Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN APLIKASI KLINIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TB DENGAN ABSES PARU


DI RUANG PERAWATAN MAWAR RUMAH SAKIT PARU
JEMBER

oleh

Kholifatul Komariah
NIM 152310101094

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

3
4
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Konsep Dasar TB


1.1.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobakterium tuberculosis. Bakteri ini mampu hidup selama berbulan-bulan di
tempat yang sejuk dan gelap, terutama di tempat yang gelap. Selain menginfeksi
paru, kuman TB dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Penyebaran ini menimbulkan penyakit TB di bagian tubuh yang lain seperti tulang,
sendi, selaput otak, kelenjar getah bening dan lainnya. Penyakit TB di luar paru
disebut TB ekstrapulmoner. (Tim Program TB St. Carolus, 2017)

Tuberculosis paru ( Tb Paru ) adalah penyakit infeksius, yang


terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari
tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem
kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini
bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu
seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.

1.1.2 Epidemiologi
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam deliknews.com tahun
2017 menyebutkan terdapat penderita TB di Jawa Timur sebanyak 123.414 orang,
dari jumlah tersebut baru 39 persen yang ditemukan dan dari jumlah tersebut
sebanyak 89% telah mendapatkan pengobatan secara optimal.
Sedangkan untuk Kabupaten Jember, menurut Forum Masyarakat Peduli
TB di Jember yang disampaikan dalam jawapos.com tahun 2017 bahwa jumlah
penderita TB ada 3.331 kasus, dengan tingkat temuan kasus baru BTA positif
43,4%. Dan dimungkinkan masih ada 4.329 kasus yang belum ditemukan.

1.1.3 Etiologi
5
Kuman tuberculosis menular melalui udara. Dahak penderita TB
mengandung kuman TB dalam jumlah yang banyak. Ketika seorang penderita TB
batuk atau bersin, ia akan menyebarkan kurang lebih 3000 kuman ke udara. Kuman
tersebut ada dalam percikan dahak yang disebut dengan droplet nuclei atau percik
renik (percik halus).
Penularan kuman TB bisa terjadi dimana pun termasuk perumahan yang
bersih. Bagi orang yang memiliki kekebalan baik, kuman TB yang ada di tubuhnya
tidak aktif, atau berada dalam keadaan tidur, dormant. Dengan demikian, orang
tersebut mengidap infesi TB laten sehingga tidak ditemukan gejala apapun.
Penderita TB laten tidak dapat menularkan kuman TB kepada orang lain. Jika daya
tahan tubuh penderita TB laten menurun, kuman TB akan menjadi aktif. (Tim
Program TB St. Carolus, 2017)

1.1.4 Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai
TB ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
19
Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB
ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan
Mycobacterium tuberculosis.

6
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang
terberat. (Kemenkes RI, 2014)

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari
28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui. (Kemenkes RI, 2014)

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.


c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan
7
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional). (Kemenkes RI, 2014)

1.1.5 Patofisiologi
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel
infeksi ini dapat hidup dalam udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung
pada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila
partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau
paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar dari
cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Selajutnya, ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
sarang ghon (fokus).
Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru, bila menjalar
sampai ke pleura maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga masuk ke dalam
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit. Kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti paru, otak, ginjal,
tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh
bagian paru dan menjadi TB milier.

8
Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran getah bening hilus (limfangitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal serta regional menghasilkan komplek
primer (range). Proses sarang paru ini memakan waktu 3–8 minggu.

1.1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi Klimis TB Paru
1. Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih bisa disertai keluar darah.
2. Sesak nafas
3. Nyeri dada
4. Nafsu makan berkurang
5. BB menurun
6. Keringat dingin tanpa tahu penyebabnya.

1.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS):
a. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuahpot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes.
c. S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

2. Pemerikasaan TCM
9
Pemeriksaan TCM dengan Xpert MTB/RIF merupakan metode deteksi
molekuler berbasis nested real-time PCR untuk diagnosis TB. Primer PCR yang
digunakan mampu mengamplifikasi sekitar 81 bp daerah inti gen rpoB MTB
kompleks, sedangkan probe dirancang untuk membedakan sekuen wild type dan
mutasi pada daerah inti yang berhubungan dengan resistansi terhadap rifampisin.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan alat GeneXpert, yang menggunakan sistem
otomatis yang mengintegrasikan proses purifikasi spesimen, amplifikasi asam
nukleat, dan deteksi sekuen target. Sistem tersebut terdiri atas alat GeneXpert,
komputer dan perangkat lunak.
Setiap pemeriksaan menggunakan katrid sekali pakai dan dirancang untuk
meminimalkan kontaminasi silang. Katrid Xpert MTB/RIF juga memiliki Sample
Processing Control (SPC) dan Probe Check Control (PCC). Sample processing
control berfungsi sebagai control proses yang adekuat terhadap bakteri target serta
untuk memonitor keberadaan penghambat reaksi PCR, sedangkan PCC berfungsi
untuk memastikan proses rehidrasi reagen, pengisian tabung PCR pada katrid,
integritas probe, dan stabilitas dye.
Pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat mendeteksi MTB kompleks dan
resistansi terhadap rifampisin secara simultan dengan mengamplifikasi sekuen
spesifik gen rpoB dari MTB kompleks menggunakan lima probe molecular beacons
(probe A –E) untuk mendeteksi mutasi pada daerah gen rpoB. Setiap molecular
beacondilabel dengan dye floroforyang berbeda. Cycle threshold(Ct) maksimal
yang valid untuk analisis hasil pada probe A, B dan C adalah 39 siklus, sedangkan
pada probe D dan E adalah 36 siklus. Hasil dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
1. MTB terdeteksi’ apabila terdapat dua probe memberikan nilai Ct dalam batas
Valid dan delta Ct min (selisih/perbedaan Ct terkecil antar pasangan probe) <
2.0
2. Rifampisin Resistan tidak terdeteksi’ apabila delta Ct maks (selisih/perbedaan
Antara probe yang paling awal muncul dengan paling akhir muncul) ≤ 4.0
3. Rifampisin Resistan terdeteksi’ apabila delta Ct maks > 4.0
4. Rifampisin Resistan indeterminate’apabila ditemukan dua kondisi sebagai
berikut :
10
a. Nilai Ct pada probe melebihi nilai valid maksimal (atau nilai 0)
b. Nilai Ct pada probe yang paling awal muncul > (nilai Ct valid maksimal
– delta Ct maksimal cut-off 4.0)
5. Tidak terdeteksi MTB’ apabila hanya terdapat satu atau tidak terdapat probe
yang positif. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF sudah diatur secara otomatis sesuai
dengan protokol kerja Xpert MTB/RIF dan tidak dapat dimodifikasi oleh
pengguna.

3. Pemeriksaan Fungsi Hati dan Ginjal


a. Pemeriksaan Fungsi Hati
Fungsi hati diindikasikan untuk penapisan atau deteksi adanya kelainan atau
penyakit hati, membantu menengakkan diagnosis, memperkirakan beratnya
penyakit, membantu mencari etiologi suatu penyakit, menilai hasil pengobatan,
membantu mengarahkan upaya diagnostik selanjutnya serta menilai prognosis
penyakit atau disfungsi hati.
Uji fungsi hati dapat dibagi menjadi 3 besar yaitu penilaian fungsi hati,
mengukur aktivitas enzim, dan mencari etiologi penyakit. Pada penilaian fungsi hati
diperiksa fungsi sintesis hati yaitu albumin, globulin, lektroforesis protein,
protrombin time dan cholinesterase. Fungsi eksresi diukur kadar bilirubin dan asam
empedu, dan uji detoksifikasi dapat digunakan pemeriksaan ammonia serum.
Pengukuran aktivitas enzim hepatoseluler seperti SGPT dan SGOT digunakan
untuk menilai integritas sel hati sedangkan ALP dan GGT lebih mengarah ke
kolestasis.Penentuan etiologi penyakit hati dapat digunakan penanda untuk
hepatitis autoimun, keganasan sel hati, atau penanda hepatitis virus. (Rosida, 2016)

b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Ginjal termasuk salah satu organ tubuh manusia yang vital. Organ ini
berperan penting dalam metabolisme tubuh seperti fungsi ekskresi, keseimbangan
air dan elektrolit, serta endokrin. Fungsi ginjal secara keseluruhan didasarkan oleh
fungsi nefron dan gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh menurunnya kerja

11
nefron. Penyakit ginjal sering disertai penyakit lain yang mendasarinya seperti
diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, dan lain-lain.
Gejala gangguan ginjal stadium dini cenderung ringan, sehingga sulit
didiagnosis hanya dengan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan laboratorium dapat
mengidentifi kasi gangguan fungsi ginjal lebih awal. Pemeriksaan antara lain kadar
kreatinin, ureum, asam urat, cystatin C, β2 microglobulin, inulin, dan juga zat
berlabel radioisotop. Hal ini dapat membantu dokter klinisi dalam mencegah dan
tatalaksana lebih awal untuk mencegah progresivitas gangguan ginjal menjadi gagal
ginjal.

1.1.8 Pengobatan TB
Panduan Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan di Indonesia:
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien
baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)

12
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up)

Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3

Efek samping OAT dan penatalaksanaannya

13
1.2 Konsep Dasar Abses Paru
1.2.1 Pengertian
Abses Paru merupakan infeksi local pada parenkim paru yang menyebabkan
kavitasi akibat nekrosis. Kelainan ini jarang dijumpai dan terutama terjadi pada
manula. Penyebab pneumonia spesifik tertentu bisa menyebabkan kavitasi adalah
Staphylococcus Aureus, Klebsiella spp., dan infeksi anaerob. Aspirasi asam
lambung sering terjadi pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran,
memiliki kelumpuhan bulbar atau masalah alcohol.
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulen berisikan akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Bila
diameter cavitas kurang dari 2cm dan jumlahnya banyak dinamakan necrotizing
pneumonia. Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinis berbeda
namun mempunyai prognosis yang sama. Abses timbul karena aspirasi benda
terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh dan virulensi bakteri yang
tinggi.

14
Abses paru adalah Infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah dalam parenkhim
paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru merupakan salah satu penyakit pada
paru yang disebabkan oleh infeksi lokal dan ditandai oleh nekrosis jaringan paru-
paru dan penyatuan nanah dalam rongga terbentuk di enukleasi tersebut.

1.2.2 Etiologi
Abses paru dapat terjadi sebagai akibat lanjut dari aspirasi Pneumonia,
obtruksi bronkus oleh benda asing, tumor dan sekret atau mukus, pneumonia
bakterial dengan emboli paru atau infark paru, emboli paru atau infark paru, trauma
toraks, infeksi dari proses subdiafragma (jarang).

1.2.3 Manifestasi klinis


Abses Paru merupakan infeksi berat disertai demam dan gejala sistemik.
Terdapat sputum dalam jumlah besar dan purulen serta tidak dapat dikendalikan
bila suatu abses memiliki jalan keluar ke saluran pernafasan. Terdapat penurunan
berat badan drastis dan jari tabuh, sehungga penting untuk dibedakan dari
karsinoma bronkial kavitasi. Tanda klinis local pada dada bisa minimal atau
didapatkan tanda-tanda konsolidasi dan bunyi gesekan pleura (pleural rub) bila
terdapat peradangan pleura.
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala
pneumonia pada umumnya yaitu:
1. Demam . Karakteristik demam pada abses paru merupakan demam yang
berulang tidak selalu terus menerus,bisa sampai 3 minggu .Dijumpai berkisar
70% - 80% pada penderita abses paru.Pada beberapa kasus dijumpai dengan
temperatur > 40°C .
2. Batuk produktif, purulent, kuning kehijauan Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus, batuknya menjadi meningkat dengan sputum yang
berbau busuk yang khas ( Foetor ex oroe ) .
3. Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 –
75% penderita abses paru.
15
4. Nyeri yang dirasakan di dalam dada akibat adanya inflamasi dan adanya
perlukaan oleh aktifitas bakteri penyebab .
5. Batuk darah .Batuk darah bisa disebabkan oleh iritasi bronchus maupun luka
akibat luka di paru sendiri.
6. Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan
menurun. Hal ini disebabkan akibat adanya desakan pada gaster karena
expansi paru yang terkena abses.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup pada
perkusi, suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta
takikardi.

1.2.4 Pathofisiologi
Terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut:
1. Penyakit ini merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada
penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan
merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan
bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim
paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli)
atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain misal abses
hepar.
2. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis
dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses peradangan
supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang
mengalami infeksi sekunder.
3. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses
abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik.
Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar.
Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar
limphe peribronkial.
4. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah,
16
sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat
terbentuk abses.
Saat aspirasi, kuman Klebsiela Pneumonia sebagai kuman komensal di
saluran pernafasan atas ikut masuk ke saluran pernafasan bawah, akibat aspirasi
berulang, aspirat tak dapat dikeluarkan dan pertahanan saluran nafas menurun
sehingga terjadi keradangan. Proses keradangan dimulai dari bronki atau bronkiol,
menyebar ke parenchim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi.
Perluasan ke pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi, sehingga pus atau
jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan pengobatan yang tidak memadai
akan menyebabkan proses abses yang akut akan berubah menjadi proses yang
kronis atau menahun.

17
1.2.5 Pathway Abses Paru

Mikroorganisme : bakteri aerob,anaerob,fungi Faktor predisposisi :


dan parasit
• Usia
• Jenis kelamin
Infeksi parenkhim paru
• Gaya hidup
• Penyakit penyerta
Proses awal inflamasi Proses nekrotik meluas
Hematogen
Abses otak /
Demam/ Abses Paru menyebar ke
abses hati
daerah lain
hiperthermi

Abses pecah berupa Perubahan membran Tekanan pada


Expansi paru
cairan sputum alveoli kapiler
gaster ↑

Kerangka pleura PCO2↑, PO2↓ Dipsnoe Anoreksia mual,


Eksudat/sputum
muntah

Empiema G3 pertukaran
gas Gangguan pemenuhan
Obstruksi bronkhus
kebutuhan nutrisi
Sputum keluar
menuju pleura Kelemahan Hiperven

Batuk produktif tilasi

Inflamasi pleura
Gesekan Bersihan G3 intolerasi Sianosis G3 per-
lapisan paru jalan aktivitas tukaranO2
( batuk) tidak
efektif Pleuritis

Jari tabuh

Nyeri Nyeri dada


Iritan
dada

Gangguan rasa
Hemaptoe nyaman nyeri

18
1.2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Lekositosis dapat mencapai 20.000 – 30.000/μm. Anemia ditemukan pada 80%
kasus. Pemeriksaan mikrobiologik sering ditemukan campuran infeksi. Pada abses
paru dengan bau busuk ditemukan spirochaeta, fusiform basil dan kuman anaerob
serta aerob. Pada yang tidak berbau biasanya karena kuman stafilokok, streptokok
dan Friedlander's bacilli. Bakteri gram negatif yang sering ditemukan adalah
Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Gambaran radiologis
Pada stadium permulaan hanya terlihat konsolidasi seperti pnemonia. Kemudian
berkembang dengan reaksi pnemonitis sekitarnya. Bila telah terbentuk
bronkopleural fistel akan tampak air fluid level dalam parenkim paru. Tetapi bila
memecah ke kavum pleura air fluid tampak dalam rongga pleura.

1.2.7 Penatalaksanaan
Fisioterapi dada adalah suatu rangkaian keperawatan yang terdiri atas
perkusi dan vibrasi, postural drainase, latihan pernafasan/napas dalam, dan batuk
yang efektif. Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan dengan
menggunakan drainase postural, clapping dan vibrating pada pasien dengan
gangguan sistem pernafasan. perkusi atau disebut clapping adalah tepukan atau
pukulan ringan pada dinding dada klien menggunakan telapak tangan yang
dibentuk seperti mangkuk dengan gerakan berirama di atas segmen paru yang akan
dialirkan. (Rakhman, dkk, 2014)

Perkusi dapat membantu melepaskan sekresi yang melekat pada dinding


bronkus dan bronkiolus. Vibrasi adalah kompresi dan gerakan kuat secara serial
oleh tangan yang diletakkan secara datar pada dinding dada klien selama fase
ekhalasi pernafasan. Vibrasi dilakukan setelah perkusi untuk meningkatkan
turbulensi udara ekspirasi sehingga dapat melepaskan mucus kental yang melekat
pada bronkus dan bronkiolus. Vibrasi dan perkusi dilakukan secara bergantian.

19
Tujuan dari fisioterapi dada adalah untuk membuang sekresi bronchial,
memperbaiki ventilasi, meningkatkan efisiensi otot-otot pernafasan.

Postural drainase adalah teknik pengaturan posisi tertentu untuk


mengalirkan sekresi pulmonary pada area tertentu dari lobus paru dengan pengaruh
gravitasi. Pembersihan dengan cara ini dicaoai dengan melakukan salah satu atau
lebih posisi tubuh yang berbeda. Setiap posisi mengalirkan bagian khusus dari
pohon trakeobronkial-bidang paru atas, tengah atau bawah ke dalam trakea. Batuk
atau oenghisapan kemudian dapat membuang secret dari trakea. (Rakhman, dkk,
2014)

20
1.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi pada abses paru antara lain :


1. Hemoptisis
2. Pneumotoraks atau piopneumotoraks
3. Metastasis abses
4. Kerusakan paru yang permanen

21
BAB 2. KONSEP KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Kaji riwayat faktor resiko seperti: Adanya riwayat aspirasi, infeksi saluran
nafas (radang mulut, gigi dan gusi, tenggorokan), higiene oral yang kurang,
peminum minuman keras atau masuknya suatu benda kedalam saluran
pernafasan.
2. Kaji adanya riwayat penyakit infeksi saluran nafas kronis seperti TBC,
Bronkitis, Abses hepar
3. Kaji adanya batuk dengan sputum yang berlebih serta bau yang khas serta
batuk darah, nyeri yang dirasakan didalam dada, kelelahan, nafsu makan yang
menurun
4. Inspeksi: Pergerakan pernafasan menurun, tampak sesak nafas dan kelelahan
5. Palpasi: Adanya fremitus raba yang meningkat di daerah yang terinfeksi
,suhu tubuh yang meningkat diatas normal, takikardi, naiknya tekanan vena
jugularis (JVP), sesak nafas, adanya jari tabuh,
6. Perkusi: Terdengar keredupan pada daerah yang terinfeksi
7. Auskultasi: Pada daerah sakit terdengar suara nafas bronkhial disertai suara
tambahan kasar sampai halus.
8. Pemeriksaan tambahan terutama laboratorium yang terjadi peningkatan
angka leukosit dan laju endap darah serta terjadinya penurunan tekanan O2
arteri, rontgen dada terlihat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi disekelilingnya yang tampak jelas lagi dengan pemeriksaan CT-
Scan dada. Adanya masa tumor atau benda asing dalam pemeriksaan
bronkoskopi.

2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, batuk tak efektif, dan infeksi
bronkopulmonal

22
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan
kerusakan alveoli
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia,mual dan muntah
4. Hiperthermi berhubungan dengan respon proses inflamasi
5. Nyeri berhubungan dengan Inflamasi parenkhim paru, Reaksi seluler terhadap
sirkulasi toksin, Batuk menetap
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, Kelemahan umum, Kelelahan yang berhubungan dengan
batuk berlebihan dan dipsneu
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, salah mengerti
tentang informasi, keterbatasan kognitif

2.3 Intervensi Keperawatan


Tujuan dan kriteria
No No. Dx Intervensi
hasil
1. Tidak efektif Tujuan 1. Kaji /pantau frekuensi
bersihan jalan Setelah diberikan pernafasan, catat rasio
nafas asuhan Keperawatan inspirasi dan ekspirasi
berhubungan selama (1x24 jam) 2. Auskultasi bunyi nafas dan
dengan diharapkan dapat catat adanya bunyi nafas
bronkokonstri mempertahakan jalan bronkhial
ksi, nafas paten 3. Kaji pasien untuk posisi yang
peningkatan Kriteria hasil : nyaman, Tinggi kepala
produksi − bunyi nafas tempat tidur dan duduk pada
sekret, sekresi bersih/jelas. sandaran tempat tidur
tertahan, − Menujukkan 4. Bantu latihan nafas abdomen
batuk tak perilaku untuk 5. Observasi karakteriktik batuk
efektif, dan memperbaiki dan Bantu tindakan untuk
infeksi bersihan jalan nafas efektifan upaya batuk
bronkopulmo (batuk yang efektif, 6. Tingkatan masukan cairan
nal dan mengeluarkan sampi 3000 ml/hari sesuai
secret). toleransi jantung serta berikan
hangat dan masukan cairan
antara sebagai penganti
makan
7. Berikan obat sesuai indikasi

23
8. Ajarkan dan anjurkan
fisioterapi dada, postural
drainase
9. Awasi AGD, Foto dada
a. Kolaborasi: Bronkodilator,
Antibiotika, Drainase
Bronkoskopi

2. Gangguan Tujuan : Menunjukkan 1. Kaji frekuensi, kedalaman


pertukaran perbaikan ventilasi dan pernafasan serta catat
gas oksigenasi jaringan penggunaan otot aksesori,
berhubungan adekuat dan ketidakmampuan berbincang .
dengan menurunkan gejala 2. Tingikan kepala tempat tidur
gangguan distress pernafasan. dan bantu untuk memilih
suplai oksigen Kriteria : posisi yang mudah untuk
dan kerusakan − Warna kulit bernafas, dorong nafas dalam
alveoli membaik, perlahan sesuai kebutuhan
− frekuensi nafas 12- dan toleransi .
20x/mt, 3. Kaji / awasi secara rutin kulit
− bunyi nafas bersih, dan warna membran mukosa
− batuk berkurang 4. Dorong untuk pengeluaran
− frekuensi nadi 60- sputum/ penghisapan bila ada
100x/mt, tidak indikasi
dispneu. 5. Awasi tingkat kesadaran /
status mental
6. Awasi tanda vital dan status
jantung
7. Berikan oksigen tambahan
dan pertahankan ventilasi
mekanik dan Bantu intubasi .

3. Gangguan Tujuan: Kebutuhan 1. Beri motivasi tentang


pemenuhan nutrisi terpenuhi pentingnya nutrisi
kebutuhan Kriteria hasil : 2. Auskultasi suara bising usus
nutrisi kurang − Porsi makan pasien 3. Lakukan oral hygiene setiap
dari bertambah hari
kebutuhan 4. Sajikan makanan semenarik
tubuh mungkin
berhubungan 5. Beri makanan dalam porsi
dengan kecil tetapi sering.
anoreksia,mu 6. Kolaborasi dengan tim gizi
al dan muntah dalam pemberian diit TKTP.

24
4. Hiperthermi Tujuan: 1. Pantau suhu pasien (derajat
berhubungan Menyatakan nyeri dan pola); perhatikan
dengan hilang/terkontrol menggigil/diaforesis
respon proses Kriteria hasil: 2. Pantau suhu lingkungan
inflamasi − Menunjukkan 3. Berikan kompres hangat dan
perilaku rilek ajarkan serta anjurkan
− Bisa istirahat/tidur keluarga
Peningkatan 4. Kolaborasi: Antipiretik
aktifitas dengan
tepat

5. Nyeri Setelah diberikan 1. Tentukan karakteristik nyeri:


berhubungan asuhan Keperawatan PQRST
dengan 2. Pantau tanda vital
selama (1x24 jam)
Inflamasi 3. Berikan tindakan nyaman:
parenkhim diharapkan nyeri klien pijatan punggung, perubahan
paru, Reaksi berkurang dengan KH: posisi, relaksasi dan distraksi
seluler 1. Skala nyeri 0-3 4. Anjurkan dan bantu pasien
terhadap 2. Wajah klien tidak dalam teknik menekan dada
sirkulasi selama episode batuk
meringis.
toksin, Batuk 5. Kolaborasi: Analgetik
menetap 3. Klien tidak
memegang daerah
nyeri.
6. Intoleransi Tujuan : Klien 1. Pantau nadi dan frekuensi
aktivitas menunjukkan nafas sebelum dan sesudah
berhubungan peningkatan toleransi aktivitas
dengan terhadap aktivitas . 2. Berikan bantuan dalam
ketidak Kriteria hasil : melaksanakan aktivitas sesuai
seimbangan − Menurunnya yang diperlukan dan
antara suplai keluhan tentang dilakukan secara bertahap .
dan napas pendek dan 3. Libatkan keluarga dala
kebutuhan lemah dalam pemenuhan kebutuhan pasien
oksigen, melaksanakan serta peralatan yang mudah
Kelemahan aktivitas . terjangkau .
umum, − Tanda vital dalam 4. Jelaskan pentingnya istirahat
Kelelahan batas normal dalam rencana pengobatan
yang setelah beraktifitas dan perlunya keseimbangan
berhubungan − Kebutuhan ADL aktivitas dan istirahat .
dengan batuk terpenuhi
berlebihan
dan dipsneu
7. Kurang Tujuan : 1. Jelaskan/kuatkan penjelasan
pengetahuan Menyatakan proses penyakit individu
berhubungan pemahaman
dengan
25
kurang kondisi/proses penyakit 2. Dorong pasien/orang terdekat
informasi, dan tindakan untuk menanyakan
salah Kriteria hasil: pertanyaan
mengerti − Mengidentifikasi 3. Instruksikan atau kuatkan
tentang hubungan rasional untuk latihan nafas,
informasi, tanda/gejala yang batuk efektif, dan latihan
keterbatasan ada dari proses kondisi umum
kognitif penyakit dan 4. Diskusikan obat pernafasan,
menghubungkan efek samping dan reaksi tak
dengan faktor diinginkan
penyebab 5. Tekankan pentingnya
− Melakukan perawatan oral atau
perubahan pola kebersihan mulut
hidup dan 6. Kaji efek bahaya minuman
berpartisipasi keras dan nasehatkan
dalam program menghentikan minum
pengobatan minuman keras pada pasien
dan atau orang terdekat
7. Berikan informasi tentang
pembatasan aktifitas dan
aktifitas pilihan dengan
periode istirahat untuk
mencegah kelemahan
8. Diskusikan pentingnya
mengikuti perwatan medik,
foto dada periodik, dan kultur
sputum
9. Rujuk untuk evaluasi
perawatan di rumah bila di
indikasikan. Berikan rencana
perawatan detail dan
pengkajian dasar fisik untuk
perawatan dirumah sesuai
kebutuhan pulang.

26
DAFTAR PUSTAKA

NANDA International. (2015). NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan:


Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Ed. 10. Jakarta: EGC.
Rakhman, Arif & Khotijah. 2014. Buku Panduan Praktek Laboratorium
Keterampilan Dasar Dalam Keperawatan II (KDDK II). Yogyakarta:
Deepublish.
Rosernberg, Martha Craft & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan.
Yogyakarta: Digna Pustaka.
Tim Program TB St. Carolus. 2017. Tuberkulosis bisa Disembuhkan. Kepustakaan
Populer Gramedia
Rosida, Azma. 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berkala
Kedokteran, 12,1; 123-131
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai