Anda di halaman 1dari 34

Tinjauan Pustaka

Penyakit Gagal Jantung Kongestif Kronik


Christopher
102011333 – C9
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat 11510
email: leotopecc@hotmail.com

Pendahuluan
Gagal jantung (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai
oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan
struktur atau fungsi jantung. Dulu GJ dianggap merupakan akibat dari berkurangnya
kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan
diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load). Kurangnya fungsi pompa
jantung, yang menyebabkan kongesti akibat cairan di paru dan jaringan perifer, adalah hasil
akhir yang sering terjadi pada banyak proses penyakit jantung. Gagal jantung kongestif .
(GJK) terdapat pada sekitar 3 juta orang di Amerika Serikat; lebih dari 400.000 kasus baru
dilaporkan setiap tahun. Gambaran klinis sangat bervariasi; untuk setiap pasien, gejala dan
tanda bergantung pada seberapa cepat gagal jantung terjadi dan apakah hal tersebut mengenai
ventrikel kiri, kanan, atau keduanya. Sekarang GJ dianggap sebagai remodelling progresif
akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat
neurohumoral (neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin Receptor-Blocker
atau penyekat beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digitalis)
ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti biventricular pacing,
recyncronizing cardiac teraphy (RCT), intra cardiac defibrllator (ICD), bedah rekonstruksi
ventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan mioplasti.1,2
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kaitan penyakit gagal jantung
kongestif (congestive heart failure) dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,
working dan differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis untuk konsep pemahaman dalam
menegakkan diagnosis penyakit gagal jantung kongestif.

1
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung
atau tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi,
membagi informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan
pasien. Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif
berisi hal yang diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat
pribadi dan sosial.3
Gejala gagal jantung secara konvensional dibagi menjadi gagal ventrikel kiri (left
ventricular failure, LVP), gagal ventrikel kanan (right ventricular failure, RVF), atau kedua-
nya (gagal jantung kongestif atau biventrikel). Gagal jantung bukan merupakan diagnosis dan
penyebab yang mendasarinya harus selalu dicari. Gagal jantung adalah alasan yang sangat
sering, mencakup 5% dari pasien yang dirawat di bangsal rumah sakit.4

Gagal ventrikel kiri:


- Sesak napas.
- Ortopnea.
- Dispnea nokturnal paroksismal (Adakah masalah dengan pernapasan di malam hari?
Ceritakan lebih lanjut, tanyakan langsung mengenai jumlah bantal yang dipakai.)
- Yang lebih jarang adalah mengi (wheezing), batuk, sputum merah muda berbusa,
toleransi olahraga berkurang.4

Gagal ventrikel kanan:


- Edema perifer khususnya pada pergelangan kaki, tungkai, sakrum.
- Asites.
- Ikterus, nyeri hati, mual, dan nafsu makan berkurang (akibat edema usus), namun
jarang terjadi.
- Efusi pleura.4

Gagal jantung akut bisa timbul dengan gejala sesak napas mendadak dan hebat,
sianosis, dan distres. Gagal jantung kronis bisa berhubungan dengan berkurangnya toleransi
olahraga, edema perifer, letargi, malaise, dan penurunan berat badan (‘kaheksia jantung’).4

Riwayat penyakit dahulu4


- Adakah riwayat nyeri dada? (Adakah riwayat MI baru?)

2
- Adakah riwayat penyakit jantung sebelumnya, khususnya MI, angina, murmur,
aritmia, atau penyakit katup jantung yang diketahui?
- Adakah riwayat faktor risiko aterosklerosis?
- Adakah riwayat penyakit pernapasan atau ginjal?
- Adakah riwayat kardiomiopati?

Obat-obatan4
- Apakah baru-baru ini ada perubahan jenis obat yang dimakan pasien: diuretik,
OAINS, inhibitor ACE, bloker beta, inotropik negatif, digoksin?
- Apakah pasien mengkonsumsi obat yang bisa menyebabkan kardiomiopati
(doksorubisin, kokain)?
- Apakah pasien merokok?
- Bagaimana konsumsi alkohol pasien? (Pertimbangkan kemungkinan kardiomiopati
alkoholik.)

Dalam kasus ini, hanya didapatkan keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat
penyakit sekarang, dan riwayat penyakit dahulu.

Keluhan Utama
Keluhan utama adalah pasien laki-laki berusia 60 tahun dibawa berobat ke RS
UKRIDA dengan keluhan sering sesak saat aktifitas, batuk, dahak tidak ada, demam tidak
ada, nyeri dada tidak ada.

Keluhan Tambahan
Keluhan tambahan adalah pasien merasa nafasnya sering tersengal-sengal sejak 6
bulan lalu, terutama bila berjalan agak jauh, dan sangat mengganggu kesehariannya namun
saat istirahat sesaknya jauh berkurang. Saat malam hari pasien juga merasa enak bila tidur
dengan bantal yang agak tinggi. Pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 bulan ini kakinya
sering bengkak.

Riwayat Penyakit Sekarang


Tuan D, 60 tahun dibawa berobat ke RS UKRIDA dengan keluhan sering sesak saat
aktifitas, batuk, dahak tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada tidak ada. Pasien merasa
nafasnya sering tersengal-sengal sejak 6 bulan lalu, terutama bila berjalan agak jauh, dan

3
sangat mengganggu kesehariannya namun saat istirahat sesaknya jauh berkurang. Saat malam
hari pasien juga merasa enak bila tidur dengan bantal yang agak tinggi. Pasien juga
mengeluhkan bahwa selama 2 bulan ini kakinya sering bengkak.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat merokok tidak ada, Riwayat kencing manis sejak usia 40 tahun, penyakit
darah tinggi sejak usia 36 tahun, penyakit jantung koroner diketahui sejak 2 tahun lalu, dan
sudah menjalani CABG (Coronary Artery Bypass Grafting).

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Letak topografi jantung adalah 2/3 bagian jantung terletak di rongga dada kiri dan 1/3
sisanya terletak disebelah kanan. Di bagian bawah berbatas langsung dengan diafragma. Sisi
kanan dibatasi oleh atrium karian sedangkan sisi kiri dibatasi sebagian besar ventrikel kiri
dan sisanya oleh atrium kiri. Batas antara atrium kiri dan ventrikel kiri adalah pinggang
jantung. Di bagian atas terdapat vena kava superior, aorta asendens, arteri pulmonalis dengan
percabangan kiri dan kanan.5
Pada pemeriksaan jantung seperti juga pada pemeriksaan organ lain, menerapkan
urutan sebagai berikut:5
• inspeksi yaitu memperhatikan
• palpasi yaitu meraba
• perkusi yaitu mengetuk-ngetuk dinding dada.
• auskultasi yaitu mendengarkan bunyi-bunyi dari jantung, dengan menggunakan stetoskop.5
Stetoskop mempunyai dua jenis pendengar, yaitu:5
• Membran untuk mendengarkan bunyi-bunyi dengan frekuensi tinggi, seperti bunyi jantung
I dan II.
• Sungkup untuk mendengarkan bunyi dengan frekuensi rendah, misal bunyi jantung III.5

Inspeksi
Secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung harus diamati, misal
tampak capai, kelelahan karena akibat cardiac output rendah, frekuensi napas meningkat,
sesak yang menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan
chibbing finger dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga
dengan ada tidaknya edem.5

4
Dalam melakukan pemeriksaan fisis jantung diperlukan patokan berupa garis-garis dan titik-
titik tertentu.
Garis-garis patokan adalah sebagai berikut:5
• Garis midsternal, yaitu garis tengah yang ditarik mulai dari manubrium sterni sampai
processus xyphoideus.
• Garis sternal adalah garis yang melalui titik-titik batas antara sternum dengan tulang rawan
iga, dari atas kebawah dan didapatkan kiri dan kanan.
• Garis midclavicular didapatkan kiri dan kanan. Mula-mula diraba keseluruhan tulang
klavikula. Kemudian ditentukan titik tengahnya. Dari titik tengah ini ditarik garis lurus ke
kaudal. Biasanya pada pria normal garis midclavicula ini melewati papila mammae.
• Garis parasternal adalah garis paralel dengan garis midclavicula yang ditarik dari titik
tengah jarak antara garis midclavicula dengan garis sternal.
• Garis aksila anterior adalah garis yang ditarik melalui tepi lipat ketiak anterior, ke arah
kaudal.
• Garis aksila posterior adalah garis yang ditarik melalui tepi ketiak posterior ke arah
kaudal.
• Garis midaksila adalah garis di tengah antara garis aksila anterior dan garis aksila
posterior.5

Titik-titik patokan tersebut adalah sebagai berikut:5


• Angulus Ludovici adalah perbatasan antara manubrium sterni dan corpus sterni, yang bila
diraba terasa menonjol. Titik ini merupakan perlengketan antara tulang iga II dengan
stemum. Titik ini dipakai juga sebagai patokan dalam mengukur tekanan vena jugularis
ekstema.
• Area apeks: terletak di sela iga V sekitar 2 jari medial dari garis midclavicula kiri. Titik ini
merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup mitral, karena bunyi jantung dari katup
mitral paling optimal terdengar di titik tersebut.
• Area trikuspidal: terletak di sela iga IV-V stemal kiri dan di sela iga IV-V stemal kanan.
Titik ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup tricuspidal, karena bunyi jantung
trikuspidal paling optimal terdengar di titik tersebut.
• Area septal terletak di sela iga III sternal kiri merupakan titik auskultasi optimal untuk
mendengarkan bising akibat aliran shunt di septum karena terdapat defek, yaitu pada ASD

5
dan VSD.
• Area pulmonal terletak di sela iga II garis sternal kiri merupakan titik auskultasi optimal
untuk bunyi jantung katup pulmonal.
• Area aorta terletak di sela iga II garis stemal kanan, merupakan titik auskultasi optimal
untuk bunyi jantung aorta.
• Titik karotis setinggi processus thyroideus kiri dan kanan untuk mendengarkan bila ada
bising yang menjalar dari katup aorta.
• Pada area-area apeks, trikuspidal, pulmonal, dan aorta dapat dilihat , pulsasi yang
berlebihan, getaran (thrill), gerakan-gerakan dinding jantung abnormal yang teraba.5

Khusus inspeksi pada organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks,
trikuspidal, pulmonal, aorta. Sedangkan bentuk dada, gerakan napas dibicarakan sewaktu
melakukan pemeriksaan fisis paru.5

Palpasi
Dengan mempergunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergantung rasa
sensitivitasnya, meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang
diperiksa adalah:5
• Pulsasi.
• Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa tadi. Hal ini dapat teraba karena
adanya bising yang minimal derajat 3. Dibedakan thrill sistolik atau thrill diastolik
tergantung di fase mana berada.
• Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita. Hal ini karena overload
ventrikel kiri, misal pada insufiensi mitral.
• Lift yaitu rasa dorongan terhadap tangan pemeriksa. Hal ini karena adanya peningkatan
tekanan di ventrikel, misal pada stenosis mitral.
• Ictus cordis yaitu pulsasi di apeks. Diukur berapa cm diameter, di mana normalnya adalah
2 cm dan ditentukan lokasinya yang biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis
midklavikula kiri.5

Perkusi
Telapak tangan kiri berikut jari-jarinya diletakan di dinding dada, dengan jari tengah
sebagai landasan ketok, sedangkan telapak dan keempat jari lain agak diangkat. Tujuannya
adalah supaya tidak meredam suara ketukan. Sebagai jari pengetuk adalah jari tengah tangan

6
kanan. Pada waktu pengetukan hanya menggerakkan sendi pergelangan tangan dan tidak
menggerakkan sendi siku.5
Dengan perkusi dapat ditentukan batas-batas jantung, pinggang jantung dan contour
jantung.5
- Batas Jantung Kanan
Mula-mula ditentukan lebih dahulu titik tengah garis midklavikula kanan. Jari-jari
tangan kanan diletakkan sejajar dengan iga. Kemudian dilakukan perkusi mulai dari
titik tengah tadi, dari kranial kearah kaudal. Suara normal yang didapat adalah bunyi
sonor yang berasal dari paru. Perkusi diteruskan sampai timbul suara redup, biasanya
pada sela iga VI kanan. Bunyi redup ini adalah berasal dari batas antara paru dan
puncak hati. Puncak hati ini ditutupi oleh diafragma dan masih ada jaringan paru di
atas jaringan puncak hati itu, sehingga terdapat gabungan antara massa padat dan
sedikit udara dari paru. Setelah didapat titik batas sonor-redup, diukur dua jari ke arah
kranial. Pada titik yang baru ini diletakkan kembali telapak tangan dan jari-jarinya
diposisikan dengan arah jari tegak lurus terhadap iga. Kemudian dilakukan perkusi
kearah medial untuk mencari perubahan suara dari sonor ke redup yang merupakan
batas relatif kanan jantung dan normal adalah pada garis sternal kanan. Dari titik batas
ini selanjutnya dilakukan perkusi sampai mendapat suara pekak, yang merupakan
batas absolut iantung kanan, biasanya pada garis midstemal.5

- Batas Jantung Kiri .


Mula-mula ditentukan garis aksila anterior kiri. Bila terdapat pembesaran jantung ke
kiri, perkusi dapat dimulai dari garis aksila medial. Kemudian jari tengah kiri
diletakkan pada titik teratas garis aksila anterior dengan arah jari sejajar dengan iga.
Perkusi dari kranial ke kaudal untuk mencari perubahan bunyi dari sonor ke timpani
yang merupakan batas-paru-lambung, biasanya pada sela iga VIII kiri. Dari titik ini
diukur dua jari kearah kranial. Dari titik yang baru ini, dilakukan perkusi lagi ke arah
medial dengan posisi jari kiri tegak lurus terhadap iga, sampai timbul perubahan suara
dari sonor ke redup, yang merupakan batas relatif iantung kiri dan biasanya terletak
pada 2 jari medial garis midklavikular kiri. Perkusi diteruskan ke medial, sampai
terjadi perubahan suara dari redup ke pekak yang merupakan batas absolut jantung
kiri. Pada keadaan emfisema paru batas-batas jantung absolut akan mengecil.5
Seandainya pasien sudah makan yang banyak, bunyi timpani yang merupakan batas
paru lambung tidak muncul, maka dilakukan teknik pemeriksaan lain untuk
7
menentukan batas jantung kiri. Mula-mula dilakukan penentuan batas paru-hati lebih
dahulu seperti di atas, kemudian diukurkan 2 jari ke arah kranial. Dari titik ini ditarik
garis lurus sejajar iga, memotong garis aksila anterior kiri. Dari titik ini dilakukan
perkusi tegak lurus iga, kearah medial untuk menentukan titik perubahan bunyi sonor
ke redup, yang merupakan batas jantung kiri.5

- Batas Jantung Atas


Tentukan garis sternal kiri terlebih dahulu. Dari titik teratas ini dilakukan perkusi
dengan arah sejajar iga kearah kaudal, Inti terjadi perubahan suara dan sonor ke
redup. Normal adalah sela iga II kiri.5

- Pinggang Jantung
Ditentukan lebih dahulu garis parastenal kiri. Kemudian dilakukan perkusi kearah
caudal dari titik teratas garis tersebut dengan posisi jari tengah sejajar iga. Yang dicari
adalah perubahan bunyi sonor-redup. Batas ini normal terletak pada sela iga III kiri.
Bila titik batasnya misal pada sela iga II berarti pinggang jantung menghilang. Hal ini
terjadi karena pembesaran atrium kiri, misalnya pada kasus mitral vitium.5

- Contour Jantung
Tujuannya untuk menggambar bentuk jantung, memastikan besarnya jantung dan
apakah masih ada pinggang jantung. Dimulai dari sela iga I kanan dilakukan dan
lateral ke medial dengan posisi jari tengah sejajar iga sampai terjadi perubahan suara
dari sonor ke redup. Kemudian dilakukan perkusi dari sela iga II kanan dengan cara
yang sama dan seterusnya sampai ke kaudal. Titik-titik batas tadi ditentukan dan
kemudian “ditarik” garis sehingga terdapat garis batas jantung kanan. Begitu juga
dilakukan pada sisi jantung kiri dengan cara yang sama. Akhirnya didapatkan
gambaran garis batas jantung kanan dan kiri dan juga terlihat gambaran pinggang
jantung.5

Auskultasi
Dengan auskultasi akan didengarkan bunyi-bunyi dari jantung dan juga bising jantung
bila ada kelainan di jantung dengan menggunakan alat stetoskop. Investigator pertama yang
mempelajari bunyi jantung adalah Laennec.5

8
Untuk mendapatkan hasil auskultasi yang baik, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut: didalam ruangan yang tenang, perhatian terfokus untuk mendengarkan bunyi yang
lemah, sinkronisasi nadi untuk menentukan bunyi jantung I dan seterusnya menetukan fase
sistolik dan diastolik dan menentukan bunyi-bunyi jantung dan bising secara teliti.5
Lokasi titik pemeriksaan auskultasi adalah:
• Apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral .
• Sela iga IV, V sternal kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi jantung
yang berasal dari katup trikuspidal.
• Sela iga III kiri untuk mendengarkan bunyi patologis yang berasal dari septal bila ada
kelainan yaitu ASD atau VSD.
• Sela iga II kiri untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup pulmonal.
• Sela iga II kanan untuk mendengarkan bunyi j antung yang berasal dari kari katup aorta.
• Arteri karotis kanan dan kiri untuk mendengarkan bila ada penjalaran bising dari katup
aorta ataupun kalau ada stenosis di arteri karotis sendiri.5
Pemeriksaan auskultasi hendaknya dilakukan secara sistematik mulai dari apeks
sampai ke titik aorta.5
Bunyi jantung normal terdiri atas bunyi jantang I dan bunyi jantung (BJ) II. Di area
apeks aan tricuspidal, BJ I lebih keras daripada BJ II, sedangkan di area basal yaitu pulmonal
dan aorta BJ I lebih lemah daripada BJ II. BJ I merupakan suara yang dihasilkan dari
penutupan katup-katup mitral dan trikuspidal, sedangkan BJ II adalah karena tertutupnya
katup-katup aorta dan pulmonal. Untuk menentukan yang mana BJ I adalah dengan meraba
arteri radialis atau arteri karotis atau iktus kordis, dimana B J I sinkron dengan denyut nadi
arteri-arteri tersebut atau dengan denyut iktus kordis.5
Fase antara BJ I dan B J II diseout fase sistolik, sedangkan fase antara BJ II dan BJ I
disebut fase diastolik. Fase sistolik lebih pendek daripada fase diastolik.5

Bunyi Jantung Tambahan


• Bunyi jantung III yaitu bunyi jantung yang terdengar tidak lama sesudah B JII, 0.14 —
0.16 detik dan didengar pada area apeks. B J III ini berintensitas rendah, merupakan bunyi
yang dihasilkan karena aliran darah yang mendadak dengan jumlah banyak dari atrium kiri
ke ventrikel kiri, pada permulaan fase diastolik. Biasanya terdapat pada kasus insufisiensi
mitral.5
• Bunyi jantung IV yaitu bunyi jantung yang terdengar sesaat sebelum B JI, yang juga dapat
didengar di apeks, merupakan bunyi akibat kontraksi atrium yang kuat dalam

9
memompakan darah ke ventrikel. Hal ini terjadi karena terdapat bendungan di ventrikel
sehingga atrium harus memompa lebih kuat untuk mengosongkan atrium Biasanya didapat
pada kasus gagal jantung.5
• Split BJ II yaitu BJ II terpecah dengan intensitas yang sama dan jarak keduanya dekat. Hal
ini terjadi karena penutupan katup-katup pulmonal dan aorta tidak jatuh bersamaan
sehingga tidak sinkron. Perbedaan ini terjadi karena ventrikel kanan misal lebih besar
sehingga katup pulmonal menutup lebih lambat. Misal terjadi pada kasus ASD.5
• Opening snap yaitu terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak, sehinggga
terdengar bunyi dengan intensitas tinggi sesudah BJ II. Didapat pada kasus stenosis mitral.
Makin dekat jarak opening snap dengan BJ II, makin berat derajat MS, berkisar antara
0.04 - 0.12 detik.5
• Aortic click adalah bunyi yang dihasilkan karena katup aorta yang membuka secara cepat
dan didapat pada kelainan stenosis aorta.5
• Pericardial rub didapat pada kasus perikarditis konstriktiva, terjadi gesekan antara
perikard lapis viseral dan lapis parietal. Bunyi ini tidak dipengaruhi oleh pernapasan.
Bunyinya kasar dan dapat didengar di area trikuspidal dan apikal dan bisa terdengar pada
fase sistolik atau diastolik atau keduanya.5

Irama Jantung
Normal adalah reguler, dengan denyut jantung berkisar antara 60- 100 per menit.
• irreguler
- terdengar ekstra sistole, yaitu irama dasarnya , reguler tetapi diselingi oleh denyut
jantung ekstra.
- irama dasamya jnemang sudah tidak teratur, yaitu pada kelainan aritmia fibrillasi
atrial.
• irama gallop (derap kuda). Irama jantungnya cepat dan bunyi — bunyi jantungnya terdiri
atas tiga komponent atau empat komponen, yaitu terdiri dari BJ I - BJ II dan BJ III atau
terdiri atas: B J IV – BJ I - BJ II atau keduanya yaitu BJ IV - BJ I - BJ II – BJ III.
Biasanya dapat didengar di apeks dan terdapat pada kasus gagal jantung.5

Bising Jantung
Pada tiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik area harus diperhatikan apakah ada
bising jantung. Bila ada bising, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
• Terletak di fase manakah bising tersebut, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu yang

10
mana BJ I dan setelah itu ditentukan letak bising tersebut.5
• Bagaimana kualitas bising tersebut, yaitu apakah: Kasar seperti ada gesekan yang sering
disebut rumble dan biasanya didapat pada kasus stenosis mitral sebagai bising diastolik
Sekaligus ditentukan posisi bising diastolik tersebut, apakah: early-mid diastolik atau pra
sistolik. Dicari juga bunyi jantung tambahan opening-snap dan biasanya BJ I mengeras.
Kelainan ini didapat pada stenosis mitral. Halus seperti angin bertiup dan biasanya
mengisi fase sistolik. Tentukan posisi letak bising, yaitu early-, late systolik ataupun pan
(holo) sistolik. Pan sistolik bising sering didapat pada kelainan insufisiensi mitrai, disini
juga BJ I melemah dan cari juga apakah ada BJ IH. Type ejection yaitu bising dengan nada
keras, karena dipompakan melalui celah yang sempit. Didapat pada kasus atenosis aorta.
Continous murmur yaitu bising yang terdengar terus menerus di fase sistolik dan fase
diastolik, didapatkan pada kasus PDA.5
• Punctum maksimum bising jantung harus ditentukan, misal pada apeks, trikuspidal,
ataupun lainnya. Bila pada apeks kurang keras, misal karena obesitas, pasien dapat
dimiringkan ke kiri, sehingga bising jantung dapat terdengar lebih jelas. Untuk tricupidal,
supaya lebih jelas, pasien disuruh bernapas dalam (inspirasi) kemudian tahan. Bising
jantung akan terdengar lebih keras pada inspirasi dan pada ekspirasi bising akan melemah.
Untuk mendengar bising di katup aorta dan pulmonal, pasien disuruh duduk dengan
stetoskop tetap di lokasi.5
• Penjalaran harus diperhatikan. Misal pada kasus insufisiensi mitrai akan terjadi penjalaran
ke lateral dan ke aksila, sedangkan pada kasus Mitral valve prolapse (MVP) tidak terjadi
penjalaran bising. Pada kasus dengan kelainan katup aorta akan menjalar ke arteri karotis,
sehingga perlu dilakukan auskultasi pada karotis.5
Derajat intensitas bising terdapat 6 tingkat, yaitu:
 derajat 1 terdengar samar-samar.
 derajat 2 terdengar halus
 derajat 3 terdengar jelas dan agak keras
 derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa
diletakkan misal di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop yang
diletakkan pada punggung telapak tangan tersebut.
 derajat 5 terdengar sangat keras. Dapat dilakukan dengan cara telapak tangan
pemeriksa diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan bagian
bawah dan bising jantung masih terdengar.
 derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding dada.5

11
Khusus untuk bising sistolik perlu diperhatikan bahwa tidak semuanya akibat dari
kelainan organik katup jantung. Ada kemungkinan karena over volume misal pada anemia
berat, perempuan hamil. Biasanya bising sistolik ini halus dan terdengar pada semua usia.
Pembesaran ventrikel, biasanya pada ventrikel kanan terjadi dilatasi sekunder karena stenosis
mitral, terjadi pelebaran annulus trikuspidal sehingga akan terdengar arus regurgitasi pada
katup trikuspidal. Pada tumor miksoma yang menutupi katup mitral akan menyebabkan
bising diastolik.5

Pemeriksaan Penunjang
Radiografi toraks
Seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR) >50%), terutama
bila gagal jantung sudah kronis. Ukuran jantung yang normal tidak menyingkirkan diagnosis
dan bisa didapatkan pada gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi pada infark miokard,
regurgitasi katup akut, atau aefek septum ventrikel (VSD) pascainfark. Kardiomegali dapat
disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard.
Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.6
Normalnya, perfusi paru terlihat lebih banyak di basis paru, namun dengan kongesti
vena paru (gagal LV) timbul diversi lobus atas dan, ketika tekanan vena pulmonalis
meningkat melebihi 20 mmHg, terjadi edema interstisial yang menyebabkan garis septal
(Kerley B) terutama pada basis. Ketika tekanan meningkat melebihi 25 mmHg, terjadi edema
hilar dengan distribusi kupu-kupu atau sayap kelelawar, dan edema perivaskular
menyebabkan gambaran awan pada pembuluh darah. Pembesaran vena kava superior
(superior vena cava/SVC) dan vena azigos dapat terlihat. Bila gagal jantung menyebabkan
efusi pleura, maka biasanya bilateral namun bila unilateral cenderung lebih sering terjadi
pada sisi kanan. Efusi sisi kiri unilateral harus membuat seorang dokter berpikir mengenai
kemungkinan penyebab lain seperti keganasan atau infark paru.6

Elektrokardiografi
Memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%),
termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertrofi LV, gangguan konduksi, aritmia.6

Ekokardiografi
Harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi
ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding

12
dapat dinilai dan penyakit katup jantung dapat disingkirkan. Regurgitasi mitrai seringkali
disebabkan pembesaran ventrikel kiri yang menyebabkan dilatasi anulus mitral.6

Tes darah
Direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi ginjal sebelum
terapi dimulai. Disfungsi tiroid (baik hiper- maupun hipotiroidis- me) dapat menyebabkan
gagal jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. Di masa datang,
pengukuran penanda biokimiawi (seperti peptida natriuretik) dapat terbukti berguna dalam
diagnosis gagal jantung dan memonitor progresivitasnya.6

Pencitraan radionuklida
Menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel (ventrikulograf) dan sangat
berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindaian perfusi
miokard dapat membantu dalam menilai kebermaknaan fungsional penyakit jantung koroner.6

Kateterisasi jantung
Harus dilakukan pada dugaan penyakit jantung koroner, pada kasus kardiomiopati
atau miokarditis yang jarang, yang membutuhkan biopsi miokard, atau bila penilaian
resistensi vaskular paru dibutuhkan sebelum mempertimbangkan transplantasi jantung. Bila
kateterisasi jantung diindikasikan, biasanya dilakukan ventrikulografi kontras dan juga
memberikan pengukuran fungsi LV lain.6

Tes latihan fisik


Seringkali dilakukan, untuk menilai adanya iskemia miokard dan pada beberapa kasus
untuk mengukur konsumsi oksigen maksimum (V02 maks). Ini adalah kadar di mana
konsumsi oksigen lebih lanjut tidak akan meningkat meskipun terdapat peningkatan latihan
lebih lanjut V02 maks merepresentasikan batas toleransi latihan aerobik dan sering menurun
pada gagal jantung.6

Diagnosis
Working Diagnosis
Tuan D, 60 tahun dibawa berobat ke RS UKRIDA dengan keluhan sering sesak saat
aktifitas, batuk, dahak tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada tidak ada. Pasien merasa
nafasnya sering tersengal-sengal sejak 6 bulan lalu, terutama bila berjalan agak jauh, dan

13
sangat mengganggu kesehariannya namun saat istirahat sesaknya jauh berkurang. Saat malam
hari pasien juga merasa enak bila tidur dengan bantal yang agak tinggi. Pasien juga
mengeluhkan bahwa selama 2 bulan ini kakinya sering bengkak. Riwayat merokok tidak ada,
Riwayat kencing manis sejak usia 40 tahun, penyakit darah tinggi sejak usia 36 tahun,
penyakit jantung koroner diketahui sejak 2 tahun lalu, dan sudah menjalani CABG.
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani,
elektrokardiografi/foto toraks, ekokardiografi-Doppler dan katerisasi.1
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.1

Kriteria Major1
• Paroksismal noktumal dispnea
• Distensi vena leher
• Ronki paru
• Kardiomegali
• Edema paru akut
• Gallop S3iio
• Peninggian tekanan vena jugularis
• Refluks hepatojugular

Kriteria Minor1
• Edema ekstremitas
• Batuk malam hari
• Dispnea d’effort
• Hepatomegali
• Efusi pleura
• Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
• Takikardia(>120/menit)

Major atau minor


Penurunan BB >4.5 kg dalam 5 hari pengobatan Diagnosis gagal jantung ditegakkan
minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.1

Dari anamnesis, dapat diketahui umurnya yaitu Tuan D, 60 tahun dengan keluhan
sering sesak saat aktifitas, batuk, dahak tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada tidak ada.

14
Diketahui juga bahwa pasien merasa nafasnya sering tersengal-sengal sejak 6 bulan lalu,
terutama bila berjalan agak jauh, dan sangat mengganggu kesehariannya namun saat istirahat
sesaknya jauh berkurang. Saat malam hari pasien juga merasa enak bila tidur dengan bantal
yang agak tinggi. Pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 bulan ini kakinya sering
bengkak. Riwayat merokok tidak ada, Riwayat kencing manis sejak usia 40 tahun, penyakit
darah tinggi sejak usia 36 tahun, penyakit jantung koroner diketahui sejak 2 tahun lalu, dan
sudah menjalani CABG. Selain anamnesis di atas, didapatkan hasil pemeriksaan fisik yaitu;
keadaan umum (tampak sakit berat, compos mentis), Tinggi badan 167 cm, Berat badan 85,
Tekanan darah 160/90 mmHg, Denyut nadi 100x/menit, Frekuensi nafas 22x/menit, iktus
kordis dinamin, JVP 5+4, Gallop (+). Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang
sehingga dapat meyakinkan diagnosis, sehingga dapat ditegakan diagnosis kerjanya, yaitu
gagal jantung kongestif yang bersifat kronik ( memenuhi 2 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor).

Differential Diagnosis
Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat/rapid/onset atau
adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda (symptoms and sign) dari gagal
jantung (GJ) yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat
berupa serangan pertama GJ, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien
dapat memperlihatkan kedaruratan medik (medical emergency) seperti edema paru akut,
(acute pulmonary oedema).7
Disfungsi jantung dapat berhubungan dengan atau diakibatkan ischemia jantung,
irama jantung, penyakit perikard, peninggian dari tekanan pengisian ventrikel atau
peninggian dari tahanan sirkulasi sistemik. Dengan demikian berbagai faktor kardiovaskular
dapat merupakan etiologi dari GJA ini, dan juga bisa bebrapa kondisi (comorbid) ikut
berinteraksi. Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan kausa dari GJA ini dan
juga faktor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi; dan dihimpun untuk mengatur
strategi pengobatan.7
Gambaran klinis khas dari GJA adalah kongesti paru, walau beberapa pasien lebih
banyak memberikan gambaran penurunan cardiac output dan hipoperfusi jaringan lebih
mendominasi penampilan klinis. Penyakit kardiovaskular dapat mencetuskan GJA. Contoh
yang paling sering antara lain:7

15
 Peningkatan afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita
hipertensi pulmonal.
 Peninggian preload karena volume overload atau retensi air.
 Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada keadaan high output states antara lain
pada infeksi, anemia atau thyrotoxicosis.7
Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah ketidakpatuhan minum obat –obat
GJ, atau nasehat-nasehat medik, pemakaian obat seperti NSAIDs, cyclo-oxygenare (COX)
inhibitor, dan thiazolidinediones. GJ berat juga bisa sebagai akibat dari gagal multi organ
(multiorgan failure).7

Gejala klinis
Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA.
1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK) dekompensasi, adanya riwayat
perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat
terapi sebelumnya sebagai penderita GKJ dan dijumpai adanya kongesti sistemik
dan kongesti paru. Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS, merupakan
petanda prognose buruk.7
2. Edema paru
Pasien dengan respiratory distress yang berat, pernafasan yang cepat, dan
orthopnea dan ronchi pada seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arterial biasnya
<90% pada suhu ruangan, sebelum mendapat terapi oksigen.7
3. Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tanda-tanda gagal jantung yang
disertai dengan tekanan darah tinggi dan biasanya fungsi sistolik jantung masih
relatif cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian tonus simpatik dengan
takikardia dan vasokonstriksi. Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya
hipervolemia yang ringan. Umunya memperlihaykan kongesti paru tanpa tanda-
tanda kongesti sistemik.7
4. Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti gagal jantung, walau
sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat. Tidak ada
parameter hemodinamik diagnostik yang pasti. Akan tetapi ciri khas dari syok
kardiogenik adalah tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah sistolik <
90 mmHg, atau penurunan dari tekanan arteriol rata-rata (mean arterial pressure >
30 mmHg), dan tidak adanya produksi urin, episode atau berkurang (<0,5

16
ml/kg/jam). Gangguan irama jantung sering ditemukan. Tanda-tanda hipoperfusi
organ dan kongesti paru timbul dalam waktu cepat.7
5. Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya sindroma ”low out put”
tanpa disertai oleh kongesti paru dengan peninggian tekanan vena jugularis
dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah
6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung.7
Banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA yang dibuktikan dari
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kira-kira 15% penderita SKA
memperlihatkan gejala dan tanda-tanda GJ. Episode GJA biasnya disertai atau
dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF,VT).7

PPOK
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

Emfisema
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami
kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami
gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible)
yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan.8
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan
yang terjadi dalam paru-paru :
1. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar,
dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan
sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan
ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.8
2. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat
lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio
perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam

17
darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah
pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.8
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan
enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus
berlangsung. Gejala-gejala emfisema antara lain:
 Sesak napas
 Mengi
 Sesak dada
 Mengurangi kapasitas untuk kegiatan fisik
 Batuk kronis
 Kehilangan nafsu makan dan berat
 Kelelahan8

Bronkitis Kronis
Berdasarkan waktu berlangsungnya penyakit, Bronkitis akut berlangsung kurang dari
6 mingu dengan rata-rata 10-14 hari, sedangkan Bronkitis kronis berlangsung lebih dari 6
minggu. Secara umum keluhan pada Bronkitis kronis dan Bronkitis akut hampir sama. Hanya
saja keluhan pada Bronkitis kronis cenderung lebih berat dan lebih lama. Hal ini dikarenakan
pada Bronkitis kronis terjadi penebalan (hipertrofi) otot-otot polos dan kelenjar serta berbagai
perubahan pada saluran pernapasan.8
Secara klinis, Bronkitis kronis merupakan penyakit saluran pernapasan yang ditandai
dengan batuk berdahak sedikitnya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut.
Faktor-fakor penyebab tersering pada Bronkitis kronis adalah: asap rokok (tembakau), debu
dan asap industri, polusi udara. Disebutkan pula bahwa Bronkitis kronis dapat dipicu oleh
paparan berbagai macam polusi industri dan tambang, diantaranya: batubara, fiber, gas, asap
las, semen, dan lain-lain.8
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis kronis adalah sebagai berikut:

18
1. Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang banyak. Dahak
makin banyak dan berwarna kekuningan (purulen) pada serangan akut
(eksaserbasi). Kadang dapat dijumpai batuk darah.
2. Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas.
3. Terkadang terdengar suara mengi (ngik-ngik).8

Pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara krok-krok terutama


saat inspirasi (menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak di saluran napas.
Secara klinis, Bronkitis kronis terbagi menjadi 3 jenis, yakni:
1. Bronkitis kronis ringan (simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk
berdahak dan keluhan lain yang ringan.
2. Bronkitis kronis mukopurulen (chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan
batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
3. Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas (chronic bronchitis with
obstruction), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas
berat dan suara mengi.
4. Untuk membedakan ketiganya didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan
klinis oleh dokter disertai pemeriksaan penunjang (jika diperlukan), yakni
radiologi (rontgen), faal paru, EKG, analisa gas darah.8

Epidemiologi
Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabad-abad
namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena tidak adanya definisi tunggal kondisi
ini. Ketika masih sedikit pemeriksaan jantung yang tersedia, definisi gagal jantung cenderung
ke arah patofisiologi, lalu kemudian definisi ditempatkan pada penekanan pada gagal jantung
sebagai suatu diagnosis klinis. Sementara kondisi ini memang merupakan suatu sindrom
klinis, diagnosis dapat sulit ditegakkan pada tahap dini karena relatif tidak ada gejala. Maka
definisi terbaru membutuhkan bukti pendukung dari pemeriksaan jantung. Pemeriksaan
penunjang yang paling sering digunakan adalah ekokardiografi, dengan disfungsi ventrikel
kiri biasanya didefinisikan sebagai fraksi ejeksi < 30-45% pada kebanyakan survei
epidemiologi.6
Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan
prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 65
tahun), dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan

19
ketahanan hidup setelah infark miokard akut. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien dirawat di
rumah sakit setiap tahun untuk gagal jantung, merepresentasikan 5% dari semua perawatan
medis dan menghabiskan lebih dari 1% dana perawatan kesehatan nasional.6

Etiologi
Gagal jantung adalah suatu kompleks patofisiologis yang berkaitan dengan disfungsi
jantung dan merupakan titik akhir berbagai penyakit sistem kardiovaskular. Terdapat banyak
kemungkinan penyebab (Tabel 1), dan penyebab spesifik gagal jantung pada seorang pasien
harus selalu dicari. Secara umum, gagal jantung dapat disebabkan oleh (1) beban kerja yang
tidak sesuai yang ditimpakan pada jantung, misalnya kelebihan beban volume atau tekanan;
(2) terbatasnya pengisian jantung; (3) berkurangnya miosit; atau (4) penurunan kontraktilitas
miosit. Masing-masing kausa ini dapat memicu suatu rangkaian kejadian yang akan
dijelaskan kemudian.2

Tabel 1. Kausa gagal ventrikel kiri.2


Kelebihan beban volume
Regurgitasi di katup (aorta atau mitral)
Keadaan high-output: anemia, hipertiroidisme
Kelebihan beban tekanan
Hipertensi sistemis
Obstruksi aliran keluar: stenosis aorta, hipertrofi septum asimetrik
Berkurangnya otot
Infark miokardium akibat penyakit arteri koroner
Penyakit jaringan ikat: lupus eritematosus sistemis
Berkurangnya kontraktilitas
Racun: alkohol, kobalt, doksorubisin
Infeksi: virus, bakteri
Pengisian terbatas
Stenosis mitral
Penyakit perikardium: perikarditis konstriktif dan tamponade perikardium
Penyakit infiltratif: amiloidosis

Gagal ventrikel kanan dapat disebabkan oleh beberapa kausa. Seperti telah
disebutkan, gagal ventrikel kiri dapat menyebabkan gagal ventrikel kanan akibat peningkatan
afterload yang dibebankan pada ventrikel kanan. Peningkatan afterload juga dapat

20
ditimbulkan oieh kelainan di arteri atau kapiler paru. Contohnya, pertambahan aliran dari
suatu pirau kongenital dapat menyebabkan konstriksi reaktifarteri paru, peningkatan
afterload ventrikel kanan, dan, akhirnya, gagal ventrikel kanan. Gagal ventrikel kanan dapat
terjadi sebagai sekuele penyakit paru (cor pulmonale) akibat kerusakan jaringan kapiler paru
atau vasokonstriksi arteriol paru yang dipicu hipoksia. Gagal ventrikel kanan juga dapat
disebabkan oleh iskemia ventrikel kanan, biasanya pada infark miokardium dinding inferior
(Tabel 2).2

Tabel 2. Kausa gagal ventrikel kanan.2


Gagal sisi kiri
Obstruksi prakapiler
Kongenital (pirau, obstruksi)
Hipertensi pulmonal idiopatik
Gagal ventrikel kanan primer
Infark ventrikel kanan
Cor pulmonale
Vasokonstriksi akibat hipoksia
Embolus paru
Penyakit paru obstruktif kronis

Patofisiologis
Patofisiologi gagal jantung bersifat kompleks dan harus dipahami di berbagai
tingkatan. Secara tradisional, riset difokuskan pada perubahan hemodinamik yang terjadi
pada jantung yang mengalami kegagalan, dengan memandang jantung sebagai suatu organ
terpisah. Namun, studi-studi tentang gagal jantung kini menekankan pentingnya pemahaman
tentang perubahan-perubahan di tingkat sel dan interaksi neurohormon antara jantung dan
organ tubuh lainnya.2

Perubahan hemodinamik
Dari segi hemodinamik, gagal jantung dapat berasal dari merosotnya fungsi sistolik
atau diastolik atau, yang lebih sering, kombinasi keduanya. Pada disfungsi sistolik, kurva
tekanan sistolik isovolume pada hubungan tekanan-volume bergeser ke bawah. Hal ini
mengurangi isi sekuncup jantung yang menyebabkan penurunan curah jantung. Untuk
mempertahankan curah jantung, jantung dapat bereaksi dengan tiga mekanisme kompensasi:
Pertama, peningkatan aliran balik darah ke jantung (preload) dapat meningkatkan kontraksi

21
sarkomer (hubungan Frank-Starling). Pada hubungan tekanan-volume, jantung bekerja di a’
dan bukan di a, dan isi sekuncup meningkat, tetapi dengan mengorbankan peningkatan
tekanan diastolik-akhir. Kedua, peningkatan pelepasan katekolamin dapat meningkatkan
curah jantung baik dengan menambah frekuensi denyut jantung maupun dengan menggeser
kurva isovolumetrik sistolik ke kiri. Akhirnya, otot jantung dapat mengalami hipertrofi dan
volume ventrikel dapat bertambah, yang menggeser kurva diastolik ke kanan. Meskipun
dapat secara temporer mempertahankan curah jantung, setiap mekanisme kompensasi ini
memiliki keterbatasan dalam melakukannya dan jika penyebab mendasar disfungsi sistolik
tetap tidak ditangani, jantung akhirnya akan mengalami kegagalan.2
Pada disfungsi diastolik, posisi: kurva isovolume sistolik tetap tidak berubah
(kontraktilitas miosit dipertahankan). Namun, kurva tekanan-volume diastolik bergeser ke
kiri; disertai peningkatan tekanan diastolik-akhir ventrikel dan gejala-gejala gagal jantung
kongestif. Disfungsi diastolik dapat timbul pada semua penyakit yang menyebabkan
penurunan relaksasi, penurunan daya recoil elastis, atau peningkatan kekakuan ventrikel.
Hipertensi, yang sering menyebabkan peningkatan - ketebalan dinding ventrikel kiri, dapat
menyebabkan disfungsi diastolik dengan mengubah ketiga parameter. Kurangnya aliran darah
ke miosit (iskemia) juga dapat menyebabkan disfungsi diastolik dengan mengurangi
relaksasi. Jika iskemianya berat, seperti pada infark miokardium, dapat terjadi kerusakan
miosit yang ireversibel disertai penggantian sel-sel kontraktil oleh fibrosis, yang akan
menyebabkan disfungsi diastolik. Pada kebanyakan pasien, kombinasi disfungsi sistolik dan
diastolik merupakan penyebab gejala-gejala gagal jantung.2

Perubahan Neurohormonal
Setelah jantung mengalami cedera, terjadi peningkatan sekresi berbagai neurohormon
endogen dan sitokin. Pada awalnya, peningkatan aktivitas sistem adrenergik dan sistem renin-
angiotensin menghasilkan respons kompensatorik yang mempertahankan perfusi organ-organ
vital. Namun, seiring dengan waktu perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan
kemerosotan progresif fungsi jantung.2
Peningkatan aktivitas simpatis terjadi pada awal perkembangan gagal jantung.
Peningkatan kadar norepinefrin plasma meningkatkan kontraktilitas jantung dan frekuensi
denyut jantung yang pada awalnya membantu mempertahankan curah jantung. Namun,
peningkatan terus menerus menyebabkan peningkatan preload (akibat vasokonstriksi vena)
dan afterload (akibat vasokonstriksi arteri), yang dapat memperparah gagal jantung. Selain

22
itu, hiperaktivitas simpatis menyebabkan perubahan sel yang akan dibahas di bagian
selanjutnya.2
Penurunan tekanan darah ginjal merangsang pengeluaran renin dan meningkatkan
pembentukan angiotensin II. Angiotensin II dan pengaktifan sistem simpatis menyebabkan
vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus, yang membantu mempertahankan filtrasi
glomerulus meskipun curah jantung menurun. Angiotensin II merangsang pembentukan
aldosteron, yang menyebabkan resorpsi natrium dan ekskresi kalium oleh ginjal. Namun,
terjadi lingkaran setan akibat hiperaktivitas sistem renin-angiotensin yang terus menerus
menyebabkan vasokonstriksi berat, peningkatan afterload, dan penurunan lebih lanjut curah
jantung dan laju filtrasi glomerulus.2
Gagal jantung dilaporkan berkaitan dengan peningkatan pelepasan vasopresin dari
kelenjar hipofisis posterior. Vasopresin adalah vasokonstriktor kuat lainnya yang juga
mendorong reabsorpsi air di tubulus ginjal.2
Gagal jantung berhubungan dengan pengeluaran sitokin dan peptida lain dalam darah.
Sitokin adalah famili heterogen protein yang disekresikan oleh makrofag, limfosit, monosit,
dan sel endotel sebagai respons terhadap cedera. Interleukin (IL) dan faktor nekrosis
tumor α (TNF- α) adalah dua kelompok utama sitokin yang mungkin memiliki peran
patofisiologis penting dalam gagal jantung. Pada pasien gagal jantung, terjadi peningkatan
ekspresi gen penentu TNF-α disertai peningkatan kadar TNF-α dalam plasma. TNF-α
tampaknya memiliki peran penting dalam siklus hipertrofi dan kematian (apoptosis) miosit
yang dijelaskan di bagian selanjutnya. Data-data awal in vitro mengisyaratkan bahwa IL-1
dapat mempercepat hipertrofi miosit. Peptida lain yang penting untuk memerantarai beberapa
efek patofisiologis yang diamati pada gagal jantung adalah vasokonstriktor kuat endotelin,
yang dilepaskan oleh sel endotel. Data-data pendahuluan mengisyaratkan bahwa pengeluaran
endotelin yang berlebihan mungkin menjadi penyebab hipertensi di arteri-arteri paru pada
pasien dengan gagal ventrikel kiri. Endotelin juga dilaporkan berkaitan dengan pertumbuhan
miosit dan pengendapan kolagen di matriks interstisium.2

Perubahan Sel
Perubahan patofisiologis di tingkat sel sangatlah rumit dan mencakup perubahan pada
penanganan Ca2+ , reseptor adrenergik, perangkat kontraktil, dan struktur miosit.2
Pada gagal jantung, baik penyaluran Ca2+ ke perangkat kontraktil maupun penyerapan
Ca2+ oleh retikulum sarkoplasma melambat. Sebagian peneliti melaporkan penurunan kadar
asam ribonukleat messenger (mRNA) untuk kanal pelepas Ca2+ khusus. Demikian juga,

23
miosit dari jantung yang payah memperlihatkan penurunan kadar mRNA untuk dua protein
retikulum sarkoplasma fosfolamban dan Ca2+ ATPase.2
Di jantung terdapat dua kelas utama reseptor adrenergik. Reseptor alfa1 -adrenergik
penting untuk menginduksi hipertrofi miokardium; kadar reseptor α1 sedikit meningkat, pada
gagal jantung. Gagal jantung dilaporkan berkaitan dengan desensitisasi signifikan reseptor β-
adrenergik akibat aktivasi kronik sistem simpatis. Efek ini diperantarai oleh penurunan
jumlah reseptor β-adrenergik, pemisahan jalur transduksi sinyal di hilir, dan peningkatan
protein G inhibitorik. Semua perubahan ini menyebabkan penurunan kontraktilitas miosit
lebih lanjut.2
Miosit jantung tidak dapat berproliferasi setelah berkembang menjadi bentuk dewasa.
Namun, protein-protein kontraktil yang membentuk sarkomer terus menerus diperbarui.
Sebagai respons terhadap stres hemodinamik yang berkaitan dengan gagal jantung, terjadi
induksi sintesis protein oleh angiotensin II, TNF- α, norepinefrin, dan molekul lain melalui
mediator intranukleus aktivitas gen seperti c-fos, c-jun, dan c-myc. Hal ini menyebabkan
hipertrofi miosit disertai peningkatan jumlah sarkomer dan re-ekspresi miosin dan troponin
bentuk janin dan neonatus. Re-ekspresi protein-protein kontraktil janin menyebabkan
pembentukan miosit besar yang tidak berkontraksi secara normal dan memperlihatkan
penurunan aktivitas ATPase.2
Jantung membesar sebagai respons terhadap stres hernodinamik yang terus menerus.
Perubahan ukuran dan bentuk jantung pada gagal jantung secara kolektif dinamai remodeling
ventrikel kiri. Proses ini tampaknya diperantarai oleh beberapa perubahan di jaringan.
Pertama, gagal jantung berkaitan dengan pengurangan miosit melalui suatu proses yang
disebut apoptosis (kematian sel terprogram). Tidak seperti proses nekrosis, sel-sel apoptotik
pada awalnya memperlihatkan penurunan volume sel tanpa gangguan pada membran selnya.
Namun, seiring dengan berlanjutnya proses apoptotik, miosit akhirnya mati, dan terbentuk
’’lubang-lubang” di miokardium. Hilangnya miosit menyebabkan miosit yang masih ada
mengalami peningkatan stres. Proses apoptosis dipercepat oleh sinyal-sinyal proliferatif yang
merangsang hipertrofi miosit, misalnya TNF- α. Meskipun apoptosis adalah suatu proses
normal yang esensial pada organ yang dibentuk oleh sel-sel yang terus berproliferasi,
apoptosis memicu lingkaran setan di jantung, yaitu kematian sel menyebabkan peningkatan
stres yang memicu hipertrofi dan kemudian mempercepat apoptosis.2
Perubahan kedua di jaringan pada gagal jantung adalah peningkatan jumlah jaringan
fibrosa di ruang interstisium jantung. Pengendapan kolagen disebabkan oleh aktivasi
fibroblas dan kematian miosit. Pengeluaran endotelin menyebabkan pengendapan kolagen di

24
interstisium. Bertambahnya jaringan ikat menyebabkan rongga jantung bertambah kaku dan
menggeser kurva tekanan-volume diastolik ke kiri.2
Akhirnya, gagal jantung berkaitan dengan dilatasi bertahap ventrikel. Proses ini
mungkin disebabkan oleh ’’tergelincirnya’ miosit akibat aktivitas kolagenase yang merusak
jaringan kolagen.2
Patofisiologi gagal ventrikel kanan serupa dengan patofisiologi yang diuraikan untuk
ventrikel kiri. Kelainan sistol dan diastol ventrikel kanan dapat dijumpai dan biasanya terjadi
karena ketidak-sesuaian beban yang diberikan pada ventrikel atau berkurangnya kontraktilitas
miosit.2
Pasien dengan gagal ventrikel kanan saja (hipertensi pulmonal, cor pulmonale) dapat
mengalami gagal ventrikel kiri oleh sebab-sebab mekanis. Septum antarventrikel biasanya
melengkung ke arah ventrikel kanan yang berdinding lebih tipis dan bertekanan lebih rendah.
Ketika tekanan ventrikel kanan meningkat relatif terhadap tekanan ventrikel kiri, septum
antarventrikel dapat melengkung ke kiri dan menghambat efisiensi pengisian ventrikel kiri.
Hal ini dapat menyebabkan kongesti paru. Meskipun jarang, pelengkungan ini dapat
sedemikian parah sehingga aliran keluar ventrikel kiri tersumbat sebagian. Fenomena ini
disebut ”reversed Bernheim effect”.2

Manifestasi Klinis
Gagal Jantung Kiri
Pasien dengan gagal ventrikel kiri umumnya datang dengan perasaan sesak napas
(dispnea), terutama jika berbaring (ortopnea) atau pada malam hari (dispnea nokturnal
paroksismal). Selain itu, pasien mungkin melaporkan sputum bebercak darah (hemoptisis)
dan kadang-kadang nyeri dada. Rasa lelah, nokturia, dan kekacauan pikiran juga dapat
disebabkan oleh gagal jantung.2
Pada pemeriksaan fisik, pasien biasanya mengalami peningkatan frekuensi denyut
jantung dan pernapasan. Kulit mungkin pucat, dingin, dan berkeringat. Pada gagal jantung
berat, palpasi nadi perifer mungkin menunjukkan denyutan yang kuat dan lemah secara
bergantian (pulsus alternans). Auskultasi paru mengungkapkan adanya suara-suara abnormal,
yang disebut ronki basah (rales), yang pernah diumpamakan sebagai “crackling leaves”
(daun berdesir). Selain itu, bagian basal lapang paru mungkin terdengar pekak pada perkusi.
Pada pemeriksaan jantung, impuls apeks sering bergeser ke lateral dan menetap. Bunyi
jantung ketiga dan keempat dapat terdengar pada auskultasi jantung. Karena banyak pasien

25
dengan gagal ventrikel kiri juga mengalami gagal ventrikel kanan, tanda-tanda gagal
ventrikel kanan juga dapat dijumpai.2
Sesak napas, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal - Meskipun banyak hal
yang mendetail dalam mekanisme fisiologis untuk sensasi sesak napas masih belum jelas,
proses pemicunya mungkin adalah peningkatan tekanan kapiler paru akibat peningkatan
tekanan atrium dan ventrikel kiri. Peningkatan tekanan kapiler paru relatif terhadap tekanan
onkotik plasma menyebabkan cairan mengalir ke dalam ruang interstisium paru (edema
paru), yang dapat dilihat pada foto toraks. Edema interstisium dapat merangsang reseptor J
jukstakapiler, yang selanjutnya menimbulkan refleks pernapasan dangkal dan cepat.
Digantikannya udara di paru oleh darah atau cairan interstisium dapat menyebabkan
penurunan kapasitas vital, fisiologi restriktif, dan terperangkapnya udara akibat penutupan
saluran napas kecil. Kerja pernapasan meningkat karena pasien berupaya mengembangkan
parunya yang kaku, ,yang dapat menyebabkan kelelahan otot pernapasan dan sensasi dispnea.
Perubahan distribusi ventilasi dan perfusi menyebabkan ketidak-sesuaian V/Q ventilasi-
perfusi relatif, yang menyebabkan pelebaran gradien O, alveolus-arteri, hipoksemia, dan
bertambahnya ruang mati. Edema dinding bronkus menyebabkan obstruksi saluran napas
kecil dan menimbulkan mengi (’’asma jantung”). Sesak napas terjadi pada posisi telentang
(ortopnea) karena berkurangnya penumpukan darah di ekstremitas dan abdomen dan, karena
pasien bekerja pada bagian curam dari kurva tekanan-volume diastolik, setiap peningkatan
aliran balik darah menyebabkan peningkatan mencolok tekanan ventrikel. Pasien biasanya
belajar untuk meminimalkan ortopnea dengan tidur dengan bagian atas tubuh yang ditopang
oleh dua atau lebih bantal. Serangan mendadak distres pernapasan berat pada malam hari—
dispnea nokturnal paroksismal—mungkin terjadi karena berkurangnya pengaruh adrenergik
pada fungsi ventrikel yang terjadi sewaktu tidur, peningkatan aliran balik darah seperti
dijelaskan di atas; dan depresi pusat pernapasan yang normal terjadi pada malam hari.2
Rasa lelah, kebingungan - Rasa lelah mungkin terjadi karena ketidakmampuan
jantung memasok darah dalam jumlah memadai ke otot-otot rangka. Kebingungan
(confusion) dapat terjadi pada gagal jantung tahap lanjut karena kurangnya perfusi serebrum.2
Nokturia - Gagal jantung ; dapat menyebabkan penurunan perfusi ginjal pada siang
hari saat pasien berada dalam posisi tegak, yang pulih menjadi normal pada malam hari saat
pasien berbaring dan akan diikuti diuresis.2
Nyeri dada - Jika penyebab gagal jantungnya adalah penyakit arteri koroner, pasien
dapat mengalami nyeri dada akibat iskemia (angina pektoris). Selain itu, bahkan tanpa

26
iskemia, gagal jantung akut dapat menyebabkan nyeri dada melalui mekanisme yang belum
diketahui.2
Ronki basah, efusi pleura - pertambahan cairan di rongga alveolus akibat
mekanisme-mekanisme yang dijelaskan di atas dapat terdengar sebagai ronki basah (rales).
Peningkatan tekanan kapiler juga dapat menyebabkan penimbunan cairan di rongga pleura.2
Impuls apeks yang bergeser dan menetap - Pada kebanyakan orang, kontraksi
jantung dapat diketahui dengan tindakan palpasi cermat dinding dada (impuls apeks). Impuls
apeks normalnya teraba di garis midklavikula di sela iga keempat atau kelima dan hanya
teraba pada bagian pertama sistol. Jika dapat dirasakan pada bagian akhir sistol, impuls
tersebut dianggap menetap (sustained). Impuls yang menetap ini mengisyaratkan bahwa
terjadi peningkatan volume atau massa di ventrikel kiri. Selain itu, jika volume ventrikel kiri
meningkat sebagai mekanisme kompensasi gagal jantung, impuls apeks akan bergeser ke
lateral.2
Bunyi jantung ketiga (S3) - Bunyi jantung ketiga adalah suara bernada-rendah yang
terdengar sewaktu pengisian cepat ventrikel pada awal diastol. Mekanisme pasti penyebab
terbentuknya bunyi ketiga tidak diketahui, tetapi bunyi ini tampaknya terjadi akibat deselerasi
(perlambatan) mendadak darah ketika batas-batas elastis rongga ventrikel tercapai atau akibat
benturan dinding ventrikel dengan dinding dada. Meskipun normal terdengar pada anak dan
dewasa muda, bunyi jantung ketiga jarang dijumpai pada orang dewasa sehat berusia lebih
dari 40 tahun. Pada orang-orang ini, adanya bunyi jantung ketiga hampir patognomonik untuk
kegagalan ventrikel. Peningkatan volume dan tekanan diastolik-akhir yang khas pada gagal
jantung mungkin menjadi penyebab kerasnya bunyi jantung ketiga. Jika terjadi akibat gagal
ventrikel kiri, bunyi jantung ketiga biasanya paling jelas terdengar di apeks. Bunyi ini dapat
terdengar pada pasien dengan disfungsi diastolik atau sistolik.2
Bunyi jantung keempat (S4) - Dalam keadaan normal, bunyi-bunyi yang berasal dari
kontraksi atrium tidak terdengar. Namun, jika ventrikel bertambah kaku, kadang-kadang
terdengar suara bernada-rendah pada diastol-akhir yang terjadi bersamaan dengan kontraksi
atrium. Seperti bunyi jantung ketiga, mekanisme pasti timbulnya bunyi jantung keempat
belum diketahui. Namun, bunyi ini mungkin berasal dari perlambatan mendadak darah pada
ventrikel yang noncompliant atau akibat tumbukan 3 mendadak ventrikel yang kaku dengan
dinding dada. Bunyi ini paling jelas terdengar di sebelah lateral pada apeks di titik impuls
maksimal, terutama ketika pasien berbaring menyamping ke kiri. Bunyi jantung keempat
sering terdengar pada pasien dengan gagak jantung akibat disfungsi diastolik.2
Kulit pucat, dingin, dan berkeringat – Pasien dengan gagal jantung berat sering

27
mengalami vasokonstriksi perifer, yang mempertahankan aliran darah ke organ-organ sentral
dan kepala. Pada sebagian kasus, kulit tampak lebih gelap karena berkurangnya kandungan
oksigen di darah vena akibat meningkatnya ekstraksi oksigen oleh jaringan perifer yang
menerima sedikit aliran darah. Keringat timbul karena panas tubuh tidak dapat dikeluarkan
melalui jaringan vaskular yang berkonstriksi di kulit.2

Gagal Jantung Kanan


Gejala gagal ventrikel kanan antara lain sesak napas, edema kaki, dan nyeri abdomen.
Temuan-temuan pada pemeriksaan fisik serupa dengan temuan yang dijumpai pada gagal
ventrikel kiri tetapi dengan posisi berbeda karena ventrikel kanan secara anatomis berada di
anterior dan kanan dari ventrikel kiri. Pasien dengan gagal ventrikel kanan mungkin
menghasilkan bunyi jantung ketiga yang terdengar paling jelas di batas sternum atau heavy
sistolik yang menetap di sternum. Inspeksi leher memperlihatkan peningkatan tekanan vena
jugularis karena kausa tersering gagal ventrikel kanan adalah gagal ventrikel kiri, tanda-tanda
gagal ventrikel kiri juga sering ditemukan.2

Sesak Napas
Jika terdapat gagal ventrikel kiri, pasien dapat merasa sesak napas karena terjadinya
edema paru seperti telah dibahas sebelumnya. Pada pasien dengan gagal sisi- kanan akibat
penyakit paru, sesak napas mungkin merupakan manifestasi penyakit yang mendasari (mis.,
embolus paru, penyakit paru obstruktif kronik). Pada sebagian pasien dengan gagal ventrikel
kanan, kongesti vena-vena hati dengan pembentukan asites dapat mengganggu fungsi normal
diafragma dan ikut berperan menimbulkan sensasi sesak. Selain itu,' penurunan curah jantung
sisi-kanan saja dapat menyebabkan asidosis, hipoksia, dan sesak napas. Jika kausa gagal
jantung kanan adalah defek di sisi-kiri seperti stenosis mitrai, awitan gagal jantung kanan
kadang-kadang dapat mengurangi gejala edema paru karena berkurangnya beban yang
diberikan pada ventrikel kiri.2

Peningkatan Tekanan Vena Jugularis


Posisi denyut vena jugularis interna dapat diamati sewaktu pemeriksaan leher
(Gambar 1 A). Jarak vertikal di atas jantung saat denyut vena teramati adalah perkiraan
tekanan vena sentral atau atrium kanan. Karena posisi atrium kanan tidak dapat diketahui
dengan pasti, tinggi denyut vena jugularis diukur relatif terhadap angulus sterni Ludovici.
Tekanan atrium kanan kemudian dapat diperkirakan dengan menambahkan 5 cm ke tinggi

28
kolom vena (karena atrium kanan sekitar 5 cm inferior dari sudut tersebut). Denyut vena
jugularis biasanya diamati kurang dari 7 cm di atas atrium kanan. Jika jaraknya melebihi 10
cm, terdapat peningkatan tekanan atrium. Peningkatan tekanan atrium menunjukkan bahwa
preload ventrikel adekuat tetapi fungsi ventrikel menurun dan terjadi akumulasi cairan di
vena. Kausa lain peningkatan tekanan vena jugularis selain gagal jantung adalah tamponade
perikardium, perikarditis konstriktif, dan embolus paru massif.2

Gambar 1. Pemeriksaan denyut (A) dan bentuk gelombang (B) vena jugularis.
Selain posisi relatifnya, setiap bentuk gelombang denyut vena jugularis juga dapat
dinilai. Tiga gelombang positif (a, c, dan v) dan dua gelombang negatif (x dan y) dapat
dikenali (Gambar 1 B). Gelombang a disebabkan oleh tekanan atrium kanan akibat kontraksi
atrium. Gelombang c biasanya tidak dijumpai pada pemeriksaan pasien; gelombang ini
diperkirakan berasal dari menggembungnya katup trikuspid selama kontraksi isovolume
ventrikel kanan. Gelombang x diperkirakan disebabkan oleh relaksasi atrium dan pergeseran
ke bawah cincin trikuspid sewaktu sistol. Gelombang v berasal dari pengisian terus-menerus
atrium kanan pada bagian akhir sistol. Setelah katup trikuspid membuka, darah mengalir ke
dalam ventrikel kanan dan gelombang y mulai timbul. Evaluasi setiap bentuk gelombang ini
akan sangat penting dalam pembahasan tentang penyakit perikardium.2

Anasarka, Asites, Edema Kaki, Refluks Hepatojugular, Nyeri Abdomen


Peningkatan tekanan sisi-kanan menyebabkan penimbunan cairan dalam sirkulasi
vena sistemis. Kongesti vena dapat bermanifestasi sebagai edema generalisata (anasarka),

29
asites (penumpukan cairan di rongga peritoneum), dan edema dependen (pembengkakan kaki
dan tungkai). Penekanan pada hati selama sekitar 5 detik dapat menyebabkan perpindahan
darah ke dalam vena cava; ketika ventrikel kanan tidak dapat mengakomodasi volume
tambahan ini, akan terjadi peningkatan tekanan vena jugularis (’’refluks hepatojugular”).
Pembesaran hati akibat akumulasi cairan dapat menyebabkan peregangan kapsul hati disertai
nyeri abdomen kuadran kanan atas.2

Penatalaksanaan
Non Medica Mentosa
1) Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila
timbul keluhan, dan dasar pengobatan.
2) Istirhat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi, aktivitas seksual, serta rehabilitasi.
3) Edukasi pola diet, control asupan garam, air, dan kebiasaan alcohol.
4) Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba.
5) Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas.
6) Hentikan kebiasaan merokok.
7) Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas
memerlukan perhatian khusus.
8) Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obatan tertentu
seperti NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat,
antidepresan trisiklik, steroid.9

Medica Mentosa
Diuretika, inotropik, inhibitor ACE, dan penyekat beta merupakan terapi utama untuk CHF.
1. Diuretika
 Diuretik loop (bumetanid, furosemid (frusemid)) meningkatkan ekskresi natrium
dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa Henle asenden, namun efeknya
bila diberikan secara oral dapat menghilang pada gagal jantung berat karena
gangguan absorpsi usus. Diuretik ini menyebabkan hilangnya kalium dan dapat
menyebabkan hiperurisemia.6

 Diuretik tiazid (bendroflumetiazid (bendrofluazid), klorotiazid, hidrokloro-tiazid,


mefrusid, metolazon) menghambat reabsorpsi garam di tubulus distal dan

30
membantu reabsorpsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif dalam mengurangi
garam dan cairan pada gagal jantung dibandingkan dengan diuretik loop dan sangat
tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun di bawah 30% (umum pada manula).
Penggunaan kombinasi diuretik loop dan tiazid bersifat sinergis. Tiazid memiliki
efek vasodilatasi langsung pada arteriol perifer dan dapat menyebabkan intoleransi
karbohidrat, sedikit peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, dan
hiperurisemia.6
2. Inotropik:
 Digoksin meningkatkan toleransi olah raga, meningkatkan curah jantung,
memperlambat perkembangan CHF, menurunkan aktivitas saraf simpatis, dan
RAA, dan memperbaiki kualitas hidup pada pasien tertentu. Dapat menurunkan
mortalitas bila digunakan bersama dengan inhibitor enzim pengovensi angiotensin
(ACE), tetapi, mortalitas bisa meningkat pada pasien yang digoksinnya dihentikan.
Sangat penting untuk terus memeriksa kadar darah dan menghindari hipokalemia
(aritmia).10
 Inhibitor fosfodiesterase (milrinon, amrinon, enoksimon, piroksimon) memiliki
manfaat jangka pendek terhadap curah jantung dan toleransi oleh raga; keamanan
jangka panjangnya masih belum jelas, termasuk peningkatan mortalitas, hipotensi
dan alergi.10
 Agonis adrenergic (dobutamin atau xamoterol IV intermiten) memiliki manfaat
jangka pendek, tetapi menyebabkan mortalitas; levodepamin oral masih dalam
penelitian.10
 Inotropik baru, seperti vesnarinon, flosequinan, dan pimobendan, tampak
menjanjikan namun keamanan jangka panjangn belum bisa dipastikan.10
3. Inhibitor ACE dan penyekat angiotensin II memengaruhi manifestasi hemodinamik
dan neurohumoral CHF dengan perbaikan gejala dan ketahanan hidup. Sebagian besar
ditoleransi dengan baik, kecuali untuk dosis pertama hipotensi, batuk (terutama
dengan kaptopril), dan risiko disfungsi ginjal pada beberapa pasien.10
4. Penyekat beta (carvedilol, metoprolol, bucindolol, labelatol) meningkatkan fraksi
ejeksi, menurunkan tonus simpatis dengan vasodilatasi dan menurunkan konsumsi
oksigen miokard, dan menurunkan remodeling ventrikel. Carvedilol muncul sebagai
obat pilihan dengan penurunan mortalitas secara bermakna dan perbaikan gejala.
Penyekat beta dosis tinggi dapat mengakibatkan edema paru; dosis rendah

31
menyebabkan perburukan klinis dalam 4-10 minggi pertama dengan perbaikan sekitar
10-12 minggu.10

Obat lain
1. Nitrat juga memperbaiki manifestasu hemodinamik dan neurohormonal CHF. Nitrat
berhubungan dengan sakit kepala yang bermakna dan toleransi memerlukan
pendosisan yang intermiten.10
2. Calcium channelblockers penghambat saluran kalsium (amiodipin, felodipin)
mungkin bermanfaat pada disfungsi diastolic dan disfungsi sistolik stadium akhir.
Generasi pertama penyekat kalsium meningkatkan aktivitas simpatis dan tidak
mengurangi mortalitas pada CHF, tetapi obat yang terbaru ini tidak menyebabkan
takikardia refleks dan dapat memperbaiki aspek neurohormonal, hemodinamik, dan
gejala CHF.10
3. Anti-aritmia secara umum tidak diindikasikan meskipun insidensi kematian mendadak
pada CHF tinggi; baik penyekat beta maupun inhibitor ACE mengurangi ektopi
ventrikel. Amiodaron merupakan satu-satunya anti-aritmia yang berhubungan dengan
penurunan mortalitas. Defibrillator yang dapat diimplasikan harus dipertimbangkan
pada pasien berisiko tinggi.10
4. Antikoagulan diindikasikan bila terdapat fibrilasi atrial, penyakit katup, atau diketahui
ada trimbus intraventrikular.
 Sequential pacing dapat meningkatkan curah jantung pada pasien tertentu.
 Pembedahan untuk CHF meliputi transplantasi jantung dan kardiomiopati.10

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita jantung adalah syok
kardiogenik. Syok kardiogenik ini merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang mencakup
sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik, tetapi petunjuk umum
adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Pada gagal jantung terjadi syok terkompensasi
dimana terjadi usaha untuk menstabilkan sirkulasi guna mencegah kemunduran lebih lanjut.
Namun terjadi manifestasi sistemik terjadi keadaan hipoperfusi yang memperburuk hantaran
oksigen dan nutrisi serta pembuangan sisa-sisa metabolit pada tingkat jaringan sehingga saat
masuk tahap dimana sudah terjadi kerusakan sel yang hebat dan tidak dapat dihindari, pada
akhirnya terjadi kematian.11

32
Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada
kelompok dengan risiko tinggi.9
- Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner.
- Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan.
- Pengobatan hipertensi yang agresif.
- Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup.
- Memerlukan pembahasan khusus.
- Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari,
selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.9

Prognosis
Mortalitas I tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan
berkaitan dengan derajat keparahannya.6

Tabel 3. Klasifikasi Fungsional Gagal Jantung


Kelas Gangguan
Kelas I Tidak ada batasan aktivitas fisik
Kelas II Sedikit batasan pada aktivitas
Kelas III Batasan aktivitas bermakna (nyaman saat
istirahat namun sedikit aktivitas
menyebabkan gejala)
Kelas IV Gejala saat istirahat

Data Framingham yang dikumpulkan sebelum penggunaan vasodilatasi untuk gagal jantung
menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar 30% bila semua pasien dengan gagal jantung
dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% pada NYHA kelas IV. Maka kondisi ini
memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar kanker. Kematian terjadi
karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga karena aritmia) dengan
frekuensi yang kurang lebih sama.6

Penutup
Gagal jantung kongesti yang bersifat kronik adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda
dan gejala) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung yang menyebabkan
terjadinya kongesti pada berapa bagian tubuh karena jantung tidak dapat memompa dengan

33
benar, dan sudah lama. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti beban kerja yang
tidak sesuai yang ditimpakan pada jantung, terbatasnya pengisian jantung, berkurangnya
miosit, atau penurunan kontraktilitas miosit. Pengobatan yang dapat diberikan antara lain
diuretika, inotropik, inhibitor ACE, dan penyekat beta.

Daftar Pustaka
1. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 1583-5.
2. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit: pengantar menuju kedokteran klinis.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2010. h. 293-301.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku.
Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.
4. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006. h.
116-7.
5. Makmun LH, Abdurachman N. Pemeriksaan fisis jantung. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 65-8.
6. Gray HH, Dawkins KD, Simpson A, Morgan JM . Lecture notes: kardiologi. Jakarta:
Erlangga; 2003. h.80-97.
7. Manurung D. Gagal jantung akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 1586-8.
8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran Dasar Patologis Penyakit. Ed 7.
Jakarta : EGC; 2009.
9. Ghanie A. gagal jantung kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 1597.
10. Brashers, VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen: gagal
jantumg kongestif. Jakarta: EGC; 2010. h. 53-4, 57-8.
11. Corwin J. Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2009.p.224-7.

34

Anda mungkin juga menyukai