Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes
seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia.4
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya
bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara
intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal
neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.5
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara
mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran ,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).6
Kejang satu kali tidak dapat langsung dikatakan sebagai epilepsi
(sekitar 10% penduduk dunia pernah mengalami satu kali kejang selama
hidupnya). Epilepsi didefinisikan sebagai dua atau lebih kejang yang
tidak terprovokasi. Epilepsi adalah salah satu kondisi tertua didunia,
tercatat sejak 4000 tahun SM. Ketakutan, ketidakpahaman, diskriminasi,
dan stigma sosial mengelilingi epilepsi sejak berabad-abad lalu. Stigma
ini terus berlanjut diberbagai negara sampai saat ini dan berdampak pada
kualitas hidup penyandang dan keluarga.7
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala
berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan
refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari
24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/
bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.8
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh
faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif,
dan somatomotor.8
2.2. Epidemiologi
Penelitian insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai
negara, tetapi di Indonesia belum diketahui secara pasti. Para peneliti
umumnya mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan
prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum. Sedangkan
pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita
epilepsi. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan
lebih sering terjadi pada usia dini dibandingkan usia selanjutnya.9
Di negara berkembang diperkirakan tiga perempat pasien epilepsi tidak
mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi
3
di Afrika tidak mendapatkan pengobatan. Di beberapa negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, ketersediaan obat anti epilepsi (OAE)
sangat rendah dan harga OAE relatif mahal. Ketersediaan OAE generik
sekitar kurang dari 50%.7
2.3. Etiologi
a. Epilepsi idiopatik
Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar 40%
diseluruh dunia. Penyebab abnormalitas neuroanatomi maupun
neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi idiopatik terjadi pada bayi, anak,
remaja, dan dewasa muda dengan MRI otak yang normal dan tidak ada
riwayat kelainan medis yang bermakna sebelumnya. Terdapat
predisposisi genetik, beberapa sindrom epilepsi idiopatik memiliki
distribusi autosomal dominan yang mengakibatkan adanya gangguan
pada kanal ion.10
b. Epilepsi simptomatik
Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas struktur otak
yang mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari.
Yang termasuk kategori ini adalah kelainan perkembangan dan
kongenital baik akibat genetik maupun didapat, dan juga kondisi yang
didapat. Sebagai contoh: cedera kepala, infeksi SSP, lesi desak ruang,
gangguan peredaran daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan
neurodegeneratif.8,10
c. Epilepsi Kriptogenik
Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih
belum dapat diidentifikasi. Termasuk disini adalah sindrom west,
sindrom Lennox-Gaustat, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus.8
2.4. Klasifikasi
4
Revisi dari klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE)
1981 dikarenakan beberapa faktor. Beberapa jenis kejang, seperti kejang
tonik atau spasme epileptik, dapat memiliki onset fokal atau umum.
Kurangnya pengetahuan terhadap onset kejang, mengakibatkan kejang
menjadi tidak terklasifikasikan. Beberapa istilah pada klasifikasi kejang
sebelumnya, seperti diskognitif, psikis, partial, simple partial, dan complex
partial kurang dapat diterima atau kurang dimengerti. Menentukan ada
tidaknya gangguan kesadaran selama kejang dapat membingungkan
terutama untuk non-klinisi. Beberapa jenis kejang tidak dimasukan kedalam
klasifikasi 1981.11
5
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness
seizure bila terdapat gangguan kesadaran pada titik mana saja selama
periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejang fokal dengan gejala
atau tanda pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient
behavior arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan
penghentian aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama
kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan
tingkat kesadaran. Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan,
jenis kejang fokal dapat ditentukan hanya dengan karakteristik motor
atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat
menambahkan deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak
mengganggu jenis kejang yang sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai
contoh: focal emotional seizure dengan tonik pada lengan kanan dan
hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang
tonik-klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk
kejang yang secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset,
terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan
menyentak ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan
menyentak yang regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada
gerakan mengedip selama kejang absans.11
2.5. Patofisiologi
6
Pada tingkat selular, dua ciri khas aktivitas epileptiform adalah
hipereksitabilitas dan hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas merujuk
pada peningkatan respon neuron terhadap stimulasi, sehingga sel
mencetuskan beberapa potesial aksi langsung. Hipersinkron yaitu
peningkatan cetusan neuron pada sebagian kecil atau besar regio di korteks.
Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang
fokal dan umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya
gangguan keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau
menyebar diseluruh otak. Ketidakseimbangan ini karena kombinasi
peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi.10,12
7
2.6. Manifestasi klinis
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil
dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi
atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang
parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran
dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar
dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
8
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti
aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di
seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air
liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
2.7. Diagnosis
a. Anamnesis
Untuk mendiagnosis epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis
yang baik. Investigasi selanjutnya berguna untuk menilai gangguan
fungsional dan struktural pada otak.13
9
Pada anamnesis terutama dipastikan lebih dulu apakah suatu
bangkitan epilepsi atau bukan. Kemudian tentukan jenis bangkitan dan
sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE.
Dalam praktik klinis, auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi
mata harus mencakup pre-iktal, iktal, dan post-iktal.
1. Pre-iktal/ Sebelum bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, seperti perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain. Kemudian
juga ditanyakan ingatan terakhir sebelum terjadi serangan, untuk
menentukan berapa lama amnesia terjadi sebelum serangan. Gejala
neurologis mungkin dapat menunjukan lokasi fokal.11
10
Ditanyakan apakah terdapat aura atau adanya gejala yang
dirasakan pada awal bangkitan. Serta bagaimana pola/ bentuk
bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh,
vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan
dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, dan lain-lain. Ditanyakan juga apakah terdapat
lebih dari satu pola bangkitan, dan adakah perubahan pola dari
bangkitan sebelumnya, serta aktivitas pasien saat terjadi bangkitan,
misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain, dan lain-lain. Serta berapa
lama bangkitan terjadi.8
3. Post-iktal/ Setelah bangkitan
Apakah pasien langsung sadar, bingung, nyeri kepala, gaduh
gelisah, Todd’s paresis.
4. Faktor pencetus: kelelahan, hormonal, stress psikologi, dan alkohol
5. Riwayat epilepsi sebelumnya: Usia awitan, durasi bangkitan,
frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan, dan
kesadaran antar bangkitan.
6. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap obat anti epilepsi
(OAE) sebelumnya. Perlu ditanyakan jenis dan dosis OAE,
kepatuhan, serta kombinasi OAE.
7. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
8. Riwayat epilepsi dan penyakit lain yang berhubungan dalam
keluarga
9. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
10. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dan lain-lain.8
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan atau yang mencetuskan epilepsi, seperti: trauma kepala, tanda
11
infeksi, kelainan kongenital, penggunaan alkohol atau napza, kelainan
pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda keganasan.8
c. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit
setelah bangkitan, maka akan tampak pasca bangkitan terutama tanda
fokal yang tidak jarang dapat menjadi pentunjuk lokalisasi seperti:
paresis Todd, gangguan kesadaran post-iktal, dan afasia post-iktal.8
d. Pemeriksaan Penunjang
Electro-ensefalografi (EEG)
Electro-ensefalografi adalah suatu metode studi aktivitas listrik di
korteks dengan menggunakan lead yang terpasang di skalp. Elektroda-
elektroda ini kemudian menangkap aktivitas listrik otak yang paling
tinggi.13
Banyak pasien dengan epilepsi memiliki EEG yang normal, seperti
pada epilepsi myoklonik juvenil hanya sekitar 50% memiliki EEG
abnormal. Namun EEG tetap modalitas pemeriksaan yang paling
berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang
diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi,
menentukan prognosis, serta perlu atau tidaknya pemberian OAE.13
12
Gambar 4. Gambaran EEG pada bangkitan parsial 13
13
Gambar 5. Lesi malformasi arterivena di lobus temporal posterior 13
14
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar OAE dalam
plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis
terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.8
Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan namun tidak rutin yaitu
pungsi lumbal dan EKG.8
15
dyspnea, dan perasaan cemas. Penurunan kesadaran pada syncope
berlangsung cepat dan kesadaran juga kembali dengan cepat.14
Pada syncope juga dapat terjadi inkontinensia urin seperti pada kejang.
Menggigit lidah juga mungkin terjadi pada syncope tetapi biasanya ujung
lidah yang tergigit bukan pada sisi samping, dimana pada kejang injuri lidah
lebih berat. Pada syncope gerakan yang biasa terjadi adalah hentakan
myoklonik yang jelas. Mata pasien biasanya tertutup bukan mendelik, serta
tidak ada sekuele neurologis fokal. Diagnosis syncope harus disertai
pemeriksaan EKG.13,14
Diagnosis banding selain PNES dan syncope yang menyerupai epilepsi
yaitu serangan panik, hipoglikemia, paroxysmal movement disorder,
paroxysmal sleep disorder, TIA, migraine, dan TGA.14
2.9. Penatalaksanaan
Setelah bangkitan yang pertama, keputusan untuk memulai pengobatan
bergantung pada risiko adanya bangkitan dikemudian hari serta apakah
bangkitan dimulai dengan suatu status epileptikus. Risiko ini tergantung dari
kondisi bangkitan dan hasil pemeriksaan. Risiko berulangnya kejang dalam
10 tahun terjadi pada 19% setelah kejang simptomatik akut akibat trauma
kepala, stroke, infeksi SSP, tetapi risiko berulang tiga kali lipat pada
bangkitan tanpa provokasi. Selain itu seberapa besar kemungkinan
terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaan, atau keadaan fisik
akibat bangkitan selanjutnya dan pertimbangan untung rugi antara
pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis
merupakan dasar terapi.15
a. Tujuan medikasi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang
epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal.
Harapannya adalah ‘bebas bangkitan, tanpa efek samping’, walaupun hal
ini sulit terjadi pada medikasi inisial.8
16
b. Prinsip penatalaksanaan
Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang
harus dilakukan bila serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawat
darurat. Pertama, dipastikan pasien aman dari sekitarnya dengan
menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai pasien.
Kemudian penolong jangan menahan gerakan kejang pasien dan jangan
memasukan benda apapun ke mulut pasien karena akan menambah
cedera. Direkomendasikan untuk memiringkan posisi pasien supaya
mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan memberikan
makanan atau minuman sampai kesadaran pasien pulih.15
c. Terapi farmakologis
Prinsip Pemberian OAE
- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
- Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan dan efek sampingnya
- Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat
dimulai dari dosis rendah dan ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping.8
Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau
terjadi bangkitan yang tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang
tepat atau adanya faktor presipitasi seperti penggunaan etanol berlebih.
Jika efek samping ringan, maka penyesuaian ringan dosis mungkin
bermanfaat. Bila masalahnya adalah timbulnya bangkitan, maka
diperlukan titrasi OAE ke dosis yang lebih besar, atau sampai ke dosis
maksimal yang dapat ditoleransi.10
Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua
harus memiliki mekansisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama.
Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama
17
diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama,
maka kedua OAE tetap diberikan. Bila respon yang terjadi buruk, kedua
OAE harus digantikan dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga
baru dilakukan bila terdapat respsons dengan OAE kedua, tetapi respons
tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah
maksimal.6,15
TIPE KEJANG LINI PERTAMA LINI KEDUA
Carbamazepine, Lamotrigin,
Clobazam, Lamotrigin,
Tonik-Klonik Umum Oxcarbazepine, As.
Levetiracetam, As. Valproat
Valproat
Tonik Atau Atonik Asam Valproat Lamotrigin
Ethosuximide, Lamotrigin, Ethosuximide, Lamotrigin,
Absence
As.Valproat As.Valproat
Levetiracetama, Levetiracetam, As.Valproat,
Myoklonik
As.Valproat, Topiramatea Topiramatea
Carbamazepine, Clobazama,
Carbamazepine,
Gabapentina, Lamotrigine,
Focal Lamotrigine, Levetiracetam,
Levetiracetam, Oxcarbazepine,
Oxcarbazepine, As.Valproat
As.Valproat, Topiramate
Kejang berulang atau
yang berkepanjangan Buccal midazolam, rectal
& kejang status diazepam, IV lorazepam
epileptikus di
komunitas
IV Lorazepam, IV
Kejang pada Status IV Fenobarbital, Fenitoin
Diazepam, Buccal
Epileptikus di RS
Midazolam
IV Midazolam, Propofol
Epilepsi Refrakter
(tidak untuk anak-anak),
Thiopental sodium
AED’s DOSE EFEK SAMPING
Newborn: 3,5 mg/kg/day
Children: 2-6 mg/kg/day Adiktif, mengantuk, pingsan,
FENOBARBITAL
Dewasa: 0,5-4 mg/kg/day, penyimpangan memori
max 180 mg/day
Children: 10-30 mg/kg/day
Under 1 year: 100 mg daily Ataxia, nystagmus, dysarthria,
CARBAMAZEPINE
1-5 tahun: 150mg daily vertigo, sedatif
Adults: 10-20 mg/kg/day (400-1400mg)
Children: 15-20 mg/kg/day Iritasi saluran cerna, mual, nafsu
Adults: 10-30 mg/kg/day makan & BB meningkat, tremor,
AS. VALPROAT
(pada dewasa 600-2400mg daily) rambut rontok, bengkak, gangg.
Fungsi hati
3-8 mg/kg/day Mual, ruam, bicara cadel,
FENITOIN 1-6 years: 50mg daily kebingungan, insomnia, sakit
7-14 years: 100mg daily kepala, penyakit gusi, anemia
Adults 200 mg/day def.asam folat
ETHOSUXIMIDE Children: 10-25 mg/kg/day Autoimun/lupus
18
Adults: 10-20 mg/kg/day (750-1500mg)
CLONAZEPAM Starting dose: 0,01-0,03 mg/kg/day
Dosis pada status epileptikus atau
kejang demam:
- 1mg/menit IV sampai kejang
berhenti stop
- 5 mg untuk anak-anak dibawah
5 tahun
DIAZEPAM - 10mg pada ana-anak usia 5-10
tahun
- 15-20mg pada anak2 yang lebih
besar & pada dewasa
- Solusi yang sama jika
pemberian diberikan setelah 20-30
menit & sekali pemberian setelah 30
menit
d. Penghentian OAE
Pada suatu studi meta analisis, kekambuhan kejang terjadi 25%
setelah penghentian OAE selama 1 tahun dan 29% setelah penghentian
selama 2 tahun. Namun, angka kejadian kekambuhan setiap tahunnya
hanya sekitar 8% pada penghentian OAE selama 2 tahun.15
Inisiasi penghentian OAE dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang.
Syarat lain penghentian OAE adalah disetujui oleh penyandang dan
keluarga, dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 3-6 bulan, serta
bila terapi dengan lebih dari satu OAE maka penghentian dimulai dari
satu OAE yang bukan utama.8,15
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:
- Semakin tua usia
- Epilepsi simptomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
- Pengunaan lebih dari satu OAE
- Telah mendapat terapi selama 10 tahun atau lebih
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir
(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.8
e. Penatalaksanaan Status Epileptikus
19
Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau terjadi 2 atau lebih kejang tanpa
kembalinya kesadaran diantaranya. Namun penanganan bangkitan
konvulsifus harus dimulai bila bangkitan sudah berlangsung lebih dari 5
menit. Definisi operasional status epileptikus adalah bangkitan dengan
durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa
pulihnya kesadaran diantara bangkitan.17
20
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan status epileptikus 18
21
2.10. Prognosis
Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah
pada anak atau dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal,
dan tidak ada riwayat penyebab epilepsi simptomatis. Sedangkan pada usia
tua kekambuhan dapat mencapai 70%.10,13
Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati
dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase
kejadian bebas kejang 60%-70% dengan monoterapi.10 Kejang yang tidak
ditangani juga dapat menimbulkan bahaya seperti jatuh, fraktur, cedera
kepala, sudden death, dan status epileptikus.10
22
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Anamnesis
dilakukan pada hari Kamis, tanggal 5 November pada pukul 11.00
WIT di Poliklinik saraf RSUD dok II Jayapura-Papua.
3.2.1. Keluhan Utama
Kejang 1 hari SMRS
3.2.2. Keluhan Tambahan
Sakit kepala
3.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki-laki berusia 36 tahun diantar oleh
petugas lapas datang ke poliklinik Saraf RSUD dok II Jayapura
dengan keluhan kejang 1 hari SMRS. Sebelumnya pada tanggal 3
Agustus 2020 pasien diantar oleh ambulance lapas ke IGD
RSUD dok II Jayapura dengan keluhan yang sama, kemudian di
konsulkan ke dokter spesialis saraf. Kejang terjadi tiba-tiba saat
pasien sedang dalam keadaan beristirahat. Menurut petugas
lapas, pasien tiba-tiba jatuh lalu kejang. Kejang terjadi diseluruh
tubuh disertai kaku dan pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat
23
kejang, mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi keluar
lendir dan tidak berbusa dari mulut pasien. Pasien juga mengaku
sebelum kejang dirinya terasa seperti akan pingsan dan berbicara
ngaur. Menurut petugas lapas, kejang berlangsung kurang lebih
30 menit. Keluhan kejang dirasakan sejak tahun 2008. Pasien
mengaku sering kejang berulang. Kejang yang terjadi tidak
berhubungan dengan demam. Kejang biasanya terjadi lebih dari 1
kali dalam seminggu. Biasanya setelah kejang pasien tersadar
dan merasa pusing. Pasien mengaku juga sering sakit kepala.
Sakit kepala berputar disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal
ada mual muntah, demam disangkal, BAK dan BAB normal.
3.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat kejang dari tahun 2008,
namun hanya beberapa kali dan pasien lupa tentang pola
kejangnya. Pasien mengaku sakit kepala yang dialami karena di
pukul oleh teman satu sel dengan pasien. Riwayat DM, penyakit
paru, jantung dan hipertensi disangkal oleh pasien.
3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang, hipertensi, DM, Hipertensi, jantung
disangkal oleh pasien.
24
1. Kesadaran : Composmentis
2. GCS : E 4 V5 M 6
5. Motorik :
5 5
5 5
6. Reflek fisiologi : (+)
7. Refelek patologis : (-)
25
3.5. Diagnosis
Epilepsi umum tipe tonik klonik
3.6. Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
Pertolongan pertama
- Pasien dan keluarga harus diberitahukan dengan jelas
tindakan apa yang harus diambil bila menghadapi
serangan
- Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau
memaksa membuka mulut pasien
- Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena
hanya berakibat menimbulkan cedera
- Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti
seharusnya
- Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman
- Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi
dalam posisi setengah telungkup untuk membantu
pernafasan pasien dan pemulihan serta berikan bantalan di
kepala dengan sesuatu yang lunak
- Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
- Setelah suatu serangan pasien harus ditemani hingga fase
bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan
pasien memperoleh kembali keseimbangannya
2. Medikamentosa
Clindamycin 300 mg no. LX (2x1)
Pirimetamin 25 mg no. LX (2x1)
Phenytoin 100 mg no. LX (2x1)
As. Folat 400 mcg no. XXX (1x1)
26
Paracetamol 650 mg, Diazepam 10 mg 1/2, Myonal 50 mg ¾, Vit
B1, B6, B12 1/2, da in caps no. LX (2x1)
DAFTAR PUSTAKA
27
3. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah LengkaP Kedokteran
Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .2002
5. Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE, Ruis
E. Emergency Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.2005
9. Dadiyanto Dwi W, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro; 2011.
11. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higrashi N, et al.
Instruction Manual for the ILAE 2017 Operational Classification of Seizure
Types. Epilepsia. 58(4): 531-42.
12. Noebels JL, Avoli M, Rogawski MA, Olsen RW. Jasper’s Basic Mechanism
of Epilepsies. New York: Oxford University Press; 2012.
15. Swisher CB, Radtke RA. Principles of Treatment. In: Husain MA, editor.
Practical Epilepsy. New York: Demosmedical; 2016.p.254-9
16. National institute of clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and
management of the epilepsies in adult and children in primary and secondary
care. NICE Clinical guideline 137. London January,2012
28
17. Lowenstein DH, Cloyd J. Out-of-hospital treatment of status epilepticus and
prolonged seizures. Epilepsia. 2007. 48 Suppl 8:96-8
29