oleh
Kholifatul Komariah
NIM 152310101094
3
4
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.1.2 Epidemiologi
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam deliknews.com tahun
2017 menyebutkan terdapat penderita TB di Jawa Timur sebanyak 123.414 orang,
dari jumlah tersebut baru 39 persen yang ditemukan dan dari jumlah tersebut
sebanyak 89% telah mendapatkan pengobatan secara optimal.
Sedangkan untuk Kabupaten Jember, menurut Forum Masyarakat Peduli
TB di Jember yang disampaikan dalam jawapos.com tahun 2017 bahwa jumlah
penderita TB ada 3.331 kasus, dengan tingkat temuan kasus baru BTA positif
43,4%. Dan dimungkinkan masih ada 4.329 kasus yang belum ditemukan.
1.1.3 Etiologi
5
Kuman tuberculosis menular melalui udara. Dahak penderita TB
mengandung kuman TB dalam jumlah yang banyak. Ketika seorang penderita TB
batuk atau bersin, ia akan menyebarkan kurang lebih 3000 kuman ke udara. Kuman
tersebut ada dalam percikan dahak yang disebut dengan droplet nuclei atau percik
renik (percik halus).
Penularan kuman TB bisa terjadi dimana pun termasuk perumahan yang
bersih. Bagi orang yang memiliki kekebalan baik, kuman TB yang ada di tubuhnya
tidak aktif, atau berada dalam keadaan tidur, dormant. Dengan demikian, orang
tersebut mengidap infesi TB laten sehingga tidak ditemukan gejala apapun.
Penderita TB laten tidak dapat menularkan kuman TB kepada orang lain. Jika daya
tahan tubuh penderita TB laten menurun, kuman TB akan menjadi aktif. (Tim
Program TB St. Carolus, 2017)
1.1.4 Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai
TB ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
19
Tuberkulosis ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB
ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan
Mycobacterium tuberculosis.
6
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang
terberat. (Kemenkes RI, 2014)
1.1.5 Patofisiologi
Penularan TB Paru terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel
infeksi ini dapat hidup dalam udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung
pada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila
partikel ini terhisap oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau
paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar dari
cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Selajutnya, ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis
pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
sarang ghon (fokus).
Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru, bila menjalar
sampai ke pleura maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga masuk ke dalam
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit. Kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti paru, otak, ginjal,
tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh
bagian paru dan menjadi TB milier.
8
Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran getah bening hilus (limfangitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal serta regional menghasilkan komplek
primer (range). Proses sarang paru ini memakan waktu 3–8 minggu.
2. Pemerikasaan TCM
9
Pemeriksaan TCM dengan Xpert MTB/RIF merupakan metode deteksi
molekuler berbasis nested real-time PCR untuk diagnosis TB. Primer PCR yang
digunakan mampu mengamplifikasi sekitar 81 bp daerah inti gen rpoB MTB
kompleks, sedangkan probe dirancang untuk membedakan sekuen wild type dan
mutasi pada daerah inti yang berhubungan dengan resistansi terhadap rifampisin.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan alat GeneXpert, yang menggunakan sistem
otomatis yang mengintegrasikan proses purifikasi spesimen, amplifikasi asam
nukleat, dan deteksi sekuen target. Sistem tersebut terdiri atas alat GeneXpert,
komputer dan perangkat lunak.
Setiap pemeriksaan menggunakan katrid sekali pakai dan dirancang untuk
meminimalkan kontaminasi silang. Katrid Xpert MTB/RIF juga memiliki Sample
Processing Control (SPC) dan Probe Check Control (PCC). Sample processing
control berfungsi sebagai control proses yang adekuat terhadap bakteri target serta
untuk memonitor keberadaan penghambat reaksi PCR, sedangkan PCC berfungsi
untuk memastikan proses rehidrasi reagen, pengisian tabung PCR pada katrid,
integritas probe, dan stabilitas dye.
Pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat mendeteksi MTB kompleks dan
resistansi terhadap rifampisin secara simultan dengan mengamplifikasi sekuen
spesifik gen rpoB dari MTB kompleks menggunakan lima probe molecular beacons
(probe A –E) untuk mendeteksi mutasi pada daerah gen rpoB. Setiap molecular
beacondilabel dengan dye floroforyang berbeda. Cycle threshold(Ct) maksimal
yang valid untuk analisis hasil pada probe A, B dan C adalah 39 siklus, sedangkan
pada probe D dan E adalah 36 siklus. Hasil dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
1. MTB terdeteksi’ apabila terdapat dua probe memberikan nilai Ct dalam batas
Valid dan delta Ct min (selisih/perbedaan Ct terkecil antar pasangan probe) <
2.0
2. Rifampisin Resistan tidak terdeteksi’ apabila delta Ct maks (selisih/perbedaan
Antara probe yang paling awal muncul dengan paling akhir muncul) ≤ 4.0
3. Rifampisin Resistan terdeteksi’ apabila delta Ct maks > 4.0
4. Rifampisin Resistan indeterminate’apabila ditemukan dua kondisi sebagai
berikut :
10
a. Nilai Ct pada probe melebihi nilai valid maksimal (atau nilai 0)
b. Nilai Ct pada probe yang paling awal muncul > (nilai Ct valid maksimal
– delta Ct maksimal cut-off 4.0)
5. Tidak terdeteksi MTB’ apabila hanya terdapat satu atau tidak terdapat probe
yang positif. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF sudah diatur secara otomatis sesuai
dengan protokol kerja Xpert MTB/RIF dan tidak dapat dimodifikasi oleh
pengguna.
11
nefron. Penyakit ginjal sering disertai penyakit lain yang mendasarinya seperti
diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia, dan lain-lain.
Gejala gangguan ginjal stadium dini cenderung ringan, sehingga sulit
didiagnosis hanya dengan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan laboratorium dapat
mengidentifi kasi gangguan fungsi ginjal lebih awal. Pemeriksaan antara lain kadar
kreatinin, ureum, asam urat, cystatin C, β2 microglobulin, inulin, dan juga zat
berlabel radioisotop. Hal ini dapat membantu dokter klinisi dalam mencegah dan
tatalaksana lebih awal untuk mencegah progresivitas gangguan ginjal menjadi gagal
ginjal.
1.1.8 Pengobatan TB
Panduan Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan di Indonesia:
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien
baru:
• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
• Pasien TB paru terdiagnosis klinis
• Pasien TB ekstra paru
Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
12
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
• Pasien kambuh
• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up)
13
1.2 Konsep Dasar Abses Paru
1.2.1 Pengertian
Abses Paru merupakan infeksi local pada parenkim paru yang menyebabkan
kavitasi akibat nekrosis. Kelainan ini jarang dijumpai dan terutama terjadi pada
manula. Penyebab pneumonia spesifik tertentu bisa menyebabkan kavitasi adalah
Staphylococcus Aureus, Klebsiella spp., dan infeksi anaerob. Aspirasi asam
lambung sering terjadi pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran,
memiliki kelumpuhan bulbar atau masalah alcohol.
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulen berisikan akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Bila
diameter cavitas kurang dari 2cm dan jumlahnya banyak dinamakan necrotizing
pneumonia. Abses besar atau abses kecil mempunyai manifestasi klinis berbeda
namun mempunyai prognosis yang sama. Abses timbul karena aspirasi benda
terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh dan virulensi bakteri yang
tinggi.
14
Abses paru adalah Infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru
yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah dalam parenkhim
paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru merupakan salah satu penyakit pada
paru yang disebabkan oleh infeksi lokal dan ditandai oleh nekrosis jaringan paru-
paru dan penyatuan nanah dalam rongga terbentuk di enukleasi tersebut.
1.2.2 Etiologi
Abses paru dapat terjadi sebagai akibat lanjut dari aspirasi Pneumonia,
obtruksi bronkus oleh benda asing, tumor dan sekret atau mukus, pneumonia
bakterial dengan emboli paru atau infark paru, emboli paru atau infark paru, trauma
toraks, infeksi dari proses subdiafragma (jarang).
1.2.4 Pathofisiologi
Terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut:
1. Penyakit ini merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada
penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan multiplikasi dan
merusak parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan
bronkus, maka terbentuklah air fluid level bakteria masuk kedalam parenkim
paru selain inhalasi bisa juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli)
atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain misal abses
hepar.
2. Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberkolosis
dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami proses peradangan
supurasi. Pada penderita emphisema paru atau polikisrik paru yang
mengalami infeksi sekunder.
3. Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai proses
abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkogenik.
Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar.
Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar
limphe peribronkial.
4. Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah,
16
sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi dapat
terbentuk abses.
Saat aspirasi, kuman Klebsiela Pneumonia sebagai kuman komensal di
saluran pernafasan atas ikut masuk ke saluran pernafasan bawah, akibat aspirasi
berulang, aspirat tak dapat dikeluarkan dan pertahanan saluran nafas menurun
sehingga terjadi keradangan. Proses keradangan dimulai dari bronki atau bronkiol,
menyebar ke parenchim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi.
Perluasan ke pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi, sehingga pus atau
jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase dan pengobatan yang tidak memadai
akan menyebabkan proses abses yang akut akan berubah menjadi proses yang
kronis atau menahun.
17
1.2.5 Pathway Abses Paru
Empiema G3 pertukaran
gas Gangguan pemenuhan
Obstruksi bronkhus
kebutuhan nutrisi
Sputum keluar
menuju pleura Kelemahan Hiperven
Inflamasi pleura
Gesekan Bersihan G3 intolerasi Sianosis G3 per-
lapisan paru jalan aktivitas tukaranO2
( batuk) tidak
efektif Pleuritis
Jari tabuh
Gangguan rasa
Hemaptoe nyaman nyeri
18
1.2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Lekositosis dapat mencapai 20.000 – 30.000/μm. Anemia ditemukan pada 80%
kasus. Pemeriksaan mikrobiologik sering ditemukan campuran infeksi. Pada abses
paru dengan bau busuk ditemukan spirochaeta, fusiform basil dan kuman anaerob
serta aerob. Pada yang tidak berbau biasanya karena kuman stafilokok, streptokok
dan Friedlander's bacilli. Bakteri gram negatif yang sering ditemukan adalah
Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.
2. Gambaran radiologis
Pada stadium permulaan hanya terlihat konsolidasi seperti pnemonia. Kemudian
berkembang dengan reaksi pnemonitis sekitarnya. Bila telah terbentuk
bronkopleural fistel akan tampak air fluid level dalam parenkim paru. Tetapi bila
memecah ke kavum pleura air fluid tampak dalam rongga pleura.
1.2.7 Penatalaksanaan
Fisioterapi dada adalah suatu rangkaian keperawatan yang terdiri atas
perkusi dan vibrasi, postural drainase, latihan pernafasan/napas dalam, dan batuk
yang efektif. Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan dengan
menggunakan drainase postural, clapping dan vibrating pada pasien dengan
gangguan sistem pernafasan. perkusi atau disebut clapping adalah tepukan atau
pukulan ringan pada dinding dada klien menggunakan telapak tangan yang
dibentuk seperti mangkuk dengan gerakan berirama di atas segmen paru yang akan
dialirkan. (Rakhman, dkk, 2014)
19
Tujuan dari fisioterapi dada adalah untuk membuang sekresi bronchial,
memperbaiki ventilasi, meningkatkan efisiensi otot-otot pernafasan.
20
1.2.8 Komplikasi
21
BAB 2. KONSEP KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
1. Kaji riwayat faktor resiko seperti: Adanya riwayat aspirasi, infeksi saluran
nafas (radang mulut, gigi dan gusi, tenggorokan), higiene oral yang kurang,
peminum minuman keras atau masuknya suatu benda kedalam saluran
pernafasan.
2. Kaji adanya riwayat penyakit infeksi saluran nafas kronis seperti TBC,
Bronkitis, Abses hepar
3. Kaji adanya batuk dengan sputum yang berlebih serta bau yang khas serta
batuk darah, nyeri yang dirasakan didalam dada, kelelahan, nafsu makan yang
menurun
4. Inspeksi: Pergerakan pernafasan menurun, tampak sesak nafas dan kelelahan
5. Palpasi: Adanya fremitus raba yang meningkat di daerah yang terinfeksi
,suhu tubuh yang meningkat diatas normal, takikardi, naiknya tekanan vena
jugularis (JVP), sesak nafas, adanya jari tabuh,
6. Perkusi: Terdengar keredupan pada daerah yang terinfeksi
7. Auskultasi: Pada daerah sakit terdengar suara nafas bronkhial disertai suara
tambahan kasar sampai halus.
8. Pemeriksaan tambahan terutama laboratorium yang terjadi peningkatan
angka leukosit dan laju endap darah serta terjadinya penurunan tekanan O2
arteri, rontgen dada terlihat kavitas dengan dinding tebal dengan tanda-tanda
konsolidasi disekelilingnya yang tampak jelas lagi dengan pemeriksaan CT-
Scan dada. Adanya masa tumor atau benda asing dalam pemeriksaan
bronkoskopi.
22
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan
kerusakan alveoli
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia,mual dan muntah
4. Hiperthermi berhubungan dengan respon proses inflamasi
5. Nyeri berhubungan dengan Inflamasi parenkhim paru, Reaksi seluler terhadap
sirkulasi toksin, Batuk menetap
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, Kelemahan umum, Kelelahan yang berhubungan dengan
batuk berlebihan dan dipsneu
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi, salah mengerti
tentang informasi, keterbatasan kognitif
23
8. Ajarkan dan anjurkan
fisioterapi dada, postural
drainase
9. Awasi AGD, Foto dada
a. Kolaborasi: Bronkodilator,
Antibiotika, Drainase
Bronkoskopi
24
4. Hiperthermi Tujuan: 1. Pantau suhu pasien (derajat
berhubungan Menyatakan nyeri dan pola); perhatikan
dengan hilang/terkontrol menggigil/diaforesis
respon proses Kriteria hasil: 2. Pantau suhu lingkungan
inflamasi − Menunjukkan 3. Berikan kompres hangat dan
perilaku rilek ajarkan serta anjurkan
− Bisa istirahat/tidur keluarga
Peningkatan 4. Kolaborasi: Antipiretik
aktifitas dengan
tepat
26
DAFTAR PUSTAKA
27