sedang di Desa Rana Mbeling,
3
Robert M.Z. Lawang, 2004. Stratifikasi dalam beberapa kasus, justru terjadi antara
Sosial di Cancar Manggarai Flores Barat tua golo vs tua teno.
6
Tahun 1950-an dan Tahun 1980-an. Robert M.Z. Lawang. Op. Cit. Hal. 92
7
Jakarta: Penerbit UI-Press, hal. Xvii-xix Menurut catatan pemerintah Kabupaten
dan Robert M.Z. Lawang, 1999. Konflik Manggarai, seperti yang dikutip Lawang
Tanah di Manggarai Flores Barat, (1999), paling tidak sudah terjadi 20 jenis
Penerbit UI-Press. Secara administratif konflik tanah dan jika dikategorikan
pemerintahan, Manggarai di sini mengacu menurut waktu telah terjadi 43 kali konflik
pada sebuah kabupaten yang terletak tanah di Manggarai dalam rentangan waktu
dibagian barat Pulau Flores yakni 1994-1999. Sampai tahun 1995, korban
Kabupaten Manggarai. Dalam perkem- meninggal sebanyak 15 orang, luka berat 26
bangan saat ini Kabupaten Manggarai orang, luka ringan 39 orang. Sementara
dibagi/dimekarkan menjadi tiga kabupaten menurut catatan Walhi (2004 : 8), dalam
yakni Kabupaten Manggarai sebagai kasus 10 Maret 2004 terdapat 6 orang
kabupaten induk, Kabupaten Manggarai meninggal dan 29 lainnya luka berat dan
Barat (2003), dan Kabupaten Manggarai ringan. Sementara itu, Samuel Clark (Ed.)
Timur (2007). menyebutkan bahwa selama kurun waktu

68
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
II. DINAMIKA ELIT TRADISIONAL Mosca dalam Bottomore11
mengemukakan bahwa masyarakat,
Studi atau pun riset tentang elit sudah baik masyarakat tradisional maupun
banyak dilakukan oleh peneliti masyarakat modern, selalu dicirikan
terdahulu. Setiap eksponen memberi oleh perbedaan antara dua kelas
titik fokus tersendiri. Banyaknya manusia yakni kelas yang berkuasa
fokus atau pendangan tentang elit dan kelas yang dikuasai. Kelas yang
menunjukan urgennya fenomena ini. berkuasa biasanya berjumlah sedikit
Seperti digambarkan Alfian8 dalam dan memegang peranan penting dalam
kata pengantar buku Elit dan bidang politik. Kelompok ini
Masyarakat Bottomore, studi tentang menguasai kekuasaan dan menikmati
elit sudah dilakukan oleh Pareto pada berbagai macam keistimewahan yang
abad ke sembilan belas, Mosca pada diperoleh dari pelaksanaan kekuasaan;
tahun 1930-an dan Mills pasca kelompok kedua merupakan kelas
Perang Dunia II. Menurut Pareto9, yang jumlahnya lebih banyak.
setiap manusia memiliki kemampuan Kelompok ini dikuasai dan
dan kapasitas yang berbeda. dikendalikan oleh kelompok pertama
Kelompok yang memiliki kapasitas di atas. Dalam pandangan Mosca,
dan kemampuan yang paling tinggi kelompok pertama lebih terorganisir
disebut elit. Pareto10 menyebutkan sehingga mampu menguasai
bahwa dalam masyarakat selalu kelompok kedua di atas.
terdapat dua jenis lapisan yakni Dalam pandangan Bottomore,
lapisan yang rendah atau nonelit, masyarakat saat ini pun selalu
yang tidak memiliki pengaruh dalam terdiferensiasi dalam lapisan-lapisan
pemerintahan dan lapisan yang tinggi tertentu, atas-menengah-bawah. Basis
yang disebut elit. Lapisan yang tinggi fundamen stratifikasi adalah adanya
dibagi menjadi dua kelompok besar kepentingan darI pihak tertentu. Elit
yakni kelompok elit yang memerintah selalu menunjuk pada kelas yang
dan kelompok elit yang tidak berkuasa. Kelas yang berkuasa inilah
memerintah. Elit yang memerintah yang kemudian menjadi elit
adalah mereka yang berperan dalam penguasa12. Konsep elit seperti ini
pemerintahan, sebaliknya elit yang didasarkan pada analisis kelas Marxis.
tidak memerintah adalah sisanya. Mills mengkritik konsep kelas yang
berkuasa yang dipaparkan Marx. Mills
lebih memilih istilah elit penguasa.
Menurut Mills, dalam Bottomore13,
tahun 2000-2003, terdapat 44 kasus konflik
berbasis pada tanah dengan 24 kasus
konsep kelas yang berkuasa Marx
kekerasan dan 15 kasus berakibat pada terlalu bias ekonomi. Artinya, Jika
kematian. mengacu pada konsep kelas seperti
8
Alfian, M M. Alfan. 2006. “Relevansi ini, terdapat elit ekonomi yang
Studi Elit Di Indonesia”. Dalam Kata menguasai politik. Padahal menurut
Pengantar Editor buku Elit dan
Masyarakat, T. B. Bottomore. Jakarta:
Mills, setiap komponen memiliki
Akbar Tanjung Institute. struktur kelasnya sendiri-sendiri dan
9
T. B. Bottomore, 2006. Elit dan Masyarakat
11
(Terj). Jakarta: Penerbit : Akbar Tanjung Ibid
12
Institute, hlm. 2 Ibid
10 13
Ibid Ibid

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 69


tidak terdeterminis hanya dalam tama menunjuk kepada suatu
wilayah ekonomi. minoritas pribadi-pribadi yang
Keller menilai Pareto maupun diangkat untuk melayani suatu
Mosca tidak sama dengan Marx kolektivitas dengan cara yang bernilai
terutama dalam konteks dialektikal. sosial. Kaum elit adalah minoritas –
Jika Marx melihat konflik terjadi minoritas yang efektif dan
karena adanya perebutan hak bertanggung jawab – efektif melihat
kelompok minoritas yang berkuasa kepada pelaksananaan kegiatan
oleh mereka yang tertindas, maka kepentingan dan perhatian kepada
Pareto dan Mosca melihat konflik orang lain tempat golongan elit ini
lebih karena adanya persinggungan memberikan tanggapannya. Golongan
kepentingan antara dua kelompok elit yang mempunyai arti secara sosial
minoritas14. Namun demikian, Pareto akhirnya bertanggung jawab untuk
dan Mosca tidak memberikan solusi realisasi tujuan-tujuan sosial yang
berkaitan dengan relasi elit dan kelas- utama untuk kelanjutan tata
kelas sosial. Dalam pandangan sosial....”16
Keller, kedua tokoh ini gagal Definisi elit menurut Keller di
memberikan penjelasan otentik atas menunjukan suatu cakupan yang
tentang peran elit dalam konteks sangat umum. Keller menempatkan
relasi kelas dalam masyarakat. Selain elit pada posisi yang sangat ideal.
karena hanya berfokus pada politik, Meskipun kemudian Keller lebih
kajian kedua tokoh ini diangap lemah melihat elit dalam hubungannya
justru karena mereka gagal dengan politik, dalam istilah Keller
merumuskan perbedaan antara elit disebut elit penentu, tetapi jelas
kaya dengan orang kaya yang terlihat bahwa di sini elit dianggap
mungkin dapat menjadi bagian dari sebagai sekelompok minoritas yang
elit. paling bertanggung jawab dalam
Keller15 menyebutkan dua keteraturan tatanan sosial. Pandangan
perspektif yang mewarnai studi seperti ini bukan tanpa persoalan.
tentang elit yakni yang berfokus pada Pandangan idealis tentang elit
moral dan yang mengupas tentang cenderung menafikan watak buruk
peran fungsional elit. Perspektif dari elit yang berupaya menguasai
pertama berfokus pada prasyarat mayoritas masayarakat.
moral bagi seseorang untuk dapat Jika tua golo dan tua teno dalam
disebut elit dan pada gilirannya konteks masyarakat Manus-
menjadi pemimpin. Sebaliknya Manggarai Timur dianggap sebagai
perspektif kedua menekankan pada elit, maka pertanyaannya adalah elit
peran fungsional kaum elit dalam dalam konteks seperti apa. Jika
tatanan kehidupan sosial masyarakat. mengacu pada berbagai pendapat
Keller mendefinisikan elit sebagai tentang elit di atas sebetulnya
berikut ”....Istilah elit di sini pertama- hanyalah segelintir orang. Jika tua
golo dianggap sebagai kelompok
14
Keller Suzanne,1995. Penguasa dan bangsawan dalam struktur masyarakat
Kelompok Elit (Terj). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
15 16
Ibid Ibid

70
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
Manggarai termasuk di Manus- kuantitatif, yang mengikuti logika
Manggarai Timur, maka mestinya tua deduktif, peneliti akan menguji sebuah
teno tidak dapat disebut elit. Namun teori manakala dihadapkan dengan
demikian, oleh masyarakat setempat, fenomena sosial. Sementara itu, dalam
kelompok yang terakhir ini (tua teno) ranah penelitian kualitatif, dengan
juga disebut elit. mengikuti logika induktif, teori akan
Elit dalam konteks penelitian ini berperan sebagai guidance dalam
mengacu pada pandangan Parreto dan menganalisis fenomena sosial.
Keller. Sebagaimana dipaparkan di Disebut guidance karena teori
atas, parreto membagi masyarakat digunakan sebagai alat untuk
menjadi dua kelompok yakni membimbing peneliti dalam
kelompok rendah (non elit) dan memahami fenomena sosial. Dalam
kelompok tinggi (kelompok elit). penelitian yang memakai metode
Kelompok elit terdiri dari dua bagian kualitatif, toeri tidak diuji atau tidak
yakni elit yang memerintah dan elit memberikan judgement atas fenomena
yang tidak memerintah. Jika sosial. Dengan berpedoman pada teori
dielaborasikan dengan Keller maka, yang dipakai, peneliti berupaya
seseorang ata sekelompok orang mencari, menemukan, dan meng-
dapat disebut elit karena fungsinya analisis berbagai macam fenomena
dalam masyarakat. Oleh karena itu, sosial.
tua golo dan tua teno dapat dianggap Dalam konteks penelitian ini,
elit karena memiliki fungsi penting fenomena distorsi peran elit dalam
dalam struktur sosial masyarakat kaitannya dengan konflik tanah akan
Manggarai pada umumnya. Tua golo dianalisis dengan pendekatan konflik
sebagai pihak yang menguasai ulayat menurut perspektif Marxian dan
atas tanah/lahan, sedangkan tua teno Dahrendorf. Penggunaan kedua teori
sebagai pihak yang berfungsi untuk konflik tersebut secara bersamaan
membagi tanah. tentu bukan karena pertimbangan like
and dislike tetapi harus berdasarkan
III. RELASI KEKUASAAN MARX pada rasionalitas yang bersifat ilmiah.
DAN STRUKTUR OTORITAS Pokok soal yang diangkat dalam
DAHRENDORF penelitian ini, berdasarkan observasi
awal peneliti, merupakan sebuah
Teori memegang posisi penting fenomena sosial yang bercirikan
dalam setiap penelitian. Urgensi teori konflik. Pengklaiman, saling ancam,
terletak pada perannya dalam saling tuduh, sampai pada
membantu peneliti untuk meng- pertumpahan darah guna mem-
gambarkan, menjelaskan, dan meng- perebutkan lahan tertentu merupakan
analisis sebuah fenomena. Oleh gejala-gejala konflik yang muncul di
karena peranannya yang penting daerah penelitian ini. Selanjutnya,
tersebut maka setiap penelitian, dinamika konflik yang terjadi di lokasi
terlepas pilihan metode penelitian apa penelitian harus dibaca dalam
yang dipakai, selalu menempatkan kerangka relasi elit dengan sumber
teori sebagai alat atau pisau analisis. konflik. Itu berarti, persoalannya tidak
Dalam sebuah penelitian yang hanya menyangkut relasi atau struktur
menggunakan metode penelitian kepemilikan menurut tesis kaum

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 71


Marxian tetapi juga berhubungan erat Pada masyarakat prakapitalis
dengan struktur otoritas untuk atau masa feodal dimana tanah
mengacu pada pandangan Dahren- menjadi satu-satunya alat produksi
dorf. Gambaran singkat kedua teori maka pertentangan kelas terjadi antara
tersebut dan bagaimana implikasinya kaum pemilik tanah dengan kaum
dalam menjelaskan fenomena distorsi yang tidak memiliki atau tidak
peran elit dalam konteks konflik menguasai tanah. Sejalan dengan
tanah di lokasi penelitian akan perkembangan sejarah, maka pada
dipaparkan berikut ini. masyarakat kapitalis, dengan industri
sebagai moda produksi maka alat
Teori Konflik Marx produksi berupa mesin, tenaga kerja,
dan berbagai macam keahlian sebagai
Karl Marx (1818-1883) menjadi alat produksi utama18. Oleh karena itu,
tokoh utama teori konflik. Banyak hal pertentangan kelas terjadi antara kaum
telah ditulis Marx, tetapi untuk tujuan pemilik modal dengan kaum buruh.
penelitian ini, di sini hanya akan Sebagaimana dijelaskan di atas, setiap
dipaparakan secara singkat mengenai kelas memiliki kepentingan masing-
teori analisis kelas17. Tesis utama masing. Pada masa feodal, kelas
Marx adalah bahwa masyarakat selalu pemilik tanah berupaya untuk
tersusun atas kelas-kelas sosial yakni menguasai tanah sebanyak-banyaknya
kelas pemilik alat produksi dan kelas dan kaum yang tidak memiliki tanah
yang tidak menguasai alat produksi. berupaya melakukan reforma agraria.
Alat produksi bisa berupa mesin, Sementara itu, pada masyarakat
tanah, sumber daya, tenaga kerja, kapitalis, kelas pemilik modal
kemampuan, kekuasaan, informasi, memiliki kepentingan untuk meng-
dan lain-lain. Setiap kelas memiliki akumulasi modal sebanyak-banyaknya
kepentingan sendiri-sendiri. Kelas dan kaum buruh berupaya untuk
pemilik alat produksi selalu berupaya memperoleh upah yang laik.
untuk mempertahankan bahkan Dalam analisis kelas Marxian,
menambah (mengakumulasi) alat kepentingan kelas selalu dihubungkan
produksinya, sementara kelas yang dengan kesadaran kelas. Kesadaran
tidak memiliki alat produksi kelas adalah kesadaran kelas subyektif
mempunyai kepentingan merebut alat akan kepentingan kelas obyektif yang
produksi tersebut. Menurut kaum dimiliki bersama orang lain dalam
Marxian, hal inilah yang menjadi akar posisi serupa dalam sistem produksi19.
dari segala macam konflik di Itu berarti kesadaran kelas muncul
masyarakat. Oleh karena itu, sejarah ketika individu-individu membangun
perkembangan masyarakat meru- jaringan komunikasi dan membangun
pakan sejarah perjuangan kelas-kelas organisasi. Dengan formulasi yang
tersebut. lain, kesadaran kelas akan muncul
pada saat berada bersama dengan
orang lain dalam satu kelas tertentu.
17
Lewis A. Coser, 1971. Master of
Sociological Tought. New York, Chicago,
18
San Fransisco, Atlanta: Harcourt Barace Johnson, Op. Cit., hal. 148-150
19
Jovanovich, , p. 48-50. Ibid., hal. 150

72
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
Kesadaran kelas inilah yang separuh penerimaan, serta memo-
kemudian membangkitkan per- difikasi teori sosiologis Karl Marx”.
juangan kelas. Dalam hal pembagian kelas,
Dalam konteks penelitian ini, Dahrendorf sepakat dengan Marx
teori konflik Marx akan membantu bahwa masyarakat dicirikan oleh dua
menganalisis bagaimana struktur kelas utama yakni kelas pemilik alat
sosial masyarakat Manus-Desa Rana produksi dan kelas yang tidak
Mbeling. Ciri struktur sosial memiliki alat produksi.
masyarakat Manus-Rana Mbeling Perbedaan mendasar teori
yang bersifat dominatif antara kelas- konflik Marx dan Dahrendorf terletak
kelas sosial mudah terlihat atau pada asumsi dasar struktur sosial
tercermin dalam kedudukan dan masyarakat. Jika Marx melihat
peran yang dilakukan oleh tua golo struktur kepemilikan sebagai landasan
(pemilik hak ulayat) dengan tua teno pembentukan kelas, maka Dahrendorf
(pembagi tanah/lahan). Dala kerangka justru menekankan struktur kontrol
itu, upaya pengklaiman hak oleh tua dalam proses pembentukan kelas
teno atas beberapa bidang lahan sosial21. Kritik Dahrendorf terhadap
tertentu perlu dikaji dan dibaca Marx dilakukan setelah ia meneliti
sebagai bentuk perlawanan kelas tentang masyarakat industri. Menurut
yang tidak memiliki alat produksi dan Dahrendorf, Marx terlampau deter-
pertentangan kelas terhadap kelas minis dalam menganalisis perten-
yang memiliki alat produksi. Dalam tangan kelas. Marx tidak mem-
observasi awal diketahui bahwa tua bayangkan bagaimana para pemilik
teno berupaya untuk mengkalim modal dalam masyarakat industri
lahan atau tanah tertentu yang hak menyerahkan wewenang dan
ulayatnya dimiliki oleh tua golo. Jika tanggung jawabnya kepada para
merujuk pada struktur sosial manajer perusahaan. Yang dilupakan
masyarakat Manggarai pada Marx dalam analisis kelasnya,
umumnya, hal seperti ini sebenarnya demikian Dahrendorf, adalah bahwa
tidak boleh dilakukan karena tua teno pada masa perkembangan industri,
hanya memiliki hak membagi tanah para managerlah yang memegang
dan bukanya memiliki hak ulayat. otoritas. Menurut Dahrendorf, kontrol
terhadap alat produksilah yang paling
Teori Konflik Dahrendorf menentukan pembentukan dan
pertentang kelas dalam masyarakat
Dahrendorf dianggap sebagai dan bukan pada struktur kepemilikan
penerus Marx dalam mengem- alat produksi.
bangkan teori konflik. Meskipun Dahrendorf menunjukan bukti
mendasarkan teorinya pada teori-teori bahwa otoritas terletak pada posisi
konflik Marx, dalam beberapa hal seseorang ketika orang tersebut
Dahrendorf tidak sepakat dengan menjalankan perannya dalam
konsep Marx. Menurut Poloma20, masyarakat. Itu berarti, otoritas tidak
Dahrendorf “separuh penolakan, terletak pada individu sebagaimana
diakui Marx tetapi dalam posisi
20
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi
Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo
21
Persada. Johnson, Op. Cit., hal. 183

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 73


seseorang ketika orang tersebut sedangkan kelompok yang subordinat
menjalankan perannya. Dalam konteks berupaya melakukan perubahan.
analisis konflik, asal usul konflik, Sebagaimana dijelaskan di bagian
menurut Dahrendorf, harus dicari latar belakang tulisan ini, dalam struktur
dalam penataan peran sosial yang sosial masyarakat Manggarai, tua golo
ditopang oleh ekspektasi dominasi atau adalah pihak yang memiliki hak ulayat
penguasaan22. Itu berarti, guna atas tanah atau lahan tetentu, sementara
menganalisis konflik kelas, maka tua teno adalah pihak yang diberikan
identifikasi peran harus dilakukan. wewenang oleh tua golo untuk
Pada bagian lain Dahrendorf membagi tanah. Tua teno adalah satu-
menyebutkan bahwa otoritas selalu satunya institusi yang memiliki otoritas
berhubungan dengan subordinasi dan dan hak penuh untuk membagi tanah.
superordinasi. Otoritas bukanlah Namun, perlu diingat bahwa dalam
sesuatu yang konstan. Artinya, orang struktur sosial masyarakat Manggarai,
yang memegang otoritas akan tua golo dan tua teno sama-sama
mengendalikan mereka yang memiliki alat produksi berupa tanah,
subordinat, namun karena sifatnya meskipun secara simbolis hak ulayat
yang tidak stabil tersebut maka atas lahan tertentu berada sepenuhnya di
terdapat kemungkinan orang yang tangan tua golo.
memiliki otoritas pada satu asosiasi Di sini, klaim tua teno atas lahan
akan menjadi subordinat pada tertentu yang hak ulayatnya dimiliki
asosiasi yang lainnya. Peluang oleh tua golo, fenomena keterbatasan
munculnya konflik akan terjadi antara lahan, dan kurangnya komunikasi
dua kelompok itu, sebab keduanya sosial antara aktor yang terlibat dalam
memiliki kepentingan yang berbeda. konflik dapat dijelaskan dengan
Pada batas itu, Dahrendorf analisis konflik Marx sebagai bentuk
sebetulnya tidak hanya dipengaruhi perjuangan kelas dari kelas yang
Marx tetapi juga dipengaruhi oleh bukan pemilik alat produksi untuk
Weber. Pengaruh Weber pada mendapatkan hak milik. Struktur
Dahrendorf jelas terlihat ketika ia sosial yang demikian memberi ruang
menggunakan konsep otoritas, bagi tua teno untuk mengatur tentang
kepentingan dan wewenang23. berbagai hal yang berhubungan
Dahrendorf malah berkesimpulan dengan lahan atau tanah tertentu.
bahwa konflik dalam masyarakat Persoalannya, dalam
terjadi karena adanya perbedaan perkembangan saat ini, ketika tanah
otoritas, kepentingan dan wewenang komunal yang hak ulayatnya dimiliki
antara kelompok superordinat dan oleh tua golo tersebut kemudian
subordinat. Kelompok dominan selalu dibagikan oleh tua teno (atas
berusaha mempertahankan status quo persetujuan tua golo), maka setiap
anggota kelompok suku (termasuk tua
22
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, teno) berhak dan menjadi pemilik sah
2008.Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi atas tanah atau lahan tersebut. Artinya,
Klasik sampai Perkembangan Mutakhir jika tanah dianggap sebagai alat
Teori Sosial Postmodern (Terj). prosduksi, maka sebagaimana anggota
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
23
Ibid., hal. 284
yang lain, tua teno sebetulnya juga

74
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
memiliki alat produksi, karena tua bagi negara yang masih mengalami
teno juga memiliki tanah. Pergeseran transisi seperti Indonesia adalah
struktur kepemilikan tanah atau lahan munculnya pergolakan di masyarakat.
(dari komunal ke individual) berikut Pergolakan tersebut kemudian
dinamika konflik yang menyertainya melahirkan perubahan struktur
membutuhkan alat analisis yang lebih masyarakat. Perubahan struktur pada
komprehensif. Itu berarti diperlukan titik tertentu mendinamisasi peran,
alat analisis lain atau teori lain yang kedudukan dan kekuasaan kelompok
dapat menjelaskan fenomena tersebut. sosial yang berpengaruh dalam
Sebab, persoalannya bukan saja masyarakat. Konsekuensinya adalah
terletak pada struktur kepemilikan terjadinya pergeseran peran serta
tanah semata sebagaimana analisis fungsi lembaga-lembaga lama ke
kaum Marxian, tetapi pada struktur lembaga baru. Di sini, elit berperan
otoritas dalam perspektif teori konflik penting. Pada titik tertentu, elit
Dahrendorf. Dengan kata lain, konflik tradisional berupaya mempertahankan
dapat saja disebabkan karena adanya status quo dan menganggap perubahan
perbedaan pemahaman dan perebutan sebagai ancaman akan eksistensinya,
otoritas dan wewenang antara tua sedangkan pada ekstrim yang lain
golo dan tua teno dalam hal muncul elit baru yang berperan dalam
penguasaan dan kepemilikan tanah. proses pembaruan dalam masyarakat.
Merujuk pada tesis Dalam konteks perubahan inilah
Dahrendorf tersebut maka tarik ulur, maka menarik untuk mengkaji peran
fragmentasi kepentingan berikut elit tradisional di Desa Rana Mbeling
konflik tanah di daerah penelitian Kabupaten Manggarai Timur. Elit
tidak dapat hanya dijelaskan dengan tradisional di sini adalah tua golo
teori konflik Marx, sebab meskipun (Pemilik tanah/lahan) dan tua teno
dalam struktur sosial masyarakat (Pembagi tanah). Eksistensi dan peran
Manggarai pada umumnya, otoritas kaum elit tradisional ini menjadi
pembagi tanah sudah melekat pada penting ketika dalam beberapa
tua teno dan Tua golo hanya menjadi dasawarsa terakhir, masyarakat di
pemilik alat produksi, kedua elit ini Kabupaten Manggarai (termasuk
juga sama-sama memiliki alat Kabupaten Manggarai Barat dan
produksi berupa tanah. Manggarai Timur) selalu berkutat
dengan persoalan pertanahan. Dalam
IV. RELASI TUA GOLO DAN TUA batas tertentu kemudian konflik tanah
TENO: KONTEKS MANGGARAI selalu berhubungan dan bersing-
TIMUR gungan dengan dua kelompok elit ini.
Sejauh ini belum ada penulis atau
Ketika memberi pengantar buku Elit pun peneliti yang mencoba membuka
Dalam Perspektif Sejarah, sejarah- tabir peran kedua elit ini. Kalaupun
wan Sartono Kartodirjo24 pernah tua golo dan tua teno disebut dalam
mengatakan bahwa salah satu beberapa penelitian, maka itu hanya
fenomena khas dan masalah khusus untuk menghubungkan beberapa
variabel yang akan dikaji. Beberapa
24
Sartono Kartodirjo (Ed), 1983. Elit dalam penulis yang mengangkat Manggarai
Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES, hlm. sebagai basis kajian tidak memberikan
vii

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 75


perhatian serius pada kelompok ini. Golo dan Lingko/Lodok. Verheijen,
Verheijen25 dalam Manggarai dan seperti dikutip Lawang28 mende-
Wujud Tertinggi hanya melihat finisikan Wau’ sebagai keturunan
eksistensi orang Manggarai dalam menurut garis laki-laki (klan
relasinya dengan Wujud Tertinggi patrilineal). Wau’ mendiami daerah
terutama dalam kaitannya dengan atau wilayah tertentu yang disebut
pelaksanaan ritual-ritual adat. beo/golo. Secara harafiah beo dan
26
Demikian pun Dami N. Toda dalam golo memiliki pengertian yang sama
Manggarai Mencari Pencerahan yakni satu kesatuan tempat tinggal
Historiografi hanya membahas yang disebut kampung, namun
perkembangan masyarakat Manggarai menurut Lawang, kedua istilah itu
dari perspektif sejarah. memiliki perbedaan prinsipil. Lawang
Seorang peneliti yang patut menggambarkan perbedaan tersebut
disebutkan di sini yang mempunyai sebagai berikut :
perhatian pada kedua elit ini adalah “.......semua beo dapat
Robert M.Z. Lawang27. Meskipun disebut golo, tetapi tidak semua
Lawang membahas konflik tanah di golo dapat disebut beo. Ada
Manggarai, tetapi dalam uraiannya lima karakter dasar yang ada
dia juga melihat eksistensi dan peran dalam setiap beo yakni mbaru
kedua elit ini. Hal ini penting karena tembong (rumah tempat
persoalan tanah yang menjadi menyimpan gendang, tempat
masalah sosial utama di Manggarai pelaksanaan ritus-ritua adat,
selalu terkait dengan dua kelompok tempat penyimpanan benda-
elit ini. Lawang tidak membahas benda pusaka, dan tempat
secara khusus kedua elit ini tetapi pelaksanaan rapat-rapat
mengaitkannya dengan keseluruhan penting), compang (mezbah
uraian tentang konflik tanah di persembahan), wae teku (mata
Manggarai. air untuk menghidupi anggota
Berbicara mengenai tua golo beo), boa’ (kuburan), dan beo’
dan tua teno untuk konteks (kampung asal)....”29.
Manggarai (termasuk Manggarai
Timur dan Manggarai Barat), harus Berdasarkan kategori di atas,
selalu dikaitkan dengan Wau’, Beo’, maka beo’ harus dimaknai tidak hanya
secara fisik tetapi juga secara sosial.
25
Jilis A.J. Verheijen, 1991. Manggarai dan
Sementara itu, golo tidak mesti beo,
Wujud Tertinggi (Terj). Jakarta: LIPI-RUL. karena golo tidak memiliki unsur ke
26
Dami N. Toda. 1999. Manggarai Mencari lima dari beo yakni beo sebagai
Pencerahan Historiografi, Nusa Indah, kampung asal. Sebab dalam konteks
Ende ini, beo dianggap sebagai satuan
27
Lihat Robert. M.Z. Lawang. 1999. Konflik
Tanah di Manggarai Flores Barat,
kampung asal tempat tinggal nenek
Penerbit UI-Press; Robert M.Z. Lawang, moyang. Di sini golo memiliki dua
2004. Stratifikasi Sosial di Cancar pengertian yakni pertama sebagai
Manggarai Flores Barat Tahun 1950-an
dan Tahun 1980-an. Jakarta: Penerbit UI-
28
Press. Lawang, Op. Cit, hlm. 41
29
Ibid. hlm. 49-50

76
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
satuan pemukiman tradisional-tempat membagi tanah. Dalam hal membuka
tinggal satu wa’u/klan tertentu kebun baru/ligko/lodok, tua teno harus
(setelah membuka lahan kemudian memintah izin tua golo terlebih
menetap di situ untuk beberapa waktu dahulu, karena tua gololah yang
tertentu dan masih memiliki ikatan memiliki hak ulayat atas lahan tertentu
yang kuat dengan beo/kampung atau yang disebut lingko atau lodok.
asalnya ) dan kedua sebagai satuan Jadi, Tua teno tidak memilik hak
lahan yang dimiliki oleh klan atau ulayat atas tanah, kekuasaannya hanya
suku tertentu. sejauh menyangkut pembagian
Ketika lahan tersebut mulai tanah/lahan yang disebut lingko atau
dibuka dan didistribusikan kepada lodok. Namun, tua teno mempunyai
anggota klan/suku maka lahan itu otoritas khusus yakni membagikan
disebut lingko atau lodok. Dalam tanah kepada anggota yang lain.
praktiknya, bentuk lingko atau lodok Dalam hal membagi tanah, Tua teno
menyerupai jaring laba-laba. Golo harus memberikan kesempatan kepada
yang kemudian berubah menjadi tua golo untuk memilih luas dan
lingko/lodok dimiliki oleh klan/suku menentukan lahan yang akan
tertentu yang dipimpin oleh seorang dimilikinya (tua golo). Anggota suku
kepala suku yang disebut tua golo. yang lain menerma pembagian yang
Jadi, tua golo adalah tuan dilakukan oleh tua teno. Karena
tanah/pemilik tanah. Tua golo fungsi yang begitu penting dalam
memiliki kuasa, otoritas dan mengurus berbagai hal yang
wewenang untuk mengatur beo, berhubungan dengan tanah pertanian
lodok/lingko, dan berbagai urusan maka kelompok ini oleh Scott31
adat. Di wilayah Manus-Manggarai disebut elit agraris. Relasi yang
Timur, tempat akan dilakukannya dibangun oleh elit ini bersifat patron-
penelitian ini, tua golo juga disebut klien. Ciri utama relasi yang bersifat
tua beo. Tua golo atau tua beo inilah patron-klien terutama dibidang
yang lazim disebut kaum bangsawan pertanian ini menurut Scott adalah
dalam konteks Manggarai secara ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas
keseluruhan. relasi.
Sebagaimana digambarkan Marc Penjelasan di atas menarik untuk
Bloch dalam Kartodirdjo30, kaum diamati, manakala mengikuti pola
bangsawan, sebagai sebuah kelas pembagian elit yang dibuat Pareto.
sosial, tidak mengenal pekerjaan Mengikuti Pareto, masyarakat
bertani. Kaum bangsawan hanya Manggarai dibagi dalam dua
memanggul senjata dan menikmati kelompok besar yakni kelompok elit
berbagai macam hiburan. Dalam dan kelompok massa. Kelompok elit
konteks yang sama, para tua golo terdiri dari dua kategori yakni elit
kemudian menyerahkan hak untuk yang memerintah dan elit yang tidak
membagi tanah kepada orang memerintah. Di sini Tua golo
kepercayaannya yang disebut tua mewakili elit yang memerintah dan
teno. Tua teno, oleh tua golo diberi
wewenang mengurus tanah sekaligus 31
James C. Scott, 1993. Perlawanan Kaum
Tani. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor
30
Kartodirjo, Op.Cit. Indonesia, hlm. 4

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 77


tua teno mewakili elit yang tidak di atas, sebenarnya dapat diketahui
memerintah. Meminjam Marx, dalam apa yang menjadi basis material
Giddens dan Held32, relasi peran yang konflik kedua elit ini. Pertarungan
terjadi jelas bersifat dominatif dan status, otoritas, kekuasaan dan
subordinatif, karena besarnya wewenang kemudian menjadi nampak
kekuasaan dan wewenang dari elit dalam perjuangan kelas tertentu.
tertentu (tua golo), sementara elit Menarik bahwa perjuangan tua teno
yang lain (tua teno) bersifat untuk merebut atau minimal meminta
menjalankan perintah. perhatian tua golo dilakukan melalui
Dalam konteks penelitian ini, alat produksi yang disebut tanah.
relasi antara tua golo dan tua teno Dengan merujuk pada pandangan
didefinisikan sebagai hubungan sosial kaum Weberian33, hal ini dapat
yang terjadi antara tua golo dan tua dimengerti karena tanah
teno dalam sebuah dalam sebuah merepresentasi status, otoritas,
struktur sosial dan struktur budaya kekuasaan dan wewenang tua golo.
dalam bingkai asimetris. Itu berarti, Oleh karena itu, dengan mengklaim
dalam konteks ini diasumsikan tanah tertentu maka tua teno
hubungan antara kedua elit ini sebetulnya sedang mengerjakan
ditandai oleh ketidakseimbangan proyek penyamarataan hak dan
antara yang memberi perintah (tua wewenang.
golo) dengan yang menjalankan Dalam penelitian ini, konsep
perintah (tua teno). Dalam per- status, otoritas/wewenang dan kekua-
kembangan yang lain, pada pihak yang saan lebih mengacu pada pandangan
menjalankan perintah diasumsikan Weber. Dalam pandangan kaum
timbul kesadaran untuk melawan pihak Weberian34, status berkaitan dengan
yang memberi perintah untuk distribusi kehormatan sosial dalam
memberikan hak dan wewenang yang dalam suatu komunitas.Status adalah
lebih luas lagi; tidak hanya sekedar hak kedudukan seseorang dalam
untuk membagi tanah. Artinya, dalam masyarakat berdasarkan kelas
relasi tersebut, nuansa pertarungan sosialnya. Kelas sosial salah satunya
kepentingan atau lebih tepat perebutan ditentukan oleh wewenang dan
kepentingan dan perebutan pengaruh kekuasaan. Menurut Weber dalam
menjadi sasaran pokok. Giddens dan Held35 kekuasaan adalah
“kesempatan bagi seseorang atau
V. KONFLIK TUA GOLO VERSUS sekelompok orang untuk mewujudkan
TUA TENO: TENTANG STATUS, kehendaknya dalam bentuk suatu aksi
WEWENANG/OTORITAS, DAN sosial baik terhadap mereka yang
KEKUASAAN menentang kehendak itu maupun
terhadap yang mengikutinya”.
Mengacu pada pola relasi yang Menurut Weber, kekuasaan dapat
dibangun antara tua golo dan tua teno
33
E. Laeyendecker, 1991. Tata, Perubahan
32
Anthony Giddens dan David Held (eds), dan Ketimpangan. Jakarta: Penerbit Grame-
1982. Power Class and Conflict. Los dia Pustaka Utama.
34
Angeles: University of California Press, p. Giddens dan Held. Op.Cit. hlm 24
35
19 Ibid., hlm 23

78
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
menjadi landasan bagi terbentuknya formalistik pada supremasi hukum. Di
kehormatan sosial. Kehormatan sosial sini aturan hukum dibuat untuk
dijamin oleh apa yang disebut sebagai menciptakan keteraturan sosial.
tertib hukum. Tertib hukum inilah Studi tentang upaya tua teno
yang nantinya menjadi alasan bagi merebut hak golo belum pernah
pemegang kekuasaan atau otoritas dilakukan selama ini. Lawang38,
untuk mempertahankan kekuasaan- dalam salah satu temuannya tentang
nya. Namun, di sini Weber belum konflik tanah di Manggarai
menjelaskan secara pasti sistem menyebutkan bahwa yang berkonflik
hukum mana yang dimaksudkannya; di Manggarai adalah tua golo vs tua
apakah mengacu pada hukum formal golo karena adanya saling klaim
atau adat atau tertulis atau tidak masing-masing pihak terhadap lahan
tertulis. Dalam konteks kekuasaan tertentu. Artinya, tua teno tidak
lokal, kekuasaan atau otoritas tua pernah membuat “ulah”. Konflik
golo dapat ditopang oleh sistem atau antartua golo dalam konteks
tertib adat36. perebutan lahan di Manggarai tidak
Sementara itu, otoritas dalam hanya dibaca sejauh menyangkut
perspektif kaum Weberian dikaitkan perebutan alat produksi yaitu tanah.
dengan kekuasaan yang sah menurut Sebagaimana telah dijelaskan dalam
struktur sosial politik tertentu. Di sini paparan terdahulu tulisan ini, tanah
otoritas dipahami sebagai kekuasaan merupakan simbol kekuasaan, sumber
untuk memerintah dan tugas untuk wewenang dan otoritas. Tua golo
patuh37. Weber membagi otoritas adalah pihak yang menguasai hak
menjadi tiga yakni otoritas ilayat atas tanah. Itu berarti, otoritas
tradisional, otoritas karismatis dan dan kekuasaan atas lahan tertentu
otoritas legal. Otoritas tradisional melekat padanya. Pada bagian lain,
yaitu otoritas yang dilandasi oleh tua teno memiliki wewenang tertentu.
kesucian tradisi. Dalam otoritas Tua teno adalah pihak yang membagi
tradisional, kelompok dominan tanah ketika sebuah lahan (lingko)
dianggap sebagai kelompok yang dibuka. Wewenng tua teno hanya
given yang memiliki hak penuh untuk pada tataran seperti itu, tetapi
memerintah berdasarkan tradisi. wewenang seperti itu dianggap
Rakyat diikat oleh ikatan keter- mutlak, sebab tidak ada pihak lain
gantungan personal dan tradisi yang boleh membagi tanah dan
kesetiaan. Pada ototritas kharismatis, membuka lahan (termasuk tua golo)
kekuasaan seorang pemimpin kecuali dilakukan oleh tua teno.
dianggap berasal dari kekuatan Pada bagian lain, Ngamal39
supranatural dan oleh karena itu mencoba mengangkat persoalan
terdapat kehendak dari para pengikut delegitimasi peran tua teno dalam
untuk mematuhi semua perintah dari
sang pemimpin. Tipe otoritas legas 38
Lawang, Op.Cit., hlm. 92-96
dilegitimasikan oleh keyakinan 39
Yosefina Yasinta Ngamal, 2008. Faktor-
Faktor yang Melatarbelakangi Berkurang-
36
Lawang, Op.Cit, hlm. 9 nya Loyalitas Warga Masyarakat terhadap
37
Denis Wrong (Ed.). 2003. Max Weber Peran Tua Teno dalam Menyelesaikan
Sebuah Khazanah. Yogyakarta: Ikon Sengekta Tanah, Skripsi Sarjana, Jurusan
Teralitera, hlm. 228-235 Sosiologi, Fisip UNDANA, Kupang

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 79


mengelola distribusi tanah di Lawang40, konflik yang awalnya
Manggarai. Dalam penelitiannya hanya melibatkan antara dua elit
tersebut Ngamal menyebutkan bahwa (person to person) turut melibatkan
salah satu sumber delegitimasi adalah anggota kelompok yang lain.
transformasi sosial dalam bidang Dahrendorf dalam Ritzer dan
41
pendidikan. Orang yang berpendi- Goodman , menyebutkan bahwa
dikan yang datang dari kota, rata-rata ketika konflik melibatkan banyak
belum bekerja, berupaya membuka orang/massa maka intensitas dan
lahan baru atau malah menegasikan akibat yang ditimbulkan oleh konflik
peran tua teno. Walaupun demikian, itu akan semakin besar/tinggi. Dalam
kesimpulan seperti ini patut diperiksa perkembangan yang sama, konflik
ulang, sebab logika pendidikan akan semakin memperkuat integrasi
sebagai alat transformasi menjadi internal anggota kelompok42. Artinya,
sangat kabur ketika manusia yang setiap anggota kelompok akan
mengaku diri berpendidikan berafiliasi dengan kelompok
menegasikan sendiri pendidikan dan mayoritasnya. Afiliasi dengan kelom-
pengetahuan yang dimilikinya yang pok mayoritas mempunyai dua tujuan
termanifestasi dalam berbagai utama, pertama untuk mencari
gerakan dan upaya delegitimasi perlindungan dan kedua untuk
otoritas yang berwewenang menyokong kekuatan kelompok dalam
mengurusi adat/tanah. Semua menghadapi arogansi dan tekanan
penelitian ini dilakukan di Kabupaten kelompok lain. Hasil temuan Lawang
Manggarai. tentang konflik tanah di Manggarai
Berbeda di Kabupaten Manggarai, menyebutkan bahwa masing-masing
di wilayah Manus (Desa Rana kelompok rela berkorban bahkan
Meling) Kabupaten Manggarai nyawa sekalipun untuk mempertahan-
Timur, konflik tanah (konflik yang kan gengsi dan status. Hal ini
melibatkan beberapa pihak dengan menunjukan bahwa berbagai unsur
tanah sebagai obyek konflik) terjadi stratifikasi dan kelas sosial menjadi
antara tua golo dengan tua teno. taruhan wajib bagi masyarakat tanpa
Meskipun konflik antara tua golo memperdulikan dampak yang
tetap ada, tetapi jumlahnya tidak ditimbulkannya.
sebanyak konflik antara tua teno. Dalam buku Perlawanan Kaum
Minimnya konflik antara tua golo di Tani, James Scott43, menggambarkan
Manggarai Timur disebabkan karena dengan tepat transformasi sosial yang
di sana, antara tua golo memiliki terjadi di pedesaan Asia Tenggara
batasan yang jelas soal kepemilikan pascakolonialisme. Pascakolonial
tanah (hak ulayat) setiap suku.
Konflik antara dua kelompok elit 40
Lawang, Op.Cit. hlm. 91
tradisional ini (baik antara tua golo vs 41
George Ritzer dan Douglas J. Goodman,
tua golo ataupun tua golo vs tua teno) 2008.Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi
kemudian membawa konsekuensi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir
tertentu. Sebagaimana digambarkan Teori Sosial Postmodern (Terj).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
42
Coser, Op.Cit., hlm. 133
43
Scott, Op.Cit., 25

80
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
merupakan era di mana muncul dan yang lain. Di sini, tua golo memiliki
menguatnya kekuasaan lokal yang posisi yang penting dibanding tua
berada di tangan para elit lokal. teno. Sebab, tua golo adalah kepala
Kondisi ini mempengaruhi struktur kampung yang menentukan posisi tua
sosial masyarakat yang oleh Scott teno sebagai orang atau lembaga yang
dibagi menjadi tiga tema besar, yakni mengurus atau membagi tanah.
proses diferensiasi sosial, pertum- Implikasi dari model relasi seperti ini
buhan negara kolonial, dan adalah tua teno harus meminta
komersialisasi pertanian dan persetujuan tua golo dalam setiap
konsentrasi pemilikan lahan. kegiatan yang berhubungan dengan
Selanjutnya, Scott44 menyebutkan akitivitas adat dan tanah. Sementara
bahwa komersialisasi pertanian relasi yang bersifat koordinatif terjadi
membawa dampak komersialisasi dan ketika tua golo dan tua teno duduk
neraca pertukaran patron-klien. Relasi bersama dalam satu forum untuk
patron-klien dengan berbagai varian- membicarakan hal-hal yang berkaitan
nya ini dapat menjadi penyebab dengan persoalan kampung atau
munculnya benih-benih konflik di persoalan sosial lainnya.
masyarakat, di antaranya dapat Berdasarkan berbagai kajian di
disebut sebagai berikut : kepemilikan atas, maka dapat disimpulkan bahwa
lahan yang tidak seimbang, sumber konflik diidentifikasi dalam
pertumbuhan populasi, fluktuasi satu hal utama, yakni tanah. Di sini
harga produsen-konsumen di bawah tanah menjadi simbol status,
pertanian komersial, hilangnya kekuasaan dan wewenang. Pergulatan
sumber daya lepas (lahan yang belum perebutan kekuasaan dan wewengang
dibuka, padang gembala bersama, dengan tanah sebagai sumber utama
bahan bakar gratis, dan lain-lain), diasumsikan memunculkan konflik
memburuknya mekanisme pemerin- yang berkepanjangan. Konflik ini
tahan desa, negara kolonial kemudian diperparah oleh berubahnya
melindungi hak milik dari kelas struktur sosial ekonomi masyarakat
pemilik tanah. secara keseluruhan melalui monetisasi
tanah dan sumber daya di desa
VI. PENUTUP sebagaimana digambarkan Scott di
atas.
Relasi sosial antara tua golo dengan
tua teno memiliki pola yang khas.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui
bahwa pola relasi antara tua golo
dengan tua teno bersifat subordinatif
dan koordinatif. Relasi yang bersifat
subordinatif terjadi karena struktur
sosial masyarakat Manggarai secara
keseluruhan menempatkan salah satu
elit pada posisi sosial di atas dari

44
Ibid., 30

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 81


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alfian, M M. Alfan. 2006. “Relevansi Studi Elit Di Indonesia”. Dalam Kata
Pengantar Editor buku Elit dan Masyarakat, T. B. Bottomore. Jakarta:
Akbar Tanjung Institute.
Bottomore, T. B., 2006. Elit dan Masyarakat (Terj). Jakarta: Akbar Tanjung
Institute
Clark, Samuel (Ed.), 2004, Bukan Sekedar Persoalan Kepemilikan: Sepuluh Studi
Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa Timur dan Flores,
Conflict and Community Development Research and Analytical Program
Indonesian Social Development Paper No. 4
Coser, Lewis A. 1971. Master of Sociological Thought. New York, Chicago, San
Fransisco, Atlanta: Harcourt Barace Jovanovich.
Giddens, Anthony dan David Held (eds). 1982. Class, Power and Conflict. Los
Angeles: University of California Press.
Johnson, Doyle Paul. 1986., Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II (terj.
Robert R.Z. Lawang). Jakarta: PT. Gramedia.
Johnson, Doyle Paul. 1988 Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I (terj. Robert
R.Z. Lawang). Jakarta: PT. Gramedia.
Kartodirjo, Sartono (Ed). 1983. Elit dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES,
Keech-Marx, Ulla. 2002. “Komersialisasi Tenunan Songke:Dampaknya Terhadap
Masyarakat Manggarai Studi Kasus di Kecamatan Cibal, Kabupaten
Manggarai, Flores, NTT”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Malang, kerjasama dengan Australian Consortium For In-
Country Indonesian Study (Acicis) dan South-East Asia Centre Australian
National
Keller Suzanne.1995. Penguasa dan Kelompok Elit (Terj). Jakarta: Raja Grafindo
Persada,
Laeyendecker, E. 1991. Tata, Perubahan dan Ketimpangan. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama.
Lawang Robert. M.Z, 1999. Robert M.Z. Lawang, Konflik Tanah di Manggarai
Flores Barat, Jakarta: Penerbit UI-Press.
Lawang, Robert M.Z., 2004. Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai Flores
Barat Tahun 1950-an dan Tahun 1980-an. Jakarta: Penerbit UI-Press.
Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2008.Teori Sosiologi dari Teori
Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern
(Terj). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer,George 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Terj).
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

82
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor
Indonesia.
Toda, Dami N.,1999. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa
Indah.
Verheijen, Jilis A.J.. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi (Terj). Jakarta: LIPI-
RUL.
Wrong, Denis (Ed.). 2003. Max Weber Sebuah Khazanah. Yogyakarta: Ikon
Teralitera.
Ngamal, Yosefina Yasinta 2008. Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi
Berkurangnya Loyalitas Warga Masyarakat terhadap Peran Tua Teno dalam
Menyelesaikan Sengketa Tanah, Skripsi Sarjana, Jurusan Sosiologi, Fisip
UNDANA, Kupang

Pola Relasi Sosial Elit Tradisional... 83


84
DEMOKRASI Vol. X No. 1 Th. 2011

Anda mungkin juga menyukai