Anda di halaman 1dari 104

About Contact Privacy Disclaimer Daftar isi

! " # $ %
Sonny Ogawa

Cersil Tempat Seputar Artikel &


Online Hiburan Wisata Islam Umum Placement

'

Populer Post
Home Pendekar Rajawali Sakti Pesanggrahan Telaga Warna

Cersil Silat Online Karya Kho


Ping Hoo

Pendekar Buta

Jaka Lola Jilid 01

Iblis Wajah Seribu

Cerita Silat Online Pendekar


Rajawali Sakti

Tentang Sebuah Pertanyaan


Tanda-tandanya wanita jatuh
cinta
Pesanggrahan Telaga Warna
Pertarungan Di Bukit Setan

Published by Sonny Ogawa 12 January 2018 Cerita Silat Pendekar Kapak


Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng

Serial Pendekar Naga Putih

PESANGGRAHAN TELAGA WARNA


SATU

SAAT ini cuaca cukup baik. Angin bertiup tenang, membawa


hawa hangat siang hari. Kawasan Bukit Ungaran tampak
ramai oleh para tokoh persilatan yang ingin mendapatkan
bunga langkah yang dikenal bernama Bunga Nirwana.

Menurut berita yang terdengar saat ini, barang siapa yang


memakan Bunga Nirwana tenaganya akan bertambah
puluhan kali lipat. Lagi pula dapat membersihkan darah dan
menguatkan tulang, sehingga tidak mudah rapuh. Dengan
demikian daya tahan tubuh pun semakin meningkat.

Karena itulah, Pesanggrahan Telaga warna yang terletak di


tengah telaga warna, ramai dikunjungi orang persilatan. Di
antara sekian banyak tokoh persilatan, tampak seorang tua.
Rambutnya yang putih tergerai, bertebaran ditiup angin. Dia
berjalan seenaknya dengan mata memandang ke sana
kemari bagaikan tengah mencari sesuatu. Tingkahnya
terkesan santai dan seenaknya saja. Sesekali ditenggaknya
tuak merah dari guci yang dibawa.

Di sampingnya berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi


besar dengan pakaian merah tanpa lengan. Wajah pemuda
itu cukup tampan. Di pinggangnya tergantung clurit
berwarna perak. Pemuda itu terus mengikuti ke mana saja
orang tua itu pergi.

Saat seperti sekarang ini, ketegangan telah mencapai


puncaknya. Sikap tokoh persilatan sepertinya saling curiga
dan tidak percaya satu sama lain. Mereka merasa ada yang
main kayu dalam persaingan mencari Bunga Nirwana.

"Jalapati terbunuh...! Jalapati terbunuh!" Mendadak


kesunyian siang itu dipecahkan oleh teriakan seorang
pemuda berpakaian serba putih.

Mendengar teriakan barusan dengan cepat murid-murid


perguruan itu memburu ke tempat yang ditunjuk pemuda
tadi. Tampak sosok tubuh rekan mereka telah membujur
kaku menjadi mayat. Mereka menjadi berang bukan main.

"Keparat...! Laporkan kejadian ini pada Eyang Tantular! Ini


pasti perbuatan murid-murid Ki Ronggojati dari Perguruan
Harimau Besi! Kita harus menebus kematian rekan kita
dengan darah....'" desis salah seorang murid dengan gigi
gemeletuk menahan marah.

"Benar... Balaga! Kita hancurkan mereka yang merasa paling


jago dan tidak memandang perguruan kita sama sekali...,"
timpal murid lain dengan mengepalkan tinju sampai
berbunyi berkerotokan.

"Aaaaaa...!"

Pada saat yang sama, terdengar pula dua kali teriakan


menyayat. Beberapa orang berpakaian serba kuning dengan
lambang bergambar seeekor harimau di dada segera
memburu ke tempat datangnya teriakan tadi. Begitu mereka
tiba, tampak dua sosok mayat telah terbujur kaku. Dekat
mayat itu terlihat dua ekor kelabang yang sedang merayap.

"Bangsat...! Ini pasti perbuatan murid-murid Perguruan


Gelang Terbang...! Kalau ingin pamer kepandaian, mengapa
tidak langsung saja...? Mengapa harus menggunakan cara
licik?" desis pemuda bertubuh kekar yang dikenal sebagai
murid Perguruan Harimau Besi seraya mencabut pedang
dan membunuh kedua binatang beracun itu.

"Kalau begitu, mereka sudah membuka tantangan pada


kita...! Menghadapi manusia licik, kita tidak perlu
menggunakan perasaan.... Cepat laporkan pada Eyang
Ronggojati!" sambut murid lain.

Dua orang murid Perguruan Harimau Besi segera kembali ke


perkemahan, untuk melaporkan kejadian ini pada Eyang
Guru mereka. Sementara yang lain segera mengurusi dua
mayat yang telah membiru.

Tepat ketika kedua mayat itu hendak disemayamkan di


kemah, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dengan
pakaian jubah kuning telah muncul bersama dua orang
murid yang melaporkan tadi.

Laki-laki tua yang tak lain dari Eyang Ronggojati, Ketua


Perguruan Harimau Besi nampak penuh kemurkaan. Itu bisa
dilihat dari raut wajahnya yang membesi. Sinar matanya
berkilauan dengan kedua tangan terkepal.

Setelah Eyang Ronggojati memberi isyarat pada murid-


muridnya, mereka pun berangkat untuk mendatangi
perkemahan Perguruan Gelang Terbang. Dengan langkah
lebar, Eyang Ronggojati berjalan paling depan.
Belum berapa jauh orang-orang Perguruan Harimau Besi
melangkah, telah berpapasan dengan orang-orang
Perguruan Gelang Terbang yang memang sedang menuju
ke tempat mereka.

Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki tua berbaju


jubah putih. Di belakangnya tampak murid-murid Perguruan
Gelang Terbang yang rata-rata sedang menahan marah.
Laki-laki tua berjubah putih itu tak lain dari Eyang Tantular.

"Bangsat...! Berani benar mereka mendatangi kita...! Tetapi,


kebetulan! Kita tidak perlu susah payah ke tempat mereka!"
desis Eyang Tantular.

Eyang Ronggojati yang memimpin Perguruan Harimau Besi


memandang Eyang Tantular dengan sorot mata tajam,
ketika rombongan masing-masing berhenti pada jarak lima
tombak.

Eyang Tantular sendiri yang memimpin Perguruan Gelang


Terbang, maju ke muka beberapa langkah dengan senjata
siap di tangan. Demikian pula Eyang Ronggojati. Bahkan dia
telah meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Hei..., Tantular! Sebagai Ketua Perguruan yang cukup


ternama, apakah tidak malu melakukan perbuatan
rendah...?" tegur Eyang Ronggojati dengan suara penuh
tekanan.

"Apa maksudmu, Ronggojati...?!"

"Jangan pura-pura...!" sentak Eyang Tantular keras


menggelegar. "Mengapa kau bunuh muridku dengan
binatang beracun...?!"

"Keparat...! Pandai benar kaku memutar balik kenyataan.


Kau sendirilah yang membunuh muridku mengyunakan
binatang beracun. Huh! Maling teriak maling...," balas Eyang
Tantular dengan suara menggelegar.

"Huh...! Di mana pun tidak ada orang yang bersalah


mengaku. Kalaupun ada, hanya beberapa gelintir saja....
Yang jelas, bukan kau orangnya...," ejek Eyang Ronggojati
melecehkan.

Mendapat jawaban seperti itu Eyang Tantular jadi berang.


Cepat bagaikan kilat, tangannya bergerak.

Zing! Zing!

Beberapa buah gelang dari besi langsung berterbangan


menimbulkan suara berdesingan ke arah Eyang Ronggojati.
Namun dengan cepat pula Ketua Perguruan Harimau Besi
mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Lalu
dengan gerakan tidak kalah cepat, pedangnya diputar
bagaikan baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Berkali-kali terdengar suara berdenting nyaring ketika


senjata gelang terbang milik Eyang Tantular beradu dengan
pedang Eyang Ronggojati.

Eyang Tantular berhasil menangkap kembali gelang


terbangnya. Dan dengan memutar tubuhnya, kembali gelang
terbang itu dilepaskan menyambar ke arah leher dan perut.
Serangan kali ini sangat berbahya dan mematikan.
"Heaaa...!" Sambil berteriak keras, Eyang Ronggojati
melenting dan berjumpalitan di udara. Pedangnya langsung
menyabet dua senjata maut yang mengancam dirinya.

Trang! Trang!

Dari gebrakan tadi, jelas kepandaian dua tokoh itu tidak


terpaut jauh. Sehingga dalam waktu singkat, sulit untuk
mengatakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat Eyang Guru masing-masing sudah saling serang,


para murid kedua perguruan itu tidak mau kalah. Serentak
mereka saling serang tanpa kenal kasihan lagi.

Tidak lama, terdengarlah teriakan-teriakan kematian yang


menggiriskan. Bahkan sebentar kemudian, dari kedua
perguruan telah jatuh banyak korban. Darah mulai
menganak sungai. Hawa kematian mulai menyebar di
tempat itu.

Para tokoh persilatan dan murid-murid dari perguruan lain


memperhatikan pertarungan dengan wajah menyesalkan.
Semuanya tidak mengerti, mengapa kedua perguruan itu
harus saling tempur hanya untuk sesuatu yang belum jelas
buktinya. Bukankah dengan jalan lain kemungkinan jatuhnya
korban bisa dihindari!

Sementara pertarungan semakin lama jadi semakin seru.


Tampak Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung
Kidul dan Wisnupati memperhatikan jalannya pertarungan.
Sambil terhuyung-huyung karena kebanyakan minum tuak,
malah dihampirinya pertempuran itu.
"He he he...! Kalau ada keramaian ajak-ajak aku, dong....
Mengapa kalian berpesta seenaknya saja...?!" oceh Ki
Demong dengan langkah terseok-seok.

"Hei..! Kau mau ke mana, Ki...?" tanya Wisnupati heran.

"Kau diam saja di pinggir.... Aku hendak ikut main-main


sebentar dengan mereka...," jawab Pemabuk Dari Gunung
Kidul seenaknya.

Melihat ada orang lain memasuki pertarungan seenaknya


saja, kedua murid perguruan yang sedang berkelahi
langsung menyerang dari kiri dan kanan. Namun dengan
memiringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, serangan dari
kedua perguruan itu tak satu pun yang berhasil menyentuh
Ki Demong.

Bahkan serangan balik Pemabuk Dari Gunung Kidul yang


menggunakan guci tuak, telah menghantam dada dan
kepala mereka dengan telak. Walaupun tidak mematikan
karena tidak disertai tenaga dalam, tetapi serangan itu
cukup menyakitkan.

"Fruhhh...!" Ki Demong yang kini dikeroyok murid-murid


Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Harimau Besi,
mulai menyemburkan tuak merah yang disertai kobaran api
menyambar-nyambar. Sedangkan kaki dan tangannya
menyambar ke kiri dan kanan.

Desss...! Desss...!

Rupanya tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul tak lepas


dari perhatian kedua pemimpin dari dua perguruan yang
sedang berseteru. Mereka segera menghentikan
pertarungan. Bahkan Eyang Ronggojati langsung meluruk ke
arah Ki Demong.

"Bangsat tua...! Rupanya kau yang telah membinasakan


anak muridku...?" hardik Eyang Ronggojati!

Begitu tiba, Eyang Ronggojati menyabetkan pedangnya ke


arah leher. Walaupun dalam keadaan setengah mabuk, Ki
Demong masih tetap tangguh. Serangan yang mengarah ke
leher ditangkis dengan guci tuak.

Baru saja Ki Demong menangkis sabetan pedang Eyang


Ronggojati, sambaran gelang terbang Eyang Tantular telah
meluruk datang. Namun dengan enaknya, pemabuk tua ini
melenting indah ke atas, membuat gelang terbang itu hanya
menyambar angin.

Walaupun dikeroyok dua, Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak


mengalami kesulitan. Permainan guci tuaknya sangat aneh
dan luar biasa. Bahkan kedua lawannya dibuat bingung dan
kelabakan.

Apa lagi lelaki pemabuk itu sangat jahil. Bila diserang di


depan, tubuhnya menyelinap ke belakang. Dan bila diserang
ke belakang, tubuhnya ada di samping. Yang diserangnya
juga bagian bawah pusar. Dan terkadang menjentik telinga
sampai merah dan berdenging.

Tentu saja perbuatan Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat


Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular jadi semakin berang.
Secara membabi buta, mereka menerjang. Puluhan gelang
terbang Eyang Tantular meluncur mencari mangsa.
Sedangkan pedang Eyang Ronggojati bersiutan mengurung
jalan keluar Ki Demong.
Sungguh mereka tidak sadar kalau laki-laki tua pemabukan
itu sedang mempermainkan mereka. Pemabuk Dari Gunung
Kidul sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah antara
dua perguruan itu.

"He he he...! Segala ayam kampung mau pamer kepandaian


dalam perebutan Bunga Nirwana.... Lebih baik kalian
kembali dan jangan mengorbankan jiwa sia-sia...," ejek Ki
Demong.

"Keparat...! Walaupun kau memiliki kepandaian tinggi,


jangan harap aku takut menghadapimu...!" bentak Eyang
Ronggojati sambil memutar-mutar pedangnya hingga
berbunyi berkesiutan.

"Hei, Setan Tua! Aku juga ingin mengadu jiwa denganmu...!"


timpal Eyang Tantular sambil menggenggam erat gelang-
gelang terbangnya yang bisa meluncur balik, bila tak
mengenai sasaran.

"Setan kalian semua.,.! Mengapa malah mengeroyok


Pemabuk Dari Gunung Kidul yang tidak tahu apa-apa...?!"
dengus Wisnupati. Tubuhnya langsung meluruk dengan
clurit perak dikibas-kibaskan.

"Heaaat!"

Melihat ada yang memasuki kancah pertarungan lagi, para


murid dari kedua perguruan langsung bergerak. Mereka
mengeroyok Wisnupati beramai-ramai.

Wisnupati mengerti, kalau Pemabuk Dari Gunung Kidul


bermaksud mencegah kedua perguruan itu dari kematian
sia-sia. Karena kalau dibiarkan terus bisa dibayangkan,
berapa banyak jiwa yang akan melayang kalau terus saling
serang tanpa berhenti.

Hal itulah yang menyebabkan si Pemabuk Dari Gunung


Kidul ikut terjun dalam pertarungan. Tetapi tindakan Ki
Demong malah membuatnya dituduh sebagai si penyebar
maut dengan binatang berbisa. Melihat hal itu, Wisnupati
pun ikut terjun dalam pertarungan. Apalagi, melihat Ki
Demong dikeroyok beramai-ramai.

Belum beberapa jurus Wisnupati bertarung, berkelebat


sesosok tubuh berpakaian hijau dengan wajah tengkorak.
Gerakannya bagaikan seekor kucing yang menyelinap ke
sana kemari.

Bahkan sosok itu berkelebat sambil melempar benda-benda


sebesar melinjo ke arah murid-murid kedua perguruan ini.
Untung saja, pertarungan Ki Demong melawan Eyang
Ronggopati dan Eyang Tantular berjarak cukup

Dar! Dar!

Ternyata benda bulat itu langsung meledak begitu


menyentuh tanah. Asap tebal yang berbau harum segera
memenuhi tempat perkelahian.

"Ugkh...!" "Uhhh...!"

Kontan murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan


Perguruan Harimau Besi jadi terhuyung-huyung. Rupanya
asap itu mengandung pembius yang memabukkan.

Sementara, Wisnupati cepat menahan napasnya. Tubuhnya


segera berkelebat cepat, seraya melepas totokan ke arah
murid-murid kedua perguruan itu. Tanpa harus membunuh,
dia bisa menghentikan pertarungan. Setelah melakukan
serangan gelap, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak
menghilang dari pandangan.

Sedang Ronggojati saat itu sedang menusukkan


pedangnya. Namun dengan gerakan luar biasa, Ki Demong
mengelak ke samping sambil melepas totokan ke punggung
disertai tenaga dalam tinggi.

"Uhhh...!" Eyang Ronggojati melenguh tertahan ketika


tubuhnya lemas tak bisa digerakkan lagi. Sehingga
pedangnya terlepas dari tangannya.

Lalu, dengan konyol Ki Demong bergerak ke belakang,


seraya menahan tubuh Eyang Ronggojati. Dan secepat itu
pula, tuak merah yang tergolong sangat keras itu
diminumkan pada mulut Ketua Padepokan Harimau Besi.

"Uh... hegh?! Glug... ceglugh...!"

Masuknya tuak merah yang keras dengan paksa ke perut,


sebentar saja telah membuat Eyang Ronggojati mabuk.
Begitu Ki Demong melepaskan tubuhnya, Eyang Ronggojati
ambruk sambil mengoceh tak karuan.

Melihat tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Eyang


Tantular segera melemparkan tujuh buah gelang terbangnya
sekaligus. Namun dengan cepat, Pemabuk Dari Gunung
Kidul memutar guci tuaknya bagai kincir angin.

Tang! Tang!
Seketika gelang terbang milik Eyang Tantular mental tak
tentu arah. Bersamaan mentalnya senjata gelang terbang, Ki
Demong bergerak cepat menjatuhkan diri. Langsung
diserang Eyang Tantular dengan tendangan seperti baling-
baling.

Bed! Bed!

"Hiaaa...!"

Sambil berteriak keras, Ketua Perguruan Gelang Terbang


berjumpalitan ke udara. Tetapi, Ki Demong terus
memburunya. Baru saja Eyang Tantular mendarat, sebuah
totokan bertenaga dalam tinggi menghantam punggung.

Tidak ampun lagi, Ketua Perguruan Gelang Terbang ambruk


dan jatuh telentang di tanah. Seperti Eyang Ronggojati, dia
juga dicekoki. Entah tidak biasa minum atau memang tuak
merah itu sangat keras. Eyang Tantular jadi pening dan
mabuk.

"Setelah kusadarkan nanti, kuharap kalian pergi.... Tidak ada


maksudku mencelakai kalian! Menghadapi aku saja, tidak
berdaya. Apalagi terhadap mereka yang memiliki
kepandaian tinggi dan berwatak kejam. Kalau kalian tidak
dapat kunasihati, terserah. Barangkali kalian memang
menghendaki banyak jiwa terbunuh secara sia-sia!" ujar si
Pemabuk Dari Gunung Kidul secara sembarangan, seolah-
olah tidak ditujukan pada kedua ketua perguruan itu.

Semakin hari, semakin sedikit orang persilatan yang


mengepung Pesanggrahan Telaga Warna. Terutama, setelah
Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular menuruti kata-kata
Pemabuk Dari Gunung Kidul. Mereka yang merasa
berkepandaian di bawah kedua ketua perguruan itu
mengundurkan diri.

Namun tidak sedikit yang merasa jumawa, dan


menganggap paling unggul sendiri. Mereka masih merasa
enggan meninggalkan tempat itu, karena tergiur pada benda
langka yang luar biasa dan hanya muncul seratus lima puluh
tahun sekali.

"Shet...! Wisnupati! Tadi kulihat ada bayangan yang sudah


kukenal baik.... Tetapi, sekarang tidak tampak lagi...," bisik Ki
Demong pada Wisnupati sambil celingukan ke sana kemari
bagai anak ayam kehilangan induk.

"Bayangan siapa itu, Ki...?" tanya Wisnupati keheranan,


karena tidak melihat apa-apa.

"Bayangan si Manusia Tengkorak! Dialah yang tadi


melemparkan bom asap...," sahut Ki Demong.

"Kalau begitu mari kita cari dia.... Siapa tahu masih ada di
sekitar sini...!" ajak Wisnupati, penuh semangat.

Lalu dengan cepat pemuda tinggi besar itu berkelebat


mencari ke sekitar tempat ini. Dengan kesal, terpaksa orang
tua urakan itu ikut mengejar dari belakang.

"Hei..., tunggu dulu! Mau ke mana kau...?" teriak Ki Demong.

"Mencari si Manusia Tengkorak...," sahut Wisnupati sambil


terus berlari.

"Berhenti kau, Dungu...! Mana mungkin dia masih di tempat


ini. Kalaupun ada, dia sudah pasti telah menanggalkan
kedoknya...!"

Mendengar teriakan itu, Wisnupati terpaksa menghentikan


larinya. Tubuhnya lantas berbalik, menghampiri Pemabuk
Dari Gunung Kidul.

"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan...?" tanya


Wisnupati.

"Kita diam saja, seolah-olah tidak tahu. Bila dia muncul


kembali baru kita gebrak...," jelas Ki Demong.

Selesai berkata demikian, Ki Demong melangkah terhuyung-


huyung. Langkahnya berhenti tepat di bawah pohon.
Direbahkan tubuhnya di situ. Sebentar saja, terdengar
dengkurnya yang keras.

Wisnupati yang menyertai ikut merebahkan diri. Pemuda itu


juga tidak mau peduli dengan keadaan di sekitarnya. Sesaat
kemudian, dia tertidur juga di samping orang tua
pemabukan itu.

DUA

Belum lama Ki Demong dan Wisnupati tertidur, seorang


pemuda berpakaian indah dari sutera berwarna ungu
tampak mendatangi dengan langkah lebar. Dengan
seenaknya, pemuda itu menendang lambung Ki Demong.

Wuttt...!

Entah sengaja atau tidak, kaki Pemabuk Dari Gunung Kidul


naik ke atas menahan tendangan. Kemudian Ki Demong
membalikkan tubuhnya dengan mendadak. Bahkan
kemudian kaki yang satu lagi menghantam kaki pemuda
yang berwajah garang itu.

Dugkh!

"Aaakh...!" Tubuh pemuda yang juga mengenakan bebat kain


sarung kotak-kotak seperti catur itu jatuh mencium tanah.
Namun dengan cepat dia bangkit kembali disertai wajah
berang.

Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul sudah membuka


matanya. Sambil mengucak-ngucak, diawasinya pemuda
yang tengah melotot dengan mata merah.

"Eh...?! Ada apa ini...? Siapa pula kau ini? Mengapa


menatapku seperti itu...?" tanya Ki Demong dengan wajah
bodoh.

Mendengar ribut-ribut, Wisnupati terbangun pula dan


bangkit seraya hendak mengirimkan sebuah pukulan.
Tetapi, tanpa disangka ternyata Ki Demong telah mencegah
dengan menotok lambungnya.

"Aaakh...!" Tanpa dapat ditahan lagi, pemuda putra Kepala


Desa karang Sekalor itu jatuh kembali tanpa dapat berbuat
sesuatu apa pun. Hanya matanya saja mendelik tak suka
pada Ki Demong yang tersenyum-senyum mengawasi
dengan sikap lucu.

"Kalau tidak salah lihat, kau adalah Ki Demong yang berjuluk


Pemabuk Dari Gunung Kidul...?" tegur pemuda yang
agaknya berasal dari Pulau Bali itu.

"He he he...! Kalau benar, ada apa dengan nama itu...?" Ki


Demong malah balik bertanya.

"Kau harus membayar hutang nyawa saudara angkatku


yang telah kau binasakan beberapa waktu yang lalu...!
Namaku I Wayan Gulem, dari tanah Bali! Bersiaplah kau...!"
desis pemuda yang mengaku bernama I Wayan Gulem.

"Tunggu dulu...! Ada banyak sekali yang binasa di tanganku.


Siapa nama saudara angkatmu itu...?" cegah Ki Demong.

"Namanya, Salya Pati. Dia berjuluk Iblis Pemetik Bunga...,"


jawab I Wayan Gulem dengan suara berat.

"Oh...! Kalau dia memang patut mati. Banyak sudah wanita


yang jadi korban nafsu bejadnya...!" tukas Ki Demong,
tandas.

"Huh...! Boleh jadi orang lain gentar mendengar nama


besarmu. Tetapi bagiku, kau sama dengan jago kelas
kambing.... Lagi pula, jangan samakan aku dengan Iblis
Pemetik Bunga.... Maka, bersiaplah kalau tidak ingin mati
penasaran...!" bentak I Wayan Gulem sambil mencabut keris
dipunggungnya, dan langsung menusuknya ke leher Ki
Demong.

"Sheaaat...!"

Trang...!

Ujung keris yang mengancam tenggorokan dapat ditahan Ki


Demong dengan ayunan guci tuak yang keras, sehingga
menimbulkan suara nyaring. Namun serangan I Wayan
Gulem tidak berhenti sampai di situ saja. Kerisnya berputar
cepat mengarah dada. Sedangkan tangannya yang
membentuk cakar, mengancam kepala Pemabuk Dari
Gunung Kidul.

Menghadapi serangan berbahaya itu, Ki Demong terkekeh


sambil menenggak tuak merah dari guci. Kemudian,
secepat itu pula orang tua pemabukan itu memiringkan
tubuhnya. Dan begitu serangan keris lewat di dada,
disemburkannya tuak dalam mulut kearah lengan yang
mencengkeram kepala.

"Fruhhh...!"

"Aaakh...!" Karena tidak menyangka, I Wayan Gulem kena


semburan tuak. Sambil berjingkrakan dia melompat
mundur. Tangannya kontan terasa sakit, bagaikan ditusuki
ratusan jarum. "Bangsat...! Kubunuh kau setan tua...!"
bentak I Wayan Gulem.

Saat itu juga, pemuda dari tanah Bali ini melancarkan


tendangan beruntun. Namun dengan lincah Ki Demong
berkelit-kelit. Melihat serangannya gagal, keris di tangan I
Wayan Gulem segera meliuk-liuk bagaikan ular, mencari
lubang kelemahan pada pertahanan Pemabuk Dari Gunung
Kidul.

Ki Demong langsung melenting ke belakang. Begitu


mendarat, kedua tangannya langsung menghentak. Pukulan
jarak jauh Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat pasir dan
dedaunan terangkat naik. Namun, I Wayan Gulem segera
menyambuti dengan pukulan jarak jauh pula.

Blarrr...!

Keduanya kontan bergetar mundur dengan tangan terasa


sakit begitu terjadi benturan tenaga dalam. Belum juga Ki
Demong bersiap, pemuda Bali itu telah meluruk cepat
dengan kaki terjulur ke arah perut. Begitu cepat gerakannya,
sehingga....

Desss...!

"Hugkh...! Fhruuuh...!"

"Aduuhh...!" Entah sengaja atau kebetulan, tuak dalam mulut


Pemabuk Dari Gunung Kidul kontan tersembur keluar dan
mengenai muka I Wayan Gulem.

Tentu saja pemuda Bali itu jadi kelabakan, karena ada


beberapa tetes tuak yang berhasil masuk mata kanannya.
Tanpa malu-malu lagi, I Wayan Gulem mengaduh-aduh
kesakitan. Ki Demong hanya tertawa saja melihat tingkah
lawan seperti itu. Namun tiba-tiba....

"Leak Murka...!" Secara tak terduga I Wayan Gulem berteriak


keras sekali dengan lidah terjulur panjang-panjang.

Bersamaan dengan berakhirnya teriakan, kepala I Wayan


Gulem terlepas dari tubuhnya dengan membawa seluruh isi
perutnya! Jelas, inilah ilmu 'Leak' yang biasa dimiliki tokoh
hitam dari tanah Bali. Saat itu juga, kepala I Wayan Gulem
yang masih meneteskan darah dengan membawa seluruh
isi perut itu melayang menerjang Ki Demong dengan ganas.

Sementara, Pemabuk Dari Gunung Kidul masih terpaku tak


percaya melihat keanehan itu. Akibatnya, dia jadi lengah.
Maka kepala tanpa tubuh yang telah memiliki taring pada
mulutnya itu mendadak menempel pada lehernya.
"Wuaaa...!" Tentu saja hal itu membuat Pemabuk Dari
Gunung Kidul kelabakan. Bagai kilat tangan kirinya menarik
rambut di kepala tanpa tubuh yang menempel di lehernya.
Kemudian kepala itu dibanting ke atas tanah.

Wuuttt...!

Tetapi sebelum menyentuh bumi, kepala itu melayang


kembali ke udara. Dengan lidah yang terjulur menjijikkan,
kembali kepala itu meluruk ke arah Ki Demong. Untuk
menghindari serangan berbahaya ini, Pemabuk Dari Gunung
Kidul kembali menyemburkan tuak merah ke kepala yang
menjijikkan dengan tetesan darah dan lidah yang menjulur-
julur.

"Fruhhh...!" Wussst...!

Semburan tuak yang disertai nyala api menyambut


datangnya kepala mengerikan itu. Tetapi dengan cepat
kepala itu menghindarinya. Bahkan dengan tak terduga,
mulut kepala I Wayan Gulem terbuka semakin lebar. Dan
dari mulut itu menyemburkan nyala api yang lebih besar.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi semakin kalang kabut.


Terpaksa dia melenting ke belakang menjauhi lawan.
Namun walau ke mana pun dia berlari, kepala yang telah
bembah menjadi Leak itu terus mengejar. Kembali terjadi
tontonan menarik. Ki Demong dengan terhuyung-huyung
terus dikejar kepala Leak yang membuntuti ke mana saja
dia pergi.

Para tokoh persilatan yang menyaksikan juga sampai


bergidik. Baru sekali ini mereka menyak-sikan ilmu luar
biasa yang menakutkan itu. Mereka juga pernah mendengar
kehebatan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi, kini mereka
melihat laki-laki pemabukan itu tidak berdaya menghadapi
ilmu 'Leak Murka' milik I Wayan Gulem.

Sedangkan Wisnupati yang sedang tertotok tidak dapat


membantu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan
hati berdebar-debar keras. Sementara itu Ki Demong secara
tiba-tiba menghentikan larinya seraya mengebutkan
gucinya. Dan....

"Chiaaat...!" Bletakkk!

Guci di tangan Ki Demong bergerak cepat berhasil


menghantam kepala hingga tertahan dan terpental balik
menghantam pohon. Dengan menimbulkan suara keras,
pohon itu roboh.

Tetapi, kepala itu sendiri tidak hancur. Bahkan kembali


menerjang lebih dahsyat lagi. Dan Ki Demong pun terpaksa
main kejar-kejaran lagi.

"Hust...! Hust..,! Pergi sana.... Ayo pergi...! Jangan mengikuti


aku terus! Pergi..., pergi...!" teriak Ki Demong.

Walau Pemabuk Dari Gunung Kidul telah berteriak-teriak,


tetap saja Leak itu menerjangnya. Dalam suatu kesempatan,
laki-laki tua pemabuk itu berjumpalitan di udara,
menghindari serangan ke arah kakinya. Namun tiba-tiba
kepala tanpa tubuh itu meluncur ke atas menghantam
kepala dengan keras.

"Aaakh...!" Akibat benturan keras, Ki Demong merasa pening


luar biasa. Dan tak ampun lagi tubuhnya jatuh telentang ke
tanah disertai keluhan tertahan. Dan baru saja dia bangkit
kembali, kepala itu menggigitnya dengan kuat.

Dengan kalang kabut, Ki Demong memukuli kepala itu


dengan guci dan tangannya. Tetapi, kepala itu tidak pernah
lepas dan terus menggigit perut Ki Demong. Darah mulai
menetes dari perut. Bahkan kepala itu mulai menghisap
darah melalui perut Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Setan keparat...! Lepaskan perutku.... Lepaskan...!" teriak


Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil berjingkrakan bagai
cacing kepanasan.

Saat itu hilanglah kekonyolan Ki Demong. Keadaannya


sangat berbahaya. Bila dibiarkan terus, tentu darahnya akan
terhisap habis. Di saat yang gawat, mendadak berkelebat
sesosok bayangan putih yang langsung mendekati tubuh I
Wayang Gulem yang tidak berkepala lagi.

Tetapi, begitu mendekat, tubuh itu langsung menerjang


bayangan putih. Sosok putih yang ternyata Pendekar
Rajawali Sakti, cepat mengelak ke samping. Tangannya
langsung mengibas, melepaskan pukulan ke arah tubuh
tanpa kepala.

Suatu keanehan terjadi. Tangan I Wayan Gulem yang tanpa


kepala itu mampu bergerak menangkis. Bahkan mampu
mengirimkan serangan balasan berupa tendangan berantai
yang mematikan. Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib',
Rangga berhasil mengelakkan serangan manusia siluman
berwujud Leak itu.

Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, sehingga tak satu


serangan pun yang bisa mengenainya. Bahkan mendadak
saja Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke
dada, disertai tenaga dalam cukup tinggi.

Desss...!

Telak sekali pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di


dada I Wayan Gulem hingga terlempar keras. Tetapi itu
ternyata tidak berpengaruh sama sekali bagi tubuh I Wayan
Gulem. Bahkan mampu bangkit kembali, seolah-olah tidak
terjadi sesuatu apa pun.

"Sheaaa...!"

Tetapi, kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Cepat


diraupnya tanah berpasir. Lalu, tubuhnya meluruk dengan
kecepatan kilat, mendekati tubuh tanpa kepala itu.

Werrrt...!

Begitu dekat, Rangga membuat lentingan ke atas.


Tangannya langsung melemparkan pasir yang tepat masuk
ke lubang leher. Begitu mendarat di tanah, Rangga
kebetulan berada tak jauh dari sebuah pohon kering yang
bercabang banyak. Segera dipatahkannya cabang pohon
yang sebesar tongkat.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan kembali


melenting ke atas. Setelah berputaran beberapa kali,
tubuhnya meluruk seraya menancapkan batang kayu itu ke
rongga leher I Wayan Gulem.

Ujung kayu itu dibiarkan tersembul pada ujungnya.


Akibatnya, tubuh itu bergetar keras dan bergoyang-goyang
bagaikan hendak roboh. Beberapa pohon yang tertabrak
kontan roboh bagaikan diterjang gajah-gajah liar yang
sedang mengamuk.

"Greeengh...!"

Sementara itu kepala yang berada di perut Ki Demong


kontan melepaskan gigitannya disertai teriakan keras
sampai merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Saat
itu juga kepala itu berusaha menempel kembali ke
tubuhnya.

"Aaaghrrrh!"

Namun ketika kepala Leak itu menyentuh leher, kembali


berteriak dan melepaskan diri kembali. Dia merasa ada
sesuatu yang mengganjal di leher. Bahkan merasa ada
benda kasar yang menghalangi.

"Ilmu setan...," desis Ki Demong sambil memperhatikan


semua kejadian dengan seksama.

"Kau baik-baik saja, Ki...?" tanya Rangga, begitu dekat


kembali dengan Ki Demong.

"Kalau tidak baik, mana mungkin aku berjumpa lagi


denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...?" sahut Ki Demong
sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

Sementara itu, I Wayan Gulem yang menggunakan ilmu


'Leak Murka' terus berusaha menempelkan kepalanya
kembali pada tubuhnya. Tetapi, semua usaha yang
dilakukan sia-sia belaka. Kejadian yang aneh dan cukup
menyeramkan berlangsung sampai sepenanakan nasi
lamanya. Semakin lama, usaha I Wayan Gulem jadi semakin
melemah. Dan beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh ke
tanah setelah mengeluarkan teriakan mendirikan bulu roma.

"Huh...! Rupanya disitu letak kelemahan ilmu 'Leak Murka'!


Untung kau datang tepat pada waktunya, Pendekar Rajawali
Sakti! Kalau tidak, aku sudah kehabisan darah...!" dengus si
Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Sudahlah.... Cepat tolong Wisnupati., Kasihan dia dari tadi


hanya telentang saja bagai bayi...," ujar Rangga, memotong
pembicaraan Ki Demong.

"Baiklah....."

"Uh...? Ke mana lagi pendekar itu...?" tanya Ki Demong,


setelah melepaskan totokan pada tubuh Wisnupati.

"Tadi kulihat dia di situ...," sahut Wisnupati sambil menunjuk


ke suatu tempat.

"Dia dapat datang dan pergi sesuka hati. Kita memang


bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya...," desah Ki
Demong perlahan. Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul
berkata demikian...

"Aaakh...!" "Aaa...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan saling susul. Ki Demong dan


Wisnupati tersentak kaget. Mereka langsung menoleh ke
arah sumber suara. Tampak sesosok tubuh berpakaian
serba hijau dengan wajah ditutup topeng berbentuk
tengkorak, tengah dikeroyok beberapa orang. Namun
gerakan sosok berwajah tengkorak itu sangat cepat dan
kejam. Tangannya tampak melemparkan sesuatu yang
ternyata kelabang dan kalajengking beracun!
Cras! Cras!

"Aaakh...!

Beberapa orang yang semuanya mengenakan pakaian


bebat warna merah itu berhasil menebas putus tubuh
binatang beracun itu. Tetapi, banyak juga yang kena sengat.
Mereka langsung ambruk dan berkelojotan. Sebentar saja,
mereka mati dengan tubuh membiru dan keracunan. Bisa
dibayangkan betapa dahsyatnya racun binatang itu. Ketika
beberapa orang menyerbu, sosok yang tak lain si Manusia
Tengkorak mengebutkan lengan bajunya. Maka
mengepullah serbuk putih yang memabukan.

Wusss...!

"Aaakh...!"

Mudah sekali bagi si Manusia Tengkorak melakukan


pembunuhan terhadap orang-orang yang dikenali berasal
dari Perguruan Walet Merah itu. Karena sebagian besar
telah terpengaruh oleh serbuk beracun. Yang tampak
bertahan hanyalah seorang laki-laki setengah baya
berpakaian jubah merah.

Laki-laki yang tak lain Ketua Perguruan Walet Merah itu


memutar pedangnya. Si Manusia Tengkorak tidak
kehilangan akal untuk menjatuhkan laki-laki setengah baya
itu. Segera dilemparkannya beberapa binatang beracun ke
arah Ketua Perguruan Walet merah

Set! Set!
Dengan memutar pedang bagaikan baling-baling, laki-laki
setengah baya itu berusaha membabati binatang beracun.
Bahkan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Setelah
membuat putaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan
pedang menderu-deru mengancam ke seluruh tubuh si
Manusia Tengkorak. Walau mendapat serangan berbahaya,
si Manusia Tengkorak yang sebenarnya bernama Rara
Wulan itu masih dapat menangkis dengan melecutkan
selendang hijau yang sebelumnya melilit pinggang.

Ctar! Ctar!

Kedua tokoh yang sama-sama tangguh itu segera saling


libat kembali. Hingga pertarungan genap memasuki jurus ke
tujuh puluh empat, mendadak berkelebat sesosok tubuh
disertai bau tuak menyebar ke sekeliling. Dengan guci tuak
di tangan sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul
segera menghalangi selendang hijau yang digunakan untuk
cambuk. Tanpa terasa, si Manusia Tengkorak telah
dikeroyok dua. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut dan
terdesak.

"Chiaaat...!" Sambil berteriak keras, Rara Wulan


menyebarkan binatang beracun dan asap beracun yang
berbahaya kepada pengeroyoknya.

"Fruhhh...!" Disinilah letak keistimewaan Ki Demong. Dengan


cepat, disemburkannya tuak yang berada di mulut ke arah
binatang berbisa hingga terbakar hangus.

Sedangkan Ketua Perguruan Walet Merah menghentakkan


tangannya dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga, asap itu
jadi buyar dan musnah tertiup angin. Ki Demong yang
sangat membenci si Manusia Tengkorak terus mendesak
dengan serangan gencar dan mematikan. Akibatnya, jadi
terdesak hebat.

"Yeaaat!"

"Mampuslah kau, Manusia Licik!" bentak Ki Demong sambil


memukulkan guci tuaknya. Pada saat yang sama, Ketua
Perguruan Walet Merah menusukkan pedang kearah
punggung.

"Perkenalkan, Orang Tua. Aku Sangaji, Ketua Perguruan


Walet Merah...."

"Kau siapa, Orang Tua...? Mengapa ikut campur dan


membantu menempur si Manusia Tengkorak yang keji
ini...?" tanya Ketua Perguruan Walet Merah yang ternyata
bernama Sangaji, sambil melancarkan serangan kearah
Manusia Tengkorak.

"Siapa yang membantu... ? Aku punya dendam yang besar


pada si Manusia Tengkorak ini...! Kalau keberatan, kau boleh
menepi saja!" sahut si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Apakah tidak malu? Kita kaum lurus kenapa main keroyok


terhadap manusia bermuka tengkorak itu...?" tukas Ki
Sengaji, penasaran.

"Kenapa harus malu...? Mereka tidak pernah merasa malu


walau harus membokong dan membunuh secara licik...!"
potong Ki Demong.

Sadarlah Ki Sangaji kalau orang tua pemabukan itu memang


susah diurus dan berwatak angin-anginan. Maka
didiamkannya saja tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul.
Bahkan Ki Sangaji sendiri terus mendesak dengan
pedangnya.

Wisnupati yang berangasan tidak dapat tinggal diam.


Dengan segera diterjangnya si Manusia Tengkorak dengan
clurit peraknya yang berkilatan. Dikeroyok tiga, tentu saja si
Manusia Tengkorak jadi semakin terdesak. Dia hanya dapat
bermain mundur dan menahan serangan tanpa dapat
mengadakan serangan balasan.

"Hiaaa...!" Tiba-tiba sambil berteriak keras, si Manusia


Tengkorak menyebarkan binatang berbisa dan asap
beracun secara habis-habisan.

Tetapi, ketiga lawannya segera menutup pernapasan dan


loncat menjauhi. Menggunakan kesempatan baik itu, si
Manusia Tengkorak segera berkelebat pergi dari tempat ini.
Dalam waktu sekejap saja, tubuhnya hilang, dari pandangan
mata.

TIGA

Pemabuk Dari Gunung Kidul mengendus-ngendus ketika


tercium bau harum daging kelinci bakar yang sedang
dibolak-balik di atas api oleh Wisnupati. Bau harum itu
cukup menyengat hidung Ki Demong. Sekeika orang tua
yang urakan ini segera melompat bangun dari berbaringnya.
Hidungnya terus saja kembang-kempis bagaikan kucing
mencium ikan asin.

"Uuuhh...! Harumnya bukan main...! Boleh juga, nih...?" kata


Ki Demong dengan jakun turun

"Kalau kau mau makan, silakan ambil.... Seorang dapat satu,


adil rasanya...," ujar Wisnupati dari balik pohon.

"Kau memang seorang pemuda yang baik, Wisnu. Terima


kasih atas pemberianmu ini...," ucap Pemabuk Dari Gunung
Kidul sambil menjulurkan tangan hendak mengambil kelinci
bakar yang mengundang selera.

"Tunggu dulu...!" cegah Wisnupati. "Kau boleh saja


mengambil daging bakar itu. Tapi, harus memenuhi dulu
satu syarat yang kuajukan...!"

"Jadi pemberianmu ini dengan pamrih...?" tukas laki-laki tua


pemabuk itu dengan mata mendelik.

"Bukannya pamrih.... Dari dulu kau selalu mengulur-ulur


waktu kalau aku menginginkan jadi muridmu...," sahut
Wisnupati seenaknya.

"Kau selalu ingin jadi muridku saja...! Bodohnya kau ini! Aku
ini hanya orang pemabukan yang tidak memiliki apa-apa....
Apa yang kau harap dariku....? Ilmu yang kumiliki hanya pas-
pasan. Cari guru yang lain saja, supaya kau jadi orang besar
kelak...," ujar Pemabuk Dari Gunung Kidul santai.

"Aku tidak perlu guru lain! Yang aku inginkan hanyalah


kau...!" jawab Wisnupati membandel.

"Kau tidak menyesal punya guru tukang mabuk seperti


aku...?" tanya laki-laki pemabuk sambil memandang tajam.

"Walaupun aku berangasan dan tidak mau berpikir yang


sulit-sulit, untuk soal yang satu ini aku telah berpikir masak-
masak...," tegas Wisnupati sambil menekan suaranya.
Si Pemabuk Dari Gunung Kidul mengawasi pemuda tinggi
besar itu sambil tersenyum. "Baiklah.... Sebenarnya baru
sekali ini aku mempunyai murid. Aku percaya pada kejujuran
dan kesetiaanmu untuk membela kebenaran.... Tapi bila
menyimpang dari jalur lurus kelak, kau akan kubakar dengan
tuak merahku. Mengerti...?!"

Wisnupati mengangguk. Dia bangkit lalu menjura memberi


hormat.

"Ha ha ha...! Untuk merayakan semua ini, mari kita minum-


minum sampai mabuk.... Kita harus merayakan hari yang
bersejarah ini dengan semeriah mungkin. Ayo ikut aku...!"
ajak Ki Demong.

Mereka pun segera berlari ke desa terdekat, mencari kedai


untuk merayakan hari yang tidak akan terlupakan
selamanya.

Si Pemabuk Dari Gunung Kidul berlari cepat, diikuti


Wisnupati dari belakang. Ketika sampai di dataran cukup
luas, mereka melihat seorang laki-laki tua berambut putih
sampai bahu tengah bermain catur dengan seorang
pemuda tampan di bawah pohon. Sesekali orang tua itu
membenahi riap-riap rambutnya yang menutupi wajahnya.

"Sialan kau, Jaka Tawang! Jalan ini, mati.... Yang itu, mati
juga...," omel laki-laki tua itu.

"Bagaimana, Guru...?" tanya pemuda tampan yang dipanggil


Jaka Tawang sambil cengar-cengir mengawasi orang tua
yang dipanggil guru di depannya.

"Bagaimana, apanya...?!" semprot laki-laki tua yang tak lain


Ki Sabda Gendeng sambil mendelikkan matanya. (Mengenai
kedua tokoh ini, silakan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam
episode Siluman Tengkorak Gantung)

"Masa Guru tidak tahu...? Kalau tidak ada jalan. lagi,


sebaiknya menyerah sajalah...," ujar Jaka Tawang sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Tunggu dulu! Aku masih mengusahakan jalan untuk


menghindar dari kematian..... Kau diamlah jangan
mengganggu jalan otakku. Kalau kau berteriak terus, aku
tidak mau jalankan biji caturku...," ancam Ki Sabda Gendeng
sambil memejamkan matanya.

Setelah ditunggu sampai sekian lama, ternyata Ki Sabda


Gendeng tidak bergerak dan tidak jalankan biji catur di
hadapannya. Ketika diamati lebih lanjut, ternyata laki-laki
tua yang sebenarnya berilmu tinggi itu tertidur sambil
duduk.

Jaka Tawang hanya dapat tersenyum nyengir. "Sampai hari


gelap pun tidak akan dia menjalankan anak caturnya. Dasar
orang tua tidak mau kalah.... Ada-ada saja akalnya! Biar
kuuji dulu dia...," gumam Jaka Tawang dalam hati.

Sambil menahan napas, tangan pemuda yang sama


brengsek dengan gurunya itu berusaha mengambil
bumbung tuak yang terbuak dari bambu milik Ki Sabda
Gendeng. Tetapi, sebelum tangan itu sampai, tangan Ki
Sabda Gendeng telah mencengkeram kuat. Kemudian....

"Cacing kerempeng...! Sudah kuperingatkan berkali-kali, bila


ingin sesuatu harus bicara dan lapor dahulu! Mengerti...?!
Atau kau ingin kuhajar dengan tongkat bambu ini...?" bentak
Ki Sabda Gendeng.

"Kau sendiri tidur. Aku telah menunggumu menjalankan biji


catur.... Eh..., yang ditunggu malah enak-enakkan tidur...!
Kalau kutinggal pergi mencari minum, kau pasti marah.
Minta minum dari tempatmu, tidak boleh.... Habis aku harus
bagaimana...?" tukas Jaka Tawang mencoba mengakali
gurunya.

"Kau mau menipu aku, he...?! Jangan mimpi kau, Bocah


sableng!" dengus Ki Sabda Gendeng.

"Habis aku harus bagaamana...? Guru yang lebih dahulu


mengakali aku. Pakai pura-pura tidur lagi"

"Baiklah aku mau jalan. Awas jangan ganggu"

Laki-laki tua itu memang sudah seharusnya menyerang dan


mati dalam bermain catur. Tetapi, Ki Sabda Gendeng tidak
mau menerima hal itu. Pokoknya ia harus menang. Entah
harus menggunakan cara apa. Namun Ki Sabda Gendeng
jadi mati akal. Karena, muridnya mendesak terus dan
menyuruhnya jalan.

"Ayo cepat jalan. Masa hanya diawasi terus.... Kapan selesai


kalau begini terus...?" desak Jaka Tawang.

"Sabarlah barang sedikit, brengsek...!" gerutu orang tua itu.

Pada saat Sabda Gendeng kehilangan akal, terdengar dua


sosok tengah berlari sambil tertawa-tawa. Yang seorang
laki-laki tua dengan sebuah guci arak. Di belakangnya,
mengikuti seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan
senjata clurit perak di pinggang.
Mata Ki Sabda Gendeng terbelalak seakan-akan tidak
percaya pada penglihatan sendiri. Dengan cepat dia bangkit
dan melesat. Langsung dihadangnya lari orang tua yang tak
lain Ki Demong bersama muridnya yang bemama
Wisnupati.

"Guru...! Mau lari ke mana kau...? Ayo jalan dulu...!" teriak


Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.

"Permainan kita tunda dulu...! Aku ada urusan.... Nanti kita


sambung lagi...!" teriak Ki Sabda Gendeng sambil terus
berlari.

"Hoi.... Hoi.... Jangan lari Guru...!" teriak Jaka Tawang


sambil mengejar gurunya.

"Bocah gendeng...! Bereskan saja dulu biji-buji caturnya, lalu


susul aku...," teriak Ki Sabda Gendeng, terus saja berlari.

Sambil menggaruk-garuk kepala, terpaksa Jaka Tawang


kembali untuk membereskan catur yang ditinggalkan
gurunya.

"Hweeei...! Demong...! Berhenti dulu...! Ini aku Sabda


Gendeng!" teriak laki-laki tua gila catur itu.

Mendengar teriakan, Ki Demong segera menghentikan


larinya dan menoleh. Ketika melihat siapa yang berteriak,
cepat bagai kilat tubuhnya melesat dengan kedua tangan
terbuka lebar-lebar. Ki Sabda Gendeng juga melakukan
gerakan sama.

"Ha ha ha...! Angin apa yang membawamu ke tempat ini,


Sabda Gendeng...?" sambut Ki Demong, gembira.

Karena terlalu gembira kedua tokoh urakan ini berlari


bagaikan dikejar setan. Dari kejauhan, keduanya hanya
tampak bayangan yang melesat cepat saling menghampiri.
Karena terlalu bernafsu, akhirnya....

Bletaks!

"Adhauuu...!"

"Hadaaawww...!"

Kedua tokoh yang sama-sama sableng ini kontan tertolak


balik karena kepalanya saling bentur dengan keras. Tanpa
dapat dicegah lagi, mereka jatuh duduk dengan kepala
berdenyut keras dan mata berkunang-kunang. Hal itu tidak
berlangsung lama. Sesaat kemudian, keduanya telah berdiri
berhadapan. Dan....

"Dasar Gendeng...! Baru bertemu, sudah mencari ribut...!


Kuhajar kau dengan guci tuak ini...!" maki Ki Demong seraya
mengebutkan guci tuaknya.

"Kau yang salah, malah aku yang disalahkan.... Dasar


pemabuk! Sudah tahu aku ada di depan malah ditabrak
kuat-kuat. Brengsek kau!" balas Ki Sabda Gendeng sambil
menangkis dengan tongkat yang berwarna hitam legam.

Kedua tokoh ini saling terjajar mundur, seperti habis terjadi


benturan senjata.

"Setan tua! Jaga seranganku ini...!" bentak Ki Sabda


Gendeng.
Seketika laki-laki aneh ini menggetarkan ujung tongkat
hitamnya, sehingga tampak jadi banyak. Bahkan mengarah
ke seluruh jalan darah Ki Demong.

"Huh...! Aku ingin tahu, sampai di mana kemajuanmu...?


Sombong benar kau...?" desis Ki Demong sambil memutar
guci tuaknya bagaikan baling-baling.

Trak! Trak! Bletak...!

Beberapa bentrokan guci dengan tongkat terjadi. Suaranya


terdengar keras hingga memekakkan telinga. Tampak kedua
orang tua itu sama-sama ngotot dan tak ada yang mau
mengalah. Tetapi sampai sejauh itu, mereka berdua tak ada
yang terdesak. Tampaknya satu sama lain sudah saling
mengenal jurus masing-masing dengan baik.

"Geglug..!"

"Fruuhhh...!"

Semburan tuak yang disertai api panas membara menerjang


Ki Sabda Gendeng. Namun dengan sebuah dorongan kedua
tangan yang berisi tenaga dalam kuat, semburan api itu
dapat dibuat meleset arahnya oleh laki-laki gila catur itu.
Bahkan kemudian tongkat hitamnya mendadak membabat
kaki Ki Demong.

Dengan langkah terhuyung-huyung, Pemabuk Dari Gunung


Kidul berhasil mengelakkan serangan dahsyat Ki Sabda
Gendeng. Sementara Wisnupati yang melihat gurunya saling
hantam, segera mencabut clurit peraknya. Tubuhnya
langsung meluruk seraya membabatkari senjatanya pada
leher Ki Sabda Gendeng yang membelakanginya.

Wuuuttt!

Mendapat serangan mendadak, orang tua sableng ini


menundukkan kepala. Dan tiba-tiba bagai kuda kakinya
menendang ke belakang. Untung Wisnupati cepat
melompat mundur. Kalau tidak, perutnya pasti terhantam
tendangan itu.

"Kuya bau...! Tikus cilik ini ikut-ikutan menyerangku juga!


Ingin kupatahkan tangannya barang kali...?!" dengus Ki
Sabda Gendeng begitu memutar tubuhnya.

Tongkat hitamnya langsung dibabatkan kearah pinggang.


Mendapat serangan kilat yang tidak terduga, Wisnupati jadi
kelabakan. Untung saja Pemabuk Dari Gunung Kidul lebih
cepat melenting dan menghadang tongkat hitam itu.
Sehingga, Wisnupati terhindar dari malapetaka.

"Hiat! Enak saja kau memukul muridku! Lawan sajalah aku


yang sama tuanya denganmu...!" hardik Ki Demong seraya
menyemburkan tuak merah dari mulutnya.

"He he he...! Boleh saja.... Dasar pemabukan lagaknya bukan


main...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil tertawa
cengengesan.

"Ho ho ho...! Dari dulu juga kau tidak pernah dapat


mengalahkan aku.... Orang gendeng mana mungkin dapat
mengalahkan aku...?" balas Ki Demong.

"Ciat...!" Ketika tongkat hitam menyabet kaki, Ki Demong


loncat ke atas bagaikan bola karet, seraya berputaran.
Begitu mendarat, dia telah berdiri tepat di belakang Ki Sabda
Gendeng. Seketika gucinya bergerak cepat.

Wuuttt..!

Ki Sabda Gendeng yang merasa desir angin tajam


mengarah ke punggung, berusaha menghindar. Tetapi
terlambat. Karena....

Begkh...!

"Adaaauw...!" Tubuh Ki Sabda Gendeng terdorong ke depan


dua langkah disertai teriakan kesakitan.

Sementara Ki Demong terus mengangkat tuak merahnya


sambil tertawa-tawa penuh ejekan. Tapi, secara tak terduga
Ki Sabda Gendeng menjatuhkan diri. Dalam waktu yang
bersamaan, tangannya melemparkan sesuatu.

Ser! Ser! Pletsak..!

"Wadauuh...!"

Rupanya, Ki Sabda Gendeng melemparkan biji catur yang


tepat mengenai tulang kering Ki Demong. Mau tak mau,
Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi berjingkrakan sambil
mengusap-usap tulang kering yang terasa nyeri bukan main.

"He he he...!" Ki Sabda Gendeng balik menertawai sampai


mengeluarkan air mata.

Jaka Tawang yang telah selesai membereskan biji catur jadi


tak habis pikir, mengapa gurunya berkelahi dengan orang
tua yang dikatakan sebagai teman karibnya tadi. Tetapi,
pemuda yang sama gendeng dengan gurunya itu tidak mau
pusing. Segera diterjangnya Ki Demong yang sedang
meringis-ringis karena tulang keringnya terhantam biji catur.

"Ciaaat!" Jaka Tawang langsung mengebutkan tongkat


merahnya ke arah kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tapi
dengan hanya bergerak meliuk-liuk ke sana kemari serangan
pemuda itu luput dari sasaran.

"Seribu Tongkat Menggebuk Ular...! Heaaa...!" Kembali Ki


Sabda Gendeng melesat dengan teriakan membahana,
ujung tongkat hitam ditangannya tiba-tiba bergetar,
sehingga terlihat jadi banyak mengarah ke seluruh jalan
darah di tubuh Ki Demong. Itulah jurus andalan Ki Sabda
Gendeng yang paling ditakuti. Ke mana saja Pemabuk Dari
Gunung Kidul menghindar, ujung tongkat selalu menunggu
dengan tusukan maut.

Wisnupati yang menyaksikan gurunya dikeroyok segera ikut


masuk ke dalam kancah pertarungan menahan gerakan
Jaka Tawang. Clurit peraknya berkesiutan mengancam ke
seluruh tubuh pemuda itu. Tentu saja Jaka Tawang tidak
mau jadi korban. Cepat disambutnya serangan itu dengan
putaran tongkat merahnya.

Kini pertarungan terbagi menjadi dua. Semakin lama jadi


semakin seru. Terutama, kedua orang tua yang sama-sama
sableng itu. Sepuluh jurus kemudian, kedua orang tua itu
menghentikan gerakan.

"Ha ha ha...! Dari dulu kau tetap saja tidak dapat


mengalahkan aku orang tua gendeng...," seru si Pemabuk
Dari Gunung Kidul.
"He he he...! Setali tiga uang. Bangsa pemabukan, tidak
akan pernah dapat melewati aku...," ejek Ki Sabda Gendeng.

Kemudian mereka berdua berjalan menuju ke bawah pohon


yang rindang sambil bergandengan tangan. Tidak tampak
lagi wajah-wajah seram dari mereka berdua. Keduanya
tertawa-tawa ceria. Memang kedua orang tua itu adalah
sepasang sahabat, yang telah lama tidak bertemu.

Keduanya mempunyai tabiat aneh yang tak mau diatur oleh


peraturan mana pun. Mereka terus tertawa sambil
menceritakan pengalaman, dan apa saja telah terjadi
selama tidak bertemu. Padahal kedua murid mereka saat itu
sedang saling terjang dengan sengit.

Kedua pemuda itu tidak ada yang mengalah. Di sini terlihat


Wisnupati sangat bernafsu dan terkesan berangasan.
Sedangkan Jaka Tawang selalu mengejek, membuat
lawannya marah.

"Heyaaat!"

Tang! Tang!

Berkali-kali bentrokan keras terjadi. Tapi belum tampak ada


yang terdesak. Sampai suatu ketika, benturan dua tangan
yang berisi tenaga dalam kuat terjadi.

Gdebuk! Blugk!

Kedua pemuda itu tertolak balik ke belakang dan jatuh


duduk. Ketika hendak bangkit kembali....

"Berhenti dulu, tolol...!"


Kedua pemuda itu terkejut mendengar bentakan keras
menggelegar. Mereka langsung loncat mundur dengan
wajah terheran-heran ketika melihat guru mereka masing-
masing duduk berjejer sambil minum tuak dari tempat
masing-masing. Cepat mereka menghampiri dengan
perasaan tidak mengerti.

"Mengapa Guru menghentikan kami...?" tanya Jaka Tawang.

"Lho...? Kok Guru sudah baikan?" tanya Wisnupati dengan


wajah dungu.

"Bodoh.... Ayo kalian saling memberi hormat pada Paman


Guru. Kalian ini...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Kenapa bengong...?! Cepat beri hormat, tolol...!" hardik Ki


Sabda Gendeng, melotot.

Wisnupati cepat memberi hormat pada Ki Sabda Gendeng.


Sedangkan Jaka Tawang memberi hormat pada Ki Demong.
Namun kedua orang tua urakan ini malah tertawa terbahak-
bahak, sampai keluar air matanya. Tentu saja hal ini
membuat kedua pemuda ini menggaruk-garuk kepala
karena heran. Mereka bingung, tidak habis pikir.

"Hei, Demong! Pemuda tinggi besar inikah yang menjadi


murid kesayangan...? Tubuhnya bolehlah. Tetapi aku tidak
tahu isi dalamnya," kata Ki Sabda Gendeng sambil
memperhatikan Wisnupati seakan-akan tengah menaksir
ayam yang hendak dibeli.

"Wisnupati baru saja kuterima menjadi murid. Jadi, belum


mendapat pelajaran dariku...," jelas si Pemabuk Dari Gunung
Kidul, terus terang.

Tak lama kedua pemuda itu sudah saling bersalaman dan


tampak akrab. Tak ada lagi tanda-tanda mereka habis
berkelahi. Kini keduanya sadar kalau semua itu adalah hasil
perbuatan kedua orang tua yang aneh dan tidak pernah bisa
diatur.

********************

EMPAT

Hari terus bergulir menyeret sang waktu. Di tepi Telaga


Warna yang penuh oleh para tokoh persilatan tampak
beberapa buah perahu diturunkan ke dalam air. Tapi baru
saja perahu-perahu kecil itu menyentuh permukaan air.

"Berhenti...! Jangan lakukan itu...! Air telaga itu masih


berbahaya, bagi kalian! Kalau mau besok saja kalian
menurunkan perahu, karena besok air itu tidak menghisap
darah lagi!"

Terdengar sebuah teriakan yang disusul berlarinya seorang


pemuda tampan berbaju rompi putih. Ternyata dia adalah
Pendekar Rajawali

"Hei...? Bagaimana dia bisa tahu rahasia tempat ini...?!


Jangan-jangan, dia orang dalam Pesanggrahan Telaga
Warna.... Awas jangan sampai tertipu...! Lebih baik kita
ringkus, dan tanyai dia.... Kalau tidak mau mengaku, bunuh
saja!" kata salah seorang tokoh persilatan yang hendak naik
perahu, memandang curiga pada Rangga.

"Kalian jangan salah mengerti.... Aku berbuat ini, karena


tidak mau melihat korban berjatuhan. Dan ini juga karena
kecerobohan kalian sendiri...." Tapi jawaban yang diterima
Rangga malah sebaliknya....

"Jelas dia menghalangi kita.... Mari singkirkan saja...," ajak


tokoh persilatan lain. Maka....

"Sheaat...?!"

"Yeaaat...!"

Puluhan senjata tajam langsung meluruk kearah Pendekar


Rajawali Sakti. Tetapi Rangga segera mengerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya melenggak-lenggok
kian kemari bagai orang mabuk. Namun tak satu serangan
pun yang bisa menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika tangan
Pendekar Rajawali Sakti bergerak, banyak senjata yang
berhasil dirampas dan dilemparkan ke tengah telaga.

Walaupun merasa kesal karena maksud baiknya malah


diterima salah, Rangga berusaha membatasi diri untuk tidak
membunuh. Dia yakin, mereka salah sangka dan tidak
mengerti terhadap keadaan telaga yang mengandung hawa
maut itu. Pendekar Rajawali Sakti hanya memukul dan
menendang untuk menjatuhkan mereka yang terlalu dekat,
dan dapat membahayakan keselamatan dirinya.

"Hiaaat...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus


berkelebatan seraya mengibaskan tangan, mencerai-
beraikan gerombolan manusia yang mengurung dirinya.

Des...! Desss...!

"Aaakh...!"
Akibatnya, para tokoh persilatan itu berpelantingan kesana
kemari bagaikan daun kering dihempas badai. Beberapa
tokoh kelas tinggi yang menyaksikan sampai berdecak
kagum.

Menggunakan kesempatan baik itu Rangga segera melesat


kabur dari tempat itu. Bukannya takut, tetapi untuk
menghindari salah sangka.

"Bedebah...! Dia berhasil melarikan diri! Ayo kita terus


menuju ke Pesanggrahan Telaga Warna...! Jangan pedulikan
segala ocehan pendekar kampungan itu," ajak salah seorang
tokoh persilatan membakar semangat yang hampir padam.

Beberapa orang segera berloncatan ke dalam perahu.


Segera mereka mendayung ke tengah telaga menuju
Pesanggrahan Telaga Warna. Ternyata, apa yang dikatakan
Pendekar Rajawali Sakti terbukti. Baru saja mereka
mencapai pertengahan, gelombang telaga kembali muncul.
Suatu keajaiban alam yang tidak dapat dilawan oleh
kekuasan manusia.

Air telaga yang berwarna merah dan tampak kental telah


mengelilingi perahu dan mulai bercipratan, seolah-olah ada
makhluk hidup di dalamnya dan berusaha naik ke perahu
(Untuk lebih jelas tentang kejadian alam di Telaga Warna,
baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Geger Di
Telaga Warna).

"Hei...?! Apa pula ini...?"

"Entahlah.... Mungkin inilah yang dikatakan pemuda tadi...."


"Putar haluan dan kembali ke tepi.... Cepat!"

Mereka mulai ragu dan memikirkan kata-kata Pendekar


Rajawali Sakti tadi. Tapi, terlambat sudah. Air telaga mulai
memasuki perahu dan mengenai kaki para tokoh persilatan.
Karena membaui darah, air itu jadi beringas kembali.
Perahu-perahu yang lain juga mengalami nasib sama.
Mereka akhirnya saling berteriak penuh kengerian.

Satu demi satu mereka terseret ke dalam air telaga dan


mati mengenaskan. Bagaimanapun Rangga sudah berusaha
memperingatkan. Kalau mereka akhirnya binasa, itu adalah
kesalahan mereka sendiri. Memang banyak juga yang
menurut kata-kata Rangga. Ada juga yang karena takut
pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Namun, lain halnya
para tokoh ternama yang bertindak tanpa tergesa-gesa.
Mereka justru menanti saat yang tepat.

Bagaimana Pendekar Rajawali Sakti dapat mengetahui


kalau hari ini air telaga masih minta korban lagi...?

Sedangkan dia sendiri bukan orang dari Pesanggrahan


Telaga Warna. Semua itu karena usaha Rangga yang
melakukan tapa, untuk menyatukan alam pikirannya dengan
kehendak Yang Maha Kuasa. Dalam tapanya, Rangga
mendapat petunjuk kalau air telaga itu akan minta korban
selama tiga minggu. Dan hari ini, adalah hari terakhir. Besok
air telaga sudah tidak menunjukkan keberingasannya lagi.
Itu pun hanya berlangsung selama tiga minggu pula.

********************

Waktu terus merambat dan berputar sesuai kodrat dan


kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak terasa hari telah
berganti malam, dan malam pun berganti pagi. Pada saat
itu, tampak beberapa perahu memasuki telaga. Para tokoh
persilatan yang menunggu berloncatan ke dalam perahu
masing-masing.

"Ayo kita dayung perahu itu kuat-kuat. Awas jangan sampai


didahului yang lain...," ujar seorang tokoh dari dalam perahu.

"Cepat...! Kita harus sampai lebih dahulu...," seru yang lain.

Bagaikan sedang berlomba, beberapa perahu melesat cepat


laksana anak panah lepas dari busur. Sedangkan para tokoh
ternama dalam satu perahu hanya diisi satu atau dua orang
saja.

Sebentar saja, Telaga Warna telah ramai dan gaduh oleh


teriakan para tokoh persilatan dan murid-murid dari
berbagai perguruan. Sampai di tengah telaga, ternyata
memang tidak terjadi sesuatu. Namun yang terjadi malah
sebuah persaingan.

Dalam pikiran mereka timbul niat untuk menyingkirkan satu


sama lain dengan suatu rencana jahat dan licik. Bahkan
diam-diam ada yang mengambil sebuah benda bulat dari
dalam kantung, langsung melemparkannya ke perahu yang
agak jauh.

Ser! Ser! Ser!

Blammm...!

"Aaa...!"
Dua buah perahu kontan terpecah belah oleh hantaman
benda bulat kecil yang ternyata bahan peledak yang cukup
dahsyat. Penumpangnya langsung terlempar tanpa
bernyawa lagi dalam keadaan sangat menyedihkan. Tubuh
mereka hancur berkeping-keping. Air telaga seketika
berubah merah.

Wajah para tokoh persilatan kontan berubah bengis dan


menyeramkan. Tak ada rasa kasihan lagi di hati orang-orang
itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran terjadi di tengah
telaga yang telah banyak meminta korban nyawa.

Sementara itu Ki Demong dan Wisnupati menyeberang


menggunakan batang pohon. Begitu juga Ki Sabda Gendeng
dan Jaka Tawang yang juga sudah berada di situ. Jarang
ada yang dapat melakukan, seperti yang dilakukan mereka.

Sedangkan Rangga sendiri menggunakan dua bilah papan


kecil pada telapak kakinya. Tubuhnya meluncur di atas air
dengan cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
telah sangat tinggi.

LIMA

Tanpa setahu para tokoh persilatan yang tengah berperahu,


para penghuni Pesanggrahan Telaga Warna saat ini telah
bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Hari ini
mereka tak dapat lagi mengandalkan air telaga disekitar
pesanggrahan. Karena mereka lebih tahu, kalau hari ini air
telaga mulai tenang kembali, tidak meminta korban seperti
hari-hari kemarin.

Laki-laki tua berpakaian serba kuning yang bernama Samba


dan berjuluk si Lutung Pancasona, memandang dengan
tatapan tajam. Sepasang pedang pendek tampak tersembul
di punggungnya. Rambutnya putih dikuncir ke atas. Kumis
dan jenggotnya berwarna putih juga. Sikapnya benar-benar
penuh perbawa.

Di sebelah Lutung Pancasona berdiri istrinya yang bernama


Rukmini. Senjatanya berupa tongkat berwana hijau.
Sehingga, dia dijuluki Bidadari Tongkat Hijau. Rambutnya
yang berwarna hitam bercampur putih digelung rapi ke atas.
Pada wajahnya masih tersisa kecantikan di waktu muda
dulu, Wanita tua ini mengenakan pakaian serba biru.

Sedangkan ketiga anak gadis mereka yang cantik bersiaga


di tiga penjuru. Sehingga mereka yang berjumlah lima orang
ini bersiaga di lima penjuru. Mereka yakin, kedatangan
orang-orang persilatan untuk mengambil Bunga Nirwana
yang sangat langka yang terdapat di halaman
Pesanggrahan Telaga Warna. Jangankan orang luar,
pemiliknya sendiri baru akan melihat kemunculannya saat
ini.

Saat itu Ki Demong dan Wisnupati tengah dihadang dan


diancam oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dari
atas perahu. Melihat lambang di dada yang bergambar
seekor kucing dengan mata mencorong tajam, jelas kalau
mereka berasal dari Perguruan Kucing Hitam. Tetapi, guru
dan murid ini tampak tenang-tenang saja. Bahkan....

"Mau apa kalian semua...? Jangan coba main gila


denganku! Menyingkirlah sebelum aku marah...!" ancam
Pemabuk Dari Gunung Kidul.

"Ha ha ha...! Lucu sekali orang tua pikun ini.... Dia agaknya
belum kenal siapa kita...," ejek salah seorang.
"Tidak perlu banyak cakap...! Singkirkan saja orang tua tak
tahu diri itu...!" seru seorang laki-laki setengah baya
berpakaian serba hitam sambil menuding Ki Demong
dengan pedangnya.

"Heaaat!"

"Ciaaat!"

Beberapa pemuda berpakaian serba hitam itu langsung


melempar tombak ke arah Ki Demong dan Wisnupati yang
berada di atas batang pohon. Namun dengan gerakan
seadanya, tombak-tombak itu ditangkap dan ditarik guru
dan murid itu dengan kekuatan tinggi. Tak ampun lagi,
mereka tertarik ke depan. Dan....

"Wuaaa...!"

Byur! Jebyurr!

Kontan murid-murid Perguruan Kucing Hitam kelabakan,


karena masih takut terhadap peristiwa yang telah terjadi
sebelumnya. Walaupun tidak terjadi apa-apa, namun yang
tidak dapat berenang termegap-megap sambil berteriak
minta tolong. Yang dapat bermain di air segera menyeret
kawannya ke perahu. Kini mereka tidak berani berlaku
sembarangan lagi.

"He he he,..! Ada tikus dapur main di air...! Hi hi hi...! Lucu


sekali.,.. Lihat kepalanya basah kuyup...," ejek si Pemabuk
Dari Gunung Kidul sambil memegangi perut.

Diejek sedemikian rupa, tentu saja Ketua Perguruan Kucing


Hitam jadi berang.

"Serbuuu...!"

Serentak murid-murid perguruan itu menerjang kembali


begitu mendapat perintah dari gurunya. Tombak dan
pedang langsung berseliweran mengancam Pemabuk Dari
Gunung Kidul. Tetapi dengan sekali meneguk tuak merah....

"Fruuhhh...!"

"Wuayaaa...!"

Secepat kilat murid-murid Perguruan Kucing Hitam menarik


kembali serangan. Mereka tidak tahan terhadap semburan
tuak yang teramat panas luar biasa. Bahkan dengan
gerakan tidak terduga, tangan Ki Demong berhasil
merampas sebuah tombak, Lalu, sekuat tenaga ditancapkan
di pinggiran perahu.

Crap...!

"Awasss...! Orang tua gila itu hendak melubangi perahu


kita...!" teriak Ketua Perguruan Kucing Hitam itu, kalap.

Beberapa orang hendak memapak batang tombak. Tapi,


gerakan Ki Demong lebih cepat lagi mencabutnya. Maka air
telaga mulai memasuki lubang pada lambung perahu
dengan deras.

"Heaaa...!" Ketua Perguruan Kucing Hitam, segera mencabut


pedang dan loncat ke batang pohon yang dinaiki Ki Demong
dan Wisnupati.
Namun Wisnupati yang berangasan segera menyambuti
dengan babatan clurit perak yang tajam luar biasa.

Trang!

Terjadi benturan membuat mereka terjajar. Akibatnya,


batang pohon jadi bergoyang-goyang ke kiri dan kanan.
Sementara Ki Demong malah berloncat-loncatan di atas
batang pohon bagaikan kera baru mendapat pisang.

"Hoi..., hoi..., hoi.... Kira-kira kalau menggunakan tenaga!


Kita bertiga bisa masuk ke dalam air telaga...! Kalau mau
mandi, jangan minta ditemani...," seru Ki Demong. Sambil
berkata, Pemabuk Dari Gunung Kidul melancarkan
tendangan geledek ke arah kaki.

Namun tiba-tiba, tubuh Ketua Perguruan Kucing Hitam


melenting ke atas. Sambil berjumpalitan di udara,
pedangnya menangkis clurit perak di tangan Wisnupati.

Trang!

Gerakan laki-laki setengah baya itu sangat gesit. Mirip


gerakan seekor kucing, ringan dan tidak menimbulkan
suara. Baru saja terjadi benturan senjata, Pemabuk Dari
Gunung Kidul menyemburkan tuaknya lagi.

Mendapat semburan tuak panas, Ketua Perguruan Kucing


Hitam yang baru saja mendarat di kayu berjumpalitan dan
kembali ke atas perahunya. Tapi, air yang masuk ke dalam
perahu sudah terlalu banyak. Maka ketika ditambah seorang
lagi, perahu itu jadi miring dan terbalik. Akibatnya, sepuluh
orang murid pilihan tercebur ke dalam air.
Byurrr...!

Maka ramailah keadaan di tempat itu. Untung saja Ketua


Perguruan Kucing Hitam ini sempat loncat kembali ke
udara. Sebuah gerakan indah telah dipertunjukkan ketua
perguruan yang cukup termashyur ini.

"Shaaat!"

Ketika tubuh laki-laki setengah baya itu melayang diudara, Ki


Demong menghentakkan tangan kirinya, melepas sebuah
pukulan jarak jauh.

Wusss...!

Karena tidak ada jalan lain, terpaksa laki-laki setengah baya


itu menyambuti. Tangan kanannya langsung menghentak.
Dan....

Blarrr...!

Suara bentrokan dua tenaga dalam terdengar memekakkan


telinga. Air telaga sampai bercipratan ke empat penjuru.
Sementara satu sosok tubuh tampak terlontar, dan tercebur
ke dalam telaga.

Byurrr...!

Ketika muncul kembali ternyata yang terlontar adalah Ketua


Perguruan Kucing Hitam. Tubuhnya basah kuyup, dengan
napas turun naik. Mulutnya meringis menahan sakit di dada.
Jelas, pertemuan dua tenaga dalam tadi begitu dahsyat.

"Kembalilah kau ke perguruan kalian.... Jangan mencari


sesuatu yang belum pasti. Apalagi, sampai mengorbankan
banyak jiwa...," ujar Ki Demong, kalem namun berwibawa.

Merasa tak unggulan melawan Pemabuk Dari Gunung Kidul,


Ketua Perguruan Kucing Hitam berenang menuju ke tepian
kembali, tanpa banyak suara lagi. Sementara murid-
muridnya segera mengikuti dari belakang.

Di lain tempat Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang terus


melaju dengan batang pohon yang dinaikinya. Tampaknya
perjalanan mereka lebih mulus. Namun sekitar sepuluh
tombak lagi akan mencapai tepian Pesanggrahan Telaga
Warna berada, Sebuah perahu tampak meluncur cepat ke
arah mereka. Agaknya perahu itu bermaksud menabrak
batang pohon untuk menjatuhkan penumpangnya.

Brakkk..!

Maksud penumpang perahu yang rata-rata berpakaian serba


coklat itu memang berhasil. Tapi, Ki Sabda Gendeng dan
Jaka Tawang telah lebih dulu melenting ke udara dan
berjumpalitan.

Tap! Tap!

Guru dan murid itu berhasil mendarat di ujung perahu


dengan mantap. Namun para penumpangnya segera
menyerang kalang-kabut disertai makian. Karena perahu
yang dinaiki jadi oleng dan berat ke belakang.

Wuttt!

Sebuah tombak menusuk ke arah tenggorokan Jaka


Tawang. Namun dengan cepat pemuda ini menundukkan
kepala, sehingga ujung tombak jadi mengarah Ki Sabda
Gendeng yang kebetulan berada di belakangnya.

"Hei...! Jangan mengelak seenaknya, Bocah Gendeng!


Hampir saja kepalaku kena tertusuk...," maki Ki Sabda
Gendeng sambil menyampok tombak yang hampir
memangsanya.

Baru saja kata-katanya selesai, kembali sebuah pedang


menusuk perut orang tua urakan itu. Tapi Ki Sabda Gendeng
cepat berkelebat dengan gerakan sulit diikuti mata. Bahkan
tiba-tiba tangan penyerangnya berhasil ditangkap.

Tap!

Dengan sekali sentak, Ki Sabda Gendeng berhasil membuat


tubuh penyerangnya melayang masuk ke dalam telaga.
Kejadian itu terus berlanjut. Dan itu hasil perbuatan Jaka
Tawang yang mengikuti tingkah gurunya.

Byurr! Byuuurrr!

"Ha ha ha...!"

Guru dan murid yang sama sablengnya ini tertawa terbahak-


bahak. Kemudian mereka berkelebatan cepat ke sana
kemari, menyeburkan para penumpang perahu sampai
berkali-kali. Bahkan kemudian Ki Sabda Gendeng dan Jaka
Tawang meneruskan dengan lemparan biji-biji catur,
membuat para penyerang berjatuhan ke dalam air.

Hingga tak satu penyerang pun yang masih bertahan di


perahu. Mau tak mau, mereka harus meninggalkan perahu
dan kembali ke tepi. Mereka tak habis pikir, mengapa dapat
dikalahkan begitu mudah?

"He he he...! Tanpa modal, kita telah memiliki sebuah perahu


yang cukup baik keadaannya...," kata Ki Sabda Gendeng
sambil nyengir.

"Ha ha ha...! Hitung-hitung, dapat hadiah...," sahut Jaka


Tawang.

"Hadiah jidatmu! Kita dapat merampok, tahu...?!" tukas Ki


Sabda Gendeng dengan mata melotot.

********************

Walaupun banyak yang kembali, tapi banyak pula yang


berhasil mencapai ke Pesanggrahan Telaga Warna yang
berupa bangunan besar dan megah. Usia bangunan itu
sendiri telah ratusan tahun. Kesan angker dan seram seperti
melingkupi suasana di tempat ini. Saat ini di belakang
pesanggrahan itu si Lutung Pancasona tengah dikurung
oleh sepuluh orang laki-laki berwajah seram yang semuanya
berpakaian dari kulit macan.

"Kisanak.... Ada urusan apa datang ke tempat kami...? Kalau


penyambutan kami kurang layak, harap dimaafkan...," sindir
Ki Samba tenang.

"Kau tidak perlu berpura-pura di hadapan Gerombolan Cakar


Macan, Lutung Pancasona.... Orang lain boleh segan
padamu. Tapi bagi kami, nama besarmu tak ada artinya...!
Lekas serahkan Bunga Nirwana pada kami. Mungkin, kami
semua akan mengampuni jiwamu yang tua itu...," gertak
laki-laki yang berwajah penuh brewok dengan bekas luka
menyilang dari hidung hingga ke pipi. Agaknya, dialah yang
menjadi pemimpin gerombolan ini.

"Kalau soal itu, kami tidak dapat mengabulkan... Karena,


sesungguhnya Bunga Nirwana belum berbunga saat ini.
Kami sendiri tidak mengerti, apa sebabnya...," jelas Ki
Samba.

"Kalau begitu ajaklah kami ke tempat Bunga Nirwana itu


tumbuh, agar tidak penasaran lagi...!" desaknya.

"Kami tidak berkata dusta dan telah berbicara apa adanya.


Tapi kalau tempat kami harus diacak-acak untuk apa
menghargai kalian...? Pergilah, sebelum aku marah dan
menggunakan kekerasan... Jangan kalian pikir di tempat
kami ini dapat dibuat sesukanya...!" ujar Ki Samba dengan
suara berat dan dalam, pertanda telah marah.

"Bangsat...! Kau tak memandang Tosa, Pemimpin


Gerombolan Cakar Macan! Baiklah bila itu yang kalian
kehendaki. Ayo anak-anak, bunuh saja orang tua tidak tahu
diri ini...!" perintah Ketua Gerombolan Cakar Macan yang
mengaku bernama Tosa.

"Heaaat...!"

Begitu mendapat perintah, sembilan orang anggota


gerombolan itu meluruk, menyerang si Lutung Pancasona.

"Chiyaaat!" Namun Ki Samba alias si Lutung Pancasona


mencabut sepasang pedangnya. Langsung dipapaknya
serangan itu.

Trang! Trang!
Beberapa bentrokan keras terjadi. Ada dua bilah pedang
yang terlepas dari genggaman pemiliknya. Bisa
dibayangkan, betapa besar tenaga dalam si Lutung
Pancasona. Sebelum mereka sadar, dua bilah pedang
pendek yang tajam milik Ki Samba telah berkelebat cepat
menemui sasaran.

Bret! Bret!

"Wuaaa...!"

Tiga orang anggota Gerombolan Cakar Macan kontan


berteriak menyayat, begitu pemt mereka terkoyak dan usus
terburai keluar terbabat senjata Ki Samba. Darah segar pun
mulai menganak sungai, menebarkan bau anyir dan
memualkan.

"Bangsat! Bersiaplah. Hadapi jurus 'Cakar Macan'ku...!"

Melihat pengikutnya berjatuhan, Tosa berteriak sambil


menerjang dengan jurus-jurus andalannya. Angin pukulan
dan cakaran tangannya menimbulkan angin keras dalam
jurus 'Cakar Macan' miliknya.

Dalam waktu singkat terjadilah perkelahian sengit dan seru.


Kini mereka segera mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi.
Sedikit lengah saja, nyawa taruhannya. Ki Samba tiba-tiba
membabatkan pedang pendeknya ke dada. Namun lincah
sekali Tosa berkelit ke samping seraya menangkap
pergelangan tangan si Lutung Pancasona yang baru saja
membabatkan pedang pendeknya.

Tap!
Sayang, justru gerakan itu ternyata hanya tipuan dari Ki
Samba. Karena mendadak saja pedang pendeknya yang
satu lagi berkelebat dari bawah menuju sikut tangan Tosa
yang tengah mencengkeram tangan Ki Samba. Dan....

Crasss...!

"Aaa...!" Tangan kiri Tosa kontan tertebas putus sampai


sebatas siku. Dia menjerit merasakan sakit bukan main.

Di sini jelas, kepandaian si Lutung Pancasona jauh lebih


tinggi daripada ketua gerombolan itu. Tapi Tosa tidak mau
peduli. Setelah menotok beberapa urat agar darahnya
berhenti mengalir, dengan nekat dia menerjang. Tangannya
yang masih utuh dikibaskan, hendak mencengkeram kepala
Ki Samba.

"Ciaaat!"

Namun lincah sekali, si Lutung Pancasona merunduk ke


bawah dengan pedang pendek berkelebat ke atas.
Sehingga....

Crasss...!

"Waaa...?!" Kali ini tangan kanan Tosa terbabat putus.


Disertai raungan kesakitan, Ketua Gerombolan Cakar Macan
itu mundur beberapa langkah.

Kala itu, seorang pengikutnya menerjang dari belakang.


Namun tanpa terduga, Ki Samba meloncat mundur sambil
menusukkan pedang ke belakang.

Blesss...!
"Aaa...!" Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang pendek itu
menembus dada penyerangnya yang kontan ambruk di
belakang Lutung Pancasona. Ketika pedang dicabut
kembali, pembokong itu jatuh bermandikan darahnya
sendiri.

"Lariii...!" Merasa sudah tak bakal unggul lagi, Tosa berteriak


menyuruh anak buahnya melarikan diri. Dia sendiri segera
berbalik dan lari dari tempat itu dengan langkah terhuyung-
huyung. Namun, si Lutung Pancasona tidak membiarkan
begitu saja. Cepat dilemparkan salah satu pedang
pendeknya.

Zing...! Creb...!

"Aaa...!" Disertai lengkingan panjang, langkah Tosa


tersentak ke depan ketika pedang pendek Ki Samba
menancap di punggungnya. Tubuhnya langsung ambruk,
tanpa dipedulikan sisa anak buahnya yang terus melarikan
diri. Setelah berkelojotan sejenak, dia mati meninggalkan
rasa penasaran.

Di sisi Pesanggrahan Telaga Warna Rukmini sedang


dikeroyok puluhan orang yang juga menghendaki Bunga
Nirwana. Mereka juga tidak percaya kalau bunga itu belum
mekar, dan bermaksud melihatnya sendiri. Tentu saja
Bidadari Tongkat Hijau jadi gusar.

"Keparat...! Kalian pikir aku ini apa?! Di tempatku kalian tidak


dapat berbuat semaunya.... Lekas tinggalkan tempat ini.
Atau, terpaksa kalian kukirim ke neraka jahanam...!" bentak
BidadariTongkat Hijau.
"Ha ha ha...! Boleh saja kau membual. Bagi Jagabaya, Ketua
Perguruan Waringin Pitu, penghuni Pesanggrahan Telaga
Warna tidak ada artinya sama sekali...!" ejek laki-laki
berkepala botak yang bernama Jagabaya sambil memutar-
mutar senjatanya yang berupa gada berduri.

"Hiaaa...!" Mendapat ejekan Jagabaya yang berkepala botak,


Rukmini jadi berang. Dengan tongkatnya, yang berwarna
hijau, diterjangnya laki-laki itu dengan tenaga penuh.

Trang!

Tapi, gada berduri yang berat milik Jagabaya mampu


menangkisnya. Kedua senjata itu sama-sama tertolak balik.
Rupanya kedua tokoh ini menggunakan tenaga dalam
berimbang. Begitu tubuh Rukmini terjajar, saat itulah
berbagai senjata tajam meluruk ke arahnya. Namun dengan
jurus-jurus silatnya yang jarang terlihat, Bidadari Tongkat
Hijau berhasil membendung serangan. Tongkatnya
menderu-deru bagaikan angin topan. Siapa saja yang
berusaha mendekat pasti akan terhajar.

"Ciaaat...!"

Memasuki jurus ke sepuluh, Bidadari Tongkat Hijau telah


berhasil mendesak Jagabaya. Tetapi karena para
pengeroyok semakin banyak, Bidadari Tongkat Hijau jadi
kerepotan. Apalagi, mereka rata-rata berkepandaian tinggi
dan bertabiat licik.

Begitu juga keadaan si Lutung Pancasona. Dia saat ini


sedang dikeroyok para tokoh aliran hitam berkepandaian
tinggi. Mereka tidak malu melakukan keroyokan pada lawan
yang dianggap mempunyai kepandaian tinggi. Bahkan
ketiga putri suami istri itu juga mendapat nasib serupa.
Hanya saja keadaan mereka bertiga lebih parah lagi. Karena
wajah mereka cantik, para pengeroyok jadi semakin kurang
ajar dalam melakukan serangan. Bahkan banyak yang
melampaui batas dalam mengejek dengan mengumbar
kata-kata kotor.

Tetapi sebagai anak-anak pendekar kenamaan, mereka


telah ditempa untuk bertindak gagah dan tegar dalam
menghadapi segala cobaan. Walaupun tahu keadaan
sangat berbahaya, tetapi mereka tetap bertahan dengan
segala kemampuan.

Pada saat yang gawat bagi Sri Kundalini, Sri Agni Kumala,
Sri Padmi, tahu-tahu muncul laki-laki tua dengan senjata
guci dan seorang pemuda bersenjata clurit perak. Dua orang
yang tak lain Ki Demong dan Wisnupati membantu gadis-
gadis ini menahan serangan orang-orang persilatan
golongan hitam. Dengan bantuan guru dan murid itu
keadaan jadi berimbang kembali. Bahkan ketiga gadis itu
mengamuk dengan pedang di tangan.

"Yeaaat!"

Brebet!

"Aaa...!"

Kembali korban jatuh dari tokoh persilatan golongan hitam.


Sementara para tokoh sesat dihadang Ki Demong dengan
guci dan semburan tuaknya. Sedangkan Wisnupati juga
mengamuk. Clurit peraknya berseliweran mencari mangsa.
Tiga orang yang memandang rendah Pemabuk Dari Gunung
Kidul menyerang dari belakang. Tetapi... Mendadak Ki
Demong berbalik, seraya menyemburkan tuaknya.

"Fruhhh...!"

Wusss!

"Waaa...!"

Ketiga orang itu kontan berteriak kesakitan dengan tubuh


terbakar. Dengan kalang kabut, mereka berlari ke tepi telaga
dan menceburkan diri. Melihat kejadian itu, Ki Demong dan
Wisnupati tertawa terbahak-bahak.

"Kisanak berdua.... Kami mengucapkan terima kasih atas


pertolongan kalian...," ucap Sri Kundalini gadis yang tertua.

"Sudahlah. Hajar mereka yang tidak punya malu itu.... Aku


dan muridku akan melindungi kalian bertiga...," ujar Ki
Demong.

ENAM

Ki Samba alias si Lutung Pancasona tengah berhadapan


dengan tiga datuk sesat. Dua orang berwajah kembar.
Mereka berasal dari Gunung Merapi dan mengaku bernama
Kudapaksi dan Kudapaksa. Namun yang paling berbahaya
adalah seorang laki-laki tua berhidung bengkok bagaikan
paruh burung. Senjatanya tongkat yang berujung seperti
burung, lengkap dengan sayap terkembang dan paruh
tajam. Dia sebelumnya mengaku bernama Petet Buluk alias
si Burung Mayat.

Saat ini Kudapaksi dan Kupaksa tems mendesak si Lutung


Pancasona. Golok besar di tangan kedua orang kembar itu
berseliweran mencari mangsa. Tetapi sampai sejauh itu, Ki
Samba masih dapat bertahan dengan sepasang pedang
pendek yang dimainkan sedemikian rupa.

Mendapati serangannya selalu gagal, tentu saja Kudapaksi


dan Kudapaksa jadi geram. Dengan golok mereka terus
mendesak si Lutung Pancasona. Bila yang satu menyerang
kaki, yang seorang lagi menyerang leher. Suatu kerja sama
yang sangat baik dan membahayakan.

Namun sambil berloncatan, Ki Samba berhasil menjauhi


kedua lawannya. Bahkan dalam keadaan demikian,
sepasang pedang di tangannya berusaha membalas
serangan pada dua orang kembar itu sekaligus. Namun
sebelum niatnya terlaksana, satu sosok bayangan telah
melesat dan langsung memapak serangannya.

"Ciaaat...!"

Trang! Trang!

Lutung Pancasona merasa tangan yang memegang pedang


bergetar hebat. Hampir saja kedua pedangnya lepas. Ketika
dia berhasil menguasai diri, matanya langsung menatap
tajam sosok yang memapak serangannya. Ternyata dia
adalah orang tua berhidung bengkok, yang berjuluk si
Burung Mayat yang kembali turun tangan.

Lutung Pancasona segera mengerahkan tenaga dalam


sampai puncak kemampuannya. Kemudian dengan jurus
andalannya, mulai diserangnya Petet Buluk. Sepasang
pedang di tangannya, terus mencecar dan mengurung jalan
keluar laki-laki berjuluk si Burung Mayat.
"Haaat!"

Tongkat berkepala burung di tangan Petet Buluk bergerak


menyodok dada Ki Samba. Secepat kilat, Lutung Pancasona
menyilangkan pedangnya. Namun si Burung Mayat menarik
kembali serangannya. Bahkan cepat merubahnya menjadi
sodokan ke arah perut.

"Haaat!"

Trang!

Dengan sekuat tenaga, kedua pedang pendek Lutung


Pancasona menggunting tongkat si Burung Mayat. Namun
akibatnya, tubuhnya terdorong ke belakang beberapa
langkah. Pada saat yang sama Kudapaksa dan Kudapaksi
berkelebat berbarengan sambil menyabetkan golok dari
belakang. Dari....

Cras! Cras!

"Aaakh...!"

Kedua orang kembar itu berhasil melukai punggung Lutung


Pancasona. Tapi pada saat itu juga Ki Samba memutar
tubuhnya sambil menusukkan pedangnya.

Crasss...!

"Aaa...!" Terdengar teriakan menyayat dari mulut Kudapaksi


ketika salah satu pedang pendek Ki Samba menancap di
dada hingga tembus ke punggung.

Sementara Kudapaksa berhasil melemparkan tubuhnya ke


kiri, hingga luput dari serangan mendadak Ki Samba.

Sambil meringis kesakitan karena punggungnya tergores, si


Lutung Pancasona mencabut pedangnya yang masih
menancap. Tepat ketika pedang pendek itu tercabut,
Kudapaksi ambruk dengan darah berhamburan.

Melihat saudara kembarnya tewas, Kudapaksa bergegas


bangkit. Lalu disertai amarah membludak, tubuhnya
berkelebat, mencecar Lutung Pancasona dengan goloknya.

Bersamaan dengan serangan berbahaya dari Kudapaksa,


Petet Buluk meluruk sambil menghantamkan tongkatnya
pada kepala Ki Samba. Keadaan si Lutung Pancasona
sangat berbahaya. Nyawanya bagai telur di ujung tanduk.
Namun....

"Hiaaa...!"

Saat yang menentukan ini, dipecahkan sebuah teriakan


menggeledek yang disertai berkelebatnya sesosok
bayangan putih. Yang langsung memapak serangan Petet
Buluk.

Trang!

Pedang milik sosok bayangan putih yang dipakai menangkis


tongkat berkepala burung milik Petet Buluk kontan patah
menjadi tiga bagian. Tetapi paling tidak, kedatangan sosok
itu tepat pada waktunya.

Si Burung Mayat tersentak mundur. Sedang sosok yang


menangkis serangan tetap di tempat. Pedangnya yang
patah menjadi tiga bagian dibuangnya.
Ki Samba sendiri begitu berhasil menangkis serangan
Kudapaksa, cepat memutar tubuhnya. Pedang di tangannya
seketika berkelebat ke leher. Dan....

Wuuut! Crasss...! Blug!

Kepala Kudapaksa kontan jatuh menggelinding di atas


tanah begitu berhasil ditebas Ki Samba. Lalu si Lutung
Pancasona segera menatap sosok yang membantunya dan
ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih
dengan sinar mata menyiratkan rasa terima kasih.

Sementara itu Petet Buluk segera menatap tajam pemuda


yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti dengan mata
mengecil, pertanda tengah marah besar. Tongkat di tangan
kanannya bergetar. Tulang belulang ditubuhnya sampai
berbunyi berkerotokan.

"Bocah buduk...! Siapakah kau...?! Mengapa ikut campur


dalam urusanku...?.'" bentak si Burung Mayat dengan suara
serak.

"Aku Rangga, yang tak akan membiarkan orang-orang


telengas berkeliaran di sini. Kalian bukan orang sini....
Mengapa hendak menyebar petaka di tempat terpencil yang
tidak pernah berurusan dengan dunia luar...?" Rangga balik
bertanya penuh perbawa.

"He he he...! Kurasa kau telah tahu.... Untuk apa bertanya


dan berpura-pura segala...? Aku sendiri tidak tahu, mengapa
kau berada di sini...? Kurasa anak kecil pun tahu, kalau kau
mempunyai tujuan sama. Hanya caranya saja yang
berbeda...," sindir si Burung Mayat sambil tersenyum.
"Terserah anggapanmu... Yang jelas, aku tidak akan
membiarkan orang licik mengganggu orang yang tidak
bersalah. Apalagi sampai menimbulkan banjir darah" sahut
Pendekar Rajawali Sakti mantap.

"Anak muda..., biarkanlah aku mengusir manusia itu...," ujar


Ki Samba.

"Lindungi saja anak gadismu, Ki Samba... Biar iblis ini aku


yang mengurusi," ujar Rangga, tanpa maksud merendahkan
Ki Samba.

"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih...."


Si Lutung Pancasona seketika berlari cepat guna membantu
ketiga anak gadisnya.

"Heaaa...!"

Sementara itu, Petet Buluk merasa tidak dipandang sebelah


mata menjadi marah. Disertai teriakan nyaring, tongkatnya
diputar sedemikian rupa sampai menimbulkan suara
mengaung. Dan tiba-tiba dihantamkannya pada pinggang.

Menghadapi serangan dahsyat ini, Rangga meloncat


mundur untuk mengatur jarak. Tapi Petet Buluk terus
mendesaknya. Tongkatnya kembali diputar bagaikan kitiran.
Serangannya mengarah ke atas dan ke bawah. Terpaksa
Pendekar Rajawali Sakti harus melenting beberapa kali ke
belakang untuk menghindari serangan.

Wuuut! Wuuut!

"Uts...!" Rangga segera mengeluarkan jurus Sembilan


Langkah Ajaib. Tubuhnya terhuyung-huyung ke Sana kemari
menghindari serangan beruntun dari tongkat si Burung
Mayat. Maka tak satu serangan pun yang berhasil
menyentuh tubuhnya.

Dengan perasaan heran dan terselip rasa kagum, si Burung


Mayat terus mencecar dengan tongkat mautnya. Begitu
habis membuat gerakan meliuk, Rangga menjulurkan
tangannya dengan tenaga dalam tinggi untuk menggedor
dada Petet Buluk. Namun dengan tangkas, si Burung Mayat
meloncat selangkah seraya menahan gedoran Rangga
dengan telapak tangannya.

Plak!

Bentrokan dua tenaga dalam tinggi terjadi, menimbulkan


suara keras. Pendekar Rajawali Sakti merasa tangannya
bergetar. Sedangkan Petet Buluk terdorong kebelakang.

Terbuktilah kini, tenaga Rangga lebih kuat beberapa tingkat.


Si Burung Mayat langsung mengawasi Pendekar Rajawali
Sakti dari kepala sampai kaki.

"Pantas, kau berani banyak tingkah didepanku. Kiranya kau


mempunyai sedikit kepandaian...! Tapi hari ini adalah batas
ajalmu, Bocah Sombong.... Bersiaplah kau...!" desis Petet
Buluk. "Yeaaa...!"

Belum sempat Rangga menjawab, tongkat berkepala burung


milik si Burung Mayat telah meluruk menghantam kepala.
Cepat Rangga menunduk dengan tangan bergerak cepat
mengambil golok yang tergeletak di tanah dan langsung
menangkisnya.
Tring...!

Dengan hati terkejut si Burung Mayat terjajar ke belakang


beberapa langkah. Kini disadari kalau dirinya sedang
berhadapan dengan lawan tangguh dan memiliki
kepandaian tinggi. Belum hilang rasa terkejut laki-laki
berhidung bengkok itu, Pendekar Rajawali Sakti telah
kembali meluruk menggunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' sambil mengebut-ngebutkan golok.
Melihat serangan dahsyat ini, Petet Buluk cepat memutar
tongkatnya seperti baling-baling.

Trang! Trang! Trang!

Bentrokan senjata terdengar berkali-kali. Tubuh Petet Buluk


kembali terjajar. Tangannya bergetar dan sampai lecet-lecet
saat menangkis serangan Rangga tadi. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di tanah dengan
mantap. Matanya tajam menatap si Burung Mayat.

"Kudengar, kau sering menyebar petaka dalam dunia


persilatan yang membuat kaum persilatan resah. Karena itu,
terpaksa aku tak bisa membiarkan kaummu berkeliaran,"
kata Rangga penuh tekanan, sambil membuang golok di
tangannya.

Sehabis berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti melesat


cepat mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian
jurus 'Rajawali Sakti'. Menghadapi jurus ampuh ini, si
Burung Mayat jadi kelabakan dan terdesak hebat. Apalagi
Rangga mengajak bertarung dalam jarak pendek. Sehingga
sulit bagi tongkat di tangan si Burung Mayat membendung
serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pada jarak yang
memungkinkan Rangga melepaskan serangan tangan
kosong dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

Wuuuttt...!

Tangan Rangga yang telah merah membara menderu cepat


menjarah ke dada. Dengan cepat si Burung Mayat melenting
ke atas menghindari serangan. Namun Pendekar Rajawali
Sakti terus memburunya setelah mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Kibasan tangan Rangga yang
bagai kepakan sayap rajawali meluruk cepat ke perut Petet
Buluk.

Desss...!

"Aaakh...!" Si Burung Mayat kontan terlontar deras ke


belakang.

Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali


Sakti telah meluruk mengejar dengan mengganti jurusnya
menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu
dekat, dihantamnya kepala Petet Buluk dengan kedua
tangan yang berisi tenaga dalam amat tinggi. Hingga...

Prakkk...!

"Aaa...!" Begitu menyentuh tanah, kepala si Burung Mayat


telah retak dengan darah menggenangi kepalanya. Sebentar
tubuhnya meregang nyawa, lalu diam tidak berkutik lagi.
Mati!

Sementara itu si Bidadari Tongkat Hijau tengah dalam


keadaan mengkhawatirkan. Dia dikeroyok sosok ramping
berpakaian serba hijau dengan wajah tengkorak, dan dua
orang laki-laki bertubuh kerdil yang bersenjatakan rantai
berujung bola berduri. Putaran senjata itu menimbulkan
angin dan suara yang menyeramkan.

Menghadapi serangan dahsyat yang mematikan, Bidadari


Tongkat Hijau menggunakan jurus andalannya. Tongkatnya
diputar bergulung-gulung menyerang dan membentuk
pertahanan diri. Tapi serangan istri Ki Samba itu selalu
berhenti di tengah jalan, karena sosok berwajah tengkorak
itu terus mengganggunya. Lemparan binatang beracun
sangat mengganggunya.

"Yeaaa...!"

Mendadak kedua orang cebol mengayunkan rantainya,


membuat bola berduri itu meluruk deras. Namun dengan
tangkas, Bidadari Tongkat Hijau memapak serangan
tongkatnya.

Trak! Trak!

Pada saat itu pula, sosok berwajah tengkorak yang memang


si Manusia Tengkorak meluruk dari belakang dengan satu
hantaman kuat. Dan...

Desss...!

"Aaakh...!"

Satu pukuan tangan si Manusia Tengkorak menghantam


pundak Rukmini hingga terhuyung-huyung ke depan
beberapa langkah. Pundaknya yang terkena pukulan
langsung hangus mengeluarkan bau sangit. Baru saja
Bidadari Tongkat Hijau berbalik, si Manusia Tengkorak
melemparkan beberapa binatang berbisa.
Set! Set!

Bersamaan dengan itu, sepasang orang cebol kembali


mengayunkan rantai bola berdurinya. Bidadari Tongkat Hijau
memang bisa menghindari binatang-binatang beracun itu
dengan melompat mundur. Tapi bola berduri dua orang
cebol itu terus mengejamya. Sehingga....

Cras! Crass...!

"Aaakh..,!"

Ujung rantai yang merupakan bola berduri itu menghantam


kaki dan pinggang Rukmini dengan tepat. Tak ampun lagi,
Bidadari Tongkat Hijau terlempar dengan mendapat luka
lumayan parah. Darah pun mulai membasahi pakaiannya.

Saat itu pula tiga tokoh hitam itu menerjang dengan


serangan-serangan maut. Bidadari Tongkat Hijau jadi nekat,
Dengan sekuat tenaga disambutinya serangan itu.

Pada saat yang mengkhawatirkan, berkelebat dua sosok


bayangan yang satu memegang tongkat berwarna hitam,
Sedangkan yang satu lagi memegang tongkat berwarna
merah, Dengan tongkat, kedua sosok ini menahan serangan
rantai berduri milik kedua orang cebol.

Trak! Trak!

Terhindarlah Rukmini dari kematian, Sementara kedua orang


cebol itu terjajar mundur, Sedangkan serangan si Manusia
Tengkorak berhasil ditahan tongkat hijau milik istri Ki
Samba itu.
"Ah...?! Kiranya Sepasang Iblis Cebol berhadapan dengan
Sabda Gendeng dan muridnya.... Pantas seranganku dapat
ditahan...," kata salah seorang cebol yang bersama cebol
satunya memiliki julukan Sepasang Iblis Cebol.

"Ha ha ha...! Syukurlah kalau kau sudah tahu... Aku paling


tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tetapi, kalau
urusannya tidak benar, terpaksa aku harus ikut campur...!
Tidak peduli walau harus berkorban nyawa sekalipun...,"
balas sosok yang baru datang yang ternyata Ki Sabda
Gendeng.

"Tua bangka tidak tahu diri...! Mampuslah kau...!" seru salah


satu orang cebol dengan wajah merah.

Saat itu juga rantainya menderu menerjang kedua guru dan


murid ini. Gerakannya diikuti cebol yang satunya. Sambil
tertawa-tawa, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang
meladeni kehendak Sepasang Iblis Cebol.

Gerakan guru dan murid yang acak-acakan dan lucu ini telah
membuat kedua orang cebol itu jadi hilang akal. Nyatanya
memang kepandaian Sepasang Iblis Cebol itu masih di
bawah Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang.

Lima belas jurus kemudian, guru dan murid itu berhasil


mendesak Sepasang Iblis Cebol habis-habisan. Jatuhnya
kedua orang cebol ini tinggal menunggu waktu saja.

Benar saja. Ketika kedua orang cebol itu loncat ke atas


menghindari sabetan tongkat Ki Sabda Gendeng yang
mengarah ke kaki, tiba-tiba tongkat itu bergerak
mengejarnya.
Creb!

"Wuaaa...!"

Satu dari Sepasang Iblis Cebol berteriak menyayat ketika


tongkat Ki Sabda Gendeng berhasil menembus perutnya.
Ketika dicabut, darah menyembur dari lubang lukanya.
Tubuhnya langsung jatuh ke bumi. Dia berkelojotan sejenak,
lalu diam untuk selama-lamanya.

"Aaa...!"

Belum juga sekejapan salah satu cebol tewas, cebol yang


lain mengalami nasib yang sama. Tongkat Jaka Tawang
ternyata berhasil menghujam dadanya hingga tembus ke
jantung. Tamat sudah riwayat Sepasang Iblis Cebol dengan
membawa dendam yang dalam.

Sementara itu si Manusia Tengkorak telah melepas


selendang hijaunya. Dengan senjata ini dia berusaha
mendesak Bidadari Tongkat Hijau. Bagaikan ular hidup,
selendang hijau yang berbau harum ini mendesak Rukmini.

Set! Set!

Dalam keadaan terdesak oleh selendang hijau, Bidadari


Tongkat Hijau terus disusuli lemparan binatang-binatang
beracun si Manusia Tengkorak yang mematikan.

"Hiih...!"

Wuttt...!
Tes! Tesss...!

Dengan memutar tongkat hijaunya, Rukmini mencoba


mematahkan serangan binatang-binatang beracun. Tapi
pada saat yang sama selendang hijau si Manusia Tengkorak
berkelebat cepat ke arahnya. Dan...

Ctar!

"Aaargh...!" Bidadari Tongkat Hijau kontan berteriak


menyayat begitu selendang hijau menghantam dada-nya.
Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sambil menekap dada.
Sedang dari mulutnya memuntahkan darah segar.
Napasnya terasa menyesak. Jelas, sabetan itu disertai
tenaga dalam tinggi.

Set! Set!

Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak kembali


melemparkan segenggam binatang beracun. Dalam
keadaan demikian. Rukmini tak bisa mengelak lagi.
beberapa kelabang dan kalajengking langsung
menyengatnya.

"Aaakh...!" Bidadari Tongkat Hijau mengeluh tertahan.


Tubuhnya bergetar hebat. Sebentar saja wajahnya pucat,
lalu membiru. Dia berusaha mengerahkan hawa murninya.

"Keparat...! Mari kita mengadu jiwa...!" teriak Bidadari


Tongat Hijau seraya mengempos semangatnya. "Hiaaa...!"

Blug! "Hegh...!"

Sebelum serangannya sampai, Rukmini telah ambruk ke


tanah dengan jiwa melayang. Ki Sabda Gendeng dan
muridnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena kejadian itu
sendiri hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.

"Chiaaat...!" Dengan berteriak murka, Ki Sabda Gendeng


menerjang. Jaka Tawang yang sama urakan dengan
gurunya tidak mau peduli soal main keroyok atau tidak. Dia
pun ikut bantu menyerang.

Menghadapi kedua orang konyol ini, si Manusia Tengkorak


tak dapat berkutik. Lemparan binatang berbisanya,
disambut lemparan biji-biji catur. Selendang hijaunya
dilayani dua tongkat yang mampu bekerja sama baik sekali.
Bila yang satu menyerang, yang satunya melindungi.

TUJUH

"Hiaaat...!" Sambil menggulingkan tubuhnya, tongkat Ki


Sabda Gendeng menyerang kaki si Manusia Tengkorak.

"Hup!" Si Manusia Tengkorak yang bernama asli Rara Wulan


berloncatan bagai katak, menyelamatkan kakinya dari
kejaran tongkat. Pada saat yang sama, Jaka Tawang
membabatkan tongkatnya ke arah pinggang. Namun
serangan pemuda itu luput, karena Rara Wulan telah
berjumpalitan ke udara.

"Huuup...!" Ki Sabda Gendeng tak sudi membiarkan


lawannya lolos. Tubuhnya langsung melenting sambil
menyambarkan tongkatnya. Bret! Baju hijau si Manusia
Tengkorak koyak besar pada bagian dada, tersambar
tongkat Ki Sabda Gendeng, Sehingga, sebagian dadanya
yang membusung indah dan berlapis kulit mulus terlihat.
Dengan terkejut wanita yang memakai topeng tengkorak ini
loncat kembali, menjauhi guru dan murid yang terus
mendesaknya.

"Setan alas...! Mampuslah kau...!" dengus si Manusia


Tengkorak, merasa malu bukan main. Seketika, si Manusia
Tengkorak meluruk sambil mengebutkan selendang
hijaunya. Suara ledakan selendang terdengar berkali-kali.

Namun dengan tingkahnya yang tak beraturan, guru dan


murid ini berjingkrakan sambil mengitari si Manusia
Tengkorak. Lama kelamaan, wanita bertopeng ini jadi
kelabakan. Dia benar-benar mati kutu menghadapi kedua
orang gendeng ini.

"Ciaaat...!" Tiba-tiba dengan tak terduga, Ki Sabda Gendeng


melenting ke udara. Dan ketika menukik turun, tongkatnya
digetarkan keras. Sehingga ujungnya jadi tampak banyak.
Dan ini membuat si Manusia Tengkorak bingung.
Akibatnya...

Bret!

"Aaakh...!" Topeng penutup wajah yang berbentuk tengkorak


kontan koyak dan tanggal dari wajahnya. Maka, tampaklah
seraut wajah cantik seorang wanita mengenakan pakaian
serba hijau dengan selendang berwarna hijau juga. Guru
dan murid yang tidak menyangka akan hal itu, jadi bengong
dan termangu-mangu di tempatnya.

"Sheaaat...!"

Secara tak terduga, wanita cantik bernama Rara Wulan itu


melompat, melakukan tendangan kilat. Karena sedang
terpaku melihat kejadian tadi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka
Tawang jadi terkesiap. Dan....

Des...! Desss...!

"Aaakh...!"

"Adauuwww...!"

Guru dan murid itu kena tendangan keras, hingga jatuh di


atas tanah. Tapi, secepat itu pula mereka bangkit dan
menyerang kembali. Kini kembali terjadi perkelahian sengit.
Jurus demi jurus terus dilalui penuh ketegangan.

Pada kesempatan itu, tampak berkelebat sosok dengan


sebuah guci tuak. Sambil tertawa-tawa, sosok yang tak lain
Ki Demong meneguk tuak merah yang menimbulkan bau
harum. Kemudian dengan seenaknya, tuak yang berada di
mulut disemburkan pada wanita berpakaian serba hijau.

"Fruuhhh...!"

Semburan tuak yang disertai kobaran api, menerjang Rara


Wulan. Sejenak wanita itu terkejut. Namun dia sudah hafal
dengan musuh bebuyutannya ini. Maka....

"Tarian Dewi Selendang...!" Sejenak si Manusia Tengkorak


membuat gerakan dengan selendangnya. Rupanya, dia
tengah memainkan jurus andalannya yang diberi nama
Tarian Dewi Selendang'.

Gerakan selendangnya sebentar lemas bagaikan ular,


sesaat kemudian kaku bagaikan besi. Lalu, seketika
selendangnya berkelebat, mematahkan semburan tuak.
Prat! Prat!

"Ha ha ha...! Ayo habiskan semua simpanan yang kau


miliki...! Kali ini kau tidak akan kulepaskan lagi...! Sudah
cukup kau menipu dan mencelakai aku...!" tantang si
Pemabuk Dari Gunung Kidul, mengejek.

Sambil berkata demikian, tubuh Ki Demong meluruk dengan


guci terus mencecar. Serangannya yang kacau balau
bagaikan orang sedang mabuk. Namun sesunguhnya itu
adalah serangan maut dari jurus 'Dewa Gila Mabuk Tuak'
yang dahsyat.

Melihat Ki Demong turun tangan membantu, Ki Sabda


Gendeng jadi berteriak-teriak mencegahnya. "Whei..., hei...!
Kau tidak boleh ikut campur, Demong.... Lebih baik
menonton saja di pinggiran...," ujar Ki Sabda Gendeng.

"Kau yang harus minggir.... Setan ini punya hutang padaku.


Jadi, aku sendirilah yang berhak menagihnya...! Kau dan
muridmu menonton saja di pinggiran...," balas Ki Demong
sambil menyemburkan tuaknya.

Tetapi, orang tua yang gila catur itu tidak akan mau diatur.
Dengan berteriak keras, serangannya malah diperhebat.
Dikeroyok tiga orang yang memiliki kepandaian tinggi. Rara
Wulan jadi terdesak hebat. Permainan selendangnya tidak
dapat berkembang. Malah semakin lama jangkauan
serangannya jadi semakin kecil.

"Yaaat!" Pada satu kesempatan tongkat Ki Sabda Gendeng


dan semburan tuak Ki Demong yang semuanya berisi
tenaga dalam tinggi, menghantam selendang hijau si
Manusia Tengkorak.

Brebet!

"Bangsat...! Kalian telah merusak selendangku...!" dengus


Rara Wulan sengit. Saat itu juga tangannya melemparkan
segenggam kelabang dan kalajengking beracun.

"Awas, Demong...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

"Fruhhh...! Kau tak perlu khawatir... Binatang beracun ini


makananku sejak beberapa waktu berselang...," tukas Ki
Demong setelah menyemburkan tuak dari mulutnya.

Binatang-binatang beracun itu berjatuhan dalam keadaan


hangus. Tidak sampai di situ saja. Guci tuak si Pemabuk
Dari Gunung Kidul tiba-tiba menghantam kaki Rara Wulan.

Diegkh...!

"Aaakh...!" Akibat rasa sakit yang menyengat sampai ke ulu


hati, Rara Wulan berjingkrakan sambil mengaduh-aduh.

"He he he...! Ada monyet wanita sedang menari... Lihat


wajahnya... Lucu sekali...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil
memegang perutnya.

Diejek seperti itu, Rara Wulan jadi kalap. Dia juga sadar,
walaupun ingin lari, jalan keluar telah tertutup. Maka
bagaikan seekor harimau yang terpojok, si Manusia
Tengkorak ini mengamuk dengan terpincang-pincang.
Ditepaskannya satu tendangan lurus ke arah Ki Demong.
Namun....
Crab!

"Aaakh...!"

Pada saat yang sama Ki Sabda Gendeng meluruk sambil


menusukkan tongkatnya ke paha. Kontan Rara Wulan
terpekik dengan tubuh berputar. Dalam keadaan demikian,
mendadak tongkat Jaka Tawang menyambar deras.

Cras...!

"Aaakh...!" Kembali Rara Wulan terpekik, ketika


punggungnya tersambar tongkat.

Dalam waktu singkat, si Manusia Tengkorak telah mandi


darah. Wajahnya berubah pucat. Dan pandangan matanya
mulai berkunang-kunang. Namun dengan terhuyung-huyung,
Rara Wulan terus berusaha mengajak mati bersama. Hanya
saja serangannya tidak berbahaya lagi karena telah banyak
darah yang keluar dari luka di sana sini.

"Hiaaa...!" Disertai teriakan menggelegar, Pemabuk Dari


Gunung Kidul meluruk deras disertai hantaman guci
tuaknya.

Bug!

"Auuu...!" Sebuah pukulan telak bersarang di punggung Rara


Wulan. Tubuhnya kontan bergulingan disertai muntahan
darah segar. Belum lagi dia dapat berdiri tegak. Kembali
sebuah tendangan berisi tenaga dalam Ki Sabda Gendeng
menghujam perut.

Desss...!
"Ughhh...!" Tak dapat ditahan lagi, tubuh Rara Wulan kembali
jatuh terjengkang dan langsung pingsan. Ki Demong yang
mempunyai dendam, bermaksud menghabisinya. Namun...

"Tahaaan...!"

Pada saat yang berbahaya bagi Rara Wulan, terdengar


sebuah teriakan keras menggelegar yang disusul
berkelebatnya satu sosok bayangan putih. Bahkan
bayangan itu langsung menangkis guci Ki Demong dengan
sentilan jarinya.

Ctrakk!

"Aaakkh...!" Hampir saja guci tuak itu terlepas dari tangan Ki


Demong. Sejenak Pemabuk Dari Gunung Kidul terjajar,
kemudian matanya menatap sosok yang menahan
serangannya. Ternyata sosok itu tak lain dari Pendekar
Rajawali Sakti.

Sambil berdiri, Rangga mengawasi mereka. "Maaf, Ki. Bukan


aku hendak ikut campur tangan.... Wanita ini sudah tak
berdaya. Tak layak bagi tokoh ksatria menghabisi musuh
tak berdaya. Lagipula, dia punya urusan denganku....
Bahkan kurasa, urusanku dengannya lebih penting daripada
urusan kalian...." ucap Rangga, perlahan.

"Wah..., wah...! Biasanya kau selalu benar dan


mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti! Tetapi kali ini
tindakanmu tidak dapat kubenarkan... Apalagi kau bilang
urusanmu lebih penting daripada urusan kami berdua. Coba
katakan, urusan apa itu...?" tanya Ki Demong dengan mata
mendelik.
Rangga memejamkan matanya. Kepala menggeleng-geleng.
Lalu menarik napas panjang. Tampaknya Pendekar Rajawali
Sakti tengah berpikir keras. "Baiklah, karena kalian
memaksa terpaksa hal ini harus kujelaskan pada kalian...."
Lemah sekali kata-kata Rangga kali ini.

Kemudian diceritakannya segala yang dialaminya dengan


wanita bernama Rara Wulan itu. Semua itu disambung
dengan hilangnya pedang pusaka miliknya yang terampas
oleh wanita cantik ini (Untuk jelasnya baca Pendekar
Rajawali Sakti yang berjudul Gerger Di Telaga Warna)

Setelah mendengar kisah Rangga, Ki Demong tampak


memerah mukanya. Dia tampak menyesali kata-katanya
tadi. Sambil menunduk, orang tua pemabukan yang bandel
itu meminta maaf pada Rangga.

"Sudahlah, Ki.... Asal kau mau mengerti, aku sudah


bersyukur dan berterima kasih padamu."

Setelah selesai menjelaskan semuanya, Rangga


menghampiri Rara Wulan yang masih tergeletak tidak
sadarkan diri. Segera ditotok dan diurutnya beberapa jalan
darah di tubuh wanita itu.

"Ohhh...!"

Selang sesaat, Rara Wulan yang cantik ini membuka


matanya disertai desahan halus. Setelah tahu siapa yang
berada di sampingnya, dia berusaha bangkit. Tetapi, wanita
yang terluka parah ini jatuh kembali.

"Tenanglah, Nisanak.... Aku hanya ingin bertanya sedikit.


Setelah itu, aku akan berusaha menolongmu karena kau
punya urusan denganku...," ujar Rangga, perlahan.

"Tidak perlu.... Semua akan sia-sia saja...," tolak Rara Wulan.

"Mengapa...?"

"Aku telah mendapat luka dalam parah. Isi perutku serasa


hancur semua.... Kurasa, hanya tinggal menunggu waktu
saja. Lebih baik bunuh saja aku sekarang.

"Kalau begitu, mengapa kau datang kemari dan


menghendaki Bunga Nirwana yang bukan milikmu...?" tanya
Rangga.

"Kedatanganku kemari demi untukmu, Kisanak...."

"Untukku...?" Rangga balik bertanya dengan perasaan heran.

"Yah...! Aku merasa bersalah karena pedang pusakamu


telah dirampas seorang tokoh persilatan dari dataran Cina.
Untuk mendapatkannya kembali, aku harus memiliki
kepandaian lebih tinggi lagi.... Tapi, itu tak mungkin! Jalan
satu-satunya, aku harus memiliki tenaga dalam yang lebih
kuat. Sebab, aku akan menyusulnya ke daratan Cina.... Dan
bila kudapat, pedang itu akan kukembalikan padamu.
Selama aku memegang pedang itu, sebenarnya aku telah
menyadari kalau aku berada di jalan sesat. Bisakah aku
bertobat? Hah.... Korban akibat nafsu serakahku telah
cukup banyak. Ini karena aku berguru pada orang yang
salah....! Dendamku pada beberapa tokoh persilatan yang
telah membunuh kedua orang tuaku, ternyata hanya
dendam buta.... Aku rupanya selama ini hanya menjadi
boneka Bibi Guruku sendiri, yang ternyata dari golongan
sesat. Rupanya yang membunuh kedua orang tuaku adalah
Bigi Guruku, dengan mem[tnah para tokoh persilatan dari
golongan putih. Hal itu kuketahui dari seorang kerabatku
yang berjuluk Pendekar Tangan Satu.... Itulah sebabnya, aku
berubah pikiran sekarang...."

Sejenak Rara Wulan menghentikan ceritanya. Napasnya


makin tersengal. Darah kembali meleleh di sudut bibirnya.

"Karena rasa bersalahku padamu, maka aku bertekad untuk


mencari tokoh dari daratan Cina itu dengan terlebih dahulu
mencari Bunga Nirwana. Tapi sayang, keinginanku tak
terwujud, karena dihadang Pemabuk Dari Gunung Kidul yang
memang mempunyai dendam padaku, dibantu kawan-
kawannya. Tapi aku ikhlas.... Mereka memang berhak
melampiaskan dendam padaku yang telah kotor dan hina
dina ini...." Rara Wulan memberi penjelasan secara panjang
lebar, napasnya semakin melemah.

"Demi kepentinganku, kau pun telah melakukan


pembunuhan kembali.... Itu pun salah," sela Rangga menjadi
kasihan melihat wanita itu.

"Ak..., ku..., menger... ti.... Tetapi itu kulakukan karena


mereka menghalangi dan menyerangku. Aku hanya ingin
menggembalikan pedang pusaka itu, lain tidak..."

"Yah.... Sudahlah.... Semua telah terjadi. Biar kucoba untuk


menyembuhkan lukamu...."

"Tidak perlu.... Itu hanya membuang tenaga saja. Aku puas


mati di tangan mereka.... Kakang Rangga, peluklah aku di
saat terakhirku ini..... Dan, bolehkah aku memanggilmu
'kakang'...?" tanya Rara Wulan lemah.
Sementara napasnya tinggal satu-satu. Pendekar Rajawali
Sakti tahu wanita di hadapannya ini sebentar lagi akan
dijemput maut. Maka tanpa pikir panjang lagi, dipeluknya
Rara Wulan erat-erat.

"Kakang..!" Sekali lagi wanita cantik itu memanggil Rangga


dengan sebutan kakang, kemudian kepalanya terkulai. Rara
Wulan mati dalam pelukan Rangga.

Yang hadir sama menarik napas. Mereka tidak menyangka


kalau wanita yang kejam luar biasa itu pada akhirnya dapat
insyaf dan menemui ajal dalam pelukan pendekar yang
memiliki nama besar.

********************

Beberapa tokoh persilatan golongan lurus beramai-ramai


terus membantu Ki Samba mengusir orang-orang golongan
sesat yang tidak diundang. Dengan kepandaian yang lebih
tinggi, mereka berhasil mengusir semua tokoh-tokoh sesat
itu.

Sebagian tokoh yang penasaran, setelah pertarungan usai


dipersilakan untuk melihat Bunga Nirwana yang memang
masih kuncup. Karena kecilnya bunga itu, sehingga tak akan
terlihat bila tidak diperhatikan dengan seksama, letaknya
pun di antara baris-baris rerumputan.

Sehingga ketika pertarungan terjadi, tak seorang tokoh


persilatan pun yang menyadari kalau bunga itu terletak di
halaman pesanggrahan ini, Memang tak ada yang
menyangka kalau bunga-bunga itu hanya sebesar bunga
pohon putri malu.
Yang jelas manusia boleh berusaha dan mengira-ngira.
Tetapi, kehendak Yang Maha Kuasa jugalah yang menjadi
penentu. Rupanya takdir itu terjadi di Pesanggrahan Telaga
Warna ini.

Setelah para tokoh persilatan kembali, tuan rumah


menyatakan terima kasih walau bersedih telah kehilangan
Bidadari Tongkat Hijau. Memang tidak ada perjuangan
tanpa korban. Setelah merapikan segalanya dan
mengebumikan Bidadari Tongkat Hijau, mereka dipersilakan
menginap dan beristirahat di Pesanggrahan Telaga Warna.

Selama menginap, tampaknya Jaka Tawang dan Wisnupati


sangat akrab dengan Sri Kundalini dan Sri Agni Kumala.
Sedangkan Sri Padmi yang masih kecil selalu menggoda
mereka, sehingga kesedihan sedikit terhapus.

Karena kedua muridnya masih kerasan tinggal di tempat itu,


Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng tidak dapat pergi. Untung
kedua orang tua yang sama-sama gendeng dan urakan
tidak bosan. Apalagi mereka selalu bermain catur.

Pendekar Rajawali Sakti yang masih punya urusan mencari


pedang pusakanya segera minta diri pada tuan rumah.
Kepergiannya segera diantar para pendekar yang ada di
tempat itu. Kemudian, dengan menggunakan papan seperti
sebelumnya, Rangga melesat ke tengah telaga. Dan
sebentar saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.

"Mudah-mudahan tokoh dari negeri Cina itu belum kembali


ke negerinya. Sehingga, aku tidak dibuat repot karenanya...,"
gumam Rangga.
********************

Setelah sekian hari menempuh perjalanan, Rangga


tersentak ketika dua orang berkerudung berjalan tergesa-
gesa. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke Desa
Waru Nunggal. Yang membuat Pendekar Rajawali Sakti
memperhatikan mereka adalah, pada punggung salah
seorang berkerudung terdapat gagang pedang berkepala
burung rajawali!

Karena merasa curiga, Pendekar Rajawali Sakti segera


membuntuti kedua orang itu. Dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang sudah mencapai kesempumaan, mudah bagi
Pendekar Rajawali Sakti untuk mengikuti kedua orang yang
dicurigainya tanpa bersuara sedikit pun.

"Kakang Wismoyo. Di depan kita bisa beristirahat dulu


sebentar...," usul salah seorang berkerudung dengan suara
perlahan, tapi masih terus berlari.

"Maksudmu di depan mana? Apa di Desa Waru Nunggal...?"


tanya orang yang dipanggil Wismoyo.

"Jangan, Kang.... Nanti bisa mencurigakan orang yang


mengincar kita...," ujar orang yang bernama Panjalu.

"Kalau begitu kita beristirahat di sini saja. Tapi, jangan lama-


lama.... Kasihan mereka yang menunggu kita di sana...,"
kata Wismoyo.

Kedua orang berkerudung itu segera melepaskan lelah


sambil makan makanan yang dibawa. Dari tingkah yang
sering menghapus keringat pada wajah di balik kerudung,
jelas mereka habis melakukan perjalanan jauh dan
melelahkan.

"Begitu hari gelap, kita langsung berangkat...," kata


Wismoyo.

"Kupikir sebaiknya begitu...," sambut Panjalu.

Baru saja kata-kata Panjalu habis, berkelebat satu bayangan


putih di hadapan mereka. Dengan terkejut kedua orang
bertopeng ini segera bangkit. Sedang bayangan yang tak
lain Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang.

"Maaf, Kisanak. Bolehkan aku melihat pedang yang berada


di punggungmu...?" tanya Rangga tenang sambil
memperhatikan pedang di punggung Wismoyo.

"Siapa kau...?! Mengapa ingin melihat pedang ini? Ada


urusan apa kau dengan kami...?" tanya Wismoyo menatap
penuh curiga.

"Aku tidak bermaksud jahat. Hanya ingin melihat saja. Kalau


bukan pedang yang kumaksud, aku akan pergi dan minta
maaf...," ujar Rangga.

Walau bagaimana, kedua orang bertopeng itu harus


mempertahankan pedangnya. Mereka berpendapat,
pemuda berbaju rompi putih itu sebenarnya seorang
perampok. Dengan cepat mereka bersiap.

"Kau ternyata perampok murahan! Alasan saja ingin melihat


pedang ini.... Tapi, jangan harap akan berhasil...," desis
Panjalu sambil menghentakkan kedua tangannya
melancarkan serangan jarak jauh.
Wuuttt...!

Rangga cepat berkelit, dan balik menyerang. Maka


perkelahian segera terjadi. Yang membuat Rangga
penasaran, mereka berdua menutupi kepala pedang dan
menyimpannya di balik baju.

DELAPAN

Perkelahian terus berlangsung seru. Tetapi lima jurus


kemudian baru terlihat kalau dua laki-laki, berkerudung itu
bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Rangga
melancarkan serangan agak keras, mereka jadi terdesak.
Dan dengan beberapa kali menggunakan jurus pancingan,
Rangga berhasil menjambret kerudung kedua orang itu
sampai terlepas dari wajah.

Brebet...!

"Waaa...!"

"Aaah...!"

Ketika kerudung terlepas, keduanya berteriak kaget. Begitu


juga Rangga sendiri. Sambil mendesah, Pendekar Rajawali
Sakti terjingkat mundur beberapa langkah ke belakang.
Apakah yang terlihat...? Ternyata wajah di balik kerudung itu
sangat menyeramkan. Penuh luka membusuk,
mengeluarkan nanah! Baunya busuk bukan main.

"Perampok jahat...! Sudah puaskah kau sekarang...? Kalau


mau lihat pedang ini, silakan. Nah, lihatlah...! Aku ingin tahu,
apa sih sebenarnya maumu...? Ini pedang pusaka dari
perguruan kami yang bernama 'Rajawali Perak'. Kami
membawanya, untuk diperlihatkan pada seorang tabib sakti
Kwe Ceng Kian dari negeri Cina yang dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit termasuk penyakit di wajah kami
ini! Kawan-kawan kami telah sampai di tempat tabib sakti
itu. Tetapi si tabib tidak mau menyembuhkannya tanpa
mendapat imbalan pusaka lambang perguruan kami...," jelas
Wismoyo, pasrah.

Rangga tersentak mendengar penjelasan Wismoyo. Jangan-


jangan... tabib bernama Kwe Ceng Kian adalah seorang
tokoh persilatan dari negeri Cina yang dikatakan Rara Wulan
sebelum ajal.

"Jadi ketua kalian rela mempersembahkah pusaka lambang


perguruannya pada tabib itu...?" cecar Rangga.

Sikap Pendekar Rajawali Sakti tampak serba salah. Dia


menyesal dan merasa bersalah, karena ternyata pedang itu
bukan pedang pusaka miliknya. Namun paling tidak hatinya
merasa gembira, karena mendapat keterangan berharga
dari kedua orang berkerudung itu.

"Kami berdua, juga teman-teman di sana mendapat penyakit


yang serupa. Kalau terlambat, tentu kami semua akan mati
dengan tubuh meleleh bagaikan lilin kena api.... Ketua kami
orang paling bijaksana. Dia rela menyerahkan lambang
perguruan, asal murid-muridnya dapat hidup. Itulah
sebabnya dia sangat kami cintai...," kali ini Panjalu yang
menjelaskan.

"Apa yang menyebabkan kalian menderita penyakit ini? Apa


karena kehendak alam, atau hasil perbuatan seseorang...?"
tanya Rangga.
"Kelihatanya, hasil perbuatan seseorang. Waktu itu, kami
bentrok dengan seseorang yang mengenakan topeng.
Tetapi kami tidak berhasil membunuhnya. Begitu juga dia.
Setelah itu, seorang demi seorang dari pihak kami terjangkit
penyakit yang menjijikkan seperti yang kau lihat ini...," jelas
Wismoyo sambil menutup wajahnya kembali.

"Maafkanlah kesalahanku. Aku tidak bermaksud


mempermalukan kalian. Tetapi, aku telah kehilangan
pedang pusaka yang mirip dengan milik perguruan kalian....
Itulah sebabnya, aku memaksa hendak melihat. Kuharap,
kalian bisa memakluminya.... Kalau kalian tidak keberatan,
bolehkah aku ikut serta menemui tabib sakti dari Cina
itu...?" tanya Rangga sambil menatap kedua orang yang
mengaku dari Perguruan Rajawali Perak.

"Silakan saja kalau kau mau...," sambut Wismoyo.

Setelah mendapat persetujuan, mereka segera berlari


mencari jalan sepi. Mereka tidak menunggu sampai hari
gelap, karena khawatir akan terlambat tiba di tempat tujuan.

"Apakah tempat yang dituju sangat jauh...??" tanya Rangga,


sambil mengimbangi ilmu meringankan tubuh Wismoyo dan
Panjalu yang terasa lambat itu.

"Lumayanlah.... Kurang lebih tiga malam lagi...," jawab


Panjalu.

"Apakah kalian tidak merasa lelah...?" kembali Rangga


bertanya.

"Tidak...!"
"Jangan tertalu memaksakan diri. Kalau lelah, biar kita
istirahat dulu...," ujar Rangga.

"Kita tunggu saja sampai hari gelap. Baru kita beristirahat di


tepi hutan kecil yang ada di muka sana...!" tunjuk Panjalu.

Menjelang fajar, Rangga, Wismoyo, dan Panjalu tiba di


sebuah dataran tinggi bernama Bukit Pugel. Di tempat itulah
Tabib Kwe Ceng Kian tinggal.

"Di mana rumahnya...?" tanya Rangga tidak sabar.

"Di atas itu...," tunjuk Wismoyo.

Kembali mereka bertiga melangkah naik. Bukit Pugel


tenyata memiliki pemandangan cukup indah. Terutama,
hawanya yang sejuk membuat orang kerasan tinggal di
tempat ini. Beberapa saat kemudian, tampaklah dari
kejauhan sebuah rumah sederhana. Pada halaman muka
dan sampingnya terdapat bermacam-macam tumbuhan.
Terutama, pohon dan tumbuhan obat-obatan.

Rangga, Wismoyo, dan Panjalu semakin melangkah


mendekati rumah itu. Di halaman, terlihat dua orang pelayan
tengah memetik daun obat. Melihat kedatangan ketiga
orang itu, kedua pelayan ini menghentikan kegiatannya.
Agak lama keduanya memperhatikan tamu-tamu yang baru
datang ini.

"Selamat siang, Kisanak semua.... Apakah Tabib Kwe Ceng


Kian ada di dalam...?" tanya Wismoyo.

Kedua orang pelayan itu tidak langsung menjawab. Mereka


masih menatap tajam dengan sinar mata curiga. "Apakah
Kisanak ini, teman orang-orang yang di dalam...?" tanya
salah seorang pemetik bunga obat itu.

"Kalau orang-orang itu mendapat luka busuk dan


mengeluarkan nanah, tentu mereka teman-temanku...."

"Apakah Kisanak telah membawa pesanan Tuan Tabib...?"


tanya pelayan itu lagi.

"Sudah! Ini ada di dalam baju...," tukas Rangga sambil


menunjuk ke balik bajunya. Ternyata Pedang Rajawali Perak,
disimpan Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya mereka
bertiga tengah menyusun suatu rencana.

"Kalau begitu, silakan masuk...," kata pelayan yang satunya.

Sambil mengangguk, mereka bertiga masuk ke dalam.


Tampak teman mereka yang berjumlah lima orang tengah
berbaring lemah. Jelas mereka belum diobati dan masih
menunggu pedang pusaka lambang Perguruan Rajawali
Perak yang digunakan sebagai imbalan untuk mengobati
penyakit.

Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti membatin. Jelas tabib


ini dari golongan hitam. Sebab dari tindakan yang diambil,
telah menggambarkan hatinya yang tamak. Entah, apa yang
tersembunyi di balik semua ini?

"Hei.... Kalian sudah datang rupanya! Mana Pedang Rajawali


Perak yang harus kalian bawa...?"

Sebuah pertanyaan terlontar ketika dari balik kamar muncul


seorang laki-laki tua dengan rambut digelung ke atas.
Tangannya memegang tongkat bambu.
"Hm.... Kaukah tabib yang terkenal dari Cina itu...?" tanya
Rangga.

"Ho ho ho...! Aku tidak pernah mengatakan terkenal. Tapi


orang lainlah yang telah mengatakan dan telah
membuktikan kemampuanku yang tidak ada duanya ini...,"
tukas Tabib Kwe Ceng Kian sombong.

"Kami sudah datang membawa Pedang Rajawali Perak....


Harap kau cepat menyembuhkan teman-teman kami yang
menderita itu...," lanjut Rangga.

"Kau siapa...? Aku baru pernah melihatmu. Lagi pula,


tampaknya kau tidak sakit seperti yang lain...," tanya Tabib
Kwe Ceng Kian.

"Aku memang tidak sakit. Tentu saja kau tidak kenal aku,
karena aku murid baru.... Kedua saudara kami inilah yang
sakit...," sahut Rangga sambil menepuk bahu Wismoyo dan
Panjalu.

"Serahkan dulu pedang pusaka lambang perguruan kalian.


Baru mereka aku sembuhkan...," ujar si tabib itu, mendesis.

"Bagaimana bisa begitu? Sebaiknya sembuhkan dulu


mereka, baru pedang ini kuserahkan...," tukas Rangga.

"Ha ha ha...! Aku yang harus membuat peraturan, bukan


kalian! Lagi pula, kalian dapat berbuat apa di sini...? Tempat
ini seluruhnya telah dipenuhi racun. Lekas, serahkan pedang
itu kalau masih ingin hidup...!" gertak tabib itu, disertai tawa
menggetarkan.
Tiba-tiba Wismoyo dan Panjalu membuka kerudung. Maka
terlihatlah seraut wajah menjijikkan penuh luka membusuk
dan nanah. Dengan pandangan tajam kedua orang itu
memperhatikan tabib yang ternyata seorang pemeras licik.

"Sudah kuduga, kau ingin menguasai pusaka-pusaka para


perguruan yang ada di tanah Jawa ini. Tapi, kali ini kedokmu
terbongkar.... Karena, sebenarnya kami tidak terkena
penyakit. Lihatlah ini...," desis Wismoyo dan Panjalu sambil
mengupas wajahnya.

Ternyata kedua orang Perguruan Rajawali Perak itu


menggunakan topeng yang dibaluri daging-daging busuk.
Setelah topeng itu terbuka, wajah mereka tidak ada
cacatnya. Mereka cukup tampan dan berusia muda.

"Ho ho ho...! Kalian pikir aku orang bodoh! Lihatlah kelima


orang yang disangka saudara seperguruan kalian itu...!" ujar
tabib itu sambil menunjuk kelima orang yang tengah
membuka kedok samarannya.

Ternyata, mereka sehat wala[at. Wajah mereka kuning


dengan mata sipit. Jelas, mereka pun dari dataran Cina.

"Keparat...! Kau kemanakan lima saudara kami?!" dengus


Panjalu.

"Ho ho ho...! Mereka sudah terlalu lama menunggu. Jadi,


sudah tidak tertolong lagi. Daripada merepotkan, lebih baik
dimusnahkan saja. Sekarang, sudah jelas. Tidak ada jalan
lolos bagi kalian. Sebaiknya, serahkan pedang itu...!" ancam
Tabib Kwe Ceng Kian.

Sementara itu kedua pelayan yang tadi sedang memetik


daun obat sekarang telah berada di tempat ini. Ternyata
mata mereka pun sipit pula. Kini mereka bertujuh
mengepung dan mengurung Rangga, Wismoyo, dan Panjalu
dengan senjata terhunus.

"Apa tujuanmu dengan mengumpulkan senjata-senjata


pusaka dari tanah Jawa ini...??" tanya Rangga dengan
pandangan tajam.

"Karena sebentar lagi kalian akan mati, biarlah kuberitahu.


Aku bermaksud mendirikan sebuah perguruan yang tidak
tertandingi di negeri asalku. Untuk itu, aku membutuhkan
banyak senjata pusaka yang ampuh. Dengan senjata-
senjata itu kami dapat mengadakan pemberontakan
terhadap kerajaan. Dan aku akan mengangkat diriku
sebagai Kaisar. Sebuah cita-cita yang luhur, bukan?
Sekarang, aku telah berhasil mengumpulkan pusaka tanah
Jawa. Berarti langkahku tinggal sedikit lagi.... Kurasa, cukup
sudah penjelasanku ini...."

"Sebuah cita-cita gila. Kau pantas dilenyapkan dari muka


bumi ini...!" desis Rangga sambil mengepalkan tinjunya erat-
erat.

"Ayo, calon pengawalku! Binasakan mereka bertiga. Dan


ambil pedang pusakanya...!" perintah Tabib Kwe Ceng Kian.

Setelah mengetahui maksud jahat tabib aneh ini, Rangga


memberi isyarat pada Wismoyo dan Panjalu yang sudah
marah luar biasa itu.

"Heaat...!"

"Ciaaat!"
Kedua orang Perguruan Rajawali Perak menyerang sekuat
tenaga pada Tabib Kwe Ceng Kian. Tetapi, ketujuh pengawal
tabib itu segera melindungi dengan jalan menahan semua
serangan. Bahkan mereka mengadakan serangan balik.

Perkelahian segera terjadi. Dan dalam ruangan sempit ini,


keadaan tidak menguntungkan bagi pihak Rangga. Diam-
diam Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam
yang dipusatkan pada kedua telapak tangannya. Dan....

"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Pendekar


Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya.

Wusss...!

Bruakkk...!

Ruangan itu seakan dilanda gempa. Dinding dan bagian lain


rumah itu hancur berantakan bagaikan habis dilanda badai
dahsyat. Rangga bersama kedua temannya segera melesat
keluar mencari tempat luas.

"Keparat! Mau lari ke mana kau...?!" teriak Tabib Kwe Ceng


Kian, seraya mengejar.

"Siapa yang mau lari...? Kau memang bagianku, Tabib


Sesat...!" seru Rangga.

Begitu mendarat, Rangga langsung menyerang dengan


tangan kosong. Tetapi gerakan tabib itu gesit luar biasa.
Ilmu meringankan tubuhnya sangat mengagumkan. Dengan
sebuah toya berwarna kebiruan, dia pun mulai menyerang
Rangga.
Yang sangat berbahaya adalah keadaan Wismoyo dan
Panjalu. Mereka terdesak oleh keroyokan tujuh orang asing
itu. Tapi, mereka tetap bertahan mati-matian. Namun naas
menimpa mereka. Keduanya jatuh terpeleset. Maka
kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan.

Cras! Bret!

"Waaa..!"

Beberapa luka yang cukup parah tampak tertoreh di sekujur


tubuh mereka. Dengan mati-matian Wismoyo dan Panjalu
mencoba bertahan. Tetapi, orang-orang asing ini malah
terus menyerang ganas. Pada saat yang gawat itu, Rangga
mendadak berkelebat meninggalkan Tabib Kwe Ceng Kian.
Langsung kedua tangannya menghentak.

"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"

Werrr!

"Wuaaa...!"

Tiga orang terpelanting saat itu juga, terhantam ajian 'Bayu


Bajra' yang bagaikan topan dahsyat. Saat itu Wismoyo dan
Panjalu melihat si tabib dengan toya birunya. Dan mereka
teringat pada orang bertopeng yang telah membuat onar di
Perguruan Rajawali Perak. Maka mantaplah hati mereka....

"Kisanak...! Orang itulah yang telah bentrok dan membuat


onar di perguruan kami tempo hari...!" teriak Wismoyo.

Mendengar teriakan mereka, cepat Tabib Kwe Ceng Kian


menyimpan toya birunya dan mengeluarkan tongkat bambu
sebagai gantinya.

Rangga kembali berkelebat dan segera menahan tabib itu


dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Pertarungan sengit kembali terjadi. Ketika ada kesempatan,


Rangga menyerang dengan tangannya yang membentuk
paruh rajawali. Tetapi, tabib itu cepat menangkisnya.

Plak! Trak!

Ternyata tangan Rangga pedih bergetar hebat. Rangga


heran, dan menduga ada sesuatu dalam batang bambu itu.
Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali',
sehingga kedua tangannya berubah merah membara karena
disertai tenaga dalam tinggi.

Namun serangan Rangga yang biasanya selalu berhasil, kali


ini luput dari sasaran. Karena Tabib Kwe Ceng Kian memiliki
ilmu meringankan tubuh luar biasa.

"Hm.... Hebat juga orang ini. Dan dapat mencuri kelemahan


jurusku dalam waktu sesingkat ini...," gumam Pendekar
Rajawali Sakti dalam hati.

"Aaa...!"

"Heh?!" Rangga terkejut begitu mendengar teriakan


menyayat. Ketika menoleh dia melihat Panjalu tertusuk
pedang sampai tembus ke punggung. Ketika dicabut darah
menyembur dari bekas lukanya. Keempat orang Cina itu,
menerjang kembali pada Wismoyo yang sudah kewalahan.
"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"

Werrr...!

Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan


kedua tangannya mengirimkan aji 'Bayu Bajra'. Angin keras
bergulung-gulung kontan menerjang keempat pengeroyok
Wismoyo.

Tak ampun lagi, mereka berpelantingan dengan tubuh


hancur tidak karuan. Wismono sendiri sampai mendecah
kagum melihat kesaktian teman seperjalanannya yang tidak
disangka memiliki kepandaian begitu luar biasa. Namun tak
lama Wismoyo ambruk terduduk, saking lemas dan banyak
mengeluarkan darah.

Sementara melihat kematian anak buahnya Tabib Kwe Ceng


Kian jadi ciut nyalinya. Cepat dia berbalik dan mengambil
jurus langkah seribu.

Namun Rangga telah membaca niat tabib itu. Cepat


tubuhnya berkelebat, menghadang di depannya. Mau tidak
mau tabib itu nekat. Diserangnya Rangga penuh kemarahan.

"Haaat!"

Rangga berkelit-kelit indah, menggunakan gabungan jurus


lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tiba-tiba
tangannya terjulur ke wajah, begitu cepat sekali. Dan...

Bret!

"Aaakh...!"
Rangga berhasil menyambar wajah tabib itu. Ternyata wajah
Tabib Kwe Ceng Kian menggunakan topeng karet. Tampak
wajahnya yang masih muda dengan mata sipit. Rangga
semakin yakin dengan dugaannya kalau Tabib Kwe Ceng
Kian adalah tokoh persilatan dari daratan Cina. Melihat ini,
Rangga teringat kata-kata Rara Wulan, tentang orang yang
telah mencuri pedang pusaka miliknya.

"Hm.... Kau pasti yang berjuluk si Kuda Terbang. ..!" gumam


Rangga penuh tekanan.

"Hei...?! Dari mana kau tahu julukanku? Siapakah kau


sebenarnya...?" tanya Tabib Kwe Ceng Kian.

"Aku Rangga.... Aku tahu nama dan julukanmu dari seorang


wanita berpakaian serba hijau yang telah kau curi pedang
pusakanya...," sahut Rangga, bersiap-siap.

Merasa tidak ada gunanya lari, Kwe Ceng Kian mencabut


pedang pusaka miliknya sendiri yang ternyata juga
bergagang kepala burung. Lalu dengan sekuat tenaga dan
kemampuan, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengerahkan jurus


gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Sehingga tubuhnya bisa menghindar, sekaligus melepas
serangan.

"Hm.... Aku tidak perlu berlama-lama...," pikir Rangga.


"Yeaaa...!" Saat itu juga, Rangga melesat ke atas dengan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

"Hiaaat..!" Kwe Ceng Kian tak mau kalah. Pedangnya


langsung dikebutkan dengan cepat.
Dalam kemarahannya, Rangga mengerahkan tenaga dalam
tingkat tinggi. Cepat dipapaknya sabetan pedang itu dengan
tangannya.

Tak!

Pedang Kwe Ceng Kian kontan putus. Pada saat yang sama,
Pendekar Rajawali Sakti telah merubah jurusnya menjadi
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Tangannya terus
berkelebat sambil meluruk deras. Dan....

"Aaa...!" Telak sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali


Sakti yang membentuk paruh menghantam kepala Kwe
Ceng Kian hingga pecah. Tokoh persilatan dari Cina itu
kontan ambruk, bergelimang darahnya sendiri. Tongkat
bambu di tangan kirinya masih tergenggam. Sedang toya
biru masih terselip di pinggang.

Rangga menatap Kwe Ceng Kian yang masih kelojotan, lalu


menghampirinya. Diambilnya tongkat bambu itu, dan
dihantamnya kuat-kuat.

Prak!

Begitu bambu terbelah, tampak Pedang Pusaka Rajawali


Sakti yang bersinar biru berkilauan ada di dalamnya.
Dengan perasaan lega disimpannya pedang itu dan
disampirkan pada punggungnya.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: PENGHUNI KUIL EMAS


Pendekar Rajawali Sakti

0 3 0 0 0

) Previous Next (
Geger Di Telaga Warna Penghuni Kuil Emas

COPYRIGHT © 2020 · SONNY OGAWA ALL RIGHT RESERVED

Anda mungkin juga menyukai