Keterkaitan antara tuberculosis paru dan efusi pleura adalah pada saat kondisi
tuberculosis dapat terjadi peningkatan jumlah cairan pada pleura yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sehingga menurunkan tekanan
onkotik yang menyebabkan cairan masuk ke dalam rongga pleura. Peningkatan
jumlah cairan tersebut disebut efusi pleura yang dapat menimbulkan keluhan
seperti sulit bernafas, batuk, nyari dada, dan demam.
1.3 Epidemiologi
Dalam laporan WHO 2013 jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap
tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta
juga menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka
insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren
penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sduah
berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di
negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura sama antara
laki-laki dan perempuan, namun penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks.
Sekitar dua per tiga efusi pleura ganas terjadi pada perempuan. Efusi pleura ganas
berhubungan secara signinifikan dengan keganasan payudara dan ginekologi.
Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering
terjadi pada wanita dibanding pria (Price sylvia, 2005)
1.4 Etiologi
Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah terinfeksinya paru oleh
microbacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang dengan
ukuran sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan kuman
lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga paru-
paru merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari
asal lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih
tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran mycrobacterium
tuberculosis yaitu melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan
menginfeksi (Depkes RI, 2002)
1.5 Klasifikasi
Adapun klasifikasi TB paru berdasarkan patogenesisnya :
Kelas Tipe Keterangan
0 Tidak ada pejanan TB. Tidak ada riwayat terpajan
Tidak terinfeksi Reaksi terhadap tes tuberculin
negative
1 Terpajan TB Riwayat terpajan
Tidak ada bukti infeksi Reaksi tes kulit tuberkulin negative
2 Ada infeksi TB Reaksi tes kulit tuberculin positif
Tidak timbul penyakit Pemeriksaan bakteri egative (bila
dilakukan)
Tidak ada bukti klinis, bakteriologik
atau radiografik Tb aktif
3 TB, aktif secara klinis Biakan microbacterium tuberculosis
Terdapat bukti klinis, bakteriologik
radiografi penyakit.
4 TB, tidak aktif secara klinis Riwayat episode TB atau ditemukan
radiografi yang abnormal atau tidak
berubah.
Reaksi tes kulit tuberkulin positif dan
tidak ada bukti klinis atau radiografik
penyakit sekarang
5 Tersangka TB Diagnosis ditunda
1.6 Patofiologi
Pada tuberculosis
Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang
menghirup basil mycrobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui
jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk.
Perkembangan mycrobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau
sampai ke area lain dari paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui
sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, dan
korteks serebri) dan area lain dari paru (lobus atas). Selanjutnya sistem
kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi.
Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri),
sementara limfosist spesifik tuberculoasis menghancurkan basil dan
jaringan normal. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu
setelah terpapar bakteri. Interaksi antara mycrobacterium tuberculosis dan
sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah masa
jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan
basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding.
Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi masa jaringan fibrosa.
Bagian tengah dari masa tersebut disebut gon tubercle. Materi yang terdiri
atas makrofag dan bakteri yang menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang berbentuk seperti keju (necrotizing caseosa). Hal
ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringa kolagen,
kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu
nyeri dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi
pleura oleh karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada
yang ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik
menunjukan iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut
saraf. Karena dipesarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura
mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri
juga bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan interkostalis.
Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan
kompresi parenkim paru (Robert JR, 2014)
Peradangan pleura
Gagal jantung kiri
Obstruksi vena kava
superior Permeabel membran kapiler Cairan protein dari getah
Asites pada sirosis hati meningkat bening masuk rongga pleura
Dialisis peritonial
Obstruksi fkatus urinarius
Peningkatan tekanan Konsentrasi protein cairan
kapiler sistemik/pulmonal pleura meningkat
Terdapat jaringan nekrotik Penurunan tekanan koloid
pada septa osmotik & pleura
Penurunan tekanan Eksudat
intrapleura
Kongesti pada pembuluh
limfe
Gangguan tekanan kapiler
Reabsorpsi cairan terganggu hidrostatik dan koloid
osmotik intrapleura
Transudat
Pengobatan TBC
Tahapan pengobatan TB
1. Tahap awal : pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
2. Tahap lanjutan : pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh
khususnya kman pesister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan.
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pengumpulan data yang berhubungan dengan
pasien secara sistematis. data yang dikaji pada pengkajian mencakup data yang
dikumpulkan melalui riwayat kesehatan, pengkajian fisik, pemeriksaan
laboraturium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya. (Wijaya & Putri,
2013).
Langkah-langkah pengkajian yang sistematik adalah pengumpulan data,
sumber data, klasifikasi data, anaisa data dan diagnosa keperawatan.
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang
dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi
pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada
saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan tb effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya
tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada,
berat badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan
keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau
menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC
paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma,
TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
Pemeriksaan fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui
tingkat kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran
tinggi badan berat badan pasien.
2) Sistem Respirasi
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai :
Inspeksi : Adanya tanda-tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan napas
yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi: Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan
yang nyaring.
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub (suara tambahan).
Apabila terjadi atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat
menyebabkan bunyi napas bronkus (Jeremy, 2008)
2.2 Diagnosa Keperawatan
Penentuan diagnosa keperawatan harus berdasarkan analisa data dari
hasil pengkajian. Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien dengan effusi pleura menurut (Nurafif & Kusuma, 2015) antara lain :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan metabolisme, penurunan nafsu makan akibat
sesak nafas terhadap penekanan struktur abdomen
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan drainase (luka
pemasangan WSD)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dengan kebutuham, dispneu stelah beraktifitas.
2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No. NOC NIC Rasional
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Tujuan: 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Mengetahui RR (RR normal 16-
pola nafas Setelah dilakukan tindakan 2. Kaji frekuensi, kedalaman 20x/menit).
berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, pernapasan, dan penggunaan 2. Identifikasi adanya
dengan klien menunjukkan pola napas otot bantu pernapasan dispnea/bradipnea/takipnea.
menurunnya efektif. 3. Auskultasi suara napas 3. Identifikasi adanya suara napas
ekspansi paru Kriteria Hasil: 4. Atur posisi klien semi fowler tambahan seperti ronki dan mengi
sekunder terhadap 1. RR dalam rentang normal (16- 5. Lakukan penghisapan lendir yang menandakan adanya obstruksi
penumpukkan 20x/menit) pada jalan napas (suction) jalan napas/kegagalan pernapasan.
cairan dalam 2. Tidak dispnea, bradipnea, dan 6. Jelaskan kepada klien dan 4. Ekspansi paru (mengurangi tekanan
rongga pleura takipnea keluarga terkait tujuan pada paru dan memudahkan
3. Tidak ada suara napas tindakan. pernapasan.
tambahan 7. Kolaborasi dengan tim tenaga 5. Mengurangi adanya sputum.
4. Tidak menggunakan kesehatan terkait pemberian 6. Klien dan keluarga terpapar informasi
pernapasan cuping hidung oksigen tambahan terkait tindakan yang akan dilakukan.
5. Tidak menggunakan otot bantu 8. Kolaborasi dengan tim tenaga 7. Memaksimalkan bernapas dan
pernapasan kesehatan terkait pemberian menurunkan kerja napas.
humidifikasi tambahan 8. Memberikan kelembaban pada
(nebulizer) membran mukosa dan membantu
9. Kolaborasi dengan tim tenaga pengenceran sekret.
kesehatan terkait tindakan 9. Memudahkan upaya pernapasan
fisioterapi dada dalam dan meningkatkan drainase
sekret dari paru ke bronkus.
2. Ketidakseimbangan Tujuan: 5. Kaji status nutrisi klien 11. Pengkajian penting dilakukan
nutrisi kurang dari Setelah dilakukan tindakan 6. Kaji frekuensi mual, untuk mengetahui status nutrisi
kebutuhan tubuh keperawatan selama 3x24 jam, durasi, tingkat keparahan, pasien sehingga dapat menentukan
berhubungan kebutuhan nutrisi klien tercukupi faktor frekuensi, intervensi yang diberikan.
dengan peningkatan Kriteria Hasil: presipitasi yang 12. Penting untuk mengetahui
metabolisme, 1. Adanya peningkatan berat menyebabkan mual. karakteristik mual dan faktor-
penurunan nafsu badan 7. Anjurkan pasien makan faktor yang menyebabkan mual.
makan akibat sesak 2. Berat badan ideal dengan sedikit demi sedikit tapi Apabila karakteristik mual dan
nafas terhadap tinggi badan sering. faktor penyebab mual diketahui
penekanan struktur 3. Klien mampu 8. Anjurkan pasien untuk maka dapat menetukan intervensi
abdomen mengidentifikasi makan selagi hangat yang diberikan.
kebutuhan nutrisi 9. Delegatif pemberian 13. Makan sedikit demi sedikit dapat
4. Tidak terjadi penurunan terapi antiemetik meningkatkn intake nutrisi
berat badan yang berarti 10. Diskusikan dengan 14. Makanan dalam kondisi hangat
keluarga dan pasien dapat menurunkan rasa mual
pentingnya intake nutrisi sehingga intake nutrisi dapat
dan hal-hal yang ditingkatkan.
menyebabkan penurunan 15. Antiemetik dapat digunakan
berat badan. sebagai terapi farmakologis dalam
manajemen mual dengan
menghamabat sekres asam
lambung
Jeremy, et al. 2008. Efusi Pleura. Jakarta. At a glance medicine edisi 2 EMS
Diah aryulina dkk. 2004. Biologi SMA dan MA untuk kelas XI. Erlangga