Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya, gereja menangani permasalahan yang tidak sempit melainkan

sangat luas. Dalam menjawab panggilannya bagi perbaikan kehidupan umat manusia, paling

tidak gereja bergerak di tiga bidang yaitu membangun persekutuan, dan melaksanakan

kesaksian serta pelayanan atau yang seringkali dikenal dengan koinonia, marturia dan

diakonia. Ketiga aspek utama ini kemudian dijabarkan dalam setiap dimensi kehidupan umat

pada khususnya dan dunia pada umumnya, seperti dimensi rohani (moral atau jiwa) dan juga

materiil atau jasmaniah. Belum lagi bila melihat administrasi, keuangan, dan pemeliharaan

inventaris sebagai bagian dari berkat Tuhan bagi operasional gereja. Untuk itu perlu

ditetapkan sebuah sistem hierarki bagi gereja.

Gereja tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya tidak membutuhkan suatu sistem

hierarki. Baik disadari maupun tidak, gereja memiliki sistem hierarki sendiri. Sistem yang

tidak disadari tidak akan mungkin dapat dievaluasi dan tidak akan memiliki arah dan tujuan

yang jelas. Sistem hierarki yang ditetapkan bersama akan bermanfaat bagi pembangunan

gereja, penetapan tujuan jangka panjang dan juga evaluasi kehidupan gereja.

Hierarki berasal dari kata Hirarchia (bahasa Yunani, yaitu hieros: asal usul suci,

kudus dan arche: tata susunan), yang berarti Tata Kudus.1 Hierarki terkait dengan pelayanan

dalam Gereja yang mengarah kepada Allah yang maha kudus. Hierarki menjadi tanda lahiriah

1
Gerald O’Colin SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 101

1
yang menunjuk pada sifat Gereja sebagai institusi di dunia. Dapat pula dikatakan bahwa

hierarki lebih mirip dengan struktur keorganisasian dalam sebuah lembaga.

Sistem hierarki di dalam gereja mulai dikenal sejak abad keempat, ketika gereja mulai

diakui sebagai agama negara, sejak saat itu gereja mulai tampak sebagai suatu institusi.

Gereja sebagai institusi semakin lama semakin menguat dari abad ke abad hingga Konsili

Vatikan I, di mana dimaklumkan dogma infabilitas Paus. Ciri-ciri dari gereja institusional

antara lain: Pertama, Sangat nyata segi organisasi lahiriah dan strukturnya yang hierarkis

piramidal. Kedua, kepemimpinan tertahbis sangat dominan. Hal ini dapat dimengerti karena

untuk memimpin suatu institusi mondial memang dibutuhkan kepemimpinan yang kuat.

Ketiga, hukum dan perarturan memainkan peranan yang penting. Hal ini pun dapat

dimengerti sebab tidak gampang mengatur suatu institusi raksasa seperti gereja. Keempat,

sejak abad keempat, ketika gereja mulai akrab atau berseberangan dengan negara, gereja

berkenalan dengan kekuasaan dan kekayaan. Tidak heran gereja sering tampil triumfalistik.2

Dalam bahasa yuridis gereja, hierarki merupakan tata susunan sekelompok pejabat

dalam umat beriman, yang terpanggil untuk merepresentasikan Kristus yang tak kelihatan

sebagai kepala tubuh-Nya, yaitu gereja.3 Hierarki dapat diartikan: secara objektif sebagai

tingkatan-tingkatan dalam tata susunan pejabat gereja. Secara subjektif sebagai pemangku-

pemangku ‘kekuasaan’ suci atau lebih tepat tugas pelayanan (ministerial) untuk membangun

umat beriman secara rohani, supaya orang beriman sedapat-dapatnya bisa berpartisipasi

dalam seluruh kehidupan gereja. Dengan demikian hierarki lebih sebagai ‘awal kesucian’

yang menyebar luas dari pada ‘pemerintahan’ yang kudus.

2
Yosef Lalu Pr, Makna Hidup Dalam Terang Iman Katolik: Gereja Katolik Memberikan Kesaksian Tentang
Makna Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal 62
3
Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992), hal. 28-29

2
Fungsi hierarki tidak lain adalah mempersatukan umat yang tampak dalam tugas-

tugasnya, yaitu: pertama, Tugas gerejani, artinya hierarki melaksanakan fungsinya lebih pada

pembangunan gereja ke dalam (tanpa mengabaikan tugas gereja yang mendunia). Kedua,

tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman, artinya hierarki mempunyai tugas untuk

memimpin dan membimbing serta mempersatukan umat dalam iman sehingga gereja dilihat

sebagai communio dalam iman.4 Dalam melaksanakan tugas fungsional ini, hierarki

diharapkan mendasarkan pada sikap dan semangat pelayanan.

Struktur hierarkis adalah tulang punggung ‘apostolisitas’ gereja. Salah satu ciri dari

gereja adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya kesadaran bahwa gereja

“dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru”

(Ef. 2:20). Gereja mementingkan hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan

pengganti mereka. Dengan demikian juga menjadi jelas mengapa gereja tidak hanya

mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan eksistensinya pada Kitab Suci, melainkan juga

kepada Tradisi Suci (pengajaran yang bersumber pada ajaran lisan sejak zaman Yesus dan

para Rasul) dan Magisterium (otoritas mengajar gereja yang dipercayakan kepada para Rasul

dan penerus mereka) gereja sepanjang masa. Apostolisitas gereja dinyatakan dalam segala

bidang gereja terutama dalam tiga hal: Pertama, dalam kesetiaan gereja pada Kitab Suci,

karena Alkitab memuat pewartaan para rasul dan pernyataan iman mereka. Kedua, Dalam

tradisi, sebab dalam tradisilah gereja senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi

konkret saat ini dengan berpangkal pada sikap iman yang diambilnya dari iman gereja purba

sebagaimana terungkap dalam Alkitab. Ketiga, Dalam hierarki sebagai organ kesatuan gereja,

sebab hubungan hierarki dengan para Rasul dapat disebut ”tulang punggung” apostolik

mengingat para uskup adalah pengganti para Rasul yang sah. 5 Oleh sebab itu hierarki secara

hakiki berdiri di tengah-tengah hidup gereja, dan mengambil bagian aktif dalam hidup umat.

4
Tom Jacob SJ, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1979), hal . 177-178
5
Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika II (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 276

3
Secara sosio-historis hierarki adalah organ yang harus memberi bentuk kepada gereja, dan

merupakan sekaligus kerangka hidup karismatis gereja. Oleh karena itu tugas hierarki

dijalankan dalam segala bidang kehidupan gereja.

Bala Keselamatan (Salvation Army) adalah salah satu denominasi di kalangan Gereja

Protestan yang terkenal dengan pelayanan sosialnya. 6 Misi mereka adalah menunjukkan kasih

kristiani kepada setiap orang tanpa perbedaan. Gereja ini memiliki empat bidang pelayanan,

yaitu: kerohanian (gereja), pendidikan, sosial dan kesehatan. Sejumlah program yang

dilakukan oleh Bala Keselamatan di Indonesia adalah: Rumah Sakit Umum “William Booth”

di Surabaya, Rumah Sakit Umum “William Booth” di Semarang, Rumah Sakit Ibu dan Anak

“Catherine Booth” di Makasar, sejumlah sekolah di Jakarta, Bandung, Jombang, Kulawi

(Sulawesi Tengah), Semarang, Kalimantan Timur, serta Panti Asuhan dan Panti Jompo. 7

Sebagian besar umat kristiani pasti mengenal Bala Keselamatan. Bahkan diseluruh

dunia mereka dengan mudah dikenali melalui pakaian seragam lengkap dengan tanda pangkat

dan badge dengan logo SA (Salvation Army). Mereka menyebut diri sebagai Bala Tentara

Allah yang setiap hari maju berperang rohani melawan iblis dan dosa yang menyebabkan

penderitaan manusia, dan mengalahkan segala bentuk kejahatan dalam kehidupan masyarakat

serta memenangkan jiwa-iwa bagi Kristus bahkan yang jahat sekalipun.8 Karena itu pakaian

seragam lengkap dengan tanda pangkat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bagian

pelayanan mereka memberitakan serta memberlakukan injil dan kasih Kristus melalui

pelayanan kemanusiaan yang cakupannya sangat luas, terutama bagi masyarakat terbawah di

kota-kota besar maupun di pedesaan.

6
Jimmy Oentoro, Gereja Impian: Menjadi Gereja Yang Berpengaruh (Jakarta: Gramedia, 2010), 180.
7
Oentoro, Gereja Impian, 182.
8
Jan. S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam Dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 259.

4
Pekerjaan besar itu dimulai di Inggris sejak 1865 oleh pemimpin dan jendralnya yang

pertama, William Booth didampingi oleh isterinya Cathrine Mumford Booth. Dari sana Bala

Keselamatan menerobos dan menyebar ke seluruh dunia., termasuk Indonesia. Bala

Keselamatan muncul di Inggris pada masa yang disebut sebagai zaman Victoria.9 Hal

mendasar yang penting untuk diperhatikan untuk memahami zaman Victoria ini adalah

berlanjutnya arus pencerahan abad ke-18 atau pola pemikiran yang berkembang pada zaman

ini. Contoh nyata yang mencerminkan pola pikir dan sistem nilai pencerahan ini adalah

paham pemikiran Adam Smith, seorang moralis dan ekonom- politikus Skotlandia yang

dikenal sebagai Bapa Sistem ekonomi Modern. Dari perkembangan arus pencerahan ini

selanjutnya melahirkan paham Utilitarianism (penghargaan atas sesuatu berdasarkan

manfaatnya) dan Pragmatism (penghargaan atas kerja dan hal-hal yang bersifat praktis),10

yang pada pada gilirannya memacu setiap orang untuk berlomba mengejar kebahagiaan dan

menghindari penderitaan. Paham ini digabung dengan revolusi ilmu pengetahuan pada abad

ke-16. Para ilmuan seperti: Galileo Galilei, Copernicus dan Isaac Newton yang

mengembangkan temuannya. Mereka menemukan alat-alat yang sangat berguna bagi

kemajuan tingkat kehidupan manusia, sehingga mendorong lahirnya Revolusi Industri.

Revolusi industri bukanlah suatu proses yang terjadi secara mendadak, melainkan

melalui proses sejarah yang terjadi sebelumnya. Perubahan yang cepat di bidang ekonomi,

yaitu dari ekonomi agraris ke ekonomi industri yang menggunakan mesin dalam mengelola

9
Aritonang, Berbagai Aliran, 260.
10
Aritonang, Berbagai Aliran, 261.
Utilitarianism bertolak dari suatu situasi dimana kita berhadapan dengan pelbagai kemungkinan untuk bertindak
dan kita tidak tahu alternatif mana yang harus kita pilih. Filsuf pertama yang menguraikan utilitarianisme secara
eksplisit dan sistematis adalah Jeremy Bentham (1748-1832). Menurut Bentham, kehidupan manusia ditentukan
oleh dua tetapan dasar nikmat (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Karena itu, tujuan moral tindakan manusia
adalah memaksimalisasikan perasaan nikmat dan meminimalisasikan perasaan sakit.
Pragmatism adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak
percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat–akibat yang memuaskan. Istilah Pragmatisme berasal dari
bahasa Yunani “Pragma” yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme sendiri berarti ajaran
atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti
tindakan. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1893-1942), yang kemudian
dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

5
bahan mentah menjadi bahan siap pakai. Revolusi Industri telah mengubah cara kerja

manusia dari penggunaan tangan menjadi menggunakan mesin. Revolusi Industri juga

ditandai dengan akibat-akibatnya yang revolusioner dalam kehidupan ekonomi, politik dan

sosial.

sejak 1870-an di lingkungan Bala Keselamatan mulai digunakan peristilahan dan

simbol-simbol Militer, bahkan dilengkapi dengan perintah aturan yang meniru peraturan

disiplin militer dan penuh dengan metafora kemiliteran dan termasuk jenjang

kepangkatannya, juga termasuk dengan pakaian seragam dan perlengkapan lainnya. 11

Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dipandang perlu untuk membuat

suatu penelitian dan menemukan gambaran yang lebih menyeluruh terhadap sistem hierarki

gereja Bala Keselamatan. Karena itu penulis akan membahasnya dalam tulisan berjudul:

Sistem Hierarki Gereja Bala Keselamatan (Studi Eklesiologi Tentang Gereja Bala

Keselamatan Dari Perspektif Model Gereja Sebagai Institusi).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang hendak dikemukakan

adalah:

1. Bagaimana bentuk sistem hierarki Gereja Bala Keselamatan?

2. Apa dampak dari sistem hierarki tersebut terhadap pelayanan Gereja Bala

Keselamatan?

3. Bagaimana tinjauan teologis gereja terhadap sistem hierarki Gereja Bala

Keselamatan?

11
Bala Keselamatan, Dipilih Menjadi Prajurit: Perintah dan Aturan Bagi Prajurit Bala Keselamatan (Bandung:
Bala Keselamatan, 1979), 5.

6
1.3. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis ingin:

1. Mendeskripsikan bagaimana bentuk dari sistem hierarki Gereja Bala Keselamatan.

2. Mendeskripsikan bagaimana dampak dari sistem hierarki terhadap pelayanan Gereja

Bala Keselamatan.

3. Mendskripsikan tinjauan teologis gereja terhadap sistem hierarki Gereja Bala

Keselamatan.

1.4. Signifikansi Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka signifikansi atau manfaat dari penelitian

ini adalah:

1. Mendapatkan suatu pemahaman tentang bentuk sistem hierarki Gereja Bala Keselamatan.

2. Bagi Fakultas Teologi UKSW, tulisan ini dapat menambah khasanah pengetahuan

akademika, khususnya sebagai sumbangan bagi mata kuliah Sejarah Gereja, Eklesiologi,

dan mata kuliah lain yang terkait.

3. Bagi Gereja dan bagi para pelayan jemaat, agar menjadi bahan bacaan untuk menambah

wawasan mengenai aliran denominasi gereja dan sistem pelayanan gereja.

1.5. Metode Penelitian

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif. Metode ini diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan subyek atau obyek

penelitian (individu, lembaga, masyarakat dan lain-lain). Pada saat sekarang berdasarkan

7
fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 12 Sedangkan pendekatan kualitatif berusaha

memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam

situasi tertentu menurut perpektif peneliti sendiri.13

1.6. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer

Dalam penelitian ini penyusun hanya menggunakan satu teknik pengumpulan

data yaitu wawancara. Wawancara dapat dilakukan dengan secara: open-ended

(peneliti bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa

dan opini mereka mengenai peristiwa yang ada), terfokus (responden

diwawancarai dalam waktu yang pendek), dan terstruktur (menggunakan

pertanyaan yang terstruktur).14

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka, yang dipakai

dalam membangun landasan teoritis khususnya tentang definisi Gereja dan

Gereja sebagai Institusi yang akan menjadi tolak ukur untuk menganalisa hasil

interpretasi data penelitian lapangan.

3. Analisa Data

Dalam proses penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa informasi uraian

mengenai sistem hierarki Gereja Bala Keselamatan yang didapatkan kemudian

dikaitkan dengan tujuan penelitian. Data yang didapat kemudian dianalisa

sesuai dengan tujuan penelitian.

12
H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1990), 63
13
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 79
14
Usman dan Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, 50

8
4. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kantor Sinode Gereja Bala Keselamatan, yang

berkedudukan di Bandung - Jawa Barat.

1.6. Sistematika Penulisan

Dalam Bab I, saya akan menguraikan tentang latar belakang penulisan. Selanjutnnya

ada batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, signifikansi

penulisan, metode penulisan.

Dalam Bab II, penulis akan menguraikan tentang teori-teori yang menjelaskan

tentang: teori gereja secara umum dan Gereja sebagai institusi.

Dalam Bab III, penulis akan membahas Sistem Hierarki dalam Gereja Bala

Keselamatan. Bab ini merupakan hasil penelitian yang memuat data yang berhasil

dikumpulkan, yaitu: sejarah Gereja Bala keselamatan secara umum dan sejarah Gereja Bala

Keselamatan di Indonesia secara khusus serta misi pelayanan Bala Keselamatan di Indonesia.

Selanjutnya adalah bentuk sistem hierarki Gereja Bala Keselamatan

Dalam Bab IV, penulis akan menguraikan tinjauan teologis gereja dan kritik

eklesiologi terhadap sistem hierarki Gereja Bala Keselamatan, yang berisikan analisa data

hasil penelitian dalam lingkungan Gereja Bala Keselamatan.

Dalam Bab V, penulis akan menguraikan kesimpulan dari keseluruhan isi tulisan ini,

serta saran yang dapat membangun, yang berdasar dari tulisan pada bab-bab sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai