Anda di halaman 1dari 58

UJI AKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle L.

)
SECARA IN VIVO TERHADAP SCABIES PADA KAMBING
KACANG (Capra hircus)

SKRIPSI

NUR SRIANI REZKI


NIM O111 12 110

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Nur Sriani Rezki

Nim : O111 12 110

Jurusan / Program Studi : Kedokteran Hewan

Dengan ini menyatakan keaslian dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang


berjudul:

Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Secara In vivo
terhadap Scabies pada Kambing Kacang (Capra hircus)

Adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam
naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang
lain untuk memperoleh gelar akademis di suatu perguruan tinggi, dan tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam
sumber kutipan serta daftar pustaka.

Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil
dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

Makassar, 28 Februari 2017

Pembuat Pernyataan

Nur Sriani Rezki

ii
ABSTRAK

Nur Sriani Rezki. O111 12 110, Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
L.) Secara In Vivo terhadap Scabies pada Kambing Kacang (Capra hircus). Di
bawah bimbingan ABDUL WAHID JAMALUDDIN dan MUHAMMAD
FADHLULLAH MURSALIM.

Kehidupan ternak kambing sering diganggu oleh beberapa penyakit. Salah


satu yang disebabkan oleh parasit terutama ektoparasit yang sering dijumpai
adalah scabies. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Tujuan
penelitian ini untuk menguji aktivitas ekstrak daun sirih (Piper betle L.) secara in
vivo terhadap scabies pada kambing Kacang (Capra hircus). Dalam penelitian ini
terdapat 5 perlakuan, yaitu Kontrol +, Kontrol -, ekstrak daun sirih 10%, 20%
serta 30%. Parameter keberhasilan dengan mengamati pertumbuhan rambut dan
hilangnya penebalan serta keropeng pada permukaan luka. Penyembuhan scabies
disebabkan kandungan senyawa aktif yaitu minyak atsiri, saponin, tanin dan
flavonoid. Berdasarkan manfaat masing-masing senyawa tersebut penulis
menyimpulkan minyak atsiri lah yang berperan mematikan agen Sarcoptes scabiei
sedangkan saponin, tanin serta flavanoid lah yang memberikan efek positif pada
proses penyembuhan luka dari ketiga parameter keberhasilan penelitian ini.
Ekstrak Daun Sirih 10%, 20% dan 30% menunjukkan aktivitas yang baik terhadap
penyembuhan scabies pada kambing Kacang Ekstrak Daun Sirih 30% lebih baik
dari Ekstrak Daun Sirih 20% dan Ektrak Daun Sirih 10%.

Kata Kunci: ekstrak daun sirih, kambing Kacang, scabies

iii
ABSTRACT

Nur Sriani Rezki. O111 12 110, Activity Test of Extract Betle Leaf (Piper betle
L.) In Vivo againts Scabies in Indonesian native Kacang goat (Capra hircus).
Under the guidance of ABDUL WAHID JAMALUDDIN and MUHAMMAD
FADHLULLAH MURSALIM.

Lifetime of goat often compromised by several diseases. One of them


caused by parasites, especially ectoparasites frequently encountered as scabies.
This disease is generally caused by Sarcoptes scabiei. Aim of this study is to
assess extracts betel leaf activity (Piper betle L.) in vivo against scabies on
Indonesian Native Kacang Goat (Capra hircus). Current study implicated five
treatments, is Control + Control -, betel leaf extract 10%, 20% and 30%.
Successful assessed by hair growth, dissipation of thick surface and scab on
wound surface, is due to active compounds include essential oils, saponins,
tannins and flavonoids. Based on the benefits of each of these compounds, author
concludes essential oil is plays main role by kill Sarcoptes scabiei. While
saponins, as well as tannins and flavanoid gives positive effects on wound healing
process, that become one of treatment success criteria in this study. Extract betle
leaf 10%, 20% and 30% showing good activity against scabies healing on
Indonesian Native Kacang Goat. Extract betel leaf 30% better than extract betel
leaf 20% and extract betel leaf 10%.

Keyword : extract betel leaf, Indonesian native Kacang goat, scabies

iv
UJI AKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle L.)
SECARA IN VIVO TERHADAP SCABIES PADA KAMBING
KACANG (Capra hircus)

NUR SRIANI REZKI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

v
vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala


karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper
betle L.) Secara In Vivo terhadap Scabies pada Kambing Kacang (Capra hircus)”.
Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alahi
Wassallam yang telah mengajari manusia sampai akhir hayatnya dan membawa
manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti saat ini.
Shalawat juga penulis haturkan kepada keluarga Rasulullah, Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut, Tabi’ut tabi’in dan seluruh umat islam yang senantiasa berada di jalan
islam ini. Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian, dan disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH). Dengan
selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Kedua orang tua tercinta ayahanda Latang dan ibunda Hj. Fatmasuri serta
saudara tercinta Nur Asmaul Husna, Nur Ulul Asman dan Nur Ulul Amran
atas doa dan dukungannya yang tidak pernah putus.
2. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Puhubulu, M.A. selaku Rektor Universitas
Hasanuddin.
3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M. Sc selaku Ketua Program Studi
Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang juga
selaku penasehat akademik penulis.
5. Abdul Wahid Jamaluddin, S. Farm, M. Si, Apt selaku pembimbing utama dan
Drh. Muhammad Fadhlullah Mursalim, M. Kes selaku pembimbing anggota
atas waktu, motivasi dan kesabarannya dalam membimbing mulai dari usulan
penelitian, pelaksanaan penelitian dan penyusunan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
6. Drh. Muhlis Natsir, M.Kes dan Muh. Nur Amir, S.Si, M.Si, Apt. selaku dosen
penguji.
7. Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari, M. Sc dan Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc selaku
panitia seminar proposal dan seminar hasil atas segala bantuan dan
kemudahan yang diberikan kepada penulis.
8. Seluruh dosen dan staf pengelola pendidikan Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan
bantuan dan dukungan selama proses pendidikan.
9. Drh. Hartono dan seluruh staf dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Soppeng serta Peternak Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng atas bantuan
yang telah diberikan selama penelitian berlangsung.
10. Teman-teman seperjuangan mahasiswa kedokteran hewan angkatan 2012
AKESTOR ANWELF serta HAMPIR 17 yang telah memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis baik selama mengikuti pendidikan di program

vii
studi kedokteran hewan dan memberikan bantuan baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
dari segi tata bahasa, isi maupun analisisnya dalam pengolahan hasil penelitian
yang penulis telah lakukan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dan berharap dapat bermanfaat untuk kemajuan
ilmu pengetahuan. Wassalamu Alaikum Warahatullahi Wabarakatu.

Makassar, 28 Februari 2017

Nur Sriani Rezki

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
PERNYATAAN KEASLIAN ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
HALAMAN JUDUL v
HALAMAN PENGESAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu 3
1.4.2 Manfaat Untuk Aplikatif 3
1.5 Hipotesis 3
1.6 Keaslian Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Kambing 4
2.2 Skabies 5
2.2.1 Definisi 5
2.2.2 Etiologi 5
2.2.2.1 Morfologi 5
2.2.2.2 Siklus Hidup 5
2.2.3 Patogenitas 7
2.2.4 Gejala Klinis 7
2.2.5 Diagnosis Dan Diagnosa Banding 8
2.2.5.1 Diagnosis 8
2.2.5.2 Diagnosa Banding 9
2.2.6 Pencegahan Dan Pengobatan 9
2.2.6.1 Pencegahan 9
2.2.6.2 Pengobatan 9

ix
2.3 Daun Sirih 10
2.3.1 Morfologi 10
2.3.2 Tata Nama (Taksonomi) 11
2.3.3 Kandungan Daun Sirih 11
2.3.4 Manfaat Daun Sirih 11
3. METODOLOGI PENELITIAN 13
3.1 Waktu dan Tempat 13
3.2 Jenis Penelitian dan Metode Pengambilan Sampel 13
3.3 Materi Penelitian 13
3.3.1 Alat 13
3.3.2 Bahan 13
3.3.3Sampel 13
3.4 Metode Penelitian 14
3.4.1 Pembuatan Simplisia 14
3.4.2 Pembuatan Ekstrak 14
3.4.3 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak 14
3.4.4 Persiapan dan perlakuan terhadap sampel 15
3.4.5 Kriteria Skoring 15
3.5 Analisis Data 16
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17
4.1 Hasil 17
4.2 Pembahasan 21
5. PENUTUP 25
5.1 Kesimpulan 25
5.2 Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 30
RIWAYAT HIDUP 47

x
DAFTAR GAMBAR

1. Kambing Kacang 5
2. Siklus Hidup S. scabiei. 6
3. Patogenitas S. Scabiei 7
4. Kambing Scabies 8
5. Daun Sirih Hijau (Piper betle L.) 11
6. Pemeriksaan Mikroskopis Pembesaran 100 × 17
7. Sebelum Pengobatan 19
8. Setelah 7 Hari Pengobatan 19

DAFTAR TABEL

1. Kriteria Skoring 15
2. Data Skoring Sampel 18
3. Hasil Uji Homogenitas Levene Test 20
4. Hasil Uji Kruskall-Wallis Test 20

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis Data 31
1.1 Homogenitas Levene Test 31
1.2 Kruskall-Wallis Test 33
1.3 Mann-Whitney Test 34
1.4 Histogram Skoring Kelompok Sampel Tiap Parameter 43
2. Dokumentasi Penelitian 44

xi
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kambing merupakan ternak jenis ruminansia kecil. Kambing pertama kali


dijinakkan pada zaman Neolitikum, di daerah Asia bagian Barat. Kambing
memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan domba namun berbeda sifat
biologisnya. Beberapa perbedaan besar antara spesies kambing dan domba, yaitu
domba memiliki stockier bodies yang lebih besar dari pada kambing. Kambing
memiliki ekor yang lebih pendek daripada domba, namun memiliki tanduk yang
lebih panjang dan ada yang tumbuh ke atas, ke belakang dan keluar. Kambing
jantan dewasa memiliki janggut mengeluarkan bau yang khas yang berasal dari
kelenjar “bandot”, namun domba jantan tidak. Kambing tidak memiliki kelenjar
scent pada bagian muka dan kakinya. Biasanya kambing lebih aktif daripada
domba dan memiliki sifat dan kebiasaan suka berkelahi dan menangkis, sehingga
dalam hal ini kambing dapat dengan mudah kembali ke alam liar (Gillespie dan
James, 1992).
Peternakan kambing khususnya di daerah-daerah terpencil kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah karena jarak transportasi yang jauh.
(Subekti, 2007). Kehidupan ternak kambing sering diganggu oleh beberapa
penyakit. Salah satu penyakit penting yang disebabkan oleh parasit terutama
ektoparasit yang sering dijumpai adalah scabies. Penyakit ini umumnya
disebabkan oleh Sarcoptes scabiei (Hartati, 2001). Penyakit parasitik merupakan
salah satu faktor yang dapat menurunkan produktivitas ternak. Parasit bertahan
hidup dalam tubuh hospes dengan memakan jaringan tubuh, mengambil nutrisi
yang dibutuhkan dan menghisap darah hospes. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan bobot badan, pertumbuhan yang lambat, penurunan daya tahan tubuh
dan kematian hospes. Ternak yang terinfestasi parasit biasanya mengalami
kekurusan sehingga mempunyai nilai jual yang rendah (Khan dkk., 2008).
Pengobatan scabies dengan obat dari yang murah sampai yang mahal dalam
pelaksanaanya umumnya memerlukan kesabaran dan ketekunan agar penyakit
tidak kambuh kembali (Hartati, 2001). Banyaknya produk kimia yang bahan-
bahannya teresidu menjadi bahan yang tidak dapat didegradasi oleh lingkungan
menyebabkan perlunya solusi untuk pemecahannya. Salah satu produk kimia yang
berbahaya adalah obat-obat hewan karena produk obat biasanya akan teresidu
dalam tubuh hewan dan nantinya akan teresidu dalam tubuh manusia karena
dikonsumsi. Karena hewan rentan terhadap penyakit tentunya sistem pengobatan
hewan sangat penting diterapkan (Utami dkk., 2008).
Daun sirih digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai obat kumur,
penyegar mulut, pengobatan luka, anti bakteri, anti jamur, antioksidan dan
mengurangi pembentukan plak gigi (Sari, 2006). Uji klinis salep Piper betle
mempercepat perbaikan lesi kulit pada ringworm hingga 26%. Piper betle juga
dapat menghambat pertumbuhan dermatofita dan pertumbuhan Candida (Hajare
dkk., 2011). Selain itu penggunaan daun sirih telah dilakukan untuk penyembuhan
luka iris pada tikus putih jantan yang dilakukan oleh Fannani dan Nugroho
(2014). Diharapkan pula daun sirih dapat berkhasiat mengobati luka yang
2

disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Penelitian yang dilakukan oleh Ismail
(2016) ekstrak daun sirih berefek pada kematian caplak pada sapi, hal tersebut
membuktikan bahwa ekstak daun sirih berpotensial sebagai akarisida. Diharapkan
juga ekstrak daun sirih dapat mematikan tungau Sarcoptes scabiei pada kambing
Kacang.
Pemakaian daun sirih untuk obat disebabkan adanya minyak atsiri yang
dikandungnya (Naini, 2006). Widarto (1991) menyatakan bahwa daun sirih
mengandung minyak atsiri yang merupakan antiseptik yang kuat. Selain itu
minyak atsiri daun sirih dapat menghambat perkembangbiakan dari protozoa dan
parasit. Saponin dan tanin bersifat sebagai antiseptik pada luka permukaan,
bekerja sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk infeksi pada kulit,
mukosa dan melawan infeksi pada luka. Flavanoid selain berfungsi sebagai
bakteriostatik juga berfungsi sebagai anti inflamasi (Mursito, 2002).
Komponen aktif dari sirih terdapat dalam minyak atsiri dan kandungannya
dipengaruhi oleh umur dan jenis daun (Suliantaridkk., 2008). Daun sirih hijau
yang lebih muda mengandung minyak atsiri, diastase dan gula yang jauh lebih
banyak dibandingkan daun yang lebih tua, sedangkan kandungan tanin pada daun
muda dan daun tua adalah sama (Sastroamidjojo, 2001).

Mengatasi infestasi akibat serangan dari Sarcoptes scabiei, perlu dilakukan


usaha pengendalian yang menyerang kambing di Kabupaten Soppeng. Oleh
karena itu, perlu dilakukan upaya pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk
mengendalikan serangan Sarcoptes scabiei pada kambing. Salah satunya dengan
menggunakan tanaman sirih (Piper betle L.) sebagai akarisida alami dan
penyembuhan luka pada kambing yang telah terinfestasi scabies di Kabupaten
Soppeng.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka muncullah


beberapa pertanyaan, yaitu :
1. Apakah ekstrak daun sirih (Piper betle L.) memiliki aktivitas terhadap
scabies pada kambing Kacang (Capra hircus)?
2. Pada konsentrasi berapakah ekstrak daun sirih (Piper betle L.) memiliki
aktivitas terhadap scabies pada kambing Kacang (Capra hircus)?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk menguji aktivitas ekstrak daun sirih (Piper betle L.) secara in vivo
terhadap scabies pada kambing Kacang (Capra hircus).

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk mengetahui pada konsentrasi berapakah ekstrak daun sirih (Piper
betle L.) dapat menyembuhkan scabies pada kambing Kacang (Capra hircus).
3

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu


Memberikan penjelasan ilmiah yang jelas tentang ekstrak daun sirih (Piper
betle L.) memiliki aktivitas terhadap scabies pada kambing Kacang (Capra
hircus).

1.4.2 Manfaat Aplikatif


1. Membantu dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan manifestasi serta
pengendalian Sarcoptes scabiei pada kambing, terutama untuk kambing betina
yang sedang bunting.
2. Penelitian dasar sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ekperimental yang peneliti lakukan yaitu menguji
aktivitas ekstrak daun sirih (Piper betle L.) terhadap scabies pada kambing Kacang
(Capra hircus).

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian uji aktivitas ekstrak daun sirih (Piper betle L.) secara in vivo
terhadap scabies pada kambing Kacang (Capra hircus) belum pernah dilakukan.
Penggunaan ekstrak daun sirih sejauh ini diketahui berkhasiat sebagai akarisida
pada caplak sapi.
4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing

Kambing adalah ternak yang pertama kali didomestikasi oleh manusia atau
yang kedua setelah anjing. Hal ini sering dibuktikan dengan ditemukannya
gambar kambing pada benda - benda arkhaelog di Asia Barat seperti Jericho,
Choga Mami Jeintun, dan Cayonum pada tahun 6000-7000 Sebelum Masehi.
Kambing atau sering dikenal sebagai ternak ruminansia kecil merupakan ternak
herbivora yang sangat populer di kalangan petani Indonesia, terutama yang
tinggal di Pulau Jawa. Oleh peternak, kambing sudah lama diusahakan sebagai
usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil
produksinya relatif mudah. Produksi yang dihasilkan dari ternak kambing yaitu,
daging, susu, kulit, bulu dan kotoran sebagai pupuk yang sangat bermanfaat
(Susilorini dkk., 2008).
Menurut Sumoprastowo (1986) kambing mempunyai klasifikasi sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Sub-ordo : Ruminantia
Famili : Bovidae 5
Sub-family : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : Hircus
Menurut Rivani (2004) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
masyarakat beternak kambing adalah nilai ekonomis, peran pemerintah, lahan,
dan pakan. Sedangkan Sodiq dan Abidin (2008) mengatakan bahwa faktor –
faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam beternak kambing adalah sosial
budaya dan modal yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan ternak
kecil, seperti sapi dan kerbau sehingga usaha peternakan kambing relatif lebih
terjangkau oleh masyarakat bermodal kecil.
Bangsa utama kambing yang ditemukan di Indonesia adalah kambing
Kacang dari Peranakan Etawa (PE). Kambing Kasmir, Angora dan Saanen telah
diintroduksi pada waktu masa lampau. Namun, hanya kambing Etawa yang dapat
beradaptasi dengan kondisi dan sistem pertanian Indonesia. Sedangkan kambing-
kambing yang banyak ditemukan di Sulawesi adalah jenis kambing Marica yang
merupakan variasi lokal dari kambing Kacang (Sodiq dan Abidin, 2008).
Kambing Kacang dianggap sebagai kambing asli Indonesia yang banyak
dipelihara di pedesaan, karena mampu hidup dengan baik pada berbagai macam
kondisi lingkungan dan mudah beradaptasi (Yurmiaty, 2006).
Murtidjo (1993) pada umumnya kambing Kacang memiliki warna bulu
yakni: putih, hitam dan coklat serta adakalanya campuran ketiga warna tersebut.
Kambing Kacang jantan maupun betina memiliki tanduk 8-10 cm. Berat tubuh
kambing kacang dewasa rata-rata 17-30 kg.
5

Gambar 1. Kambing Kacang

2.2 Scabies

2.2.1. Defenisi
Scabies adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia
dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kambing dibandingkan pada domba (Manurung dkk., 1990).

2.2.2. Etiologi
Scabies adalah salah satu penyakit kulit yang sering menyerang ternak
kambing yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes Scabiei. Bahkan menurut
Manurung dkk (1992) menyebutkan kambing Scabies yang tidak diobati bisa
mengalami kematian dalam 3 (tiga) bulan. Selain kerugian ekonomis tersebut,
penyakit ini juga sangat merugikan karena bersifat zoonosis yaitu penyakit ternak
yang mampu atau dapat menyerang manusia (Blood dkk., 1983).
Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh,
namun predileksi serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda, pada
kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata,
hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kambing dibandingkan pada domba (Manurung dkk., 1990).
2.2.2.1 Morfologi
Secara morfologi Sarcoptes scabiei pada kambing dan kelinci tidak ada
perbedaan, yaitu ektoparasit yang berukuran kecil, bentuk bulat dengan garis luar
kasar. Tungau betina berukuran 330-600 μm x 250-400 μm dan jantan berukuran
200-240 μm x 150-200 μm, mempunyai kaki pendek dan sepasang kaki ketiga dan
keempat tidak tampak dari dorsal tubuhnya. Sarcoptes dibedakan dengan genus
lain berdasar adanya leg sucker (pulvilus), dimana pada Sarcoptes jantan dapat
dijumpai adanya leg sucker pada kaki ke-1, 2 dan 4, sedang pada yang betina
dapat dijumpai pada kaki ke-1 dan 2 (Soulsby, 1986).
2.2.2.2 Siklus Hidup
Sarcoptes scabiei mengalami siklus hidup mulai dari telur, larva, nimfa
kemudian menjadi jantan dewasa dan betina dewasa muda dan matang kelamin
(Williams dkk., 1985).
Menurut Soulsby (1986) siklus hidup S. Scabiei adalah sebagai berikut:
Tungau betina bunting membuat terowongan di stratum korneum dan meletakkan
6

telurnya 3-5 butir setiap hari dalam terowongan tersebut hingga jumlahnya kira-
kira mencapai 40-50 butir. Pembuatan terowongan kulit biasanya dilakukan pada
malam hari ketika tungau tersebut dalam keadaan aktif dan tungau bergerak maju
dengan kecepatan rata-rata 2-3 mm perhari (Brown, 1979). Panjang terowongan
bisa mencapai 3 cm dan terbatas pada lapisan tanduk kulit. Telur S. Scabiei
transparan dan berbentuk oval dengan ukuran 150 kali 100 (Belding, 1965). Telur
tersebut berada dalam terowongan kira-kira 3-10 hari, kemudian menetas menjadi
larva berkaki enam (Colville, 1991).
Larva S. Scabiei panjangnya mencapai 110-140μm (Belding, 1965).
Menurut Soulsby (1986) beberapa larva meninggalkan terowongan atau di dalam
kantung-kantung di samping terowongan itu dan melanjutkan perkembangannya
mencapai bentuk nimfa. Larva yang mencapai permukaan kulit sebagian ada yang
mati dan yang lainnya membuat lubang ke dalam lapisan tanduk kulit untuk
membuat kantung yang hampir tidak kelihatan untuk memungkinkan
perkembangan selanjutnya.
Nimfa mempunyai empat pasang kaki tetapi tidak mempunyai lubang
kelamin. Ia bisa tinggal tetap di dalam kantung larva atau mengembara dan
membuat kantung baru (Soulsby, 1986). Menurut Belding (1965) nimfa ini
mempunyai dua bentuk yaitu protonimfa dan deutonimfa. Protonimfa mempunyai
panjang kira-kira 160μm sedangkan deutonimfa sekitar 220-250μm. S. scabiei
betina mempunyai dua bentuk nimfa sedangkan yang jantan hanya satu bentuk.
Lamanya dua periode nimfa ini adalah 3,5-6 hari (Brown,1979). Akhirnya nimfa
menjadi tungau jantan dan betina dewasa (Colville, 1991). Menurut Wahyuti dkk
(2009) seluruh siklus hidup mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan
waktu antara 8-12 hari.
S. scabiei betina dewasa tinggal dalam kantung hingga dibuahi oleh
pejantan. Ia kemudian membuat terowongan atau lubang baru. Setelah 4-5 hari
dibuahi oleh pejantan, betina dewasa mulai bertelur 3-5 butir setiap hari. Tungau
betina ini hidup tidak lebih dari 3-4 minggu (Soulsby, 1986).
S. scabiei jantan dewasa biasanya hidupnya pendek dan tinggal di
permukaan kulit (Williams dkk., 1985). Ia juga membuat terowongan kulit seperti
tungau betina dewasa tetapi hanya terbatas di permukaan kulit saja dan panjang
terowongannya kurang dari 1 mm (Ketle, 1984). Menurut Seddon (1968) S.
Scabiei jantan dewasa menyebar di permukaan kulit mencari tungau betina.
Tungau Sarcoptes scabiei setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit,
yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang
digali oleh yang betina (Wahyuti dkk., 2009).

Gambar 2. Siklus Hidup S. scabiei


7

2.2.3 Patogenitas
Sarcoptes scabiei menginfestasi ternak dengan menembus kulit, menghisap
cairan limfa dan juga memakan sel-sel epidermis pada hewan. Scabies akan
menimbulkan rasa gatal yang luar biasa sehingga kambing atau ternak yang
terserang akan menggosokkan badannya ke kandang. Eksudat yang dihasilkan
oleh penyakit scabies akan merembes keluar kulit kemudian mengering
membentuk sisik atau keropeng di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan
selanjutnya terjadi keratinasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang
terinfestasi parasit akan menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah
ini akan menjadi jarang bahkan hilang sama sekali. Kambing muda lebih rentan
terhadap scabies. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan ternak
lainnya dan juga tertular melalui peralatan pakan dan peralatan lain yang telah
tercemar parasit scabies. Penyakit meningkat terutama pada musim penghujan
(Subronto, 2008).
Scabies dibagi 3 fase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi.
Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan
kulit terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/ keropeng yang
tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini terjadi setelah 4-7
minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai mengelupas sehingga
pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang kecil. Phase terakhir ini
terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak beberapa tungau meninggalkan bekas
–bekas lubang tersebut (Morsy dkk., 2009).

Gambar 3. Patogenitas S. scabiei

2.2.4 Gejala Klinis


Scabies pada kambing menyebabkan kerusakan pada kulit terutama di
daerah muka dan telinga. Dalam keadaan yang parah seluruh bagian tubuh dapat
terserang (Soulsby, 1986).
Menurut Soulsby (1986), lesi awal ditandai oleh adanya papula merah yang
kecil atau vesikula dan eksudat segar serta erytema umum kulit. Daerah yang
terinfestasi akan mengalami iritasi yang hebat sehingga hewan sering menggaruk,
akibatnya kulit luka dan lecet-lecet.
Umumnya gejala klinis yang ditimbulkan akibat infestasi S. Scabiei pada
hewan hampir sama yaitu gatal-gatal, hewan menjadi tidak tenang, menggosok-
gosokkan tubuhnya ke dinding kandang dan akhirnya timbul peradangan kulit.
Bentuk erytema dan papula akan terlihat jelas pada daerah kulit yang tidak
8

ditumbuhi rambut. Apabila kondisi tersebut tidak diobati, maka akan terjadi
penebalan dan pelipatan kulit disertai dengan timbulnya kerak. Infeksi sekunder
akibat bakteri Streptococcus dan Staphylococcus, termasuk infeksi karena jamur
sering terjadi dan menimbulkan pyoderma apabila pengobatan tidak segera
dilakukan (Walton dkk, 2004).
Menurut Colville (1991) pada kasus yang parah dapat terlihat gejala klinis
yang lain yaitu hewan akan menggesek-gesekkan daerah yang gatal ke tiang
kandang atau pohon-pohon, menggaruk-garuk atau mencakar dan menggigit
kulitnya secara terus-menerus. Hewan menjadi kurus jika tidak segera diobati
maka akan terjadi kematian.

Gambar 4. Kambing scabies

2.2.5 Diagnosis dan Diagnosa Banding


2.2.5.1 Diagnosis
Penegakan diagnosis scabies dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorik (Wendel dan Rompalo, 2002).
Menurut Walton dkk (2004) cara diagnosis didasarkan pada gejala klinis dalam
prakteknya sulit ditegakkan karena berbagai penyakit kulit lainnya memberikan
gambaran klinis yang mirip dengan scabies.
Kerokan kulit dapat dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun
yang baru. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan KOH
10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop.
Diagnosis scabies positif jika ditemukan tungau, nimfa, larva, telur atau kotoran
S. scabiei (Robert dan Fawcett, 2003).
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok
papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup
dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta
diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila
tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis
zig-zag (Hoedojo, 1989). Visualisasi terowongan yang dibuat tungau juga dapat
dilihat menggunakan mineral oil atau flourescence tetracycline test (Burkhart
dkk., 2000).
Kedua metode diagnosis di atas memiliki kekurangan, khususnya pada
kasus yang baru terinfestasi S. scabiei. Tungau akan sulit untuk diisolasi dari
kerokan kulit dan gejala klinis yang ditunjukkan mempunyai persamaan dengan
penyakit kulit lainnya (Walton dkk., 2004). Oleh karena itu, para peneliti
9

mengembangkan teknik diagnosis berdasarkan produksi antibodi. Uji tersebut


menggunakan antigen tungau yang diperoleh dari S. scabiei var suis dan S.
scabiei var vulpes (Arlian dkk., 1996). Adanya reaksi silang antara varian S.
scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi antibodi scabies anjing dan
domba menggunakan var. vulpes (Lower dkk., 2001).
Strategi lain untuk melakukan diagnosis scabies adalah video dermatoskopi,
biopsi kulit dan mikroskopi epiluminesken (Argenziano dkk., 1997 ; Micali dkk.,
1999). Videodermatoskopi dilakukan menggunakan sistem mikroskop video
dengan pembesaran seribu kali dan memerlukan waktu sekitar lima menit.
Umumnya metode ini masih dikonfirmasi dengan hasil kerokan kulit (Micali dkk.,
1999). Pengujian menggunakan mikroskop epiluminesken dilakukan pada tingkat
papilari dermis superfisial dan memerlukan waktu sekitar lima menit serta
mempunyai angka positif palsu yang rendah (Argenziano, 1997). Kendati
demikian, metode-metode diagnosis tersebut kurang diminati karena memerlukan
peralatan yang mahal.

2.2.5.2 Diagnosa Banding


Menurut Soulsby (1986), scabies dapat dikelirukan dengan beberapa
penyakit kulit yang lain yaitu penyakit Ringworm dan penyakit kulit yang
disebabkan oleh kutu. Pada penyakit Ringworm tidak menimbulkan ketebalan
pada kulit dan ditemukan adanya spora jamur pada tangkai rambut. Pada penyakit
kulit yang disebabkan oleh kutu, terlihat adanya kerak pada kulit, rambutnya
kusut tetapi kulit tidak menjadi tebal. Kedua penyebab penyakit tersebut
umumnya menyerang daerah superficial atau permukaan kulit sedangkan
Sarcoptes scabiei penyebab scabies menginfestasi ternak dengan membuat
terowongan pada kulit.

2.2.6 Pencegahan dan Pengobatan


2.2.6.1 Pencegahan
Populasi ternak yang terlalu padat dalam suatu kandang dan sanitasi yang
buruk harus dihindari untuk mencegah penularan antara ternak. Kandang bekas
penderita scabies dianjurkan untuk dicat dengan kapur dan dikosongkan beberapa
waktu, kemudian dapat diisi lagi dengan ternak yang baru (Suhardono dkk.,
2005).
Penyuluhan tentang scabies dan tata cara serta tindakan pengobatan scabies
perlu lebih digiatkan. Umumnya peternak kurang menyadari akan bahaya scabies
bagi dirinya sendiri mapun ternaknya. Suhardono dkk (2005) membuktikan bahwa
pengobatan scabies yang dilakukan peternak pasca penyuluhan menunjukkan
hasil yang nyata dibandingkan tanpa penyuluhan.

2.2.6.2 Pengobatan
Ivermectin dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan secara subkutan dengan
ulangan 2 kali setiap 21 hari, dan Asuntol 0,1% dalam air dengan cara dimandikan
sebanyak 5 kali dengan selang waktu 10 hari (Manurung dkk., 1986).
Beberapa obat tradisional telah digunakan untuk pengobatan scabies seperti
campuran belerang dan minyak kelapa. Belerang dipercaya oleh masyarakat dapat
mematikan tungau Sarcoptes scabiei karena kandungan sulfurnya, sedangkan
minyak kelapa dipercaya sebagai bahan pencampur obat-obatan karena
10

kegunaannya sebagai pelarut untuk melarutkan belerang disamping berperan


dalam proses reabsorbsi obat ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit. Pengobatan
tradisional lainnya dengan menggunakan oli bekas yang dipanaskan dan dioleskan
pada bagian kulit yang berlesi atau ke seluruh tubuh (Randu, 2002).
Jika ada hewan terkena scabies, sebelum memulai terapi sebaiknya peternak
diberi penjelasan yang lengkap mengenai penyakit dan cara pengobatan, sehingga
dapat meningkatkan keberhasilan terapi. Mengingat masa inkubasi yang lama,
maka semua ternak yang berkontak dengan hewan penderita perlu diobati
meskipun tidak ada gejala klinis atau hewan penderita diisolasi. Hewan penderita
yang berada di tengah keluarga sulit untuk diisolasi. Pakaian yang dicurigai harus
dicuci dengan air panas atau disetrika, alat rumah tangga dan kandang juga harus
dibersihkan, meskipun tungau tidak lama bertahan hidup di luar kulit manusia
maupun hewan (Tarigan, 1999).

2.3 Daun Sirih

Nama betel dari bahasa Portugis - betle, berasal sebelumnya dari bahasa
Malayalam di Negeri Malabar yang disebut vettila. Dalam bahasa Hindi lebih
dikenali pan atau paan dan dalam bahasa Sunskrit pula disebut sebagai tambula.
Dalam bahasa Sinhala Sri Lanka disebut bulat. Sedangkan dalam Bahasa Thai
pula disebut sebagai plu. Tanaman ini sudah dikenal sejak tahun 600 Sebelum
Masehi sebagai antiseptik yang mampu membunuh kuman (Kristio, 2007).

2.3.1. Morfologi
Tanaman sirih (Piper betle L.) hijau termasuk familia Piperaceae tumbuh di
berbagai daerah di Indonesia, merambat dan banyak dipelihara sebagai tanaman
pekarangan (Kartasapoetra, 1992).
Tanaman sirih merupakan tanaman yang perdu, merambat, batang berkayu,
berbuku-buku, dan bersalur (Kharisma dan Lisa, 2010). Tanaman ini panjangnya
mampu mencapai puluhan meter. Bentuk daunnya pipih menyerupai jantung,
tangkainya agak panjang, tepi daun rata, ujung daun meruncing, pangkal daun
berlekuk, tulang daun menyirip dan daging daun tipis. Permukaan daun berwarna
hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek atau hijau
agak kecoklatan dan permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut. Daun-daun
sirih yang subur berukuran antara 8cm–12cm lebarnya dan 10cm–15cm
panjangnya. Tulang daun bagian bawah gundul atau berambut sangat pendek,
tebal, berwarna putih, panjang 5 cm–18 cm, lebar 2,5 cm–10,5 cm. Bunga
berbentuk bulir, berdiri sendiri diujung cabang dan berhadapan dengan daun.
Daun pelindung berbentuk lingkaran, bundar telur terbalik atau lonjong, panjang
kira-kira 1 mm. Bulir jantan, panjang gagang 2,5 cm - 3 cm, benang sari sangat
pendek. Bulir betina, panjang gagang 2,5 cm – 6 cm. Kepala putik 3-5. Buah buni,
bulat, dengan ujung gundul. Bulir masak berambut kelabu, rapat, tebal 1 cm–1,5
cm. Biji membentuk lingkaran (Kristio, 2007).
Bagian tanaman yang dapat digunakan adalah bagian daunnya (Kharisma
dan Lisa,2010). Daun sirih mempunyai bau aromatik khas rasa pedas. Daun sirih
11

merupakan daun tunggal. Helaian daun berbentuk bundar telur sampai lonjong,
ujung runcing, pangkal berbentuk jantung atau agak bundar berlekuk sedikit,
pinggir daun rata agak menggulung kebawah, permukaan atas rata, licin agak
mengkilat, tulang daun agak tenggelam, permukaan bawah agak kasar, kusam,
tulang daun menonjol, permukaan atas berwarna lebih tua dari permukaan bawah.
Tangkai daun bulat, warna coklat kehijauan panjang 1,5 – 8 cm (Kristio, 2007).

Gambar 5. Daun sirih hijau (Piper betle L.)

2.3.2 Tata Nama (taksonomi)


Berdasarkan ilmu taksonomi tumbuhan sirih dikelompokkan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Phylum : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Species : P. betle (Kharisma dan Lisa, 2010).

2.3.3 Kandungan Daun Sirih


Daun sirih hijau mengandung 4,2% minyak atsiri yang komponen utamanya
terdiri dari bethel phenol dan beberapa derivatnya diantaranya euganol
allypyrocatechine 26,8-42,5%, cineol 2,4-4,8%, methyl euganol 4,2-15,8%,
caryophyllen 3-9,8%, hidroksi kavikol, kavikol 7,2-16,7%, kavibetol 2,7-6,2%,
estragol, ilypyrokaretol 0-9,6%, karvakrol 2,2-5,6%, alkaloid, flavonoid,
triterpenoid atau steroid, saponin, terpen, fenilpropan, terpinen, diastase 0,8-1,8%
dan tanin 1-1,3% (Sastroamidjojo, 2001).

2.3.4 Manfaat Daun Sirih


Menurut John. P. Casella (2000) minyak atsiri dilaporkan mempunyai efek
cytophylactic, merangsang sistem imun untuk mencegah infeksi. Daun sirih juga
bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit dan gangguan
saluran pencernaan. Selain itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak,
meluruhkan ludah, hemostatik dan menghentikan perdarahan (Gita, 2008).
Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak
ini disebut juga minyak menguap karena pada suhu biasa (suhu kamar) mudah
12

menguap di udara terbuka. Beberapa sifat umum dari minyak atsiri antara lain
tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa, memiliki bau khas,
mempunyai rasa getir, mengigit tergantung dari jenis komponen penyusunnya,
dalam keadaan segar dan murni minyak atsiri umumnya tidak berwarna, tidak
stabil terhadap pengaruh lingkungan baik pengaruh udara, sinar matahari dan
panas, tidak dapat bercampur dengan air dan larut dalam pelarut organik
(Febriyati, 2010).
Beberapa hasil penelitian tentang daun sirih telah dilaporkan, misalnya
bahwa ekstrak daun sirih pada konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% secara invitro dapat
menghambat pertumbuhan S. Aureus dan E.coli (Hermawan, 2007).
Telah dilaporkan pula bahwa minyak atsiri pada daun sirih, rimpang temu
kunci, rimpang lengkuas dan kunyit berperan dalam aktivitas sebagai antibakteri
dan anti jamur. Diduga aktivitas tersebut disebabkan adanya kandungan senyawa
fenolik bermolekul rendah yang banyak terdapat di dalam minyak atsiri tersebut
(Parwatadkk., 2009).
Hal tersebut membuktikan bahwa daun sirih mempunyai efek untuk
mencegah maupun mengobati infeksi sekunder pada scabies. Seperti yang
dikatakan Walton dkk (2004) infeksi sekunder scabies akibat bakteri
Streptococcus dan Staphylococcus, termasuk infeksi karena jamur sering terjadi
dan menimbulkan pyoderma apabila pengobatan tidak segera dilakukan.
Flavanoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang tersebar
jumlahnya. Tumbuhan yang mengandung flavanoid dapat digunakan untuk
pengobatan sitotoksis, gangguan fungsi hati, menghambat pendarahan,
antioksidan, antihipertensi dan antiinflamasi (Robinson, 1995).
Tanin merupakan astringen, polifenol tanaman berasa pahit yang dapat
mengikat dan mengendapkan protein. Umumnya tanin digunakan untuk aplikasi
di bidang pengobatan, misalnya pengobatan diare dan hemostatik (menghentikan
perdarahan). Tanin tidak hanya membantu menyembuhkan luka bakar dan
menghentikan perdarahan, tetapi juga membantu mencegah infeksi. Tanin juga
sangat efektif melindungi ginjal. Tanin telah digunakan untuk membantu
mengatasi pertolongan pada sakit tenggorokan, diare, perdarahan, kelelahan,
bisul. Tanin juga dilaporkan dapat membantu menonaktifkan kuman, virus polio
dan herpes. Tanin dapat membantu mengeluarkan racun gigitan lebah dan racun
penyebab iritasi pada kulit (Subroto, 2006).
Saponin dan tanin bersifat sebagai antiseptik pada luka permukaan, bekerja
sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk infeksi pada kulit, mukosa
dan melawan infeksi pada luka (Mursito, 2002).
13

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pembuatan ekstrak dilakukan di Laboratorium Biofarmaka PKP Unhas.


Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober di peternakan warga Kabupaten
Soppeng. Pemeriksaan sampel dilaksanakan di Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan.

3.2 Jenis Penilitian dan Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara in vivo. Penelitian


eksperimen merupakan kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk
mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang timbul akibat dari adanya perlakuan
tertentu (Notoatmodjo, 2005). In vivo adalah eksperimen dengan menggunakan
keseluruhan organisme hidup. Pengujian dengan hewan coba ataupun uji klinis
merupakan salah satu bentuk penelitian in vivo. Pengujian in vivo lebih sering
dilakukan daripada in vitro karena lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan
percobaan pada subjek hidup. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel
adalah dengan cara memilih kambing Kacang yang terinfestasi S. Scabiei dengan
luka relatif sama yang diperoleh di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan.

3.3 Materi Penelitian

3.3.1 Alat
Alat penelitian yang digunakan antara lain: herbs dryer, blender, ayakan,
wadah sonikasi, sudip, sonikator, kain saring, rotavapor, wadah ekstrak, wadah
pengenceran, timbangan, botol spray, handskun, blade, pinset, pipet tetes, tabung
vial, objek glass, cover glass, mikroskop dan kamera.

3.3.2 Bahan
Bahan penelitian yang digunakan antara lain: daun sirih, etanol 70%,
NaCMC, KOH, aquades serta Sulfadex selaku Kontrol +.

3.3.3 Sampel
Populasi hewan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kambing
Kacang yang terinfestasi S. Scabiei dengan luka relatif sama yang diperoleh di
Kabupaten Soppeng yang menunjukkan gejala klinis serta pemeriksaan
mikroskopis ditemukannya tungau s. scabiei. Pada penelitian ini sampel
diperhitungkan dengan Rumus Federer (Gaspers, 2007).
Rumus Federer: ( n - 1) ( t – 1) ≥ 15
n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t = jumlah kelompok perlakuan
Dalam penelitian ini terdapat 5 perlakuan, dimana 2 perlakuan pada
kelompok kontrol yaitu Kontrol + dan Kontrol - dan 3 perlakuan pada kelompok
14

pemberian berupa Ekstrak Daun Sirih dengan konsentrasi 10%, 20% serta 30%.
Maka nilai (t) yang digunakan 5. Bila dimasukkan pada rumus diatas, maka dapat
ditentukan jumlah sampel per perlakuan yaitu :

(n-1)(5-1) = 15
(n-1)(4) = 15
4n-4 = 15
4n = 15+4
n = 19/4
n = 4,75 = 5
Berdasarkan perhitungan diatas maka tiap kelompok terdiri atas 5 sampel.
Jadi sampel yang dibutuhkan berjumlah 25 sampel dengan luka relatif sama.
Sehingga peneliti menggunakan 25 sampel yang dibagi dalam lima kelompok
yaitu 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan. Pembeda ketiga kelompok
perlakuan ini adalah konsentrasi Ekstrak Daun Sirih sebesar 10%, 20% dan 30%.

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Pembuatan Simplisia:


1. Daun sirih yang diperoleh dibersihkan dengan air mengalir dan dirajang
hingga berukuran kecil.
2. Daun sirih kemudian dikeringkan menggunakan herbs dryer dengan suhu
45-55°C hingga daun kering.
3. Daun kering yang diperoleh di haluskan menggunakan blender kering dan
diayak untuk mendapatkan serbuk simplisia. Hal ini dilakukan untuk
mengoptimalkan proses penarikan senyawa pada saat ekstraksi.

3.4.2 Pembuatan Ekstrak:


1. Simplisia dan etanol 70% di masukkan kedalam wadah tertutup dengan
perbandingan 1:4, yaitu 100 gr simplisia dicampurkan etanol 70%
sebanyak 400 ml, lalu diaduk hingga homogen.
2. Dilanjutkan dengan memasukkan wadah berisi simplisia dan etanol 70%
ke dalam alat sonikasi selama 60 menit pada frekuensi 50 kHz.
3. Hasil yang diperoleh kemudian disaring menggunakan kain saring hingga
hasil yang diperoleh terbebas dari simplisia.
4. Selanjutnya hasil saringan dipekatkan menggunakan alat rotary
evaporator suhu 49°C, kecepatan 20 rpm dan tekanan 176 mBar sampai
tidak ada lagi pelarut yang menetes.

3.4.3 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak:


1. Untuk membuat konsentrasi ekstrak 10% sebanyak 10 ml, 1 gr ekstrak
kental ditambahkan NaCMC 0,5% hingga mencapai 10 ml. NaCMC 0,5%
diperoleh dengan mencampurkan NaCMC dengan aquades yang dilakukan
terlebih dahulu, dimana untuk membuat NaCMC 0,5% sebanyak 100 ml
yaitu 0,5 gr NaCMC ditambahkan aquades hingga mencapai 100 ml.
2. Untuk membuat konsentrasi ekstrak 20% sebanyak 10 ml, 2 gr ekstrak
kental ditambahkan NaCMC 0,5% hingga mencapai 10 ml.
15

3. Untuk membuat konsentrasi 30% sebanyak 10 ml, 3 gr ekstrak kental


ditambahkan NaCMC 0,5% hingga mencapai 10 ml.

3.4.4 Persiapan dan perlakuan terhadap sampel


1. Kambing yang menunjukkan gejala scabies seperti menggesekkan badan
ke kandang dan memiliki lesi kulit terdapat penebalan, keropeng dan
alopesia diambil kerokan kulitnya.
2. Kerokan kulit tersebut di simpan di tabung vial lalu diteteskan KOH 10%
secukupnya yang terlebih dulu diencerkan dengan menambahkan aquades,
dimana untuk membuat KOH 10% sebanyak 100 ml yaitu 10 gr KOH
ditambahkan aquades hingga mencapai 100 ml. Lalu sampel diteteskan
pada objek glass dan ditutup menggunakan cover glass.
3. Sampel kemudian diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 40 dan
100 kali.
Diagnosis yang menunjukkan hasil positif scabies kemudian dilanjutkan
dengan diberikan masing-masing perlakuan dengan menggunakan NaCMC 0,5%
sebagai Kontrol -, Sulfadex sebagai Kontrol + dan ekstrak dengan konsentrasi
10%, 20% dan 30%.
Pengaplikasian dilakukan selama 7 hari berturut-turut dengan
menyemprotkan masing-masing NaCMC 0,5%, Sulfadex, Ekstrak Daun Sirih
dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30% pada masing-masing kelompok yang
terinfestasi Sarcoptes scabiei, yang sebelum pengaplikasiannya rambut yang
tumbuh pada daerah scabies di cukur terlebih dahulu dan telah dibersihkan.

3.4.5 Kriteria Skoring


Tabel 1. Kriteria Skoring
No. Parameter Skor
0 1 2
1. Alopesia Seluruh Alopesia tidak Alopesia < 2/3
permukaan merata (≥ 2/3) pada
luka pada permukaan
mengalami permukaan luka
alopesia luka
0 1 2
2. Penebalan Seluruh Penebalan Penebalan <
permukaan tidak merata (≥ 2/3 pada
luka 2/3) pada permukaan
mengalami permukaan luka
penebalan luka
3. Keropeng Seluruh Keropeng Keropeng <
permukaan tidak merata (≥ 2/3 pada
luka 2/3 pada permukaan
mengalami permukaan luka
keropeng luka
16

3.5 Analisis Data

Pengamatan dan pencatatan dilakukan dengan melihat dan memberikan skor


yang ditentukan sesuai dengan perbaikan jaringan luka setelah 7 hari pengobatan.
Pengambilan data dengan skoring selanjutnya data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan analisis homogenitas dengan uji Levene Test. Variasi data
antar kelompok homogen dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference
(LSD) data yang berdistrisibusi tidak homogen maka dilakukan uji Kruskal-
Wallis Test. Apabila ada perbedaan yang bermakna, maka untuk mengetahui beda
antar perlakuan dilanjutkan dengan Mann-Whitney Test.
17

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

Kambing kacang yang menunjukkan gejala klinis scabies, terlebih dahulu


dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk melihat ada tidaknya tungau Sarcoptes
scabiei.

Gambar 6. Pemeriksaan Mikroskopis Pembesaran 100 ×

Penelitian ini menggunakan Ekstrak Daun Sirih yang disingkat E. D. Sirih


dan melihat aktivitasnya pada kambing Kacang yang terinfestasi tungau Sarcoptes
Scabiei, dimana E. D. Sirih diperoleh dengan proses ekstraksi menggunakan alat
sonikator.
E. D. Sirih yang digunakan terlebih dahulu diencerkan menggunakan
pensuspensi NaCMC 0,5%, dengan masing-masing konsentrasi E. D. Sirih 10%,
20% dan 30%. Penelitian ini juga menggunakan 2 kelompok kontrol yaitu Kontrol
+ dan Kontrol -. Pada kelompok Kontrol + peneliti menggunakan obat komersil
pengobatan scabies yaitu Sulfadex dan Kontrol – menggunakan pensuspensi pada
E. D. Sirih yang diencerkan yaitu menggunakan NaCMC 0,5% dimana semua
pengobatan dilakukan selama 7 hari dengan cara menyemprotkan obat pada
permukaan luka. Serta pengamatan luka yang terdiri dari alopesia, penebalan dan
keropeng dilakukan sebelum pemberian dan menentukan skornya setelah 7 hari
pengobatan.
Parameter keberhasilan pada penelitian ini yaitu dengan melihat permukaan
luka yang ditandai adanya perbaikan jaringan dimana perbaikan jaringan ini
dengan mengamati pertumbuhan rambut dan hilangnya penebalan serta keropeng
pada permukaan luka dan memberi skor sesuai yang ditentukan.
18

Tabel 2. Data Skoring Sampel


No. Perlakuan Skor
Alopesia Penebalan Keropeng
1. +. 1 2 1 2
2. +. 2 2 1 2
3. +. 3 2 1 1
4. +. 4 2 1 2
5. +. 5 2 1 2
6. -. 1 1 0 0
7. -. 2 1 0 0
8. -. 3 1 0 0
9. -. 4 0 0 0
10. -. 5 0 0 0
11. 10%. 1 2 1 1
12. 10%. 2 2 1 1
13. 10%. 3 2 1 1
14. 10%. 4 2 1 1
15. 10%.5 2 1 1
16. 20%. 1 2 2 2
17. 20%. 2 2 2 2
18. 20%. 3 1 1 1
19. 20%. 4 0 1 1
20. 20%. 5 1 1 1
21. 30%. 1 2 2 2
22. 30%. 2 2 2 2
23. 30%. 3 2 2 1
24. 30%. 4 2 2 1
25. 30%. 5 2 1 1
19

a b

c d e

Gambar 7. Sebelum Pengobatan (a. Kontrol +, b. Kontrol –, c. E. D. Sirih 10%,


d. E. D. Sirih 20%, e. E. D. Sirih 30%)

a b

c d e
Gambar 8. Setelah 7 Hari Pengobatan (a. Kontrol +, b. Kontrol –, c. E. D. Sirih
10%, d. E .D. Sirih 20%, e. E. D. Sirih 30%)
20

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Levene Test


Parameter Levene df1 df2 P
Keberhasilan Statistik
Alopesia 12.160 4 20 .000
Penebalan 15.238 4 20 .000
Keropeng 15.333 4 20 .000
Berdasarkan hasil uji homogenitas pada parameter keberhasilan alopesia,
penebalan serta keropeng memiliki data yang tidak homogen sehingga dilanjutkan
uji Kruskall-Wallis Test.

Tabel 4. Hasil Uji Kruskall-Wallis Test


Parameter N Df P
Keberhasilan
Alopesia 25 4 .001
Penebalan 25 4 .001
Keropeng 25 4 .002

Berdasarkan Kruskall-Wallis Test terhadap 25 sampel dengan nilai alopesia,


penebalan dan keropeng didapatkan P-value ≤ 0,05 pada ketiga parameter yang
dalam hal ini terdapat perbedaan yang signifikan. Selanjutnya untuk melihat
perbedaan dilanjutkan dengan Mann-Whitney Test dengan membandingkan semua
kelompok perlakuan satu sama lainnya.
Berdasarkan Mann-Whitney Test yaitu:
• Kelompok Kontrol + dan Kelompok Kontrol –
P-value alopesia, penebalan dan keropeng ≤ 0,05 yang artinya terdapat
perbedaan yang signifikan pada 3 parameter keberhasilan pengobatan.
• Kelompok Kontrol + dan Kelompok E. D. Sirih 10%
P-value alopesia dan penebalan ≥ 0,05 yang artinya tidak ada perbedaan
signifikan. Sedangkan P-value keropeng ≤ 0,05 yang artinya terdapat
perbedaan signifikan.
• Kelompok Kontrol + dan Kelompok E. D. Sirih 20%
P-value alopesia, penebalan dan keropeng ≥ 0,05 yang artinya tidak ada
perbedaan yang signifikan pada 3 parameter keberhasilan pengobatan.
• Kelompok kontrol + dan kelompok E. D. Sirih 30%
P-value alopesia dan keropeng ≥ 0,05 yang artinya tidak ada perbedaan
yang signifikan. Sedangkan P-value penebalan ≤ 0,05 yang artinya terdapat
perbedaan yang signifikan.
21

• Kelompok Kontrol - dan Kelompok E. D. Sirih 10%


P-value alopesia, penebalan dan keropeng ≤ 0,05 yang artinya terdapat
perbedaan yang signifikan pada 3 parameter keberhasilan pengobatan.
• Kelompok Kontrol - dan Kelompok E. D. Sirih 20%
P-value alopesia ≥ 0,05 yang artinya tidak ada perbedaan yang
signifikan. Sedangkan P-value penebalan dan keropeng ≤ 0,05 yang artinya
terdapat perbedaan yang signifikan.
• Kelompok Kontrol - dan Kelompok E. D. Sirih 30%
P-value alopesia, penebalan dan keropeng ≤ 0,05 yang artinya terdapat
perbedaan yang signifikan pada 3 parameter keberhasilan pengobatan.
• Kelompok E. D. Sirih 10% dan Kelompok E. D. Sirih 20%
P-value alopesia, penebalan dan keropeng ≥ 0,05 yang artinya tidak ada
perbedaan yang signifikan pada 3 parameter keberhasilan pengobatan.
• Kelompok E. D. Sirih 10% dan Kelompok E.D. Sirih 30%
P-value alopesia dan keropeng ≥ 0,05 yang artinya tidak ada perbedaan
yang signifikan. Sedangkan P-value penebalan ≤ 0,05 yang artinya terdapat
perbedaan yang signifikan.
• Kelompok E. D. Sirih 20% dan Kelompok E. D. Sirih 30%
P-value alopesia, penebalan dan keropeng ≥ 0,05 yang artinya tidak ada
perbedaan yang signifikan pada 3 parameter keberhasilan pengobatan

Jika diurutkan sesuai data skoring dengan parameter keberhasilan masing-


masing, hasil terbaik diurutkan sebagai berikut:

1. Alopesia: Kontrol +, E. D. Sirih 10% dan E. D. Sirih 30% memiliki nilai


yang sama, selanjutnya E. D. Sirih 20% terakhir Kontrol –.
2. Penebalan: E. D. Sirih 30% selanjutnya E. D. Sirih 20% selanjutnya E. D.
Sirih 10% dan Kontrol + memiliki nilai yang sama, terakhir Kontrol –.
3. Keropeng: Kontrol + selanjutnya E. D. Sirih 20% dan E. D.Sirih 30%
memiliki nilai yang sama, selanjutnya E. D. Sirih 10% terakhir Kontrol –.

4.2 PEMBAHASAN

Sarcoptes scabiei menginfestasi ternak dengan menembus kulit, menghisap


cairan limfa dan juga memakan sel-sel epidermis pada hewan. Scabies akan
menimbulkan rasa gatal yang luar biasa sehingga kambing atau ternak yang
terserang akan menggosokkan badannya ke kandang. Eksudat yang dihasilkan
oleh penyakit scabies akan merembes keluar kulit kemudian mengering
membentuk sisik atau keropeng di permukaan kulit. Sisik ini akan menebal dan
selanjutnya terjadi keratinasi serta proliferasi jaringan ikat. Daerah sekitar yang
terinfestasi parasit akan menjadi berkerut dan tidak rata. Rambut kulit pada daerah
ini akan menjadi jarang bahkan hilang sama sekali (Subronto, 2008).
Scabies dibagi 3 fase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi.
Saat ini tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan
kulit terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
22

dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/ keropeng yang
tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini terjadi setelah 4-7
minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai mengelupas sehingga
pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang kecil. Phase terakhir ini
terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak beberapa tungau meninggalkan bekas
–bekas lubang tersebut (Morsy dkk., 2009).
Sampel yang digunakan pada penelitian ini berada pada phase kedua
dimana permukaan kulit terdapat keropeng, penebalan dan rambut kulit akan
menjadi jarang bahkan hilang sama sekali atau biasa disebut alopesia.
Setelah pengobatan yang dilakukan selama 7 hari dan pengamatan serta
pencatatan menunjukkan hasil berbeda dari masing-masing kelompok perlakuan.
Dimana sampel dari semua kelompok perlakuan E. D. Sirih menunjukkan adanya
proses penyembuhan yang berbeda, baik satu hingga ketiga parameter
keberhasilannya.
Proses penyembuhan pada kambing Kacang yang terinfestasi Sarcoptes
scabiei disebabkan adanya senyawa aktif yang berasal dari daun sirih.
Heyne (1987), menyatakan bahwa clavikol yang merupakan salah satu
senyawa turunan fenol dari minyak atsiri daun sirih memiliki daya insektisida
lima kali lebih kuat. Cara kerja fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu
dengan cara mendenaturasi protein sel (Pelczar dan Chan, 1968). Hasil penelitian
Herawati (2009) menyatakan bahwa kandungan clavikol pada daun sirih yang
berasa pedas selain bersifat sebagai bakterisidal dapat pula bersifat antiparasit.
Saponin dan tanin bersifat sebagai antiseptik pada luka permukaan, bekerja
sebagai bakteriostatik yang biasanya digunakan untuk infeksi pada kulit, mukosa
dan melawan infeksi pada luka. Flavanoid selain berfungsi sebagai bakteriostatik
juga berfungsi sebagai anti inflamasi (Mursito, 2002).
Kandungan saponin dan tanin berperan dalam regenerasi jaringan dalam
proses penyembuhan luka (Reddy dkk., 2011). Saponin merupakan salah satu
senyawa yang mampu memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang
berperan dalam proses penyembuhan luka (Ganiswarna, 1995). Saponin dapat
memicu Vascular Endothial Growt Factor (VEGF) dan meningkatkan produksi
sitokin yang akan mengaktifkan fibroblast di jaringan luka (Kimura dkk., 2006).
Kandungan tanin mempercepat penyembuhan luka dengan beberapa mekanisme
seluler yaitu membersihkan radikal bebas dan oksigen reaktif, meningkatkan
penyambungan luka serta meningkatkan pembentukan pembuluh darah kapiler
juga fibroblast (Sheikh dkk., 2011). Onset nekrosis sel dikurangi oleh flavanoid
dengan mengurangi lipid peroksidasi. Penghambatan lipid peroksidasi dapat
meningkatkan viabilitas serat kolagen, sirkulasi darah, mencegah kerusakan sel
(Reddy dkk., 2011).
Berdasarkan pernyataan diatas penyembuhan scabies disebabkan kandungan
senyawa aktif yaitu minyak atsiri, saponin, tanin dan flavanoid. Berdasarkan
manfaat masing-masing senyawa tersebut penulis menyimpulkan minyak atsiri lah
yang berperan mematikan agen Sarcoptes scabiei yang akhirnya menghentikan
aktivitas tungau hingga permukaan luka tidak semakin memburuk sedangkan
saponin, tanin serta flavanoid lah yang memberikan efek positif pada proses
penyembuhan luka dari ketiga parameter keberhasilan penelitian ini.
Sampel Kontrol – menggunakan NaCMC 0,5 % dimana kandungannya
tidak dapat memberikan efek penyembuhan luka scabies.
23

Sampel Kontrol + menunjukkan adanya proses penyembuhan baik satu


hingga ketiga parameter keberhasilannya. Hal tersebut dikarenakan komposisi
Sulfadex yaitu Povidone iodine, Zink Bacitracin, Neomisin Sulfat, Sulfadiazine,
Cilfutrin.
PVP -Iodine digunakan sebagai obat dalam bidang kedokteran untuk
manusia maupun hewan yang berfungsi untuk membunuh melalui kontak dari
bakteri, virus, fungi, protozoa dan jamur. PVP-Iodine membentuk lapisan film
yang melindungi luka yang terbuka (Lacey, 1993).
Zink Bacitracin merupakan antibiotik. Mekanisme kerja dengan
mengganggu sintesis bakteri, melemahkan dinding sel dan menyebabkan lisis dan
kematian. Neomisin Sulfat merupakan antibiotik. Mekanisme kerja menyebabkan
protein tidak normal pada bakteri terbentuk. Kurangnya protein fungsional
menyebabkan kematian sel bakteri. Sulfadiazine merupakan antibiotik dan
antiprotosoa. Mekanisme kerja dengan menghambat enzim yang bertanngung
jawab untuk pertumbuhan. Sulfadiazine dapat mencegah atau meredakan infeksi
(Jones dan Bartlett, 2011).
Cilfutrin adalah insektisida digunakan untuk mengontrol serangga dengan
kemampuan mengunyah dan menghisap. Melalui kontak dan menyebabkan
keracunan dalam rongga perut, agen ini menyerang sistem saraf, mengakibatkan
penurunan tenaga secara cepat pada serangga dan memiliki efek residual yang
panjang. Serangga yang datang berkontak dengan cilfutrin akan mati kelaparan
dan mengering karena proses pelemahan secara kimiawi yang disebabkan agen,
dan menyebabkan berhentinya keinginan untuk makan pada serangga tersebut
(DPR, 2001).
Luka yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei menyebabkan terjadinya
penebalan kulit adanya keropeng serta alopesia, setelah pengobatan yang
dilakukan menggunakan E. D. Sirih 10%, 20%, 30% maupun Kontrol + selama 7
hari pengobatan menunjukan masing-masing adanya proses penyembuhan luka
yang ditandai dengan penebalan kulit mulai membaik, hilangnya keropeng serta
tumbuhnya rambut pada permukaan luka.
Parameter keberhasilan alopesia berdasarkan Kruskal-Wallis Test
menunjukkan adanya perbedaan signifikan dari 5 kelompok perlakuan. Tetapi jika
dibandingkan masing – masing antara kelompok perlakuan satu dan kelompok
perlakuan lainnya berdasarkan Mann-Whitney Test hanya pada perbandingan
kelompok Kontrol – dengan kelompok lainnya yaitu kelompok Kontrol +, E. D.
Sirih 10% dan 30% lah yang terdapat perbedaan yang signifikan.
Parameter keberhasilan penebalan berdasarkan Kruskal-Wallis Test
menunjukkan adanya perbedaan signifikan dari 5 kelompok perlakuan. Tetapi jika
dibandingkan masing – masing antara kelompok perlakuan satu dan kelompok
perlakuan lainnya berdasarkan Mann-Whitney Test hanya pada perbandingan
kelompok Kontrol – dengan semua kelompok lainnya lah yang terdapat perbedaan
yang signifikan. Serta perbandingan kelompok Kontrol + berbanding kelompok E.
D. Sirih 30%, dan perbandingan kelompok E. D. Sirih 10% berbanding kelompok
E. D. Sirih 30%.
Parameter keberhasilan keropeng berdasarkan Kruskal-Wallis Test
menunjukkan adanya perbedaan signifikan dari 5 kelompok perlakuan. Tetapi jika
dibandingkan masing – masing antara kelompok perlakuan satu dan kelompok
perlakuan lainnya berdasarkan Mann-Whitney Test hanya pada perbandingan
24

kelompok Kontrol – dengan semua kelompok lainnya lah yang terdapat perbedaan
yang signifikan. Serta perbandingan kelompok Kontrol + berbanding kelompok E.
D. Sirih 10%.
Adapun perbandingan masing-masing antara kelompok E. D. Sirih satu dan
lainnya berdasarkan Mann-WhitneyTest hanya pada parameter penebalan antara
kelompok E. D. Sirih 10% berbanding kelompok E. D. Sirih 30% yang memiliki
perbedaan signifikan, sedangkan yang lainnya tidak. Hal ini disebabkan tingkatan
masing-masing konsentrasi ekstrak tidak memiliki perbedaan tingkatan yang
cukup besar antara konsentrasi satu dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian pada ketiga parameter keberhasilan
menunjukan adanya perbedaan kelompok terbaik pada masing – masing
parameter keberhasilannya. Jika menjumlahkan nilai skor dari ketiga data grafik
diurutkan dari yang tertinggi yaitu kelompok E. D. Sirih 30%, Kontrol +, E. D.
Sirih 20%, 10% dan terakhir Kontrol -.
Sehingga dipastikan kelompok dengan E. D. Sirih 30% lebih baik
dibandingkan E. D. Sirih 20% dan E. D. Sirih 10%.
25

5. PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan yaitu:


1. Ekstrak Daun Sirih menunjukkan aktivitas terhadap penyembuhan scabies
pada kambing Kacang.
2. Ekstrak Daun Sirih 30% lebih baik dari Ekstrak Daun Sirih 20% dan
Ektrak Daun Sirih 10%.

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan yaitu:


1. Penelitian dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya dan
memformulasikan dalam bentuk sediaan topical lainnya agar dapat bekerja
efektif sebagai sediaan penyembuhan luka.
2. Untuk mencegah penyebaran scabies di Kabupaten Soppeng perlu
diberikan edukasi cara mencegah dan mengobati kambing scabies kepada
peternak.
26

DAFTAR PUSTAKA

Argenziano, G., Fabrocini, G. and Delfino, M. 1997. Epiluminescence


Microscopy. A new Approach to In vivo Detection of Sarcoptes Scabiei.
Arch. Dermatol. 133 : 751 - 753.
Arlian, L. G., Morgan, M. S. and Arends, J. J. 1996. Immunologic Cross-
Reactivity Among Various Starins of Sarcopties Scabiei. J. Parasitol 82 : 66
- 72.
Belding, D. L. 1965. Textbook of Clinical Parasitology. Appleton Century Croft.
New York.
Blood, D. C., Radostits, O. M., Henderson, J. M. 1983. Veterinary Medicine. A
Textbook of The Diseases of Cattle, Goats and Horses. Sixth Edition
Bailliere Tindall. London.
Brown, H. W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta.
Burkhart, C. G., Burkhart, C. N. and Burkhart, K. M. 2000. An Epidemiologic and
Therapeutic Reassessment of Scabies. Cutis 65 : 233 - 240.
Colville, J. 1991. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. American
Veterinary.
DPR Pesticide Chemistry database. 2001. Environmental Monitoring Branch,
Department of Pesticide Regulation.
Fannani, M. Z. dan Nugroho, T. 2014. Pengaruh Salep Ekstrak Etanol Daun Sirih
(piper betle) terhadap Penyembuhan Luka Iris pada Tikus Putih Jantan
(Rattus norvegicus). JKKI vol 6 (1): 5-8.
Febriyati. 2010. Analisis Komponen Kimia Fraksi Minyak Atsiri Daun Sirih piper
betle l) dan Uji Aktivitas Antibakteri Gram Positif. Skripsi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan- UIN SYARIF HIDAYATULLAH.
Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. UI. Jakarta.
Gaspers, V. 2007. Metode Perancangan Percobaan. Armico Press: Bandung.
Gillespie, dan James, R. 1992. Livestock and Poultry Production. 4th ed. Delmar:
Canada.
Gita. 2008. Daun Sirih & Manfaatnya. ictcenterpurwodadi.
net/pustakamaya/files/disk1/21/ict-100-1001--gita-1006-1-manfaat. pdf. [27
maret 2016].
Hajare R. Darvhekar VM, Shewale A, Patil V. Evaluation of Antihistaminic
Activity of Piper betle leaf in Guinea Pig. Afr J Pharm Pharacol. 2011;5(2):
113-117.
Hartati, Nurlaelatih. 2001. Studi Kasus Skabies pada Kambing di Kelompok
Peternak Kambing Simpay Tampomas Sumedang – Jawa Barat. Skripsi.
Bogor: FKH - IPB.
Herawati, E. V. 2009. Pemanfaatan Daun Sirih (Piper Betle) Untuk
Menanggulangi Ektoparasit Pada Ikan Hias Tetra. Jurnal Pena Akuatika
Vol. 1 No. 1. FPIK UNDIP. Semarang.
Hermawan, A. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle L) terhadap
Pertumbuhan Staphylococcus Aureus dan Eschericia Coli dengan Metode
Difusi Disk. Artikel Ilmiah. Surabaya: FKH - UNAIR.
27

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Badan Litbang


Kehutanan. Jakarta.
Hoedojo. 1989 . Diagnosis Skabies dengan Tinta. Majalah Parasitol Indonesia 2(3
- 4) : 91 - 96 .
Ismail, Irwan. 2016. Uji Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Secara In
Vitro terhadap Caplak Sapi. Skripsi. Makassar: UNHAS.
Jones., Bartlett, L. 2011. Nurse’s Drug Hand Book. Edisi ke 10. United States of
America.
Kartasapoetra, G. 1992. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. PT. Rineka Cipta:
Jakarta.
Kettle, D. S. 1984. Medical and Veterinary Entomology. Croom Helm: London-
Sidney.
Khan, M. K., Sajid, M. S., Khan, M. N., Iqbal, Z. and Iqbal, M. U. 2008.
Prevalence, Effects of Treatment on Productivity and Cost Benefit Analysis
Infive Districts of Punjab, Pakistan. Res Vet Sci 87: 70–75.
Kharisma dan Lisa, E.P. 2010. Khasiat Perasan Daun Sirih (Piper Betle L.)
Terhadap Bakteri Aeromonas Hydrophylla yang Menyerang Ikan Lele
(Clarias Batrachus). Skripsi. Surabaya: FAPER - UNAIR.
Kimura Y, Sumiyoshi M, Kawahira K, dan Sakanaka M. 2006. Effects of Ginseng
Saponins Isolated from Red Ginseng Roots on Bum Wound Healing in Mice.
British Journal of Pharmacology. 148.
Kristio, D. 2007. Tanaman Obat Indonesia. Multiply Journal.
toiusd.multiply.com/journal. [27 maret 2016].
Lacey R. W., Catto A. 1993. Action of povidone-iodine against methicillin
sensitive and resistant cultures of Staphylococcus aureus. Postgrad Med J.
Levine, N. D. 1997. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Lower, K. S., Medleau, L. M., Hnilica, K. and Bigler, B. 2001 . Evaluation of an
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) for Serological Diagnosis of
Sarcoptic Mange in Dogs. Vet Dermatol 12: 315 - 320.
Manurung, J., Beriajaya, Partoutomo, S. dan Knox. 1986. Pengobatan Kudis
Kambing yang Disebabkan oleh Tungau Sarcoptes Scabiei dengan
Ivermectin dan Asuntol. Penyakit Hewan 18(31): 59-62.
Manurung, J. 1990. Prevalensi Kutu, Pinjal dan Tungau pada Kambing dan
Domba di 4 Kabupaten di Jawa Timur. Seminar Parasitologi Nasional VI
dan Kongres Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit (P4I) V.
Pandaan, Jawa Timur 23-25 Juni 1990.
Manurung, J., Murdiati, T. B., Iskandar, T. 1992. Pengobatan Kudis pada
Kambing dengan Oli, Vaselin Belerang dan Daun Ketepeng (Cassia alata
L.) : Penyempurnaan Percobaan, Penyakit Hewan, Volume XXIV.
Micalli, G., Lacarubba, F. and Lo, G. G. 1999. Scraping Versus
Videodermatoscopy for The Diagnosis of Scabies : A comparative study.
Acta . Der. Venereol . 79 : 396.
Morsy, G.H., J.J. Turek and S.M. Gaafar. 1989. Scanning electron microscopy of
sarcoptic mange lesions in swine .Veterinary Parasitology 31: 281-288.
Mursito, B. 2002. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria. PT. Penebar
Swadaya, Jakarta.
28

Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Kambing sebagai Ternak Potong dan Perah.
Kanisius. Yogyakarta.
Naini, A. Pengaruh Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn) terhadap
Pertumbuhan Streptococcus Mutans. IJD 2006 13(2):95-98.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, edisi revisi. Rineka
Cipta: Jakarta.
Parwata, I.O. A. M., Rita, W. S., Yoga, R. 2009. Isolasi dan Uji Antiradikal
Bebas Minyak Atsiri pada Daun Sirih (Piper Betle L) Secara Spektroskopi
Ultra Violet - Tampak. Jurnal kimia 3 (1), 2009 :7-13.
Pelczar, M. J., dan E. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Edisi ke 2.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Randu. 2002. Aplikasi Pengobatan Scabies Pada Ternak Kambing Di Desa
Camplong kabupaten kupang.
Reddy BK, Gowda S, dan Arora AK. 2011. Study of Wound Healing Activity of
Aqueous and Alcoholic Bark Extracts of Acacia catechu on Rats. RGUHS
Journal of Pharmaceutical Sciences. 1(3)
Rivani, A. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Peternak untuk
Memelihara Kambing Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo. Skripsi.
Makassar: FAPER – UNHAS.
Robert, S. dan Fawcett, M. D. W. S. 2003. Ivermectin Use in Scabies. Am. Fam.
Physic. 68(6) : 1089 - 1092.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, terjemahan oleh
Padmawinata, K., Penerbit ITB, Bandung.
Sari LO. Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat dan
Keamananannya. MIK. 2006;3:1-7.
Sastroamidjojo, S. A. Obat Asli Indonesia. Jakarta : PT. Dian Rakyat. 2001.
Seddon, H. R. 1968. Disease of Domestic Animal. Part 3. Mites Arthropod
Infestation (Tick and Mites). 2 Eds. Common Wealth of Australian
Department of Health: Canbera.
Sheikh AA, Sayyed Z, Siddiqui AR, Pratapwar AS dan Sheakh SS. 2011. Wound
Healing Activity of Sesbania grandiflora Linn Flower Ethanolic Extract
Using Ex-cision and Incision Wound Model in Wistar Rats. International
Journal of Pharm Tech Research. 3(2).
Sodiq dan Abidin. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan
Ettawa. Agromedia Pustaka: Jakarta Selatan.
Soulsby, E. J. L 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animal. 7th ed. The English and Protozoa of Society and Baillire, Tindall,
London. 504-506.
Subekti, S. 2007. Penyuluhan Pertanian. Laboratorium Komunikasi dan
Penyuluhan. Jember.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (mamalia). Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Subroto, M. A. 2006. Obat Alternatif Sarang Semut Penakluk Penyakit Maut.
Suhardono, J., Manurung, A.P., Batubara, Wasito, dan Harahap, H. 2005.
Pengendalian Penyakit Kudis pada Kambing di Kabupaten Deli Serdang.
Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12 - 13
September 2005. Puslitbang Peternakan.Bogor. him. 1001 - 1014.
29

Suliantari, Jenie, B. S. L., Suhartono, M. T., Apriyantono, A. 2008. Aktivitas


Antibakteri Ekstrak Sirih Hijau (Piper betle L) terhadap Bakteri Patogen
Pangan. Jurnal Teknol dan Industri Pangan 19: 1-2.
Sumoprastowo, C.D. A. 1986. Beternak Kambing yang Berhasil. Batara Niaga
Media: Jakarta.
Susilorini, Utami, Anastasia, S. J., Dinata dan Guntoro. 2008. Pemanfaatan Asap
Cair Sebagai Obat Scabies pada Kambing. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner, 2008. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Denpasar.
Tarigan, S. 1999. Metode Pengembangbiakan dan Pemanenan Tungau Sarcoptes
Scabiei. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Jilid 2. hal. 1009-
1017.
Wahyuti, Ririen Ngesti, Nunuk Dyah Retno L, dan Endang Suprihati. 2009.
Identifikasi Morfologi Dan Profil Protein tungau Sarcoptes Scabiei Pada
Kambing Dan Kelinci. Jurnal Penelitian Medika Eksakta, Vol. 8, No. 2,
Agust 2009: 94-110.
Walton, S. F., Deborah, C. H., Currie, B. J. and Kemp, D. J. 2004. Scabies : New
future for a Neglected disease. Adv. Parasitol 57 : 309 - 376.
Wendel, J. dan Rompam, A. 2002. Scabies and Pediculosis Pubis: an update of
treatment regimens and general review. CID 35 (Suppl . 2) : S 146 - S 151.
Widarto, H. 1991. Pengaruh Minyak Atsiri Daun Sirih ( Piper betle).
Williams, R. E., Hall, R. D., Broce, A. B., Scholl, P. J. 1985. Livestock
Entomology. John Wiley & Sons. New York.
Yurmiaty, Husmy. 2006. Hubungan Berat Potong Kambing Kacang Jantan
dengan Kuantitas Kulit Mentah Segar. Jurnal Ilmu Ternak, Vol. 6, No.
2,121-125.
30

LAMPIRAN

1. Analisis Data
1.1 Homogenitas Levene Test
Descriptives

Alopesia

95% Confidence Interval for


Mean
Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

Kontrol + 5 2.00 .000 .000 2.00 2.00 2 2

Kontrol - 5 .60 .548 .245 -.08 1.28 0 1

E. D. Sirih 10% 5 2.00 .000 .000 2.00 2.00 2 2

E. D. Sirih 20% 5 1.20 .837 .374 .16 2.24 0 2

E. D. Sirih 30% 5 2.00 .000 .000 2.00 2.00 2 2

Total 25 1.56 .712 .142 1.27 1.85 0 2

Test of Homogeneity of Variances

Alopesia

Levene Statistic df1 df2 Sig.

12.160 4 20 .000

Descriptives

Penebalan

95% Confidence Interval for


Mean
Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

Kontrol + 5 1.00 .000 .000 1.00 1.00 1 1

Kontrol - 5 .00 .000 .000 .00 .00 0 0

E. D. Sirih 10% 5 1.00 .000 .000 1.00 1.00 1 1

E. D. Sirih 20% 5 1.40 .548 .245 .72 2.08 1 2

E. D. Sirih 30% 5 1.80 .447 .200 1.24 2.36 1 2

Total 25 1.04 .676 .135 .76 1.32 0 2


31

Test of Homogeneity of Variances

Penebalan

Levene
Statistic df1 df2 Sig.

15.238 4 20 .000

Descriptives

Keropeng

95% Confidence Interval for


Mean
Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum

Kontrol + 5 1.80 .447 .200 1.24 2.36 1 2

Kontrol - 5 .00 .000 .000 .00 .00 0 0

E. D. Sirih 10% 5 1.00 .000 .000 1.00 1.00 1 1

E. D. Sirih 20% 5 1.40 .548 .245 .72 2.08 1 2

E. D. Sirih 30% 5 1.40 .548 .245 .72 2.08 1 2

Total 25 1.12 .726 .145 .82 1.42 0 2

Test of Homogeneity of Variances

Keropeng

Levene Statistic df1 df2 Sig.

15.333 4 20 .000
32

1.2 Kruskall-Wallis Test


Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank

Alopesia Kontrol + 5 17.00

Kontrol - 5 4.40

10% 5 17.00

20% 5 9.60

30% 5 17.00

Total 25

Penebalan Kontrol + 5 12.50

Kontrol - 5 3.00

10% 5 12.50

20% 5 16.50

30% 5 20.50

Total 25

Keropeng Kontrol + 5 19.50

Kontrol - 5 3.00

10% 5 11.50

20% 5 15.50

30% 5 15.50

Total 25

Test Statisticsa,b

Alopesia Penebalan Keropeng

Chi-Square 18.207 19.407 17.050

Df 4 4 4

Asymp. Sig. .001 .001 .002

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


33

1.3 Mann-Whitney Test


Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol + 5 8.00 40.00

Kontrol - 5 3.00 15.00

Total 10

Penebalan Kontrol + 5 8.00 40.00

Kontrol - 5 3.00 15.00

Total 10

Keropeng Kontrol + 5 8.00 40.00

Kontrol - 5 3.00 15.00

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U .000 .000 .000

Wilcoxon W 15.000 15.000 15.000

Z -2.835 -3.000 -2.887

Asymp. Sig. (2-tailed) .005 .003 .004

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a .008a .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


34

Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol + 5 5.50 27.50

10% 5 5.50 27.50

Total 10

Penebalan Kontrol + 5 5.50 27.50

10% 5 5.50 27.50

Total 10

Keropeng Kontrol + 5 7.50 37.50

10% 5 3.50 17.50

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 12.500 12.500 2.500

Wilcoxon W 27.500 27.500 17.500

Z .000 .000 -2.449

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 1.000 .014

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a 1.000a .032a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


35

Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol + 5 7.00 35.00

20% 5 4.00 20.00

Total 10

Penebalan Kontrol + 5 4.50 22.50

20% 5 6.50 32.50

Total 10

Keropeng Kontrol + 5 6.50 32.50

20% 5 4.50 22.50

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 5.000 7.500 7.500

Wilcoxon W 20.000 22.500 22.500

Z -1.936 -1.500 -1.225

Asymp. Sig. (2-tailed) .053 .134 .221

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .151a .310a .310a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


36

Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol + 5 5.50 27.50

30% 5 5.50 27.50

Total 10

Penebalan Kontrol + 5 3.50 17.50

30% 5 7.50 37.50

Total 10

Keropeng Kontrol + 5 6.50 32.50

30% 5 4.50 22.50

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 12.500 2.500 7.500

Wilcoxon W 27.500 17.500 22.500

Z .000 -2.449 -1.225

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .014 .221

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a .032a .310a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


37

Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol - 5 3.00 15.00

10% 5 8.00 40.00

Total 10

Penebalan Kontrol - 5 3.00 15.00

10% 5 8.00 40.00

Total 10

Keropeng Kontrol - 5 3.00 15.00

10% 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U .000 .000 .000

Wilcoxon W 15.000 15.000 15.000

Z -2.835 -3.000 -3.000

Asymp. Sig. (2-tailed) .005 .003 .003

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a .008a .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


38

Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol - 5 4.40 22.00

20% 5 6.60 33.00

Total 10

Penebalan Kontrol - 5 3.00 15.00

20% 5 8.00 40.00

Total 10

Keropeng Kontrol - 5 3.00 15.00

20% 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 7.000 .000 .000

Wilcoxon W 22.000 15.000 15.000

Z -1.247 -2.835 -2.835

Asymp. Sig. (2-tailed) .212 .005 .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .310a .008a .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


39

Ranks

Kelompok
Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia Kontrol - 5 3.00 15.00

30% 5 8.00 40.00

Total 10

Penebalan Kontrol - 5 3.00 15.00

30% 5 8.00 40.00

Total 10

Keropeng Kontrol - 5 3.00 15.00

30% 5 8.00 40.00

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U .000 .000 .000

Wilcoxon W 15.000 15.000 15.000

Z -2.835 -2.887 -2.835

Asymp. Sig. (2-tailed) .005 .004 .005

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a .008a .008a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


40

Ranks

Kelomp
ok
Perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia 10% 5 7.00 35.00

20% 5 4.00 20.00

Total 10

Penebalan 10% 5 4.50 22.50

20% 5 6.50 32.50

Total 10

Keropeng 10% 5 4.50 22.50

20% 5 6.50 32.50

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 5.000 7.500 7.500

Wilcoxon W 20.000 22.500 22.500

Z -1.936 -1.500 -1.500

Asymp. Sig. (2-tailed) .053 .134 .134

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .151a .310a .310a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


41

Ranks

Kelomp
ok
Perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia 10% 5 5.50 27.50

30% 5 5.50 27.50

Total 10

Penebalan 10% 5 3.50 17.50

30% 5 7.50 37.50

Total 10

Keropeng 10% 5 4.50 22.50

30% 5 6.50 32.50

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 12.500 2.500 7.500

Wilcoxon W 27.500 17.500 22.500

Z .000 -2.449 -1.500

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 .014 .134

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a .032a .310a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


42

Ranks

Kelomp
ok
Perlaku
an N Mean Rank Sum of Ranks

Alopesia 20% 5 4.00 20.00

30% 5 7.00 35.00

Total 10

Penebalan 20% 5 4.50 22.50

30% 5 6.50 32.50

Total 10

Keropeng 20% 5 5.50 27.50

30% 5 5.50 27.50

Total 10

Test Statisticsb

Alopesia Penebalan Keropeng

Mann-Whitney U 5.000 7.500 12.500

Wilcoxon W 20.000 22.500 27.500

Z -1.936 -1.225 .000

Asymp. Sig. (2-tailed) .053 .221 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .151a .310a 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok Perlakuan


43

1.4 Histogram Skoring Kelompok Sampel Tiap Parameter

ALOPESIA

2
1.8
1.6
1.4
S Sampel 1
1.2
K
1 Sampel 2
O
0.8
R Sampel 3
0.6
0.4 Sampel 4
0.2 Sampel 5
0
K+ K- E. D. Sirih E. D. Sirih E. D. Sirih
10% 20% 30%
KELOMPOK PERLAKUAN

PENEBALAN

2
1.8
1.6
1.4
S Sampel 1
1.2
K
1 Sampel 2
O
0.8
R Sampel 3
0.6
0.4 Sampel 4
0.2 Sampel 5
0
K+ K- E. D. Sirih E. D. Sirih E. D. Sirih
10% 20% 30%
KELOMPOK PERLAKUAN
44

KEROPENG

2
1.8
1.6
S 1.4
1.2 Sampel 1
K
1 Sampel 2
O 0.8
R 0.6 Sampel 3
0.4 Sampel 4
0.2
Sampel 5
0
K+ K- E. D. Sirih E. D. Sirih E. D. Sirih
10% 20% 30%
KELOMPOK PERLAKUAN
45

2. Dokumentasi Penelitian

Daun sirih yang telah dirajang Proses pengeringan daun sirih

Daun sirih dihaluskan Proses sonikasi

Proses evaporasi Ekstrak kental daun sirih


46

Sediaan obat Pengambilan sampel kerokan kulit

Pemeriksaan mikroskopis Gambaran hasil mikroskopis


47

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Januari 1995 di Ujung


Pandang Sulawesi Selatan dari ayahanda Latang dan ibunda Hj.
Fatmasuri. Penulis merupakan anak terakhir dari 4 orang
bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 14
Biru Watampone dan lulus pada tahun 2006, kemudian penulis
melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 13 Makassar dan lulus
pada tahun 2009. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri 11 Makassar dan lulus pada tahun 2012. Pada
tahun 2012 penulis kemudian diterima di Universitas
Hasanuddin sebagai mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas
Kedokteran.Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi internal kampus
yaitu Himpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (HIMAKAHA) FKUH selama 2
periode masa jabatan. Periode 2013-2014 sebagai anggota Divisi Kajian Strategi
dan Advokasi dan pada periode 2014-2015 sebagai anggota Divisi Pengaderan.

Anda mungkin juga menyukai