Anda di halaman 1dari 160

IMM AUTENTIK

Melacak Autentisitas dan Substansi Gerakan


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Oleh:
Ahmad Sholeh
Ketua Umum PC IMM Jakarta Timur 2015-2016

Prolog: Epilog:
Amirullah Muhammad Abdul Halim Sani
Ketua Bidang Kaderisasi Sekretaris Bidang Kaderisasi
DPP IMM 2016-2018 DPP IMM 2008-2010

i
IMM AUTENTIK
Melacak Autentisitas dan Substansi Gerakan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah
Copyright ©Ahmad Sholeh
ISBN 978-602-6851-69-7

Cetakan I, April 2017

Tata Letak:
Mhd Iqbal

Desain Sampul:
Gandring AS.

Penerbit
PUSTAKA SAGA
Jl. Gubeng Kertajaya VE No. 12
Surabaya 60281
Email: saga.penerbit@gmail.com
HP: 085655396657

Sumber Gambar Sampul: The Huffington Post

Diterbitkan atas kerja sama:


Ulul Al-Bab Institute dan PC IMM Jakarta Timur

Buku ini dilindungi Pasal 113 UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari
penerbit.

ii
SINOPSIS

GERAKAN intelektual tidaklah lengkap tanpa adanya perbuatan


(action). Action adalah syarat utama, dalam meraih suatu perubahan,
meskipun tentunya ditopang oleh gagasan-gagasan progresif dan
mencerahkan. Sebagai intelektual, IMM tidak hanya berhenti di
mendialogkan gagasan saja. Melainkan, mengupayakan
perwujudannya. Dalam merespons realitas, kader IMM memiliki bekal
fondasi teologis (Al-Quran dan sunah) serta fondasi teoritis (logis,
reflektif, metodis), yang sejalan dengan kebutuhan zaman. Hal tersebut
tidak hanya menjadi bangunan menara gading yang dengannya kita
dapat melihat secara luas gap antara si kaya dan si miskin, pemerintah
dan rakyat jelata, borjuis dan proletar. Tapi juga IMM mampu
menghasilkan ‘sesuatu’ alias produk intelektualnya. Baik itu berupa
gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan dakwah mencerahkan,
gerakan edukasi, dan lainnya. Itulah bentuk nyata dari dialektika yang
dilakukan IMM. Agar pemahaman setiap kader mengkristal menjadi
sebuah pengamalan.
Maka, agenda-agenda mengaksikan slogan IMM adalah
sebuah konsekuensi logis untuk mewujudkan cita-cita besar IMM.
Dengan spirit mengaksikan slogan, serta senantiasa berupaya dan
berorientasi kepada kristalisasi ideologi kader, yang tidak hanya
sampai di tataran pemahaman, tapi sampai ke pengamalan dan
kemudian menjadi pengalaman, IMM kemudian akan hadir dengan
wajah yang memasyarakat, sederhana, dan mudah berbaur dengan
realitas. Sebagai modal dasar membangun gerakan yang memiliki daya
jual di masyarakat sekitar.

iii
PRAKATA PENULIS

Bismillahirrahmanirrahiim.
WACANA gerakan dalam tubuh IMM sendiri tidaklah menjadi suatu
hal yang tabu. Ragam gagasan dan pemikiran yang berkembang di
dalamnya menjadi potensi besar bagaimana IMM mampu membangun
gerakannya lebih masif dan membumi. Terlebih, di usianya yang
sudah 53 tahun ini, IMM semakin menghadapi persoalan yang harus
disikapi dengan bijak dan kritis. Entah itu urusan politik praktis yang
menjangkiti kadernya, permasalahan sosial, ekologi, dan budaya yang
mendera masyarakat di sekitarnya.
Sebagai kaum muda Muhammadiyah, IMM diharapkan
mampu menjadi prototipe gerakan mahasiswa yang ideal. Ideal dalam
hal gerakan dan kaderisasi. Berbagai gagasan dan ide-ide gerakan
baru, muncul mengemuka dalam berbagai ekspresi. Yang kadang
(kebanyakan saat ini) lebih bersifat jangka pendek, seremonial, dan
minim refleksi.
Untuk itu, IMM kemudian perlu melakukan tajdid dan
purifikasi, sebagai tradisi gerakan. Tajdid dalam hal ini dengan
menghadirkan wacana-wacana dan gerakan yang aktual, kreatif, dan
mencerahkan. Dan, purifikasi dengan upaya pemurnian ide-ide
gerakan (pengembalian) kepada nilai-nilai IMM dan cita-cita luhur
kemanusiaan yang digelorakan Kiai Ahmad Dahlan satu abad silam.
Dengan usia yang tidak lagi muda, IMM mesti terus bergeliat dan
berdiri di garda terdepan menebarkan spirit mencintai keadilan,
kemanusiaan, dan menentang kesewenang-wenangan. Hadirnya
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik yang ditulis Abdul Halim Sani dan
IMM untuk Kemanusiaan karya Amirullah (Kabid Kaderisasi DPP IMM),
seolah kembali menegaskan bahwa sejatinya wujud keberpihakan
kepada kemanusiaan dimulai sejak dari nalar (ide, pikiran, gagasan),
kemudian diturunkan ke dalam perbuatan (action). Yang kemudian

iv
dimaknai dalam gerakan kesadaran kolektif sebagai sebuah paradigm
gerakan.
Spirit itu yang kemudian menjadi dorongan bagi saya untuk
menuliskan rentetan ide, gagasan, dan renungan, yang mungkin saja
bisa menjadi tawaran bagi IMM, dan kaum muda Muhammadiyah
pada umumnya. Dengan harapan bisa menemukan kembali
autentisitas (kemurnian) dan substansi gerakan IMM. Yang tentunya
perlu digali dan dipahami, untuk kemudian dihayati dan dijadikan
landasan bergerak.
***
IMM Autentik tidaklah dimaknai sebagai sebuah klaim, bukan
pula menjadi sebuah vonis bahwa ada sebagian kader IMM karbidan
(yang menjadikan IMM sebagai batu loncatan). Namun, lebih kepada
upaya untuk mengembalikan IMM kepada khittah dan muruah
perjuangan IMM, yang sejatinya diabdikan untuk kepentingan rakyat,
agama, dan bangsa. Buku ini merupakan manifestasi kegalauan dan
respons saya terhadap situasi yang terjadi di dalam tubuh IMM.
Sekaligus menjadi perenungan terhadap cita-cita gerakan IMM yang
termaktub dalam konstitusi (AD/ART). Karena itu pula, kemudian
saya lampirkan deklarasi yang ada di dalam berbagai literasi IMM, di
antaranya, Tanfidz Muktamar IMM, SPI, Tri Kompetensi Dasar (DPP
IMM), Genealogi Kaum Merah (Makhrus Ahmadi & Aminuddin), dan
Kelahiran yang Dipersoalkan (Farid Fathoni).
Tulisan yang terdapat di dalam buku ini juga merupakan artikel-artikel
yang sempat saya tulis semenjak masih mengurus komisariat (tahun
2012), di PK IMM FKIP UHAMKA. Tulisan dalam buku ini sebagian
sempat saya terbitkan di berbagai media, seperti Republika.co.id,
majalah Manifesto Ikatan (PC IMM Jaktim), dan blog pribadi Sastra
Jingga: ashshaleh.wordpress.com. Dan sebagian tulisan yang khususon
saya tulis untuk buku ini.

v
Dengan kehadiran IMM Autentik saya harap bisa menjadi motivasi
untuk menghadirkan kelompok-kelompok minoritas kreatif (creative
minority) yang memiliki ide, pikiran, dan tawaran yang solutif di
tengah-tengah kehidupan. Serta merawat intelektualitas di kalangan
mahasiswa, wabilkhusus IMM, yang sejatinya memiliki tanggung jawab
moral terhadap kehidupan dan kemanusiaan.
***
Syahdan, di pengujung masa bakti saya sebagai ketua umum
IMM Jakarta Timur, buku ini saya persembahkan kepada segenap
kader IMM di mana pun berada. Dan agar bisa dikritisi, lebih baik lagi
dibantah dengan karya serupa.
Selanjutnya, saya ingin menghaturkan terima kasih atas
kesempatan untuk belajar bersama, kepada seluruh kader IMM Jaktim,
jajaran pimpinan di IMM Cabang Jaktim, ortom/AMM Jaktim, DPD
IMM DKI Jakarta, PK IMM FKIP-FEB-FFS UHAMKA, dan seluruh
alumni IMM Jaktim. Juga kepada PDM Jaktim, PCM Pasar Rebo, dan
FKIP UHAMKA.
Tak lupa pula saya haturkan terima kasih kepada kakanda
Amirullah dan Mas Sani yang berkenan memberikan prolog dan
epilognya. Kepada Mas Makhrus, Ari Susanto, Fuad Fahmi Hasan
yang telah menyempatkan mengapresiasi dan memberikan masukan.
Juga kepada Ulul al-Bab Institute yang senantiasa meluangkan waktu
untuk sekadar begadang, ngopi, dan sharing di kosan tercinta.
Semoga buku ini bisa membawa manfaat bagi siapa pun yang
membacanya. Adapun kekurangan di sana sini dalam buku ini semoga
bisa dimaklumi. Selamat Membaca. Fastabiqul khairaat!

Tanah Merdeka, Pengujung Maret 2017


Ahmad Sholeh

vi
DAFTAR ISI

Sinopsis ............................................................................................... iii


Prakata Penulis ................................................................................. iv
Daftar Isi ............................................................................................ vii

Prolog: Amirullah – IMM Autentik; Antara Tarikan Substantivitas


dan Simbolitas .................................................................................. 1

BAGIAN 1 - RELFLEKSI GERAKAN IMM – MUHAMMADIYAH

53 Tahun IMM; Kembali ke Khittah Perjuangan ......................... 15


Refleksi 52 Tahun; Tradisi Intelektual IMM ................................. 19
Infiltrasi Semangat Sufistik dalam Gerakan IMM ....................... 26
Gerakan Literasi di Kalangan Kaum Muda
Muhammadiyah ............................................................................... 31
Autentisitas Gerakan Muhammadiyah ......................................... 36
Tradisi Intelektual Ala Ki Bagus ..................................................... 43
Ikhitiar Berkemajuan Abad Kedua; Refleksi 104 Tahun
Muhammadiyah ............................................................................... 46

BAGIAN 2 - AUTENTISITAS IMM (ONTOLOGI KE AKSIOLOGI)

Nalar Ber-IMM ................................................................................. 55


Profil Kader; Sebuah Pengamalan Terhadap Nilai ..................... 62
Teologi Al-Maun dan Semangat Keberpihakan IMM ................. 71
IMM; Gerakan Intelektual Profetik ................................................ 78
IMM untuk Kemanusiaan Universal ............................................. 85
IMM dan Jihad Politik Berbasis Kesadaran Kritis …….. ............... 91
Immawati dalam Tren Kekinian .................................................... 103

vii
Epilog
M Abdul Halim Sani – Epistemologi Ikatan; Autentifikasi Gerakan
Intelektual Ikatan……………………………………………… 111
Lampiran ........................................................................................... 137
Bibliografi .......................................................................................... 147
Profil Penulis ..................................................................................... 150

viii
PROLOG

1
Setiap kelompok sosial mempunyai tipe sekolahnya
sendiri-sendiri, yang bertujuan melestarikan fungsi
tradisional tertentu, menguasai atau dikuasai…” -
Antonio Gramschi

2
IMM AUTENTIK;
ANTARA TARIKAN SUBTANTIVITAS DAN SIMBOLITAS
Oleh: Amirullah
Ketua Bidang Kader DPP IMM Periode 2016-2018

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan/masa depan) mereka.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
QS an-Nisa ayat 9

“Kalau ada orang yang mengatakan kurang tajdidnya Muhammadiyah, maka


yang bertanggung jawab adalah IMM.”
Haedar Nasir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)

IKATAN Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang lahir tahun 1964


lalu akan selalu menarik untuk dikaji, bahkan semenarik
Muhammadiyah yang menjadi objek diskursus banyak kala-ngan
peneliti dan intelektual pada umumnya. Tanpa hendak berniat claim of
truth, IMM memiliki posisi yang sangat strategis bahkan core bagi
determinasi gerakan Muhammad-iyah saat ini dan di abad-abad
mendatang. Mengapa? Karena IMM merupakan anak “intelektual”
Muhammadiyah. Ini pula yang menjadi satu-satunya alasan
fundamental mengapa IMM lahir di pangkuan Muhammadiyah dan
berada di perut Bumi Pertiwi ini, tiada lain karena alasan
intelektualisme. Jika bukan karena alasan ini, sangat mungkin IMM
tidak pernah ada dalam dinamika keumatan, kebangsaan, dan
kemanusiaan dalam rentang waktu 52 tahun hingga saat ini.
Salah satu tokoh sentral pendiri IMM, yakni IMMawan
Djazman al-Kindi, di berbagai kesempatan mewanti-wanti untuk

3
menegaskan posisi atau domain gerakan IMM. Pada 1989, dalam
bukunya, Muhammadiyah Peran Kader dan Pembinaannya, Pak Djazman
telah secara spesifik dan mempertegas membagi domain gerakan di
kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) atau ortom
Muhammadiyah. Kata Pak Djazman, untuk Pemuda Muhammadiyah
fokus gerakannya dititikberatkan untuk pengembangan potensi
kemasyarakatan, kemudian Nasyiatul Aisyiah dititikberatkan untuk
pengembangan potensi kerumahtanggaan dan kemasya-rakatan,
sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dititikberatkan
dan fokus gerakannya untuk pengembangan potensi intelektual,
demikian dengan Ikatan Pelajar Muham-madiyah dititikberatkan
untuk pengembangan potensi ideologis.1 Pemetaan oleh Pak Djazman
ini memang sangat urgen, supaya terbangun titik fokus gerakan di
masing-masing level ortom. Sebab, tanpa titik fokus gerakan, bukan
tidak mungkin organisasi AMM akan mengalami kebingungan dan
bahkan terjadi tumpang tindih.
Jika dilihat pemetaan Pak Djazman di atas, IMM diletakkan
dan dibebankan untuk fokus menggarap gerakan yang merupakan titik
inti dari masa depan Muhammadiyah dan bangsa. Sebab, nadinya
Muhammadiyah ada pada gerakan tajdid (pembaruan), gerakan
progresif (senantiasa melihat ke depan), dan gerakan yang
berkemajuan. Gerakan-gerakan ini sangat ditentukan oleh human
resource kader-kader Muhammadiyah, khususnya kader-kader muda
yang merupakan penentu dan pemilik sah masa depan
Muhammadiyah. Dengan perkataan lain, IMM sebagai laboratorium
intelektualnya Muhammadiyah memiliki peran yang sangat signifikan
bagi semarak dan hidupnya spirit tajdid, progresivitas, dan masifikasi
Islam berkemajuan di tengah kehidupan keumatan, kebangsaan, dan

1
Selengkapnya lihat Mohamad Djazman Al-Kindi, Muhammadiyah Peran
Kader dan Pembinaannya, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
1989), 82.

4
kemanusiaan. Jika tidak, autentisitas dan substantivitas keberadaan
IMM akan dipertanyakan, untuk tidak menyebutnya akan digugat.
Pemikiran tajdid dan gerakan pencerahan yang memajukan
merupakan agenda Muhammadiyah yang sudah menyejarah dan
harus terus digalakkan, apalagi di tengah kompleksitas problematika
umat dan bangsa saat ini. Untuk menyemarakikan gerakan pencerahan
tentu saja diperlukan pasukan-pasukan intelektual yang memiliki
semangat ideologis, memiliki kesadaran sosial yang tinggi, dan
semangat berpikir ke depan. Tanpa pasukan-pasukan intelektual
model ini, bukan tidak mungkin spirit tajdid dan gerakan pencerahan
di tubuh Muhammadiyah hanya tinggal papan nama yang ditempel di
gedung-gedung amal usaha Muhammadiyah.
Apalagi, ada kecenderungan amal usaha Muhammadiyah
dijadikan tempat yang empuk untuk rebutan kue-kue basah yang
menggiurkan. Dalam konteks inilah para pimpinan Muham-madiyah
harus menyadari bahwa banyaknya amal usaha haruslah diimbangi
dengan peningkatan kualitas kader yang punya cita rasa
“Muhammadiyyun”. Jika tidak, semangat dakwah tajdid, dan gerakan
pencerahan dengan spirit Islam berkemajuan hanya wacana di
kalangan elit, tapi nihil di bawah. Pada akhirnya, pelan-pelan mulai
mengecil, terkubur, dan dimakan zaman. Dan jika hal ini terjadi,
khawatirnya Muhammadiyah bermetamorfosis menjadi organisasi
bisnis yang bangga dengan perusahaan pendidikan, perusahaan rumah
sakit, dan usaha-usaha lainnya, tapi dinamisasi tajdid keislamannya
mengalami krisis yang terus mengeruncing.
Sesungguhnya tajdidasi dan moderasi Islam atau klaim
modernis di tubuh Muhammadiyah sudah banyak menuai kritik dari
banyak kalangan. Bahkan tidak jarang mempertanyakan
keabsahannya. Sebagai contoh kritik ini muncul dari Azyumardi Azra
dan Muzamil Qomar. Menurut Azyumardi Azra, pengelompokan
berdasarkan tipologi modernis dan tradisional, yang diwakili

5
Muhammadiyah dan NU, kini seolah-olah tidak relevan lagi. Menurut
dia, bila diamati secara lebih teliti, NU dalam penilaian Azra justru
sering terkesan menampilkan sikap “modernis” dan sebaliknya
Muhammadiyah malah terlihat “tradisionalis”. Hal serupa
disampaikan juga oleh Mujamil Qomar, guru besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dengan mengatakan, “bila Muhammadiyah
dikategorikan modernis, itu sebenarnya dilihat dari aspek sosial
pendidikan, tetapi dilihat dari perkembangan peta pemikiran
keagamaan akhir-akhir ini, agaknya citra modernis itu lebih memihak
pada NU.”2 Pandangan-pandangan yang bernada kritikal ini patut
untuk direnungkan sebagai bahan refleksi, meskipun standardisasi
modernis dan tradisionalis masih bisa diperdebatkan.
Sebagai anak intelektual Muhammadiyah, di tengah kritik-
kritik yang bermunculan, IMM melalui kader-kadernya harus kembali
mempertegas jati dirinya yang autentik. Apa sesungguhnya hakikat
keberadaan IMM bagi Muhammadiyah, umat, bangsa, dan
kemanusiaan? Di atas, penulis sudah tegaskan bahwa IMM lahir,
berkembang, bertahan, dan mengarungi masa depannya semata-mata
karena alasan intelektualisme. Intelektualisme menjadi faktor kunci
keberadaan IMM, dan oleh karenanya, ini harus dibuktikan oleh kader-
kadernya.
Apalagi, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 lalu, ke
depan ini Muhammadiyah akan menggalakkan gerakan keilmuan
melalui rekomendasinya, “gerakan membangun masyarakat dengan
ilmu”. Muhammadiyah menilai budaya ilmu di Indonesia masih
rendah dan menjadi sebuah masalah yang serius bagi bangsa.
Muhammadiyah juga memandang bangsa Indonesia perlu
membangun keunggulan dengan mengem-bangkan masyarakat ilmiah
melalui budaya baca, menulis, berpikir rasional, bertindak strategis,

2
Selengkapnya lihat Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2012), 65.

6
bekerja efisien, dan menggunakan teknologi untuk hal positif dan
produktif.3 Di sinilah posisi IMM akan diuji, sebagai anak intelektual
Muhammadiyah. Mampukah kader-kader IMM mengambil peran
besar membantu Muhammadiyah dan bangsa memba-ngun
masyarakat dengan ilmu?
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir ketika
mengomentari rekomendasi Muhammadiyah yang mengusulkan
gerakan membangun masyarakat dengan ilmu, dalam suatu
kesempatan beliau mengatakan “Muhammadiyah membangun
masyarakat ilmu. Ya, IMM-lah pelopornya”. Lebih lanjut Haedar Nasir
menegaskan, “Kalau ada orang yang mengatakan kurang tajdidnya
Muhammadiyah, maka yang bertanggung jawab adalah IMM”.4
Penegasan dari Pak Haedar ini bukan tanpa alasan, seperti yang
penulis katakan bahwa intellectual movement sudah menjadi tugas
sejarah bagi kader IMM. Dan tugas sejarah ini tidak boleh melemah,
apalagi berhenti. Harus terus digalakkan, disemarakan, dan
diaktualisasikan karena umat menuntut bukti.
Kader-kader IMM harus melepaskan diri dari “romantisme”
berlebihan terhadap simbol-simbol IMM, tapi nihil penjiwaan. Letupan
dan teriakkan “IMM Jaya, Jaya IMM”, hanya “tong kosong nyaring
bunyinya” Jika tidak diiringi dengan semangat pembuktian terhadap
nilai-nilai ke-IMM-an dalam dimensi-dimensi keseluruhannya. IMM
akan jaya jika kader-kadernya menjadi kader yang jaya, kader yang
menjiwai setiap simbol dan prinsip-prinsip IMM. Dengan perkataan
lain, tidak perlu pusing dan harus sakit-sakitan untuk berteriak IMM
Jaya, yakin dan pasti, IMM akan jaya dan dirasakan kehadirannya di

3
Lihat rekomendasi hasil Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar.
4
Disampaikan pada saat silaturrahim DPP IMM dengan PP Muhammadiyah
pada Tanggal 8 Oktober 2015 di gedung PP Muhammadiyah Jakarta. Lihat
Amirullah, IMM untuk Kemanusiaan dari Nalar ke Aksi, (Jakarta: Mediatama
Indonesia, 2016)

7
tengah-tengah derita umat dan bangsa jika kader-kadernya menjiwai,
membuktikan identitas, dan mengaktualisasikan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip fundamental IMM dan kemudian menjayakan dirinya.
Dengan begitu, IMM akan bermartabat, berjaya, dan bermanfaat untuk
persyarikatan, umat, bangsa, dan kemanusiaan.
Lalu, apa nilai-nilai, identitas, atau prinsip-prinsip
fundamental IMM itu? Untuk tidak menjelaskan semuanya, penulis
akan mengutarakan dua hal fundamental yang menjadi core dari esensi
dan eksistensi IMM (kader IMM). Pertama, IMM sebagai gerakan
intelektual, dan Kedua, IMM sebagai gerakan akhlak. Dua hal ini
sesungguhnya mewakili keseluruhan konsep-konsep IMM yang ada.
Baik itu Enam Penegasan, Tujuan IMM, Tri Kompetensi Dasar, Nilai
Dasar Ikatan, Profil Kader, dan lain-lainnya.

Pertama, IMM sebagai gerakan intelektual. Setidaknya sebagai


gerakan intelektual, kader IMM harus menjunjung tinggi empat hal
penting yang mengitarinya, yakni menjunjung tinggi budaya membaca
(read and understand), menjunjung tinggi budaya berdiskusi (discuss),

8
menjunjung tinggi tradisi menulis (write), dan menyemarakkan budaya
meneliti (search and research). Empat hal ini merupakan nadi atau
nyawanya kader IMM sebagai gerakan intelektual. Dengan berbagai
ekspresi, varian, dan model gerakanya, empat pilar ini harus dijunjung
tinggi oleh kader IMM di masing-masing level pimpinan.
Jika empat pilar di atas melemah, tidak dipedulikan, terjadi
turbulensi, apalagi nyaris hilang di ruang aktivitas dan dinamika
berorganisasi kader IMM. Maka, mudah ditebak dan bisa dipastikan,
IMM akan menjadi organisasi pinggiran, organisasi yang akhirnya
berubah menjadi tempat keluh-kesah, organisasi la yamuutu wala yahya,
organisasi yang dikutuk sejarah karena gagal memenuhi janjinya, gagal
membuktikan kepada umat yang tidak sabar menuntut bukti.
Singkatnya, jika IMM sebagai gerakan intelektual tidak sema-rakkan,
digalakkan, dan dimasifkan oleh kader-kadernya, maka siap-siap kita
temukan IMM terkapar tidak berdaya dihukum zaman.
Kedua, IMM sebagai gerakan akhlak. Sebagaimana cita-cita
awalnya, IMM lahir di rahim Muhammadiyah adalah untuk
menjalankan visi perbaikan akhlak di kalangan masyarakat kampus
(mahasiswa). Semangat historisitas ini tidak boleh bergeser apalagi
berubah, bahwa IMM merupakan kekuatan moral bangsa, IMM
merupakan pundi-pundi integritas bangsa, IMM merupakan
laboratorium pendidikan karakter bagi mahasiswa di berbagai kampus
di pelosok Bumi Pertiwi ini. Ini pula yang ditegaskan dalam tujuan
IMM yang selama rentang waktu 52 tahun tidak berubah dan tidak
akan pernah berubah substansinya bahwa IMM lahir dan ada untuk
mengusahakan terbentuknya akademisi (intelektual) Islam yang
berakhlak mulia.
Ini yang tidak boleh dilupakan dan harus dijiwai oleh setiap
kader-kader IMM bahwa esensi dan eksistensi IMM ada di perut Bumi
Pertiwi ini dalam rangka mengemban visi profetik (perbaikan akhlak),
khususnya di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, penguatan nilai-

9
nilai moralitas, etik, dan akhlak di kalangan kader ikatan harus terus
dikuatkan. Tentunya dengan penjiwaan terhadap ajaran Islam
sebagaimana paham keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah
atau pedoman akhlak warga Muhammadiyah. Penjiwaan nilai-nilai
dan akhlak Islam perlu saling menguatkan, saling mendukung, saling
mengingatkan, saling menasihati, saling menegur dalam cinta dan
kasih sayang, saling mengajak pada kebaikan dengan penuh cinta dan
kepedulian, dan saling mengerti tanpa ada paksaan apalagi hinaan dan
diskriminasi, karena pada hakikat-nya kebaikan (akhlak) itu perlu
proses yang tulus. Di sinilah hakikat kekeluargaan, hakikat kita
berorganisasi, dan hakikat kita ber-IMM. Kita ber-IMM adalah
jembatan untuk sebuah proses pematangan diri dan kekeluargaan yang
penuh kasih dalam suasana cinta yang diikat dalam ikrar “Ikatan”
Mahasiswa Muhammadiyah.
Apa yang penulis deskripsikan di atas menurut hemat penulis
merupakan kesejatian kita ber- IMM. Autentisitas IMM itu ada pada
dua hal di atas, yakni IMM sebagai gerakan intelektual, dan IMM
sebagai gerakan akhlak. Meskipun pada tataran realitasnya, kita tentu
banyak menemukan tarikan antara substantivitas dan simbolitas. Bagi
penulis, simbolitas itu penting, tetapi dia harus sejalan, harus
berbarengan dan berkelindan dengan substantivitas. Inilah ke depan,
saatnya kita kader-kader IMM mengedepankan dan membuktikan
substantivitas IMM tanpa melupakan aspek simbolitas IMM.
Tulisan adinda Ahmad Sholeh, yang diberi judul “IMM
Autentik: Melacak Autentisitas dan Substansi Gerakan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah” ini merupakan serpihan-serpihan pemikiran reflektif
yang bermakna. Sebuah refleksi kritikal yang bernada gugatan
intelektual ini setidaknya menggambarkan secara garis besar hasil
penggalian intelektual dengan sebuah pertanyaan filosofis yang
mendasar, apa arti sesungguhnya dari kelahiran IMM? Apa esensi dan
eksistensi IMM di tengah kehidupan persyarikatan, umat, bangsa, dan

10
kemanu-siaan? Bagaimana seharusnya IMM bergerak? Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan ini akan membuka tabir bening tentang
autentisitas IMM. Dan oleh karenanya, refleksi-reflesi dalam buku ini
penting untuk dibaca kader IMM se-Indonesia untuk menyegarkan
nalar ber-IMM IMMawan dan IMMawati dan sebagai bahan diskusi
lebih lanjut. Wallahu’alam.[]

11
12
Bagian 1
Refleksi Gerakan IMM – Muhammadiyah

13
“Al-qur’an telah jelas menyebut karakter ini dengan istilah ‘Ulul
Albab‘. Karakter ini hanya dimiliki oleh mereka yang terbuka terhadap
berbagai pandangan dan pemikiran. Orang berkarakter ulul albab akan
menyeleksi berbagai pandangan dan pemikiran yang menurutnya
terbaik,” Haedar Nashir.

14
53 TAHUN IMM;
KEMBALI KE KHITTAH PERJUANGAN5

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru


kepada makruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada
Allah.”
QS Ali Imran 110

REALITAS keumatan hari ini terasa semakin memprihatinkan dan


memilukan. Selain persoalan kesenjangan dan ketimpangan sosial
yang masih amat kentara. Benturan dengan persoalan kepanikan
menghadapi pilkada, dengan munculnya kasus penistaan agama,
penistaan Pancasila, dan sebagainya pun semakin menunjukkan siapa
yang hendak memakan siapa. Apalagi, umat juga harus kembali didera
dengan kasus megakorupsi proyek KTP elektronik, yang merugikan
negara hingga Rp 2,3 triliun.
Tentu, hal itu menjadi bahan renungan dan refleksi bahwa
sesungguhnya generasi mudalah yang harus bersiap menempa diri.
Untuk kemudian berjibaku membangun sendi-sendi bangsa yang lebih
kuat dan kukuh. Untuk lebih jujur dan tulus membangun negeri. Hal
itu juga berkaitan dengan peran kaum muda yang seyogianya mampu
memfilter perilaku-perilaku merugikan di tengah masyarakat.
Begitulah kira-kira. Sehingga kemudian kaum muda yang menjadi
tumpuan harapan bangsa Indonesia ke depan untuk menjadi lebih
baik.
Dalam kolom “Opini” harian Republika edisi Rabu (15/2),
dimuat tulisan yang diberi tajuk “IMM, Politik, dan Peradaban” oleh
Benni Setiawan, anggota MPK PP Muhammadiyah. Dalam tulisan itu,
penulis mengajak kader IMM untuk melek (atau setidaknya tidak
alergi) terhadap politik praktis (real politic). Yang pada dasarnya,

15
mengajak kader IMM untuk menyiapkan diri dengan nilai-nilai luhur
untuk menggempur sistem politik yang semakin transaksionis,
pragmatis, dan curang.
Namun, apakah tolok ukur keberhasilan membangun bangsa
dapat diukur dengan hanya ketika menjadi pejabat publik? Tentu
tidak. Membangun bangsa bukanlah perkara perebutan kekuasaan
atau politik praktis belaka. Itu hanya salah satu jalan mewujudkan cita-
cita bangsa. Entah apakah ini kemudian menjadi bentuk kealergian
terhadap politik? Kita memerlukan pandangan yang lebih arif untuk
memaknai politik sebagai dakwah bil siyasah.
Dalam Khittah Denpasar (2002) yang berisi khittah
Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara disebutkan bahwa
“Peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan
melalui dua strategi dan lapangan perjuangan”. Pertama, melalui
politik yang berorientasi kekuasaan/kenegaraan (real politics). Kedua,
melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan
atau pemberdayaan masyarakat.
Kegiatan kemasyarakatan dalam hal ini juga termasuk dalam
kegiatan high politics, yang secara tidak langsung, bisa memengaruhi
kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force). Hal ini bisa
dilihat dari kiprah Muhammadiyah, yang meski tanpa menjadi parpol
(atau berafiliasi dengan parpol) yang berorientasi kekuasaan, mampu
membangun kekuatan masyarakat yang cerdas dan mandiri.
Dalam khittah Denpasar, Muhammadiyah dengan sangat jelas
menegaskan memilih jalur pemberdayaan dan pembinaan masyarakat.
Hal itu sejalan dengan ciri khas dakwah amar makruf nahi mungkar
Muhammadiyah, yang berusaha mewujudkan masyarakat madani
(masyarakat Islam yang sebenar-benarnya), yang juga menjadi pilar
terwujudnya cita-cita negara yang baldatun thayibatun warabbun ghafur.

5
Dipublikasikan di Republika.co.id.

16
Artinya, baik pun itu melalui wujud pemberdayaan dan
pembinaan masyarakat maupun jalur politik kekuasaan keduanya
haruslah memiliki orientasi yang sama. Yakni mewujudkan cita-cita
kemanusiaan yang adil dan sejahtera, sebagaimana cita-cita
persyarikatan (Muhammadiyah) dan cita-cita luhur bangsa. Dengan
tetap memegang teguh nilai-nilai moral, kejujuran, ketulusan, dan
kesantunan.

Merawat Muruah Persyarikatan dan Bangsa


Bagi IMM, kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat seyogianya menjadi wujud pengamalan nilai-nilai
kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan. Nilai-nilai itu tersemat
dalam diri setiap kader menjadi kepribadian, karakter, dan perilaku
yang mampu merepresentasikan nilai-nilai Islam yang hanif dan
rahmat. Sehingga kehadiran kader IMM menjadi bagian dari inti
masyarakat.
Tentu, IMM sebagai organisasi dakwah, memiliki peran dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam dakwahnya, IMM
berpegang teguh kepada nilai-nilai moral. Baik itu dalam dakwah
keagamaan maupun kemasyarakatan, termasuk dalam urusan politik.
IMM tidak perlu berafiliasi dengan parpol atau terlibat dalam politik
praktis (lihat: Deklarasi Setengah Abad IMM – hasil Muktamar Solo)
untuk menjalankan misi dakwahnya. Karena, parpol ataupun politik
praktis (real politic) lebih berorientasi jangka pendek dan cenderung
memandang politik sebagai ajang perebutan kekuasaan. Sementara
IMM –sebagaimana Muhammadiyah-, memandang politik sebagai
ilmu, sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Yang
tentunya memiliki orientasi jangka panjang dan luas.
Lantas, bagaimana peran IMM dalam kehidupan politik
(wabilkhusus politik praktis)? Jelas sekali bahwa IMM sebagai organisasi
mahasiswa yang bercita-cita melahirkan akademisi Islam berakhlak

17
mulia, memiliki peran strategis. Peran itu dapat dilihat dari proses
penyemaian karakter kepemimpinan kader, dengan adanya profil
kader dan trikompetensi dasar (humanitas, intelektualitas, dan
religiositas). Singkat kata, secara etik, IMM (sebagai anak kandung
Muhammadiyah) memiliki tanggung jawab moral menyiapkan kader-
kader –secara individu- terbaik untuk mampu dan layak berkiprah di
mana pun –termasuk dunia politik (lihat: Agam, Noor Chozin. Islam
Berkemajuan Gaya Muhammadiyah. 2016).
Karakter cendekia yang dicita-citakan para pendiri IMM (lihat:
Nilai Dasar Ikatan), seharusnya mampu memberikan kontribusi positif
terhadap kepribadian dan perilaku kader. Dan hal itu perlu
direnungkan baik-baik. Kader IMM juga harus mau terlibat dalam
berbagai bidang kehidupan dan bergumul dengan masyarakat. Karena
itulah sejatinya wujud gerakan intelektual yang membumi dan
autentik, yakni berdiri sendiri dan berdasar pada kemurnian;
keikhlasan dan ketulusan. Selain itu, kader IMM juga dituntut untuk
mampu memfilter (dan sebisa mungkin menghilangkan) nalar
pragmatis dan oportunis yang dewasa ini menjangkiti kebanyakan
kaum muda.
Akhir kalam, di usianya yang ke-53 ini, IMM mesti kembali
memaknai tujuan awal dideklarasikannya, pada 14 Maret 1964 silam.
Yakni merawat muruah perjuangan persyarikatan, yang bergerak
dalam prinsip-prinsip etis dalam membina dan memberdayakan
masyarakat. Dan, IMM jangan tergoda untuk masuk ke jalan pasar –
meminjam istilah Abdul Halim Sani- yang bisa mengubah orientasi
gerakan menjadi serbapragmatis itu. Kemudian, sejatinya nalar
intelektual/cendekia yang dicita-citakan para pendiri IMM dihayati
dan diresapi. Untuk ke depannya IMM-lah yang bisa menentukan
kemajuan bangsa, agama, dan persyarikatan. Semoga di usia 53 tahun
ini, berkah rahmat Illahi selalu melimpahi perjuangan IMM. Fastabiqul
khairat![]

18
REFLEKSI 52 TAHUN;
TRADISI INTELEKTUAL IMM6

“Kita bicara tentang politik bukan semata-mata karena kita jurusan


ilmu politik… kita bicara tentang kehidupan sosial bukan semata-mata
karena kita seorang sosiolog… kita bicara hukum bukan karena
semata-mata kita jurusan hukum dan advokat… kita bicara tentang
ekonomi bukan semata-mata seorang ekonom… kita pandai
berkomunikasi dan menulis bukan semata-mata karena kita jurusan
komunikasi dan media… kita khotbah di atas mimbar menyerukan
kebenaran bukan karena semata-mata kiai dan ustaz… tapi kita sebagai
seorang intelektual… yang melawan setiap bentuk kolonialisasi dan
imperialisme demi memperjuangkan kebenaran, menginginkan
kedaulatan, keadilan, kesejahteraan, dan kemerdekaan hakiki.”
Amirullah – IMM untuk Kemanusiaan

LIMA puluh dua tahun sudah, kibar gelepar panji-panji perjuangan


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Sejak kelahirannya yang
dibidani oleh Djasman Al-Kindi dan kawan-kawan, pada 14 Maret
19647, dan sampai detik ini, IMM masih menunjukkan eksistensinya di
tengah kehidupan bermasyara-kat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan identitas sebagai gerakan intelektual, yang dimotori
oleh para akademisi; kader muda Muhammadiyah di seluruh pelosok
Nusantara, IMM telah mengukir coraknya sebagai gerakan intelektual
profetik (meminjam istilah Sani). Sebuah konsekuensi logis, karena
IMM hadir dan lahir untuk umat, bangsa, dan persyarikatan. Dan cita-

6
Diterbitkan di Manifesto Ikatan edisi perdana, Maret 2016.
7
Sejarah IMM secara lengkap tersaji dengan cukup apik dalam buku Kelahiran
yang Dipersoalkan yang ditulis Farid Fathoni. Selain itu juga dapat ditemui
dalam buku Melacak Jejak Kelahiran IMM yang ditulis Noor Chozin Agam dan

19
cita IMM bukanlah untuk mencapai kejayaan organisasi semata,
melainkan untuk kepentingan umat (rakyat). Kita patut bersyukur,
hingga detik ini perjuangan IMM masih dapat kita lanjutkan, sebagai
kader-kader pelopor, penggerak, pelangsung, dan penyempurna
amanah persyarikatan, umat, dan bangsa.
Lima puluh dua tahun sudah, kini momentum bagi kita;
segenap keluarga besar IMM, untuk sama-sama merefleksi dan
muhasabah diri. Tentang bagaimana semrawutnya wajah kita saat ini.
Dan, bagaimana perkembangan tradisi intelektual di dalam tubuh
ikatan saat ini.

Membangun Tradisi Intelektual; Perkuat Akar Gerakan


Tradisi intelektual adalah akar dari suatu gerakan. Dalam
artian sebagai pembangun dan pemerkuat landasan gerakan. Jika
tradisi ini luntur, maka pupuslah gerakan-gerakan yang kita
perjuangkan. Dan akan berujung kepada stagnasi gerakan.
Intelektual, seperti yang dikatakan Kuntowijoyo adalah orang yang
hidup dalam masyarakat dan meminjamkan pisau anali-sisnya kepada
masyarakat, agar mereka (masyarakat) bisa menghadapi problematika
dan merumuskan sendiri solusinya. Maka seyogianya, seorang
intelektual memiliki cakrawala keilmuan yang mumpuni, berpikir
yang logis dan ilmiah, serta memiliki keikhlasan untuk bermasyarakat,
guna menjawab setiap tantangan realitas.
Sejalan dengan itu, Sani dalam Manifesto Gerakan Intelektual
Profetik menjelaskan bahwa intelektual yang berbasis gerakan profetik,
bukan hanya melakukan tindakan protes terhadap kebijakan-kebijakan
para penguasa, tapi juga penting untuk melakukan pemberdayaan dan
pendampingan di bawah (masyarakat).

dalam buku Genealogi Kaum Merah buah karya Makhrus Ahmadi dan
Aminuddin Anwar.

20
Jika kita merujuk kepada tradisi intelektual yang dilakukan Ki
Bagus Hadikusumo semasa hidupnya, yaitu terbagi menjadi tiga hal,
membaca, menulis, dan dokumentasi. Hal yang patut kita teladani
adalah membaca buku. Dengan membaca buku kita dapat menangkap
informasi yang bisa kita telaah dan kontekstualisasikan ke dalam
menghadapi realitas kehidupan.
Selain itu, juga untuk memperkaya referensi keilmuan kita.
Agar pola pikir logis dan terbuka kisa tetap terjaga, serta mampu
menciptakan ide-ide dan wacana baru.
Dokumentasi dalam hal ini berkaitan dengan dunia literasi. Ide-ide
yang kita hasilkan dalam bentuk tulisan hendaknya tidak dibuang
begitu saja, tapi dikumpulkan menjadi satu dokumen, hal ini akan
menjadi warisan bagi generasi selanjut-nya. Catatlah apa yang kita
lakukan hari ini, agar generasi esok bisa membaca dan membenahi
kekurangan kita.
Tradisi intelektual tidaklah berhenti hanya pada dunia literasi.
Dunia literasi dalam kehidupan intelektual memang sangat penting,
tapi harus sampai pada tahap transformasi ide, tidak berhenti pada
wacana yang biasa dikatakan utopis dan mengawang-awang. Untuk
mewujudkan budaya intelektual sejati, harus sampai pada aksi
(tindakan/perbuatan) dan refleksi.
Daoed Joesoef dalam Pikiran dan Gagasan menjelaskan
karakteristik (ciri) seorang intelektual dalam enam poin. Yaitu: (1)
Seorang intelektual mempunyai komitmen terhadap gagasan (idea); (2)
Seorang intelektual ‘senang’ dan tidak pernah jemu membahas
gagasan; (3) Concern memikirkan dan mencari kaitan antara satu
bidang kehidupan (masalah) dan bidang kehidupan (masalah) lainnya;
(4) Selalu membuka diri untuk bertukar pikiran; (5) Berdiri sendiri
(independen); (6) Seorang intelektual punya komitmen moral yang

21
kuat, punya keprihatinan yang nyata terhadap nilai-nilai (budaya) inti
dari masyarakat.8
Maka, tradisi-tradisi intelektual, baca, tulis, dan diskusi, dapat
menjadi pupuk organik yang memperkuat dan menumbuh-suburkan
pohon ide dan gagasan kita, mulai dari akar sampai ke buahnya.
Namun, kemudian langkah praksis (action) dan gerakan yang akan
menentukan di mana sebenarnya posisi kita sebagai kaum intelektual.
Di menara gadingkah? Atau di tengah masyarakat. Tentunya ini menjadi
muhasabah kita bersama.
Dengan demikian, berikut penulis coba menjabarkan apa yang
dimaksud dengan tradisi intelektual dan bagaimana bangunan tradisi
tersebut bisa dibangun. Terutama dalam tubuh IMM. Mulai dari
fondasi sampai ke puncak gerakan yang dicita-citakan.

Membaca; Menangkap Rentetan Makna


Iqro’ sebagaimana kita ketahui adalah wahyu pertama yang
diturunkan kepada Muhammad SAW, yang pada waktu itu msih ummi
(belum bisa membaca aksara). Hingga beliau kemudian mengerahkan
tenaganya, sampai berkeringat dan gemetar. Begitu pula kita, sebagai
makhluk intelektual harus bisa membaca. Membaca dalam arti yang
luas, yakni membaca aksara tulisan (Al-Quran, hadis, dan teori-teori)
maupun aksa-ra realitas (kemiskinan, penindasan, kesewenang-
wenangan, dan sebagainya).
Sebagai bentuk penghambaan diri kita kepada Allah SWT yang
telah memberikan kita nikmat untuk bisa memaknai dan meresapi
setiap aksara baik tersirat maupun tersurat. Untuk kemudian
mengejanya menjadi ilmu dan kearifan tindak.
Membaca juga berarti meresapi makna dari setiap bacaan. Sebagai
kader IMM, sudah semestinya kita berteman dengan buku (agama,
sosial, sains, dan lainnya). Sehingga, membaca dalam konteks ini dapat

8
Daoed Joesoef, Pikiran dan Gagasan, (Kompas: Jakarta), hlm. 289-292

22
dijadikan kebutuhan mendasar. Yang dengan membacalah kita bisa
mengisi kekosongan otak dan hati kita. “Mari kita ngosong, biar gampang
ngisi” (kata Mbah Sujiwo Tejo). Intelektual dikenal dengan gerakan-
gerakan reflektif dan proaktifnya. Tentu hal itu tidaklah terlepas dari
berbagai referensi teoritis, metodis, maupun praktis yang berguna
sebagai pupuk bagi ide-ide di kepala kita. Maka, untuk memperkuat
bangunan tradisi gerakan, kita harus mengawa-linya dengan perkaya
diri dengan ilmu dan pengalaman9.

Diskusi; Dari Wacana Utopis Ke Praksis-Realistis


Diskusi bagi seorang intelektual adalah suatu kebutuhan
mendasar kedua. Ide yang diyakini kader IMM sebagai intelektual
tentunya perlu didialogkan. Seperti disebutkan Joesoef di awal
“seorang intelektual senang membahas gagasan”. Maka, kegiatan
diskusi yang sudah menjadi budaya di kalangan kader IMM, tidak bisa
lagi mengelakkan dirinya untuk senantiasa membuat wadah yang
memadai untuk mewadahi kebutuhan intelektualitasnya. Agenda-
agenda dis-kusi rutin, diskusi berbasis tongkrongan, diskusi berbasis
kost-an, dan diskusi-diskusi lainnya akan menjadi budaya yang tidak
asing bagi kita.
Dalam rangka memperkaya wawasan intelektual dan
membuka mata terhadap isu-isu yang sedang berkembang. Kader IMM
dituntut menjadi penggerak yang proaktif menjawab setiap dinamika
isu yang berkembang di ruang publik. Dalam rangka pengembangan
kapasitas keilmuan maupun memperkuat repons isu, tentunya perlu
dibuat formulasi yang tepat. Setiap diskusi yang diarahkan kepada
pemahaman dan pengayaan wawasan seyogianya dapat disusun
berdasar kepada kebutuhan internal kader dan kebutuhan eksternal

9
Ilmu amaliah dan amal ilmiah, yang juga menjadi corak IMM sebagai
gerakan intelektual Muslim.

23
(masyarakat). Untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam berbagai
agenda IMM.
Sementara, diskusi untuk merespons isu dan dinamika sosial
juga merupakan identitas IMM sebagai insan cendekia yang tak henti
belajar dan membaca aksara sosial. Meskipun cita-cita perubahan sosial
kerap dicap utopis, atau kader IMM dicap sebagai intelektual utopis,
tapi bagi penulis hal itu perlu. Sebab, keberpihakan bermula dari nalar,
dari pikiran. Dan gagasan-gagasan ideal yang semula dikatakan utopis
atau mengawang-awang, dalam hemat penulis tak perlu dirisaukan.
Justru dengan ide-ide tersebutlah kerap tercetus kegilaan-kegilaan yang
sifatnya mendobrak, kreatif, imajiner, dan visioner. Yang bukan hanya
akan menjawab masalah dan tantangan zaman, tapi juga melampaui
zaman.
Dengan demikian pula, cita-cita perubahan sosial yang kerap
kali didengungkan akan mampu diwujudkan. Tentunya de-ngan ide-
ide dan gerakan-gerakan praksis yang merefleksikan realitas. Yang
dengan kesungguhan hati membawa spirit keberpihakan kepada
keadilan dan kebenaran. Dengan men-junjung tinggi kemanusiaan,
kedamaian, dan keberagaman yang juga menjadi ruh dan dasar
terbentuknya negara Indo-nesia. Yang dengan demikian itu, kader
IMM perlu pula men-jembatani tiap-tiap kepentingan masyarakat.

Aksi; Sebuah Upaya Pengamalan


Gerakan intelektual tidaklah lengkap tanpa adanya perbuatan
(action). Action adalah syarat utama, dalam meraih suatu perubahan,
meskipun tentunya ditopang oleh gagasan-gagasan progresif dan
mencerahkan. Sebagai intelektual, IMM tidak hanya berhenti di
mendialogkan gagasan saja. Melainkan, mengupayakan
perwujudannya. Dalam merespons realitas, kader IMM memiliki bekal
fondasi teologis (Al-Quran dan sunah) serta fondasi teoritis (logis,
reflektif, metodis), yang sejalan dengan kebutuhan zaman. Hal tersebut

24
tidak hanya menjadi bangunan menara gading yang dengannya kita
dapat melihat secara luas gap antara si kaya dan si miskin, pemerintah
dan rakyat jelata, borjuis dan proletar. Tapi juga IMM mampu
menghasilkan ‘sesuatu’ alias produk intelektualnya. Baik itu berupa
gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan dakwah mencerahkan,
gerakan edukasi, dan lainnya. Itulah bentuk nyata dari dialektika yang
dilakukan IMM. Agar pemahaman setiap kader mengkristal menjadi
sebuah pengamalan.
Maka, agenda-agenda mengaksikan slogan IMM adalah sebuah
konsekuensi logis untuk mewujudkan cita-cita besar IMM. Dengan
spirit mengaksikan slogan, serta senantiasa berupaya dan berorientasi
kepada kristalisasi ideologi kader, yang tidak hanya sampai di tataran
pemahaman, tapi sampai ke pengamalan dan kemudian menjadi
pengalaman, IMM kemudian akan hadir dengan wajah yang
memasyarakat, sederhana, dan mudah berbaur dengan realitas.
Sebagai modal dasar membangun gerakan yang memiliki daya jual di
masyarakat sekitar.
Jadi, penulis mencoba menarik suatu kesimpulan, tradisi intelektual
IMM secara garis besar adalah tradisi intelektual yang memiliki
keberpihakan kepada keadilan, kemanusiaan, dan keberagaman. Kader
IMM kemudian menjadi pelaku sejarah yang dapat
mentransformasikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin (kasih
sayang bagi semesta alam) ke dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Hal itu tentunya akan menjadi identitas, di
mana pun dan kapan pun IMM berada akan diterima dan dirasakan
keber-manfaatannya oleh lingkungan masyarakat.[]

25
INFILTRASI SEMANGAT SUFISTIK
DALAM GERAKAN IMM

“Dalam pandangan Dahlan, tasawuf juga harus memberikan


kesadaran terhadap tanggung jawab sosial, seperti menyantuni anak
yatim dan memberi makan kaum fakir miskin. Pandangan sufistik
seperti ini merupakan kritik terhadap tradisi dan pandangan sufistik
yang berkembang pada masa itu, yang banyak dipengaruhi oleh tradisi
atau kepercayaan Hindu, Buddha, dan Nasrani, yang mengajarkan
sikap eskapis (uzlah), sehingga tidak memiliki efek sosial.”
Ahmad Nur Fuad – Dari Reformis hingga Transformatif

“Pada titik inilah, maka keberadaan religiositas seseorang tidak bisa


dipahami sebagai bentuk keyakinan yang hanya dirinya sendiri yang
taat kepada Tuhan. Tetapi, juga melibatkan unsur lain yang ada di
sekitarnya: baik lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, politik, dan
lainnya, yang membentuk pemahaman keagamaan yang harusnya
menjadi terikat satu sama lain.”
Makhrus dan Aminuddin – Genealogi Kaum Merah.

SEBAGAI kader IMM kita patut menyadari dan meyakini bahwa


setiap napas dan langkah gerakan kita adalah dalam rangka beribadah
kepada Allah SWT. Kesadaran berlandaskan tauhid ini disebut pula
dengan istilah kesadaran teologis. Kesadaran dan keyakinan ini akan
menjadi fondasi bagi kita dalam menjalankan gerakan dakwah IMM.
Sebuah kesadaran yang lahir dari proses penempaan, akan
melahirkan spirit atau semangat yang senantiasa menjadi pijakan kita
untuk bergerak (fastabiqul khairaat). Dengan memiliki dan memahami
kesadaran teologis tadi, maka kita tidak akan mengeluh. Sebab, dalam
beribadah kita harus ikhlas menjalaninya. Ini pula yang harus kita
miliki sebagai pelaku dakwah IMM.

26
Dalam upaya merawat tradisi gerakan IMM, perlu kita pahami
akar gerakan secara mendasar. Bahwa, gerakan IMM tak luput dari
tujuan organisasi induknya, Muhammadiyah. Maka, gerakan dakwah
IMM adalah gerakan dakwah yang amar makruf nahi mungkar.
Tentunya dengan tujuan yang secara garis besar mewujudkan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sementara, secara konstitusional tujuan IMM berbunyi,
“Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia,
demi terwujudnya tujuan Muhammadiyah.” Secara tegas dalam tujuan
tersebut dapat kita lihat bagaimana semangat teologis (sufistik) tadi
hadir dan bertransformasi ke dalam kalimat ‘yang berakhlak mulia’.
Hakim dalam Embrio Cendekiawan Muhammadiyah mengatakan, dengan
menempatkan ‘akhlak yang mulia’ dalam konstitusi, saya terkesan ada
kerinduan terhadap sufistik.10 Maka, secara garis besar IMM memiliki
semangat sufistik yang secara jelas tercermin dari akhlak mulia kader-
kadernya (kesalehan).
Kesalehan harus kita pandang sebagai manifestasi nilai-nilai
ketuhanan dan keislaman. Hal ini pula yang menegaskan bahwa kader
IMM sebagai bentuk wujudiyah dari nilai-nilai IMM itu sendiri. Menjadi
cermin dan identitas IMM yang secara kasat mata dapat terlihat jelas.
Hal tersebut pula, tak terlepas dari proses menyadari dan memahami
bahwa ‘akhlak mulia’ yang ada dalam konstitusi IMM adalah pijakan
awal sekaligus hasil (tujuan).
Dengan demikian, semangat untuk mengabdikan diri kepada
Allah merupakan pijakan awal bagi IMM. Yakni, sebagai landa-san
dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Sekaligus pula menjadi hasil
atau tujuan dakwah IMM, yakni dalam rangka beribadah kepada Allah
(habluminallah) dan diabdikan kepada masyarakat (habluminannas).

10
Rahardjo, Dawam. dkk. Embrio Cendekiawan Muhammadiyah. (Suara IMM
& Perkasa: Jakarta, 1995). hlm. 90

27
Akademisi Bercorak Islami
Dalam tujuan IMM termaktub istilah ‘akademisi Islam’.
Dengan penggunaan istilah akademisi Islam, maka sesungguhnya
sudah tegas cita-cita IMM adalah menciptakan akademisi bercorak
Islami. Yakni, kaum muda Muhammadiyah yang ber-kemajuan,
berpola pikir modern, terbuka, dan senantiasa mentransformasikan
nilai-nilai keislaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pada dasarnya, jika menggunakan istilah akademisi Islam,
maka sudah menjadi pasti konsekuensinya adalah memiliki ‘akhlak
mulia’. Artinya, keislaman yang dimiliki oleh kader IMM seyogianya
adalah keislaman yang bersifat transformatif, mampu menghadirkan
Tuhan ke ruang publik.11 Dengan menghadirkan Tuhan ke ruang
publik, maka Islam senantiasa menjadi agama rahmatan lilalamin.
Menjadi agama yang bisa dirasakan keberadannya, tidak hanya dalam
ibadah-ibadah ritualistik, melainkan bersifat tranformatif dan liberatif.
Tri kompetensi dasar (TKD) IMM yang terdiri dari
intelektualitas, religiositas, dan humanitas, adalah satu-kesatuan. Tidak
pas jika kita menafsirkan TKD secara parsial, satu per satu. Misalnya,
dengan memberi sebutan kader religius, kader humanis, atau kader
intelek. Sebab, sudah menjadi kepribadian bagi kader IMM untuk
memiliki dan menjalankan TKD secara kaffah (utuh). Setidaknya, setiap
kader memiliki poten-si yang sama untuk mampu menjalankannya
secara utuh.
Logikanya, ketika memiliki intelektualitas yang kuat, maka
akan tercermin dari perilaku kita sehari-hari (akhlak), baik dalam hal
beribadah maupun dalam berhubungan sesama manusia. Begitupun
ketika kita memiliki religiositas yang baik, maka kita harus baik
terhadap sesama manusia dan senantiasa memperkuat basis

11
Yakni dengan menamalkan nilai-nilai ketuhanan ke dalam perilaku dan
tindakan.

28
intelektualitas kita. Dan, ketika humanitas kita baik maka itu adalah
cerminan dari nilai-nilai keislaman dan intelektualitas yang dimiliki.
Sebagai jati diri, TKD ini pun memiliki semangat sufisme.
Sebab, sebagai pijakan dan tujuannya adalah tetap kepada Tuhan.
Yakni, beribadah lillahi ta’ala. Namun, spirit sufisyik di sini tidak
berhenti sebatas mengerjakan ritual ibadah (rukun) saja. Melainkan
harus dimaknasi lebih luas dan ditafsirkan ke dalam perilaku. Hal ini
tentunya menegaskan bahwa IMM adalah penerus dan penyempurna
dakwah Muhammadiyah. Dengan cita-citanya membentuk kader-
kader akademisi bercorak Islami.

Cita-Cita Kesalehan Multidimensi


Jika dalam tujuan IMM sudah jelas ke mana arahnya. Maka
secara transformatif tujuan itu akan bermuara kepada kesalehan
individu di dalamnya (kader). Sebagai cerminan kader IMM yang
mengamalkan nilai-nilai keislaman, maka sudah jelas harus juga
mengupayakan kesalehan-kesalehan yang ada dalam dirinya agar
tercermin menjadi corak Islami IMM.
Kesalehan yang bersifat multidimensi (agama, sosial, seni,
budaya, politik, dan ekonomi) tentunya akan membawa kita kepada
muara realitas. Dalam muara realitas tersebut kita akan dihadapkan
dengan fakta kodrat bahwa secara eksistensial manusia dilihat dari apa
yang dia pikirkan dan perbuat.
Maka secara konkret sebenarnya tujuan IMM dapat kita
kategorisasikan ke dalam ruang-ruang yang jelas akan menjadi tempat
bagi generasi-generasi muda. Cita-cita ini pun tak terlepas dari
moralitas secara luas, mengenai masyarakat kita. Bahwa kader IMM
sebagai representasi dakwah Muhammadiyah di masyarakat
(lingkungan sekitarnya), harus memainkan peran apik dan bisa
mewarnai.

29
Misalnya, kader IMM ada yang menjadi budayawan maka ia
harus menjadi budayawan yang saleh. Atau menjadi sosialis, maka
harus menjadi sosialis yang saleh. Atau bahkan menjadi politikus yang
saleh, borjuis saleh, seniman saleh, dan lainnya.
Karena, sebagai wadah kaderisasi yang secara umum menjadi
kaderisasi Bumat dan bangsa. Maka, IMM harus melahirkan generasi-
generasi yang saleh untuk mengisi setiap lini kehidupan. Hal ini yang
dalam ilmu teologis disebut dengan Islam kaffah (utuh dan
menyeluruh). Yang dicontohkan oleh Kuntowijoyo dalam buku
Maklumat Sastra Profetik12, “Jika seorang sastrawan karya sastranya
tidak diniatkan sebagai ibadah, maka keislamannya belumlah kaffah.”
Dengan demikian, jelas bahwa spirit sufistik dalam gerakan dakwah
IMM yang termaktub dalam tujuannya, bukanlah untuk sekadar
mencapai langit. Melainkan, untuk membumikan ayat-ayat langit
sebagai kasih sayang bagi sekalian alam di muka bumi. Wallau a’lam.[]

12
Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik. (LSBO Muhammadiyah &
Multipresindo, 2013)

30
GERAKAN LITERASI
DI KALANGAN KAUM MUDA MUHAMMADIYAH

BEBERAPA waktu lalu, tepatnya Jumat 4 November 2016, saya


mengikuti serangkaian acara Diskusi dan Peluncuran 12 Buku tentang
Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya,
Jakarta. Dalam kesempatan tersebut saya tertarik dengan apa yang
diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir,
tentang gerakan atau tradisi literasi di Muhammadiyah.
Haedar Nashir mengatakan bahwa gerakan literasi sudah lekat
sekali dengan Muhammadiyah sejak awal. Majalah Suara
Muhammadiyah adalah salah satu produknya, yang juga mendapat
penghargaan dari MURI dengan kategori majalah tertua, yakni seratus
tahun. Gerakan dakwah melalui tulisan telah dimulai sejak dahulu.
Mulanya Majalah Suara Muhammadiyah diterbitkan dalam bahasa Jawa,
dan hanya untuk lingkup daerah Jawa saja. Namun, pembaha-san di
dalamnya sudah menarik, hal ini disampaikan Haedar Nashir, dalam
kesempa-tan yang sama. Katanya, meskipun masih menggunakan
bahasa lokal (Jawa) tapi yang dibahas adalah pemikiran-pemikiran
progresif yang melibatkan akal dalam menerjemah-kan wahyu.
Hal ini menarik bagi saya, terutama dengan prestasi gerakan
literasi tertua yang telah dibuktikan Muhammadiyah melalui Majalah
Suara Muhammadiyah. Tentu ini menjadi corak gerakan yang baik dan
sangat relevan dengan tantangan dunia, dalam hal persebaran
informasi. Berkaitan dengan itu, tentu-nya ini menjadi tanggung jawab
untuk melestarikan dan menggiatkan tradisi gerakan tersebut di
kalangan kaum muda Muhammadiyah. Gerakan ini pun ke depan,
menurut saya, akan terus hidup, seiring dengan berkembangnya
gerakan-gerakan Muhammadiyah di setiap level dan ortomnya.
Dalam acara diskusi dan peluncuran buku tersebut, Haedar
Nashir juga mengimbau kepada generasi muda Muhammadi-yah

31
(wabil khusus IMM dan IPM) untuk bisa dan mau menjaga tradisi
gerakan tersebut ke depan. Sebab, selain karya-karya dari orang luar
Muhammadiyah (from without), yang terkadang melakukan justifikasi
terhadap Muhammadiyah, perlu juga ‘orang dalam’ (from within) yang
tidak hanya menilai dan mencatatkan gerakan Muhammadiyah, tapi
juga ikut bergerak dan berjuang dalam gerakan Muhammadiyah.
Azyumardi Azra, salah satu narasumber yang juga guru besar UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam artikelnya menyampaikan bahwa,
“Argumen Bernard Lewis dalam jawaban kepada Edward Said, bahwa
kajian dan pembahasan from within dapat terjerumus ke dalam
subjektivitas yang cenderung defensif dan apologetik. Said sendiri
menekankan pentingnya kajian yang dilakukan orang dalam, karena
jika orang luar (from without) yang melakukan boleh jadi kajian dan
pembaha-sannya tidak objektif.13
Salah satu penulis dan peneliti, yang juga generasi muda
Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani, yang dalam kesem-patan itu
menjadi moderator adalah contoh orang dalam yang mampu meneliti
dengan kacamata objektif mengenai gerakan Muhammadiyah. Salah
satu buku yang juga diluncurkan dalam acara itu adalah buku
Muhammadiyah Berkemajuan; Pergeseran dari Puritanisme ke
Kosmopolitanisme. Yang dalam buku tersebut melakukan pencarian
terhadap jati diri Muham-madiyah yang menegaskan dirinya sebagai
gerakan Islam berkemajuan.

Tradisi dan Gerakan Literasi di IMM


Tradisi dan gerakan literasi merupakan konsekuensi nyata dari
bentuk gerakan intelektualitas IMM, yang tidak hanya berkutat dengan
urusan akademik perkuliahan. Tapi juga melakukan pengembangan
dan dialektika gagasan yang lebih masif dan berkelanjutan. Utamanya,

13
Azyumardi Azra. Dinamika Muhammadiyah Kontemporer. Harian Republika
edisi 4 November 2016.

32
untuk kepentingan umat dan dakwah persyarikatan. Gerakan literasi,
menurut Haedar Nashir, menuntut kita untuk berpikir sistematis.
Kebiasaan-kebiasaan saat ini dengan hadirnya media sosial, seperti
Whatsapp, Facebook, dan sebagainya, membuat orang-orang larut dalam
keluh kesah. Yang dikatakan oleh ketua umum PP Muhammadiyah ini
sebagai pemicu menurunnya kemampuan orang untuk menulis
sistematis, seperti buku, artikel, dan sebagainya.
Gerakan-gerakan literasi di IMM dewasa ini sudah mulai
menggeliat, baik itu melalui media-media internet, seperti blog,
wordpress, dan website, maupun media cetak. Ada pula yang menulis
buku dan menerbitkan tulisan-tulisannya dalam majalah atau media
cetak lainnya. Hal ini tentu membuktikan bahwa geliat gerakan literasi
di kalangan kader IMM tidaklah padam. Sejalan dengan semangat
zaman yang menuntut kader bisa berpikir dan menelurkan gagasan,
kritik, dan solusinya.
Minimnya referensi tentang IMM menjadi kegelisahan sendiri
bagi sebagian kader yang tentunya haus akan bacaan mengenai IMM.
Dapat dihitung berapa jumlah referensi tentang IMM (yang khusus
membahas tentang IMM). Di antaranya, Kelahiran yang Dipersoalkan
oleh Farid Fathoni, Tri Kompetensi Dasar oleh Bidang Keilmuan DPP
IMM, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik karya Abdul Halim Sani,
Genealogi Kaum Merah karya Makhrus Ahmadi dan Aminudin Anwar,
IMM untuk Kemanusiaan karya Amirudin, yang saat ini mungkin
menjadi referensi wajib bagi kader IMM selain buku pedoman
administrasi dan tanfidz muktamar/tanwir. Kemudian, ada buku-buku
lain yang juga dapat dikategorikan sebagai wujud upaya
menggelorakan gera-kan literasi dalam tubuh IMM. Seperti buku Tak
Sekadar Merah dari kader-kader IMM AR Fakhrudin Yogya, Dalam Satu
Masa karya kader-kader IMM UMSU, dan lainnya yang mungkin
belum saya jangkau.

33
Jika dilihat dari intensitas gerakannya, IMM DIY saya pikir
mempunyai corak literasi yang amat kental dibandingkan IMM di
daerah lain. Tak sedikit kader DIY yang kemudian bisa menelurkan
karya-karya berupa buku, baik itu bergenre sastra, karya
ilmiah/penelitian, maupun memoar tentang IMM. Namun kemudian,
bukan berarti tak ada potensi di daerah lain. Cukup banyak juga kader
yang mampu menyumbang gagasannya melalui tulisan di media-
media lokal maupun nasional, baik itu media di luar Muhammadiyah
maupun media milik Muhammadiyah atau IMM. Hal ini menandakan
adanya gelora gerakan literasi yang sebenarnya masif dan mampu
mewarnai setiap lini media.
Pada 2015, saya mengikuti Konferensi Nasional IMM dan Call
for Paper yang diinisiasi oleh Korkom IMM UMY, Ari Susanto, di
kampus UMY, Yogyakarta. Dalam acara tersebut kentara sekali tujuan
dari pelaksanaannya bukan sekadar untuk mengais gagasan dari
persoalan yang terjadi di tiap-tiap daerah. Melainkan juga untuk
mendokumentasikan gagasan para perwakilan kader IMM dari seluruh
pelosok Nusantara. Konferensi tersebut pun, akhirnya mampu
melahirkan karya monumental, yang berisi gagasan dan solusi yang
ditawarkan kader IMM terhadap problematika lokal dan nasional.
Buku tersebut kemudian dijuduli Gagasan Kaum Muda
Muhammadiyah; Pandangan Kritis Kader Ikatan yang disunting oleh
Jangkung Sido Sentosa, kader IMM Sidoarjo. Tak berhenti di situ,
kegiatan ini pun kemudian melahirkan Laskar Penulis Ikatan (LPI),
yang kemudian menindaklanjuti dengan kegiatan serupa di masing-
masing lokal. Meskipun sampai saat ini baru terlaksana di Sidoarjo,
oleh IMM Cabang Sidoarjo, dan tak pernah (belum) ada gaungnya lagi.
Selanjutnya, yaitu gerakan literasi melalui media, seperti
buletin atau majalah. Majalah Kauman yang diterbitkan oleh DPP IMM,
merupakan salah satu bukti gerakan literasi IMM yang bersifat
kontinyu. Meskipun kehadirannya mengalami pasang surut, tapi

34
majalah tersebut mampu menggambarkan situasi gerakan literasi yang
tak hanya diupayakan dari bawah (cabang dan komisariat), tapi juga
dari pusat. Media-media yang dibuat mandiri oleh pimpinan IMM di
cabang dan komisariat menjadi salah satu sarana dakwah yang jelas
dan elegan. Tak hanya dengan buletin Jumat yang terbit sepekan
sekali, terkadang dibuat majalah yang terbit secara berkala setiap
bulannya. Namun, lagi-lagi media elektronik dan internet masih
mendominasi potensi literasi kader, sehingga bidang media di tiap-tiap
komisariat terkadang merasa cukup dengan menyebarkan informasi
atau dakwahnya melalui akun-akun media sosial dan blog saja. Tanpa
mengembangkan potensi dakwahnya di media-media literasi yang
saya sebutkan di atas.
Akhir kalam, gerakan literasi memang sejak awal sudah lekat
dengan gerakan dakwah Muhammadiyah. Terlebih, sebagai
konsekuensi identitas gerakan bercorak intelektual seperti IMM. Kini
menjadi urgensi, ketika kader-kader hanya gemar menunduk dan
tenggelam dalam gadget-nya ketimbang bergumul dengan buku-buku,
selain buku mata perkuliahan-nya. Dan jika hal itu tetap membudaya,
nalar intelektualitas kader perlahan akan padam. Maka kemudian,
menjadi agenda mendesak bagi IMM (di setiap level pimpinan) untuk
kembali menghidupkan nalar berpikir sistematis, reflektif, dan menda-
lam dalam meramu, mencerna, dan merespons isu-isu lokal dan
nasional. Dan itu bisa dilakukan, salah satunya dengan menggiatkan
tradisi dan gerakan literasi (membaca dan menulis).[]

35
AUTENTISITAS GERAKAN MUHAMMADIYAH 14

“Sudah seratus tahun Muhammadiyah berdiri [sejak] tahun 1912, kini


praktik keagamaan Islam dalam bidang sosial Negeri Sejuta Masjid ini
boleh disebut sebagai kepanjangan (eksemplar) apa yang ada di masa
lalu dipelopori Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan lah yang memelopori berbagai tradisi sosio-
ritual Islam di negeri ini yang tidak ditemukan padanannya di berbagai
belahan dunia di antara negeri-negeri Muslim. Tradisi sosio-ritual ialah
kegiatan sosial sebagai bentuk dari pengabdian ibadah kepada Allah,
seperti pembinaan kesehatan, pendidikan, santunan sosial, dan
kedermawanan sosial (filantropi).”
Abdul Munir Mulkhan – Boeah Fikiran Kijai H.A Dachlan

MUHAMMADIYAH secara etimologis (bahasa) berasal dari kata


Muhammad yang merupakan Nabi dan Rasul terakhir umat Islam, yang
diberi akhiran –iyah yang berarti pengikut atau yang mengikuti, yang
meneladani, yang mencontoh, yang ber-ittiba’. Maka, Muhammadiyah
dapat diartikan sebagai pengi-kut Nabi Muhammad yang senantiasa
ber-ittiba kepadanya.
Sedangkan secara terminologis, Muhammadiyah adalah or-
ganisasi gerakan dakwah sosial yang berlandaskan kepada Alquran
dan sunah, yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan untuk kepentingan
kehidupan manusia, baik dalam dimensi sosial, kultural, maupun
spiritual. Gerakan Muhammadiyah yaitu gerakan “Dakwah Islam dan
amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada dua bidang:
perorangan dan masyarakat.”15

14
Ditulis untuk mengisi materi DAD FEB 2015, diterbitkan di blog pribadi
(ashshaleh.wordpress.com).
15
Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah, (Suara
Muhammadiyah: Yogyakarta, 2015), hlm. 132

36
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 bertepatan
dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah. Dalam proses berdirinya
Muhammadiyah, tentu ada faktor-faktor yang melatarbelakangi itu.
Pertama, Muhammadiyah adalah buah dari kegelisahan Kiai Dahlan
ketika melihat dan merenungi realitas sosial dan kegamaan
masyarakat. Islam mengalami mistifikasi16, sehingga banyak ritual-
ritual yang tidak seharus-nya dilakukan justru dianggap kewajiban.
Dalam pemikiran Kiai Ahmad Dahlan atau Muhammad
Darwisy (nama semasa kecilnya), Islam adalah agama yang
transformatif, aplikatif, liberatif, dan solutif terhadap kehidupan sosial
masyarakat. Tidak membebani dengan ritual-ritual formalistik.
Melainkan menjadi rahmat (kasih sayang dan kebaikan) bagi sekalian
alam.
Kedua, Muhammadiyah lahir atas dasar dua faktor, yaitu
faktor internal dan ekternal. Faktor internal yaitu kondisi dan keadaan
dari dalam umat Islam itu sendiri, yang pada waktu itu masih bodoh,
belum mengenal pendidikan dan pengeta-huan, berpola pikir
tradisional (tertutup), dan tidak mema-hami Islam secara murni
(mencampuradukkan ajaran agama dengan budaya yang dipengaruhi
Hindu dan Buddha). Sifat tradisional masyarakat Islam pada waktu
itulah yang menye-babkan adanya percampuran budaya dengan
agama (sinkretis-me). Hal ini tentu menjadi penyebab banyaknya ritual-
ritual keagamaan yang sebenarnya tidak berdasar dan cenderung
hanya mengesankan Islam ritual. Semisal, adanya ritual tahlilan17

16
Islam menjadi agama yang misterius, tidak bertransformasi ke dalam
kehidupan sosial masyarakat. Akibatnya, Islam menjadi agama yang
terimplementasi dalam ritual-ritual belaka.
17
Tahlilan berbeda dengan tahlil. Tahlil adalah mengucap “laa ilaaha ilallah”,
sedangkan tahlilan adalah ritual yang dilakukan masyarakat ketika ada sanak
saudara atau anggota keluarga yang meninggal, yang diisi dengan kegiatan
berdoa bersama-sama untuk almarhum/ah. Hal ini telah membudaya,
sehingga seakan-akan wajib untuk dilaksanakan.

37
ketika anggota keluarga ada yang meninggal, yang seolah-olah
menjadi ritual wajib, hal ini kadang memberatkan sebagian masyarakat
yang tidak mampu mengadakan ritual tahlilan.
Sementara, perhatian terhadap pendidikan dan kondisi masya-rakat
tidak ada. Tentu hal ini sangat menggelisahkan. Umat Islam menjadi
sulit berpikiran maju, dan cenderung alergi terhadap perkembangan
zaman dan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan pada waktu itu dianggap tidak sesuai
dengan ajaran agama, diklaim sebagai produk kaum kafir, dan orang
Islam tidak boleh memakai atau mempelajari produk kaum kafir itu.
Sedangkan faktor eksternalnya, yaitu kondisi kebangsaan yang pada
waktu itu negara kita tengah dalam masa penjajahan Belanda.
Politik kolonial Belanda sangat berpengaruh terhadap kebi-
jakan-kebijakan politik yang berimbas terhadap pendidikan, dan
menyebabkan adanya indikasi-indikasi ke arah sekula-risasi. Hal ini
dapat dilihat dari kebijakan pendidikan yang melarang adanya
pelajaran agama di sekolah-sekolah.

Etika Welas Asih; Autentisitas Gerakan


Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar tentu
memiliki pola pikir (nalar) gerakan dalam rangka mewu-judkan cita-
citanya; “Menjunjung tinggi ajaran Islam, serta menciptakan
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Nalar gerakan amar ma’ruf
nahi munkar Muhammadiyah utamanya adalah kepada terciptanya
keharmonisan sosial. Sebab, bagi Muhammadiyah gerakan tersebut
hanyalah semata-mata sebagai upaya beribadah kepada Allah SWT
tidak kurang dan tidak lebih.
Gerakan-gerakan Muhammadiyah ini dapat kita cermati
dengan adanya PKO (penolong kesengsaraan oemoem/umum) dan
didirikannya sekolah-sekolah dan panti asuhan Muhammadiyah.

38
Etika welas asih yang dipahami Kiyai Dahlan sebagai ruh spirit
keislaman (rahmatan lila lamin), menjadi titik tolak bagi
Muhammadiyah bergerak dan hadir untuk manusia dan kemanusiaan.
Sigit Kurniawan yang dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya
menyebutkan,
“Asas Muhammadiyah bagian PKU: Moehammadijah b/g
P.K.O. bekerdja dan menolong kepada kesengsaraan oemoem itoe,
sekali-kali tidak memandang kanan dan kiri oesahanja orang lain jang
menolong kesengsaraan oemoem, dan tidak poela oentoek membantoe
kepada kehendak orang lain jang akan mendapatkan pengaroeh dari
ra’jat oemoem. Akan tetapi, mengadakan itoe hanja mengingat dan
memakai perintah-perintah Agama Islam belaka, jang dibawa oleh
djoendjoengan Nabi Moehammad s.a.w. dengan menoeroet djalan
(soennah)-nja terhadap kepada oemoem. Djadi, seolah-olah dasarnja
pertolongan dari Moehammadijah b/g P.K.O. itoe, soeatoe soember
(mata air) pertolongan jang djernih lagi bersih, terletak di seboeah
tempat jang bisa didatangi oleh segala orang dengan tidak memandang
bangsa dan Agama.” 18
Kutipan tersebut menjelaskan asas kerja PKO, yang
merupakan lembaga kesehatan yang didirikan oleh Muhammadiyah
pada masa awal – yang sampai sekarang terus berkembang dalam
bentuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan masyarakat.
Hadirnya PKO adalah semata-mata sebagai manifestasi
terhadap nilai-nilai keislaman yang yang menjadi landasan gerak
Muhammadiyah. Selain turut membantu rakyat miskin dalam hal
kesehatan, tentu gerakan PKO juga membantu keselarasan dan
keharmonisan kehidupan masyarakat. Sehingga, tiada lagi istilah
“orang miskin tak boleh sakit” karena biaya rumah sakit mahal,
birokrasi yang sulit, dan lain sebagainya.

18
Sigit Kurniawan dalam Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit. hlm. 18

39
Muhammadiyah, dengan PKO-nya juga telah menunjukkan jatidiri
sebagai gerakan Muhammadiyah –Islam yang berkemajuan, di tengah
pusaran zaman yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu
sekuler, kafir, dan dihindari tapi Muhammadiyah dapat menjalankan
itu dengan tetap berlandaskan kepada nilai-nilai Islam.
Selain itu, gerakan-gerakan Muhammadiyah pada masa awal
berkonsentrasi kepada pembebasan orang-orang tertindas dari
kebodohan. Gerakan ini dimulai oleh Kiai Dahlan dengan konsep ‘guru
keliling’. Kiai Dahlan mengajar masyarakat dari pintu ke pintu.
Selanjutnya, Kiai Dahlan membuat langgar di depan rumahnya, yang
kemudian digunakan sebagai pusat pengajaran anak-anak jalanan dan
pengajian anak-anak di lingkungan sekitar Masjid Gede Kauman.
Langgar itu sampai saat ini masih ada dan berdiri, dengan nama
“Langgar Kidul Kiai Dahlan”.
“Pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan
yang memungkinkan sesorang tumbuh sebagai manusia yang
menyadari kehadiran Allah SWT sebagai Rabb dan menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Dengan kesadaran spiritual
makrifat (iman/tauhid) dan penguasaan Ipteks, seseorang mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli sesama yang
menderita akibat kebodohan dan kemiskinan, senantiasa
menyebarluaskan kemakrufan, mencegah kemungkaran bagi
pemuliaan kema-nusiaan dalam kerangka kehidupan bersama yang
ramah lingkungan dalam sebuah bangsa dan tata pergaulan dunia
yang adil, beradab dan sejahtera sebagai ibadah kepada Allah.” 19
Pendidikan yang dipelopori Muhammadiyah adalah
pendidikan Islam modern, dengan adanya integrasi ilmu-ilmu
pengetahuan terhadap ilmu agama. Saat ini masyarakat Indonesia
terbuka dengan sistem pendidikan yang menginteg-rasikan ilmu
pengetahuan dengan ilmu agama, dengan banyak bermunculan

40
boarding school, maupun sekolah-sekolah berbasis Islam lainnya. Hal ini
tentunya menjadi ciri khas bah-wa gerakan Muhammadiyah pada
masa awal adalah gerakan dakwah yang melampaui zamannya.

Muhammadiyah Ada untuk Kepentingan Masyarakat


Prinsip welas asih merupakan manifestasi dari nilai-nilai Islam
yang rahmatan lil alamin. “Bagi Kiai Ahmad Dahlan, kebenaran dan
kebaikan ajaran Islam ketika memberi manfaat orang banyak tidak
terbatas dinikmati golongannya sendiri, tetapi bagi seluruh
kemanusiaan.” 20 Maka, kehadiran Muhammadiyah sebenarnya
bukanlah untuk satu golongan saja, melainkan untuk kemaslahatan
dan kepentingan masyarakat secara luas.
Muhammadiyah memiliki amal usaha (yang biasa disebut
AUM/Amal Usaha Muhammadiyah) yang memiliki peran dalam
masyarakat, baik itu dalam hal pendidikan maupun kesehatan.
“Penyelenggaraan amal usaha tersebut merupakan sebagian ikhtiar
Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam, dan bagi usaha untuk terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”21
Maka, sesungguhnya Muhammadiyah dapat menyentuh
sektor-sektor sentral dalam masyarakat. Selain AUM yang merupakan
salah satu basis dakwah, Muhammadiyah juga memiliki ortom
(organisasi otonom) yang juga berperan sebagai sayap dakwah
Muhammadiyah di tengah masyarakat. Yang bertugas sebagai pelopor,
pelangsung, dan penyempurna gerakan dakwah Muhammadiyah.
Ortom Muhammadiyah, selain berperan sebagai sayap dak-wah juga
menjadi wadah kaderisasi (ruang persiapan gene-rasi penerus/kader)
Muhammadiyah, yang akan menjaring, menempa, menggodok, hingga

19
Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit. hlm. 71.
20
Ibid. hlm. 109.
21
Haedar Nashir, Op.Cit, hlm. 155.

41
melahirkan generasi penerus Muhammadiyah, dan lebih luas generasi
penerus umat dan bangsa.
Ada tujuh ortom yang dimiliki Muhammadiyah yaitu, Aisyiah
yang memiliki basis kaum perempuan, Nasiyatul Asiyiah yang
berbasis kaum muda perempuan, Pemuda Muhammadiyah yang
mewadahi kaum muda laki-laki, Hizbul Wathan yang bergerak di
bidang kepanduan, Tapak Suci yang menjadi wadah seni bela diri, IPM
(Ikatan Pelajar Muhammadiyah) yang merupakan basis pelajar muda,
dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang merupakan basis
mahasiswa atau akademisi.
Ketujuh ortom tersebut tentunya memiliki segmentasi dakwah
masing-masing. Namun, secara garis besar adalah sebagai pelangsung
gerakan dakwah Muhammadiyah di masyarakat. Untuk membumikan
nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan masyarakat, yang berujung pada
terciptanya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.[]

42
TRADISI INTELEKTUAL ALA KI BAGUS22

KI Bagus Hadikusumo dikenal sebagai seorang tokoh Islam, selain


berjuang demi agama beliau juga berperan aktif dalam perjuangan
merealisasikan kemerdekaan bangsa ini. Tokoh yang juga pemimpin
Muhammadiyah ini terkenal dengan julukan “arsitek Pancasila”,
karena kontribusinya dalam perumusan Pancasila, terutama sila
pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sebagaimana HS Prodjokusumo menyebutkan, “Kunci
Pancasila ada di tangan Ki Bagus hadikusuma. Ki bagus adalah sosok
penting bagi Indonesia dan bagi Muhammadiyah”. Ki Bagus juga
merupakan seorang pemikir yang sampai saat ini kejernihan
pikirannya selalu dapat dijadikan referensi bagi kaum intelektual
Muslim.
Sebagai seorang pemikir dan tokoh besar bangsa, yang juga
aktif dalam organisasi Muhammadiyah beliau mampu menempatkan
dirinya sebagai teladan bagi orang-orang setelahnya. Dari berbagai
warisan intelektualnya ada tiga hal yang patut kita teladani dari beliau,
yakni tradisi membaca, tradisi menulis, dan tradisi dokumentasi.
Tradisi membaca. Ki Bagus adalah seorang penjelajah dunia
baca-membaca, kemampuannya menguasai bahasa dari mulai bahasa
Indonesia, Arab, Inggris, dan Belanda menjadikannya mampu
menjelajahi luasnya dunia Ilmu. Ki Bagus banyak membaca buku,
sampai-sampai beliau mengalami sakit mata karena banyak membaca.
Buku-buku karya ulama klasik yang menjadi bahan kajiannya seperti
tasawuf dan fikih. Sebagai santri yang mengaji kepada Kiai Dahlan, Ki
Bagus juga mempelajari karya-karya ulama modern seperti
Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah, Rasyid Ridha, dan lain-lain.

22
Diterbitkan di blog IMM FKIP tahun 2014. Disarikan dari Majalah Islam, The
Way of Life. Edisi 11, 2013.

43
Tradisi menulis. Menuangkan ide dan gagasan dalam tulisan
merupakan hal yang langka bagi ulama pada waktu itu. Ki Bagus
merupakan salah satu ulama yang selain gemar membaca dan
mengkaji, beliau juga produktif dalam menuliskan gagasan dan ilmu
keislamannya. Jika disandingkan dengan kakaknya, AR Fachrudin,
beliau jauh lebih produktif. Karena karya tulis yang berisi gagasannya
lebih banyak dibandingkan karya-karya yang dituliskan AR Fachrudin.
Tradisi dokumentasi. Walaupun jumlahnya terbatas, buku-
buku karya Ki Bagus masih bisa didapati sampai saat ini. Buku-
bukunya dicetak oleh penerbit Persatuan milik Muhammadiyah yang
didirikan oleh AR Fachrudin. Beberapa karyanya yang pernah
diterbitkan yaitu, Poestaka Iman (1925), Tafsir Juz’ama, Ruhul Bayan,
Risalah Katresnan Djati, Pustaka Ihsan (1941), Poestaka Iman (1954), dan
Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin.
Ki Bagus Hadikusuma merupakan sosok pemimpin yang amat
baik, beliau patut kita jadikan teladan hidup kita. Tiga warisan
intelektualnya, merupakan upaya yang ia lakukan selama ia hidup.
Maka budaya intelektual, seperti membaca, menulis, dan dokumentasi
pemikiran harus bisa kita jadikan acuan dalam berperan sebagai
akademisi Muslim yang berkemajuan.[]

44
Biodata singkat Ki Bagus
Nama : Ki Bagus Hadikusumo
Lahir : Yogayakarta, Senin 24 November 1890
Wafat : Jumat, 3 September 1954
Kepemimpinan : (1922) Ketua bagian Majelis Tabligh,
Majelis Pimpinan dan pengajaran
Muhammadiyah (MPM) Hoofdbestuur
Muhammadiyah (1926), Ketua PP
Muhammadiyah (1942-1953)

“Ki Bagus adalah seorang pemimpin umat Islam yang memiliki visi
kenegarawanan. Visi kenegarawanan Ki Bagus terlihat jelas saat ia
menyetujui usulan formulasi sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang tadinya berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tidak mudah bagi Ki Bagus untuk
meloloskan kalimat ini. Namun, situasi saat itu sungguh genting,
sehingga Ki Bagus berbesar hati demi menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa Indonesia saat itu.” AM Fatwa.

45
IKHTIAR BERKEMAJUAN ABAD KEDUA;
REFLEKSI 104 TAHUN MUHAMMADIYAH 23

SUDAH 104 tahun (dalam Hijriyah 107 tahun) panji-panji


Muhammadiyah yang berlogo matahari dan dua kalimat syahadat
melingkar berkibar. Hari ini, tepat 18 November 2016, kita masih patut
bersyukur karena Muhammadiyah masih tampil sebagai gerakan
pembaruan dan civil society dengan berbagai inovasi gerakannya.
Muhammadiyah masih istiqomah mengawal kemajuan bangsa dan
aktif membina masyarakat, dengan trisula gerakannya (schooling,
feeding, dan healing). Yang di abad keduanya, menurut Hajriyanto
Tohari telah bertransformasi dengan adanya trisula baru, yakni
penanggulangan bencana, gerakan zakat, dan pember-dayaan
masyarakat yang digawangi MDMC, MPM, dan Lazismu. Menurut
Hajriyanto, trisula lama harus sudah lepas landas, meski kemudian
tetap melakukan peningkatan kuali-tas, dan trisula baru harus
digalakkan untuk menjangkau wila-yah internasional dan bersifat
global.
Di abad keduanya pula, kini Muhammadiyah semakin
memperkuat wajah barunya sebagai gerakan Islam berkemajuan.
Konon, kata ‘berkemajuan’ bukanlah istilah baru bagi Muhammadiyah,
istilah ini pernah diungkapkan Kiai Dahlan dengan istilah ‘majoe’ dan
‘kemajoean’. Berbeda pula dengan istilah Islam Nusantara yang
terdikotomi oleh kultur lokal dan letak geografis, istilah ‘berkemajuan’
menurut Din Syamsuddin, lebih kepada wilayah pemikiran, gagasan,
visi, dan tujuan yang bersifat maju, tidak terkurung oleh ruang dan
waktu (Najib Burhani, 2016). Maka kemudian, proses perwujudan

23
Dipublikasikan di Republika.co.id dengan judul Catatan 104 Tahun
Muhammadiyah. http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-
warga/wacana/16/11/18/ogsqpp408-catatan-104-tahun-muhammadiyah

46
wajah baru tersebut memang belum sepenuhnya tampak, karena secara
konsep pun masih harus dirumuskan. Dalam jangkauan apa kemudian
Islam Berkemajuan bisa dijadikan bukan sekadar jargon, tetapi menjadi
corak dan tipikal atau karakter gerakan Muhammadiyah ke depan.
Hal itu mungkin juga menjadi salah satu alasan tema
“Membangun Karakter Indonesia Berkemajuan” diusung dalam
gelaran Milad ke-104 Muhammadiyah. Tak lain adalah salah satu
upaya pencarian wajah gerakan berkemajuan tersebut. Prof Dadang
Kahmad, salah satu Ketua PP Muhammadiyah mengatakan bahwa
Muhammadiyah akan fokus kepada pengembangan dan peningkatan
mutu amal usaha. Salah satu gagasan baru yang ditawarkan adalah
pembentukan holding company, sebagai bentuk peningkatan gerakan di
sektor ekonomi. Tentu tujuannya adalah untuk memajukan kehidupan
bangsa. Seperti yang kita tahu, Muhammadiyah telah berupaya keras
memajukan kehidupan, dengan gerakan-gerakannya yang menyentuh
berbagai aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial,
ekonomi, dan sebagainya.

Muhammadiyah Masa Awal


Dahnil Anzar Simanjuntak, ketua PP Pemuda
Muhammadiyah, menyebut Muhammadiyah generasi awal dengan
istilah Muhammadiyah al-awwalun (Rusdianto [ed], 2015). Dahnil juga
menyebutkan bahwa kata kunci gerakan Muhammadiyah adalah
“menggembirakan”, yakni dakwah yang menggembira-kan, Islam
yang menggembirakan, dan sebagainya. Dengan alasan itulah
kemudian Muhammadiyah perlu melakukan mengupayakan dan
posisinya sebagai gerakan dakwah dengan prinsip amar makruf nahi
mungkar. Gerakan Muhammadiyah masa awal, populer dikenal
dengan istilah pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah, dan c/khurafat),
yang juga merupakan respons terhadap perilaku kegamaan
masyarakat Jawa (Yogyakarta) yang pada waktu itu lebih bersifat

47
ritualistik-sinkretis. Yang mencampuradukkan perilaku budaya
peninggalan Hindu-Buddha dengan ajaran dan ritual peribadatan
Islam.
Selain itu, Muhammadiyah juga dikenal dengan gerakan
sosialnya, yang dikatakan oleh Munir Mulkhan sebagai gerakan sosio-
ritual. Yang berarti ritual keagamaan yang dimani-festasikan ke dalam
bentuk gerakan sosial. Seperti teologi Al-Maun yang sangat populer
dan familiar di kalangan Muhammadiyah. Dahulu, Kiai Dahlan beserta
murid-muridnya mengumpulkan anak-anak jalanan untuk kemudian
dimandi-kan, diberi makan, dan diajak belajar. Ini pula yang kemudian
menjadi trisula gerakan Muhammadiyah -meminjam istilah Hajriyanto
Tohari- yakni schooling, feeding, dan healing. Dalam bentuk sekolah,
rumah sakit, dan panti. Karena itulah kemu-dian Muhammadiyah
dikategorikan sebagai gerakan Islam puritan yang melakukan
purifikasi atau pengembalian kepada sumber Islam (Alquran dan
sunah), dan Islam progresif yang mengupayakan adanya transformasi
dan perubahan sosial dengan kesadaran teologisnya.

Seabad Gerakan Muhammadiyah


Seabad gerakan Muhammadiyah yang bertepatan dengan
masa Din Syamsuddin sebagai ketua umum diperingati besar-besaran,
bahkan tak pelak menuai kritik dari dalam diri Muhammadiyah
sendiri. Ada yang menilai bahwa peringatan milad seadab
Muhammadiyah yang digelar di Gelora Bung Karno tersebut
berlebihan dan terkesan ‘buang-buang uang’. Namun, patut diakui, di
balik kritikan dan bahkan sinisme itu, gelaran milad seabad
Muhammadiyah tersebut berhasil meli-batkan jutaan kader dan
simpatisan (yang merasa dirinya) Muhammadiyah dari berbagai
daerah dan pelosok. Yang semuanya tumpah ruah di Ibu Kota.
Begitupun dengan panitia penyelenggara melibatkan civitas akademica
dari berbagai sekolah dan kampus-kampus (PTM) di Jakarta, yang

48
waktu itu penulis menjadi salah satu panitia teknis yang mewakili
Uhamka.
Tentu, gelaran seabad Muhammadiyah itu bukan sekadar
euforia belaka. Melainkan juga sebuah refleksi terhadap pencapaian
persyarikatan Muhammadiyah selama satu abad. Sekaligus juga
meneropong kembali, strategi apa yang akan dilakukan untuk
menjelang abad keduanya. Dengan banyak-nya aset dan amal usaha
Muhammadiyah yang tersebar di pelosok Nusantara, yang dikelola
cabang dan ranting, maka perlu untuk melakukan pemanfaatan dan
peningkatan kualitas. Baik itu terhadap wilayah di luar
Muhammadiyah maupun bagi tubuh Muhammadiyah itu sendiri.
Berbagai gerakan yang kemudian menjadi agenda-agenda
Muhammadiyah salam mengawal kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat, telah ditelurkan di usianya yang seabad. Salah satunya,
PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem/Umum) yang sempat diganti
namanya menjadi Majelis penolong kesengsa-raan umat. Karena kata
‘umat’ dimaknai dengan golongan atau kelompok tertentu, kemudian
pada masa Said Tuhuleley sebagai ketua majelisnya, dikembalikan
kepada nama seperti awal dibentuknya dengan penambahan kata
majelis, yakni menjadi Majelis Penolong Kesengsaraan Umum alias
MPKU. Yang melakukan pemberdayaan sosial tanpa pandang bulu,
tanpa pandang suku, golongan, agama, dan warna kulit.
Yang populer dan sempat mencuat di satu abad gerakannya
adalah Muhammadiyah melakukan agenda pengawalan terha-dap
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan menyebut Muhammadiyah
akan tetap kritis terhadap pemerintah, Din Syamsuddin pun kemudian
mengawal itu semua dengan istilah Jihad Konstitusi. Jihad konstitusi
inilah yang menjadi penyeimbang antara gerakan pemberdayaan dan
pendampi-ngan terhadap masyarakat yang dilakukan
Muhammadiyah, yakni dengan melakukan pengkajian berbagai
kebijakan yang ditelurkan pemerintah. Jadi, Muhammadiyah tidak

49
hanya menyentuh masyarakat di bawah, tapi juga menyentuh sang
pemangku kebijakan. Dan banyak lagi gerakan-gerakan yang mampu
membawa Muhammadiyah tidak hanya di kancah lokal dan nasional.
Salah satu upaya lainnya adalah dengan adanya IRCM
(International Research Conference on Muhammadiyah) yang
dilaksanakan menjelang Muktamar ke-47 di Makassar tempo hari.
Konferensi tersebut berusaha menghadirkan para peneliti
Muhammadiyah dari berbagai negara (transnasional), yang berasal
dari luar dan dari dalam Muhammadiyah sendiri. Salah satu yang
memang sudah lekat dengan Muhammadiyah dan turut menggagas
IRCM adalah Mitsuo Nakamura, emeritus profesor dari Universitas
Chiba Jepang, yang sudah mulai meneliti gerakan Islam modernis ini
sejak tahun 1976. Dengan penelitiannya yang berjudul “The crescent
arises over the banyan tree: a study of the Muhammadijah movement
in a Central Javanese town” yang merupakan disertasinya di Cornell
University Amerika (Najib Burhani, 2016).
IRCM kemudian menjadi agenda tahunan yang dimanfaatkan
untuk melakukan refleksi terhadap kemajuan dan pergerakan
Muhammadiyah kini dan nanti. Selain itu, saya pikir masih banyak
kemajuan-kemajuan lain yang juga mewarnai gerakan Muhammadiyah
dalam usia keemasannya tersebut. Jika me-mang dihitung sebagai
kemajuan tentu kehadiran pimpinan cabang istimewa di luar negeri,
seperti di Jepang, Libia, Mesir, Inggris, Amerika, Korea dan lainnya,
juga termasuk bentuk kemajuan organisasi ini. Meskipun secara
kuantitas kegiatan dakwah masih tetap menyasar orang Indonesia atau
keluarga Muhammadiyah, akademisi, dan kader Muhammadiyah di
negara-negara tersebut. Namun, setidaknya sudah ada ruang yang
pasti untuk menebar dakwah Muhammadiyah yang mengglobal, lebih
luas untuk peradaban dunia.

50
Muhammadiyah Abad Kedua
Memasuki abad keduanya, Muhammadiyah masih perlu
menegaskan corak dan gerakannya. Jika dahulu memegang peran
strategis dengan trisula gerakannya, dan kini dengan potensi trisula
baru yang dikatakan Hajriyanto Tohari. Maka kemudian
Muhammadiyah pun perlu meraba identitasnya sebagai gera-kan
Islam Berkemajuan. Jika disepakati, misalnya, apa yang disebutkan Din
Syamsuddin istilah berkemajuan itu adalah bentuknya gagasan,
pemikiran, visi, dan tujuan yang bersifat visioner dan jauh ke depan.
Maka perlu bagi Muhammadiyah untuk meramu konsep dakwahnya
yang lebih maju, yang mungkin kini terlihat dan terkesan ‘balap-
balapan’ dengan Nahdlatul Ulama (yang juga organisasi Islam besar di
Indonesia) dalam hal kemajuan.
Mengingat tantangan ke depan bukanlah lagi tantangan yang
hanya bersifat lokal, seperti yang dihadapi Muhammadiyah pada masa
awal. Melainkan bersifat global dan transnasional. Maka kemudian,
cita-cita perdamaian dunia, yang beberapa waktu lalu dimanifestasikan
lewat forum WPF (World Peace Forum), tidak hanya berhenti dalam
diskursus dan seminar-seminar yang bersifat ritualistik. Tapi
bagaimana Muhammadiyah bisa mengambil peran strategisnya di
berbagai aspek kehidupan dengan pengembangan dan peningkatan
mutu amal usahanya. Misalnya, dengan mendirikan perguruan tinggi
internasional, membangun rumah sakit di luar negeri seperti di daerah
rawan perang, maupun meningkatkan dakwah-dakwah di negeri
minoritas Muslim, seperti Eropa dan Amerika, dan lain sebagainya.
Akhir kalam, Muhammadiyah hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin, dan hari esok serta ke depannya harus lebih baik lagi.
Itulah sejatinya gerakan dakwah yang selalu menemui jalan mendaki,
dengan tantangan yang juga mungkin semakin curam dan terjal.
Dengan segenap optimisme mari kita sambut milad ke-104
Muhammadiyah dengan membangun spirit dakwah amar makruf nahi

51
mungkar. Dengan ikhtiar untuk tetap hadir di setiap lini kehidupan
berbangsa dan bernegara, menjadi solusi bagi problematika sosial
dunia, serta membawa prinsip rahmatan lil ‘alamin dan visi
kemanusiaan universal. Selamat milad Muhammadiyah, jayalah.
Wallau a’lam.[]

52
Bagian 2
Autentisitas IMM (Ontologi ke Aksiologi)

53
“Agar kita tidak berkabung menghadapi kondisi umat yang masih
tertatih-tatih ini, mari kita optimis dan percaya bahwa matahari masih
akan bersinar dalam waktu lama. Siapa tahu generasi mendatang lebih
unggul dalam hal moral, intelektual, dan amal dibandingkan kita.” –
Ahmad Syafii Maarif

54
NALAR BER-IMM24

TULISAN ini adalah rentetan kegelisahan saya terhadap gerakan IMM


belakangan ini25. Yang semakin ke sini semakin bergeser, melempem,
dan terbelenggu. Atau bisa dibilang kehilangan makna gerakan, yang
sebenarnya adalah proses eksternalisasi nilai-nilai IMM. Yaitu proses
pengamalan atas apa yang dicita-citakan para pendiri IMM, yang
tertuang dalam keputusan-keputusan dan dimanifestasikan ke dalam
deklarasi dan kebijakan strategis IMM.
Dalam menjalankan roda organisasi, penting tentunya kita
untuk memahami secara mendalam ihwal dasar-dasar berorganisasi.
Baik itu berkaitan dengan pakem organisasi maupun dengan ruh
gerakan yang menjadi denyut nadi organisasi. Artinya, eksistensi
organisasi dapat tercipta dengan adanya gerakan.
Kehadiran IMM di setiap lini kehidupan tentu menjadi tolok
ukur pencapaian gerakan IMM. Pencapaian itu bukan hanya dalam
kehidupan berpolitik, tapi yang penting adalah dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai-nilai independensi IMM sebagai organisasi
dakwah sosio-ritual tentunya perlu menjada kemurnian nilai-nilainya
sebagai dasar gerakan.
Beberapa waktu lalu (periode DPP IMM 2014-2016), IMM
kerap melakukan demonstrasi, dengan menghimpun kekuatan basis
organisasi mahasiswa dan pemuda, dengan nama Aliansi Tarik
Mandat (ATM). Demo atau demonstrasi memang selalu menjadi
kontroversi di masyarakat bahkan di kalangan aktivis mahasiswa.

24
Diterbitkan di blog pribadi penulis (ashshaleh.wordpress.com) dengan judul
Nalar Ikatan dalam Perspektif Keakanan; Sebuah Renungan Filosofis.

55
Namun, di balik pro-kontra, aksi demo yang dilakukan mahasiswa
tentunya harus selalu mengedepankan kepentingan rakyat. Agar
kemudian aktivitas aksi atau demonstrasi itu tidak terasa seumbang
dengan adanya susupan kepentingan ini dan itu, dengan dalih
kepentingan rakyat.
Kehidupan berbangsa, apalagi dalam dunia politik memang
penting untuk kita pahami. Tidak boleh kader IMM alergi terhadap isu
politik, meskipun tidak semua suka dengan isu politik. Bahkan, harus
direspons dengan sehat, kritis, dan bijak. Karena banyak kebijakan-
kebijakan yang menyentuh masyarakat, yang juga dihasilkan dari
proses pertarungan politik26. Namun, perlu dicatat dan diingat, bahwa
IMM bersifat independen terhadap kepentingan politik. Dalam artian
memiliki sikap dan pendiriannya sendiri, yang berorientasi kepada
kepentingan rakyat dan kebenaran.
IMM perlu mengeksplorasi nalar berpikir, yang tentunya lebih
kreatif, lebih dinamis, dan lebih solutif dalam menghadapi pelbagai
persoalan dan tantangan. Hal ini menjadi modal bagi IMM untuk
menghadapi tantangan di depan, yang pastinya akan berbeda dari
hari-hari sebelumnya. Artinya, penulis pikir membenahi diri harus
selalu menjadi agenda rutin27. Bukan pula berarti IMM hanya
mengurusi urusan internal saja, tantangan demi tantangan tengah
menunggu untuk dihadapi, prestasi yang membanggakan menanti
Immawan dan Immawati di pengujung jalan, maka slogan ini sangat
relevan dengan jargon fastabiqul khairaat yang juga menjadi pengingat

25
Tulisan ini saya tulis pada pengujung 2015, saat gencar-gencarnya IMM
pusat melakukan aksi dengan aliansi tarik mandat (ATM)-nya. Bertepatan pula
dengan Musyawarah Cabang IMM Jaktim.
26
Dengan catatan: politik dalam konteks ini bukan politik pemenangan yang
berorientasi kepada kekuasaan belaka, tapi lebih kepada kebijakan-kebijakan
yang dihasilkan dari proses politik.
27
Rutin dalam artian terus-menerus, tidak berhenti untuk mengupgrade dan
memperbaiki diri.

56
untuk selalu berlomba dalam berbuat kebaikan. Hingga IMM
kemudian tampil sebagai prototipe gerakan, role model, panutan, dan
teladan, inilah jati diri yang mesti dibangun di dalam tubuh internal
IMM.
Proses eksternalisasi adalah proses pengamalan nilai-nilai
ideologis ikatan. Dalam proses inilah kemudian kita akan menganyam
pemahaman demi pemahaman menuju kristalisasi. Sebelumnya, kita
(kader IMM) mengalami pula fase internalisasi, baik itu dalam forum
perkaderan formal maupun nonformal. Nalar berpikir IMM hari ini
seyogianya dapat dielaborasi, di-upgrade, dan diperbarui. Mengawali
lagi tajdid gerakan sebagai konsekuensi gerakan intelektual yang
senantiasa konkomitan dengan perkembangan zaman. Sekaligus juga
melakukan purifikasi gerakan, dalam artian mengembalikan landasan
gerakan IMM kepada cita-cita besarnya.
Salah satu nilai dalam IMM adalah tri kompetensi dasar/ TKD
(humanitas, religiositas, dan intelektualitas). Tak ayal, TKD hanya
menjadi tema menarik dan semarak di setiap kegiatan, maupun
menjadi teks yang diagungkan. Sayangnya, minim pengamalan.
Padahal secara substantif, TKD merupakan basis kesadaran kader,
sebagai pijakan awal dalam membangun kepribadian dan karakter
kader, yang tentunya akan ber-pengaruh terhadap perkembangan dan
progresivitas organisasi. Bukan untuk memvonis, tapi sebagai cermin
yang mengingatkan kepada diri kita.

Nalar Berorganisasi; Dari Renungan Ke Praksis


Sebagai organisasi pergerakan dan perkaderan kita harus
memahami IMM secara substansial; dalam dimensi utuh. Tidak bisa
kita memaknai IMM dalam bentuk artifisial atau penyimbolan saja.
Organisator harus berperan dalam manajerial organisasi, terutama
manajemen SDM (anggota) dan waktu. Realitasnya, organisasi
terkadang bukan membuat kita cakap memanajemen secara

57
proporsional, melainkan suka-suka. Maka, nalar berorganisasi ikatan di
sini penulis tawarkan untuk lebih diarahkan kepada hal-hal yang
bersifat substantif. Meskipun tidak bisa dimungkiri, penyimbolan
identitas juga perlu sebagai wujud eksistensi.
Dalam memahami substansi gerakan, kita perlu mengambil
garis besar, antara konsep yang kita bawa dengan realitas yang kita
hadapi, ini harus bersifat konkomitan (sejalan atau seiring). Di tataran
konsep, gerakan harus memiliki goal atau pencapaian, baik itu bersifat
internal maupun eskternal. Selain itu, memahami realitas objektif
terhadap kondisi eksternal organisasi juga menjadi hal yang penting.
Sebab, dalam mela-kukan gerakan kita akan selalu dihadapkan dengan
dunia di luar persoalan internal organisasi. Yang bisa saja memerlukan
penalaran yang kritis dan pemikiran yang solutif dari kita.
Di situlah napas gerakan organisasi, yakni ketika adanya nalar
berorganisasi yang sehat. Yakni tidak menggurui, tidak dis-kriminatif,
tidak mendominasi, dan terbuka terhadap realitas objektif di luar diri
kita. Pakem-pakem organisasi (konstitusi) yang menjadi pedoman
organisasi (AD/ART) harus dipahami secara baik dan mendalam.
Dalam artian, tidak selalu bersifat tekstual. Melainkan ditafsirkan
secara kontekstual dan dilak-sanakan dengan tertib, dengan tetap
menjaga etika organisasi.
Dengan demikian, dalam menjalankan agenda pergerakan
(dakwah dan perkaderan) tidak cacat, baik secara substansial maupun
administratif. Pun memiliki ancangan menuju suatu pencapaian yang
baik secara administratif dan substantif. Sebagai organisasi yang tidak
hanya menjalankan agenda seremonial, tapi agenda-agenda reflektif
yang memiliki manfaat.

Nalar Kaderisasi; Pendekatan Dialogis


Kaderisasi harus menjadi fokus utama gerakan IMM. Tidak
bisa ditawar-tawar. Sebagai organisasi perkaderan, IMM dituntut

58
menghasilkan bibit-bibit penerus yang berkualitas dalam intelektual
dan moral. Yang tentunya, potensi tersebut terdapat dalam setiap diri
kader. Dalam kaderisasi, nalar sangat diperlukan. Bukan hanya soal
kepekaan antaranggota (kader). Tentu, tugas kita sebagai organisasi
kader, organisasi pelangsung dan penyempurna, untuk memunculkan
dan mengembangkan potensi dalam diri setiap individu kader.
Kaderisasi dapat kita maknai sebagai sebuah proses manifes-
tasi dialogis. Artinya, proses timbal balik atau sahut-menyahut
antarsesama kader. Dan, juga ada upaya memahami karakter serta
potensi individu kader. Perlu diingat, kaderisasi bukan-lah proses
alamiah, yang terjadi karena kita dipertemukan dalam satu wadah.
Melainkan proses pengenalan, penyiapan, dan pengembangan yang
terukur dan terencana (by design). Sifat-sifat alamiah kita sebagai
manusia, bukan sekadar rasa memiliki terhadap ikatan, tapi juga
perasaan terikat untuk memiliki dan menjaga. Secara metodis, kita
harus membangun kenyamanan dengan pola, corak, karakter, dan
model pende-katan. Secara dialogis, tahap saling memberikan
pemahaman, baik itu pemahaman ideologis, wawasan
keagamaan/umum, dan seluk-beluk IMM.
Kemudian mengupayakan proses eksternalisasi, dengan
memberikan ruang kepada kader untuk berekspresi. Dalam rangka
pengembangan potensi kader, wadah pengamalan perlu dibangun agar
memberikan kader wadah untuk dapat mengamalkan nilai-nilai yang
didapat.

Nalar Keilmuan; Fondasi Kearifan


Keilmuan adalah akar gerakan. Keilmuan bukan hanya berku-
tat dengan buku, diktat, riset, dan produk-produk akademik lainnya.
Lebih substansial jika peran keilmuan dapat menjadi pola pembiasaan
atau budaya intelektual. Manusia sebagai makhluk intelektual, tidak
bisa terlepas dari proses belajar, memahami, mendiskusikan, dan

59
menerapkan. Dalam tubuh IMM tentunya perlu disemai bibit-bibit,
tunas-tunas muda, dengan tradisi dan budaya intelektual. Karena
modal awal gerakan adalah ilmu. Maka perlu dibangun kantong-
kantong keilmuan, baik kajian secara teoritis maupun pemahaman
terhadap realitas. Sehingga, jargon “unggul dalam intelektual” tidak
menjadi paradoks bagi IMM.
Keilmuan juga merupakan fondasi kearifan. Berkaitan dengan
itu, bahwa konsekuensi seorang yang berilmu adalah memiliki sikap
yang bijak (arif). Inilah yang akan menjadi corak kader IMM. Dengan
karakteristik keilmuan yang luas dan pemikiran yang luwes,
seyogianya IMM akan mampu menghadirkan wacana-wacana baru
dan pemikiran-pemikiran solutif yang akan mewarnai dinamika
intelektual di tengah kehidupan bermasyarakat.

Nalar Kemanusiaan; Gerakan Kemasyarakatan


Sebagai organisasi gerakan dakwah bercorak sosio- religius,
gerakan kemasyarakatan menjadi identitas tersendiri bagi IMM. Hal ini
juga menjadi warna pembeda gerakan IMM dengan gerakan
mahasiswa lainnya. Gerakan IMM merupakan refleksi dari realitas.
Merespons dengan kritis dan solutif setiap dinamika yang terjadi di
masyarakat, merupakan tuntutan wajib bagi IMM. Sebab, dengan
demikianlah kita bisa menunaikan amanah sebagai sayap dakwah
Muhammadiyah.
Gerakan kemasyarakatan pada dasarnya bercita-cita
mewujudkan perubahan sosial di masyarakat. Perubahan itu dapat
dicapai dengan hidup bersama masyarakat dan bermasyarakat.
Dengan melakukan transformasi nilai ke dalam kehidupan dan
perilaku bermasyarakat. Sehingga slogan “anggun dalam moral”
bukan slogan belaka, melainkan tercermin dari setiap diri kader IMM.
Adapun pilar dalam gerakan ini yaitu humanisasi, liberasi, dan
transendensi (lihat: ISP-Kuntowijoyo). Bahwa setiap gerakan IMM di

60
masyarakat adalah bentuk pengabdian, dan dengan niat lillahita’ala
dengan mengharap ridha Allah.
Demikian kiranya paparan saya tentang nalar ber-IMM yang
harus kita refleksikan bersama. Meskipun pasti akan ada pemerkayaan
lagi dari berbagai pihak, karena itu sejatinya gerakan intelektual yang
saya yakini akan menghasilkan banyak ide dan gagasan, yang akan
saling melengkapi dan mengevaluasi. Wallahu a’lam.[]

61
PROFIL KADER:
SEBUAH PENGAMALAN TERHADAP NILAI28

NILAI-nilai yang terdapat dalam spirit perjuangan IMM terkadang


hanya menjadi slogan dan tema-tema dalam sebuah kegiatan
formalistik dan seremonial. Pertama, itu dapat disinyalir sebagai
wujud dari adanya semacam kebebalan atau kemalasan untuk
memahami nilai-nilai atau spirit pergerakan dalam tubuh IMM itu
sedniri. Terlebih, untuk mengamalkannya. Selain itu, terkadang IMM
hanya dijadikan organisasi yang bersifat simbolistis untuk
menunjukkan aktivisme sempit dengan agenda-agenda jangka pendek.
Semisal agenda program kerja yang tidak dapat mengakomodasi atau
menjawab keresahan yang secara umum terjadi dalam dunia
kemahasiswaan maupun kemasyarakatan.
Tentu, setiap agenda sudah sepatutnya dilandasi pada
kebutuhan dan analisis yang mendalam terhadap realitas objektif. Hal
itu agar setiap agenda yang dijalankan IMM tidak terjebak dalam ritual
formalistik, yang hanya mengedepankan ego simbolitas, namun minim
refleksi. Akibatnya agenda gerakan IMM hanya berhenti sampai masa
pergantian kepengurusan tok. Tak ada kelanjutan atau
kebersinambungan antara gerakan yang sudah dibangun dalam suatu
periode pengurusan oleh periode yang selanjutnya. Padahal,
harapannya setiap agenda-agenda IMM yang bersifat reflektif dapat
berjalan sebagai wujud tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai
Ikatan itu sendiri.
Maka, dengan demikian persoalan yang kedua yang dapat kita
tangkap adalah kesadaran kaderisasi yang masih minim, dan sekali

28
Pernah disampaikan sebagai materi Ke-IMM-an di DAD PK IMM FEB
UHAMKA Jaktim 2017

62
lagi hanya terkurung dalam kerangka formalistik, dalam agenda-
agenda darul arqam, pelatihan manajeman organisasi, pelatihan dai,
dan agenda formalistik lainnya. Kerangka berpikir kaderisasi yang
terkurung semacam itu, tidak akan mampu (setidaknya tidak
maksimal) dalam menumbuhkan loyalitas dan militansi kader. Kader
hanya paham IMM sebagai organisasi yang penuh ritual simbolistis
dan agenda formal, terlebih agenda hura-hura dan wah. Hal ini
menjadi patut menjadi refleksi, yang secara kritis harus kita bongkar
dan benahi.
IMM yang hakikatnya adalah organisasi gerakan dan
kaderisasi memiliki landasan yang perlu untuk tidak sekadar
dipahami, tapi juga diamalkan. Sebagai wujud prinsip ilmu amaliah
amal ilmiah dalam ber-IMM. Yang kemudian nilai itu menjadi
landasan perjuangan (yang secara riil landasan pergerakan) IMM
dalam menjalankan agenda-agendanya. Selain itu, IMM juga memiliki
profil kader yang secara mendasar menjadi perwujudan atau
kontekstualisasi dari nilai-nilai IMM itu sendiri, yang kemudian
dicerminkan oleh individu-individu kader.

NDI dan Aktualisasinya


IMM secara mendasar adalah organisasi berbasis gerakan
intelektual. Yang dalam aktivisme gerakannya memiliki tiga ranah
gerakan (trilogi), yaitu keagamaan, kemahasiswaan, dan
kemasyarakatan. Ketida ranah itu merupakan aktualisasi dari nilai-
nilai yang tertanam dalam diri kader. Nilai-nilai itu disebut juga
dengan tri kompetensi dasar; religiusitas, humanitas, dan intelektualitas.
Dan di dalam jalan perjuangannya, IMM memiliki nilai dasar yang
kemudian disebut nilai dasar ikatan.
Nilai dasar itu merupakan prinsip dari sebuah gerakan atau
perjuangan yang dilakukan IMM. Selain itu, nilai dasar ikatan atau
NDI juga merupakan landasan gerakan IMM dalam melakukan

63
perjuangan mewujudkan cita-cita besar IMM dan Muhammadiyah. Hal
ini pula yang menegaskan bahwa IMM adalah organisasi gerakan.
Namun, gerakan yang seperti apakah itu? Berikut adalah Nilai Dasar
Ikatan yang kemudian disebut NDI, yang menjadi landasan
perjuangan IMM:
1. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah gerakan mahasiswa
yang bergerak dalam tiga bidang yaitu keagamaan,
kemahasiswaan, kemasyarakatan.
2. Segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan
kemungkaran adalah lawan besar gerakan IMM perlawan
terhadapnya adalah kewajiban setiap kader IMM.
3. Segala bentuk pergerakan IMM tetap berlandaskan agama
Islam yang hanif dan berkarakter rahmat bagi sekalian alam.
4. Sebagai gerakan mahasiswa yang berdasarkan Islam dan
berangkat dari individu-individu mukmin, maka kesadaran
melakukan syariat Islam adalah suatu kewajiban dan sekaligus
mempunyai tanggung jawab untuk mendakwahkan kebenaran
di tengah masyarakat.
5. Kader IMM merupakan inti masyarakat utama yang selalu
menyebarkan cita-cita kemerdekaan, kemuliaan, kemaslahatan
masyarakat sesuai dengan semangat pembebasan dan
pencerahan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Dalam poin pertama ditegaskan bahwa IMM adalah gerakan


mahasiswa yang bergerak dalam tiga bidang yaitu keagamaan,
kemahasiswaan, kemasyarakatan. Poin ini kemudian menjadi ranah
gerak IMM atau disebut juga trilogi. Ranah keagamaan jelas menjadi
ladang gerak IMM sebagai organisasi dakwah, penerus dakwah
Muhammadiyah. Adapun ranah keagamaan ini kemudian menuntut
kader IMM memiliki kompetensi religiusitas yang mumpuni, moderat,
terbuka, modern, dan berkemajuan sebagaimana paham keagamaan

64
Muhammadiyah. Kedua, ranah kemahasiswaan yang jelas sebagai
basis gerakan mahasiswa IMM pun perlu mengalakkan perannya
dalam dunia intelektual kampus dan aktivisme mahasiswa. Hal ini
tidak bisa kita maknai secara sempit dengan misalnya mengadakan
seminar-seminar bagi mahasiswa yang berorientasi jangka pendek.
Tapi lebih bergelut kepada dunia akademisi seperti penelitian,
penggalian gagasan, dialog mengenai ide, dan sebagainya. Hal itulah
yang kemudian menjadi tranformasi dari kompetensi intelektualitas
kader. Ketiga adalah kemasyarakatan, ranah ini sebagai wujud
pengimplementasian dari kompetensi humanitas yang dimiliki kader,
yang juga merupakan wujud nyata dari religiusitas dan intelektualitas
yang telah tertanam dalam diri setiap kader IMM.
Dalam poin kedua disebutkan segala bentuk ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, dan kemungkaran adalah lawan besar gerakan
IMM, yang artinya musuh IMM bukanlah organisasi, bukan partai,
bukan pula pemerintah, tapi segala perilaku yang disebutkan itu
tadilah (ketidakadilan, kesewenangan, kemungkaran) yang menjadi
musuh yang nyata bagi IMM. Dan Perlawan terhadapnya menjadi
kewajiban setiap kader IMM. Di sini dapat pula kita artikan bahwa
kader IMM tak boleh memiliki perilaku yang tercela seperti demikian
itu, dan harus membuka mata terhadap realitas bahwa lawan besar itu
bisa terjadi di mana saja. Dan di mana saja kader IMM berada
hendaknya mampu melawan perilaku yang menjadi lawan besarnya
itu.
IMM sebagai gerakan Islam, karakter rahmatan lil alamin
hendaknya menjadi napas dan landasan bagi gerakan IMM. Hal itu
dapat terwujud manakala IMM mampu menginternalisasi nilai-nilai
Islami ke dalam ruang-ruang yang nyata dan lebih luas. Nilai-nilai
Islam seyogianya bisa dicerminkan oleh kader-kader IMM ke dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu bisa terimplementasi misalnya
dengan menanamkan sifat kejujuran dan amanah dalam diri kader,

65
peduli terhadap kehidupan sosial tanpa pandang bulu, memiliki
kedisiplinan dalam hal beribadah, studi, maupun berorganisasi (tri
dimensi), memiliki pemahaman keagamaan yang luas dan mendalam.
Dalam poin keempat disebutkan, sebagai gerakan mahasiswa
yang berdasarkan Islam dan berangkat dari individu-individu
mukmin, maka kesadaran melakukan syariat Islam adalah suatu
kewajiban dan sekaligus mempunyai tanggung jawab untuk
mendakwahkan kebenaran di tengah masyarakat. Dalam poin ini
sudah cukup jelas disebutkan bahwa syariat Islam menjadi kewajiban
untuk dijalankan. Kemudian disebutkan pula kewajiban
mendakwahkan kebenaran, yang artinya kompetensi kader harus pula
diisi dengan skill atau keterampilan untuk mendakwahkan kebenaran
kepada publik. Dakwah secara sederhana dimaknai sebagai penyiaran
atau propaganda terhadap suatu kebajikan (bisa pula berupa ajaran)
agar khalayak dapat turut memercayai dan mengikuti kebajikan
tersebut. Namun, ada beberapa pemahaman yang lebih luas mengenai
dakwah, misalnya dengan menjadi uswatun hasanah bagi publik,
masyarakat. Sementara dakwah yang dilakukan Rasulullah yaitu
dengan menyasar orang-orang terdekat terlebih dahulu, mulai dari
istri, saudara, para sahabat, kemudian pengikutnya. Dan yang perlu
diingat, bahwa karakter dakwah Rasulullah adalah dakwah yang
bersifat rahmat bagi sekalian alam, amar makruf nahi mungkar, yang
artinya penuh kesantunan dan kelemah-lembutan.
Dalam poin terakhir, disebutkan bahwa kader IMM
merupakan inti masyarakat utama, yang artinya kader IMM menjadi
inti, penggerak, motor, agen, pelaku dari masyarakat utama, yang
dalam Alquran (Ali Imron ayat 110) disebut sebagai khairuu ummah
(umat terbaik). Kemudian nilai-nilai keilahian yang dimiliki sebagai
nilai dasar IMM diterjemahkan ke ranah yang bisa diterima oleh semua
golongan (objektifikasi), menjadi cita-cita kemerdekaan, keadilan,
kemuliaan, dan kemaslahatan masyarakat, yang menjadi wujud ittiba

66
terhadap semangat pembebasan dan pencerahan Nabi Muhammad
SAW. Yakni pembebasan dari kejahiliyahan, kemusyrikan, dan
kebodohan, yang dalam bahasa Muhammadiyah familiar dikenal
dengan istilah TBC. Dan bukan cuma itu, apabila kita mengambil
konteks gerakan transformatif arahnya akan lebih kepada pembebasan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Profil Kader Ikatan sebagai Sebuah Pengamalan


Kader secara bahasa berasal dari bahasa Prancis, cadre yang
berarti elite atau terpilih. Dalam KBBI kata kader memiliki dua makna,
pertama bermakna perwira atau bintara dalam konteks ketentaraan,
dan kedua bermakna orang yang diharapkan akan memegang peran
yang penting dalam pemerintahan, partai, dan sebagainya. Namun
kemudian, jika kita maknai kembali ke dalam sebuah organisasi maka
kata kader bisa diartikan sebagai orang-orang terpilih atau kelompok
elite yang memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan
organisasi itu sendiri. Yang dalam prosesnya mengalami pelatihan,
penempaan, pendidikan, dan semacamnya untuk kemudian siap
memegang amanah.
Adapun tempaan yang diterima oleh kader sebagai wujud
penyiapan individu kader kemudian disebut perkaderan atau
kaderisasi. Kaderisasi kemudian menjadi medium utama, kawah
candrdadimuka, bagi organisasi kader untuk melancarkan agenda
gerakannya dari nilai-nilai ideal ke dalam praksis atau tindak nyata.
Maka, seyogianya agenda kaderisasi menjadi agenda utama dari
sebuah organisasi kader. Dan kaderisasi yang bisa dikatakan berhasil
adalah ketika nilai-nilai ideologis bisa terinternalisasi ke dalam diri
kader dan menjadikan gerakan di dalam organisasi itu bisa berjalan,
mendiaspora, dan ramai.
Dalam konteks IMM tentunya peran kader tidak hanya sebagai
penerus tampuk pimpinan di dalam tubuh organisasi IMM itu saja.

67
Melainkan juga memiliki peran besar dalam membangun karakteristik
masyarakat ilmu dan memberi warna terhadap lingkungannya. Maka
kaderisasi IMM seyogianya tidak hanya didefiniskan sebagai
penyiapan kader (sebelum pengurus) menjadi pengurus (pimpinan)
dalam IMM, melainkan juga menyiapkan kader untuk siap
menginternalisasi nilai-nilai IMM ke dalam kehidupannya. Oleh
karena itu, kader IMM kemudian diharapkan menjadi kader umat,
kader bangsa, dan juga kader persyarikatan, yakni sebagai pewaris
tampuk pimpinan umat di masa mendatang.
Pada tahun 1986, IMM melaksanakan semiloka di UMS yang di
antaranya merumuskan peran kader. Semiloka yang dilaksanakan
pada 26-28 Desember itu mengusung tema “Memantapkan peran IMM
sebagai kader bangsa dan kader umat”. Yang kemudian menghasilkan
empat sifat kader atau kemudian diadopsi menjadi profil kader
ikatan. Adapun isinya sebagai berikut:
1. Memiliki keyakinan dan sikap keagamaan yang tinggi agar
keberadaan di Ikatan di masa yang akan datang mampu
memberi warna masyarakat yang mulai meninggalkan nilai-
nilai agamawi.
2. Memiliki wawasan dan kecakapan memimpin karena
keberadaan kader ikatan bagaimanapun merupakan potensi
kepemimpinan umat dan kepemimpinan bangsa.
3. Memiliki kecendekiaan, mengingat spesialisasi dan
profesionalisasi mempersempit cakrawala berpikir dalam sub-
sub bidang kehidupan yang sempit.
4. Memiliki wawasan dan keterampilan berkomunikasi,
mengingat bahwa masa yang akan datang industri informasi
akan mendominasi sistem budaya kita. Hal ini juga inheren
dengan watak Islam yang dalam keadaan apa pun juga selalu
siap melaksanakan amar makruf nahi mungkar sebagai esensi
dari komunikasi Islami.

68
Munculnya empat sifat kader atau profil kader ikatan ini
tampaknya tidak terlepas dari kondisi masyarakat pada waktu itu.
Yang nyatanya disebutkan dengan kalimat ‘mulai meninggalkan nilai-
nilai agamawi’. Hal ini pula menjadi perenungan bahwasannya nilai-
nilai keagamaan yang dimiliki kader bukan hanya menjadi konsumsi
pribadi, melainkan juga mendiaspora kepada lingkungan di mana
kader itu berada (masyarakat). Kader IMM juga disiapkan sebagai
pemimpin (khalifah fil ardh), sebagaimana hakikat dasar manusia.
Dalam poin ini bisa juga kita artikan bahwa jiwa kepemimpinan atau
leadership yang dimiliki kader akan tercermin dari perilaku kehidupan
berorganisasi maupun bermasyarakat.
Selanjutnya, kader dituntut untuk memiliki wawasan
kecendekiaan, yang artinya kader tidak terkurung dalam sub bidang
disiplin ilmu yang diembannya saja. Fokus terhadap satu disiplin ilmu
terkadang membuat kader enggan dan bahkan alergi menyentuh sub-
sub lainnya, yang sebenarnya dapat menjadi bekal dalam membaca
dan merespons realitas. Misalnya, ketika menghadapi wacana
ketimpangan dan konflik sosial, menghadapi kekisruhan politik, dan
wacana lainnya. Maka, kader harus bisa mengintegrasikan ilmu-ilmu
yang dimilikinya. Selain itu, sifat kecendekiaan juga dapat tercermin
dari sikap terbuka, bijak, kritis, dan memiliki pikiran tajam terhadap
suatu persoalan.
Maka dengan sifat kecendekiaan itu, kader IMM diharapkan
menjadi inti dari masyarakat utama. Apalagi, ditambah dengan
kemampuan komunikasi yang baik dan mencerminkan akhlak Islami.
Yang dalam poin keempat disebutkan, sebagai wujud penyiapan
terhadap tantangan dunia komunikasi dan informasi yang semakin
maju. Mungkin secara sederhana bisa kita artikan bahwa kader IMM
harus bisa menyampaikan kebenaran sesuai dengan bahasa kaumnya,
bahasa yang mudah diterima, santun, dan tetap mengedepankan

69
norma dan moralitas Islami, dengan watak rahmatan lil alamin dan
berkemajuan.
Hal-hal yang membentuk profil kader ini di antaranya
didukung oleh internalisasi nilai-nilai ideologis seperti trikompetensi
dasar, enam penegasan, NDI, trilogi, maupun semboyan ikatan. Yang
kemudian menjadi aktualisasi, dari wacana/ilmu ke praksis, dari teks
ke konteks, dari pengamalan menjadi pengalaman yang kemudian
mengkristal dan menjadi jati diri kader IMM itu sendiri. Itulah yang
kemudian menjadi suatu konsep ideal profil kader IMM yang
diringkas seringkas-ringkasnya dalam tujuan IMM menjadi “akhlak
mulia”.[]

70
TEOLOGI AL-MAUN
DAN SEMANGAT KEBERPIHAKAN IMM

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang


menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan
orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya dan enggan
(menolong dengan) barang yang berguna.”
(QS Al-Maun: 1-7)

“Bagi Muhammadiyah, pemihakan sosial bukanlah sebuah ‘utopia’,


tapi sebuah ‘keniscayaan’… dilihat dari sisi nilai normatif maupun
realitas sosial yang melingkupi dinamika keseharian Muhammadiyah,
rasa-rasanya netralitas atau ketidakberpihakan tidak dapat dipandang
lain sebagai sebuah tindakan a-sosial. Bahkan dengan mengutip istilah
tegas dari surah al-Mauun, ketidakberpihakan adalah pendusta
agama.”
Said Tuhuleley – Menggugat Modernitas Muhammadiyah

KEBERPIHAKAN terhadap kaum yang lemah adalah suatu keharusan


(tanggung jawab) bagi setiap Muslim. Baik itu sebagai mahasiswa,
pemerintah, maupun ormas. Tidak bisa dimung-kiri, teologi Al-Maun
telah menjadi napas dan landasan pergerakan bagi IMM–
Muhammadiyah. Sebagai gerakan mahasiswa Islam, yang menjadikan
kompetensi sosial (humanitas) sebagai dasar pergerakannya, IMM
harus bergumul dengan berbagai macam realitas dan problematika
kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Kiai Dahlan berulang-ulang mengkaji Al-Quran surah Al-
Maun bersama murid-muridnya, lantaran kandungan surah ini
memiliki makna yang amat dalam. Yakni tentang prinsip dasar
kemanusiaan, yang dalam bahasa Said Tuhuleley, menegaskan prinsip

71
kemanusiaan yang amat kental. Dan prinsip kemanusiaan tersebut
tidak terlepas dari keimanan (transendensi) kepada Sang Khaliq,
sehingga yang enggan melaksanakan prinsip tersebut dicap sebagai
‘pendusta agama’.
Begitupun bagi gerakan IMM, surah tersebut menjadi spirit
untuk melakukan transformasi nilai-nilai humanitas. Yakni, yang
termaktub dalam konsititusi IMM. Pertama, dalam tujuan IMM dengan
penyebutan kalimat ‘akademisi Islam yang berakhlak mulia’.
Kemudian, dalam nilai dasar ikatan (NDI) dengan menyatakan
‘ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan kemungkaran adalah
lawan besar gerakan IMM’.
Dengan prinsip konstitusi yang demikian, kader IMM sebagai
akademisi berakhlak mulia tentunya memiliki potensi utuh menjadi
intelektual yang memiliki semangat pembebasan dan kemanusiaan 29
atau intelektual profetik (dalam Abdul Halim Sani), yang bukan hanya
melakukan transformasi sosial, tapi juga transformasi nilai-nilai agama.
Yakni, intelektual yang memiliki semangat kemanusiaan dan

29
Dalam buku Tri Kompetensi Dasar (DPP IMM), Rifma Ghulam mengutip
Gramschi, intelektual di sana disebutkan dua istilah, intelektual tradisional
dan intelektual organik. Intelektual tradisional hanya mengulang-ulang tradisi.
Dan intelektual organik yakni sosok yang gigih dalam perenungannya, reflektif
atas konteks historisnya, dan revolusioner memperjuangkan manifes
perenungannya bagi kaumnya, yang kemudian disimpulkan sebagai
intelektual pergerakan. Sementara dalam IMM untuk Kemanusiaan (Amir)
menyebutkan empat karakteristik: intelektual tradisional, intelektual organik,
intelektual kritis, dan intelektual universal. Pada dasarnya istilah yang
kemudian hampir serupa dengan tipologi kader IMM adalah tipe intelektual
organik (meskipun dari semua tipikal intelektual tersebut memiliki semangat
yang sama, yakni semangat pembebasan dan kemanusiaan). Karena IMM
memiliki ideologi yang mengikat, dalam artian ideologi yang menjadi landasan
pergerakannya. Namun, jika kita menggunakan metode objektivikasi
(Kuntojoyo), yakni proses eksternalisasi nilai (dalam hal ini ideologi) menjadi
nilai yang bisa diterima semua kalangan atau universal (menjadikan
internalisasi nilai sesuai dengan fakta objektif).

72
pembebasan yang dilandasi keimanan. Yang berjuang untuk
kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Maka, kader IMM bukanlah intelektual yang membangun
menara gading di tengah masyarakat. Namun, menjadi insan cendekia
yang bergumul dan mencecap setiap realitas dan problematika sosial
yang terjadi di masyarakat. Untuk kemudian merespons dengan kritis
dan bijak setiap problematika yang terjadi, yang dalam istilah
Kuntowijoyo, meminjamkan pisau analisisnya kepada masyarakat.
Keberpihakan IMM terhadap kaum lemah (mustadhafin) seyo-
gianya menjadi agenda besar IMM di berbagai level pimpinan,
utamanya di level grassroot atau akar rumput (cabang dan komisariat).
Dalam upaya menumpas ketidakadilan, kesewe-nang-wenangan, dan
ketimpangan yang terjadi di masyarakat, baik yang bersifat kultur
maupun struktur (kebijakan pemerintah).
Ketidakadilan bisa saja terjadi karena adanya kebijakan peme-
rintah yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat miskin.
Kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat miskin, akan
menyebabkan ketimpangan sosial dan pertentangan antara si kaya dan
si miskin. Dalam tesisnya Marx dikenal dengan istilah pertentangan
kelas, antara kaum borjuis dengan kaum ploretar, kaum pemodal
dengan kaum buruh. Semen-tara, yang berkuasa adalah orang yang
memiliki modal atau uang, dan buruh (sebagai kaum lemah) hanya
menjadi budak dan mesin pencetak uang bagi para pemodal.
Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Global dan Pembangu-nan
kemudian menyangsikan, apakah ilmu sosial dan aktivis sosial harus
memiliki sifat keberpihakan terhadap kaum miskin? Dan, pada
akhirnya ilmu sosial konservatif memilih untuk netral, tapi kenetralan
tersebut pada akhirnya malah memihak kepada golongan yang kuat
(kaum elite, penguasa, dan pemodal). Sedangkan, dalam ilmu sosial
kritis, ilmu sosial memiliki cita-cita perubahan (transformasi) sosial,
revolusi, kesamarata-samarasaan, dan sebagainya. Yang pada akhir-

73
nya melahirkan banyak gerakan sosial, baik bersifat sosial-politik
maupun sosial-religius.
Dengan kerangka sosial yang demikian, mau tidak mau kita
harus berpihak kepada kaum yang lemah. Yang dalam ilmu sosial
profetik (ISP) -Kuntowijoyo- disebutkan, sebagai khairuu ummah kita
harus melakukan tiga hal, yaitu humanisasi (ta’muruuna bil ma’ruf),
liberasi (tanhauna ‘anilmungkar), dan transendensi (tu’minuuna bilah).
Piet H Khaidir dalam Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial pun
menyebutkan, kehadiran Islam sebagai entitas historis adalah
membumi berbasiskan mimpi ideal tentang kemanusiaan (imagination);
dan dilanjutkan dengan kesadaran untuk terlibat dalam proses historis
kemanusiaan (action).30
Maka, konsekuensi logisnya, IMM sebagai gerakan mahasiswa
Islam harus memiliki kesadaran untuk terlibat, yang dalam bahasa
Kuntowijoyo proaktif, dalam merespons realitas. Hal itu pula
merupakan upaya membumikan semangat transendensi yang memang
menjadi pijakan gerakan IMM.
Dengan demikian pula perlu kita pahami bahwa pada hakikatnya
Islam yang rahmatan lil’alamin bukan Islam yang hanya berkutat
dengan ritual ibadah saja. Melainkan juga membela kemanusiaan
(kaum lemah) sebagai wujud dari keislaman yang sejati.
Mulkhan dalam Teologi Kiri-nya mengatakan bahwa untuk
mencapai surga, tidak hanya dilihat dari ritual standar, tapi juga dari
komitmen kemanusiaan, yakni ketulusan dan keikhlasan membela
proletar.31 Dengan kata lain membela kaum yang lemah dan
dilemahkan (mustadh’adfin).

30
Piet H Khaidir. Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial. Teraju: Jakarta,
2006. hlm. 79
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri, (Kiara Wacana: Yogyakata, 2008), hlm. 31
254

74
Menjangkau Realitas Sosial Kekinian
Kiai Dahlan hidup pada abad ke-19 tapi berpola pikir abad 20,
dia telah melampaui zamannya jauh ke depan. Sementara kita, untuk
sekadar memahami apa yang dia pikirkan pada abad ke-19 rasanya
sulit dan malas. Lantas, bagaimana kita bisa menjangkau realitas satu
abad ke depan? Apalagi, harus melakukan gerakan-gerakan (action)
filantropi seperti yang dia lakukan.
Dewasa ini memang kita (dalam konteks internal) selalu
dihadapkan dengan dua masalah itu, kesulitan memahami (kebebalan)
dan kemalasan. Dua sifat tercela ini semestinya kita bongkar, jangan
sampai kita ‘mengalami kemunduran di zaman yang tengah
mengalami kemajuan’ –seperti yang dikatakan Yudi Latif.
Namun, kita tak bisa berdiam diri dengan kondisi yang seperti itu. Kita
harus melihat itu sebagai tantangan yang mesti kita hadapi dan
hancurkan. Kita harus kembali menggali spirit gerakan kita sebagai
kaum muda Muhammadiyah.
Spirit gerakan sosial yang telah digencarkan Kiai Dahlan di
zaman dahulu perlu kita (IMM) langgengkan. Mengingat, realitas
sosial saat ini semakin getir dan mengkhawatirkan. Kita lihat saja soal
kekerasan seksual yang bahkan sampai merenggut nyawa korbannya.
Belum lagi ihwal kemiskinan yang menyebabkan anak-anak putus
sekolah, atau lebih memilih menafkahi diri dan keluarganya ketimbang
menimba ilmu di sekolah.
Agenda gerakan mahasiswa saat ini pada umumnya lebih
bersifat seremonial dan jangka pendek. Ada kelompok maha-siswa
yang hobinya menjadi penggembira acara-acara televisi, dengan
bangga mengenakan almamater sambil bertepuk tangan. Ada juga
yang sekadar melakukan diskusi dalam bentuk seminar, workshop, dan
lain-lain yang juga tak jelas juntrungannya.
Ada kelompok yang memilih jalur politik praktis, yang pada
akhirnya terseret arus kepentingan politik. Ada pula sebagian

75
kelompok, yang masih memiliki kepekaan sosial, mendermakan
dirinya menjadi relawan atau volunteer ketika ada bencana datang.
Dan, yang luput dan semakin menipis adalah kelompok yang bergerak
dalam pendampingan terhadap masyarakat (kaum mustadh’afin), yang
sebenarnya disadari atau tidak, keberadaan mereka adalah tanggung
jawab bersama.
Maka, dalam rangka merespons hal yang demikian, IMM mesti
membumikan nilai-nilai pergerakan dan cita-cita besarnya ke tengah-
tengah masyarakat. Dengan menggelorakan gerakan-gerakan
kemasyarakatan sebagai ladang dakwahnya. Misalnya dengan
mendampingi warga di satu permukiman eks-penggusuran, atau
membuat program jangka panjang seperti desa binaan. Yang dalam
teknisnya bisa mengambil aspek-aspek seperti pemberdayaan
ekonomi, pendidikan (agama dan ilmu pengetahuan), maupun edukasi
politik (yang diarahkan kepa-da advokasi masyarakat).

Menjemput Realitas Baru


Keadilan yang seadil-adilnya di tengah masyarakat adalah
realitas baru yang mesti kita jemput. Untuk keluar dari kungkungan
realitas saat ini yang serbatransaksionis, dengan tidak tegaknya
keadilan dan tidak berpihaknya sistem kepada kaum lemah. IMM
tidak hanya perlu menegakkan kepalanya menentang hegemoni kaum
elite tersebut, tapi juga gencar mendampingi masyarakat di bawah.
Hal itu bisa terwujud jika adanya segmentasi gerakan yang
memadai, misalnya tataran pusat dan daerah gencar mengkritisi
kebijakan pemerintah secara nasional dan menurunkan isunya ke
bawah. Serta, di tataran cabang dan komisariat (grassroot) istiqomah
melakukan pendampingan kepada masyarakat dan advokasi. Dan
semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas dakwah-
kemanusiaan, atau upaya pemihakan kepada kaum yang lemah.

76
Dengan demikian, visi keberpihakan IMM jangan kita pandang sebagai
barang kuno. Namun, hendaknya kita jadikan agenda besar yang
menjadi prioritas kedua setelah agenda perkaderan. Selain itu, hal ini
pun menjadi corak gerakan IMM yang membedakannya dengan
gerakan lain yang memilih jalan politik praktis maupun yang lainnya.
Wallau a’lam.[]

77
IMM: GERAKAN
INTELEKTUAL PROFETIK32

IKATAN Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dalam enam


penegasannya dengan tegas menyatakan dirinya sebagai organisasi
mahasiswa Islam. Yang tentunya memiliki tanggung jawab besar
dalam mengawal kehidupan umat (masyarakat). Prinsip gerakan IMM
adalah gerakan amal-ilmiah dan ilmu-amaliah. Artinya, setiap amal
yang dilakukan IMM adalah amal yang berlandaskan kepada pola
pikir logis, teoritis, kritis, dan memiliki pijakan bergerak. Dan setiap
ilmu yang dimiliki IMM adalah ilmu yang ditransformasikan dan
dijalankan untuk kepentingan bersama (masyarakat, bangsa, dan
agama).
Sebagai gerakan intelektual yang menyandarkan diri pada
basis keilmuan, riset, dan objektivitas (dimensi ilmiah) dan aksi atau
pengamalan dalam bentuk dakwah dan transformasi sosial (dimensi
amaliah), IMM memiliki tanggung jawab moral yang cukup besar,
wabil khusus dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang
harmonis, dalam konteks keindonesiaan.
Sebagai sayap dakwah Muhammadiyah (organisasi otonom)
yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat Islam yang
sebenarbenarnya dituntut untuk terus berpikir dan melakukan tajdid
gerakan. Hal ini tidak lain demi kepentingan bersama dan masyarakat
luas, tanpa mengharap imbalan apa pun (lillahita’ala). Dakwah IMM
merupakan turunan dari dakwah Muhammadiyah, yakni dakwah
yang bersifat moderat, modern, dan berkemajuan. Hal ini tentu
menjadi konsekuensi logis bagi IMM sebagai anak kandung
Muhammadiyah.

32
Diterbitkan di blog pribadi (ashshaleh.wordpress.com) dengan judul
Maklumat Gerakan Profetik; Identitas Sekaligus Corak Gerakan IMM.

78
Selain itu, IMM juga berperan sebagai basis kaderisasi
mahasiswa Islam, kaderisasi umat, dan kaderisasi bangsa. Maka,
orientasi dasar IMM adalah mempersiapkan generasi dengan kualitas
dan daya saing yang luar biasa, yang mampu menjadi jawaban
terhadap tantangan global. Tentu gerakan IMM tidaklah berorientasi
kepada kepentingan politik praktis, yang bersifat transaksionis,
oportunis, dan materialistis. Sebagai-mana Muhammadiyah, IMM
independen terhadap partai dan kepentingan politik33.
Hal ini merupakan konsekuensi logis terhadap prinsip gerakan
IMM tadi. Namun, bukan berarti IMM buta dan alergi terhadap
terhadap isu politik, IMM harus memiliki juga nalar kenegarawanan,
yang berpikir kritis untuk bangsa dalam perpektif yang luas dan
berorientasi jangka panjang. Dalam artian, IMM tidak hanya berkutat
dengan demonstrasi dan kritik terhadap kebijakan pemerintah saja,
melainkan juga gencar melakukan aksi pendampingan dan edukasi di
masyarakat bawah. Sebagaimana Sani dalam Manifesto Gerakan
Intelektual Profetik menyebutkan, ikatan sebagai organisasi pergerakan
bukan hanya sekadar pengontrol kebijakan pemerintah, tetapi dapat
melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, karena hal
tersebut sudah merupakan kewajiban. 34 Maka, setidaknya kita dapat
melihat bahwa gerakan IMM mengarah kepada dua titik sasaran, yakni
penguasa atau pemegang kebijakan dan masyarakat.
Maka, IMM dengan bekal ideologi Muhammadiyah yang ber-
gerak dengan amar makruf nahi mungkar, merupakan basis utama
akar rumput bagi gerakan pendampingan dan pemberdayaan di
tengah masyarakat. Sebagai bentuk pengabdian dan proses
menebarkan nilai-nilai kesadaran dalam masyarakat, sehingga
masyarakat dapat bersikap mandiri dan kritis dalam menghadapi

33
Lihat Deklarasi Setengah Abad IMM, yang merupakan hasil Muktamar ke-
XVI setengah abad IMM di Solo.
34
Abdul Halim Sani, Op.Cit, hlm. 178

79
problematika dan dinamika di dalam kehidupan masyarakat itu
sendiri.
Spirit keberpihakan IMM terhadap kaum lemah (dhuafa)
ataupun yang dilemahkan (mustadh’afin) merupakan spirit dasar, yang
dengan hal itu Kiai Dahlan menginisiasi gerakan-gerakan sosial
kemasyarakatan sebagai wujud ketakwaannya kepada Allah SWT.
Proses pendampingan IMM di dalam tubuh masyarakat bukan sebatas
menjadi interaksi simbolik, agar masyarakat menaruh simpati kepada
IMM dan Muhammad-iyah, misalnya. Melainkan upaya dalam
membangun harmo-nisasi dan menebar manfaat di dalam kehidupan
masyarakat. Yang juga mengupayakan landasan gerakan IMM, atau
cita-cita besar Muhammadiyah, yakni masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya, yang populer disingkat MIYS.
Ilmu Sosial Profetik (ISP) adalah karya monumental Kuntowi-
joyo, yang berhasil mendobrak ilmu sosial Barat yang bersifat sekuler
dan materialistis. Dalam ilmu sosial profetik basis utama dalah
kesadaran transendensi (dalam bahasa lain berkesadaran ketuhanan).
Dalam ISP, setiap manusia adalah subjek yang memiliki peran dalam
membangun sejarah (menuju masa depan), bersifat pro-aktif, dan tidak
menerima realitas begitu saja35.
Dengan adanya transformasi nilai-nilai agama, segala bentuk
ketimpangan sosial, penindasan, ketidakadilan, dan penyakit sosial
lainnya adalah musuh dari gerakan profetik yang harus dilawan dan

35
Dokumen Ilmu Sosial Profetik yang ditulis Kuntowijoyo dimuat di berbagai
buku karyanya, di antaranya, Paradigma Islam, Islam sebagai Ilmu, dan
Muslim Tanpa Masjid. Tulisan tersebut merupakan tulisan yang singkat dan
tidak begitu detail dijelaskan oleh Kuntowijoyo, maka agak sulit untuk kita
memahami kerangka dasar (paradigma) teori ini. Kemudian teori sosial
profetik tersebut dilengkapi dan dijabarkan dengan detail oleh Ahimsa-Putra
dalam buku Paradigma Islam Profetik. Yang lebih membahas paradigmanya,
yang menurutnya dalam bentuk paradigma hal itu dapat lebih luwes dan bisa
masuk ke berbagai disiplin ilmu.

80
dimusnahkan. ISP merupakan bentuk ejawantah dari surah Ali Imran
ayat 110, yang dalam tafsir cerdas Kuntowijoyo, ada tiga pilar dalam
surah Ali Imran ayat 110 tersebut, yang menjadi tugas pokok manusia
yang terlahir sebagai khairu ummah. Yakni, amar makruf (humanisasi
atau memanusiakan manusia), nahi mungkar (liberasi atau pembe-
basan), dan tuminuna billah (transendensi).
Amar makruf (menyeru kebaikan) yang kemudian
diterjemahkan menjadi humanisasi, yang bermakna memanusiakan
manusia. Dalam kehidupan modern dan praktik teknologi yang
semakin berkembang dan maju, manusia terkadang kehilangan atau
dihilangkan kemanusiaannya (dehumanisasi). Dengan kata lain
dibendakan, diobjekkan, dan tidak dianggap sebagai manusia yang
berpikir. Bentuk gerakan humanisasi tersebut adalah upaya untuk
mema-nusiakan manusia, yakni mengembalikan manusia kepada
fitrahnya, kepada kemanu-siaannya yang sejati, yang merupakan
bentuk perlawanan terhadap upaya-upaya dehumanisasi yang
dilakukan oleh lingkungan dan pergaulan di sekitarnya.
Dalam kehidupan yang bersifat industrialistis, dalam penje-
lasan Kuntowijoyo, aspek kemanusiaan terkadang tidak dipedulikan.
Adanya ‘perobotan’ atau pengobjekan manusia, diselewengkannya hak
asasi, dan upaya-upaya dehumanisasi lainnya. Yang menyebabkan
manusia kehilangan hakikat kemanusiaannya. Maka upaya untuk
pengembalian kemanusiaan itulah yang menjadi tanggung jawab
khairuu ummah atau umat terbaik36.
Nahi mungkar (mencegah keburukan/kejahatan) yang kemu-
dian diterjemahkan menjadi liberasi, dengan kata lain dapat diartikan

36
Umat terbaik (khairuu ummah) di sini bukan dimaknai sebagai umat yang
hidup semasa Nabi, semisal sahabat, tabiin, dst. Melainkan setiap umat Islam
yang dalam realitasnya memang memiliki tugas untuk itu, yakni melakukan
tiga pilar ilmu profetik tersebut (humanisasi, liberasi, dan transendensi) yang
tentunya merupakan kontektualisasi zaman.

81
atau dipadankan dengan kata pembebasan. Liberasi lebih diarahkan
kepada pembebasan seseorang deari sistem sosial dan kebijakan para
penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya terkadang dibatasi oleh sistem sosial yang di
tiap lokal biasanya berbeda-beda. Satu hal yang dapat terasa jelas
adalah dengan ketika adanya ketimpangan antara yang kaya dengan
yang miskin. Yang dalam sistem masyarakat yang kapital tentunya
akan lebih membela golongan yang memiliki uang. Sementara yang
miskin akan tersisihkan. Sistem sosial inilah yang menyebabkan
adanya ketimpangan sosial dan penindasan terhadap mustadh’afin.
Dengan tidak diperhatikannya masyarakat miskin.
Selain itu, hubungan masyarakat dengan pemangku kebijakan
atau pemerintah yang menghasilkan produk kebijakan politik yang
akan dirasakan baik secara langsung maupun tidak oleh masyarakat.
Produk kebijakan politik yang bersifat merugikan dan tidak memihak
rakyat kecil, tentunya akan menimbulkan persoalan dan gejolak di
tengah masyarakat. Hal tersebut pula merupakan bentuk penindasan
struktural yang nyata, dan juga merupakan kesewenang-wenangan
para pemangku kebijakan terhadap masyarakat yang hanya dijadikan
objek kebijakan politiknya.
Dalam konstitusi IMM jelas, segala ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan adalah musuh nyata bagi IMM (lihat NDI/nilai
dasar Ikatan). Adanya pembodohan, pemiskinan, dan ketimpangan
sosial di dalam kehidupan masyarakat adalah wujud nyata sebuah
kemungkaran.
Tu’minuuna billah (beriman kepada Allah), yang kemudian
dipadankan dengan istilah transendensi. Transendensi secara harfiah
berarti melampaui atau di luar batas kemampuan manusia. Dalam

82
ilmu tasawuf37, transendensi adalah proses mendekatkan diri seorang
hamba kepada Tuhannya. Dengan kata lain, ibadah yang bersifat
habluminallah. Dalam konsep religiositas yang dimiliki IMM,
transendensi merupakan awal sekaligus akhir dari proses transformasi
gerakan profetik.
Artinya, proses humanisasi dan liberasi harus berlandaskan
kepada nilai-nilai ketuhanan atau implementasi dari nilai-nilai
ketuhanan, yang bersumber kepada Al-Quran dan sunah (sebagai
sumber pokok hukum Islam). Selain itu, transendensi juga merupakan
tujuan akhir bahwa proses humanisasi dan liberasi dilakukan dengan
tujuan untuk menunaikan ibadah kepada Allah SWT.
Jika dalam studi ilmu-ilmu sosial kritis hanya selesai ketika
terciptanya perubahan atau revolusi sosial.38 Dalam ISP, cita-cita itu
tidak berhenti dengan adanya revolusi sosial saja, melainkan lebih
kepada pembentukan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis
dan berkelanjutan. Inilah yang menjadi corak gerakan sosial profetik,
yakni menjadikan nilai-nilai ketuhanan sebagai pijakan awal
(landasan) sekaligus tujuan akhir (orientasi).
Konsep gerakan dakwah sosial IMM selaras dengan konsep
ISP tersebut. Sebagai organisasi pergerakan yang bergerak di ranah
kemasyarakatan, IMM yang berlandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan
(Al-Quran dan sunah) dalam upaya mencapai cita-cita, senantiasa
mengupayakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia.
Yang akan tercermin dari kader-kader autentik yang lahir dengan
kemurnian dan ketulusan.

37
Tasawuf dalam perspektif modern, yang memadupadankan kehidupan
dunia dengan akhirat. Yang keduanya adalah berkelindan, dan konkomitan
terhadap perkembangan dan kemajuan zaman.
38
Revolusi sosial yang cenderung berujung kepada perebutan kekuasaan,
yang pada akhirnya berorientasi politik dengan dalih kekuasaan di tangan
rakyat, kemudian setelah berkuasa malah menindas rakyat.

83
Tentu dengan merancang teknis ranah gerak yang telah termaktub
dalam Trilogi IMM (kemasyarakatan, kemaha-siswaan, dan
keagamaan) dan Nilai Dasar Ikatan yang memuat konsep dan cita-cita
ideal.
Garis besarnya, IMM adalah gerakan amaliah-ilmiah dan
ilmiah-amaliah, merupakan organisasi yang mencita-citakan tatanan
masyarakat ideal. Hal ini pun dilakukan sebagai wujud tanggung
jawab IMM sebagai kader bangsa dan kader umat. Maka, proses
pengamalan gerakan IMM mesti sesuai dengan nilai-nilai dan landasan
perjuangan IMM. Dengan begitu, gerakan ilmiah-amaliah dan amaliah-
ilmiah tidak hanya menjadi corak gerakan IMM yang autentik, tapi
juga sebagai ejawantah atas nilai-nilai Islam, dengan perjuangan dan
pengabdian di tengah masyarakat, juga bentuk ibadah kepada Allah
SWT (lillahita’ala).[]

84
IMM UNTUK
KEMANUSIAAN UNIVERSAL

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah sayap


gerakan dakwah Muhammadiyah. Yang kita kenal dengan dakwah
amar makruf nahi mungkar. Pada masa awal, Muhammadiyah telah
memberikan cara berpikir baru, pemikiran modern, yang oleh
masyarakat kala itu dinilai sebagai pemikiran kafir dan menyimpang
dari ajaran Islam. Munir Mulkhan dalam buku-nya menjelaskan,
kegiatan keislaman yang sudah membudaya seperti sekarang ini
mulanya dipelopori oleh Muhammadiyah. Seperti shalat berjamaah di
lapangan terbuka, pengelolaan zakat, pengelolaan ibadah haji, dai atau
guru keliling (kiai yang menghampiri murid/jamaah), dan sebagainya.
Muhammadiyah pada masa awal pula dikenal dengan
peranannya dalam memberantas TBC (tahayul, bid’ah, dan curafat/
kurafat), yang dikenal dengan gerakan purifikasi atau pemurnian.
Pada waktu itu, TBC amat lekat dengan budaya masyarakat
Yogyakarta. Dan yang paling dikenal sebagai corak gerakannya adalah
dakwah sosial yang dikatakan oleh Munir Mulkhan sebagai gerakan
sosio-ritual, yakni ritual agama dalam bentuk gerakan sosial.
Karena itulah kemudian Muhammadiyah melahirkan sekolah,
kampus, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain. Hal ini dikenal juga
dengan trisula Muhammadiyah, yakni pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan sosial (schooling, heeling, dan feeding). Pendidikan yang
tercermin dari hadirnya sekolah-sekolah, boarding school (pesantren
modern), dan universitas Muhammadiyah di tengah masyarakat.
Kesehatan dengan hadirnya rumah sakit, dan pelayanan sosial dengan
adanya panti asuhan dan panti jompo.
Pada abad keduanya, menurut Hajriyanto Thohari,
Muhammadiyah memiliki trisula baru. Yang disebut trisula baru itu
adalah pemberdayaan masyarakat, penanggulangan bencana, dan

85
gerakan zakat. Pemberdayaan masyarakat melalui Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM)-nya, penanggulangan bencana
dengan MDMC, dan gerakan zakat dengan Lazismu. Yang ketiganya
adalah lembaga terstruktur, yang diharapkan mampu menjawab
kebutuhan di tengah masyarakat.
IMM memiliki ranah gerak kemahasiswaan, kemasyarakatan,
dan keagamaan. Yang dalam tipikal dakwahnya tentu tak jauh beda
dengan Muhammadiyah, modern, kritis, moderat, dan berkemajuan.
Dalam artikelnya, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa kata
kunci gerakan dakwah Muhammadiyah adalah “menggembirakan”,
Islam yang menggembirakan, dakwah yang menggembirakan. Hal ini
jika kita mengingat kisah Kiai Dahlan yang mengajar ilmu agama
dengan menggu-nakan biola, misalnya. Tentu di tengah masyarakat
yang anti-produk Barat pada saat itu hal itu termasuk cukup berani
(berani berbeda), tapi kemudian hal itu menarik murid-muridnya
untuk bertanya perihal agama. Bahwa agama itu dia katakan damai,
sejuk, dan menenangkan. Hal itulah yang kemudian menjadi pelajaran,
bahwa untuk berdakwah atau menyampai-kan kebaikan kita perlu
cara-cara yang cerdik, agar mudah dipahami juga menarik perhatian
(Rusdianto [ed], 2015).
Dakwah sosial IMM atau gerakan kemasyarakatan yang dalam
konteks sosio-ritual tentunya merupakan konsekuensi dari apa yang
ditegaskan IMM yang berlandaskan Al-Quran dan sunah. Tentu
sebagai konsekuensi dari kesadaran teologis terhadap Sang Maha
Pengasih dan Penyayang maka kesadaran sosial harus membumi.
Sebagaimana Rasulullah yang hadir untuk memurnikan akidah dan
membenahi akhlak kaumnya. Posisi tersebut tak bisa kita cerabut dari
akar gerakan IMM itu sendiri, yang sedianya bersifat tranformatif dan
liberatif. Maka, gerakan IMM adalah murni gerakan yang diupayakan
untuk membumikan wahyu Tuhan ke dalam kehidupan sosial.

86
Fenomena kemanusiaan hari ini memberikan kita gambaran bahwa
tidak (belum) adanya kesadaran universal di tengah masyarakat.
Manusia masih tersekat oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Adanya
diskriminasi terhadap warga yang bebeda suku, golongan, dan
lainnya, serta sikap intoleran terhadap perbedaan paham dan
keyakinan. Seperti yang terjadi di Myanmar, Palestina, Amerika, dan
lainnya. Tentu cita-cita kemanusiaan universal menjadi agenda besar
sekaligus berat, yang perlu digalakkan oleh setiap insan, sebagai upaya
mewujudkan nilai-nilai Islam di tengah kehidupan.
Kuntowijoyo mengenalkan istilah objektivikasi Islam (Kunto-
wijoyo, 1998), yang dia katakan sebagai pengamalan nilai-nilai Islam
yang bersifat universal untuk mengatur suatu kehidupan. Menurut dia,
nilai-nilai Islam harus direfleksikan terhadap fakta objektif, sehingga
kemudian nilai-nilai Islam bisa diterima oleh semua kalangan. Tentu
hal ini berkaitan dengan hubungan antarsesama manusia (sosial).
Misalnya, untuk melakukan suatu kebaikan, seperti menolong orang
yang membutuhkan, membantu orang yang lemah, menolong orang
yang terkena bencana/musibah, kita tidak perlu memerkara-kan apa
agamanya, dari mana asalnya, apa suku dan golongannya, kita hanya
perlu membantunya sebagai wujud sosio-ritual kita. Cita-cita
utamannya adalah menegakkan keadilan dan kemanusiaan yang
beradab dan bermartabat. Contoh lain, misalnya, dalam konteks
hukum negara menegakkan hukum yang adil dan dapat diterima
semua kalangan.
Hal inilah yang kemudian menjadi upaya terwujudnya Islam
yang rahmatan lil’alamin (rahmat bagi sekalian alam) yang juga menjadi
cita-cita IMM-Muhammadiyah. Muhammadiyah yang hadir dengan
PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem/ Umum)-nya atau sekarang
MPKU (Majelis Penolong Kesengsaraan Umum), dengan penang-
gulangan bencana (MDMC), sekolah, dan pelayanan sosialnya. Maka,
IMM pun mampu menjadikan ladang amalnya, ladang dakwahnya,

87
dengan menghadirkan wajah Islam yang bervisi kemanusiaan univer-
sal dalam setiap gerakannya. Yang mampu menjangkau sekat-sekat
perbedaan untuk kemudian menegakkan yang makruf dan
menghindarkan yang mungkar.

Kemanusiaan Universal Sebagai Pengamalan Tri Kompetensi Dasar


Tri kompetensi dasar yang terdiri dari humanitas,
intelektualitas, dan religiositas, merupakan wujud cerminan kader
IMM terhadap nilai-nilai ikatan, yang kemudian diletakkan (dicita-
citakan) dalam frasa ‘akhlak mulia’ dalam tujuan IMM. Hal ini pula
menjadi cerminan terhadap nilai-nilai Islam yang bersifat rahmatan lil
‘alamin. Dengan kesalehan-kesalehan individu yang dimiliki kader
IMM, tentunya spirit akademisi Islam yang berakhlak mulia dapat
terwujud.
Jika kita merujuk kepada gerakan Muhammadiyah yang
dicontohkan di atas tentu kita akan melihat bahwa Muhammadiyah
telah memiliki jasa yang tak sedikit untuk pembangunan bangsa dan
masyarakat di republik ini. Hal ini pun kemudian menjadi refleksi
historis kita terhadap karya-karya monumental yang dihasilkan dari
obrolan-obrolan para tokoh Muhammadiyah terdahulu. Seperti halnya
lahirnya IMM, yang juga berawal dari obrolan-obrolan serius para
founding father IMM ketika melihat ternyata Muhammadiyah memang
membutuhkan hadirnya IMM sebagai wadah perkaderannya.
Integrasi nilai-nilai Islam dalam gerakan IMM sudah jelas
termaktub dalam enam penegasannya. Kemudian, trikompetensi dasar
yang menjadi tuntutan kader pun merupakan salah satu bentuk
penekanan terhadap perlunya integrasi keilmuan, agama, dan
kemanusiaan. Yang sudah sama-sama kita pahami bahwa cita-cita
kemanusiaan universal perlu kita bawa sebagai wacana yang tidak
hanya berada dalam diskusi saja. Melainkan juga berada dalam koridor
gerakan, yang terbingkai dalam dakwah amar makruf nahi mungkar.

88
Mery Kolimon menyatakan bahwa, Romo Magnis menegaskan
pentingnya agama-agama di Indonesia menjadi rahmatan lil alamin. Hal
menjadi rahmat bagi bangsa dan segenap semesta, mestinya bukan
hanya berlaku bagi agama Islam, tetapi bagi semua agama di
Indonesia. Agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan
semua agama suku di negeri ini harus menjadi berkat bagi bangsa ini
dan segenap ciptaan Allah yang ada di bumi indonesia. 39 Artinya, nilai-
nilai kemanusiaan hendaknya bisa mempersatukan setiap sekat-sekat
agama, golongan, maupun suku. Dengan label satu kepentingan, yakni
kepentingan kemanusiaan.
Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang kemudian akan hadir di
ruang publik tidak dalam bentuk-bentuk ceramah atau orasi. Tapi,
menjadi bukti dalam perilaku, tindakan, kepedulian, empati, dan rasa
saling menjaga dan menghormati. Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan tentu menjadi konsekuensi beragama dan berilmu.
Bukankah tri kompetensi dasar yang dimiliki IMM mengarah ke sana?
Menurut pemahaman saya, tri kompetensi dasar yang dimiliki kader-
kader IMM sejatinya menjadi cita-cita besar IMM untuk melahirkan
bukan hanya kader persyarikatan. Tapi juga kader bagi masyarakat,
agama, dan bangsa yang memiliki peran untuk mengisi setiap lini
kehidupan. Tentu, dengan bermodal kesalehan tadi.
Dengan demikian, cita-cita kemanusiaan universal sejatinya
menjadi refleksi terhadap dunia yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan ini. Dengan adanya tindakan intoleran dari sebagian
kelompok. Satu kelompok menindas kelompok lain. Dan saling sikut
hanya untuk kepentingan golongan, dengan mengabaikan
harmonisasi, toleransi, dan persaudaraan umat. Hadirnya agama
dalam hal ini hendaknya bisa menjadi pemersatu umat manusia
(sentripetal) bukan menjadi pemecah belah (sentrifugal). Dan hal itu

39
Melissa, Ayu & Husni Mubarok, Agama, Keterbukaan dan Demokrasi;
Harapan dan Tantangan, (Paramadina, 2015). hlm. 34

89
harusnya ada dan tertanam dalam diri setiap kader IMM yang
memiliki tri kompetensi dasar (religiositas, humanitas, dan
intelektualitas) secara utuh dan mendalam. Wallau a’lam.[]

90
IMM DAN JIHAD POLITIK BERBASIS KESADARAN KRITIS 40

“Keikutsertaan Muhammadiyah dalam merumuskan keindonesiaan


akan memberi makna dalam sejarah perjalanan bangsa sebagaimana
telah dilakukan oleh generasi pendahulu Muhammadiyah. Peran serta
Muhammadiyah secara aktif ini juga akan kian mengukuhkan
perjuangan Muhammadiyah dalam mewarnai sejarah perjuangan
bangsa. Hal ini juga menjadi penanda bahwa transformasi sosial agama
belum berakhir.”
Benni Setiawan – Nasionalisme Muhammadiyah (dalam NUhammadiyah
Bicara Nasionalisme)
“Dengan segala optimisme, tekad kuat bahwa politik untuk
kemanusiaan perlu diadzankan ke seluruh basis-basis perkaderan IMM
se-Indonesia, ke seluruh kader ikatan di mana pun berada. Bahwa
tekad kuat kini telah dimulai kembali yakni agenda IMM untuk
‘Selamatkan Indonesia dan Kemanusiaan’ di masa mendatang.”
Amirullah – IMM untuk Kemanusiaan

Bicara Soal Politik di Muhammadiyah


Bicara soal Muhammadiyah dan politik tentu sangat menarik.
Beragam perspektif kerap kita temukan di berbagai buku, yang
mengupas dari sudut pandangnya masing-masing. Muhammadiyah
adalah organisasi kebudayaan, yang dalam bahasa Abdul Munir
Mulkhan dikatakan sebagai organisasi sosio-ritual. Dalam buku Api
Pembaruan Kiai Ahmad Dahlan, Munir Mulkhan mengatakan bahwa
secara kultural masyarakat Indonesia adalah Muhammadiyah, sebab
budaya-budaya dan tradisi keislaman yang saat ini menjadi tradisi
ritual umat Islam di Indonesia adalah dipelopori oleh Muhammadiyah.

40
Ditulis untuk Diskusi Publik IMM, PC IMM Cirendeu, 24 Oktober 2016,
sebagai diskusi pembukaan DAM yang mengusung tema “Reposisi Gerakan
dalam Menyambut Pesta Demokrasi”.

91
Misalnya, sekolah, shalat id di ruang terbuka, panti asuhan, tradisi
guru keliling, sampai pada pengelolaan ibadah haji yang terorganisir.
Itulah mengapa kemudian Muhammadiyah bisa diterima di
masyarakat secara luas, yakni melalui jalur kebudayaan.
Muhammadiyah bukanlah gerakan politik, apalagi partai
politik. Kalimat tersebut rasanya memang sudah biasa didengungkan
di kalangan kader-kader IMM. Hal ini tidak terlepas dari penegasan
bahwa Muhammadiyah tidak berdakwah untuk kepentingan politik,
apalagi berdakwah lewat jalur politik, Muhammadiyah lebih memilih
dakwah sebagai civil society. Noor Chozin Agam dalam Islam
Berkemajuan Gaya Muhammadiyah menyebutkan, dalam hal politik,
Muham-madiyah memandang sangat penting hingga dalam setiap
persoalan politik senantiasa menginstruksikan agar keluarga besar
Muhammadiyah tidak apatis (masa bodoh)… politik yang
dimaksudkan adalah politik ilmu bukan politik praktis… artinya,
Muhammadiyah secara organisatoris tidak akan terlibat dan
melibatkan diri dalam politik praktis, walaupun ada kesempatan bagi
Muhammadiyah untuk menjadi partai politik4142. Namun,
Muhammadiyah pun memiliki tanggung jawab yang besar dengan

41
Noor Chozin Agam, Islam Berkemajuan Gaya Muhammadiyah, (UHAMKA
Press: Jakarta, 2015), hlm. 197
42
Dalam tulisannya pun Agam seolah tidak setuju dan tak mengamini jika
Muham-madiyah menjadi atau berafiliasi dengan parpol. Dia menyebutkan
“walaupun se-sungguhnya ada kesempatan dan banyak dorongan supaya
Muhammadiyah menjadi parpol, tapi kesempatan dan dorongan itu insya
Allah tidak akan menggoyahkan pendirian Muhammadiyah..” (h.197) dan di
akhir tulisannya pun menyebutkan, “Insya Allah Muhammadiyah tetap
konsisten , tidak tergiur untuk bergabung atau mendirikan partai politik.
Muhammadiyah hanya akan menyediakan kader-kader politik yang bermoral
untuk –secara individu- dapat direkrut atau bergabung dengan partai apa pun
juga selama masih berkhidmat untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsa
Indonesia.” (h.200)

92
menyiapkan kader-kadernya yang juga siap secara moral dan etis
untuk memegang kepemimpinan negara.
Fakta sejarah mencatat, kiprah Muhammadiyah dalam dunia
politik yang bisa dibilang memiliki peran yang cukup penting dalam
menopang kemajuan bangsa. Pertama, Muhammadiyah pernah
bergabung dengan gerakan-gerakan politik (baik itu partai maupun
non-partai), seperti (Partai) Sarekat Islam dan Budi Utomo. Kemudian,
Mas Mansur, Hisyam, dan Ibrahim yang juga sempat terlibat aktif
dalam Partai Islam Indonesia (PII). Perlu dicatat, gerakan politik yang
dilakukan Muham-madiyah pada masa awal, kala itu adalah politik
etis atau high politics, yang pada dasarnya tetap bersandar kepada nilai-
nilai atau prinsip dakwah. Muhammadiyah juga sempat berperan di
Masyumi, bahkan menjadi anggota istimewa, meskipun pada akhirnya
harus meninggalkan (Masyumi) dunia politik dan kembali kepada
khitahnya. Kemudian, Muhammadiyah juga turut aktif dalam
pendirian Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada masa Orde Baru 43.
Hal itu cukup membukitkan peran Muhammadiyah di dunia politik,
yang meskipun kini telah kembali kepada khittahnya sebagai
organisasi berbasis kebudayaan, yang lebih dekat dengan masyarakat
ketimbang dengan para elite politik.
Desas-desus adanya afiliasi Muhammadiyah dengan partai
politik, sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Di sisi lain
Muhammadiyah tetap memilih untuk tidak berafiliasi dengan parpol
mana pun, tapi di sisi lain kader-kader Muhammadiyah kemudian
aktif di beberapa parpol, seperti Golkar, PAN, PDI, dan sebagainya
yang mungkin tidak terdeteksi. Hal ini tentunya perlu kita tinjau
dengan saksama. Dalam hemat penulis, Muhammadiyah harus tetap
kepada khittahnya, seba-gai organisasi Islam yang bercorak sosio-
religius-kultural, tak perlu menjadi atau berafiliasi dengan parpol.
Mengingat sejarah kelam Muhammadiyah yang pernah aktif di

93
Masyumi dan Parmusi. Hal ini tentu berbeda dengan keaktifan (elite)
Muhammadiyah sewaktu bergabung dengan Budi Utomo dan Sarekat
Islam yang pada waktu itu masih konsisten dengan politik etisnya.
Melihat dinamika saat ini, tentunya perlu sikap yang tegas. Bahwa
tidak bisa dimungkiri Muhammadiyah perlu mendiasporakan
kadernya di berbagai lini kehidupan, termasuk politik kebangsaan.
Muhammadiyah dalam khitahnya pun menekankan kepada
anggotanya yang aktif di dunia politik untuk benar-benar dan
sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab,
keteladanan, dan perdamaian, serta aktivitas politik tersebut harus
sejalan dengan upaya memperjuangkan misi persyari-katan dalam ber-
amar makruf nahi mungkar44. Maka kemudian, lahirlah tokoh-tokoh
nasional dari tubuh Muhammadiyah, yang memiliki kontribusi dalam
dinamika kebangsaan. Seperti, Ki Bagus Hadikusumo, Sudirman,
Sukarno, M Natsir, dan Amien Rais. Artinya, tanpa bersinggungan
langsung dengan parpol (afiliasi) pun Muhammadiyah ternyata
mampu menyumbangkan kader-kader terbaiknya untuk turut meme-
gang amanah negara.

IMM Bukan Gerakan Politik Praktis


Tulisan ini barangkali sekadar mempertegas posisi IMM
terhadap gerakan politik, dalam tanda kutip kepentingan politik praktis.
Beberapa hal yang perlu dipertegas terkait gerakan IMM hari ini,
setidaknya penulis uraikan sebagai berikut. IMM bersifat independen
terhadap kepentingan politik praktis. Hal ini pun sudah dipertegas dalam
deklarasi setengah abad IMM di Muktamar ke-XVI IMM di Solo (26
Mei-1 Juni 2014) tempo hari. Ada enam poin penegasan dalam
deklarasi setengah abad itu, sehingga kemudian disebut juga sebagai
enam penegasan kedua. Adapun isinya yaitu menegaskan: (1) IMM

43
Lihat, Munir Mulkhan, Boeah Fikiran Kijai Haji Achmad Dachlan, hlm. 33
44
Lihat Amirullah, ibid, hlm. 242

94
adalah perkaderan Islam berlandaskan ideologi Muhammadiyah; (2)
Pengkaderan IMM berbasis pada pengua-tan kapasistas individu dan
gerakan komunal yang bertumpu pada kearifan lokal; (3) Perkaderan
Ikatan selalu menanam-kan nilai-nilai moralitas profetik dan
multikultural dalam rangka membumikan gerakan dakwah Islam; (4)
IMM bersifat independen terhadap politik praktis; (5) Menggerakkan
cinta masjid sebagai basis gerakan IMM; (6) Orientasi gerakan IMM
diarahkan pada penyelesaian problematika.
Deklarasi setengah abad IMM tersebut, terutama poin
keempat, menegaskan bahwa gerakan IMM tidak boleh tercemari oleh
kepentingan-kepentingan politik praktis. Selebihnya adalah penegasan
IMM sebagai organisasi perkaderan. Kemudian, perlu disadari
bersama bahwa posisi tawar IMM dipertaruhkan, andai saja mencoba
untuk berafiliasi dengan kepentingan politik45. IMM adalah gerakan
dakwah murni yang bersifat amar makruf nahi mungkar, tidak
berorientasi kepada kepentingan politik apa pun, melainkan
berorientasi kepada kemaslahatan dan kemanusiaan universal.
Persoalan selanjutnya, masih ada kader yang buta, alergi, dan
sensitif dengan kata ‘politik’. Independen terhadap kepentingan politik
praktis, tidak lantas membuat kader IMM alergi terhadap isu-isu
politik, kritik kebijakan, dan sebagainya yang berhubungan dengan isu
kebangsaan. Hal ini juga menjadi perhatian kita bahwa seyogianya
aktivis IMM bisa melek terhadap isu politik dan kebangsaan yang
berkembang. Sebab, dengan memiliki kesadaran tersebut, IMM bisa
berperan aktif dalam meng-counter kebijakan-kebijakan yang sekiranya
tidak berpihak kepada rakyat, dengan mengkaji dan merespons
dengan kritis untuk kemudian mengupayakan ide-ide dan solusi.

45
Yang perlu kita garis bawahi adalah kepentingan politik praktis yang bersifat
transaksional, yang hanya berorientasi kepada perebutan kekuasaan. Semisal,
pilgub, pilleg, pilkada, pilbup, pilpres, dll. Serta kepentingan yang berlatar
partai politik.

95
Hal ini juga berkaitan dengan fungsi dan peran bidang
Hikmah di dalam tubuh IMM, yang memiliki peran sentral dalam
mengawal isu-isu politik, kebijakan pemerintah, dan bertugas
mewadahi potensi politik kader serta memperkaya wawasan
kepolitikan kader. Mengingat, kebutaan terhadap isu politik juga akan
membuat kaum muda, dalam hal ini kader IMM, kehilangan perannya
sebagai pengontrol kebijakan pemerin-tah, yang akan berpengaruh
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka, kajian dan aksi-aksi protes terhadap kebijakan pemerin-
tah pun menjadi salah satu dari sekian banyak agenda IMM, yang bisa
dinilai penting, sebagai partisipasi jihad politik IMM dalam mengawal
kebijakan pemerintah. Berkaitan dengan independensi IMM terhadap
kepentingan politik, tentunya IMM harus memiliki sudut pandang
yang objektif. Berbeda halnya jika IMM berafiliasi dengan parpol,
cagub, caleg, capres, dan sebagainya, yang sama sekali tidak
dibenarkan. Tentunya, peran IMM akan tersandera oleh kepentingan
politik dan orientasi perebutan kekuasaan atau materi 46.

IMM Sebagai Intelektual Autentik


Daoed Joesoef47 dalam bukunya menjelaskan, intelektual
berdasarkan tingkatannya terbagi menjadi tiga. Yakni, intelektual
produktif, intelektual reproduktif, dan intelektual konsumen. Pertama,
intelektual produktif adalah intelektual yang telah memiliki produk
dari gagasan-gagasannya, yang bersifat ilmiah, religius, artistik, dan
praktis. Yang dari produknya tersebut, kemudian dimanifestasikan ke
dalam tindakan nyata. Kedua, intelektual reproduktif yaitu inte-lektual
yang baru sekadar menjalankan atau menggerakkan gagasan-gagasan

46
Hal ini mengingat kuatnya arus politik-transaksional di Indonesia, yang tak
lebih hanya jual-beli kepentingan.
47
Daoes Joesoef, Gagasan dan Pikiran: 10 Wacana tentang Masalah
Kehidupan, Jakarta: Kompas.

96
orang lain, dengan proses pencomotan gaga-san sana-sini kemudian
diolah dan dimanifestasikan dalam satu tindakan reflektif untuk
menjawab problematika. Tingka-tan ketiga, paling bawah, yaitu
intelektual konsumen atau intelektual yang masih dalam proses
belajar. Maksudnya, intelektual dalam tingkatan ini masih sedang
dalam proses pencarian, belum memiliki dan memperjuangkan
gagasannya, atau masih mengekor. Intelektual konsumen inilah yang
dikatakan Joesoef gampang terbawa oleh kepentingan politik praktis
yang licik seperti yang banyak terjadi di kalangan aktivis mahasiswa.
Ketiga tingkatan ini dapat mengukur sudah sejauh mana gerakan IMM
sebagai gerakan intelektual, masih mengekorkah? Atau sudah
menelurkan gagasan-gagasannya?
IMM adalah gerakan intelektual yang berlatar gerakan maha-
siswa Islam. Abdul Halim Sani dalam Manifesto Gerakan Inte-lektual
Profetik menyebut IMM sebagai intelektual profetik, sedangkan
Amirullah dalam IMM untuk Kemanusiaan lebih suka menyebutnya
dengan istilah intelektual integratif. Pada dasarnya, penyebutan
tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi
dan gerakan IMM. Maka, penulis pikir penyebutan intelektual autentik
pun cocok untuk memaknai sekaligus menegaskan gerakan IMM
sebagai gerakan yang murni, yang bergerak demi membela
kemaslahatan. Tentu istilah ini pula bukan semata-mata untuk
penyebutan, melainkan untuk mempertegas kembali posisi IMM
sebagai gerakan intelektual, yang saat ini terbagi ke dalam beberapa
ruang. Ada yang bergerak dan mengklaim dirinya sebagai intelektual
organik (istilah Gramschi) yang selalu memperjuangkan kaumnya, ada
yang menjadi intelektual profetik yang bergerak dengan misi kenabian
(humanisasi, liberasi, dan transendensi), ada juga yang menjadi

97
intelektual integratif48 (istilah Amirullah) yang setia kepada
universalitas kemanu-siaan dengan menjalankan fungsinya di berbagai
lini kehidu-pan, dan sebagainya. Maka penyebutan intelektual autentik
merupakan penegasan IMM sebagai intelektual yang murni, bersih,
dan semata-mata bergerak untuk kepentingan kemanusiaan dan
menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardh, serta mencoba
menghadirkan Tuhan ke dalam ruang publik.
Maka, dari paparan di atas, setidaknya IMM sebagai gerakan
intelektual perlu menerjemahkan berbagai gagasan dan ide, serta
gerakannya untuk kemudian memunculkan gagasan autentiknya.
Yakni gagasan yang murni, yang berorientasi kepada kemaslahatan
kehidupan manusia. Gagasan inilah yang menjadi ciri mendasar
seorang intelektual, yakni komitmen terhadap gagasan, senang dan
tidak jemu membahas gagasan, selalu memikirkan masalah kehidupan,
berpikiran terbuka, dan berdiri sendiri (independen). Menurut penulis,
tipikal intelektual seperti inilah yang perlu IMM lahirkan (persiapkan),
di samping intelektual formal-akademis (yang hanya berperan di
dalam ruang intelektual kuliah) dan intelektual politik.

Peran IMM Dalam Merawat Intelektualitas Kader


Tak bisa dimungkiri dan ditawar-tawar, IMM adalah
organisasi kaderisasi yang memiliki tanggung jawab perkaderan. Perlu
kita bedakan organisasi kader dengan organisasi massa. Organisasi
kader berorientasi jangka panjang, dengan bersandar kepada
pemantapan kualitas individu kader, yang dalam IMM diukur dengan
akhlak mulia sebagai manifestasi keislamannya. Sedangkan organisasi
massa kebanyakan hanya berorientasi kepada kuantitas, dan tujuannya
pun lebih kepada tujuan-tujuan jangka pendek. Maka, sebagai konse-

48
Intelektual integratif yang dikatakan Amirullah sepemahaman penulis
adalah intelektual yang bersifat intergatif, nondikotomis alias terbuka,
mendalam, tajam, dan komprehensif dalam memandang suatu persoalan.

98
kuensinya, wajib hukumnya atau setidaknya fardhu ‘ain, untuk IMM
bisa menggodok kader-kadernya, dalam rangka menciptakan kader
yang memiliki kapasitas mumpuni dan kualitas yang baik. Dalam hal
ini, IMM harus mampu menciptakan wadah bagi kader-kadernya
untuk berproses dan menempa diri, untuk kemudian menjadi bagian
dari generasi yang memiliki ide dan gagasan yang bisa menjadi
tawaran untuk kehidupan secara global.
Secara praktis, IMM memang memiliki peran dan tanggung
jawab yang luar biasa dalam pengembangan intelektualitas kadernya.
Hal ini pun perlu disadari oleh setiap kader IMM maupun
pimpinannya, untuk senantiasa memanfaatkan IMM sebagai wadah
dan ruang dialektika. Dialektika di sini tidak hanya dengan mencekoki
kader pemahaman ideologi yang bersifat dogmatis. Artinya, pola
pendekatan dialogis dalam menginternaliasi ideologi pun perlu
dibangun. Dengan demikian, kita perlu menerapkan pendidikan kritis
dalam membina kapasitas intelektual kader, dengan adanya proses
dialog. Kemudian, sebagai penunjang tentu perlu bagi kader untuk
mempelajari ilmu-ilmu selain tentang Muhammadiyah, IMM, dan ilmu
kuliah (jurusan)-nya. Jadi, kader IMM tidak boleh terperangkap atau
tersekat dalam kotak-kotak jurusannya saja. Dalam segi keilmuan
kader IMM harus menguasai (atau setidaknya tidak alergi) ilmu-ilmu
sosial, filsafat, ekonomi, politik, agama, dan budaya sebagai pelengkap
kapasitas intelektualnya. Hal itu pula akan menunjang nalar kritis dan
argumentatif, sebagai modal untuk membaca dan merespons realita di
sekitarnya.

Merawat Nalar (Kesadaran) Kritis Kader


Di bagian ini penulis mencoba memaparkan hal-hal praksis,
yang juga penulis sempat alami dalam proses perkaderan. Penulis pikir
hal ini perlu IMM kembangkan di tiap level pimpinannya. Hal ini,
mungkin juga sudah dilakukan dan bahkan menjadi budaya di

99
berbagai daerah dan pimpinan IMM. Namun, dengan tulisan ini
penulis berharap, hal ini bisa menjadi tawaran sekaligus sumbang ide
kepada pembaca sekalian untuk kembali menghidupkan kelompok-
kelompok kreatif (creative minority) sebagai basis pemberdayaan dan
peningkatan kapasitas kader, bahkan menjadi basis bagi otak gerakan
IMM yang memegang peran kunci dalam mengawal gerakan-gerakan
IMM.
Beberapa model atau wadah untuk merawat dan mening-
katkan kesadaran kader, di antaranya, bisa dilakukan dengan
membuat basis-basis diskusi di berbagai lingkaran. Hal ini bisa disusun
dengan melihat kepada minat dan potensi masing-masing kader yang
pasti berbeda-beda. Misalnya, dengan membuat diskusi pemikiran,
yaitu membuat lingkaran kajian yang fokus memperdalam pemikiran-
pemikiran para tokoh. Atau membuat lingkaran kajian filsafat, yang
juga membahas para filsuf dengan produk pemikirannya. Bisa juga
dengan membuat kajian lintas isu, yang membahas ilmu-ilmu sosial,
politik, ekonomi, dan lainnya. Yang pasti budaya berpikir, membaca,
mengkaji harus dirasakan oleh kader, sebagai tahap pembinaan dan
penginternalisasian, lebih khususnya penca-rian karakteristik dirinya
sebagai kader IMM. Basis-basis penunjang perkaderan ini sangat terasa
manfaatnya, selain menjadi ajang untuk belajar, wadah ini pun menjadi
ruang untuk memperkuat ikatan antarsesama kader, yang sering
disebut sebagai perkaderan kultural. Pendekatan ini juga merupakan
pendekatan alamiah tapi terencana, karena pastinya memiliki target-
target capaian yang menjadi acuannya. Dengan pendekatan seperti ini,
antarsesama kader akan bisa saling memahami dan mengetahui
kapasitas masing-masing.
Dalam perkaderan struktural49 (formal) IMM sering dibuat
berbagai wadah diskusi kader untuk mewadahi ide-ide kreatif kader-

49
Disebut juga perkaderan pendukung, yang biasanya dibuat untuk mem-
follow up perkaderan formal (DAD).

100
kadernya. Kita tidak bisa membatasi pikiran-pikiran imajiner, utopis,
realistis, visioner, dan kritis yang dimiliki oleh kader. Maka wadah-
wadah diskusi tersebutlah seyogianya bisa menjadi arena tanding
untuk menuang hasrat kader yang haus akan ilmu, serta banyak
memiliki ide dan gagasan. Mulai dari sekolah kader, sekolah ideologi,
sekolah pemikiran, sekolah filsafat, dan sebagainya. Misalnya dengan
memanfaatkan kontrakan atau indekos milik pengurus untuk dijadikan
basis diskusi di luar kampus, sehingga kader merasa terbiasa dengan
budaya diskusi di mana pun, tak terbatas hanya di dalam tembok
kampus. Atau dengan mengadakan jalan-jalan sambil diskusi, artinya
sesekali kader diajak untuk berekreasi tapi dengan muatan dan konten
yang terencana, biarpun bentuknya hidden curriculum (hanya segelintir
orang yang menyet-ting). Tentunya dengan orientasi pengembangan
nalar kritis kader, yang juga akan menjadi bekal bagi kader dalam
merespons berbagai isu dan problematika di dunia luar kampus
maupun di dalam kampus.
Demikianlah paparan penulis tentang intelektual autentik yang
seyogianya menjadi jati diri kader IMM sebagai intelektual pergerakan,
yang menjalankan misi dakwah Islam dan Muhammadiyah. Di sini
penulis menarik garis besar bahwa kapasitas dan nalar intelektual
kader harus dibangun dan dibina secara istiqomah, untuk untuk
merawat intelek-tualitas dan nalar kritis kader. Berkaitan dengan itu,
segala bentuk kesadaran kritis yang kemudian akan terbangun melalui
budaya-budaya intelektual yang dibangun, baik secara kultural
maupun struktural. Agar kemudian tidak ada sikap alergi (anti)
terhadap berbagai ilmu, termasuk (ilmu) politik, sosial, filsafat, dan
lainnya. Sebagai wujud tanggung jawab moral IMM dan
Muhammadiyah untuk menciptakan kader-kader yang siap -secara
individu- terjun dan berkiprah di dunia politik, dengan tetap
menjunjung nilai-nilai dakwah dan kemaslahatan. Namun, perlu
dicatat dan digarisbawahi, IMM maupun Muhammadiyah secara

101
organisasi tidak berafiliasi dengan parpol maupun berpolitik praktis
(yang berorientasi kekuasaan). Wallahu a‘lam.[]

102
IMMAWATI DALAM TREN KEKINIAN

KEBERADAAN Immawati di dalam IMM terkadang memang


memunculkan kebiasan dalam memahami organisasi. Kebiasan
tersebut tak pelak menimbulkan tanda tanya, apakah Immawati hadir
sebagai pelengkap gerakan IMM, dari kalangan perempuan, layaknya
Aisyiyah terhadap Muhammadiyah, yang concern menjalankan misi
‘keperempuanan’. Atau memegang peran utuh, yang aktif sekaligus
produktif mence-tak kader perempuan. Secara mendasar, IMM sebagai
sayap dakwah harus mengambil peran utuh, begitupun Immawati.
Dengan ranah kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan, IMM
membutuhkan awak kapal yang utuh (kalangan laki-laki dan
perempuan) untuk menjalankan misi dakwahnya.
Selain itu, Immawati menjadi bagian penting, sebagai wadah
perkaderan perempuan muda dari kalangan akademisi, khususnya
intelektual muda Muhammadiyah. Dengan adanya bidang Immawati
tentunya IMM memiliki tawaran dakwah yang luas. Tidak sedikit
Immawati yang berhasil menjadi ketua umum di tataran komisariat
maupun cabang, bahkan ada juga yang lulus sampai tataran pusat
dengan prestasi yang membanggakan (meskipun bukan sebagai ketua
umum).
Hal ini membuktikan, dalam IMM ada kesamaan hak antara
Immawan (laki-laki) dan Immawati (perempuan) untuk memimpin
dan mengambil peran strategis. Hal ini pula menjadi bukti bahwa
keberadaan Immawati bukan sekadar pelengkap gerakan, melainkan
menjadi kekuatan tersendiri, serta warna bagi IMM.

Peran IMMAWATI di Ruang Publik


Kartini adalah sosok pejuang pembela hak kaum perempuan.
Terlepas dari kontroversi kaum perempuan mana yang dia bela,
karena pada saat itu masyarakat terpecah berdasarkan struktur sosial

103
dan ikatan primordialisme yang ketat. Sosok Cut Nyak Dien juga
merupakan salah satu sosok ‘pendekar’ perempuan yang mampu
membuktikan kesosokannya dengan turun ke medan perang.
Selanjutnya, Nyai Walidah (istri Kiai Dahlan) yang menjadi penggerak
bagi kelompok masyarakat perempuan dengan membangun
Sapatresna, cikal bakal Aisyiyah. Yang melakukan perkaderan
perempuan, yang hingga kini eksis mewarnai dakwah kemasyarakatan
sebagai ortom Muhammadiyah. Mereka adalah tokoh perempuan
(yang juga pahlawan nasional) yang memiliki karakternya masing-
masing dalam memperjuangkan keadilan. RA Kartini bergerak dengan
kemampuan intelektualnya. Cut Nyak Dien dengan otot dan
senjatanya. Dan Nyai Walidah dengan kelom-pok atau organisasi
perempuan yang dibentuknya.
Di ruang publik, peran perempuan dan laki-laki saat ini
menempati posisi yang setara. Artinya, tidak ada batasan bagi
perempuan untuk menjalankan tugasnya hanya di wilayah domestik,
dalam paradigma masyarakat tradisional, hanya mengurusi urusan
dapur, sumur, dan kasur. Tak sedikit perempuan menjadi pejabat
publik, kaum muda perempuan yang menjadi volunteer/relawan,
aktivis, maupun pemimpin organisasi. Lihat saja susunan
pemerintahan saat ini (Kabinet Kerja) yang menampilkan banyak tokoh
perempuan. Begitu pula di ranah sosial, misalnya, dalam tanggap
bencana ada peran perempuan. Atau, ada juga perempuan yang
bergerak menciptakan pusat belajar masyarakat, taman baca, dan
pembinaan di suatu daerah.
Dengan begitu, seyogianya Immawati memiliki peran po-
tensial untuk mengembangkan diri (ber-fastabiqul khairat), seperti yang
dilakukan ketiga tokoh perempuan Indonesia tadi. Selain itu, posisi
Immawati juga sentral di dalam kepemimpinan/kepengurusan IMM.
Khairun Nisa dalam buku Dalam Satu Masa menyebutkan tugas
Immawati, di antaranya, menjadi partner pendamping Immawan, agen

104
perubahan, pengeksekusi strategis aksi perempuan di segala bidang,
kontrol terhadap dinamika kelembagaan 50.
Maka, tugas Immawati tidak hanya concern mengurusi perihal
keperempuanan, tapi juga mengurusi kemanusiaan dalam berbagai
aspek (sosial, agama, budaya, politik, maupun ekonomi), sebagai
konsekuensi logis peran utuh yang diem-bannya. Peran utuh tersebut
menuntut Immawati menjadi perempuan yang progresif sejak dalam
pikiran. Tentunya, dengan memunculkan ide-ide dan gerakan-gerakan
baru, guna menjawab tantangan dan permasalahan global.

Kaum Perempuan Kekinian; Tantangan dan Tawaran


Tantangan
Saat ini, musuh kita (IMM) tak seperti apa yang dihadapi Cut
Nyak Dien, Nyai Walidah, dan Kartini dahulu. Tapi, lebih kepada
pelurusan paradigma, perkembangan pergaulan kaum muda, serta
kekerdilan berpikir internal yang terus diperlihara. Problematika yang
terjadi saat ini, yang pertama adalah tren, yang tercermin dari gaya
hidup berbasis teknologi digital. Tidak jarang, kaum perempuan
menjadi objek sasaran dari adanya kejahatan digital. Dengan maraknya
media sosial, yang kadang digunakan tidak pada tempatnya. Misalnya,
mengumbar foto-foto yang bersifat pribadi, yang dapat mengundang
berbagai macam kejahatan/kemungkaran.
Selain itu, tren mengenai hijab atau jilbab pun tak pelak
menjadi persoalan. Apalagi, dengan adanya isu bahwa Indonesia akan
menjadi pusat tren hijab internasional, karena dinilai memiliki varian
gaya yang dalam sudut pandang modern disebut modis. Masalahnya,
fokus dunia adalah kepada tren fashion-nya, bukan kepada esensi hijab
yang digunakan untuk menutup aurat. Hal ini pun akan menjadi
persepsi yang salah, ketika kita menjalankan sesuatu yang sebenarnya

50
Aulia Asmul Nasution & Mikrayana Ujung (ed), Dalam Satu Masa, (Global
Base Review: Jakarta, 2016), hlm. 90

105
bernilai ibadah tapi hanya dilakukan demi kebutuhan fashion yang
kadang menabrak ketentuan agama.
Kedua, yaitu pergaulan. Pergaulan di kalangan kaum muda
saat ini tidak hanya terbatas di ruang kelas dan lingkungan saja. Yaitu
kelompok-kelompok yang gemar jalan ke mal atau sekadar nongkrong
di warung/kantin. Biasanya, waktu hanya mereka habiskan dengan
nongkrong dan jalan-jalan (berbe-lanja di mal). Bagi sebagian dari
mereka ada yang antipati terhadap organisasi, apalagi organisasi
dakwah.
Ketiga, yaitu cara berpikir kerdil. Menurut Nithzche, dikutip
Eko Prasetyo, lebih baik berbuat jahat daripada berpikiran kerdil
(Bangkitlah Gerakan Mahasiswa). Artinya, kebaikan itu harus dikerjakan,
bukan hanya dipikirkan atau didiskusikan. Jika hanya menjadi sebatas
wacana maka kita akan kalah langkah oleh kejahatan-kejahatan,
meskipun sifatnya kecil. Apalagi, kejahatan yang besar. Meskipun
dalam Islam berniat baik sudah dicatat sebagai pahala.
Immawati berpikir kerdil ketika memikirkan dunianya saja.
Sebagai wadah perkaderan perempuan, Immawati harus bisa bergeliat
menunjukkan ‘taring’-nya di berbagai lini. Dengan bekal
intelektualitas, humanitas, dan religiositas Immawati akan
diperhitungkan di mana pun dia berada. Sedangkan dengan pola pikir
kerdil, Immawati hanya akan berkutat dengan masalah
keperempuanan, yang berkaitan dengan ranah domestik tadi, yang
seakan-akan memisah-kannya dari gerakan IMM secara keseluruhan.

Tawaran
Dengan persoalan yang demikian, hendaknya kita bisa
menerawang tentang apa saja yang sebaiknya dilakukan dan
dikembangkan Immawati dalam mengawal pergerakan IMM. Pertama,
melakukan pelurusan terhadap tren yang berkembang atau membuat
tren baru untuk mengimbangi tren tersebut. Kedua, bersifat inklusif

106
dalam bergaul, alias tidak pandang bulu. Dan ketiga, memperkuat pola
kaderisasinya, sebagai ujung tombak perkaderan perempuan.
Tren seperti yang sudah dijelaskan di atas merupakan suatu
produk yang tercipta dari kebutuhan zaman. Tren akan selalu berubah
dan selalu dimonopoli oleh kepentingan dan permintaan pasar. Siasat
untuk melawannya adalah dengan dakwah pencerahan. Atau dengan
membuat tren tandingan.
Siasat dakwah yang mencerahkan harus dimulai dari pola
pikir yang sesuai atau melintasi zaman. Artinya, dengan ide-ide kreatif
dakwah bisa dilancarkan. Misalnya, menggunakan media sosial yang
saat ini sangat digandrungi kaula muda. Isinya bisa dengan unggahan
yang berisi pelurusan terhadap tren-tren yang berkembang. Soal hijab
syar’i misalnya, atau tentang kewaspadaan mengunggah foto.
Sedangkan tren tandingan, perlu dilakukan secara berja-maah
(membangun jaringan kelompok). Jika ada kelompok hijabers yang
lebih menonjolkan sisi modisnya, maka Immawati bisa membuat tren
baru dengan kelompok hijab modis tapi syar’i misalnya. Yang
kegiatanya bukan hanya menciptakan tren mode fashion, tapi juga
mengkaji dasar-dasar hukumnya dan melakukan aksi-aksi kreatif-
reflektif.
Pergaulan di kalangan kaum muda hari ini cukup menggeli-
sahkan. Maka, Immawati harus mulai membuka diri. Dengan
inklusivitas tersebut, Immawati akan mampu menjadi corong dakwah
yang luas. Misalnya, membuka pergaulan, jadi tidak hanya dengan
yang berjilbab panjang misalnya. Sedangkan sasaran dakwah kita
tidaklah hanya untuk mereka, tapi yang gemar nongkrong misalnya,
entah itu di mal atau di warung atau kantin.
Dengan membuka lahan dakwah di setiap sudut tongkrongan
kaum muda. Immawati bisa memberikan warna, bukan sebagai
pendakwah yang menggurui. Tapi, menjadi teman untuk sama-sama
mengingatkan dalam kebaikan dan menjauhi kemungkaran.

107
Selanjutnya, dengan memperkuat basis kaderisasi Immawati.
Yakni, meneguhkan jati diri Immawati yang progresif, yakni bernalar
kritis, berwawasan global, dan memiliki loyalitas yang kuat terhadap
perjuangan IMM51. Ini tentunya perlu dibangun di setiap sudut
kehidupan Immawati. Misalnya, mengkaji persoalan kemanusiaan
yang bersifat universal maupun sosial-budaya remaja dan kaum muda
dalam forum formal maupun nonformal. Atau, dalam SPI tahun 2010
lebih menekankan kepada pemahaman gender. Yang juga dapat
membongkar pola pikir yang kerdil tadi. Karena pada dasarnya semua
kader, baik Immawan maupun Immawati, memiliki potensi dan hak
yang sama.
Maka, alangkah baiknya apabila Immawati mampu mengambil
peran dalam setiap langkah gerakan IMM, maupun dunia luar, tanpa
harus merasa kerdil. Tentunya dengan prinsip-prinsip dakwah yang
dimiliki dan sesuai dengan ideologi IMM. Jadi, Immawati baik pun
Immawan, dalam konteks gerakan, tidak ada sekat dikotomis yang
membatasi ruang gerak. Selama itu masih sesuai dengan aturan
organisasi, standar perkaderan, dan nilai-nilai moral yang berlaku.[]

51
Hal ini melihat minimnya geliat Immawati yang mampu dan mau bertahan
sampai ke pucuk organisasi IMM (daerah dan pusat), kebanyakan dari
Immawati setelah selesai di pimpinan komisariat dan cabang lebih memilih
berkiprah di Nasiyatul Aisyiyah, atau bahkan tidak sama sekali. Maka, poin
yang penulis sebutkan demikian patut menjadi perenungan bagi perkaderan
IMM, yang seyogianya memiliki tanggung jawab merawat kader-kadernya
untuk dapat berkiprah secara konsisten di tubuh IMM.

108
EPILOG

109
110
EPISTEMOLOGI IKATAN;
AUTENTIFIKASI GERAKAN INTELEKTUAL IKATAN
Oleh:
Muhammad Abdul Halim Sani
Penulis Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, Sekretaris Bidang Kader
DPP IMM 2008-2010

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
QS: Al Alaq 1-5

BUKU IMM Autentik karya Ahmad Sholeh merupakan sebuah


ungkapan nilai-nilai Ikatan (IMM) dalam merespons zaman dan
melakukan perubahan sosial sesuai dengan yang dicita-citakan. IMM
Autentik dapat dilihat dalam dua hal yang ingin dikemukakan oleh
penulis. Pertama, autentik merupakan gerakan dengan semangat
menafsirkan nilai-nilai yang ada dalam Muhammadiyah sesuai dengan
semangat tajdid dalam hal purifikasi dan modernisasi. Gerakan tajdid
ini, merupakan ruh Muhammadiyah yang melekat dengan pendirinya
KH Ahmad Dahlan. Selayaknya Ikatan, sebagaimana yang
diungkapkan Sholeh, menerapkan dan mengikuti gerakan
Muhammadiyah. Kedua, autentik merupakan pengembalian terhadap
nilai-nilai ikatan yang mendasar sehingga melakukan kajian yang
mendalam terhadap Ikatan, khususnya pada nilai-nilai dasar, yang
tertuang dalam deklarasi Ikatan dalam menjawab realitas. Karya ini
merupakan catatan dan refleksi kritis penulis dalam berinteraksi
dengan Ikatan, sehingga menjadi ‘bola salju’ yang terus membesar
sehingga menghasilkan karya lain untuk masyarakat ilmunya Ikatan.

111
Autentisitas yang tertuang dalam ruh ataupun nilai-nilai yang
ada dalam Ikatan, seperti yang dikemukakan Sholeh, sebagai epilog
buku IMM Autentik mencoba mengungkapan nilai-nilai Ikatan yang
dijadikan sumber dan kerangka pengetahuan untuk menjawab realitas
sekarang dan masa akan datang. Pengantar dalam mencari
“Autentifikasi Gerakan Ikatan” diawali dengan kajian terhadap
epistemologi yang dikontektualkan pada saat ini.

Prawacana Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos.
Episteme: pengetahuan atau kebenaran, dan logos: pikiran, kata atau
teori. Epistemologi secara etimologi (sebab-sebab) berarti teori
pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan atau theory of knowledge. Filsafat pengetahuan adalah
cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan.
Maksud dari filsafat pengetahuan adalah ilmu pengetahuan
kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan
tentang hakikat pengetahuan. Epistemologi adalah bagian dari filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan.
Jadi, objek material epistemologi adalah pengetahuan dan objek
formalnya adalah hakikat pengetahuan itu. Sistematika penulisan
epistemologi adalah arti pengetahuan, terjadinya pengetahuan, jenis-
jenis pengetahuan dan asal-usul pengetahuan.
Oleh karena itu, epistemologi merupakan suatu kajian yang
membicarakan tentang sumber-sumber pengetahuan, bagaimana
pengetahuan diperoleh, bagaimana cara mengetahui pengetahuan, apa
saja yang berada dalam pengetahuan, serta mengapa mengetahui
pengetahuan. Epistemologi di samping pendalaman terhadap sumber-
sumber pengetahuan, juga merupakan sumber alat baca sehingga
melahirkan paradigma, metodologi, serta metode, taktik, cara, dan

112
modus operandi. Epistemologi ini akan mengarahkan ke mana dan
jalan yang akan dilakukan, sehingga yang diinginkan dapat tercapai
secara terencana dan teratur. Sumbangsih epistemologi dalam Ikatan,
minimal bagi kader Ikatan, dapat berpikir secara sistematis dan mudah
untuk menganalisis secara rasional serta ilmiah.
Ikatan sebagai gerakan mahasiswa yang berdasarkan Islam
dan dalam naungan Muhammadiyah yang gerakannya mengikuti
ititiba’ Nabi Muhammad SAW. Maka yang dilakukan oleh Ikatan
dalam memandang realitas sosial dengan pengaplikasian wahyu agar
dapat memberikan konstribusi dalam peradaban. Epistemologi Ikatan
sebagai gerakan Islam berdasarkan wahyu. Epistemologi wahyu bagi
Ikatan adalah pengaktualisasian Al-Quran yang bersifat umum (grand
theory) agar dapat menjadi sebuah teori yang bersifat ilmiah.
Sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo sikap kita adalah melakukan
objektifikasi terhadap Al-Quran agar dapat diterima oleh umum
sebagaimana tradisi kesehatan apukuntur yang berasal dari agama
Budha. Objektifikasi nilai-nilai Islam ini yang menjadikan gerakan
Ikatan berbeda dengan pergerakan yang lain serta dapat mewujudkan
tujuan Ikatan mencapai masyarakat ilmu.

Epistemologi Ikatan
Epistemologi Ikatan yang berdasarkan wahyu sebagai salah
satu sumber kebanaran, bukan hanya rasio dan empirisme. Wahyu
dalam pandangan Ikatan sebagai pedoman dalam memandang dan
melakukan transformasi sosial. Epistemologi dalam Ikatan merupakan
kesatuan wahyu dan pengetahuan yang integral tidak dapat
dipisahkan karena rasionalisme, empirisme, wahyu merupakan
sumber pengetahuan dalam Islam. Pengetahuan itu, merupakan satu
realitas dari Pencipta, sehingga mahluk (manusia) menggali dalam
rangka mengenalnya sehingga sampai pada Pencipta Realitas. Oleh
karena itu, dalam ikatan keilmuan merupakan kesatuan dari wahyu

113
yang integral tidak dapat dipisahkan, sebagaimana tertuang dalam
surah al-Alaq ayat 1-5. Epistemologi ini merupakan konsep kesatuan
dalam diri kader.
Dalam ikatan, epistemologi merupakan ruh yang
menggerakkan kader dalam berinteraksi dengan realitas. Ruh gerakan
Ikatan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh semua kader dan cita-
cita sosial kolektif Ikatan. Ruh gerakan Ikatan juga dijadikan kerangka
berpikir kader, serta pengaplikasiannya dalam gerakan sosial. Apa saja
yang dapat menjadi ruh gerakan Ikatan dalam melakukan gerakan
social Ikatan demi terciptanya cita-cita kolektif Ikatan. Ruh gerakan
Ikatan merupakan nilai-nilai Ikatan yang tertuang dalam organisasi,
seperti tujuan Ikatan, semboyan, Trilogi Ikatan dan tafsirannya (Tri
Kompetensi Dasar), Nilai Dasar Ikatan (NDI), Profil Kader Ikatan, dan
Identitas Ikatan.

Tujuan Ikatan
Dilihat dari ontologinya, Ikatan terbentuk karena kreasi dan
inovasi, maka memiliki tujuan dan apa yang dicapai atau yang
diimpikan oleh Ikatan. Ikatan secara kreasi dan inovasinya merupakan
organisasi kader dan pergerakan52. Organisasi kader merupakan
penerus gerakan tajdid Muhammadiyah dan organisasi pergerakan
merupakan gerakan aktif Ikan dalam menyejarah guna menciptakan
yang lebih baik dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Tujuan
Ikatan ini merupakan semangat, ruh, gerak juang guna meraih mimpi-
mimpi yang diidealkan. Hal tersebut, karena tujuan merupakan akhir
dari nilai perjuangan. Oleh karena itu, tujuan Ikatan tersebut bersifat
idealis dan abstrak. Nilai yang diidiealkan oleh Ikatan ini tertanam
dalam diri kader yang tertuang dalam dasar organisasi; AD/ART.

52
Untuk lebih jelasnya Organisasi kader dan pergerakan lihat Manifesto
Gerakan Intelektual Profetik Bab X Filsafat Pergerakan

114
Tujuan Ikatan adalah “Terciptanya Akademisi Islam yang
Berakhlak Mulia untuk Mencapai Tujuan Muhammadiyah”. Tujuan
Ikatan tersebut merupakan impian yang diinginkan dalam
menjalankan sebuah organisasi dengan tujuan final sesuai dengan
tujuan Muhammadiyah. Hal ini, karena Ikatan merupakan ortom
(perkaderan) Muhammadiyah dikalangan akademisi/dunia kampus.
Ikatan memiliki tujuan berdirinya yakni berdasarkan tiga item;
akademisi Islam, akhlak mulia, dan mencapai tujuan Muhammadiyah.
Islam merupakan latar berdirinya Ikatan, karena Ikatan merupakan
ortom Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan organisasi sosial
keagamaan. Sedangkan untuk akademisi merupakan pilihan yang
dilakukan oleh Muhammadiyah dalam mencari subjek dakwahnya.
Dunia kampus selaras dengan kalangan akademisi, yakni pola pikir
ilmiah dan rasional. Pengembangan dakwah Muhammadiyah di
kampus merupakan suatu cara Muhammadiyah di lingkup
kemahasiswaan. Yang diharapkan oleh Muhammadiyah sebagai
gerakan sosial keagamaan terhadap Ikatan sebagai contoh atau
grandmaster dari masyarakat yang rasional ilmiah bagi Muhammadiyah
(masyarakat ilmu Muhammadiyah). Hal ini, karena Ikatan berlatar
belakang mahasiswa, pola pikirnya mendekati masyarakat ilmu, yakni
terbuka, rasional dan ilmiah, dengan filosophynya “Ilmu Amaliyah
dan Amal Ilmiah”.
Makna dan cita-cita Muhammadiyah pada Ikatan adalah
melahirkan cendekiawan Muslim yang berakhlak mulia dan
mengupayakan terbentuknya masyarakat utama dalam perspektif
Muhammadiyah. Cendekiawan dalam Ikatan, mampu
mengintegrasikan keilmuan dengan wahyu dengan karakter akhlakul
karimah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Keilmuan dalam
Ikatan didasarkan pada wahyu sebagai salah satu nilai untuk
memandang kebanaran sehingga tidak hanya pada rasionalitas dan
empirisme semata, sehingga keilmuan bersifat intgratif dan berkoneksi

115
dengan realitas untuk menciptakan masyarakat yang adil. Melihat dari
tujuan Ikatan tersebut, gerakan yang dilakukan oleh Ikatan pun sudah
terbaca, yakni Ikatan sebagai gerakan intelektual Muslim dalam
mencapai masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera dalam naungan
Allah SWT.

Semboyan Ikatan
Dalam berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa yang
tertulis ataupun bahasa tubuh yang dikenal dengan body language.
Bahasa tubuh merupakan bahasa awal dalam menjalin komunikasi
yang satu dengan yang lain. Bahasa tercipta dari simbol-simbol yang
diungkapkan oleh manusia dalam melihat dan memahami realitas di
lingkungan sekitar. Bahasa selain alat komunikasi juga merupakan
simbol sosial sebagai bentuk nilai yang dipegang teguh oleh manusia.
Manusia sebagai makhluk simbolik yang tertuang dalam komunikasi
merupakan suatu bentuk resposn terhadap realitas.
Simbol merupakan suatu yang penting bagi manusia karena
manusia merupakan homo simbolicum (mahluk simbolik). Makhluk
simbolik, dalam komunikasi yang dilakukan, erat dengan simbol
dalam melakukan penukaran pengetahuan. Penggunaan simbol yang
baik dalam berkomunikasi dapat menjadi komunikator yang baik di
semua lini. Dunia simbol memasuki organisasi menjadi sangat penting
dalam mengikat kader dan pencitraan organisasi dengan organisasi
lain. Simbol juga memiliki kekuatan dalam menggerakkan dan
mengarahkan suatu organisasi demi tujuan yang diinginkan.
Penggunaan simbol dalam sebuah organisasi memiliki makna filosofis
dan mendalam, menyangkut jantung organisasi.
Ikatan juga memiliki simbol yang tertanam dalam diri kader
sebagai semboyan yakni “Anggun dalam Moral dan Unggul dalam
Intelektual”. Semboyan Ikatan memiliki arti yang dalam. Sejarah
semboyan Ikatan lahir dari semboyan sekolah Muhammadiyah yang

116
dibuat oleh KH Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi Muallimin
dan Muallimat. Kemudian, semboyan tersebut diterapkan oleh IMM
karena memiliki makna yang erat dan dalam.
Moto Ikatan secara sekilas tidak memiliki permasalahan.
Tetapi, jika dilihat dari struktur dan kerangka berpikir akan terlihat
rancu dan tumpang tindih. Hal ini dapat diketahui jika dianalisis
secara semantik. Kalimat “Anggun dalam Moral” secara filosofis
termasuk dalam aksiologi, sedangkan kalimat “Unggul dalam
Intelektual” merupakan epistemologi. Letak kerancuan tersebut dapat
dilihat dari pertanyaan bagaimana mau mengplikasikan aksiologi
(moral), sedangkan belum mengetahuinya atau apakah itu baik dan
benar. Kajian untuk mengetahui hal tersebut masuk dalam filsafat
cabang disebut epistemologi.
Oleh sebab itu, perlu direkonstruksi. Rekonstruksi semboyan
Ikatan tersebut menggunakan cara berpikir yang sistematis dan runtut,
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah.
“Anggun dalam Moral dan Unggul dalam Intelektual” diubah dengan
cara dibalik, yakni “Unggul dalam Intelektual, Anggun dalam Moral,
dan Radikal dalam Gerakan”. Penambahan kata “radikal dalam
gerakan” merupakan tindakan praksis yang dilakukan oleh Ikatan
sebagai pengaplikasian dari pengetahuan yang diperolehnya. Kata
radikal ini bermakna sebagai aksi yang radikal dan mengakar,
sehingga mencerminkan pengetahuan yang diperolehnya atau yang
ada pada Ikatan. Kata moral dan penambahan radikal dalam gerakan
merupakan bentuk aksiologi, sebagai tindakan konkret dari
epistemologi.
Makna dalam moto tersebut merupakan satu kesatuan yang
tak dapat dipisahkan. Kata yang satu dengan yang lain bersifat integral
dan koheren, sehingga menghasilkan makna yang utuh. Misalnya
dalam memahami kader Ikatan adalah yang berpengetahuan luas,
berakhlak yang baik, serta sesuai perkataan dan perbuatan, sebagai

117
cerminan dari pergerakan yang berdasarkan agama dalam
semangatnya.

Trilogi Ikatan
Trilogi adalah merupakan lahan juang Ikatan dan juga
merupakan simbol Ikatan dalam melakukan transformasi sosial. Trilogi
Ikatan memiliki makna yang kompleks dan salah satu ruh Ikatan
dalam menilai diri serta cara melakukan transformasi sosial.
Pelaksanaan trilogi Ikatan secara integral dan koperhensif, dari
pelaksanaan trilogi ini menjadikan Ikatan berbeda dengan organisasi
gerakan lainnya. Pengaplikasian trilogi Ikatan yang secara kontinyu
menjadikan eksistensi Ikatan dapat muncul, sehingga membedakan
Ikatan dengan organisasi gerakan yang lain seperti KAMMI, PMII, dan
HMI.
Ikatan sebagai sebuah organisasi memiliki tugas dalam rangka
melakukan transformasi sosial. Ikatan merupakan pergerakan
kemahasiswaan yang memiliki basis kader mahasiswa dan memiliki
kultur yang berbeda dengan organisasi gerakan lainnya. Gerakan
Ikatan masih dalam lingkungan Muhammadiyah untuk bangsa dan
agama Islam. Oleh karena itu, yang perlu dikerjakan oleh Ikatan
tercantum dalam bidang atau garapan Ikatan yang tertuang dalam
trilogi; kemahasiswaan, keagamaan, dan kemasyarakatan. Trilogi yang
dimiliki oleh Ikatan ini merupakan tugas berat IMM untuk
melaksanakan ketiganya sebagai cerminan dari nilai-nilai Ikatan.
Sifat dari trilogi merupakan kesatuan yang integral di mana
satu-sama lain tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Karena
ketiganya merupakan cerminan dari realitas pada diri Ikatan, meliputi
asal, latar belakang, basis kader Ikatan, basis keagamaan, dan lahan
garap untuk melakukan transformasi sosial; wilayah kemahasiswaan,


Untuk lebih jelasnya baca Manifesto Profetik bagian kedua “Menggali
Makna Ikatan; Interpretasi terhadap Simbol IMM”

118
keagamaan, dan kemasyarakatan. Trilogi yang berada dalam diri
Ikatan merupakan sarana ataupun tempat dalam melakukan
transformasi sosial yang dilakukan oleh IMM.
Dalam sejarah munculnya trilogi Ikatan merupakan
pengambilan intisari dalam deklarasi Ikatan pada waktu muktamar
IMM di Solo.

Deklarasi Solo
1. IMM adalah gerakan mahasiswa Islam;
2. Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan
IMM;
3. Fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam
Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator)
4. Ilmu adalah amaliyah IMM dan amal adalah ilmiyah IMM;
5. IMM adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum,
undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku;
6. Amal IMM dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan
agama, nusa dan bangsa.
Kota Barat-Solo, 5 Mei 1965
Musyawarah Nasional (Muktamar) IMM

Deklarasi Kota Barat merupakan suatu peristiwa yang penting


dan dijadikan tonggak sejarah Ikatan guna membuktikan eksisitensi
dalam sejarah untuk mengubah sejarah bukan terwarnai oleh sejarah.
Pengambilan intisari dalam deklarasi Kota Barat tersebut
memunculkan trilogi Ikatan; kemahasiswaan, keagamaan, dan
kemasyarakatan. Selain trilogi di Kota Barat juga adanya nilai praksis
Ikatan dalam melakukan transformasi sosial berdasarkan semangat
nilai yang ada. Pengaplikasian nilai tersebut dikenal dengan the teology
of hope, teologi ini sesuai dengan nilai Ikatan yaitu ilmu amaliah dan
amal ilmiah. Teologi ini merupakan harapan dari foundhing father IMM

119
terhadap organisasi ini sebagai penerus gerakan tajdid
Muhammadiyah yang teraplikasi dalam masyarakat untuk
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (MIYS). Trilogi
IMM merupakan penjabaran Ikatan dalam praksis kemanusian dalam
rangka mewujudkan tujuan yang dicita-citakan
Kemahasiswaan merupakan penerjemahan dari Ikatan sebagai
gerakan mahasiswa Islam, dan fungsi Ikatan merupakan sebagai
eksponen gerakan mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan
dinamisator). Sedangkan untuk keagamaan, merupakan
pengaplikasian dari kepribadian Muhammadiyah (gerakan tajdid)
sebagai landasan perjuangan, sehingga menjadi fondasi penting dalam
Ikatan. Serta untuk kemasyarakatan adalah amal yang diabdikan bagi
Ikatan adalah untuk nusa dan bangsa dalam rangka mendekatkan diri
kepada Pencipta sebagai sarana beribadah.
Sedangkan untuk kata ilmu yang amaliyah dan amal ilmiah
merupakan ruh dari gerakan yang dilakukan oleh Ikatan sebagai
golongan terdidik/akademis yang berpikir rasional, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kata ini merupakan acuan dari
setiap kader Ikatan dalam merespons berbagai permasalahan sosial
yang terjadi pada masyarakat. Respons yang dilakukan Ikatan secara
ilmiah dan sistematis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik dan sebagai ibadah kepada Tuhan.
Penerjemahan trilogi yang berada dalam Ikatan merupakan
suatu hal yang penting sebelum melakukan transformasi sosial dalam
ketiga ranah tersebut. Pengungkapan makna trilogi ini menjadikan
suatu disiplin keilmuan atapun semangat yang dibawa oleh Ikatan
yang tertuang dalam trilogi tersebut. Pengungkapan makna simbol
yang tertera dalam trilogi menjadikan Ikatan memiliki daya tawar yang
khas dengan pergerakan yang lain dan dapat diinternalisasikan kepada
kader.

120
Pemaknaan trilogi ini, sebagai ruh gerakan ikatan dinamai
sebagai tri kompetensi dasar kader ikatan. Pemaknaan yang tertera
pada trilogi ingin menjadikan spirit atau yang harus dimiliki oleh
Ikatan sebagai seorang kader. Interpretasi terhadap simbol ini yang
tertuang dalam trilogi keagamaan, kemahasiswaan, dan
kemasyarakatan. Interpretasi tersebut menjadi keagamaan menjadi
religiusitas (trasendensi), kemahasiswaan menjadi intelektualitas dan
kemasyarakatan menjadi liberatif dan humanitas. Jadi, unsur ketiga ini
yang dapat dikatakan menjadi IMM dihadapkan dengan pergerakan
yang lain dan diri Ikatan di mata kader-kadernya.
Keagamaan. Keagamaan diinterpretasikan menjadi religiusitas
(trasendensi). Pengungkapan dari trilogi ini menjadikan seorang kader
Ikatan dalam keagamaan maka seorang kader menguasai tiga tradisi
dalam pengembangan keagamaan yang liberatif, emansipatoris,
sehingga agama sebagai nilai serta ruh yang praksis sosial.
Sebagaimana dikemukakan Hasan Hanafi dalam melakukan tugas
pembangunan peradaban. Ketiga tradisi tersebut adalah tradisi klasik
yang digunakan agama sebagai semangat pembebasan dan praksis
sosial, kedua adalah tradisi sekarang yang dikenal dengan
oksidentalisme. Tradisi sekarang ini menjadikan umat Islam melihat
peradaban barat yang sudah sangat maju dan kita belajar pada mereka
dan melengkapinya dan memiliki kedudukan yang sama antara barat
dengan Islam sama-sama mengkaji pengetahuan. Mengutip Hasan
Hanafi, kesejajaran ego barat dengan Islam. Tradisi yang ketiga, tradisi
masa depan; menjadikan Islam bersentuhan dengan tradisi sekarang
dan meramalkan ataupun mimpi yang dibawa oleh Islam untuk
merekonstruksi peradaban.
Pemahaman keagamaan Ikatan berbeda dengan yang lain, di
mana banyak yang menekankan ubudiyah (ritual). Bagi Ikatan,
keseimbangan ritual dan amal, hal ini menjadi ciri yang khas dengan
menjadikan agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Pelaksaan

121
agama Islam menjadi rahmat dengan mendialogkan antara kesalehan
individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual merupakan
cerminan dari sifat sufistik orang-orang tasawuf dan kesalehan sosial
merupakan cerminan dari gerakan liberatif kaum marxian. Dari
perpaduan tersebut sebenarnya sudah dilaksanakan oleh para nabi
terdahulu yang menjadi panutan bersama dalam membebaskan
kaumnya dan kaum tersebut mau dibawa ke mana (transformasi
profetik).
Pelaksanaan transformasi profetik ini menjadikan Islam
sebagai rahmat dan bersifat melampaui zaman. Bahkan semangat
agama membebaskan atau berpihak sudah diterapkan oleh pendiri
Muhammadiyah dengan berdirinya sekolah, pantai asuhan, rumah
sakit, dan lembaga sosial yang lain. Semangat yang dibawa oleh
Ahmad Dahlan adalah semangat profetis agama dalam melakukan
transformasi sosial. Pemahaman keagamaan Ikatan kita dapat
menggali dari pemikiran tokoh-tokoh keagamaan dan beberapa
ilmuwan sosial yang menjadikan ilmunya untuk kemanusiaan bukan
kepentingan penguasa dan pemodal. Islam di sini menjadi sumber dan
inspirasi dalam mengatasi problem sosial kemanusian dan problem
yang terekploitasi oleh kepentingan modal dan tak memberikan
manfaat bagai manusia yang lain serta generasi mendatang. Bahkan
yang masih popular, Islam sebagai ajarannya dapat bersikap damai,
tidak dilabelkan sebagai agama teroris yang mengupayakan segala cara
untuk mencapai tujuannya.
Kemahasiswaan. Interpretasi terhadap kemahasiswaan
menjadi intelektualitas. Mahasiswa merupakan salah satu generasi
yang peka terhadap perkembangan dan keadaan bangsa dan
bagaimana menyikapi. Kalangan mahasiswa juga dikatakan sebagai
generasi akademis yang menjadi salah satu sifatnya keterbukaan, siap
menerima kritik dan menghargai kebenaran bersifat plural corak

122
berpikir futuristik. Menggunakan apa yang dicitakan oleh Kuntowijoyo
sebagai contoh eksperimen dari masyarakat ilmu.
Ikatan harus berani melakukan pilihan yang sadar dalam
menentukan gerakannya. Sebagaimana tujuan dari didirikannya Ikatan
adalah untuk terbentuknya akademisi Islam yang beraklak mulia
untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah.
Ikatan harus sadar bahwa ikhlas dan istiqomah dalam memilih itu
penuh dengan tantangan dan memerlukan waktu yang lama untuk
mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut karena yang dilakukan oleh
Ikatan adalah gerakan intelektual. Gerakan intelektual memiliki
orientasi jangka panjang dan hasilnya dapat dilihat dari beberapa
dekade yang akan datang. Oleh karena itu, gerakan Ikatan berorientasi
jangka panjang (think the future) dalam merespons realitas sosial yang
terjadi dalam masyarakat. Serta memiliki orientasi yang sama, yakni
menjadikan masyarakat ilmiah dan terbuka.
Masyarakat ilmu ini perlu dimiliki oleh Ikatan yang berlatar
belakang mahasiswa untuk diterjemahkan dalam kajiannya bersifat
visioner untuk melakukan transformasi profetik dalam mengatasi
problem bangsa yang tak bertepi dan berujung. Gerakan yang
dilakukan oleh Ikatan memiliki sifat keilmuan yang akademis integratif
sesuai dengan wahyu Illahi, sebagai pengembangan dari kekayaan
keilmuan kader serta bentuk transformasi sosialnya bersikap
profesional dan mejadikan kesatuan paradigma gerakan dalam Ikatan.
Tetapi, ketika sudah selesai dari Ikatan bentuk transformasi sesuai
dengan keahlian dan basis keilmuan kader, bairkanlah kader yang
ditanam dalam lingkungan dapat mewarnai. Mungkin menggunakan
istilah yang mudah biarkan kader di tanam di mana pun agar tanah
yang tadinya tandus menjadi subur atau mungkin menjadi tanah yang
berintan, permata, emas atau mungkin yang lain selama bisa
bermanfaat bagi yang lain.

123
Gerakan yang dilakukan Ikatan adalah keilmuan, bukan
gerakan politis. Gerakan keilmuan yang dilakukan dengan mengutip
Kuntowijoyo mengibaratkan menanam pohon jati, di mana pohon
tersebut dalam hasilnya memakan waktu berpuluh-puluh tahun dan
bahkan satu generasi untuk mengunduh buah yang dihasilkan.
Sedangkan gerakan politis hanya mencari momentum yang tepat
dibaratkan dengan pohon pisang; cepat berbuah dan berkembang,
tetapi bersifat sementara dan hasilnya pun tak memuaskan, bahkan
yang paling menyedihkan setelah berbuah pohon pisang pun mati.
Dapat dianalisis dalam sejarahnya bagaimana SI dan
Muhammadiayah. Untuk membangun Muhammadiyah memerlukan
kesabaran dan waktu yang lama, tetapi dalam sejarahnya pada tahun
60-90an kader-kader Muhammadiyah banyak yang duduk di
pemerintahan dan menggunakan perangkat dalam melakukan
transformasi sosial. Sedangkan apa yang dilakukan oleh SI, anggota SI
dari waktu yang singkat berkembang dengan pesat terbukti dengan
jumlah anggota yang mencapai wilayah nasional, tetapi seiring
berjalannya waktu dan riwayat organisasi itu hilang dimakan sejarah.
Gerakan keilmuan dalam Ikatan merupakan obor yang menjadikan
IMM berbeda dengan gerakan mahasiswa yang lain maupun ortom
Muhammadiyah lainnya.
Kemasyarakatan. Kemasyarakatan diinterpretasikan menjadi
humanitas dan liberatif. Humanitas merupakan suatu tuntutan melihat
realitas yang terjadi, dehumanisasi yang dilakukan oleh manusia
akibat konsep kesadaran yang ia miliki berdasarkan antroposentrisme.
Kesadaran ini pertama digulirkan oleh Rene Descartes, seorang filosof
dari Prancis, dengan jargonnya saya berpikir maka saya ada (cogito ergo
sum). Kesadaran yang dibangun oleh Descartes menjadikan manusia
bersifat otonom dan menentukan nasibnya sendiri dalam menaklukkan
alam. Dari konsep kesadaran yang dibangun oleh Descartes dalam
perkembangannya melahirkan tradisi kebudayaan Barat yang sekarang

124
terjadi kemajuan teknologi yang dahsyat. Hal ini ditandai dengan
penemuan metode ilmiah deduksi, induksi, ekperimen oleh Francis
Bacon pada awal abad ke-19. Perkembangan industri yang berjalan di
Barat sampai sekarang sudah menuju masyarakat post-industrial,
dalam istilah Daniel Bell. Dengan perkembangan post-industrialisme
ini, masyarakat Batar mengalami kehampaan spiritual dan
membutuhkan sentuhan religiusitas. Doni Grahal Adian kemudian
menunculkan istilah-istilah pragmatisme, anarkhisme, utilitiarisme untuk
mengobati peradaban Barat tersebut. Dalam masyarakat post-industrial
ini, terjadi perkembangan teknologi dan sistem kapitalis untuk
mempermudah manusia, tapi malah mempersulit manusia,
sebagaimana dikatakan Weber dengan sangkar besi rasionalisme.
Sistem kapitalisme dan perkembangan teknologi telah berjalan
sendiri, sehingga menjadi alat bagi para pemodal dan menyebabkan
adanya peristiwa dehumanisasi dan kerusakan alam akibat ekploitasi
yang tiada henti. Masyarakat dan para intelektual telah terjerumus
dalam lembah hitam yang bekerja untuk kepentingan kekuasaan dan
pengupayaan keilmuan menjadi legitimasi kekuasaan, serta tanpa
sadar telah diarahkan untuk kepentingan global berupa pasar bebas.
Sejalannya sejarah peristiwa humanism-antroposentris telah berjalan dan
malah menimbulkan dehumanisasi. Ikatan sebagai organisai yang
mengetahui dan sadar dengan realitas tersebut memiliki banyak
pilihan untuk memberin tawaran terhadap persoalan. Hal itu dalam
rangka menciptakan surga dunia menurut Glen Fredly, atau dalam
AD/ART Muhammadiyah mengantarkan masyarakat ke depan pintu
gerbang surga Jannatul Na’im.
Melihat problem yang terjadi sekarang dalam era
postmodernisme yang mencoba mengintegrasikan antara agama
dengan ilmu pengetahuan atau penyapaan bahasa langit dengan bumi.
Pengintegrasian ini mencoba memberikan tawaran terhadap problem

125
dehumanisasi dengan menggunakan istilah Ali Syari'ati yang dikutip
oleh Kuntowijoyo dengan berdasarkan humanism-teoantroprosentris.
Humanisme ini mencoba didasarkan pada nilai/ajaran agama dalam
melihat manusia bukan pada manusia itu sendiri. Di sini, Kuntowijoyo
memberikan ilustrasi tentang fitrah adalah memanusiakan manusia,
pada derajat yang sesungguhnya atau sebaik-baik manusia fi ahsani
taqwin. Derajat manusia yang sesungguhnya adalah yang mulia tidak
mengalami keterhinaan baik yang dilakukan oleh struktur ataupun
superstruktur yang menbentuk kesadaran manusia. Humanisasi
didasarkan pada teoatroprosentris bukan antroposentris. Proses
manusiawisasi adalah upaya melakukan transformasi kesadaran
manusia yang sesungguhnya berdasarkan nilai-nilai agama.
Liberatif dengan bahasa mudahnya proses pembebasan, proses
pembebasan ini dilakukan oleh kaum marxis dalam menyelesaikan
permasalahan sosial. Proses liberatif yang dilakukan bersifat kesadaran
dari yang dibebaskan mereka menyadari bahwa dirinya mengalami
ketertindasan oleh sistem yang selama ini berjalanan. Liberatif dalam
Ikatan mengarah pada pembebasan dan sekaligus ada arah dan tujuan
setelah dibebaskan. Proses pembebasan tersebut dapat dikatakan
dengan profetical liberatif.
Profetical liberatif ini dalam sejarah kenabiaanya dapat kita
merujuk pada pembebasan yang dilakukan oleh Nabi Musa dalam
memerdekakan kaumnya dari penindasan Firaun. Setelah melakukan
pembebasan dan benar merdeka dari sistem tersebut maka Nabi Musa
mengarahkan agar kaumnya memiliki kesadaran akan adanya Sang
Pencipta. Semangat kenabian tersebut menjadikan proses pembebasan
yang dilakukan oleh Ikatan berbeda dengan yang dilakukan oleh
marxian. Dalam konteks Indonesia, semangat pembebasan tersebut
dimiliki oleh KH Ahmad Dahlan. Pembebasan yang dilakukan oleh
Ahmad Dahlan, mengutip Abdul Munir Mulkhan, bersifat profetik.
Karena Ahmad Dahlan dalam melakukan tranformasi sosial atau

126
proses humanisasi, liberasi berdasarkan semangat transendensi akibat
bersentuhannya teks terhadap realitas. Upaya yang dilakukan Ahmad
Dahlan metode kontekstualisasi dalam mendialogkan antara teks
dengan realias dan dibarengi dengan aksi konkret yang dapat
dirasakan oleh masyarakat.
Aktualisasi trilogi dan trikompetensi dalam ikatan akan
mencerminkan siapa kader Ikatan, untuk apa, serta bagaimana
melakukan perubahan sosial. Berikut ini merupakan gambaran tentang
ikatan dengan kadernya.

Gambaran Profil Kader Ikatan dalam Trilogi dan Kompetensi

(Sumber; Dokumen pribadi, 2012)

Khairu Umat53
Dalam Al-Quran ditemukan lima konsep dalam masyarakat
ideal yaitu konsep ummatan wahidah, ummatan wasathan, ummatan
muqtasidah, khoiru ummu, baldatun thayibah. (Nurdin, 2006) Konsep ideal

53
Lebih jelasnya Baca Bab XI Transformasi Profetik dalam Buku
Manifesto Gerakan Intelektual Profetik

127
masyarakat dalam Al-Quran dapat digunakan untuk mendeskripsikan
kondisi masyarakat, sehingga dapat membedakan, menganalisis, dan
mencoba dikontekstualisasikan dalam kehidupan. Konsep ini, sebagai
inspirasi untuk membangun sebuah peradaban ataupun kota-kota
yang ada di dunia, khususnya Islam. Kesadaran hidup bersama dari
dasar kebutuhan manusia yang saling membutuhkan satu dengan yang
lain.
Sedangkan menurut para filosof, manusia ditinjau dari
tabiatnya, bersifat politis, memerlukan suatu organisasi sosial
kemasyarakatan yang dinamakan pola kota (al madinah). Dari itu, dapat
melahirkan peradaban yang didasarkan pada manusia dalam
mempertahankan hidup, terpola dengan cara memperoleh makanan
atau kejayaan. Tidak hanya itu, manusia memerlukan kebutuhan
aktualisasi diri; pekerjaan, dunia yang profesional, dan berkerja sama
dengan yang lain (Ibnu Khaldun, Muqaddimah). Kerja sama yang
membuat organisasi kemasyarakatan berjalan dengan baik dan makin
kompleks, menjadikan prasyarat mutlak menciptakan peradaban atau
suatu kota. Hal tersebut pernah terjadi pada organisasi
kemasyarakatan yang tertata dengan adil, telah mewujudkan
masyarakat yang ideal, pada masa nabi dikenal dengan kota
“madinah”, merupakan pengejewantahan khairu umat.
Khairu umat merupakan cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh
ikatan setelah mewujudkan transformasinya. Khairu umat bukanlah
utopia yang tak terlaksana seperti kaum marxisme yang mencitakan
masyarakat tanpa kelas. Tetapi bagi ikatan, khairu umah merupakan
proses dan kerja keras dalam melakukan perubahan yang
perwujudannya dapat dilaksanakan dengan menyiapkan sumber daya
sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang. Hal
ini menjadikan ikatan berpikir ke depan dan merupakan tugas
individu kader maupun kolektif Ikatan mewujudkan cita tersebut.
Khairu umat merupakan aktivisme sejarah bercorak kemanusiaan.

128
Salah satu bentuk khairu umat adalah kota yang dirintis oleh
Nabi Muhammad SAW yaitu Madinah. Madinah bukan merupakan
bangunan fisik, namun memiliki makna dan visi sosiologis kota yang
dibangun oleh Rasulullah SAW. Madinah dalam bahasa Yunani
berdekatan dengan polis, mengasumsikan adanya aturan yang
disepakati bersama oleh penghuninya yang tinggal secara tetap
sehingga sinergi membangun peradaban (hadhaarah). Madinah yang
dibangun dengan spirit anti kekerasan dan peperangan dengan ciri
yang dijunjung tinggi dalam masyarakat madinah, yakni supremasi
hukum, kesamaan derajat (egaliteriasm), keadilan, ilmu pengetahuan
dan peradaban (Hidayat, 2009).
Selain itu, Madinah merupakan embrio kota yang didirikan
pada masa Islam menghadirkan visi yang kuat tentang fondasi agama
dan masyarakat sebagai entitas Islam sebagai rahmat untuk semesta
(rahmatan lil ‘alamiin), sehingga kota Madinah kota untuk seluruh umat,
dengan keragaman kebudayaan ataupun kesukuannya. Nabi
Muhammad memiliki komitmen yang kuat menjadikan Islam sebagai
payung kebinekaan kelompok dan golongan. Oleh karena itu,
menjadikan Islam sebagai salah satu agama yang sangat modern,
demokratis dalam sejarah kemanusiaan dalam membentuk konstitusi
yang memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada seluruh
masyarakat. Madinah merupakan kota yang membangun
persaudaraan berbasis iman dan kesepakatan politik. Madinah
merupakan kota berperadaban tinggi, sehingga terkesan makna yang
mendalam bagi kemanusiaan (Misrawi, 2009). Kota yang modern
dengan basis iman seperti Madinah yang didirikan oleh Rasulullah
SAW merupakan kota kenabian (profeto polis).
Tradisi filsafat politik dalam Islam memiliki beberapa gagasan
secara filosofis tantang masyarakat yang ideal sebagai penerjemahan
Madinah. Salah satunya al-Farabi dengan konsepnya al Madinah
Fadhilah. Konsep ini, tentang kewarganegaraan dan deliberasi. Yakni

129
negara menghargai demokrasi dengan nilai persamaan (egalitarianism),
kesamaan equality yang mana gerakan langkahnya untuk mencapai
kebahagiaan. Kebahagian tersebut tercapai dengan menggali kebajikan
dalam tindakan dan menjauhkan tindakan yang buruk dan jahat.
Semuanya diraih dengan cara penalaran dan pertumbuhan intelektual
melalui proses deliberasi. Warga menggunakan penalaran aktif untuk
menemukan kebahagiaan utama dengan tujuan kontrol terhadap
penguasa agar sesuai dengan prinsip Islam dan dorongan alamiah
manusia sebagai mahluk rasional (Baidhawy, 2012).
Selanjutnya, kota yang ideal dalam pandangan Ibn Sina
merupakan kota yang adil. Kota sebagai wadah bagi warganya
merasakan kebutuhan untuk bersosialisasi dalam rangka mendirikan
suatu konsensus dan persetujuan. Tujuan pendiriian kota yang adil ini,
pencapaian kebahagiaan, keadilan, dan kesejahteraan di muka bumi
dengan standar keadilan harus ditegakkan. Penegakan keadilan
dilakukan dengan moderasi dan jalan tengah melalui perilaku dan
tindakan warga dalam urusan privat atau publik. Tujuan moderasi
untuk memberdayakan penduduk agar mencapai kebaikan tertinggi
yang digunakan untuk merealisasikan keadilan dunia dalam mencapai
akherat (Baidhawy, 2012).
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan memiliki
cita-cita ideal bagi masyarakat, yakni masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya (MIYS). MIYS merupakan wujud dari pribadi Muslim yang
dilakukan dalam tiga hal; berpegang teguh pada tali Allah,
menyatukan hati, dan ukhuwah islamiyah. MIYS dapat ditandai
dengan karakteristik sebagai berikut; pertama, umat yang beriman dan
bertakwa, menjalankan ajaran Islam secara kafah, berpegang teguh
kepada tali Allah, dan menegakkan persaudaraan Islam dengan cara
mengajak pada yang makruf mencegah dari yang mungkar. Kedua,
umat yang terbaik atau pilihan berupa aktivitas yang dimiliki
mengajak kebaikan dengan cara yang makruf dan nahi mungkar serta

130
berusaha mengembangkannya. Ketiga, hidup yang teratur memiliki
tujuan dan aturan main berkelompok mewujudkan tujuan. Dengan
kiasan bangunan yang saling memberdayakan, menguatkan satu
dengan yang lain, kepedulian dengan kasih yang kokoh dengan
kualitas keagamaan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, berlaku lemah lembut sehingga tidak lari,
memaafkan, memohonkan ampun, serta mengedepankan tradisi
musyawarah (syuro) dalam menyelesaikan masalah dan keyakinan
Allah memberikan yang terbaik (termaslahat). Kelima, berjiwa percaya
diri (‘izzah) yang seakidah ataupun yang tidak sebagai perwujudan
mencari ridha Allah sebagai ekspresi cinta kepada Allah dan Rasul-
Nya, sehingga bersikap terbuka dan toleran. Berpandangan
keragamaan keyakinan merupakan sunnatullah, sehingga berlomba-
lomba menjadi mahluk yang terbaik dengan mengesampingkan sifat
kekerasan, kerusakan. Keenam, moderat-toleran tidak kiri-kanan, tidak
kaku, pesimis dalam menjalankan syariah. Pandangan kehidupannya
terintegrasi antara kehidupan dunia dan akhirat. Pemahaman
keagamaan mencermintakan adanya integrated antara tektualitas,
kontektualitas dan historisitas. Karakteristik tersebut merupakan
pengejawantahan dari tauhid yang diupayakan dalam pemikiran,
aktivitas, dan gerakan (Maskus [ed], 2009).
MIYS merupakan perwujudakan dari masyarakat utama yang
dicita-citakan oleh Muhammadiyah sebagai pengaplikasiaan doktrin
Islam yang berkemajuan. Fondasi untuk mewujudkannya sebagai
berikut; pertama, agama sebagai sumber nilai kemajuan. Nilai-nilai
agama memberikan inspirasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa
dan bernegara, sehingga menjadi model perilaku tercermin dalam
tindakan nyata, seperti jujur, dinamis, kreatif, dan kemajuan dalam
rangka membentuk peradaban. Nilai agama dapat menumbuhkan etos
keilmuan, orientasi pada perubahan, kesadaran masa depan lebih baik,
inovasi, penggunaan SDA secara cerdas dan tanggung jawab, toleransi,

131
disiplin hidup. Nilai agama juga mengembangkan relasi laki-laki
dengan perempuan yang adil serta hubungan kemanusiaan yang
berkeadaban mulia. Kedua, pendidikan yang mencerahkan, sehingga
menghasilkan sumberdaya manusia yang cerdas dan berkarakter
utama. Perilaku utama tersebut tertung dalam masyarakat sehingga
memunculkan keteladanan, kedisiplinan, kebenaran, keberanian,
kemerdekaan, kedisplininan dan tanggung jawab. Nilai ini melekat
sehingga menjadi karakter bangsa. Ketiga, kepemimpinan profetik
yang memadukan kualitas kenegaraan dan kemampuan transformatif,
sehingga memiliki karakter dan kepribadian yang kuat,
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, mengadakan
perubahan untuk masa depan. Corak kepemimpinannya visioner,
dengan memberikan keteladanan, bersikap adil, menumbuhkan
potensi masyarakat membangun negara yang adil dan makmur.
Kriterianya kepemimpinannya; religius dan bertanggung jawab, visi
dan misi karakter negarawan, mengambil keputusan strategis untuk
pemecahan masalah, mewujudkan good governance, penyelamatan aset
negara, melepaskan jabatan politik praktis, strategi untuk membawa
kemajuan bangsa.
Keempat, institusi progresif, di mana struktur sebagai
pendorong kemajuan; lembaga negara menjalankan fungsi secara
efektif, efisien, terbuka pastisipasi publik. Hal ini menjadikan hukum
dijunjung tinggi dengan memberikan jaminan terhadap kejujuran,
melaksanakan amanah, dan adil. Kelima, keadaban publik dengan
mengedepankan nilai keadaban yang luhur. Keadaban ini dibangun
dengan prinsip moralitas dengan mengedepankan sifat yang baik,
memberikan kemerdekaan berpikir, berbicara, dan berkreasi mencapai
kemajuan bangsa. Keadaban ini dibangun berdasarkan nilai agama dan
kebudayaan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara (PP Muhammadiyah, 2014).

132
Kerangka Kerja Khoiru Ummah

Aras Ruang Misi Peran


Aktivitas
Politik Ruang Mendemokratiskan Deliberasi kolektif:
publik, negara control dan check
opini Modernisasi: atas institusi
publik menegakkan public dan negara
keragaman dan Kontrak:
keadaban memengaruhi dan
Mengegakkan role of menentukan arah
law kebijakan negara
Ekonomi Kemandiri Membangun Filantropi
an, keswasembadayaan keagamaan
keadilan masyarakat Articulator dan
dan Menegakkan advocator
kesejahtera keadikan dengan kepentingan kaum
an ekonomi memihak mustadh’afin (al
mustadh’afin Maun)
Mewujudkan Membangun
kebahagian dan bisnis yang sehat
kesejahteraan:
keluarga, komunikasi
dan masyarakat
Kebu- Intelektual Pencerahan Agen tajdid dan
dayaan dan moral; intelektual dan moral trasendensi (iman
hegemoni Konsensus: billah)
dan membangun Agen stabilisasi
counter- kepemahaman (amar makruf)
hegemony dengan pilara negara Agen transformasi
Kontestasi: resistensi (nahi mungkar)
atau alternative bagi
Negara
(Sumber; Diadopsi dari Baidhawy, 2012)

133
Khairu umat merupakan masyarakat ilmu (ilmiah, rasional,
berpikir logis, empiris, dan konkret), dan berkeadilan yang merupakan
suatu masyarakat yang adil, sistem memihak kepada kaum miskin,
tanpa penindasan, dan disemangati nilai-nilai transendensi.
Transformasi profetik yang memiliki tiga pilar; humanisasi, liberasi,
dan transendensi menjadikan langkah dan gerakan ikatan dalam
mewujudkan masyarakat yang ideal. Kuntowijoyo menyebutkan
masyarakat idealnya dengan menggunakan istilah garden city,
merupakan proses dari masyarakat industri lanjut. Industri lanjut ini
merupakan respons kritis terhadap masyarakat industri moderen.
Kuntowijoyo menggambarkan garden city sebagai perpaduan
masyarakat dari dua kebudayaan, yakni kebudayaan agraris dengan
industri. Masyarakat industrial menghasilkan kota satelit, kota di luar
kota, vila-rumah diluar kesibukan, village-desa dengan konsep kota,
metropolitan kota besar, megapolitan kota superbesar. Sedangkan
garden city merupakan kota superbesar, di dalamnya terdapat taman,
pertanian dan hutan, dengan maksud secara ekologis kota tetap layak
huni dan demikian juga, secara sosial, moral, dan spiritual. Dengan
kata lain, bumi ini hanya layak dihuni oleh manusia yang beragama
(Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid).
Khairu umat adalah pola masyarakat ilmu yang
ditransformasikan dalam bentuk kesadaran dalam merintis masterplan
garden city sebagai praksis kemanusiaan dengan mamadukan
kebudayaan industri dengan pertanian yang didasari nilai-nilai
keillahian untuk beribadah kepada Allah SWT (Sani, 2016). Masyarakat
ini merupakan aplikasi dari auntentitas gerakan keilmuan Ikatan
dalam memberikan konstibusi terhadap baldhatun toyyibatun warrabun
ghafur.
Garden city yang dimaksudkan sebagai rincian dari khairu
umat, sebagai titik pangkal realisasi program kemanusiaan atas
kelanjutan pembaruan sosial-budaya yang berbasis transendensi.

134
Dalam garden city pembelaan kaum tertindas sebagai tema utama dari
sosialisme dan tradisi lokal yang ditempatkan dalam praksis nahi
mungkar, diberi makna liberasi. Ide progres kapitalisme diberi
santunan akhlak mahmudah sebagai praksis amar makruf, dan bagi
penundukan kapitalisme diberi makna humanisasi. Kedua tindakan itu
serentak dalam transendensi sebagai praksis kesadaran iman (Abdul
Munir Mulkhan, Kepemimpinan Profetik dalam Satu Abad
Muhammadiyah).
Saya berharap percikan paradigmatik-kritis dari Ahmad
Sholeh dalam buku IMM Autentik ini menjadikan gerakan intelektual
IMM berkesinambungan dan menjiwai profil kader. Sehingga, menjadi
spirit dalam melakukan perubahan yang lebih baik untuk Indenesia
dan mahasiswa Muslim yang mulai susut juang tergoda dengan jalan
‘pasar’ yang bersifat pragmatis-instan.

Daftar Bacaan
Baidhawy, Zakiyuddin, Civil Society Persfektif Filsafat; Proposal untuk
Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya, 2012, dalam Jurnal Moderatio,
Vol.1 No.1 Januari-April 2012, Jakarta: UHAMKA.
Hidayat, Komarudin, Madinah Mata Air Peradaban, Pengantar dalam
Madinah, 2009, Jakarta: Kompas
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, 2000, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, 1999, Bandung: Mizan Utama
Mulkhan, Abdul Munir Kepemimpinan Profetik dalam Satu Abad
Muhammadiyah, 2000, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Nurdin, Ali, Qur’anic Society; Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam
al Qur’an, 2006, Jakarta: Erlangga
PP Muhammadiyah, Indonesia Berkemajuan, 2014; Rekontruksi Kehidupan
yang Bermakna, Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sani, M. Abdul Halim, Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, 2011,
Yogyakarta: Samudra Biru

135
------, Transformasi Intelektual Profetik dalam Menggas Kebudayaan Ilmu;
Upaya Objektifikasi Nilai-Nilai Ikatan, dalam Secercah Tulisan untuk Ikatan
Abad 21, 2016, Magelang; Pimpinan Cabang IMM Magelang dan Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam Universitas
Muhammadiyah Magelang
Sudibyo Markus (ed.), Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya;
Sumbangan Sebuah Pemikiran, 2009, Jakarta: Civil Islamic Isntitute.
Zuhairi, Misrawi, Madinah; Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Nabi
Muhammad Saw, 2009, Jakarta: Kompas.

136
LAMPIRAN

Deklarasi Solo54.

Deklarasi Solo atau enam penegasan merupakan hasil


Musyawarah nasional (munas)/Muktamar pertama IMM, di Kota Barat,
Solo, pada 5 Mei 1965. Adapun isi deklarasi tersebut adalah:
1. IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.
2. Kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan
IMM.
3. Fungsi IMM sebagai eksponen mahasiswa dalam
Muhammadiyah.
4. IMM adalah organisasi mahasiswa yang sah dengan
mengindahkan segala hukum, udang-undang, peraturan dan
falsafah negara yang berlaku.
5. Ilmu adalah amaliah IMM dan amal adalah ilmiah IMM.
6. Amal IMM diabadikan untuk kepentingan agama, nusa, dan
bangsa.55

Deklarasi Garut 1967

Menyadari perlunya peningkatan mutu ‘ikatan’ sebagai aparat


pembaharuan dan pengabdian. IMM menegaskan sekali lagi strategi
dasarnya untuk pembinaan organisasi, kaderisasi, kristalisasi, dan
konsolidasi.

54
Makhrus Ahmadi, Genealogi Kaum Merah, hlm. 107-108. DPP IMM, Tri
Kompetensi Dasar, hlm. 34
55
Dalam versi Farid Fathoni, Kelahiran yang Dipersoalkan, poin 5 dan 4
posisinya berkebalikan, dan perbedaan redaksi poin 6, yakni, Amal IMM
adalah lillahi ta’ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

137
1. Membina setiap anggota IMM sebagai kader yang takwa
kepada Allah dan sanggup memadukan intelektualitas dengan
ideologi, karena suksesnya perjuangan umat Islam Indonesia
banyak ditentukan oleh kesanggupan para intelegensianya
untuk selalu berjuang dengan landasan ideologi Islam.
2. Membina setiap anggota IMM sebagai subjek aktivis ‘ikatan’
yang setia dan loyal kepada organisasi. Pengalaman dan
sejarah menunjukkan bahwa untuk mencapai sasaran
perjuangan organisasi sebagai aparat untuk mencapai sasaran
tersebut, harus didukung oleh anggota yang meyakini
kebenaran ideologi dan mengamalkannya, serta aktif
menunjang setiap aktivitas gerakannya.
3. Terus-menerus menyempurnakan dan menertibkan organisasi,
sehingga sebagai aparat perjuangan mampu mengantarkan
‘ikatan’ dalam mencapai tujuan perjuangan.
Garut, 28 Juni 1967, Konferensi Nasional (Tanwir) II IMM.56

Deklarasi Baiturrahman

1. Sejarah perjalanan ikatan dimulai dengan deklarasi Kota Barat,


Solo, 5 Mei 1965 yang berisikan hasrat dan tekad kami untuk
mewujudkan satu wadah pembinaan generasi muda nasional
yang kemudian kami namakan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Walaupun masih dalam usia muda, namun
kami sadari, bahwa segenap ide dan cita yang dilahirkan,
dikembangkan, dan diperjuangkan oleh pewaris Nusantara
yang terdahulu, yang bertekad untuk mewujudkan satu
bangsa Indonesia yang besar dengan satu tata masyarakat
yang baru yang damai, adil sejahtera dalam naungan ridho

56
DPP IMM, Tri Kompetensi Dasar, hlm. 35. & Noor Chozin Agam, Melacak
Jejak Sejarah dan Perkembangan IMM hlm. 38

138
ilahi. Kami mengemban ide dan cita yang dikembangkan oleh
KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.
Kami mendukung dan mengemban pula segenap ide dan cita
yang didengungkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945, pada
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, pada hari Kebangkitan
Nasional 20 Mei 1908, bahkan ide dan cita yang diperjuangkan
oleh para pahlawan nasional yang terdahulu.
2. Deklarasi Kota Garut, 28 Juli 1967, berisikan hasrat dan tekad
kami untuk menjadikan ikatan sebagai aparat pembaharu, satu
proses yang selalu dituntut untuk oleh satu bangsa ataupun
kaum yang selalu menginginkan kemajuan. Demikian pula
kami tegaskan dalam deklarasi tersebut, satu identitas
kepribadian ikatan yang menuntut setiap pendukung ikatan
untuk membekali dan melengkapi dirinya dengan kemantapan
aqidah serta dengan kematangan intelektual, sebab kami yakin
bahwa tantangan kehidupan masa kini dan mendatang hanya
akan bisa dijawab oleh pribadi-pribadi yang matang, dewasa
dalam keharmonisan serta perpaduan antara akidah dan
intelektualitas.
3. Di tengah-tengah kepanikan umat dewasa ini akibat krisis
kependudukan, moneter, pangan sumber-sumber alam yang
tak tergantikan serta lingkungan hidup, maka kami
berpendapat bahwa sebenarnya di balik segala krisis yang
disadari atau tidak, diakui atau tidak, justru merupakan krisis
utama, maka krisis-krisis tersebut di depan tadi akan
merupakan lingkaran setan tanpa akhir. Krisis kemanusiaan ini
timbul akibat modernisasi tanpa arah ataupun sebagai akibat
dipaksakannya suatu sistem hidup yang kurang memerhatikan
faktor waktu, tempat dan kemampuan, dengan hanya
mementingkan tujuan-tujuan jangka pendek. Krisis ini mulai
timbul akibat cara berpikir yang terlalu rasional dan mekanis

139
sebagai bagian dari suatu program hidup yang pragmatis,
materialistis, di mana manusia menjadi semakin kehilangan
cakrawala hidup dan idealismenya. Oleh karena itu, ikatan
menyadari bahwa di samping tugas dan kewajiban kita untuk
memberikan sumbangan da-lam wujud sarana-sarana fisik di
dalam pembangunan bangsa, maka kaum Muslimin Indonesia
mempunyai kewajiban pula untuk memberikan sumbangan
dalam bentuk pembinaan manusia-manusia Indonesia baru
yang tidak saja berilmu dan berkemampuan dan
berkemampuan keterampilan tapi juga memiliki sikap/sistem
nilai budaya yang insani yang akan mampu memberikan arah,
struktur, dan percepatan yang proporsional dalam
pembangunan.
4. Dalam usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur
material dan spiritual berdasarkan Undang-Undang 45 dan
Pancasila, ikatan beranggapan bahwa asas kekeluargaan dalam
demokrasi Pancasila seyogianya tidak diartikan sebagai suatu
status hierarkis administrasi pemerintahan, melainkan sebagai
suatu bentuk persaudaraan yang universal yang bernilai
filosofis. Kaum Muslimin Indonesia mempunyai tanggung
jawab moral untuk memberikan sumbangan yang berwujud
satu perangkat sistem nilai yang tangguh yang kita gali dari
khasanah sistem iman dan Islam bagi dasar filsafat
persaudaraan universal yang tersebut di atas.
5. Proses perubahan sosial adalah suatu proses yang selalu terjadi
dalam sejarah kehidupan umat manusia itu. Proses ini dapat
terjadi secara alami namun dapat pula pada suatu waktu dan
tempat, didorongkan atau dilaksanakan baik dalam arah,
struktur maupun faktor percepatannya. Diperlukan suatu
kemampuan, keuletan serta seni untuk dapat membawaka diri
dalam segala macam bentuk perubahan tersebut di atas agar

140
peran dan fungsi ikatan sebagai aparat Islamiyah dan amar
makruf nahi mungkar tidak berhenti karenanya. Dalam
keadaan semacam itu jangan sampai ikatan kita kehilangan
motivasi, arah serta gairah maupun dinamika hidup
perjuangannya. Kemi generasi awal yang telah me-ngantar
kelahiran dan perjalanan hidup ikatan sampai hari ini dan
kami generasi penerus yang kini memegang pimpinan kembali
ikatan senantiasa bertekad untuk mengemban amanah
perjuangan ini demi kelangsungan peran dan fungsi ikatan
dalam masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.

Semarang, 25 Desember 1975 M/27 Zulhijjah 1365 H 57

Identitas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Bismillahirrahmanirrahim,
Untuk terus mengembangkan hidup dan kehidupan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) serta amal geraknya,maka perlu ditetapkan
identitas IMM yaitu sebagai berikut:

1. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah organisasi kader


yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan
kemahasiswaan dalam rangka mencapai tujuan
Muhammadiyah.
2. Sesuai dengan gerakan Muhammadiyah, maka Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah memantapkan gerakan dakwah di
tengah-tengah masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa.
3. Setiap anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus
memapu memadukan kemampuan ilmiah dan akidahnya.

141
4. Oleh karena itu, setiap anggota harus tertib dalam ibadah,
tekun dalan studi, dan mengamalkan ilmunya untuk
melaksanakan ketakwaan dan pengabdiannya kepada Allah
SWT.58

Magelang, 4 Juli 1970.

Deklarasi Kota Malang


Manifesto Kader Progresif

1. IMM di usia yang hampir 40 tahun (usia nubuwah) harus tampil di


garda terdepan dalam perjuangan umat khususnya kalangan
mahasiswa dan bertekad mewujud-kan satu bangsa Indonesia
yang besar dalam suatu tata masyarakat baru yang damai, adil,
sejahtera dalam naungan ridha ilahi.
2. Deklarasi Kota Malang, 31 Maret 2002, adalah hasrat untuk
melahirkan kesadaran kolektif kader IMM dan kebulatan tekad
kami untuk menjadikan IMM sebagai aparat pembaharu yang
progresif, suatu yang niscaya untuk transformasi sosial menuju
masyarakat berperadaban. Demikian pula kami tegaskan identitas
kepribadian ikatan sebagai individu yang memiliki kemantapan
akidah dan kematangan intelektual dan progresivitas aksi, sebab
tantangan perjuangan kini dan mendatang hanya bisa dijawab
oleh postur kader progresif (mantap akidah, matang intelektual,
progresif dalam aksi).
3. Di tengah krisis multidimensi, IMM bertekad memantap-kan
peran dan posisi sebagai pelopor gerakan kaum muda. Sebagai

57
DPP IMM, Op.Cit. hlm. 37-38 & Makhrus Ahmadi, Op.Cit. hlm. 109-112
58
Lebih jelas penjelasan Identitas Ikatan dapat dilihat di Noor Chozin Agam
Melacak Jejak Sejarah dan Perkembangan IMM hlm. 43.

142
gerakan kritik vertikal dan pemberdayaan dan pencerahan
horizontal. Dengan membangun kepeloporan dan
mendemonstrasikan kekhasan intelektual gerakan IMM.
4. Untuk mewujudkan baldatun tayyibah waa rabun ghafur, maka
kaum Muslimin Indonesia memiliki tanggung jawab khususnya
Muhammadiyah lebih khusus lagi IMM untuk memberikan
kontribusi berwujud satu perangkat sistem nilai yang tangguh
yang digali dari khazanah sistem iman dan Islam bagi dasar
filsafat persaudaraan universal.
5. Sumpah kader pelopor-progresif: Kader pelopor-progresif IMM
mengikrarkan: Mengaku berbangsa satu; bangsa yang mencita-
citakan keadilan. Mengaku berbahasa satu; bahasa kebenaran.
Mengaku bertanah air satu; tanah air tanpa penindasan.
6. Perubahan sebagai suatu yang niscaya dalam sejarah umat
manusia. Menuntut kader IMM tidak terlahir sebagai generasi
kerdil di tengah kebesaran zaman. Diperlukan suatu kemampuan,
keuletan dan integritas untuk membawakan diri tampil elegan
dan tidak terbawa arus. Bahkan menjadi pelopor perubahan
menuju keadilan dengan tetap menegaskan peran dan fungsi
ikatan sebagai aparat dakwah islamiyah dan amar makruf nahi
mungkar.
7. Kami generasi IMM telah mengantarkan sebagian dari sejarahnya
dan hari ini senantiasa bertekad memanifestokan kader pelopor
untuk perjuangan umat menuju kecemerlangan Islam. Mari
bergerak bersama. Progresif jangan terhenti pada jargon dan
retorika. Demi kelang-sungan peran dan fungsi ikatan dalam
masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Malang, 31 Maret 200259

143
Manifesto Politik 40 Tahun IMM

1. Dalam perspektif gerakan IMM tetap mengedepankan aspek


moral dan memperjuangkan politik nilai yang berbasis pada
penguatan intelektualitas.
2. Dalam usia kenabian, IMM harus dapat melepaskan diri dari
ikatan-ikatan primordialisme gerakan dan harus melebur dengan
kekuatan pro demokrasi, pro rakyat untuk mewujudkan Indonesia
yang bermartabat dan berkeadilan.
3. IMM secara institusional mempunyai kewajiban untuk turut serta
mendukung seluruh proses demokrasi termasuk memberikan
penguatan kepada sang reformis untuk memimpin bangsa. Sikap
tersebut adalah lembaran baru perjuangan IMM di tengah nasib
bangsa yang sedang menghadapi problematika yang cukup serius.
Tindak lanjut dari sikap ketiga khususnya, DPP IMM telah
menjadi salah satu kekuatan penyangga dari MPR (Majelis Peduli
Reformasi) sebagai alat perjuangan, walaupun pada akhirnya cita-
cita tersebut masih belum berhasil, namun apa yang sudah
diperjuangkan IMM melalui MPR tidak akan pernah sia-sia.
Jakarta, 31 Maret 200460

Empat sifat kader IMM


(Profil Kader Ikatan)

Ini merupakan hasil Semiloka IMM yang dilaksanakan di


UMS, pada 26-28 Desember 1986, dengan mengusung tema
“Memantapkan Peran IMM sebagai Kader Bangsa dan Kader Umat”.
Adapun isinya yaitu:

59
DPP IMM, Op.Cit. hlm. 39-40 & Makhrus Ahmadi, Op.Cit. hlm. 112-113
60
DPP IMM, Op.Cit. hlm. 40 & Makhrus Ahmadi, Op.Cit. hlm. 113-114

144
• Memiliki keyakinan dan sikap Islami yang tinggi, agar
keberadaan ikatan di masa yang akan datang mampu memberi
warna masyarakat yang mulai meninggalkan nilai-nilai
agamawi.
• Memiliki wawasan dan kecakapan memimpin, karena
keberadaan kader ikatan bagaimanapun merupakan po-tensi
kepemimpinan umat dan kepemimpinan bangsa.
• Memiliki wawasan kecendekiaan, mengingat spesialisasi dan
profesionalisasi mempersempit cakrawala berpikir dalam sub-
sub bidang yang sempit.
• Memiliki wawasan dan keterampilan berkomunikasi,
mengingat bahwa masa yang akan datang industri infor-masi
akan mendominasi sistem budaya kita. Hal ini juga inheren
dengan watak Islam yang dalam keadaan apa pun selalu siap
amar makruf nahi mungkar sebagai esensi komunikasi Islami.61

Deklarasi Kota Medan

1. Mengembalikan spirit kepemimpinan IMM sesuai dengan


Khittah kepemimpinan Muhammadiyah.
2. Menegaskan orientasi perkaderan IMM pada pembentukan
Akademisi Islam yang berakhlak mulia.
3. Orientasi gerakan IMM diarahkan pada penyelesaian
problematika kebangsaan dan kemanusiaan universal.

Medan, 1 Mei 2012, Pukul 18.00 WIB62

61
Makhrus Ahmadi, Op.Cit. hlm 107 & Farid Fathoni, Kelahiran yang
Dipersoalkan, hlm. 222-223
62
Di dalam buku GKM karya Makhrus Ahmadi dan Aminuddin Anwar,
deklarasi ini tidak dicantumkan dengan alasan tidak disahkan dalam
muktamar. Namun, setelah saya kroscek dan berdiskusi dengan Mas Sani,

145
Deklarasi Setengah Abad

Mukatamar ke-XVI IMM, pada tanggal 26 Mei-1 Juni 2014, di Kota


Solo, tepatnya di kampus I Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS). Muktamar tersebut menghasilkan sebuah deklarasi, yang
dikenal dengan Deklarasi Setengah Abad IMM atau “Enam Penegasan
2”. Yang berisi:

1. IMM adalah perkaderan Islam berlandaskan ideologi


Muhammadiyah.
2. Pengkaderan IMM berbasis pada penguatan kapasistas individu
dan gerakan komunal yang bertumpu pada kearifan lokal.
3. Perkaderan Ikatan selalu menanamkan nilai-nilai moralitas
profetik dan multikultural dalam rangka membumikan gerakan
dakwah Islam.
4. IMM bersifat independen terhadap politik praktis.
5. Menggerakkan cinta masjid sebagai basis gerakan IMM.
6. Orientasi gerakan IMM diarahkan pada penyelesaian
problematika.

ternyata deklarasi Kota Medan termaktub di dalam tanfidz muktamar Kota


Medan. Adapun isinya seperti yang saya cantumkan di atas. (lihat: tanfidz
IMM muktamar Medan, 2012).

146
BIBLIOGRAFI

Agham, Noor Chozin. 2015. Islam Berkemajuan Gaya Muhammadiyah. Jakarta:


Uhamka Press.
-------------. 1997. Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah. Jakarta: Pers Perkasa dan Dikdasmen PP
Muhammadiyah.
Ahmadi, Makhrus dan Aminnudin Anwar. 2014. Genealogi Kaum Merah.
Yogyakarta: MIM Indigenous School.
Amirullah. 2016. IMM untuk Kemanusiaan; Dari Nalar ke Aksi. Jakarta:
Mediatama Indonesia.
Bisri, Mustofa. Membuka Pintu Langit. Jakarta: Kompas.
Budi, Sutia (Ed). 2007. Tri Kompetensi Dasar; Peneguhan Jatidiri Kader Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta: Bidang Keilmuan DPP IMM.
Burhani, Ahmad Najib. 2016. Muhammadiyah Berkemajuan; Pergeseran dari
Puritanisme ke Kosmopolitanisme. Bandung: Mizan.
DPD IMM DIY. 2012. Menatap Masa Depan Gerakan IMM; Refleksi Menjelang
Setengah Abad. Sekolah Lintas Pimpinan (SLP) DPD IMM DIY.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press.
----------------. 2002. Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Insist
Press.
Fathoni, Farid. 1990. Kelahiran yang Dipersoalkan. Surabaya: Bina Ilmu.
Fuad, Ahmad Nur. 2015. Dari Reformis hingga Transformatif; Dialektika Intelektual
Keagamaan Muhammadiyah. Malang: Intrans Publishing.
Hilmy, Masdar. 2008. Islam Profetik; Substansi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang
Publik. Yogyakarta: Kanisius.
Joesoef, Daoed. 2011. Pikiran dan Gagasan: 10 Wacana tentang Aneka Masalah
Kehidupan Bersama. Jakarta: Kompas.
Khaidir, Piet H. 2006. Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial. Jakarta: Teraju.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
----------------. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
----------------. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: LSBO PP
Muhammadiyah & Multipresindo.
----------------. 1998. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii, dkk. 2010. Menggugat Modernitas Muhammadiyah. Jakarta:
Best Media.
----------------. 2015. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah
Refleksi Sejarah. Jakarta: Mizan & Maarif Institute.

147
Melissa, Ayu & Husni Mubarok. 2015. Agama, Keterbukaan dan Demokrasi;
Harapan dan Tantangan. Jakarta: Paramadina.
Mulkhan, Abdul Munir. 2015. Boeah Fikiran Kijai H.A. Dachlan. Jakarta: Global
base review & STIEAD Press.
----------------. 2002. Teologi Kiri; Landasan Gerakan Pembela Kaum Mustadh’afin.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
----------------, Robert W Hefner, & Sukidi Mulyadi. 2008. Api Pembaharuan Kiai
Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Multipress.
Nashir, Haedar. 2015. Memahami Ideologi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
Nasution, Aulia A & Mikrayana Ujung. 2015. Dalam Suatu Masa (Kumpulan
Tulisan Kader Umsu). Jakarta: Global Base Review.
Nurrohmat, Binhad dan M Shofan. 2011. Nuhammadiyah Bicara Nasionalisme.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Sani, Abdul Halim. 2011. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik. Yogyakarta:
Samudra Biru.
Sentoso, Jangkung Sido (ed). 2016. Gagasan Kaum Muda Muhammadiyah;
Pandangan Kritis Kader Ikatan. Yogyakarta: Uruanna Books.
Thohari, Hajriyanto Y, dkk (ed). 2016. Becoming Muhammadiyah; Autobiografi
Gerakan Kaum Islam Berkemajuan. Bandung: Mizan.
Walters, Donald J. 2003. Crises in Modern Tought; Menyelami Kemajuan Ilmu
Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Sumber lain:
Tanfidz IMM Muktamar Medan
Sistem Perkaderan Ikatan (SPI)
Harian Republika halaman 12, edisi 17 dan 18 November 2016. Halaman 9
Resonansi: Dinamika Muhammadiyah Kontemporer - Azyumardi Azra,
edisi 4-5 November 2016.
Majalah: The Way Of Life. Edisi 11, 2013. Warisan Budaya. Artikel Yudi Latif.
Youtube: Ahmad Syafii Maarif. Orasi Ilmiah: Masa Depan Politik Identitas. Acara
Mengenang Nurcholis Majid. Paramadina.
Youtube: Franz Magnes Suseno. Seri kuliah filsafat: Filsafat Etika Jawa. Salihara.
Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Epikuros, diakses 5 September 2016.

148
PROFIL PENULIS

AHMAD SHOLEH lahir di Cirebon pada 24


Februari 1991. Telah berkecimpung di dunia
organisasi mahasiswa sejak 2012. Pertama di
Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (PK IMM) FKIP UHAMKA
sebagai sekretaris bidang Sosial dan
Pemberdayaan Masyarakat (SPM) periode 2012-
2013. Pada tahun yang sama, aktif sebagai ketua bidang organisasi di
Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)
FKIP UHAMKA.
Pada 2013, mengemban amanah sebagai ketua umum di PK
IMM FKIP UHAMKA. Di tahun yang sama pula, aktif sebagai ketua
koordinator Korps Instruktur Jakarta Timur Pandawa Merah (2013-
2015). Kemudian dia aktif di Pimpinan Cabang (PC) IMM Jakarta
Timur sebagai sekretaris bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan
(2014-2015). Dalam musyawarah PC IMM Jakarta Timur 2015, dia
diamanahi sebagai ketua umum PC IMM Jakarta Timur untuk masa
bakti 2015-2016.
Dia juga aktif di berbagai komunitas, di antaranya Komunitas
Lestari Batikku, yang bergerak di bidang budaya batik, Laskar Penulis
Ikatan (LPI) yang dibentuk dalam Konferensi Nasional IMM di UMY
tahun 2015, dan kelompok studi Ulul al-Bab Institute.
Selain itu, pria yang memulai keaktifannya di dunia jurnalistik
pada tahun 2015 ini, tercatat sebagai 25 penulis cerpen terbaik, di ajang
Kompetisi Menulis Fiksi Safety First dari Astra Honda Motor dan
nulisbuku.com tahun 2015. Untuk silaturahim bisa ikuti blog:
ashshaleh.wordpress.com, Twitter: @madshaleh, Instagram:
@shibuya_sho.

149
TESTIMONI

Saya sangat percaya sebuah gerakan selalu


membutuhkan refleksi dan resistensi, termasuk
dalam tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Buku Immawan Ahmad Sholeh ini adalah salah satu
jawaban bahwa refleksi memberikan banyak ruang
imajiner dan daya kreatif terhadap diri kader dan
gerakan IMM secara kolektif. Saya sangat
mengapresiasi hadirnya buku ini dan patut dibaca seluruh kader IMM.
–Makhrus Ahmadi, penulis Genealogi Kaum Merah.

“Awesome, Educate, Enlightenment, Inspiring, and


Guidance,” lima kata yang dapat saya gambarkan
tentang buku ini, kalimat demi kalimat di dalam buku
ini memiliki makna tersendiri dan upaya refleksi bagi
saya sebagai IMMawati yang terlahir di rahim Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah pada 2013 lalu. Sebagai
kader yang masih terus berproses untuk terus ber-
Ikatan dan ber-Muhammadiyah buku ini dapat menjadi petunjuk dan
pedoman yang baik serta koleksi yang harus kita punya agar menjadi
IMMawan dan IMMawati yang sebenar-benarnya. - Nabila Harahap,
perwakilan pemuda Indonesia untuk ASEAN Youth Think Program.

Sebuah karya refleksi, upaya menggali dan mencari


autentisitas, di atas dinamika gerakan. Buku ini
mencoba untuk menelusuri identitas autentik gerakan
IMM sebagai orientasi utama dalam membangun
gerakan. Penulis, melalui buku ini mencoba untuk
mendialogkan pola gerakan IMM dewasa ini, bahwa
identitas intelektual harus mampu menjawab
problematika dalam bermasyarakat,berbangsa, dan negara. Sesuai apa
yang Ali Syariati utarakan bahwa kaum intelektual (rausyan fikr) harus
menjadi jembatan emas penghubung rakyat dan penguasa. Sebuah

150
karya yang patut diapresiasi, karena mencoba untuk mengajak kader
IMM mendialogkan eutentisitas gerakan yang digelutinya. - Ari
Susasnto, penulis Membumikan Gerakan Sosial Islam Progresif, Ketua
DPD IMM DIY 2016-2018.

Buku IMM Autentik ini sangat pas sebagai refleksi


diri. Apakah peran dan fungsi kita di IMM sudah
sesuai dengan nilai-nilainya yang ada dalam
moqaddimah AD/ART kader memiliki lima fungsi,
yakni pelopor, pelangsung, penyempurna,
dinamisator, dan stabilisator dalam gerakan dan
perjuangan persyarikatan. - Jangkung Sido Sentosa,
Editor buku Gagasan Kaum Muda Muhammadiyah.

Luar biasa sukses waw. Karya ini patut saya


apresiasi sebagai pedoman gerakan Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah. Buku yang
memberikan kita untuk terus bersemangat dan
belajar dalam perjuangan. Fastabiqul khairat! – Rully
Onzo, Motivator dan Inspirator Pemuda Indonesia,
Duta Mahasiswa Berkarakter 2012.

Spirit Ahmad Dahlan di tengah kejumudan umat


(jahiliyah) pada masanya tentu harus selalu
dijadikan acuan reflektif kita dalam merumuskan
pola gerakan. Kemajuan teknologi menjadikan tugas
kita sebagai penerus Ahmad Dahlan menjadi lebih
kompleks. Buku IMM Autentik ini sangat baik
sebagai acuan reflektif kita dalam
mengejawantahkan apa yang disebut Ilmu Amaliyah
– Amal Ilmiah, agar aktivis IMM tidak terjebak dalam ruang wacana
yang utopis. – Fuad Fahmi Hasan, Sekjen DPD IMM Jatim 2016-2018,
Pemuda Pelopor Surabaya.

151
IMM Autentik sangat inspiratif dan mencerahkan,
terutama bagi kader IMM yang telah kehilangan
autentisitas dalam gerakannya. Buku ini mencoba
memunculkan kembali semangat ber-IMM yang
memiliki independensi sebagai gerakan intelektual
dan gerakan akhlak. – Johan Maheswara, Korkom
IMM UHAMKA Jaktim 2015-2016.

Buku IMM Autentik ini mencoba mendobrak nalar


pragmatis yang mulai menjangkiti kader IMM hari
ini sehingga cenderung mengabaikan tradisi
intelektual. Profil kader ideal yang digambarkan
dalam buku ini patut menjadi panduan seluruh
kader IMM untuk menjawab tantangan IMM ke
depan, terutama di tengah arus globalisasi dan
informasi seperti saat ini. Saya mengenal Sholeh sebagai kader IMM
yang masih menjaga tradisi intelektual. – Muhammad Fakhruddin,
Jurnalis Republika & Ketua Bidang Hubungan Internasional PP
Pemuda Muhammadiyah

152

Anda mungkin juga menyukai