Concrete Aggregate Characteristic Analysis
Concrete Aggregate Characteristic Analysis
net/publication/236943096
CITATIONS READS
0 16,188
1 author:
Yoppy Soleman
Sintuwu Maroso University
8 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Yoppy Soleman on 28 May 2014.
Berdasarkan teori elastisitas, secara umum kemiringan kurva pada tahap awal atau pada
jangkauan proporsional elastis menggambarkan angka modulus elastisitas beton (Gambar 2).
Batas-batas proporsional elastis (ASTM C469 dan Eurocode-92: 0.40fc’, modulus secant) dalam
estimasi atau perhitungan angka modulus sangat penting, sebab sifat bahan beton yang
sebenarnya adalah non linear atau elasto-plastik, dimana akibat dari suatu pembebanan tetap
yang sangat kecil sekalipun, disamping memperlihatkan kemampuan elastis bahan juga
menunjukkan deformasi permanen. Angka modulus elastis yang didasarkan atas ketahanan
bahan terhadap deformasi (uji kuat tekan) disebut modulus elastis statik. Tulisan ini
membatasi persoalan terdapatnya variansi pengukuran modulus elastis dengan memfokuskan
pada modulus elastis statik (yang diperoleh melalui uji kuat-tekan) dan modulus elastis
berdasarkan rumus hanya pada limit regangan proporsional elastik, atau membatasi definisi
Masalah kedua yang timbul adalah kenyataan bahwa angka modulus elastisitas beton itu sendiri
dalam praktek telah dibawa kepada suatu formulasi empiris yang mengandung faktor kuat tekan
fc’ (compressive strength) beton, seperti dalam beberapa standar di bawah ini:
0 . 4 fc '
Berdasarkan Eurocode 2-1992: Ec = [interval 0 0.4 fc' ]
( 0 . 4 fc ' )
dimana:
Ec = modulus elastisitas statik (MPa)
= regangan aksial (mm/mm)
fc = kuat tekan beton uji silinder 28 hari (psi)
0 . 4 fc ' 1
Berdasarkan ASTM C469: Ec =
( 0 . 4 fc ' ) 1
dimana:
Ec = modulus elastisitas statik (MPa)
1 = regangan aksial (mm/mm)
1 = tegangan yang berhubungan dengan 1
fc’ = kuat tekan beton uji silinder 28 hari (MPa)
Dua prosedur estimasi atau penentuan angka modulus elastis Ec akan dievaluasi di bawah ini:
Formulasi:
Ec = 0.043 wc1.5 fc’0.5
dimana:
Ec = modulus elastisitas beton (MPa)
wc : 1500 - 2500 kgf/m3 (kisaran berat isi beton)
fc’ = 32 Mpa
maka:
Ec bervariasi sebanding berat volume beton sbb,
tegangan tekan maksimum fc’. Hal ini khususnya, jelas sekali dalam formulasi empiris untuk
menghitung angka modulus elastisitas beton, dimana suatu parameter dikalikan dengan
parameter fc' , sehingga Ec = fc' . Parameter ditentukan oleh tingkat pembebanan dan
metoda pengukuran, sedang kuat ultimit atau kuat tekan beton fc’ ditentukan oleh proporsi
campuran, karakteristrik agregat dan kondisi perawatan (curing).
A. Model 2 Fase
Voight, Reuss, Hirsch and Counto (Dr. Kimberly Curtis, Stress-Strain Behaviour in
Concrete) masing-masing telah mengemukan suatu model 2 fase yang sederhana
untuk mengestimasi modulus elastisitas.
Ec = VpEp + VaEa
dimana:
Ec = modulus elastisitas beton
Ep = modulus elastisitas pasta semen
Ea = modulus elastisitas agregat
Vp = volume pasta semen
Va = volume agregat
1 V p Va
Ec E p E a
dimana:
Ec = modulus elastisitas beton
Ep = modulus elastisitas pasta semen
Ea = modulus elastisitas agregat
Vp = volume pasta semen
Va = volume agregat
c. Model Hirsch
Model Hirsch
1 1 V p Va
( x) (1 x)
Ec (V p E p Va E a ) E p E a
dimana:
Ec = modulus elastisitas beton
Ep = modulus elastisitas pasta semen
Ea = modulus elastisitas agregat
Vp = volume pasta semen
Va = volume agregat
x = faktor pengaruh atau proporsi
Gambar 6. Skema Model
Hirsch Berdasarkan model ini, modulus elastisitas beton
berbanding non-proporsional dengan modulus
elastisitas agregat, tetapi ditentukan oleh variabel x.
Rumus di atas merupakan kombinasi dari
kesebandingan paralel [dalam suku pertama yang
dikali faktor (x)] dan kesebandingan seri [dalam suku
kedua persamaan yang dikali faktor (1-x)].
d. Model Counto
Model Counto
1 1 Va Va
Ec E p (1 Va ) E p Va E a
dimana:
Ec = modulus elastisitas beton
Ep = modulus elastisitas pasta semen
Ea = modulus elastisitas agregat
Vp = volume pasta semen
Va = volume agregat
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu estimasi angka modulus elastisitas
beton dapat dilakukan melalui pemeriksaan karakteristik fisis modulus elastisitas agregat
dan penentuan proporsi agregat dalam campuran (fraksi volume) dengan menggunakan
persamaan-persamaan Hirsch, dan Counto. Perolehan data aktual angka modulus
elastisitas agregat kasar (misalnya: split batu lempung, split kuarsa, split granit)
merupakan suatu faktor yang sangat menentukan.
B. Model 3 Fase
Suatu model 3 fase yang disebut Aturan Campuran skala Logaritma telah diusulkan
untuk mengestimasi modulus elastisitas. Plot grafis aturan campuran logaritma ini telah
diperiksa ketepatannya dalam estimasi modulus elastisitas beton dan menghasilkan
nilai-nilai yang sangat representatif (telah diperiksa, penulis). Gambar 9 menunjukkan
plot grafik dari rumus aturan campuran dengan model 3 fase.
dimana:
Ec = modulus elastisitas beton
Ep = modulus elastisitas pasta semen
Ea = modulus elastisitas agregat
Ei = modulus elastisitas lapisan antarmuka (interzone/ITZ)
Vp = volume pasta semen
Va = volume agregat
Vi = volume lapisan antarmuka (ITZ)
Tetapi kita akan membatasi lingkup masalah dengan mengambil hanya poin 1 yaitu
pengaruh karakteristik tertentu dari agregat terhadap kekuatan beton atau modulus
elastisitas. Diberikan rangkuman hasil-hasil penelitian dalam skala luas mengenai pengaruh
karakteristik agregat terhadap kekuatan maksimum campuran beton.
Parameter penting dari karakteristik agregat kasar adalah bentuk, tekstur dan ukuran
maksimum (diameter). Parameter agregat yang demikian menjadi semakin penting
dalam kasus beton kekuatan tinggi (high-strength concrete) dan beton agregat ringan
(lightweight aggregate concrete). Tekstur permukaan dan susunan mineral agregat
mempengaruhi kualitas ikatan (bond) diantara agregat-agregat dan pasta semen pada
saat retak-mikro dimulai dalam massa beton (Gambar 10).
Efek dari tipe agregat dari komposisi bahan penyusun yang berbeda-beda telah diteliti
oleh Satkar dan Aitcin (High Performance Concrete, 1989-1994). Penelitian
menggunakan 12 tipe agregat berdasarkan komposisi bahan penyusun yang
diklasifikasikan atas perbedaan dalam susunan mineral, rincian petrologi, dan
petrografik. Penelitian itu menyimpulkan bahwa efek dari angka tegangan-hancur
agregat (crushed-strength) menjadi tidak berguna apabila rasio air-semen (w/c ratio)
yang digunakan dalam desain campuran berada dalam interval 0.50 – 0.70. Hal ini
disebabkan karena kegagalan dalam pengikatan (bonding failure) agregat-semen atau
kegagalan proses hidrasi pasta semen terjadi jauh lebih dahulu daripada tercapainya
nilai tegangan-hancur agregat. Akan tetapi efek kebalikannya terjadi pada pemakaian
rasio air-semen (w/c ratio) sebesar 0.20- 0.30. Dalam desain beton mutu tinggi, dimana
harus membatasi efek kegagalan antar-butir dan kegagalan permukaan, tipe agregat
dari komposisi bahan mineral penyusun yang kuat, keras dan memiliki jaring-jaring
halus, adalah suatu faktor yang menentukan. Retakan butiran dan retak antar-butir,
dekomposisi butiran, dan pemisahan bidang lapisan adalah tanda-tanda dari
karakteristik kekuatan agregat yang rendah yang mempengaruhi pencapaian kekuatan
ultimit beton.
Peneliti Aitcin dan Mehta (P-C. Aitcin and P. K. Mehta. 1990. Effect of Coarse-
Aggregate Characteristics on Mechanical Properties of High-Strength Concrete. ACI
Materials Journal, Mar-Apr, Vol. 87, No. 2, pp. 103-107) menguji 4 tipe agregat dari
komposisi bahan penyusun yang berbeda dengan proporsi rasio air-semen (w/c ratio)
sebesar 0.275 yang sama untuk membuat beton mutu tinggi dengan interval tegangan
ultimit dari 85 – 105 MPa (12 – 15 ksi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuat-tekan
(compressive strength) dan modulus elastisitas beton sangat dipengaruhi oleh
karakteristik mineral bahan penyusun agregat. Agregat batu pecah dari batuan basalt
berbutir-halus dan batu gamping memberi hasil yang paling baik. Sedangkan agregat
yang berasal dari batu kerikil sungai tekstur halus dan batu pecah granit yang
terkontaminasi mineral lunak menghasilkan kekuatan tekan yang relatif lebih lemah.
Penelitian ini menganjurkan bahwa suatu pemilihan tipe agregat kasar untuk desain
beton mutu tinggi sebaiknya melalui pengujian kurva tegangan-regangan dan uji
pembebanan berulang.
Peneliti Chang dan Su (T-P. Chang and N-K. Su. 1996. Estimation of Coarse
Aggregate Strength in High-Strength Concrete. ACI Materials Journal, Jan-Feb, Vol.
93, No.1, pp. 3-9), menemukan adanya korelasi positif diantara angka kuat-tekan rata-
rata aggregat (mean crushed/compressive strengh of aggregate) dan angka kuat-tekan
beton yang dihasilkannya. Dengan menggunakan 4 tipe agregat split batu lempung dan
3 tipe agregat komposisi batuan lainnya, penelitian itu menghasilkan nilai kuat-tekan
beton usia 7 dan 28 hari sebesar 35 – 75 Mpa (5000 – 10700 psi). Tegangan tekan atau
tegangan hancur rata-rata agregat ditentukan berdasarkan rumus,
1
22 Ph
V
dimana 22 adalah tegangan tekan atau tegangan hancur rata-rata agregat, V adalah
volume satu keping agregat yang diukur menurut prinsip Archimedes (setelah
pengukuran berat kering sempurna), P adalah beban maksimum yang diberikan untuk
keping tunggal agregat, dan h adalah jarak beban P diantara 2 titik pembebanan
berhadapan.
tekan beton usia 28 hari yang dihasilkan berkisar 51 - 81 MPa (7.35 - 11.57 ksi)
dengan faktor air semen (w/c ratio) bervariasi mulai 0.28 sampai 0.42. Leming
menemukan bahwa karakteristik mekanik beton mutu tinggi (compressive strength)
bervariasi tergantung pada tipe agregat kasar yang telah digunakan. Hasil kedua dari
penelitian itu menunjukkan bahwa angka rasio air-semen (w/c ratio) tidak dapat
digunakan sebagai satu-satunya alat prediksi pencapaian kekuatan beton mutu tinggi
apabila digunakan tipe agregat dan komposisi pasta semen yang berbeda-beda.
Peneliti Lindgard dan Smeplass [1993] menguji 6 tipe agregat yang dari tingkat
kekerasan dan tegangan-hancur yang berbeda-beda:
Efek yang dihasilkan pada kuat-tekan beton ditunjukkan dalam Gambar 11. Kecuali
granit, semua tipe agregat lainnya dihancurkan (crushed) dengan mesin. Perbedaan
diantara kekuatan tertinggi dan terendah yang dicapai adalah 40%.
Peneliti Giaccio [Giaccio et al. 1992] menguji tiga tipe agregat yaitu basalt, granite dan
batu lempung pada suatu rasio air-semen konstan sebesar 0.30 yang tambahkan
superplasticizer berbahan dasar 2.5% naphthalene. Pengujian menggunakan tabung
silinder 100x200 mm. Hasil penelitian ini menunjukkan variasi kuat-tekan beton yang
signifikan yaitu: tipe agregat basalt 92 MPa (13 ksi), tipe granit 80 MPa (11.5 ksi), dan
tipe batu lempung 62 MPa (8.86 ksi).
Ukuran butir maksimum agregat mempengaruhi kekuatan beton dalam beberapa cara.
Pertama, ukuran diameter agregat yang lebih besar berarti luas bidang kontak (atau
zona antarmuka, ITZ) yang lebih sedikit dan ikatan pasta semen-agregat yang kurang,
maka sebagai akibatnya akan mengurangi kuat-tekan beton. Kedua, ukuran diamater
agregat yang lebih besar akan mengurangi volume pasta semen, kemudian
menghasilkan tegangan tambahan dalam pasta semen, dan menciptakan lebih banyak
retak-mikro akibat penerapan beban. Karena itu, harus ada pembatasan ukuran agregat
maksimum untuk menghasilkan kuat-tekan beton yang lebih tinggi.
Peneliti Cook (1992) memberikan kesimpulan dalam penelitiannya bahwa secara umum
untuk rasio air-semen yang sama, penggunaan ukuran agregat yang lebih kecil akan
menghasilkan kuat-tekan yang lebih tinggi. Suatu pembatasan diameter agregat
maksimum sebesar 25 mm (1 in.) diperlukan dalam memproduksi beton dengan kuat-
tekan di atas 69 Mpa (10 ksi) atau beton berkekuatan tinggi. Peneliti lainnya (Larrard
and Belloc, 1992) merekomendasikan ukuran maksimum agregat 20 – 25 mm (3/4 – 1
in.) sebagai ukuran agregat maksimum dalam desain campuran, dann menyarankan
diameter agregat maksimum 10 – 12 mm untuk menghasilkan desain campuran beton
kuat-tinggi.
Tabel 3. Data Karakteristik Pasta Semen dan Rasio Air-Semen (W/C Ratio) yang
sama untuk tiga tipe agregat
Modulus Elastis, Volume Fraksi
Tipe Semen W/C Rasio Ea (Mpa) Pasta Semen (%)
Pemakaian Referensi :
2. M.L. Leming: Comparison of Mechanical Properties of High-Strength Concrete Made with Different
Raw Materials. Transportation Research Record, No. 1284, pp. 23-30. 1999) Earl W. Swokowski,
Calculus With Analytic Geometry, 1988.
3. J. Lindgard and S. Smeplass. 1993. High Strength Concrete Containing Silica Fume — Impact of
Aggregate Type on Compressive Strength and E – Modulus. Fly Ash, Silica Fume, Slag, and Natural
Pozzolans in Concrete. Proceedings of the Fourth International Conference, Istanbul, Turkey, May
1992; Ed. by V. M. Malhotra; American Concrete Institute, Detroit, MI, Vol. 2, pp. 1061-1074. (ACI
SP-132))
4. T-P. Chang and N-K. Su. 1996. Estimation of Coarse Aggregate Strength in High-Strength
Concrete. ACI Materials Journal, Jan-Feb, Vol. 93, No.1, pp. 3-9.