Anda di halaman 1dari 2

Diksi dan Aliterasi

Sastra adalah seni berbahasa. Jika puisi diibaratkan dengan seni lukis, maka bahasa adalah
warnanya. Semua kata, sebenarnya sudah termaktub dalam KBBI. Begitu pun warna, kita
semua pernah melihatnya. Namun bagaimana pengarang bisa menulis dengan indah sama
seninya dengan seorang pelukis yang bisa menghasilkan gambar yang spektakuler. Pengarang
menyusun dan merangkai kata, pelukis meletakkan warna dan gradasinya pada kanvas.

Sama kasusnya dengan setiap puisi. Puisi menggunakan kata-kata yang sudah termaktub
dalam KBBI. Namun susunan kata dalam lirik, bait, bahkan puisi yang disampaikan murni
berasal dari pemikiran seorang pengarang.

Setiap pengarang tentu saja perlu memerhatikan kata-kata pembangunnya. Gaya bahasa
yang diajarkan di sekolah menengah hanya berkisar pada majas. Padahal, majas hanyalah salah
satu bagiannya. Bukan gaya bahasa itu sendiri secara keseluruhan.

Gaya bahasa adalah yang kita nikmati ketika proses membaca. Kalau gaya bahasanya
enak, kita akan lanjutkan membaca. Jika membosankan, kita akan kembali meletakkan buku
dan lebih baik tidur karena tak kuat atas rasa kantuk yang diciptakannya.

Ketika kita membaca buku teori misalnya, jika gaya bahasanya tidak sesuai dengan yang
kita suka kita akan meninggalkannya. Padahal buku tersebut begitu banyak ilmu dan
pengetahuan di dalamnya. Hal ini terjadi karena penyampaian gaya bahasanya.

Untuk membuat gaya bahasa dalam tuturan menjadi lebih menarik, kita perlu
memerhatikan beberapa hal seperti fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorikanya. Setiap bahasa
adalah bunyi. Bahkan bahasa tulis pun sebenarnya adalah bunyi. Ketika kita membacakannya,
ragam tulis menjadi bunyi (setidaknya dalam hati). Karena itu, ilmu fonologi begitu dekat
dengan kita.

Agar gaya bahasa lebih nyaman, kaitkan bunyi-bunyi yang berdekatan dalam satu tuturan
kalimat. Dalam puisi kita mengenal istilah diksi dan aliterasi. Diksi adalah pemilihan kata. Kita
akan memilih kata meski di hadapan kita, ada beberapa kata yang bermakna serupa. Bagaimana
kita menggunakan kata mati atau meninggal, padahal maknanya sama. Maka dalam pemilihan
ini, kita perlu memerhatikan aliterasi dan asonansi.
Aliterasi merupakan rangkaian kata-kata yang berdekatan, berkelindan menciptakan
kalimat yang nyaman ketika dibacakan. Nah, pengertian aliterasi di atas menggunakan kalimat
yang aliterasi itu sendiri. Kita ulangi dengan menunjukkan di mana letaknya.

“Aliterasi merupakan rangkaian kata-kata yang berdekatan dan berkelindan untuk


menciptakan kalimat yang nyaman ketika dibacakan.”

Jika aliterasi lebih berfokus pada konsonan, asonansi berpokok pada huruf vokal. Kedua-
duanya perlu diperhatikan. Semakin aliterasi dan asonansi sebuah kalimat yang kita ciptakan,
maka semakin enak buat dibaca oleh orang lain. Tapi harus diingat, bahwasanya keindahan
aliterasi harus terikat aturan sintaksis. Sintaksis mempermudah pembaca mengerti maksud
yang ingin disampaikan dari penulis. Sebagus apapun kalimat yang kita buat, tetapi jika
melanggar kaidah sintaksis itu sendiri, hanya akan menjadi kesalahan. Buat apa menulis
panjang-panjang tapi tidak ada yang paham. Buat apa memperindah bungkus jika isinya tidak
bagus.

Dalam konteks leksikal, setiap kata (frasa) dibagi menjadi leksikal atau gramatikal. Tidak
semuanya definisi sebuah kata sesuai dengan apa yang ada dalam kamus. Kelindan misalnya.
Dalam kamus kata kelindan bermakna benang yang dipintal. Namun dalam pengertian aliterasi,
kata-katalah yang kita pintal. Di konteks leksikal inilah majas dipelajari.

Terakhir adalah retorika. Retorika adalah keseluruhan tulisan dalam sebuah wacana. Setiap
orang memiliki retorika yang berbeda-beda. Memiliki gaya masing-masing. Dua orang yang
berbeda pasti akan berbeda ketika berbicara (menulis) meski apa yang akan disampaikannya
tidak jauh berbeda. Semakin sering kita membaca, maka retorika yang akan kita sampaikan
akan lebih baik. Terlebih jika kita sering berlatih menulis.

Jika kita menyelesaikan sebuah buku yang dibaca dari awal sampai akhir, itu berarti
retorikanya bagus. Sebab kita tidak jenuh. Pun sama dengan “Gerbang Fiksi” ini. Jika
retorikanya buruk besar kemungkinan tidak diselesaikan oleh pembaca.

(Mukodas, “Gerbang Fiksi”, dengan beberapa catatan dan perubahan)

Anda mungkin juga menyukai