Anda di halaman 1dari 25

INTEGUMENT

1. Luka Bakar
A. Pengertian
Luka bakar merupakan suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus
listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan
yang lebih dalam. (Permadi, 2019)
B. Etiologi
1. Flame (api)
Terjadi akibat kontak langsung antara jaringan .dengan api terbuka,
sehingga menyebabkan cedera langsung ke .jaringan tersebut. Api
dapat membakar pakaian terlebih dahulu .baru mengenai tubuh. Serat
alamipada pakaianmemiliki .kecenderungan untuk terbakar,
sedangkan serat sintetik .cenderung meleleh atau menyala dan
menimbulkan cedera .tambahan berupa cedera kontak (Moenadjat,
2005).
2. Bahan Kimia
Luka bakar karena bahan kimia seperti berbagai macam zat asam,
basa, dan bahan lainnya. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan
jumlah jaringan yang terpapar menentukan luasnya injury. Luka bakar
kimia terjadi karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering
dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia
yang dipergunakandalam bidang industri dan pertanian (Moenadjat,
2005).
3. Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar sinar matahari atau
terpapar sumber radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia
kedokteran dan industri (Moenadjat, 2005).
4. Sengatan Arus Listrik
Luka bakar listrik disebabkan oleh panas yang digerakan dari
energi listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka
dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya tegangan (voltage) dan
cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh(Moenadjat,
2005).

C. Faktor Resiko
Pajanan sinar matahari dan pekerjaan yang berhubungan langsung
dengan api yang dapat mengakibatkan luka bakar (Permadi, 2019)
D. Patofisiologi
Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal
tetapi memiliki efek systemic. Perubahan ini khusus terjadi pada luka
bakar dan umumnya tidak ditemui pada luka yang disebabkan oleh cedera
lainnya. Karena efek panas terdapat perubahan systemic peningkatan
permeabilitas kapiler. Halini menyebabkan plasma bocor keluar dari
kapiler ke ruang interstitial. Peningkatan permeabilitas kapiler dan
kebocoran plasma maksimal muncul dalam 8 jam pertama dan berlanjut
sampai 48 jam. Setelah 48 jam permeabilitas kapiler kembali kembali
normal atau membentuk trombus yang menjadikan tidak adanya aliran
sirkulasi darah. Hilangnya plasma merupakan penyebab hypovolemic
shock pada penderita luka bakar.
E. Manifestasi Klinis
Menurut Permadi, 2019 Manifestasi klinis luka bakar bergantung pada
derajat luka bakar sebagai berikut :
1. Luka bakar derajat I :
- berwarna kemerahan
- terdapat gelembung yang ditutupi oleh daerah putih
- epidermis yang tidak mengandung pembuluh darah
2. Luka bakar derajat II
- Melepuh
- Dasar luka berwarna merah atau pucat
- terletak lebih tinggi diatas permukaan kulit normal
- nyeri karena ujung saraf teriritasi
3. Luka bakar derajat III
- Tidak timbul nyeri
- penyembuhan lama
- kulit berwarna abu-abu atau coklat
- Kelenjar sebasea rusak
- Tidak ada pelepuhan
F. Problem Fisioterapi
Problematika Fisioterapi pada penderita luka bakar diantaranya :
1. Penurunan Jalan Nafas
2. Penurunan ROM
3. Penurunan kekuatan otot
4. Adanya oedema pada daerah yang terkena luka bakar
5. Adanya kontraktur
G. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Latihan Pernapasan
- Respiratory muscle training
Pelatihan otot pernafasan memungkinkan ekspansi paru-paru lengkap,
pergerakan tulang rusuk di semua tingkatan dan arah. Ini
mempengaruhi perkembangan paru-paru yang kuat dan merupakan
suplai oksigen yang cukup selama pembersihan terkontrol tubuh dari
karbon dioksida. Menurut amonette (2002), respiratory muscle
training dilakukan dalam 30 kali inhalasi dan ekshalasi maksimal
sebanyak 2 kali sehari.
- Deep breathing training
Latihan deep breathing yang diberikan dengan dosis frekuensi 3 kali
seminggu selama 30 menit sebanyak 10 set dapat dapat meningkatkan
kemampuan otot inspirator. Kekuatan otot inspirator yang terlatih
akan meningkatkan kemampuan pengembangan parusehingga
meningkatkan fungsi ventilasi dengan perbaikan keteraturan
pernapasan yang akan meningkatkan penampilan fisik seseorang
yang terbebas dari kondisi kelemahan (nurhayati dkk, 2014).
2. Latihan ROM
A. Passive exercise
latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada
anggota gerak bawah, dan juga mencakup latihan pada sendi-sendi
anggota gerak atas. Latihan diberikan 5x seminggu dalam waktu
30 menit.
B. Active assisted exercise
Latihan dilakukan dengan cara posisi pasien tidur terlentang kemudian
pasien menggerakkan anggota geraknya dan dibantu oleh terapis
hingga full rom. Latihan dilakukan 5x dalam seminggu dengan
intensitas continuous dalam waktu 30 menit setiap latihan.
2. Lepra
A. Pengertian
Menurut Hajar tahun 2017, Kusta atau Morbus Hansen adalah
infeksi menahun yang disebabkan Mycobacteria leprae (M.lepra) primer
yang menyerang saraf tepi di mana selanjutnya dapat menyerang kulit dan
organ lainnya. Penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan jika tidak
segera ditangani dan dapat menimbulkan masalah psikososial akibat
stigma atau predikat buruk dalam pandangan masyarakat.

Gambar 1. Lepra (www.halodoc.com)


B. Etiologi
Lepra adalah infeksi menahun yang disebabkan Mycobacteria
leprae (M.lepra) primer yang menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit dan organ lainnya. Kusta dikenal dengan “The Great
Imitator Disease” karena penyakit ini seringkali tidak disadari karena
memiliki gejala yang hampir mirip dengan penyakit kulit lainnya (Tami,
2019).
C. Patofisiologi
Diawali dengan bakeri Mycobacteria leprae masuk ke tubuh yang
di mana biasanya melalui sistem pernafasan. Patogenisitas yang rendah
menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi yang
menimbulkan tanda- tanda penyakit lepra. Setelah memasuki tubuh,
bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam sel Schwann.
Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan sel-sel
endotel pembuluh darah. Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag,
keadaan bakteri tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi.
Peningkatan jumlah bakteri dalam tubuh dan infeksi akan memicu sistem
imun berupa limfosit dan histiosit (makrofag) untuk menyerang jaringan
yang terinfeksi. Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai
keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi. Apabila tidak
didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan
ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.

Di dalam tubuh manusia terdapat sistem imun seluler (SIS). SIS


memberikan perlindungan terhadap penderita kusta. Ketika SIS spesifik
efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan kusta dengan tipe pausibasiler (PB).
Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
kusta dengan tipe multibasiler (MB). Dalam perjalanan kronis penyakit
dapat timbul peningkatan respon imun secara tiba-tiba karena efek
pengobatan atau perubahan status imunitas sehingga menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf serta jaringan lainnya. Hal ini disebut
sebagai reaksi kusta (Darmaputra, 2019).

D. Manifestasi Klinis
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada sekitar perut, dada, dan
punggung. Bercak putih ini hanya sikit, tetapi lama kelamaan akan
semakin melebar dan bertambah banyak.
b. Kelenjar keringat tidak bekerja normal sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
c. Adanya bintik- bintik kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit (Permadi, 2019).
E. Problematika Fisioterapi
a. Gangguan motor function dan sensory integration yang berkaitan
dengan lepra.
b. Melihat dari hasil assesment (Melihat dampak yang ditimbulkan oleh
lepra).
F. Penatalaksanaan Fisioterapi
a. Active asissted
Active assisted adalah suatu latihan yang diberikan secara manual
atau mekanik oleh gaya luar atau dari orang lain karena otot penggerak
utama membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan gerakan yang
dikarenakan oleh penurunan fungsi otot. Dilakukan secara bergantian
kanan dan kiri sebanyak 2 set 8 repetisi (Kuswardani, 2019).

Gambar 2. Active Assisted (www.saebo.com/blog/important-facts-


stage-4-stroke-recovery/)

b. Latihan gerak pasif


Salah satu latihan gerak pasif yang dilakukan untuk lepra adalah
gerakkan meluruskan jari- jari secara pasif menggunakan tangan yang
sehat atau dengan bantuan orang lain. Selanjutnya pertahankan gerakan
tersebut selama 10 detik. Lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah
kekakuan otot yang terkena lepra. Jika sudah ada peningkatan
kelenturan otot, frekuensi dapat ditingkatkan untuk mencegah
kontraktur (Tiarasari, 2014).
Gambar 3. Latihan Gerak Pasif
(www.arnumfisioterapis.blogspot.com/2015/)

c. Stretching
Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan setiap terapi yang dirancang untuk meningkatkan
ekstensibilitas jaringan lunak, sehingga fleksibilitas meningkat dengan
cara memanjangkan struktur tersebut yang mulanya memendek
menjadi hypomobile seiring berjalannya waktu (Kisner & Colby, 2007
dalam Fauzi dkk, 2014 : 2-3). Pemberian stretching dapat mengurangi
rasa nyeri karena pada saat melakukan stretching serabut otot ditarik
ke luar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika hal ini terjadi maka
akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau abnormal
cross link pada otot yang memendek. Penguluran pada maksimal luas
gerak sendi akan merangsang golgi tendon organ sehingga timbul
relaksasi pada otot (Kisner & Colby, 2007dalam Fauzi dkk, 2014 : 3).

Gambar 4. Stretching pada jari tangan (www.hellosehat.com)


DAFTAR PUSTAKA

Darmaputra, I Gusti N., Putu Ayu D.G. 2018. Peran Sitokin dalam Kerusakan
Saraf
pada Penyakit Kusta: Tinjuan Pustaka. Intisari Sains Medis 9 (3). E-
ISSN: 2089-9084
Fauzi R, Adiputra N, Gede Adiatmika. 2014. Eccentric Exercise Lebih Baik
Menurunkan Rasa Nyeri Pada Tennis Elbow Dibandingkan Dengan
Terapi Ultrasound (Us) Dan Stretching. Majalah Ilmiah Fisioterapi
Indonesia. 2(3): 1-7
Hajar, Sitti. 2017. Morbus Hansen: Biokimia dan Imunopatogenesis. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala 17 (3). ISSN: 1412-1026
Permadi, Agung Wahyu. 2019. Fisioterapi Manajemen Kiomprehensif Praklinik.
Penerbit Buku Kedokteran : EGC. ISBN: 978-623-203-142-5
Tami, Mayam. 2019. Hubungan Antara Kusta Tipe Pausi Basiler dengan Angka
Keberhasilan Pengobatan Kusta Di Jawa Timur. Jurnal Berkala
Epidemiologi 7(1). ISSN: 2541-092X
Tiarasari, Riska. 2014. Rehabilitation And Disabilty Limitation Of Youth 22 Years
Old Morbus Hansen. Medula Unila 3(2)
3. Herpes Zoster
A. Pengertian.
Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus varicella zoster yang di mana menyerang saraf, kulit, dan
mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
infeksi primer dan terkadang infeksi primer berlangsung subklinis
(Permadi, 2019).
B. Etiologi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
varicella zoster yang bersifat terlokalisir, terutama menyerang orang
dewasa dengan ciri berupa nyeri radikuler, unilateral, dan gerombolan
vesikel yang terkenal sesuai dermatom yang diinervasi oleh satu
ganglion saraf sensoris (Ayuningati, 2015).
Infeksi primer dengan VZV menyebabkan varisela. Setelah
penyakit sembuh, virus tetap tidak aktif (laten) di ganglia akar dorsal.
VZV dapat reaktif di kemudian hari dalam kehidupan seseorang dan
menyebabkan ruam makulopapular yang menyakitkan yang disebut
herpes zoster.
C. Patofisiologi.
Virus varicella zoster menginfeksi sel epitel dan limfosit di
orofaring dan saluran napas atas serta konjungtiva. Virus tersebut
dapat menyebar dari satu atau lebih ganglion mengikuti dermatom
saraf (daerah pada kulit yang disarafi oleh satu spinal nerve) yang
menimbulkan tanda dan gejala pada kulit berupa cluster atau
gerombolan benjolan yang kecil yang kemudian menjadi blister.
Blister-blister tersebut akan terisi cairan limfa dan kemudian pecah
lalu menjadi krusta dan menghilang (Fitzpatrick, 2012).
Virus kemudian masuk ke kulit melalui darah dan menyebar ke sel
epitel untuk membentuk ruam dan vesikel. Lesi vesikuler akan berubah
menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang, kemudian lesi dapat
terbuka, kering dan menjadi krusta. Masa inkubasi VZV adalah 10-20
hari (dengan rata-rata waktu 14 hari).

D. Manifestasi Klinis
Munculnya tanda berupa lesi pada kulit. Rasa nyeri dan lesi
pada kulit biasanya muncul pada ekstrimitas, tetapi dapat juga muncul
pada wajah, mata, maupun bagian tubuh lain. Terdapat benjolan yang
panjang pada bagian perut, dada, punggung atau bagian genitalia
akibat virus varicella zoster yang berisi cairan atau berbentuk bintik-
bintik kecil maupun besar. Di dalam bintik- bintik tersebut terdapat
virus varicella zoster (Permadi, 2019).
E. Problematika Fisioterapi
a. Gangguan motor function dan sensory integration yang berkaitan
dengan herpes zoster.
b. Melihat dari hasil assesment (Melihat dampak yang ditimbulkan
oleh herpes zoster).
F. Penanganan Fisioterapi
a. Gerakan Cat Stretch
Posisi awal :
Letakkan tangan dan lutut di lantai, tangan sejajar bahu,
lutut sejajar pinggul, kaki rileks, mata menatap ke lantai.
Lengkungkan punggung, perut di arahkan mendekati lantai
senyaman mungkin. Tegakkan dagu dan mata menatap lantai.
Tahan selama 10 detik, sambil hitung dengan bersuara kemudian
rileks. Punggung digerakkan keatas, kepala menunduk ke lantai.
Tahan selama 10 detik, sambil hitung dengan bersuara kemudian
rileks. Duduk diatas tumit, rentangkan tangan kedepan sejauh
mungkin. Tahan selama 20 detik, hitung bersuara kemudian rileks.
Latihan dilakukan tiga kali (Saifah, 2019).
Gambar 1.Grakan Cat Stretch (Hidayah 2017)

b. Lower Trunk Rotation


Posisi awal:
Berbaring terlentang, lutut ditekuk, kaki dilantai, kedua
lengan dibentangkan keluar. Putar perlahan lutut ke kanan sedekat
mungkin dengan lantai, pertahankan bahu tetap dilantai. Tahan 20
detik kemudian hitung bersuara. Putar perlahan lutut ke kiri
sedekat mungkin dengan lantai pertahankan bahu tetap dilantai.
Tahan 20 detik kemudian hitung bersuara, kemudian kembali ke
posisi awal. Latihan dilakukan tiga kali (Saifah, 2019).

Gambar 2. Lower Trunk Rotation (Hidayah, 2017)

c. Gerakan Lower Abdominal Strengthening


Posisi awal :
Berbaring terlentang, lutut ditekuk, dan lengan
dibentangkan sebagian keluar. Letakkan bola antara lutut dan
bokong. Kemudian, ratakan punggung bawah ke lantai dengan
mengencangkan otot-otot perut dan bokong. Perlahan tarik kedua
lutut kearah dada sambil menarik tumit dan bola, setelah itu
kencangkan otot bokong dan jangan melengkungkan punggung
agar kekuatan focus pada otot perut. Latihan dilakukan 15 kali
pegulangan (Saifah, 2019).

Gambar 3. Gerakan Lower Abdominal Strengthening (Hidayah,


2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningati, Lia Kinasih & Diah Mira Indramaya. 2015. Studi Retrospektif:
Karakteristik Penderita Herpes Zoster. BIKKK - Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin - Berkala Dermatologi dan Kelamin 27
(3).
Fitzpatrick TB. 2010. Seborrhea Dermatitis. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine.Editor Freedberg IM, Edisi 6. New York: McGraw-
Hill

Permadi, Agung Wahyu. 2019. Fisioterapi Manajemen Kiomprehensif Praklinik.


Penerbit Buku Kedokteran : EGC. ISBN: 978-623-203-142-5

Saifah, Andi. 2019. Pengaruh Latihan Peregangan Perut Terhadap Intensitas


Dismenore pada Remaja Awal. Jurnal Kesehatan Tadulako 5 (2)
4. Herpes Simpleks
A. Pengertian
Virus Herpes Simpleks adalah virus DNA yang dapat
menyebabkan infeksi akut pada kulit yang ditandai dengan adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab. Ada 2 tipe virus
herpes simpleks yang sering menginfeksi yaitu :
a. HSV-Tipe I (Herpes Simplex Virus Type I)
HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral
Herpes), sedangkan HSV-Tipe II biasanya menginfeksi daerah genital
dan sekitar anus (Genital Herpes). HSV-1 menyebabkan munculnya
gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah,
dan sekitar mata.
b. HSV-Tipe II (Herpes Simplex Virus Type II)
HSV-2 atau herpes genital ditularkan melalui hubungan seksual dan
menyebakan gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada membran
mukosa alat kelamin. (Noviani, 2012).

B. Patofisiologi
Virus herpes simpleks disebarkan melalui kontak langsung antara
virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes
simpleks tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan
penyebaran infeksi melalui cara selain kontak langsung kecil
kemungkinannya terjadi. Virus herpes simpleks memiliki kemampuan
untuk menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan membran
sel.
a. Pada infeksi aktif primer, virus menginvasi sel dan cepat
berkembang dengan biak, menghancurkan sel dan melepaskan
lebih banyak virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada
infeksi aktif primer, virus menyebar melalui saluran limfe ke
kelenjar limfe regional dan menyebabkan limfadenopati.
b. Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan
infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif.
Setelah infeksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus
masuk ke dalam. Kemudian berpindah sepanjang tempat virus
yang terinfeksi menimbulkan sitotoksitas atau gejala pada manusia.
C. Problematika Fisioterapi
a. Gangguan motor function dan sensory integration yang berkaitan
dengan herpes simpleks.
b. Melihat dari hasil assesment (Melihat dampak yang ditimbulkan
oleh herpes simpleks).
D. Manifestasi Klinis
a. Bentol berisi cairan yang terasa perih dan panas. Bentolan ini akan
berlangsung beberapa hari. Bintil kecil ini bisa meluas tidak hanya
di wajah tapi bisa di seluruh tubuh.
b. Rasa sakit dan panas di seluruh tubuh yang membuat tidak nyaman
ini bisa berlangsung sampai beberapa hari disertai sakit saat
menelan makanan, karena kelenjar getah bening sudah terganggu.
c. Sering terasa gatal, kulit seperti terbakar di bagian tubuh tertentu
disertai nyeri di daerah selangkangan atau sampai menjalar ke kaki
bagian bawah.
d. Gejala herpes dapat melukai daerah penis, buah pelir, anus, paha,
pantat- vagina, dan saluran kandung kemih.
E. Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi dilakukan dengan mencegah atrofi otot
dengan cara melakukan static contraction. Tujuan dari static
contraction adalah untuk mengurangi oedema sehingga nyeri
berkurang. Posisi pasien pada hari pertama masih tidur terlentang
dengan disertai kaki yang sakit dielevasikan anatara 30 - 45˚ selama 10
- 15 menit dengan posisi terapis berada disamping pasien. Terapis
meletakkan tangannya dibawah betis pasien, kemudian pasien diminta
menekan tangan terapis ke bed, kemudian tangan terapis diletakkan
pada pergelangan kaki pasien, pasien diminta untuk menekan tangan
terapis. Gerakan dilakukan 5 – 10 kali hitungan diselingi dengan
menarik nafas dalam untuk rileksasi, gerakan ini diulang 4 kali dan
tetap aktif menggerakan daerah yang terkena.

5. Moluskus Kontagoisum
A. Pengertian
Moluskum kontagiosum adalah tumor epidermis jinak yang hanya
terdapat pada manusia, disebabkan oleh virus poks yang menginfeksi
sel epidermal. (Permadi, 2019). Agen penyebab digolongkan sebagai
satu-satunya anggota genus Molluscipoxvirus. Virus ini dapat masuk
melalui abrasi kecil pada kulit.
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dalam bentuk sporadis maupun
endemik dan lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa.
Penyakit disebarkan melalui kontak langsung dan tidak langsung
(misal, melalui tukang cukur, penggunaan handuk bersama, kolam
renang). Periode inkubasi dapat memanjang sampai 6 bulan dan
menetap sampai 2 tahun tetapi akhirnya akan menghilang spontan.
(Yana,Elvi, 2016).
B. Patofisiologi
Patofisiologi moluskum kontagiosum diawali masuknya virus
melalui kontak langsung pada kulit, mukosa, maupun benda yang
terkontaminasi Molluscipox (MCV). Virus kemudian mengalami
proliferasi pada sel epitel folikel, tepatnya di sitoplasma. Infeksi virus
pada bagian keratinosit menyebabkan pembengkakan sel dan
membentuk badan inklusi intrasitoplasmik atau biasa disebut sebagai
badan moluskum, yang semakin mendorong inti keratinosit ke arah
perifer seiring dengan pertumbuhan sel yang terinfeksi.
Selain itu, MCV juga mengakibatkan terbentuknya lobus yang
tersusun dari beberapa lobulus yang tumbuh mengarah ke lapisan
dermis dan dipisahkan satu sama lain oleh membran basalis.
Umbilikasi lesi merupakan tempat berkumpulnya partikel virus dan
debris, yang juga merupakan material nekrotik hasil proses sitosidal
oleh sistem pertahanan tubuh. Kontak dengan materi yang menjadi isi
umbilikasi lesi adalah faktor penting transmisi moluskum
kontagiosum. (Sharquie dkk, 2015)

C. Problematika Fisioterapi
a. Penurunan kualitas hidup (antibodi terganggu)
b. Gangguan motor function dan sensory integration yang berkaitan
dengan herpes simpleks.
c. Melihat dari hasil assesment (Melihat dampak yang ditimbulkan
oleh herpes simpleks).

D. Manifestasi Klinis
Berikut adalah tanda gejala molluscum kontagoisum yaitu:
a. munculnya bintil-bintil kecil seukuran jarum pentul, berbentuknya
bulat dan berwarna putih dengan cekungan kedalam pada bagian
tengah bintil.
b. Terkadang disertai dengan gatal ringan tetapi tidak nyeri
c. Bintil terdapat berwarna agak kemerahan apabila teriritasi
d. Bintil juga dapat bernanah apabila terjadi infeksi sekunder akibat
bakteri
e. Berbentuk kubah (dome shaped) sewarna kulit.
f. Di tengah lesi terdapat lekukan kecil berisi seperti nasi berwarna
putih.

E. Penatalaksanaan Fisioterapi
Fisioterapi mengetahui penyakit ini guna untuk menghindari kontak
langsung terhadap pasien yang terkena penyakit ini . karena penularan
penyakit ini salah satunya dengan kotak langsung .
Bila mana fisioterapi menemukan penyakit Moluskum kontagiosum
pada saat menangani pasien disarankan untuk merujuknya kedokter
spesialis kulit . Apabila sudah sembuh baru dilaksakan tindakan
selanjutnya oleh fisioterapi . Menjaga agar tidak terjadi penurunan
kekuatan otot dengan cara tetap aktif menggerakkan daerah yang
terkena. (Permadi,AW, 2019)
– Terapi Sinar Laser : membakar bintil menggunakan sinar laser
– Diathermy : menghancurkan bintil menggunakan energi
panas, dengan terlebih dahulu diberikan bius lokal
– Krioterapi : membekukan bintil menggunakan nitrogen
cair, dibekukan secara adekuat dimana dalam waktu 1-2 hari oleh
asam salisilat 12 - 26 %, efek keratolitik asam salisilat mampu
membantu mengurangi ketebalan bintil dan menstimulasi respon
inflamasi.

6. Sistemic Lupus Erithematosus (SLE)


A. Pengertian
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kolagen
vaskuler yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem
muskuloskleletal, kulit dan pembuluh darah (Wedari, 2014). Judha dan
Setiawan tahun 2015 menjelaskan bahwa SLE adalah kondisi
peradangan kronis yang disebabkan oleh penyakit autoimun dimana
sistem imunnya menyerang sel, jaringan, dan organ tubuhnya sendiri.
Systemic Lupus Erithematosus adalah penyakit autoimun yang
heterogen ditandai dengan perjalanan klinis berfluktuasi dan
peradangan multiorgan yang dapat resisten terhadap pengobatan
menyebabkan kerusakan (Bello, dkk, 2016).
B. Etiologi
Penyebab SLE masih belum diketahui, namun ada beberapa faktor
predisposi sebagai berikut:
1. Faktor genetik berperan dalam respon imun yang abnormal
sehingga muncul autoantibodi yang berlebihan (Greenberg, dkk, 2008).
2. Faktor imunologi berhubungan dengan hiperaktifitas dari sistem
kekebalan dan produksi autoantibodi menyebabkan peradangan multiorgan
dan dapat resisten terhadap pengobatan yang diakhiri dengan kerusakan
pada organ (Bello, dkk, 2016).
3. Faktor hormonal pada wanita yaitu esterogen dapat meningkatkan
autoimunitas dengan cara meningkatkan produksi autoantibody,
menghambat fungsi sel natural killer , dan menyebabkan atropi pada
kelenjar thymus (Wallace, 2007). Kadar esterogen tinggi pada saat usia
produktif (15-44 tahun) adalah alasan utama banyak wanita muda dengan
rentan usia tersebut terserang SLE (YLI, 2011).
4. Faktor lingkungan seperti terpapar sinar ultra violet secara
langsung menyebabkan sel di kulit mengeluarakan sitokin dan zat nyeri
prostlaglandin sehingga terjadi inflamasi di area tersebut dan juga secara
sistemik melewati pembuluh darah (Judha & Setiawan, 2015), bahkan
faktor lingkungan seperti terserang virus dan bakteri seperti agen infeksius
berupa Epstein Barr Virus (EBV) yang umumnya virus ini tertidur dalam
sel dari sistem imun dan bakteri Sreptococcus maupun Clebsiella bisa jadi
sebagai pemicu terjangkitnya SLE (Judha & Setiawan, 2015).
5. Faktor pengobatan yang dijalani penderita SLE yaitu 80% akan
mendapatkan terapi steroid yang lama dan berkepanjangan, hal tersebut
secara tidak langsung akan menimbulkan efek samping terhadap fungsi
neutrofil (Kertia,2007).

C. Patofisiologi
Dalam study penelitian meperlihatkan bahwa penyakit SLE secara
imunologis ditandai dengan penurunan jumlah limfosit T dan leukosit
atau leukopenia. Limfosit tidak hanya memfagosit bakteri yang
merusak tubuh tapi juga sebagai pembentuk antibodi yang melindungi
tubuh terhadap infeksi kronis dan mempertahankan tingkat kekebalan
tubuh. Pada SLE dijumpai kelainan yang menyebabkan apoptosis pada
limfosit T sehingga menyebabkan kapasitas limfosit T autoreaktif
meningkat yang menimbulkan terstimulasinya limfosit B autoreaktif
sebagai hasilnya menyebabkan peningkatan respon terhadap stimulus
sitokin dan prostlagandin juga meningkat. Adanya limfosit T
autoreaktif mengalami kesalahan dalam mengenali antigen yang
seharusnya diserang oleh limfosit B yang justru akan menyerang sel,
jaringan, dan organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, otot, sel
darah, dan lain-lain (Suselo, dkk, 2016).

D. Problem Fisioterapi
Sistemic Lupus Erithemathosus (SLE) Merupakan Penyakit yang
menyebabkan peradangan autoimun yang menyebabkan peradangan
kronis pada tubuh manusia sehingga menyebabkan nyeri, kelelahan
yang berlebihan, dan penurunan kualitas kinetik. Pada kasus ini,
karena aktivitas antibodi yang salah dalam mendeteksi antigen
sehingga menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh akan menimbulkan
problematika fisioterapi yaitu nyeri dan penurunan kualitas kinetik
serta kemungkinan gejala lain yang dapat timbul seperti spasme dan
tighness

E. Manifestasi Klinis
a. Manifestasi renal.
Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30% pasien
dengan SLE. Nefritis terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala
awal bisa asimtomatik, sehingga pemeriksaan urinalisis dan
tekanan darah penting. Karakteristik manifestasi renal berupa
proteinuria >500 mg/urin 24 jam, sedimen eritrosit.
b. Manifestasi neuropsikiatrik.
Terdapat 19 manifestasi lupus neuropsikiatrik yang bisa dibuktikan
hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan berupa nyeri kepala,
kejang, depresi, psikosis, neuropati perifer. Manifestasi sistem
saraf pusat berupa aseptik meningitis, penyakit serebrovaskuler,
sindrom demielinasi, nyeri kepala, gangguan gerakan, mielopati,
kejang, penurunan kesadaran akut, kecemasan, disfungsi kognitif,
gangguan mood, psikosis. Manifestasi sistem saraf perifer berupa
polineuropati perifer akut, gejala autonom, mononeuropati,
miastenia gravis, neuropati kranial, pleksopati.
c. Manifestasi muskuloskeletal.
Manifestasi yang satu ini merupakan manifestasi yang paling
sering mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan mialgia
merupakan gejala tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip
dengan artritis reumatoid dan bisa disertai dengan faktor reumatoid
positif. Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan
deformitas, durasi kejadian hanya beberapa menit.
d. Manifestasi kulit.
Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan diskoid. Sering
dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi
oral berupa terbentuknya ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina
kering. Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan gambar 2
alopesia berat akibat SLE.
e. Manifestasi hematologi.
Berupa anemia normokrom normositer,trombositopenia,
leukopenia. Anemia yang terjadi bisa terjadi akibat SLE maupun
akibat manifestasi renal pada SLE sehingga mengakibatkan
terjadinya anemia. Limfopenia < 1500/uL terjadi pada 80% kasus.
f. Manifestasi paru.
berupa pneumositis, emboli paru, hipertensi pul,onal, perdarahan
paru, pleuritis. Pleuritis memiliki gejala nyeri dada, batuk, sesak
napas. Efusi pleura juga bisa terjadi dengan hasil cairan berupa
eksudat. Shrinking lung syndrome merupakan sistemik yang terjadi
akibat atelektasis paru basal yang terjadi akibat disfungsi
diafragma.
g. Manifestasi gastrointestinal.
Gejala tersering berupa dispepsia, yang bisa terjadi baik akibat
penyakit SLE itu sendiri atau efek samping pengobatannya.
Hepatosplenomegali (+). Terjadinya vaskulitis mesenterika
merupakan komplikasi paling mengancam nyawa karena dapat
menyebabkan terjadinya perforasi sehingga memerlukan
penatalaksanaan berupa laparotomy.
h. Manifestasi vaskuler.
Fenomena raynaud, livedo reticularis yang merupakan
abnormalitas mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis
merupakan komplikasi yang terjadi. Gambar berikut 3
menunjukkan livedo reticularis.
i. Manifestasi kardiovaskuler.
SLE dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal
jantung dan angina pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung
merupakan beberapa manifestasi lainnya.

F. Penatalaksanaan Fisioterapi
1. Infra red radiation (IRR) adalah lampu yang memancarkan radiasi
elektromaknetik yang menimbulkan efek panas saat diserap oleh
tubuh. IRR memiliki panjang gelombang 770 – 106 nm terdiri dari
cahaya tampak dan gelombang mikro pada spektrum
elektromaknetik. Kisaran panjang gelombang 1200 nm dapat
menembus 0,8 mm dibawah kulit sehingga dapat mempengaruhi
kapiler subkutaneus. Efek thermal yang dihasilkan IRR akan
merangsang thermoreceptor di kulit untuk mengirimkan sinyal
melalui sumsum tulang belakang lebih tepatnya di segmen
torakolumbal menuju ke otak agar menghambat mediator nyeri dan
dengan demikian dapat menurunkan aktifitas simpatik. Penurunan
aktifitas simpatik menyebabkan penurunan kontraksi otot halus
kemudian menyebabkan vasodilatasi pada daerah yang disinar dan
vasodilatasi pembuluh kapiler di kulit (Cameron, 2013).
2. Exercise Therapy
Exercise therapy dirancang sesuai kebutuhan individual setiap
penderita dengan tujuan untuk mengoptimalkan kerja fungsi tubuh.
Fungsi tubuh yang dimaksud meliputi mobilisasi, fleksibilitas,
stabilitas, kebugaran kardiorespirasi, keseimbangan, kontrol
motorik, kontrol neuromusculer, dan kontrol postural (Arofah,
2010).

DAFTAR PUSTAKA
Bello, G. A., & dkk. (2016). Development and validation of a simple lupus
severity index using ACR criteria for classification of SLE. Lupus Science
& Medicine.

Darmaputra, I Gusti N., Putu Ayu D.G. 2018. Peran Sitokin dalam Kerusakan
Saraf
pada Penyakit Kusta: Tinjuan Pustaka. Intisari Sains Medis 9 (3). E-ISSN:
2089-9084
Fauzi R, Adiputra N, Gede Adiatmika. 2014. Eccentric Exercise Lebih Baik
Menurunkan Rasa Nyeri Pada Tennis Elbow Dibandingkan Dengan
Terapi Ultrasound (Us) Dan Streatching. Majalah Ilmiah Fisioterapi
Indonesia. 2(3): 1-7
Fatmuji, Siagara. 2012. Prevalen Penderita Herpes Simpleks. Dalam
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25783/1/Ops
%20Siagara%20Fatmuji.pdf. Diakses tanggal 12 September 2017

Hajar, Sitti. 2017. Morbus Hansen: Biokimia dan Imunopatogenesis. Jurnal


Kedokteran Syiah Kuala 17 (3). ISSN: 1412-1026

Kuswardani. 2019. Pengaruh Terapi Latihan dan Kinesio Taping pada Lesi
Nerve Peroneus E.C Kusta. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi (JFR) 3 (1).
ISSN 2548-8716

Lestari,Noviani. 2012. Herpes Simpleks. Dalam


https://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/noviani-lestari-t
078114132.pdf. Diakses tanggal 12 September 2017

Permadi, Agung Wahyu. 2019. Fisioterapi Manajemen Kiomprehensif Praklinik.


Penerbit Buku Kedokteran : EGC. ISBN: 978-623-203-142-5

Plekutur. Moluskum Kontagiosum. Dalam


https://www.scribd.com/doc/94355000/MOLUSKUM-KONTAGIOSUM.
Diakses tanggal 5 Oktober 2020

Saifah, Andi. 2019. Pengaruh Latihan Peregangan Perut Terhadap Intensitas


Dismenore pada Remaja Awal. Jurnal Kesehatan Tadulako 5 (2)

Sharquie dkk. 2015. Pathogenesis of Molluscum Contagiosum: a new concept for


the spontaneous involution of the disease. Our dermatology Online:6 (3) )
Tiarasari, Riska. 2014. Rehabilitation And Disabilty Limitation Of Youth 22 Years
Old Morbus Hansen. Medula Unila 3(2)

Wedari, I. A. (2014). Lupus Eritematosus Sistemik: Sebuah Laporan Kasus. Bali:


Universitas Udayana Fakultas Kedokteran.
Yana, Elvi. 2016. Seorang Anak Usia 10 Tahun dengan Moluskum Kontagiosum
Volume 4 Nomor 3: 52.

Anda mungkin juga menyukai