Anda di halaman 1dari 102

About Contact Privacy Disclaimer Daftar isi

! " # $ %
Sonny Ogawa

Cersil Tempat Seputar Artikel &


Online Hiburan Wisata Islam Umum Placement

Populer Post
Home Pendekar Rajawali Sakti Keris Iblis

Cersil Silat Online Karya Kho


Ping Hoo

Pendekar Buta

Jaka Lola Jilid 01

Iblis Wajah Seribu

Cerita Silat Online Pendekar


Rajawali Sakti

Tentang Sebuah Pertanyaan


Tanda-tandanya wanita jatuh
cinta
Keris Iblis
Pertarungan Di Bukit Setan

Published by Sonny Ogawa 15 December 2017 Cerita Silat Pendekar Kapak


Maut Naga Geni 212 Wiro
Sableng

Serial Pendekar Naga Putih

Is Hemsworth's Career
Over?
Why He Is Leaving Film World
Chris want to help as many Aussies as
possible before they take it down
mydeskcollective.com

OPEN

KERIS IBLIS
SATU
DESA KAHURIPAN terletak persis dibawah kaki Gunung
Tambur, dengan sebuah sungai lebar disebelah selatannya.
Tempat itu memiliki suasana yang damai dan tentram,
hingga tak heran bila selama ini tak pernah ada kekacauan
sedikit pun.

Konon itu berkat kepala desanya yang cakap dan trampil


bernama Suteja. Sebagian besar penduduk mengetahui
bahwa beberapa belas tahun silam kepala desa itu adalah
seorang tokoh terkenal di dunia persilatan. Ilmu olah
kanuragannya cukup lumayan. Sampai akhirnya beliau
mengundurkan diri setelah mempersunting seorang gadis
penduduk asli desa ini dan memilih menetap diKahuripan
sampai sekarang.
Pagi ini suasana desa tampak mendung. Ayam jantan telah
berkokok bersahutan. Biasanya fajar telah merekah di ufuk
timur, namun kabut seperti tak tersibak sehingga membuat
malam terasa lebih panjang.

Badar tampak duduk dibale-bale depan rumah sambil


memandang jauh ke depan. Cangkulnya masih juga tetap
dibiarkan berada di dekatnya tanpa disentuh. Kopinya telah
habis dihirup, namun tampaknya dia masih enggan untuk
buru-buru berangkat ke sawah.

“Kenapa belum berangkat juga, Pak?” tanya istrinya sambil


duduk mendekat.

Badar cuma menoleh sekilas pada perempuan setengah


baya yang selama ini telah mendampingi hidupnya dengan
setia, kemudian kembali memandang jauh kedepan sambil
berkata pelan.

“Entahlah... hari ini rasanya malas sekali pergi ke sawah.


Layang Seta sudah bangun?”

Perempuan itu bangkit dan menuju kedalam sambil berkata


dengan setengah kesal. “Biar kubangunkan. Anak itu
memang pemalas sekali. Kalau memang Bapak sedang tak
enak badan, si Layang Seta saja yang ke sawah.”

“Hhhh....” Badar menghela nafas. Sesaat kemudian


terdengar istrinya mengomel-ngomel tak karuan yang
disusul oleh suara gerutuan anak satu-satunya yang
berjalan kedepan sambil menutupi sebagian tubuhnya
dengan kain sarung.
Tubuh pemuda itu kurus dan rambutnya agak gondrong.
Usianya sekitar enam belas tahun. Badar melihatnya
sekilas, dan pemuda bernama Layang Seta itu tampak tak
acuh sambil membaringkan tubuhnya diatas bale depan
bapaknya itu.

“Dasar pemalas! Apa kerjamu tiap hari. Layang Seta?! Ayo


bangun dan cuci mukamu, kemudian berangkat ke sawah.
Hari ini bapakmu sedang tak enak badan!” teriak perempuan
setengah baya tadi sambil mengomel dan menarik tangan
anaknya.

“Sebentar... masih mengantuk....”

“Eeee, apa tak puas kau tidur semalaman?! Mau jadi apa
kau kelak kalau kerjamu cuma tidur saja?!”

“Sudahlah, Bu. Aku bukan tak enak badan, cuma sedang tak
tenang,” ujar Badar menyabarkan istrinya.

Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu


kemudian meraih cangkulnya dan mulai melangkah ke
depan. Tapi baru berjalan beberapa tindak dia balik lagi dan
masuk ke dalam sambil meraih golok yang tergantung
didinding kamarnya. Kemudian dia mematung beberapa
saat lamanya di depan pintu.

“Jangan dipaksakan kalau kau sedang tidak enak badan.


Pak. Nanti kau sakit!” larang istrinya.

“Hoaaaah...!” Layang Seta menguap beberapa kali sambil


duduk bersandar pada dinding, kemudian memandang pada
kedua orangtuanya.
“Ya sudah... biar aku saja yang ke sawah kalau bapak
sedang tak enak badan,” katanya sambil berlalu kebelakang.

Badar cuma diam dan kembali duduk di bale-bale. Istrinya


mendampingi di sebelahnya. Dipandanginya laki-laki itu
beberapa lama saatnya, kemudian bertanya dengan suara
hati-hati.

“Apa yang sedang kau pikirkan. Pak?”


'
“Tak ada....”

“Hmm... jangan berbohong. Apakah kau tidak percaya lagi


pada istrimu?”

Badar menoleh dan memandang wajah perempuan itu agak


lama. Kemudian terdengar hela nafasnya yang berat sambil
kembali memandang lurus ke depan.

“Sudah tiga hari ini aku mimpi aneh....”

“Mimpi?”

Badar mengangguk.

“Mimpi apa?”

“Mimpi inilah yang sangat mengganggu pikiranku. Sampai-


sampai aku beranggapan bahwa itu bukan sekedar mimpi
tapi akan menjadi kenyataan....”

Perempuan itu memegang tangan suaminya. “Pak, mimpi


kata orang-orang adalah bunga tidur. Kita tak musti
mempercayainya. Lagi pula mimpi apa yang membuat kau
merasa yakin bahwa itu akan menjadi kenyataan?”

“Tapi mimpiku sekali ini sangat aneh. Aku melihat desa kita
ini dilalap api, kemudian puluhan orang berlari-lari
menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan.
Kemudian juga kulihat anak kita Layang Seta menangis
sambil berlari ke suatu tempat....” Perempuan itu
terperangah beberapa saat begitu mendengar suaminya
menceritakan perihal mimpi yang dialaminya.

“Itulah yang mengganggu pikiranku. Kalau saja mimpi itu


datangnya hanya sekali barangkali aku beranggapan sama
denganmu. Mimpi cuma sekedar bunga tidur, tapi yang ini
sangat lain!” lanjut Badar kembali.

“Kau yakin bahwa ini suatu pertanda buat kita?” tanya


istrinya hati-hati.

Badar melingkarkan tangan kepunggung istrinya. Kemudian


katanya dengan suara menghibur. “Aku berharap bahwa itu
bukan pertanda buruk, tapi entah kenapa hatiku jadi tak
tenang....”

“Hhhh... kita berdoa saja pada Gusti Allah, mudah-mudahan


tak terjadi apa-apa,” sahut istrinya sambil menghela nafas.

“Aku akan berangkat ke sawah!” kata Badar kembali berdiri.

“Biar Layang Seta menyertaimu....”

“Aku ikut. Pak!”.seru Layang Seta yang tiba-tiba muncul.

“Sebaiknya kau jaga ibumu di rumah....”


“Tidak, aku ikut bapak. Pulangnya biar sekalian mencari
kayu bakar di hutan. Kebetulan kayu bakar kita sudah
hampir habis,” bantah pemuda itu.

“Baiklah. Kalau begitu kau boleh ikut. Kebetulan nanti bapak


akan memperbaiki tanggul yang jebol....”

“Jangan lupa makan siangnya diantar tepat waktu, Bu!”


teriak Badar.

Istrinya tersenyum sambil memandangi bapak dan anak


yang berjalan beriringan. Keduanya berjalan pelan. Layang
Seta masih mendekap tubuh sambil memakai sarung.
Badar tersenyum kecil memperhatikan tingkah laku
putranya itu.

“Masih dingin?”

“Dingin sekali. Rasanya orang-orang pun enggan keluar


rumah pagi ini. Pak,” sahut pemuda itu dengan suara
bergetar menahan dingin.

“Udara dingin harus dilawan sebab kalau tidak akan


membuat orang menjadi pemalas....”

Layang Seta menganggukkan kepala. Pandangannya


berputar ke sekeliling tempat. Rumah-rumah yang mereka
lewati masih sepi dan baru satu dua orang yang terlihat.
Sesekali mereka bertegur sapa.

“Hiyaa...!”

“Hei?!” Keduanya tersentak kaget. Begitu juga dengan


beberapa orang yang berada di dekat mereka. Tiba-tiba saja
terlihat api menyala di salah satu rumah. Disusul dengan
teriakan-teriakan yang gegap gempita.

“Toloooong...! Toloooong...!”

“Ada apa?” tanya Layang Seta.

“Cepat kita kembali ke rumah!” teriak bapaknya sambil


berlari kecil.

Layang Seta mengikuti dari belakang. Namun baru mereka


berlari kira-kira sepuluh langkah, terdengar bentakan-
bentakan nyaring.

“Ayo, hancur-leburkan tempat ini!”

“Sikaaat...!”

“Aaa...!”

“Hei?!”

Langkah keduanya menjadi bimbang. Teriak kematian


beberapa orang penduduk begitu menyayat hati. Jantung
Badar berdegup kencang. Begitu juga dengan Layang Seta.
Sejenak mereka saling pandang sebelum kembali berlari
pulang.

“Siapa mereka. Pak?”

“Mana bapak tahu. Tapi mungkin para perampok yang biasa


berkeliaran di desa-desa.”

“Perampok?” Dahi Layang Seta berkernyit.


“Belakangan ini banyak desa yang dibakar dan harta benda
mereka dirampok oleh sekumpulan begal yang bernama
Golok Setan. Orang-orang itu khabarnya kejam dan tak
berperikemanusiaan,” jelas bapaknya.

Wajah Layang Seta tampak pucat. Dia jadi mengerti akan


kekhawatiran yang terbayang diwajah bapaknya itu. Tanpa
sadar langkah mereka semakin cepat. Dan begitu tiba di
pintu pagar. Badar telah berteriak pada istrinya.

“Ningsih, cepat kemasi barang-barang!”

Perempuan berusia setengah baya itu gelagapan


menyambut mereka di luar. “Ada apa. Pak?” tanyanya
dengan wajah cemas.

“Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Cepat kemasi


barang-barang dan kita pergi dari sini!”

Pada mulanya perempuan itu terlihat semakin tak mengerti.


Tapi begitu melihat nyala api yang merambat cepat dari
rumah kerumah dan teriakan-teriakan yang gegap gempita
bercampur pekik kematian, wajahnya berubah ketakutan.

“Pak...!”

“Jangan diam! Ayo, cepat kemasi barang-barang!” bentak


Badar sambil membungkus semua garang yang bisa
mereka bawa.

Namun belum lagi mereka selesai mengemasi barang-


barang, sebuah suara ketawa keras terdengar dari arah luar.
“Ha-ha-ha...! Mau lari ke mana kalian?! Serahkan barang-
barang itu berikut kepala kalian semua!”

“Heh?!” Badar tersentak kaget. Dengan cepat dia mencabut


golok dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sementara istri dan anaknya saling berpandangan dengan
wajah semakin ketakutan.

Di luar terlihat dua orang bertubuh besar dengan baju di


bagian dada terbuka. Keduanya menunggang kuda
berwarna coklat. Dari wajah mereka yang seram agaknya
dua orang ini bukanlah orang baik-baik. Dengan hati-hati
Badar menyambut mereka.

“Siapa kalian, dan apa yang kalian inginkan dari kami?!”


bentaknya.

“Ha-ha-ha...! Kau lihat Cangklong, tikus ini agaknya bernyali


macan juga. Rupanya dia belum tahu siapa kita!” kata salah
seorang yang memakai ikat kepala hijau pada kawannya.

“Sudahlah, Kimun. Jangan banyak bicara. Lekas kita


bereskan mereka!” sahut Cangklong sambil mendengus
sinis.

“Hmm... rupanya kalian sebangsa perampok picisan!


Jangan harap kalian bisa berbuat seenaknya disini.
Langkahi mayatku lebih dulu baru kalian bisa leluasa!”
dengus Badar.

“Huh! Segala tikus kampung ingin berlagak didepan orang-


orang Golok Setan! Mampuslah bagianmu!” Setelah berkata
begitu Kimun langsung turun dari kudanya dan menerjang
ke arah Badar.
“Hiyaaat...!” Badar langsung bergerak menghindar sambil
menyabetkan goloknya. Tapi dengan gerakan yang gesit
orang itu berkelit dan mengayunkan kaki kanannya.

“Des!”

“Akh...!” Badar terjungkal beberapa tindak dengan tubuh


terjerembab.

“Pak...!”

“Ningsih, jangan ke mari! Cepat tinggalkan tempat ini! Bawa


Layang Seta bersamamu!” teriak Badar cemas ketika
melihat istrinya keluar dan tergopoh-gopoh
menghampirinya.

Tapi malang, sebelum perempuan itu berhasil mendekati


suaminya, salah seorang dari dua penunggang kuda itu
telah mencekal pergelangan tangannya.

“He-he-he...! Perempuan ini manis juga. Kau uruslah laki-laki


itu biar perempuan ini bagianku!” kata Cangklong.

“Tapi sisakan sedikit untukku!” sahut Kimun sambil


terkekeh.

Sementara perempuan bernama Ningsih itu berusaha


berontak dengan sekuat tenaga. “Bajingan keparat!
Lepaskan aku! Lepaskan...!”

“Bedebah laknat! Lepaskan istriku!” teriak Badar marah.


Tanpa mempedulikan keadaan dirinya dia langsung
menerjang kearah Cangklong sambil menyabetkan golok.
“Yeaaa...!”

“Sial! Kalau kau ingin mampus terimalah bagianmu!” geram


Kimun sambil mencabut golok dan memapaki serangan
Badar.

“Trak! Cras!”

“Aaa...!” Badar memekik nyaring ketika goloknya terpental


dihantam senjata lawan. Belum lagi dia sempat menyadari
apa yang terjadi tiba-tiba saja ujung golong lawan telah
merobek perutnya. Tubuhnya langsung ambruk dengan isi
perut terburai ke luar.

“Paaak...!” Ningsih menjerit keras. Bersamaan dengan itu


dari arah dalam terdengar jeritan yang sama. Layang Seta
telah menyerbu keluar sambil memegang golok di
tangannya.

“Bajingan-bajingan keparat! Kubunuh kalian! Kubunuh


kalian...!” teriak Layang Seta kalap sambil mengayunkan
goloknya.

“He-he-he...! Bocah celaka, rupanya kau ingin menyusul


orangtuamu? Nih, makan bagianmu!” dengus Kimun sambil
mengayunkan goloknya pula.

Layang Seta bukanlah pemuda yang memiliki kepandaian


olah kanuragan. Tapi melihat kedua orangtuanya tewas,
rasa takutnya yang tadi begitu dalam berubah menjadi
kemarahan yang meluap. Begitu goloknya terayun, Kimun
langsung menghantamnya.
“Trak!”

“Yeaaa...!” Golok di tangan pemuda itu terpental, dan


dengan kecepatan yang sulit diikuti mata pemuda itu, golok
lawan terus menerpa kearah perutnya. Bisa dipastikan
Layang Seta akan tewas saat itu juga. Tapi pada saat yang
kritis itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang langsung
menghadang serangan Kimun.

“Hiyaaat...!”

“Trak! Des!”

“Akh...!” Kimun terpental ketika dadanya terasa nyeri


dihantam suatu pukulan yang sulit dihindarinya.

Pada saat itu telah berdiri sesosok tubuh pada jarak dua
langkah di depan Layang Seta.

“Pak Kepala Desa...!” panggil Layang Seta dengan suara


lirih.

“Huh! Rupanya ada juga orang yang berisi dikampung ini!”


dengus Cangklong sambil melepaskan tubuh Ningsih yang
tadi didekapnya.

Dengan langkah ringan dia mendekat pada laki-laki berusia


sekitar lima puluh tahun dan berbadan tegap itu. Wajahnya
tampak memandang rendah sekali.

“Perampok keparat! Pergilah kalian dari kampung ini


sebelum kuusir seperti anjing buduk!” bentak laki-laki itu
yang tak lain dari Kepala Desa Kahuripan ini yang bernama
Suteja.
“Ha-ha-ha...! Sungguh lucu. Seekor kecoa busuk sepertimu
berani bicara seperti itu pada orang-orang Golok Setan.
Hmm... rupanya kau bernyali macan juga. Tapi sayang, hari
ini kau musti mampus!” sahut Cangklong sambil bersiap
memasang kuda-kuda.

Walaupun dia berkata begitu namun dalam hatinya terbersit


juga perasaan was-was. Kepandaian olah kanuragan yang
dimiliki Kimun tidak berada di bawahnya. Tapi dengan sekali
serang kawannya itu dapat dijatuhkan dengan mudah.
Tentulah orang ini bukan sembarangan.

“Yeaaaa...!” Cangklong membentak nyaring. Tubuhnya


melesat cepat sambil menghantamkan golok ke leher
lawan. Tapi dengan memiringkan sedikit tubuh. Kepala Desa
Kahuripan itu dapat menghindarinya dengan manis. Kepalan
tangan kirinya dengan cepat menghantam dada kanan
lawan.

“Hiyaaat...!”

“Uts!” Tubuh Cangklong bergerak ke kiri sambil menebaskan


goloknya ke perut lawan. Tapi kali ini Kepala Desa
Kahuripan yang bernama Suteja itu lebih cepat lagi
bergerak. Sebelum lawan menebaskan golok, kaki kirinya
telah lebih dulu menendang kearah perut.

“Des!”

“Akh...!” Tak ampun lagi. Tubuh Cangklong terjerembab


sejauh dua tombak. Isi perutnya seperti diaduk-aduk tak
karuan. Kali ini agaknya Suteja betul-betul geram.
Amarahnya telah meluap, maka tanpa berpikir panjang
diraihnya sebilah golok yang terletak ditanah kemudian
dengan cepat tubuhnya melesat kearah Cangklong.

“Mampuslah kalian! Yeaaa...!”

DUA

Namun sesaat lagi ujung golok itu akan menebas leher


lawan, pada saat itu muncul sesosok bayangan yang
bergerak cepat menyambar ke arah kepala desa itu. Suteja
bukanlah orang sembarangan. Sekilas saja dia bisa
mengetahui bahwa seseorang yang baru datang
berkepandaian tak rendah. Dengan tiba-tiba goloknya
berputar dan menyambar bayangan yang baru datang itu.

“Yeaaa...!”

“Bet!”

“Hup!” Dengan gerakan manis sesosok bayangan itu


melompat ke atas menghindar dari serangan golok lawan.
Suteja merasa tubuhnya bergoyang ketika suatu sambaran
angin menerpa dirinya.

“Huh!”

“Hiyaaa...!” Belum lagi dia sempat menegaskan siapa orang


yang baru datang itu, sosok bayangan tadi telah bergerak
kembali sambil berteriak nyaring.

“Uts!”

“Trang!”
Darah Suteja tersirap melihat serangan lawan. Baru saja dia
lolos dari maut ketika ujung kulitnya terasa perih terkena
angin sambaran senjata lawan. Ketika goloknya bergerak
menebas, lawan telah menangkis. Tangannya terasa
kesemutan luar biasa bercampur perih. Suteja jungkir balik
menghindari serangan susulan yang begitu cepat. Tubuhnya
bersalto beberapa kali kebelakang. Kemudian tegak berdiri
memperhatikan sesosok tubuh yang tidak lagi mengejarnya
itu.

“Ha-ha-ha...! Hebat juga kau punya kepandaian orang tua.


Tapi mencoba untuk melawan orang-orang Golok Setan kau
akan mampus sendiri!” ujar seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar dengan sepasang mata agak sipit.

“Siapa kau?!” bentak Suteja garang.

“Hmm... rupanya kau belum kenal padaku? Baiklah, buka


telingamu lebar-lebar. Aku adalah pemimpin dari orang-
orang Golok Setan. Nah, kini kau kenal denganku bukan?”

“Keparat! Jadi kau yang bernama Kolo Menjing?”

“Rupanya ingatanmu belum lamur, Suteja!”

“Hmm... rupanya kaupun kenal namaku. Bagus! Nah,


Kisanak suruh orang-orangmu untuk menyingkir dari desaku
ini!”

“Ha-ha-ha...! Suteja, dulu namamu amat ditakuti oleh


sebagian orang. Menurut kabar kau memiliki ilmu silat
tinggi. Tapi jangan harap kau bisa menakut-nakuti Kolo
Menjing. Kalau aku telah berniat menghancurkan desa ini
tak seorang pun boleh menghalangi,” sahut Kolo Menjing
sambil tertawa keras.

“Kolo Menjing, diantara kita tak ada permusuhan apa-apa.


Kenapa kau berniat menghancurkan desa ini?”

“Aku tak musti bermusuhan dengan seseorang bila ingin


menghancurkan dan merampok harta benda kalian.”

“Jahanam! Kau lebih terkutuk dari iblis!” desis Suteja sambil


mengayunkan goloknya.

“He-he-he...! Percuma saja kau melawanku, Suteja. Lebih


baik kau sarungkan golok itu dan berlututlah minta ampun,
siapa tahu aku sudi mengampunimu,” sahut Kolo Menjing
dengan suara yang amat merendahkan kepala Desa
Kahuripan itu.

“Keparat!” dengus Suteja geram. Tanpa berpikir panjang lagi


dia langsung menyerang lawan sambil menyabetkan golok.

“Hiyaaat...!”

“Hmm... bandel!” Kolo Menjing cuma menggeser sedikit


tubuhnya. Kaki kanannya bergerak menyapu pinggang
lawan. Tapi dengan gerakan meliuk tubuh Suteja
menghindarinya sambil melompat keatas dan menebas
leher Kolo Menjing dengan cepat.

“Trang!”

“Des!”

“Bet!”
“Akh...!” Suteja mengeluh kesakitan ketika satu tendangan
menghantam dadanya. Masih untung dia bisa menghindar
sambil bergulingan ketika satu tebasan golok lawan
menderu deras menghantam perutnya. Tapi tangannya
sendiri terasa perih ketika golok mereka beradu.

Sementara itu melihat bahwa ketua mereka telah ikut


campur, Kimun dan Cangklong lebih leluasa meneruskan
niatnya tadi. Dengan sekali sentak Ningsih telah kembali
dalam dekapan Cangklong. Perempuan itu berteriak-teriak
ketakutan bercampur marah.

“Lepaskan aku! Lepaskaaaan...!”

“Bajingan keparat! Lepaskan ibuku, atau kubunuh kalian!”


teriak Layang Seta kalap sambil mengayunkan goloknya.

“Yeaaa...!”

“Budak keparat! Mampuslah kau sekarang!” desis Kimun


geram sambil mengayunkan goloknya.

“Jangan bunuh anakku!” teriak Ningsih cemas.

“Akh...!” Cangklong menjerit ketika tangannya digigit


perempuan itu.

Cekalan tangannya mengendur, dan hal itu dimanfaatkan


oleh perempuan itu untuk melepaskan diri sambil menubruk
anaknya. Namun pada saat yang bersamaan golok Kimun
tak tertahan lagi dan dengan cepat menebas leher
perempuan itu. Ningsih tak sempat menjerit ketika lehernya
nyaris putus.
“Ibu...!” teriak Layang Seta terkejut sambil menubruk tubuh
perempuan itu yang ambruk ke tanah.

“Brengsek kau, Kimun!” dengus Cangklong marah.

“Maaf, Cangklong. Aku tak sengaja....”

“Sudahlah. Bereskan anak celaka ini secepatnya!”

Namun sebelum Kimun bertindak, terdengar bentakan


nyaring yang mengingatkan Layang Seta.

“Layang Seta, cepat tinggalkan tempat ini! Selamatkan


dirimu!”

“Heh?!”

“Yeaaa...!” Pemuda itu terkejut. Dengan tiba-tiba saja tubuh


Suteja melesat ke arahnya dengan maksud melindungi dari
serangan Kimun.

“Hiyaaat...!”

“Cras!”

“Aaaa...!”

“Hei?!” Layang Seta terkejut mendengar jerit kematian


Kepala Desa Kahuripan, karena pada saat tubuhnya
bergerak, tubuh Kolo Menjing pun melesat sambil
menyabetkan golok kepunggung lawan.

“Lari Layang Seta! Larii...!”


“Huh! Mampuslah kau!” geram Cangklong sambil
menyabetkan goloknya ke tubuh Suteja.

Kepala Desa Kahuripan itu cuma mengeluh pendek.


Nyawanya langsung lepas dari tubuh ketika lehernya putus.
Layang Seta semakin bimbang bercampur geram. Namun
ketika saat itu terlihat beberapa orang penduduk desa lari
serabutan menyelamatkan diri, pemuda itu pun ikut-ikutan
walaupun hatinya terasa berat.

“Yeaaa...!”

“Cangklong! Biarkan bocah itu kabur. Bisa berbuat apa dia


dengan kita!” bentak Kolo Menjing melarang ketika anak
buahnya itu hendak melompat mengejar Layang Seta.

“Tapi....”

“Kataku biarkan dia kabur! Sekarang angkut semua barang-


barang yang ada di rumah ini. Kumpulkan semua lalu
berangkat!” potong Kolo Menjing dengan suara keras.

Cangklong tak bisa membantah lagi mendengar perintah


ketuanya itu. Segera dia memerintahkan beberapa orang
kawan-kawannya untuk menguras seluruh harta benda
berharga yang ditinggalkan oleh penduduknya yang tewas
dan melarikan diri.

Dalam sekejapan desa itu terlihat sepi dan rumah-rumah


ambruk dimakan api tak karuan. Gerombolan Golok Setan
telah meninggalkannya sambil mengangkut semua harta
benda penduduk yang berharga.

Sementara itu Layang Seta terus melarikan diri ke mana


saja kakinya melangkah. Hatinya penuh dendam bercampur
cemas karena tak berdaya menolong kedua orangtuanya
yang tewas. Tanpa sadar dia terus berlari kearah gunung.
Barulah ketika kakinya tersandung batu dan tubuhnya
terjerembab, pemuda itu menghentikan langkah sambil
mengeluh kesakitan.

“Hhhh... perampok biadab! Aku bersumpah akan menuntut


balas pada kalian! Akan kucincang tubuh kalian satu
persatu! Terutama kau Cangklong, Kimun, dan Kolo
Menjing!” dengus pemuda itu sambil mendengus dengan
nafas terengah-engah.

Sepasang matanya tampak menatap tajam pada desa


tempat kelahirannya yang kini telah porak poranda. Masih
terlihat asap mengepul perlahan yang kemudian pudar
tersapu angin dan berganti dengan kabut tipis di lereng
gunung ini menghalangi pandangannya. Layang Seta
terduduk pada sebuah akar kayu sambil merenungi
nasibnya yang malang.

“Bapak... ibu... maafkan anakmu yang tak berguna ini.


Ketika kalian masih hidup aku jarang membantu, dan
sampai ajal kalian di ujung mata bahkan aku tak mampu
membantu juga. Tapi percayalah, aku melarikan diri bukan
karena pengecut. Kalau aku mati siapa kelak yang akan
membalaskan sakit hati kalian?” ucap pemuda itu pada
dirinya sendiri dengan nada sendu.

Tanpa terasa air matanya merembang dikelopak mata.


Pandangannya mengabur, dan satu persatu setitik air
bening meluncur dari kedua belah pipinya. Lama sekali
pemuda itu menundukkan kepala ketika hawa dingin mulai
terasa merasuk tulang sumsum. Dia mengangkat wajah dan
melihat suatu benda yang berada tak jauh didekatnya.
Mulanya pemuda itu sama sekali tak tertarik, namun benda
itu seperti membetot sukmanya agar mendekat.

“Benda apa itu?” tanya batinnya ragu sambil mendekat.


Dengan hati-hati dia mengamati. Sepasang alisnya berkerut
ketika mengetahui bahwa benda itu adalah sebilah keris
yang tertancap separuh ke dalam tanah dengan gagang di
atas.

“Sebilah keris? Kepunyaan siapakah ini? Tampaknya sudah


tua dan tak terurus. Keadaannya pun telah hampir keropos,”
ujar Layang Seta sambil mencabut senjata itu dari tanah.

Diamat-amatinya barang sesaat. Kiranya di batang keris


yang telanjang itu terdapat beberapa baris kalimat pada tiap
sisinya. Namun belum lagi Layang Seta membaca dan
meresapi, tiba-tiba terjadi suatu perubahan didalam
tubuhnya. Wajah pemuda itu berkerut seperti menahan rasa
sakit.

“Astaga! Kenapa tubuhku tiba-tiba terasa panas?!” desis


pemuda itu sambil merintih-rintih kesakitan.

Layang Seta berusaha membuka baju sambil mengipas-


ngipaskan ke tubuhnya. Namun pemuda itu kaget sendiri
ketika dia berusaha melepaskan keris di tangan kanannya
untuk dipindahkan ke tangan kiri. Batang keris itu seperti
menyatu dengan telapak tangannya.

“Lho, kenapa ini? Apa yang terjadi dengan keris ini? Uuuh...!”

Dicobanya berkali-kali, namun tetap saja batang keris itu


seperti tak mau lepas dari telapak tangannya. Jangankan
lepas, untuk membuka genggamannya saja dia merasa tak
mampu.

Layang Seta berusaha menancapkan keris itu kembali


ketempat semula dengan harapan bahwa senjata itu akan
terlepas dari genggamannya. Tapi hal itu tak berhasil juga.
Sementara rasa panas di tubuhnya semakin menjadi-jadi
dan tak tertahankan lagi olehnya. Pemuda itu menjerit-jerit
kesakitan sambil berteriak-teriak bingung. Dia berlarian ke
sana ke mari untuk mencari air.

“Tolooong...! Tolooong...!”

Namun belum lagi dia berlari jauh rasa sakit yang hebat
membuat sekujur tubuhnya tak tertahankan lagi. Layang
Seta menggelepar-gelepar sambil terus berteriak-teriak.
Tiba-tiba saja keanehan terjadi pada dirinya. Kulit tubuhnya
di berbagai tempat tiba-tiba menggembung sebesar jempol
kaki, yang makin lama semakin membesar untuk kemudian
pecah mengeluarkan nanah dan darah.

“Aaaakh...!” Layang Seta terus menjerit-jerit sambil


berguling-gulingan ditanah. Keris ditangannya yang tetap
tak mau lepas ditancapkannya ke mana-mana namun tak
kunjung juga mau terlepas. Pemuda itu tampak putus asa
dan merasa bahwa-ajalnya hanya sampai disini.

“Tolong...! Tolooong...!” teriaknya tak henti-henti.

Suaranya terasa serak namun rasa sakit itu semakin hebat


menyerang seperti tiada berkurang sedikit pun. Saat itulah
tiba-tiba lewat salah seorang penduduk Desa Kahuripan
yang tadi sempat kabur ketika kerusuhan terjadi didesanya.
Kebetulan orang itu mengenali Layang Seta. Melihat
keadaan pemuda itu dia menjadi heran dan berusaha
mencekal bahu Layang Seta untuk menyadarkannya.

“Layang Seta! Kenapa kau?!”

“Aaaaakh...!”

“Layang Seta, sadarlah! Astaga, apa yang terjadi padamu?


Kenapa kulit tubuhmu seperti melepuh begini?!” sentak
orang itu kaget.

“Pergi! Pergiii...!”

“Layang Seta, aku Pak Kromo....” jelas orang itu sambil


mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.

“Aaa...!”

“Blesss!”

“Akh...!”

Layang Seta terus memberontak dari cengkeraman laki-laki


berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Pada dasarnya dia ingin
melepaskan diri dari keris yang terus melekat di telapak
tangannya. Juga dalam keadaan seperti itu kesadarannya
telah hilang sejak tadi. Nalurinya cuma terpaku pada satu
tujuan, maka ketika merasakan dirinya terganggu oleh
guncangan laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Pak
Kromo, Layang Seta sudah langsung menghunjamkan keris
itu ke perut Pak Kromo.

Laki-laki itu terpekik kesakitan, dan berusaha melepaskan


diri. Tapi keris di tangan Layang Seta yang nyaris
menembus pinggang belakangnya tak mau lepas. Bahkan
terjadi keanehan yang amat mengerikan. Pak Kromo
menjerit kesakitan dengan suara melengking. Tubuhnya
perlahan pucat dengan kulit tubuh keriput. Darahnya seperti
terhisap ke dalam keris itu.

Layang Seta bukannya tak menyadari hal itu. Tapi rasa


sakitnya perlahan-lahan berkurang ketika dari gagang keris
itu seperti mengalir suatu hawa sejuk yang membuat
pembuluh darahnya mengalir dengan lancar. Keanehan lain
pun terjadi. Perlahan-lahan gelembung-gelembung berisi
nanah dan darah di tubuhnya mengempis.

Sedangkan yang tadi sempat pecah perlahan-lahan lukanya


mengecil dan kemudian hilang sama sekali. Layang Seta
terkejut serta terpana beberapa saat kemudian sambil
memperhatikan sesosok tubuh yang ambruk di depannya.

“Pak Kromo...!” desisnya heran. Tubuh laki-laki di depannya


itu kering keriput dengan kulit pucat. Darahnya seperti
terhisap habis. Sepasang alis Layang Seta berkerut. Samar-
samar dia menyadari bahwa hal itu terjadi karena
perbuatannya. Dipandanginya keris yang menjadi
malapetaka itu.

“Hmmm... agaknya keris inilah yang menjadi malapetaka.


Keris apakah ini? Agaknya keris ini bukan sembarang keris.
Hei?! Aku lupa, tulisan apa yang tertera dibadan keris ini,”
gumam Layang Seta sambil memperhatikan batang keris
itu.

Lama dia mengamat-amati dengan seksama sambil


memeras otak. Kemudian sambil tersenyum kecil dia mulai
menduga.
“Hmmm... di keris ini tertera tulisan unik, Kyai Pugel. Apa
artinya? Apakah itu nama si pemilik keris ini ataukah nama
keris ini sendiri? Ah, tapi aku yakin bahwa itu adalah nama
keris ini. Kalau begitu nama keris ini Kyai Pugel. Tapi tiga
baris tulisan yang lainnya seperti perintah tentang ilmu silat.
Akan kucoba!”

Layang Seta mulai mengikuti gerakan-gerakan yang


diperintah oleh tulisan yang berada di batang keris itu. Mula-
mula memang terasa susah. Selain tulisan-tulisan itu sulit
dicerna, itu pun menggunakan kata-kata sandi. Tapi ada
keanehan lain yang dirasakannya. Tubuhnya terasa enteng
dan gerakannya seperti orang yang sudah bertahun-tahun
saja belajar ilmu silat.

Tapi bukan hanya karena pengaruh keris itu sendiri, tetapi


Layang Seta memang seorang pemuda yang berotak
cerdas. Perlahan-lahan dia mengerti isi tulisan itu
seluruhnya.

“Hmmm... kalau tak salah memang betul tulisan ini


pelajaran tentang ilmu silat. Tapi hanya tiga jurus. Apakah
ini akan menjadi hebat? Rasanya terlalu sedikit,” gumamnya
putus asa.

Pemuda itu seperti melupakan peristiwa yang baru saja


terjadi. Pikirannya mulai dibelenggu oleh kehebatan serta
keunikan keris yang ditemukannya itu. Dia yakin betul
bahwa keris itu bertuah. Dan otaknya cerdas cepat
menangkap sesuatu yang ganjil.

Pada saat tubuhnya kesakitan akibat pengaruh keris itu


yang tak mau terlepas dari genggaman, tapi ketika keris itu
meminta korban rasa sakit itu perlahan-lahan hilang.
Bahkan tubuhnya terasa lebih segar dari semula, dan
gagang keris itu begitu mudah lepas dari genggamannya.

“Apapun yang terjadi aku tak akan melepaskan keris ini.


Dendamku harus terbalas! Aku tak peduli dengan sifat jahat
keris ini. Siapa yang peduli kalau aku mengalami
kesusahan? Siapa yang akan membantu? Hmm.... Kalau
bukan dengan tanganku sendiri, tak mungkin ada orang lain
yang sudi menolong. Rasakan nanti pembalasanku hai
orang-orang Golok Setan!” dengus Layang Seta sambil
berteriak-teriak penuh kemarahan dan dendam.

Begitulah kemudian. Selama berhari-hari Layang Seta


berlatih dengan semangat tinggi dan tanpa kenal lelah. Ilmu
silat yang tertulis di batang keris itu telah dikuasainya
dengan baik dan mantap. Tapi bukan berarti dia bisa lepas
begitu saja dari pengaruh jahat keris itu karena sewaktu-
waktu tubuhnya kembali terasa sakit luar biasa yang
kemudian disusul dengan timbulnya gelembung-gelembung
berisi nanah dan darah.

Kalau sudah begitu dia akan kalang kabut mencari korban.


Barulah setelah keris itu mendapatkan korbannya, tubuh
Layang Seta kembali normal, dan keanehan lain pun
menyusul. Tubuhnya terasa segar dan tenaganya seperti
berlipat ganda.

Dalam waktu singkat saja kegemparan melanda dimana-


mana. Seorang tokoh misterius yang berkepandaian tinggi
selalu mencari korban tanpa pilih bulu, dan korbannya selalu
tewas dalam keadaan yang mengerikan. Pernah beberapa
orang yang berkepandaian lumayan mencoba menghadang
dan bermaksud membunuh tokoh yang selalu mengenakan
selubung hitam dari kepala hingga kaki itu, namun mereka
semua tewas di tangannya.

Beberapa orang yang selamat kemudian melarikan diri dan


menyebarkan cerita itu. Tak pelak lagi, banyak orang yang
mencari tokoh misterius itu untuk diminta
pertanggungjawabannya.

********************

TIGA

Pemuda tampan berambut terurai itu agak terkejut melihat


kerumunan orang didepannya saat dia baru saja memasuki
mulut sebuah desa. Sepasang alisnya berkerut, dan dengan
mengintip dia mencoba melihat apa yang membuat orang-
orang itu berkerumun.

“Biadab!”

Terdengar makian berkali-kali. Semua orang menunjukkan


wajah geram. Pemuda berompi putih itu terkejut sekali
melihat pemandangan di depan matanya. Seorang pemuda
tampak terkapar dengan tubuh keriput. Kulitnya pucat
seperti darahnya terhisap habis. Pada bagian perut tampak
sebuah luka kecil seperti bekas tusukan senjata tajam.

“Siapa orang itu. Pak?” tanyanya pada seorang laki-laki


setengah baya yang berdiri di sebelahnya.

“Si Gendon, jagoan desa ini.”

“Hmm... kenapa dia sampai begitu?”


“Pasti menjadi korban orang misterius itu!”

“Orang misterius?” Pemuda berompi putih yang tak lain dari


Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti itu semakin heran.

Laki-laki setengah baya itu memperhatikan wajah Rangga


sekilas. “Hmm... agaknya kisanak orang baru di sini,”
katanya menduga.

Rangga mengangguk. “Siapa orang misterius itu?”

“Orang yang suka membunuh korbannya dengan cara keji!”

“Cara keji? Cara keji bagaimana?”

“Dia menghisap darah korbannya sampai habis!”

“Menghisap darah korban?” Rangga semakin heran saja


mendengar cerita laki-laki itu.

“Maksud bapak orang itu seperti drakula?”

“Entahlah, mungkin seperti itu. Tapi belakangan ini telah


banyak orang yang menjadi korbannya.”

“Di mana orang itu bertempat tinggal?”

“Tak seorang pun yang mengetahuinya. Dia datang dan


pergi tanpa ada yang mengetahuinya. Khabarnya
kepandaian orang itu hebat tiada tara. Tak seorang pun
yang bisa menghalanginya.”

Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita


laki-laki itu. “Siapa saja yang menjadi korbannya?”
“Orang itu tak pernah pilih-pilih korban. Siapa pun akan
dibunuh jika tak disukainya.”

“Hmm... apakah sebelumnya dia bermusuhan dengan


pemuda bernama Gendon itu?”

“Entahlah. Tapi menurut beberapa orang. Gendon pernah


bermusuhan dengan salah seorang tokoh persilatan dari
Timur. Tapi semua orang yakin bahwa si pembunuh bukan
musuhnya itu melainkan tokoh misterius yang sampai saat
ini tak seorang pun mengetahuinya,” jelas laki-laki itu.

Rangga kembali menganggukkan kepala. Sementara itu


satu persatu orang yang berkumpul di situ bubar ketika
tubuh pemuda itu telah digotong oleh sanak familinya.
Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti berjalan pelan
memasuki sebuah kedai. Pandangannya menyapu sekilas
orang-orang yang berada di kedai itu. Tak terlalu ramai,
hanya ada sekitar sepuluh orang. Namun di antaranya
terlihat mereka yang agaknya berasal dari orang-orang
persilatan.

“Hmm... kalau ketemu dengan orang itu akan kupatahkan


batang lehernya!” kata seorang laki-laki bertubuh gemuk
pendek dengan wajah geram.

“Kalau aku akan kucincang dia sampai tak berbentuk.


Kemudian dagingnya akan kubagikan pada anjing-anjing
kurap!” timpal kawannya yang bertubuh kurus sambil
mendengus.

“Khabarnya dia berkepandaian tinggi!” cetus orang ketiga


yang matanya seperti orang mengantuk.
“Apakah kau takut padanya, Wliyeng?!” tanya si gemuk
pendek sinis.

“Jangan seenaknya kau berkata, Palangkan! Biarpun


kepandaianku tak seberapa tapi dia telah membunuh
adikku. Meski ilmunya seperti setan jangan harap aku takut
padanya!” geram si mata ngantuk yang dipanggil Wliyeng.

“He-he-he...! Jangan-jangan nanti kau akan dibuat seperti


mayat hidup!” ejek si tubuh kurus.

“Sial kau, Wongko! Apa kau punya nyali berhadapan


dengannya?!” balas Wliyeng kesal.

“Hmm... siapa yang tak punya nyali bertemu denganku?


Kalau dia berani muncul akan kupecahkan batok
kepalanya!” sahut Wongko dengan nada sombong.

“Buktinya sampai saat ini dia tak berani berhadapan


denganku. Dia cuma berani dengan orang-orang lemah!”
sambung Palangkan.

Ketiga orang itu terkekeh-kekeh sambil menenggak


bumbung arak di tangannya.

“Tikus-tikus buduk memang selalu banyak bacot. Tapi bila


sudah bertemu dengan harimau mereka akan langsung lari
terbirit-birit!”

“Hei?!” Ketiga orang itu langsung menoleh ketika terdengar


suatu suara menyindir.

Seorang gadis berwajah cantik acuh tak acuh mengunyah


makanan di mejanya. Di pinggangnya tampak terselip
sebatang pedang pendek. Melihat dari caranya berpakaian
pastilah dia bukan gadis sembarangan. Paling tidak gadis
itu mengerti sedikit ilmu silat.

Palangkan yang lekas naik darah langsung menghampiri ke


mejanya. Sambil bertolak pinggang dengan mata melotot
dia menghardik gadis itu.

“Nisanak, siapa yang kau maksud dengan tikus buduk?!”

“Hmm... siapa lagi kalau bukan orang-orang yang banyak


bacot,” sahut gadis itu masih tetap tak acuh dan tak
menoleh sedikit pun kearah laki-laki berperawakan gemuk
pendek itu.

“Nisanak, hati-hati dengan ucapanmu. Lidah memang tak


bertulang tapi kalau kau bermaksud menghina orang,
tanganku pun tak bermata untuk menamparmu!”

“He-he-he...! Lucu. Kenapa kau musti marah, dan kenapa


pula aku harus takut padamu. Bahkan aku kasihan melihat
tampangmu yang rusak begitu,” ejek si gadis sambil
terkekeh kecil.

“Kurang ajar!”

“Brak!”

Meja didepan gadis itu hancur berantakan dihantam


Palangkan. Tapi jangankan terkejut, gadis itu seperti tak
bereaksi dan tetap duduk di bangkunya semula.

“Kisanak, kalau kau bermaksud memukul orang, pukullah


pada orang yang mampu melawan. Kalau kau menghajar
meja ini sama artinya kau menunjukkan kepengecutanmu,”
ujar gadis itu dengan nada menusuk.

“Hmm... kulihat kau membawa-bawa pedang, pastilah


sedikit banyak kau mengenal ilmu silat. Nah, keluarlah.
Kuberi kesempatan tiga jurus untuk menyerangku sebelum
mukamu kutampar!” dengus Palangkan semakin gusar saja.

“Kenapa musti keluar? Apakah kau takut menghadapiku di


sini? Kalau memang kau takut, tak apa. Aku memang
maklum, orang yang banyak omong biasanya berjiwa
pengecut.”

“Kurang ajar!” maki Palangkan sambil melayangkan tangan


kewajah gadis itu.

Tapi dengan sedikit memiringkan kepala, tamparan


Palangkan lewat beberapa jari dari wajahnya. Kaki gadis itu
dengan cepat terayun menghantam tulang kering laki-laki
gemuk pendek itu.

“Tak!”

“Akh...!” Palangkan menjerit keras ketika sebelah kakinya


terasa ngilu dan nyeri.

“Hi-hi-hi...! Baru punya kepandaian setahi kuku sudah mau


sok jago! Sebaiknya kau berguru sepuluh tahun lagi baru
boleh pentang bacot lebar-lebar!” ejek gadis itu.

“Sial!” maki Palangkan geram. Sambil mendengus sinis dia


kembali mengayunkan kepalan tangan. Kali ini tak
tanggung-tanggung dia mengerahkan seperempat tenaga
dalamnya dengan sikap berjaga-jaga terhadap serangan
yang akan dilancarkan gadis itu. Paling tidak kali ini gadis
itu akan terluka, pikirnya dihati.

“Hiyaaat...!”

“Uts! Tidak kena, tikus busuk!”

“Haram jadah!”

“Yeaaa...!”

“Brak!”

Bangku yang diduduki gadis itu hancur berantakan ketika


kaki Palangkan terayun menghantam bagian bawah tubuh
gadis itu. Pada serangan pertama dilihatnya gadis itu masih
tetap tenang mengelak tanpa merubah posisi duduknya.
Tentu saja hal itu semakin membuat geram Palangkan.
Tanpa berpikir panjang lagi dia menyerang gadis itu habis-
habisan.

“Palangkan, bagaimana mungkin kau bisa menghadapi


lawan yang lebih tangguh bila menghadapi anak ingusan itu
saja kau dibuat kelabakan!” teriak sobatnya yang bernama
Wliyeng sambil tertawa kecil.

“Diam kau Wliyeng! Kalau perlu mulutmu pun akan kurobek!”


bentak Palangkan garang.

“He-he-he...! Palangkan, kenapa kau musti marah-marah


begitu? Benar apa yang dikatakan Wliyeng, bagaimana kau
bisa menghadapi orang misterius itu kalau menghadapi
perempuan lemah seperti dia saja kau tak mampu!” sahut
Wongko menimpali.

“Keparat kalian! Setelah gadis ini kuhajar kalian pun akan


mendapat giliran nantinya!” geram Palangkan semakin
memuncak.

“Lagakmu seperti yakin saja bisa menghajarku. Meski kalian


bertiga belum tentu mampu. Boleh coba kalau ingin kujitak
satu persatu!” dengus gadis itu sinis.

“Hei?!” Wliyeng dan Wongko tersinggung mendengar


ucapan gadis itu. Sejenak mereka saling berpandangan
sebelum Wongko bangkit dengan sikap garang.

“Nisanak, kalau kau memang minta dihajar biarlah aku akan


mengabulkan permintaanmu!” katanya sambil melompat
menyerang gadis itu dengan penuh nafsu.

“Huh! Apakah telingamu sudah tuli? Kalian majulah bertiga


biar lebih mudah aku menampar kalian bersamaan!”

“Sial!” dengus Wliyeng mulai ikut-ikutan marah.

“Jangan banyak bacot! Majulah kau juga!” bentak gadis itu.

Mendengar itu bukan main kesalnya Wliyeng. Tanpa


memikirkan rasa malu dia pun ikut-ikutan mengeroyok gadis
itu.

“Kisanak semua, tolonglah jangan berkelahi dikedaiku ini.


Bukankah sebaiknya kalian menyelesaikan urusan diluar
sana? Aduuuuh, hancurlah kedaiku ini!” teriak si pemilik
kedai dengan wajah cemas.
“Pak Tua, tenanglah kau! Ketiga tikus busuk ini pasti dengan
sukarela akan membayar semua kerusakan yang mereka
perbuat!” sahut gadis itu sambil bergerak kesana kemari
dengan lincah bagai orang sedang menari.

“Tapi....”

“Tidak ada tapi-tapian! Kalau mereka tak mau membayarnya


akan kupaksa, mereka. Kalau perlu kedua biji mata mereka
sebagai jaminannya!”

“Gadis liar! Kau pikir bisa berbuat apa pada kami!” sentak
Wongko gusar.

“Bisa berbuat apa katamu? Aku bahkan bisa memotes


kepala kalian dengan mudah!” ejek si gadis.

“Keparat!” geram Palangkan.

“Yeaaa...!”

“Hiyaaaat...!”

“Plak!”

Dalam suatu serangan kilat, Wongko dan Palang kan


berhasil mendesak gadis itu ke sudut ruangan. Sementara
Wliyeng langsung menyodokkan pukulan ke dada lawan.
Tapi dengan gerakan yang tak terduga sebelumnya, tubuh
gadis itu mencelat keatas sambil bersalto beberapa kali
setelah menangkis dua serangan lawan. Dengan gerakan
menyilang kedua kakinya terbuka lebar menghantam
punggung lawan.
“Des! Des!”

“Akh...!” Ketiga orang itu tersungkur dan menghantam


dinding kedai hingga jebol. Belum lagi mereka menguasai
diri, tubuh gadis itu telah menyusul keluar sambil mengirim
serangan susulan.

“Yeaaa...!”

“Begkh!”

“Aaakh...!” Kembali ketiga orang itu terpental beberapa


langkah sambil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Dada dan punggung mereka terasa nyeri. Namun sebagai
orang persilatan mereka cepat kembali bangkit tanpa
mempedulikan rasa sakit. Ketiganya mendengus garang
dan dengan cepat mencabut senjata. Tapi alangkah
herannya mereka ketika senjata-senjata itu telah hilang dari
tempatnya.

“Apakah kalian mencari ini?” tanya si gadis sambil


mengacungkan dua buah golok dan sepasang trisula.

Ketiganya saling berpandangan sejenak. Kalau saja gadis


itu mampu berbuat demikian tanpa disadari sedikit pun,
tentulah dia bukan orang sembarangan, pikir mereka. Tak
mudah mengambil senjata lawan tanpa diketahui kalau
orang itu tidak memiliki kecepatan yang hebat.

“Apakah sekarang kalian masih ngotot juga?! Atau ingin


kugebuk sekali lagi?!” bentak gadis itu garang ketika
memperhatikan wajah ketiganya yang loyo.

“Maaf Nisanak, kami tak tahu kalau kau murid seorang yang
sakti. Maafkanlah atas segala kelancangan kami....” sahut
mereka yang diwakili Wliyeng dengan nada lirih.

Gadis itu cuma mendengus sinis sambil melempar senjata


mereka kembali. Dia sendiri kemudian membalikkan tubuh
dan melangkah ke dalam kedai sambil berkata dengan
suara di hidung.

“Kalian ganti kerusakan itu semuanya!”

Pendekar Rajawali Sakti yang melihat kelakuan gadis itu


cuma tersenyum kecil. Diliriknya gadis itu sekilas, kemudian
kembali meneruskan santapannya yang tertunda karena
menonton pertunjukan gratis tadi. Gadis itu pun sempat
menoleh kepadanya ketika mencari meja lain yang kosong.
Tapi kemudian cepat mengalihkan perhatian sambil
memesan hidangan baru pada pemilik kedai. Tampaknya
angkuh sekali wajahnya.

Sementara itu dengan langkah tertatih-tatih ketiga orang


tadi masuk ke dalam kedai dan mengganti kerusakan akibat
perkelahian mereka. Kemudian mereka buru-buru
meninggalkan tempat itu sambil melirik sekilas pada gadis
itu. Si gadis sendiri pura-pura acuh sambil membuang
pandang ke lain tempat.

Tanpa sadar Rangga menggelengkan kepala sambil


tersenyum-senyum kecil. Gadis itu memang cantik, namun
raut wajahnya tampak galak. Padahal usianya kalau ditaksir
belum ada tujuh belas tahun. Tapi lagaknya seperti orang
dewasa saja.

“Kenapa kau tersenyum?! Apa kau ingin kuhajar seperti


mereka?!”
“Hei?!”

“Huh! Berpura-pura bodoh!” dengus gadis itu.

Rangga kembali tersenyum sambil menggaruk-garuk


kepalanya yang tak gatal. Gadis itu memang berada di meja
sebelahnya, dan tak terpikir sedikit pun olehnya bahwa
gadis itu sempat memperhatikannya tersenyum-senyum.

“Nisanak, siapa orang yang kau ajak bicara? Apakah aku?”


tanya Rangga berlagak pilon.

Gadis itu cuma mendengus sinis.

“Hmm... maaf, aku sama sekali tak tahu kalau kau


mengajak bicara padaku.”

“Pemuda ceriwis seperti kau memang patut dihajar!”

Dengan tiba-tiba gadis itu menyentil cangkir di mejanya ke


arahnya Rangga. Sentilan itu kelihatannya biasa saja,
namun sesungguhnya hal itu dilakukan dengan pengerahan
tenaga dalam hebat karena dengan tiba-tiba benda itu
melesat cepat kearah Pendekar Rajawali Sakti.

“Set!”

Rangga menyambutnya dengan jari telunjuk yang


diacungkan pada bagian bawah cangkir itu hingga berputar
sesaat sebelum kembali pada pemiliknya. “Nisanak, maaf
aku menolak kebaikanmu. Aku sendiri masih memiliki uang
untuk membeli minuman ini!”
“Paling tidak untuk mencuci tampangmu yang
memuakkan!” balas si gadis sambil menyorongkan telapak
tangannya sebelum cangkir itu kembali menghantam
dirinya.

“Ah, kata siapa tampangku memuakkan? Buktinya masih


ada orang sudi mengajakku bercanda bahkan berbaik hati
menawarkan minuman. Tapi sekali lagi maaf, aku betul-
betul sulit menerima kebaikanmu, karena aku sendiri masih
mempunyai minuman yang berlebih,” sahut si Pendekar
Rajawali.

Cangkir yang dilemparkannya tadi dengan mudah dihalau


gadis itu dengan pukulan jarak jauh. Sungguh hebat
pukulannya karena isi cangkir itu sama sekali tak
tertumpah. Tapi Rangga membalasnya dengan satu
kebutan ringan seperti tangannya mengusir lalat. Cangkir itu
kembali melayang kearah pemiliknya. Bersamaan dengan
itu sebuah cangkir yang berada dimeja Rangga ikut
melayang pula dibelakang cangkir pertama tadi dengan
kecepatan tinggi.

Agaknya gadis itu kali ini betul-betul naik darah. Dengan


gemas dia bangkit dan bermaksud menghajar kedua
cangkir itu dengan sekali pukul. Tapi sebelum hal itu terjadi,
terdengar suara pelan dari arah samping.

“Hmm... sayang sekali kalau kedua cangkir itu hancur. Tentu


si pemilik kedai akan semakin rugi. Kalau begitu biarlah
kusimpan baik-baik!”

Tiba-tiba kedua cangkir itu melesat kesatu arah. Tapi


sebelum terlanjur jauh. Rangga telah menyela sambil
melambaikan tangan kirinya.
“Maaf Kisanak, sebuah cangkir itu bukan kutujukan
padamu!” katanya santai.

Bukan hanya sebuah cangkir saja yang terhenti, namun


kedua cangkir itu seperti mengapung diantara meja-meja di
dalam kedai itu. Semua mata yang menyaksikan hal itu
sama-sama takjub. Kalau tadi mereka dibuat takjub dengan
cangkir-cangkir yang melayang, kini kejadiannya lebih ajaib
lagi. Sebentar cangkir itu bergeser ke kiri, sebentar lagi ke
kanan. Tapi kemudian diam di tempatnya semula ketika
seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun tertawa
terkekeh-kekeh.

“Agaknya kau betul-betul tak rela berbaik hati padaku. Kalau


begitu biarlah aku mengalah,” katanya.

Rangga merasakan tarikan tenaga dalam orang itu


mengendur, tapi tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pemuda
itu memutar pergelangan tangannya sedikit. Tenaga
tarikannya semakin keras menyentak. Cangkir itu sempat
bergeser tiga jengkal ke arahnya. Tentu saja Rangga tak
mau membiarkan hal itu begitu saja. Dia pun langsung
menekan dan mengempos tenaganya lebih kuat. Cangkir itu
kembali bergeser perlahan-lahan.

Tarik menarik antara keduanya terus berlangsung beberapa


saat sampai kemudian berakhir ketika kedua cangkir itu
hancur berantakan.

“Praaaak!”

EMPAT
Gadis yang tadi membentak pada Rangga cuma
mendengus sinis dengan sikap merendahkan. “Hmm... baru
punya kepandaian rendah saja sombongnya bukan main.
Segala mainan anak kecil dipamerkan!”

“Ha-ha-ha...! Nisanak, kalau kau memang tak suka kenapa


memulainya lebih dulu?” tanya pemuda bertubuh sedang
dengan sikap mengejek.

Gadis itu mendengus sinis. Sepasang matanya yang bulat


dan indah tampak menyipit seperti menyatakan ketidak-
sukaannya pada pemuda yang dianggapnya memuakkan
itu.

“Bocah, jangan sembarangan kau bicara! Jangankan cuma


kau, bapak moyangmu sendiri tak berani bicara begitu
padaku!”

“Kenapa musti bawa-bawa bapak moyangku segala?


Apakah kau takut bila menamparku sendiri?”

“Huh?! Keluar kau!” bentak gadis itu sambil mencabut


pedang pendeknya dan berjalan gusar keluar kedai itu.

Tapi pemuda itu tampaknya masih tenang-tenang saja


menenggak bumbung arak di hadapannya. Sepertinya dia
pura-pura tak tahu bahwa gadis itu tengah menantangnya.

Rangga sendiri yang melihat bahwa kemarahan gadis itu


telah tertumpah pada orang lain, tak lagi mau ikut campur
selain cengar-cengir sambil menggelengkan kepala.

“Dasar gadis bandel keras kepala. Seorang saja berkawan


dengan orang sepertinya bisa pusing kepala....” kata
Pendekar Rajawali Sakti pelan.

“Keluar kau bocah! Atau musti kuseret?!” bentak gadis itu


dari luar kedai.

“Siapa yang perlu denganku dialah yang musti


menghampiriku. Karena kau yang perlu maka kaulah yang
semestinya mendatangiku kesini,” sahut pemuda yang
tampangnya lumayan tampan itu tak peduli.

“Kurang ajar!” maki gadis itu. Dengan langkah ringan dan


wajah gusar dia kembali masuk ke dalam kedai dan
menghampiri pemuda itu. kemudian menudingkan ujung
pedangnya ke leher si pemuda.

“Sekali kutekan pedang ini lehermu akan putus!” dengus


gadis itu semakin kesal karena pemuda itu sama sekali tak
memberikan reaksi.

“Tentu saja kalau aku tak menghindar.”

“Keparat!”

“Uts!”

“Yeaaa...!”

Dengan geram gadis itu menarik pedangnya dan kembali


mengayunkannya dengan cepat ke leher pemuda itu. Tapi
pemuda yang berpakaian merah itu memiringkan sedikit
kepalanya. Pedang si gadis lewat beberapa mili dari
lehernya. Melihat serangannya luput, gadis itu cepat
mengirim satu tendangan keras. Tapi tubuh pemuda itu
telah melesat ke belakang dan dengan jungkir balik dia telah
berada di luar kedai itu.

“Nisanak, kalau kau bermaksud bermain-main denganku,


apa boleh buat. Mana bisa aku menolak permintaan gadis
secantikmu!” kata pemuda itu sambil terkekeh-kekeh.

“Huh!” Gadis itu cuma mendengus sinis sambil terus


mencelat keluar dengan satu serangan hebat. Pertarungan
antara keduanya tak bisa dihindari lagi. Bedanya kali ini
gadis itu betul-betul kalap dan bermaksud menghajar
lawannya sampai babak belur. Sebaliknya pemuda itu hanya
menghindar dan sedikit pun belum membalas serangan si
gadis. Namun walaupun demikian terlihat bahwa gadis itu
tak mampu mendesak lawannya. Bahkan pemuda itu sekali-
kali mempermainkannya dengan sikap pura-pura akan
membalas serangan lawan.

Pendekar Rajawali Sakti melihat pertarungan itu sudah bisa


menduga. Kalau saja pemuda itu bermaksud mencelakai
lawan tentu dengan mudah gadis itu akan dihajarnya.
Kepandaian gadis itu tampak terpaut jauh. Tapi pemuda itu
sendiri agaknya senang sekali mempermainkan lawan.
Bahkan walau diserang dengan bertubi-tubi, dia masih
mampu mencolek tubuh gadis itu sambil terkekeh-kekeh.

Tentu saja hal itu semakin membuat si gadis geram bukan


main. Dia langsung mengerahkan segenap kepandaiannya
untuk menghajar pemuda itu. Gerakannya semakin gesit
seperti burung walet terbang, dan ujung pedangnya
menyambar-nyambar dengan ganas. Sedikit saja lawan
lengah tentu tubuhnya akan terpotong-potong menjadi
beberapa bagian.

“Pemuda sialan! Apakah kebisaanmu cuma menghindar


saja? Ayo, balaslah seranganku!” bentak gadis itu semakin
berang.

“Kenapa aku harus membalas? Bukankah kita sedang


bermain-main sambil bersenang-senang? Kaulah yang boleh
menyerangku habis-habisan sepuas hatimu,” sahut si
pemuda santai.

“Huh! Jangan salahkan kalau kau sampai mampus


ditanganku!” dengus gadis itu garang.

“Hmm... cobalah kalau kau bisa. Asalkan nanti ada


imbalannya buatku. Paling tidak kau mau mengawaniku
tidur bersama.”

“Cuih! Tutup mulut kotormu itu!”

“Ha-ha-ha...!”

“Hiyaaaat...!”

“Uts!”

Pertarungan mereka kembali berjalan hingga telah


menghabiskan beberapa jurus. Namun sampai sejauh itu si
gadis belum juga mampu menghajar lawannya. Gerakan
pemuda itu sungguh ringan dan sulit diterka. Padahal bila
dilihat dia santai-santai saja menghadapi gadis itu. Bahkan
tampak seperti menghadapi orang yang sedang belajar ilmu
silat saja.

Sementara itu beberapa orang yang lalu lalang dan


pengunjung kedai itu keluar memperhatikan pertarungan
tersebut. Sebagian malah bersorak-sorak gembira
kegirangan. Tontonan itu betul-betul mengasyikkan. Karena
gadis itu menyerang habis-habisan dengan penuh nafsu dan
memaki-maki tak karuan, sebaliknya si pemuda santai saja
sambil sesekali terkekeh ketika berhasil mencolek beberapa
bagian tubuh lawan.

“Kali ini gadis itu kena batunya!” ujar salah seorang.

“Biar dia rasakan! Gadis galak yang sombong. Dia pikir


kepandaiannya tiada yang menandingi!” sahut salah
seorang kawannya.

“He-he-he...! Hajar terus!”

“Sudah, Bang! Kepit terus!”

Bukan main meledaknya amarah gadis itu mendengar


teriakan-teriakan orang-orang yang menyaksikan
pertarungan mereka. Saking kesalnya karena tak mampu
berbuat apa-apa, gadis itu merah wajahnya dan terlihat
kelopak matanya mulai merembang. Baru kali ini dia merasa
dipermalukan di depan orang banyak.

“Minggir! Minggiiir...!”

“Awasss...!”

Pada saat itu melintas rombongan prajurit kerajaan yang


berkuda sambil mengiringi sebuah kereta yang tampak
indah. Semua orang-orang langsung menyingkir sambil
membungkukkan tubuh. Perkelahian itu sendiri terhenti. Dan
si gadis buru-buru meninggalkan tempat itu tanpa
mempedulikan keadaan. Melihat keramaian itu Rangga
buru-buru keluar. Dan bertanya pada salah seorang yang
berada di sebelahnya.

“Siapa orang yang berada dalam kereta itu, Kisanak?”

“Oh, itu Putri Raja. Kau harus membungkukkan badan untuk


memberi hormat padanya.”

Rangga cuma sedikit membungkukkan badan ketika kereta


itu melintas di depan kedai. Namun sepasang matanya
menengadah dan mencoba menembus tirai yang
menyelubung isi kereta kencana itu dengan menggunakan
ilmu Tatar Netra.

“Hmm... cantik sekali gadis itu,” gumamnya pelan.

“Kisanak, berani-beraninya kau memandang ke dalam kereta


itu. Cepat tundukkan kepalamu, kalau tidak kau akan
celaka!” ujar laki-laki yang ditanyanya tadi memperingatkan.

Rangga pada dasarnya tak mau mencari persoalan. Buru-


buru dia menundukkan kepala mengikuti apa yang
dikatakan laki-laki itu. Tapi dalam hati dia tak henti-henti
memuji kecantikan gadis yang berada dalam kereta itu.

Rombongan prajurit kerajaan telah berlalu, dan orang-orang


telah bubar meski satu dua orang masih berdiri mematung
sambil memperhatikan rombongan itu yang semakin
menjauh.

“Kalau aku punya kekasih seperti itu, wah beruntung sekali!”


gumam Rangga seperti pada dirinya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melangkah pelan


menuju sebuah rumah penginapan yang bangunannya
bertingkat dua. Kelihatannya besar dan luas sekali. Ruang
depannya penuh ditumbuhi bunga-bunga yang beraneka
macam, serta sebuah kolam kecil yang dipenuhi oleh ikan-
ikan yang berwarna indah. Rumah penginapan itu sendiri
memiliki rumah makan yang banyak dikunjungi orang.
Dibandingkan dengan rumah makan yang dikunjunginya
tadi, rumah makan di sini berkesan lebih mewah.

Rangga tak punya pilihan lagi. Menurut penjelasan beberapa


orang di desa itu, hanya di tempat itulah rumah penginapan
satu-satunya di desa ini, meski harganya memang lumayan
mahal. Pemuda itu bisa memaklumi melihat gedungnya
yang indah dan mewah. Tak terlalu mengherankan bila di
desa ini keadaannya nyaris mirip dengan kota raja. Selain
dekat dengan ibu kota kerajaan, dahulunya desa inilah yang
pernah dijadikan ibukota kerajaan sebelum digantikan oleh
pemerintahan yang baru.

Pendekar Rajawali Sakti melirik sekilas. Dilihatnya pemuda


yang tadi sedang bertarung dengan gadis di kedai itu akan
bermalam pula di sini. Dua orang perempuan yang berbedak
tebal serta bergincu merah bergelayutan di kanan kirinya.
Mereka kemudian menghilang di balik sebuah kamar yang
berada ditingkat bawah.

“Hmm... pemuda tampan. Agaknya kau pendatang baru di


tempat ini. Kau pasti butuh kawan bukan?” sapa seorang
perempuan sambil mengusap bahunya dengan sikap genit.

“Heh?!”

“Selain tampan kaupun rupanya pemalu. Tapi jangan takut


nanti pun akan terbiasa....”
“Apakah kau pemilik tempat ini?”

“Bisa dikatakan begitu....”

“Ng... aku bermaksud menginap semalaman.”

“Kenapa tidak? Ikutlah denganku....” sahut gadis itu.

Rangga mengikutinya dari belakang. Gadis itu


mengantarkannya pada seorang laki-laki berperut buncit
dengan sepasang mata sipit. Setelah mengutarakan
maksudnya, laki-laki itu menunjukkan kamar untuknya.
Sementara gadis yang tadi masih terus berjalan di
sebelahnya. Bahkan sampai Rangga telah berada dalam
sebuah kamar, gadis itu seperti tak mau beranjak dari
sisinya.

“Terima kasih. Kalau tak keberatan, aku ingin istirahat


barang sejenak...” katanya bermaksud mengusir gadis itu.

“Kenapa tidak? Istirahatlah, aku akan memijiti tubuhmu. Kau


pasti lelah setelah melakukan perjalanan yang jauh,” sahut
gadis itu sambil memijiti seluruh tubuh Rangga.

Pemuda itu agak risih diperlakukan begitu. Lebih-lebih


ketika dilihatnya gadis itu bertingkah laku genit dan mulai
memamerkan anggota tubuhnya yang terlarang sedikit demi
sedikit.

Rangga mulai salah tingkah. Urat syarafnya menegang


melihat pemandangan itu. Sesaat matanya seperti tak
berkedip ketika gadis itu membuka pakaiannya hingga
terlihat tubuhnya yang mulus menggairahkan tanpa sehelai
benang pun melekat.
“Berbaringlah, aku akan memijiti tubuhmu....” kata gadis itu
lirih sambil merebahkan tubuh Rangga dan melucuti
pakaiannya perlahan-lahan.

“Ng...aku... aku....”

“Sssst! Diamlah, kenapa musti banyak mulut segala?


Apakah kau belum pernah melakukan hal ini sebelumnya?”
ujar gadis itu sambil menempelkan telunjuknya di bibir
Rangga.

“Bukan begitu... maksudku....” Rangga tak mampu


meneruskan ucapannya ketika bibirnya dilumat gadis itu
dengan ketat. Pemuda itu seperti sulit bernafas ketika bibir
kenyal itu terus menghimpit tubuhnya. Otaknya semakin
panas dan aliran darahnya mengalir tak beraturan.

Di luar senja nyaris berlalu ketika angin bertiup sepoi-sepoi


menghanyutkan suasana. Dingin mulai merambat perlahan.
Namun di kamar itu ruangan terasa hangat bercampur
keringat yang membanjir.

Rangga semakin hilang kesadarannya dan hanyut dalam


gejolak nafsu liar dari gadis yang semakin garang saja
mencumbuinya. Gadis itu betul-betul berpengalaman untuk
menghanyutkan pemuda itu ke alam lain yang mampu
sesaat melupakan segala keruwetan pikiran. Namun
sebelum pemuda itu betul-betul hilang kesadarannya,
sekonyong-konyong terdengar pekikan nyaring dalam
sebuah kamar di rumah penginapan itu.

“Hei?!” Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Buru-buru


dia bangkit sambil menyambar bajunya.
“Mau ke mana? Biarkan saja mereka. Paling-paling ada
seorang yang mabuk,” ujar si gadis mencoba menahannya.

“Tidak. Itu bukan orang yang sedang ketakutan, tapi jerit


seseorang yang kesakitan! Aku harus pergi!”

“Tunggu dulu. Kenapa harus buru-buru. Persoalan kita


belum lagi selesai...” kata gadis itu mencoba menahan.

Tapi dalam keadaan kesadarannya pulih seperti sekarang,


Rangga tak mempedulikan rayuan gadis itu segala.
Tubuhnya langsung mencelat ke bawah lewat jendela yang
terbuka.

“Awas, kepalamu akan pecah setibanya di bawah!” seru


gadis itu khawatir.

Buru-buru dia melihat ke bawah lewat jendela itu, namun


sesaat kemudian terlihat gadis itu terpana takjub. Tubuh
pemuda itu dengan ringan melayang dan melesat cepat di
antara kegelapan.

“Astaga, apakah tadi aku sedang berhadapan dengan


setan? Gerakannya ringan seperti kapas. Mustahil manusia
biasa mampu melakukan hal seperti itu!” desis si gadis
heran dengan wajah hampir pucat.

Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan ilmu


Pembeda Gerak dan Suara untuk mempertajam
pendengarannya. Baru saja dia berusaha masuk lewat
jendela ke arah suara yang diyakininya sumber dari jeritan
tadi, ketika sekonyong-konyong berkelebat sesosok
bayangan dari arah dalam mengejar sesuatu bayangan yang
lebih dulu melintas di antara keremangan lampu-lampu
rumah penginapan itu.

“Hei?!” Sesaat Rangga agak bingung. Apa yang terjadi di


dalam kamar itu? Dia melirik sekilas, dan menemukan
sesosok tubuh perempuan dalam keadaan tanpa sehelai
benang pun tergeletak tak bernyawa lagi.

“Astaga! Kulit tubuhnya keriput persis seperti pemuda yang


tadi tewas. Pasti....”

“Itu dia orangnya!”

“Kejar!”

“Jangan biarkan lolos!”

“Sial!” Pendekar Rajawali Sakit belum sempat melanjutkan


dugaannya ketika tiba-tiba sekitar belasan orang menyerbu
ke arahnya dengan senjata terhunus. Beberapa orang
tampak melompat dengan menggunakan ilmu peringan
tubuh yang cukup lumayan. Tak ada waktu bagi dirinya
untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Sudah pasti
mereka menuduhnya sebagai si pembunuh gadis itu. Maka
sambil berteriak nyaring, tubuhnya melesat dari tempat itu
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi.

Para pengejarnya tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan


mereka tak sempat melihat ciri-ciri orang yang mengintip
lewat jendela tadi. Sambil memaki-maki kesal mereka
langsung mengurus mayat perempuan di kamar itu.

Pendekar Rajawali Sakti sendiri kemudian mengejar dua


sosok bayangan yang sempat dilihatnya tadi berlari ke luar
desa. Selang beberapa saat terlihat sesosok bayangan yang
pertama masih terus berlari seperti mengejar sesuatu.
Rangga mengerahkan ilmu Tatar Netra-nya untuk melihat
lebih jelas. Namun tak terlihat sesuatu yang mencurigakan
selain sosok bayangan itu. Sambil menggeram kesal
tubuhnya melayang tinggi dan bersalto beberapa kali
kemudian menjejakkan kaki dihadapan orang itu pada jarak
kira-kira lima tombak.

“Berhenti...!” bentaknya keras.

Sesosok bayangan itu berhenti. Mereka saling


berpandangan sesaat, kemudian terlihat Pendekar Rajawali
Sakti mendengus sinis.

“Huh! Tak sangka gadis secantik kau tega berbuat begitu.”

“Apa maksudmu?!”

“Hmm... kau masih berpura-pura juga setelah melakukan


perbuatanmu yang biadab?”

“Jangan ngaco kau pemuda ceriwis! Kau pikir aku yang


melakukan perbuatan itu? Huh, kalau kau ingin tahu justru
aku sedang mencari bajingan keparat itu!”

“Siapa yang kau cari? Kulihat kau cuma sendirian di sini?”

“Kalau aku sampai tak bertemu dengannya, maka kaulah


yang harus bertanggung jawab atas kematian perempuan
itu!”

“Sial! He, Nisanak. Jangan sembarangan kau bicara! Siapa


yang kau kejar? Kau pikir mataku buta? Tak ada seorang
pun di sekitar sini pada jarak lima belas tombak. Orang yang
kau kejar telah kabur dengan cepat!”

“Itu salahmu! Kalau kau tak menahanku tentu aku telah


berhasil mengejarnya!”

“Huh! Kau pikir kau memiliki kemampuan untuk mengejar


orang itu? Meski gurumu sekalipun belum tentu mampu
mengejarnya. Orang itu memiliki ilmu lari yang cepat,
bahkan sulit untuk dilihat dengan pandangan mata kau
sekalipun!”

Tapi gadis yang memang keras kepala itu tetap


menyalahkan Rangga. Si Pendekar Rajawali Sakti jadi
gemas sendiri. Sejak berada di kedai tadi dia memang
sudah menyadari bahwa selain galak gadis itu memang
keras kepala. Tak ada gunanya dia meladeninya lagi. Maka
tanpa mempedulikannya lagi, Rangga langsung memutar
tubuh dan bermaksud meninggalkan tempat itu.

“Bagus! Kau meninggalkan tanggung jawab begitu saja!”


kata gadis itu sinis.

“Tanggungjawab apa?”

“Tidakkah hatimu tergerak untuk menghajar orang itu? Atau


memang kau orang segolongan dengan si keparat itu?!”

“Kau sendiri untuk apa mengejar-ngejar orang itu? Melihat


kelakuanmu pastilah tak jauh berbeda dengan orang yang
tadi kau kejar,” sahut Rangga mengejek.

“Brengsek! Kau pikir aku orang seperti itu!”


“Hmm... siapa yang tahu hati orang?” sahut Rangga santai
seperti ditujukan pada dirinya sendiri.

LIMA

Rangga dapat merasakan bahwa walaupun terlihat enggan,


tapi gadis itu menguntitnya dari belakang. Dia cuma
mendiamkannya saja sambil tersenyum kecil.

“Kenapa kau malah tak kembali kepelukan perempuan itu?


Bukankah enak dalam suasana dingin seperti malam ini?”

“Apa?!” Rangga menoleh dengan wajah merah.

“Huh!”

Pendekar Rajawali Sakti menggaruk-garuk kepalanya yang


tak gatal. Untunglah saat ini agak gelap hingga terlihat
wajahnya yang bersemu merah tak kelihatan.

“Terserah kau mau bicara apa, tapi aku betul-betul tak


mengerti ke mana arah pembicaraanmu,” sahut Rangga
merasa tak bersalah.

“Huh! Laki-laki memang pandai berpura-pura padahal dalam


hatinya penuh dengan tipu muslihat!”

“Nisanak, kau bukan saudara bukan pula kawanku. Kenapa


kau mencelaku begitu?”

“Siapa yang mencelamu?”

“Itu tadi!”
“Aku cuma berkata laki-laki bukan berarti dirimu saja.”

“Hmm... kalau kau memang tak suka padaku, kau boleh


pergi sesuka hatimu. Kenapa terus menguntitku?” sahut
Rangga kesal.

“Siapa yang menguntitmu? Aku memang bermaksud akan


mengejar si Keparat itu!”

“Kalau begitu biarlah aku mengambil jalan lain,” sahut


Rangga sambil melesat cepat dengan menggunakan ilmu
larinya.

Sebentar saja pemuda itu telah hilang dari pandangan si


gadis yang terpaku takjub beberapa saat lamanya. Tapi
kemudian dia melangkah dengan sikap tak peduli. Namun
baru berjalan kira-kira beberapa tindak, tiba-tiba melesat
dua sosok bayangan yang mencegatnya.

“Ha-ha-ha...! Tak disangka malam-malam dingin seperti ini


akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang kesasar.
Apa gerangan yang membuatnya berwajah sedih begini,
Cangkala?” tanya seorang yang berwajah lebar pada
kawannya yang memikul sebuah tongkat dengan ujungnya
terdapat pengait melengkung seperti arit.

“Pastilah sedang merindukanmu, Cangkring!”

“Ha-ha-ha...! Kau benar, Cangkala. Siapa gadis yang tak


merindukan wajahku yang tampan begini,” sahut Cangkring
sambil tertawa lebar.

“Dua monyet buduk! Minggatlah kalian dari hadapanku.


Melihat tampang kalian saja ingin muntah rasanya!” bentak
gadis itu galak.

“Ha-ha-ha...! Kau dengar Cangkala? Agaknya dia sudah tak


sabar lagi untuk buru-buru jatuh dalam pelukanku!” sahut
Cangkring terkekeh-kekeh.

“Sudahlah. Kenapa kau musti berlama-lama lagi? Mungkin


pun benar dia sudah tak sabaran lagi.”

“He-he-he...! Kau benar, Cangkala! Kau benar!”

“Puiih! Kalau kalian betul-betul tak mau minggat jangan


salahkan kalau Tuan Besarmu mencongkel biji mata kalian
satu persatu!” bentak gadis itu lagi.

Tanpa mempedulikan keadaan lagi, gadis yang hatinya


sedang kesal itu langsung mencabut pedang dan
menyerang kedua orang itu dengan hebat.

“Yeaaa...!”

“Oh, galak sekali! Betul-betul membuat hatiku semakin


bernafsu saja!” sahut Cangkring berseru kaget sambil
menghindari serangan gadis itu dengan mudah.

“Ah, akupun merasakan hal itu, Cangkring. Biarlah kau lebih


dulu bersamanya sementara aku akan menunggu
bagianku!” timpal Cangkala bergerak ringan menghindari
sabetan pedang gadis itu.

Tentu saja ejekan-ejekan itu membuat hati gadis itu


semakin murka saja. Dalam kekalapannya itu dia
menyerang lawan dengan ganas dan ingin secepatnya
menjatuhkan kedua orang yang dianggapnya, bermulut
kotor itu. Namun sampai sejauh itu ujung pedangnya tak
sedikit pun mampu menggores kulit tubuh lawan. Bahkan
dengan gerakan yang cepat tak terduga, tangan-tangan
nakal Cangkala dan Cangkring mencolek bagian-bagian
tubuhnya yang terlarang.

“Amboi! Masih terasa kenyal dan padat. Tentulah dia masih


perawan tulen!” teriak Cangkring kegirangan ketika jari-
jarinya berhasil menyentuh dada gadis itu.

“Bajingan keparat! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian...!” teriak


gadis itu semakin kalap saja.

“Hiyaaat!”

“Uts!”

“Ouw...!” Kembali gadis itu terpekik kaget ketika tangan


Cangkala menepuk pinggul dan meremasnya sambil
mendecah dan menggeleng-gelengkan kepala.

“He-he-he...! Betul-betul perawan tulen. Ayolah, Cangkring.


Kenapa musti berlama-lama segala?”

“Baiklah, baiklah....”

“Hiyaaat...!”

“Uts!”

“Plak! Tuk!”

“Ohh...!”
Dengan gerakan yang cepat tubuh Cangkring melesat cepat
memapaki serangan gadis itu. Kepalanya sedikit tertunduk,
sementara tangan kirinya menangkap pergelangan tangan
lawan yang memegang pedang, kemudian jari-jari tangan
kanannya menotok tubuh gadis itu hingga jatuh lemas tak
berdaya.

“Ha-ha-ha...! Kau pikir bisa berbuat apa pada Iblis Gunung


Kembar? Meski gurumu sekalipun belum tentu mampu
mengalahkan kami,” kata Cangkring sambil melotot lebar.
Tangan kanannya dengan penuh nafsu merayap di tubuh
gadis itu perlahan-lahan.

“Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan! Aku masih


sanggup bertarung seribu jurus lagi denganmu!”

“He-he-he...! Bagus. Simpanlah tenagamu untuk meladeni


kami berdua,” sahut Cangkala sambil terkekeh girang.

Cangkring sendiri tampak tak mempedulikan teriakan-


teriakan gadis itu. Dengan gemas dirobeknya baju gadis itu
hingga bagian dadanya tersingkap jelas. Gadis itu menjerit-
jerit sambil memaki-maki tak karuan.

“Hmm... dada bagus! Dada bagus...!” gumam Cangkring


sambil meremas pelan buah dada yang membusung
dengan bentuk menantang.

Matanya melotot lebar, dan urat-urat syarafnya menegang


kaku. Air liurnya seperti hendak jatuh membayangi hawa
nafsunya yang mulai bergejolak. Begitu juga halnya dengan
Cangkala. Mereka tak lagi mempedulikan gadis itu yang
terus memaki-maki sambil berteriak-teriak.
“Apakah kau akan menontonku di sini, Cangkala? Tunggulah
disana!” perintah Cangkring sambil melepaskan bajunya.

“Baiklah....” sahut Cangkala sambil meninggalkan tempat itu


dan menunggu agak jauh pada jarak sepuluh langkah.

Cangkring sendiri dengan gemas melucuti semua pakaian


gadis itu sambil mendengus dengan nafas memburu.
Kemudian dengan gemas digumulnya gadis itu dengan
penuh nafsu.

Air mala gadis itu sudah meleleh di pipinya. Percuma saja


dia berteriak-teriak memaki, namun tak sedikit pun mampu
menyurutkan nafsu setan laki-laki itu. Bahkan sepertinya
teriakan gadis itu menambah gairah nafsunya semakin
menggebu.

Namun pada saat-saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan


nyaring yang membuat kedua orang itu terkejut, dan
Cangkring terhenti dari niatnya untuk menodai gadis itu.

“Bajingan keparat! Apakah kebisaan kalian cuma


mengganggu gadis-gadis tak berdaya?!”

Di tempat itu telah berdiri gagah seorang pemuda tampan


berambut panjang terurai mengenakan rompi putih. Dari
belakang punggungnya tersembul pedang berhulu kepala
burung. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Rangga alias si
Pendekar Rajawali Sakti.

“Bocah brengsek! Apa kau mau mampus mengganggu


kesenangan Iblis Gunung Kembar?!” bentak Cangkala
garang.
Sementara itu Cangkring buru-buru mengenakan
pakaiannya kembali dan sudah berada di sebelah Cangkala.

“Hmm.... Iblis Gunung Kembar. Pernah kudengar nama itu.


Khabarnya cuma seorang tokoh rendah yang keberaniannya
cuma memperkosa perempuan-perempuan tak berdaya!”
ejek Rangga dengan mengeluarkan suara di hidung.

“Keparat! Kau pikir kau siapa berani bicara begitu di


hadapan kami. Hei, bocah! Agaknya kau orang yang baru
belajar silat dan sudah begitu yakin akan kemampuanmu.
Sebaiknya kau pulang dan tanyakan pada gurumu agar tak
sembarangan kau pentang bacot!” sahut Cangkring.

“Kenapa aku musti bersusah payah menanyakan hal kalian


pada guruku? Beliau bahkan sama sekali tak mengenal
kalian sedikit pun. Akupun cukup berbaik hati karena bisa
mengingat nama kalian yang menggelikan itu,” kata Rangga
terus mengejek.

“Sial! Bocah, rupanya mulutmu perlu dirobek agar tak


sembarangan kau buka bacot!” teriak Cangkala sudah terus
menyerang pemuda itu.

Namun dengan gerakan manis Rangga berkelit dan melesat


cepat ke atas sambil mengayunkan kaki kanannya ke muka
lawan.

“Hiyaaat...!”

“Yeaaa...!”

Cangkala terkejut. Gerakan lawan cepat bukan main, dan


mengandung tenaga dalam hebat. Kalau saja dia tak buru-
buru menghindar sudah barang tentu mukanya akan hancur
dihantam tendangan lawan. Tapi senjatanya yang berupa
tongkat berujung arit itu langsung menyambar pinggang
Pendekar Rajawali Sakti.

“Yeaaa...!”

“Uts!” Tubuh Rangga meliuk-liuk menghindari seperti orang


yang sedang menari.

“Modar!”

“Belum, Sobat! Kau masih perlu belajar dua puluh tahun lagi
untuk bisa melukaiku!” ejek Rangga sambil terkekeh.

Serangan yang dilakukan Cangkala sebenarnya bukan


sembarangan. Dan nama Iblis Gunung Kembar pun
bukannya tak diperhitungkan oleh tokoh-tokoh persilatan.
Mereka dikenal sebagai pentolan golongan hitam
berkelakuan aneh. Ilmu olah kanuragannya terbilang cukup
tinggi dan sulit mencari tandingannya. Meski belum
tergolong dalam datuk sesat, tak sembarangan orang bisa
mengalahkan mereka. Apalagi dalam kemarahannya ini,
Cangkala betul-betul menyerang lawan habis-habisan.

Tapi kali ini dia kena batunya. Lawan yang dihadapinya


bukanlah tokoh sembarangan. Dari caranya mereka
bergerak terlihat bahwa ilmu meringankan Pendekar
Rajawali Sakti lebih tinggi dua tingkat dibanding lawan,
sehingga terlihat dengan mudah dia mengecoh Cangkala.

“Cangkala, agaknya kau begitu memberi hati pada lawanmu.


Biarlah aku turut campur untuk menggebuknya!” teriak
Cangkring sudah langsung melesat membantu Cangkala
sambil meloloskan senjatanya berupa arit berbentuk besar
dan tajam yang biasanya dililitkan dipunggungnya.

“Hmm... kenapa bukan sejak tadi kau membantunya? Kalau


kalian turun berdua akan lebih mudah bagiku untuk belajar
lebih banyak, dan sekaligus menghajar kalian!”

“Bedebah!”

“Yeaaa...!”

“Sriing!”

Rangga meloloskan pedang dan menangkis serangan lawan


sambil menggunakan jurus Sembilan Langkah Ajaib. Pada
jurus pertama tampak dia mengamati gerakan-gerakan
lawan sambil terus menghindar, namun ketika memasuki
pertengahan jurus kedua dia mulai menekan dan merubah
jurus dengan menggunakan jurus pertama dari lima jurus
Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!”

“Hei?!”

“Traaak!”

“Cras!”

“Aakh...!”

Kejadian itu begitu cepat berlangsung, dan tiba-tiba senjata


di tangan Iblis Gunung Kembar terpental diiringi pekik
kesakitan.

Cangkala dan Cangkring melihat dada mereka tergores


lebar. Barulah terbuka mata keduanya bahwa mereka
sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang
berkepandaian tinggi. Tapi sebenarnya ketika pemuda itu
merubah jurus, Cangkring telah lebih dulu mengetahui dan
serasa mengenalnya. Tapi gerakan pemuda itu lebih cepat
lagi membuyarkan ingatannya.

“Hmm... jurus Rajawali Sakti. Apakah kau orang yang


bergelar Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Cangkring dengan
sikap hati-hati.

“Tak salah. Begitulah orang-orang memanggilku,” sahut


Rangga tenang.

“Tak sangka hari ini kami bisa bertemu muka dengan


pendekar yang namanya telah kesohor di delapan penjuru
angin. Kisanak, maafkan kami yang buta tak melihat
Gunung Semeru terbentang di depan mata,” sahut
Cangkring memberi salam penghormatan.

“Kisanak, kau terlalu berlebihan. Aku sama sekali bukan


orang hebat. Cuma seorang pengembara biasa yang tak
memiliki kepandaian apa-apa. Segala yang ada didiriku
hanya berguna untuk mempertahankan diri dan
menyelamatkan orang, lain dari marabahaya bila kumampu.
Apakah dengan begitu kalian bermaksud memperpanjang
urusan ini?”

“Sudilah kiranya menyudahi persoalan ini sampai di sini.


Maaf, kami permisi....” sahut Cangkring sambil mengajak
Cangkala meninggalkan tempat itu.
Pada dasarnya Rangga tak ingin membuat persoalan lebih
panjang lagi. Sempat terlihat dan terdengar olehnya dengan
menggunakan ilmu Tatar Netra dan Pembeda Gerak dan
Suara bahwa orang itu tak sampai melakukan perbuatan
terkutuk itu pada diri si gadis. Maka ketika melihat
keduanya bermaksud menyudahi persoalan, Pendekar
Rajawali Sakti membiarkan mereka pergi begitu saja.

“Keparat! Kenapa kau melepaskan mereka begitu saja?!”


maki si gadis sambil mengenakan bajunya ketika Rangga
baru saja melepaskan totokannya.

“Kalau kau bermaksud menghajar mereka susullah. Aku tak


mau peduli kalau sekali lagi mereka bertemu denganmu,
pastilah mereka dengan mulus melakukan niatnya,” sahut
Rangga tak peduli.

Gadis itu cuma diam saja sambil mendengus sinis. Melihat


bahwa kedua orang tadi dengan mudah mengalahkannya,
sudah barang tentu dia tak akan mampu membalaskan
sakit hatinya. Padahal isi dadanya seperti meledak-ledak
oleh rasa jengkel dan amarah.

Karena tak kuat merasa kesalnya, gadis itu merasa tak


berdaya dan baru kali ini dia merasa begitu kecil dan lemah.
Tanpa sadar sifat aslinya keluar ketika dia menangis
tersedu-sedu sambil duduk diatas sebuah batang pohon
yang tumbang.

Rangga bingung sendiri melihat kelakuan gadis itu. Baru


saja sebentar bersikap galak, kini malah menangis tersedu-
sedu. Dihampirinya gadis itu, dan mematung sesaat
sebelum bertanya dengan suara pelan.
“Nisanak, kenapa kau malah menangis? Apa... apa mereka
sempat menodaimu...?”

“Pergi kau dari sini! Pergii...!”

“Baiklah. Kalau kau tak menyukai kehadiranku di sini, aku


akan pergi,” sahut Rangga sambil membalikkan tubuh dan
melangkah pelan.

“Brengsek!”

Rangga menghentikan langkah ketika gadis itu memaki


keras. Sempat dia menoleh. Terlihat gadis itu berhenti
menangis dan menatapnya sekilas sebelum memalingkan
wajah kearah lain. Melihat itu Pendekar Rajawali Sakti
kembali melangkah lagi.

“Brengsek! Apakah kau akan meninggalkan aku sendiri di


sini?!” bentak gadis itu dengan suara nyaring.

“Bukankah kau muak melihat tampangku?” sahut Rangga


tanpa menoleh.

“Iya, aku muak melihat tampangmu! Pergilah kau cepat dari


sini!” bentak gadis itu dengan suara kesal.

Dari nada suara gadis itu Rangga bisa menyadari bahwa dia
seorang yang tinggi hati, dan tak mau menunjukkan
kelemahannya. Meski sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti
yakin bahwa gadis itu tak menginginkan dia pergi dari
tempat itu. Rangga kemudian mengalah dan kembali
menghampiri gadis itu.
“Aku mau kembali ke desa itu lagi. Kalau kau mau aku suka
sekali kau temani,” kata pemuda itu dengan wajah datar
sambil tersenyum.

Gadis itu cuma diam sambil memalingkan wajah, dan tak


menyahut sepatah katapun dengan nada cemburu.

“Kau ingin berada di sini sendiri?”

“Apakah kau tak merasa diganggu olehku? Kasihan


perempuan itu nantinya akan cemburu,” sahut gadis itu
sambil memalingkan wajah.

Rangga cuma diam sambil tersenyum-senyum kecil.


“Terserahlah kalau kau menganggap begitu....” sahut
Rangga lemah sambil berjalan pelan.

Gadis itu mengikuti dari belakang. Sesaat mereka saling


berdiam diri sebelum gadis itu kembali membuka suara.

“Terima kasih atas pertolonganmu....”

“Hmmm....”

“Kalau tak ada kau entah apa yang terjadi padaku....”

Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiam diri tanpa menyahut


sepatah kata pun.

“Maaf atas kekasaranku tadi. Aku tak bermaksud begitu


sebenarnya. Namaku Puspita Sari....”

“Aku Rangga....”
“Kaukah orangnya yang dijuluki Pendekar Rajawali Sakti?”

“Begitulah orang-orang menyebutku.”

“Hmm... guruku pernah bercerita banyak tentangmu serta


sepak terjangmu. Tak sangka hari ini aku bertemu dengan
pendekar hebat.”

“Ah, itu hanya nama yang dibesar-besarkan orang saja. Aku


tak sehebat apa yang sering kau dengar. Kepandaianku pun
tak seberapa.” sahut Pendekar Rajawali Sakti merendah.

Gadis itu cuma tersenyum. Rangga membalasnya dengan


tersenyum kecil. Kemudian mereka meninggalkan tempat
itu dengan langkah ringan. Baru kali ini dia melihat gadis itu
tersenyum dan bersikap ramah. Kelihatan manis dan tak
kalah menarik dengan putri raja yang tadi dilihatnya di
kereta kencana.

ENAM

Rangga baru mengetahui bahwa gadis itu pun ternyata


menginap di tempat yang sama dengannya. Kamar mereka
cuma berselang dua pintu. Tak heran kalau tadi dia sempat
melihatnya masuk bersama seorang perempuan. Dan ketika
kembali ke tempat itu pun ternyata perempuan yang tadi
berada di kamarnya sudah tak ada. Laki-laki berperut buncit
serta bermata sipit yang merupakan pemilik rumah
penginapan itu cuma mengangguk sambil tersenyum ketika
Rangga mengatakan agar perempuan itu jangan berada di
kamarnya.

“Sudah bawa sendiri. Den?” tanyanya sambil tersenyum dan


melirik Puspita Sari.
“Hus! Jangan sembarangan bicara kau!”

Si pemilik rumah penginapan itu terkekeh kecil. “Kudengar


tadi ada keributan di sini. Apa yang terjadi?”

“Orang misterius itu muncul kembali, dan mengambil


korban salah seorang perempuan yang bekerja di tempat
ini....” jelas pemilik rumah penginapan itu dengan suara
geram.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala. “Apakah tak ada


orang yang mengetahui siapa dia?”

“Tidak ada. Dia datang seperti angin saja. Tak seorang pun
mengetahui siapa dirinya. Tapi menurut beberapa orang,
pastilah dia salah seorang tamu yang menginap di sini.”

“Hmmm....”

“Aden tadi tak melihatnya?” tanya pemilik rumah


penginapan itu lagi.

Dia berpikir, jika tamunya ini membawa-bawa pedang di


punggungnya paling tidak pastilah berasal dari orang-orang
persilatan dan sedikit banyak bisa bertindak cepat dan gesit
untuk mengetahui apa yang terjadi tadi.

“Tidak. Saya tidak melihatnya....”

“Orang itu memang selalu membuat bencana. Entahlah,


rasanya tak ada orang yang mampu menemukannya....”

“Setiap kejahatan pasti selalu akan berakhir dengan


kekalahan karena kebenaran pasti akan muncul. Kami turut
prihatin, dan mudah-mudahan bisa membantu sedikit
nantinya....”

“Oh, syukurlah kalau kalian memang berniat begitu. Paling


tidak ada orang yang mau memperhatikan nasib orang lain
yang malang. Syukur kalau orang misterius itu cepat
tertangkap dan bisa diadili secepatnya....”

Puspita Sari bosan juga mendengar percakapan mereka.


Dia buru-buru meninggalkan mereka. Rangga pun kemudian
mengikuti dari belakang. Gadis itu tak langsung masuk ke
dalam kamarnya, malah duduk di sebuah bangku yang
berada di tingkat atas. Rangga berdiri dekat palang kayu
dan memperhatikan keadaan di bawah.

“Tidak langsung tidur?” tanyanya pelan.

“Mataku belum ngantuk, lagipula banyak hal yang kupikirkan


saat ini....”

“Kau tentu rindu pada orangtuamu...?”

Puspita Sari tersenyum kecil. “Ya, mereka pasti cemas akan


kepergianku. Tapi bukan hal itu yang amat mengganggu....”

“Tentang kedua orang tadi? Kau masih mendendam pada


mereka?”

“Mungkin....”

“Hmmm....”

“Orang misterius itu harus kudapatkan!”


“Ada persoalan pribadi dengannya?”

“Ceritanya panjang. Kau pasti bosan mendengarnya....”

“Mataku belum mengantuk, dan saat ini tak ada yang bisa
kulakukan. Kalau kau mau bercerita tentu aku suka sekali
mendengarnya.”

Puspita Sari menghela nafas panjang sebelum berucap lirih.


“Dia telah membunuh tunanganku....”

“Hmm... begitu?”

“Saat itu hari perkawinan kami kurang dari seminggu ketika


dia tewas dengan tubuh keriput dan pucat. Darahnya seperti
tersedot habis. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Rasanya hidupku sudah tak berarti lagi.”

“Dan kau pergi mencarinya untuk membalas dendam?”

“Kakek yang sekaligus guruku melarang dan mengatakan


bahwa orang itu bukan tandinganku. Tapi aku tak peduli.
Dalam benakku ilmu olah kanuragan yang diajarkan kakek
sudah lebih dari cukup. Apalagi mengetahui bahwa kakek
termasuk tokoh yang disegani di dunia persilatan.
Kemudian aku pergi diam-diam tanpa diketahui mereka.
Tapi akhirnya aku mengetahui bahwa dunia ini tak sesempit
apa yang kukira. Baru beberapa hari mengadakan
perjalanan, sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang kutemui
dan memiliki kepandaian yang lebih tinggi dariku...” ucap
gadis itu masghul.

“Ilmu silatmu sebenarnya cukup bagus, hanya gerakanmu


masih kaku dan kurang latihan.”

“Tapi tetap saja hal itu belum cukup untuk membalaskan


sakit hatiku.”

“Memang. Kalau kau bermaksud membalaskan sakit hati


pada orang itu kau akan sia-sia. Kalau benar orang yang tadi
kau kejar adalah dia, tentulah ilmu kepandaian orang itu
sangat tinggi dan bukan tandinganmu.”

“Entahlah... saat ini aku tak tahu harus berbuat apa,” sahut
Puspita Sari gelisah.

“Orang itu membuat bencana di mana-mana, meski dia


berilmu tinggi tapi musti ada orang yang harus
menghentikannya. Aku bermaksud mencari orang itu....”

“Kau sungguh-sungguh?!”

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.

“Oh, terima kasih! Dengan adanya kau ikut turun tangan


tentu segalanya akan menjadi mudah!”

“Jangan berharap terlalu banyak. Aku sendiri tak yakin


apakah bisa mengalahkannya atau tidak....”

“Kau pasti mampu mengalahkannya!” seru Puspita Sari


yakin.

Rangga tersenyum. “Besok kau boleh pulang ke rumahmu.


Tenangkanlah hatimu, biarlah hitung-hitung aku yang
membalaskan sakit hatimu padanya.”
“Tidak! Aku harus melihat bajingan itu mati di depan
mataku!”

“Hmm... dendammu pastilah sedalam lautan.”

“Rangga, apakah kau pernah punya kekasih? Kemudian


dengan tiba-tiba kekasih yang kau cintai tewas. Padahal
sebentar lagi kau akan membina rumah tangga?” tanya
gadis itu tiba-tiba.

“Aku tak tahu, tapi bisa merasakan apa yang sedang kau
rasakan saat ini. Yang pasti memang aku mendendam,
namun bila dendamku tak terbalas biarlah itu menjadi takdir
dan Gusti Allah yang akan membalaskannya nanti.
Bagaimanapun aku percaya bahwa hidup dan mati bukan
ditentukan oleh manusia.”

“Kau bisa bicara begitu karena kau tak mengalaminya


sendiri!”

“Puspita, di dunia ini masih banyak yang harus kita kerjakan


untuk mengisi hidup, bukan sekedar menangisi sesuatu
yang telah hilang dari kehidupan. Kau harus merelakan
kepergian kekasihmu dan mengisi hari-harimu dengan
penuh keriangan.”

Puspita Sari terdiam beberapa lama. Suasana terasa sepi,


dan sepertinya mereka tenggelam dalam pikirannya masing-
masing. Kemudian terdengar kata-kata Pendekar Rajawali
Sakti lirih.

“Maaf, aku tak bermaksud mengajarimu begitu. Tak ada


hakku untuk mengatakan apapun padamu. Kau boleh
melakukan apa saja yang kau suka. Kalau kau tak suka
dengan kata-kataku tadi, kau boleh menganggapnya tak
pernah ada....”

“Tidak apa. Sebagian besar kau benar. Hanya bagiku sedikit


sulit karena ini merupakan soal yang pelik buatku. Mudah-
mudahan seiring dengan perjalanan hari ini aku bisa
melupakan dan menyadari apa yang sebaiknya harus
kulakukan....”

“Syukurlah kalau kau berpikiran begitu....”

“Hmm.... Rangga, ada yang ingin kutanyakan.”

“Apa?”

“Bila kekasih yang kau cintai telah tiada, kemudian kau


bertemu dengan seorang gadis yang memikat hatimu.
Apakah salah bila akhirnya kau jatuh cinta lagi pada gadis
itu?”

Rangga tersenyum mendengar pertanyaan itu sambil


menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Jawablah Rangga....”

“Bagaimana ya? Tentu saja aku beranggapan tak salah.”

“Jadi cintamu pada kekasihmu yang pertama tidak begitu


mendalam?”

“Tidak begitu. Tapi untuk apa aku harus berlarut-larut dalam


kesedihan bila orang yang kita cintai toh telah tiada? Lalu
apa salahnya jika ada gadis lain yang memikat hati. Apalagi
kalau gadis itu pun ternyata suka padaku. Aku menganggap
hal itu tak salah.”

“Hmm....” gumam Puspita Sari sambil tersenyum kecil.

Tanpa berkata apa-apa dia masuk ke dalam kamarnya.


Rangga bengong sendiri melihat kelakuan gadis itu.
Perlahan-lahan dia pun melangkah ke kamarnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala bingung. “Dasar gadis
aneh...!” gumamnya pelan.

********************

Pemuda berambut gondrong dengan tubuh agak kurus itu


tersenyum kecil ketika gadis di sebelahnya bergelayutan
manja di pundaknya. Padahal kedua orangtuanya masih ada
di ruang tamu itu.

“Parmi, jangan begitu. Malu dilihat kedua orangtuamu,”


bisiknya pelan.

“Biarkan saja. Bukankah mereka sudah merestui hubungan


kita? Lagipula apa yang musti dimalukan, bukankah
sebentar lagi kita akan kawin?” sahut si gadis tak peduli.

“Paling tidak menjaga sopan santun di depan mereka....”

“Ah, Kakang Layang Seta, kau ini terlalu kuno sekali. Apakah
kalau aku berdekatan denganmu berarti berbuat tidak sopan
di hadapan mereka?”

“Bukan begitu, tapi....”

“Sudahlah. Kalau demikian sebaiknya kita ke belakang saja


agar tak terlihat oleh mereka!” potong gadis itu sambil
menggamit lengan pemuda itu.

Layang Seta seperti kerbau dicocok hidungnya, cuma bisa


menurut saja. Mereka permisi dengan kedua orangtua si
gadis dan menuju halaman belakang yang luas dan
ditumbuhi pepohonan yang rindang. Di dekat dua buah
pohon kelapa terdapat sebuah kolam yang agak lebar. Di
bawah sebatang pohon mangga yang beberapa bagian
cabangnya melintang di atas kolam itu, Parmi mengajak
Layang Seta untuk meneduh.

“Nah, apakah kalau berada di sini kau akan tetap malu juga,
Kakang Layang Seta?”

“Kalau di sini siapa yang kumalukan? Justru aku yang


khawatir kau akan malu.”

“Huh, dasar lelaki!” sahut gadis itu sambil merebahkan diri


di pangkuan kekasihnya dan menarik hidung pemuda itu
sesaat.

Layang Seta bergerak cepat dan menangkap pergelangan


tangan gadis itu. Kemudian dengan sekali sentak, wajah
gadis itu telah berada di dekatnya. Dengan gemas
dilumatnya bibir gadis itu hingga gelagapan. Tapi kemudian
gadis itu pun membalasnya dengan hangat.

“Selain pemalu ternyata kaupun nakal!” ejek Parmi ketika


Layang Seta menyudahi perbuatannya.

“Kau yang membuatku nakal.”

“Tak apa-apa, asal kau tidak main serong di belakangku!”


“Hmm... untuk gadis secantikmu buat apa aku main
serong?”

“Laki-laki biasanya suka berbohong.”

“Apakah kau tak percaya padaku?”

“Aku percaya padamu, Kakang. Kau tak ada bakat untuk


menjadi penipu. Tapi....”

“Tapi kenapa?”

Gadis itu memalingkan wajah, dan menatap pemuda itu


agak lama. “Kakang, hubungan kita meski belum berjalan
lama tapi aku merasa dekat denganmu. Aku tak ingin
berpisah darimu. Makin cepat kita melangsungkan
perkawinan, makin baik kurasa. Tapi setelah sekian lama,
apakah kau tak ingin memperkenalkan aku dengan kedua
orangtuamu?”

“Bukankah aku sudah katakan pada orangtuamu, bahwa


kedua orangtuaku telah tewas dalam kecelakaan di desa
kami. Hidupku kini sebatang kara....”

“Jangan bersedih, Kakang. Aku berjanji akan selalu setia


dan mendampingi selalu,” bujuk gadis itu lirih.

“Dengan adanya kau di sampingku sangat membahagiakan


hatiku. Kau mampu mengisi kekosongan hidupku yang
selama ini hampa. Mudah-mudahan hal ini akan terus
berlangsung selamanya....”

“Aku berjanji, Kakang....”


“Hmmm....”

“Kakang, kulihat kau selalu membawa-bawa keris ini.


Tentulah kau sedikit banyak memiliki kepandaian ilmu
silat?” tanya Parmi sambil menunjuk pada keris yang
terselip di pinggang pemuda itu.

“Hanya sekedar untuk membela diri....”

“Aku jadi teringat cerita orang. Belakangan ini muncul


seorang tokoh misterius yang banyak menimbulkan korban
yang tewas dengan cara yang mengerikan. Bahkan
diantaranya terdapat gadis-gadis. Kasihan mereka.
Mendengar cerita itu aku takut sekali, Kakang. Kenapa ada
orang yang begitu sadis perbuatannya....”

Layang Seta terdiam beberapa saat mendengar cerita itu.

“Kakang...?”

“Hmmm...”

“Kau berjanji akan melindungiku, bukan?”

“Tentu saja....” sahut Layang Seta dengan suara sedikit


bergetar. Tubuhnya mendadak mulai panas dan terasa sakit
seperti ditusuk belasan jarum. Pemuda itu meregang sesaat
untuk menahannya.

“Kakang, kau kenapa?!” tanya Parmi kaget.

“Parmi, pergilah dari sini! Pergi tinggalkan aku, cepat!”


“Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu! Kakang, kau
kenapa? Apakah kau sakit?”

“Akh...!” Layang Seta berteriak kesakitan. Sekujur tubuhnya


mulai panas membara dan rasa sakit yang dideritanya
semakin tak tertahankan lagi. Pemuda itu bangkit dan
mencoba menahannya, tapi rasa sakit itu terus
membelenggu dirinya. Pemuda itu mulai berteriak-teriak
dan tiba-tiba mencabut keris yang terselip dipinggangnya.

“Kakang...!” jerit Parmi mulai ketakutan bercampur cemas


melihat keadaan kekasihnya itu.

“Pergi, Parmi! Cepat tinggalkan aku...!” teriak Layang Seta


parau.

Perlahan-lahan dari kulit tubuhnya timbul gelembung-


gelembung berisi darah dan nanah. Parmi tak tahan melihat
itu dan merangkul pemuda itu dengan wajah cemas.

“Kakang, kau kenapa? Katakanlah padaku, apa yang terjadi


padamu?! Kakang, katakanlah! Ka... aaa...!”

“Blesss!”

Gadis itu terpekik kaget ketika keris di tangan Layang Seta


menghunjam ke dadanya. Darahnya seperti tersirap dan
bergerak cepat mengalir menuju keris itu. Tubuhnya
menggelepar dengan sepasang mata melotot seperti
menahan ajal.

“Layang Seta keparat! Rupanya kaulah iblis yang selama ini


berkeliaran!” bentak seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul
ditempat itu sambil mengayunkan golok di tangannya.
Orang itu tak lain dari bapak si gadis. Mendengar teriakan
yang disusul dengan lolong kesakitan anaknya, buru-buru
dia melihat ke halaman belakang dan menyaksikan pemuda
yang selama ini dipercaya akan menjadi menantunya
ternyata sedang membunuh putrinya dengan cara keji.

Melihat keadaan itu istrinya terpekik kaget. Tapi masih


untung dia bisa menguasai diri dan buru-buru membunyikan
kentongan. Dalam sekejapan saja terdengar bunyi
kentongan yang saling bersahutan dan disusul oleh
keluarnya beberapa orang penduduk sambil membawa
senjata-senjata tajam.

TUJUH

Layang Seta yang mengetahui perbuatannya diketahui


orang, tersentak kaget. Namun lebih terkejut lagi ketika
mengetahui bahwa gadis di hadapannya ambruk dengan
tubuh pucat dan kulit kering keriput. Rasa sakit di tubuhnya
berangsur-angsur hilang, dan gelembung-gelembung berisi
nanah dan darah perlahan-lahan kembali seperti semula.

“Yeaaa...!”

“Huh!” Layang Seta mendengus garang.

“Crab!”

“Aaa...!”

Laki-laki itu terpekik ketika dengan kecepatan yang sulit


diikuti mata, keris di tangan Layang Seta menghunjam ke
perutnya. Tubuhnya menggeletar dan sepasang matanya
melotot lebar. Tubuhnya ambruk dalam keadaan sama
seperti putrinya. Namun sebelum Layang Seta sempat
kabur dari situ, sekonyong-konyong puluhan orang telah
mengepung tempat itu dengan rapat.

“Itu dia iblisnya.”

“Kepuuung...!”

“Jangan biarkan dia lolos!”

Beberapa orang pemuda desa yang geram dan marah


melihat kelakuan Layang Seta, sudah langsung menyerang
dengan ganas.

“Yeaaa...!”

“Crab! Crab!”

“Aaaa...!”

“Bajingan keparat! Minggir semua!” bentak seorang laki-laki


berkumis tebal menyibak beberapa orang penduduk desa
yang terperanjat melihat tiga orang pemuda desa yang
menyerang Layang Seta ambruk bermandikan darah ditikam
keris di tangannya.

Layang Seta menatap wajah orang itu dengan sikap sinis.


Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya,
sepasang matanya yang berkilat tajam seperti harimau
akan menerkam mangsa.

“Iblis keparat! Rupanya kau bersembunyi di sini dan berpura-


pura menjadi orang baik. Hari ini riwayatmu akan tamat di
tangan si Gembong!” dengus laki-laki berkumis tebal itu.

Orang bernama Gembong itu memang terkenal sebagai


jagoan desa ini. Meskipun tingkahnya terkadang suka ugal-
ugalan, tapi dia tak pernah membuat keonaran. Bahkan tak
jarang dia membantu mereka yang kesulitan akibat
pemerasan yang dilakukan oleh tuan tanah-tuan tanah di
desa ini dengan menghajar centeng-centeng yang suka
menghajar para penduduk.

“Hiyaaat...!”

Tubuh Gembong telah mencelat sambil menyabetkan golok


ke leher lawan. Namun dengan sedikit memiringkan tubuh,
serangannya dengan mudah dielakkan Layang Seta. Bahkan
tangan pemuda itu sempat melayang ke tengkuknya setelah
kaki kanannya menyikut sebelah kaki lawan. Tak ayal lagi,
tubuh Gembong tersungkur mencium tanah.

“Bangsaaat...!” maki Gembong sambil berdiri cepat.

Laki-laki berkumis tebal itu berputar-putar mengelilingi


Layang Seta seperti hendak mencari kelemahan lawan.
Kemudian dengan satu teriakan nyaring, kembali dia
bergerak menyabetkan goloknya dengan gerakan lincah.

“Yeaaa...!”

“Bet!”

“Plak!”

“Aaakh...!” Gembong kembali menjerit keras. Layang Seta


menundukkan kepala menghindari sabetan goloknya.
Tangan kanannya menghantam pergelangan tangan lawan,
namun dengan gerakan yang gesit Gembong mengibaskan
lengan. Tapi tubuh Layang Seta telah berbalik cepat, dan
kedua kakinya terangkat tinggi menghantam pergelangan
tangan dan dadanya. Untuk kedua kalinya Gembong
tersungkur. Tapi kali ini dia agak susah untuk segera
bangkit. Goloknya terlepas dari pegangan dan dadanya
terasa nyeri akibat tendangan lawan.

“Huh! Tak peduli nyawaku jadi taruhan, tapi orang sepertimu


harus lenyap dari muka bumi. Kalau tidak akan lebih banyak
lagi korban yang jatuh. Yeaaa...!” dengus Gembong sambil
kembali menyerang lawan dengan tenaga penuh.

“Plak!”

“Crab!”

“Aaa...!” Jagoan desa itu melolong setinggi langit ketika


dengan satu gerakan manis. Layang Seta berhasil
menghindari kepalan tangannya. Keris di tangannya
langsung menghunjam ke jantung lawan tanpa bisa dicegah
lagi. Tubuh Gembong menggeletar dan kedua biji matanya
melotot seperti hendak keluar. Laki-laki berkumis tebal itu
kemudian ambruk dan tak berkutik lagi.

“Biadab! Bunuh si keparat itu beramai-ramai!”

“Cincaaaang...!”

Sambil berteriak-teriak garang beberapa orang penduduk


desa itu langsung menyerang Layang Seta dengan kalap.
Tapi pemuda itu agaknya masih terpengaruh oleh sifat dari
keris yang dipegangnya. Nafsu membunuhnya seperti
bergejolak hebat. Dan dengan sekali berkelebat, penduduk
desa yang tak memiliki kepandaian ilmu silat itu tewas satu
demi satu.

“Cras! Crab!”

“Aaaa...!” Jerit kesakitan dan pekik kematian bercampur


menjadi satu ketika beberapa tubuh ambruk ke tanah dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Tapi hal itu bukan membuat
orang-orang itu menjadi surut nyalinya, bahkan membuat
kemarahan mereka semakin memuncak.

Sementara itu kentong masih berbunyi bertalu-talu dan


sambung menyambung hingga ke desa-desa terdekat.
Keriuhan terjadi dimana-mana, dan cerita dari mulut ke
mulut dari orang-orang yang mengungsi karena takut
dengan ancaman pemuda berjiwa iblis itu, seperti
hembusan angin yang menyebar ke pelbagai tempat dalam
waktu singkat.

Bukan hanya penduduk desa itu saja yang berkerumun dan


mengeroyok Layang Seta. Tapi juga penduduk desa lain
yang beberapa orang warganya pernah menjadi korban
pemuda itu. Mereka berduyun-duyun ingin menyaksikan
sekaligus ingin menghajar pemuda itu untuk membalaskan
sakit hati.

Beberapa orang jawara-jawara desa telah turun tangan


mengeroyok Layang Seta, namun semuanya tewas
menemui ajal. Tak seorang pun di antara mereka yang
mampu menandingi kehebatan ilmu olah kanuragan
pemuda itu. Selain gerakannya yang lincah dan gesit,
tenaganya pun kuat seperti tenaga sepuluh ekor banteng
liar. Dalam pada itu tiba-tiba melesat sosok bayangan yang
langsung menghadang Layang Seta.

“Iblis jahanam! Berhari-hari kami mencarimu tak sangka


akhirnya kau bersembunyi di tempat ini!” bentak salah
seorang di antara kelima orang yang baru muncul itu.

Layang Seta cuma memperhatikan mereka satu persatu


tanpa menyahut sepatah kata pun. Wajahnya tampak sadis,
dan hawa pembunuhan menyatu dalam jiwanya.

Sementara itu melihat kelima sosok tubuh itu agaknya


memiliki dendam juga terhadap pemuda itu, penduduk desa
yang tadi mengeroyoknya serentak mundur teratur dalam
posisi masih mengepung pemuda itu rapat-rapat.

“Bocah, masih ingatkah kau padaku? Beberapa minggu lalu


putriku kau bunuh dengan keji. Aku Ki Manuk Srengseng tak
bisa menerima begitu saja perlakuanmu. Hari ini kau musti
mampus!” dengus seorang laki-laki tua berpakaian putih
dengan rambut digelung keatas.

“Jangan serakah, Ki Manuk Srengseng! Aku pun punya


kepentingan dengan nyawa si keparat ini. Dia musti
mampus ditanganku!” dengus perempuan tua berpakaian
warna-warni di sebelahnya yang memegang sebuah tongkat
berhulu kepala ular.

Dalam dunia persilatan perempuan tua ini dikenal sebagai


Iblis Cantik Penabur Darah. Meski usianya telah lebih dari
tujuh puluh tahun, namun parasnya seperti perempuan
berusia empat puluh tahun saja. Wajahnya masih
mengguratkan kecantikan dimasa mudanya. Tak heran bila
dia mendapat julukan seperti itu. Karena selain cantik, dia
juga sangat kejam terhadap musuh-musuhnya.
“Nyi Loyang Kuring, dan Ki Manuk Srengseng. Kita tak perlu
bertengkar soal manusia satu ini. Sudah jelas perbuatannya
yang biadab dan merugikan kita semua. Kita mempunyai
urusan yang sama dengannya dan harus diselesaikan
bersama-sama pula,” ujar seorang laki-laki bertubuh besar
dengan janggut panjang seperti kambing.

“Betul apa yang dikatakan Ki Padmo Sasongko. Kita tak


perlu bertengkar. Sebaiknya mari diselesaikan secepatnya
selagi Iblis Biadab ini masih berada disini!” sahut salah
seorang yang bertubuh kecil dan kurus.

Orang di sebelahnya memiliki bentuk tubuh dan wajah yang


sama, karena sesungguhnya mereka bersaudara kembar
yang bernama Kurbala dan Kurbali. Orang-orang persilatan
mengenal mereka sebagai Sepasang Penari Bukit Kemukus.

Melihat kelima tokoh itu telah berada di sini, pastilah


persoalan tidak akan menjadi sederhana. Mereka dikenal
sebagai tokoh-tokoh kosen dunia persilatan. Yang sedikit
membingungkan hanya, diantara mereka seperti terjalin
kekompakan. Padahal Nyai Loyang Kuring yang dikenal
sebagai Iblis Cantik Penabur Darah, serta Sepasang Penari
Bukit Kemukus adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang
selama ini tak pernah mau berkompromi dengan tokoh-
tokoh golongan putih seperti Ki Manuk Srengseng dan Ki
Padmo Sasongko.

“Apa lagi yang ditunggu? Biarlah aku lebih dulu


mengemplang bocah iblis ini!” teriak Nyai Loyang Kuring
sambil melesat cepat dan mengayunkan tongkat
ditangannya kearah Layang Seta dengan pengerahan
tenaga dalam kuat.
“Yeaaa...!” Tubuh Layang Seta berputar bagai gasing sambil
bergerak ke sana ke mari menghindari serangan lawan.
Pemuda itu agaknya mengetahui bahwa lawannya
bermaksud menghajarnya dengan cepat. Itulah sebabnya
dia tak tanggung-tanggung lagi meladeninya.

“Trak!”

“Plak!”

“Uuuhhh...!” Nyai Loyang Kuring tersentak kaget. Tongkat di


tangannya terbabat kutung menjadi tiga bagian ditebas
keris lawan. Belum lagi dia menyadari apa yang telah terjadi,
satu tamparan keras menghantam dadanya. Tubuh
perempuan tua itu terjungkal sambil mengeluarkan jerit
tertahan.

“Hiyaaat...!”

“Bocah keparat, terima seranganku!” teriak Ki Manuk


Srengseng sudah terus melompat memapaki serangan
lawan ketika Layang Seta bermaksud menghabisi nyawa
perempuan tua itu.

“Huh!”

“Yeaaa...!”

“Tras!”

“Bet!”

Ki Manuk Srengseng terkejut setengah mati. Pedangnya


terbabat kutung dipapas keris lawan. Masih untung dia
cepat menghindar ketika ujung keris lawan sudah terus
mengirim serangan susulan. Tapi dia merasa tubuhnya
bergoyang terkena angin sambaran serangan lawan. Laki-
laki tua itu mendecah kagum mengetahui tenaga dalam
lawan yang luar biasa hebatnya.

“Hiyaaat...!”

“Plak!”

“Des!”

“Akh...!” Ki Manuk Srengseng menjerit kesakitan ketika


tubuhnya seperti dihantam sebongkah batu besar. Isi
perutnya seperti mau pecah ketika serangannya dapat
ditangkis dengan mudah oleh pemuda itu, dan tahu-tahu
satu tendangan menyodok perutnya.

“Hmm... hebat kau. Bocah. Tapi jangan kira kau bisa tertawa
setelah menjatuhkan kedua orang itu. Meski setinggi apa
pun ilmu yang, kau miliki, kami tak akan mundur,” dengus
salah seorang Sepasang Penari Bukit Kemukus geram.

Bersama dengan saudaranya, serta Ki Padmo Sasongko,


mereka bersiap akan menyerang lawan dengan sikap hati-
hati sekali. Dua orang berilmu tinggi seperti Ki Manuk
Srengseng dan Nyai Loyang Kuring, dengan mudah
dijatuhkan pemuda itu. “Yeaaa...!”

Sepasang Penari Bukit Kemukus telah lebih dulu menyerang


tanpa canggung lagi menggunakan senjata unik mereka
berupa kebutan yang terbuat dari serat halus yang kuat dan
tajam. Sementara tubuh Ki Padmo Sasongko mengikuti dari
belakang.

“Huh!” Layang Seta mendengus sinis. Tubuhnya mencelat


ke atas sambil bersalto beberapa kali. Namun dua buah
kebutan Sepasang Penari Bukit Kemukus mengurungnya
dari berbagai arah. Serangan mereka berdua tampak
kompak. Belum lagi Layang Seta lepas dari kejaran mereka
serangan Ki Padmo Sasongko dengan pedang pendeknya
amat merepotkan gerak pemuda itu sesaat.

Tapi sejak awal tadi terlihat bahwa Layang Seta tak pernah
mau berlama-lama dengan lawannya. Gerakannya cepat
dan terarah dengan mantap. Jurus-jurusnya pun berkesan
singkat, namun amat mematikan. Belum lagi tenaga
dalamnya yang kuat hingga mampu mendesak lawan habis-
habisan.

Lewat empat jurus sudah-mereka menyerang Layang Seta,


namun tak sedikit pun mampu melukainya. Bahkan
serangan mendadak dari pemuda itu membuat ketiganya
terkejut. Keris di tangan Layang Seta bergerak cepat
memapas kebutan di tangan Sepasang Penari Bukit
Kemukus, serta membuat kutung pedang pendek Ki Padmo
Sasongko. Belum lagi mereka menyadari apa yang terjadi,
kepalan tangan Layang Seta menyodok keras dada Ki
Padmo Sasongko, dan membuat tubuh orang tua itu
terpental dua tombak sambil menjerit keras dan
menyemburkan darah segar dari mulutnya.

Bersamaan itu pula Sepasang Penari Bukit Kemukus


mendapat bagian yang sama ketika tubuh pemuda itu
berbalik dan mengayunkan kedua kakinya pada dada lawan
dengan telak. Seperti lawan sebelumnya, kedua orang itu
terpekik nyaring dengan tubuh terpental jauh.
“Hiyaaat...!”

Layang Seta berteriak nyaring dan mengejar mereka dengan


maksud menghabisi nyawa ketiganya dengan segera.
Namun pada saat itulah melesat sesosok bayangan yang
terus menghantamkan satu pukulan jarak jauh dari arah
depan.

“Keparat laknat! Hentikan perbuatanmu!”

DELAPAN

Layang Seta terpaksa mengalihkan perhatian dan


mengangsurkan telapak tangannya pada sosok bayangan
yang muncul itu.

“Yeaaa...!”

Sosok bayangan itu berputar menghindari seperti mengikuti


irama gerak Layang Seta yang bersalto menghindari
pukulan lawan. Keduanya kemudian menjejakkan kaki pada
jarak dua tombak dan waktu yang bersamaan.

“Hmm... kau rupanya!” dengus Layang Seta sinis begitu


melihat seorang pemuda tampan berambut panjang terurai
memakai baju rompi putih.

“Tak salah dugaanku. Ternyata memang kaulah orangnya,”


sahut pemuda yang tak lain dari Rangga, alias si Pendekar
Rajawali Sakti.

Bersamanya tampak Puspita Sari yang berlari kecil


menyusul. Gadis itu menjerit cemas ketika melihat salah
seorang di antara kelima orang penyerang Layang Seta
terluka cukup parah. Orang itu tak lain dari Ki Padmo
Sasongko.

“Kakeeeek...!”

“Cucuku Puspita Sari...” seru Ki Padmo Sasongko lemah


dengan nafas megap-megap dan menahan rasa nyeri di
dadanya.

“Kek, kenapa kau berada di sini?” tanya Puspita Sari cemas


sambil memangku laki-laki tua yang tak lain dari kakeknya
itu.

“Aku tak bisa membiarkan kau pergi sendiri....”

“Kek, aku sudah besar dan bisa menjaga diriku sendiri!”

“Puspita, kau adalah cucuku satu-satunya. Kesedihanmu


adalah kesedihanku juga. Aku tak bisa membiarkanmu pergi
sendiri untuk membalaskan sakit hatimu pada orang itu.
Tapi percuma, orang itu ternyata berilmu tinggi. Kau lihat?
Kami berlima saja dapat dikalahkannya dengan mudah,”
keluh Ki Padmo Sasongko lirih.

“Kek, tenangkanlah hatimu. Hari ini si Keparat itu musti


mampus. Kakek tahu siapa orang yang datang bersamaku?”
tanya Puspita Sari sambil tersenyum kecil.

“Siapa...?” tanya Ki Padmo Sasongko dengan wajah bingung


dan dahi berkerut.

“Pendekar yang sering kau ceritakan padaku!” Wajah


Puspita Sari tampak berseri ketika menjelaskan hal itu.
Namun dilihatnya wajah orang tua itu tetap berkerut dengan
tatapan bingung.

“Pendekar Rajawali Sakti!” lanjut Puspita Sari dengan wajah


cemberut karena kakeknya tak mengerti juga arah
pembicaraannya.

“Hmm... benarkah?!” tanya Ki Padmo Sasongko seperti tak


percaya pada pendengarannya sendiri.

Puspita Sari cuma mengangguk tak bergairah. Niatnya


untuk mengejutkan kakeknya itu terputus karena tadi orang
tua itu tak cepat tanggap pada perubahan raut wajahnya.

Sementara itu Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti


tampak bersiap menghadapi Layang Seta yang
menganggap rendah pada pemuda berbaju rompi putih itu.

“Huh! Apakah kau mempunyai niat yang sama dengan


mereka?!” tanya Layang Seta mendengus sinis.

“Kisanak, kulihat kepandaianmu cukup hebat, tapi sayang


semua itu menjadi bencana bagi orang lain. Meski aku
memiliki kepandaian sedikit biarlah kucoba untuk
menghentikan bencana yang kau tebar kemana-mana,”
sahut Rangga santai.

“Ha-ha-ha...! Pintar kau bicara. Sobat. Pergilah kau dari sini


dan jangan mencampuri urusanku. Mengingat diantara kita
tak ada permusuhan aku sungkan bertarung denganmu!”

“Kisanak, aku akan pergi setelah kau berhenti membuat


bencana. Tapi jangan harap aku pergi kalau belum
memastikan hal itu.”
“Sial! Rupanya kau tak bisa diajak berbaik-baik segala. Kalau
kau ingin mampus majulah cepat!” dengus Layang Seta
mulai naik darahnya.

Melihat hal itu Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tipis. Dia


menyadari bahwa pemuda itu sedang dibakar amarahnya
sendiri.

“Hmm... kenapa aku yang musti mampus? Kaulah yang


sudah sepatutnya mampus. Aku pasti akan hidup seribu
tahun lagi.”

“Keparat! Mestinya sejak tempo hari kupecahkan


kepalamu!”

“Akulah yang waktu itu berbaik hati padamu. Saat kau


sedang bertarung dengan gadis itu mestinya aku sudah bisa
membokong dan membunuhmu. Juga saat kau terlena
dalam dekapan dua orang perempuan penghibur di rumah
penginapan itu, mestinya sudah kubunuh saja sebelum kau
mendapatkan korbanmu gadis yang malang itu,” sahut
Rangga terus membakar amarah Layang Seta.

“Tutup bacotmu, Kisanak! Kau akan kubuat kojor seperti


yang lainnya.”

“Yeaaa...!” teriak Layang Seta sudah langsung menyerang


Pendekar Rajawali Sakti dengan sengit dan mengerahkan
tenaga dalam kuat.

Agaknya dia menginginkan dalam sekali serang pemuda


berbaju rompi putih itu akan tewas, atau paling tidak cidera
berat. Namun dengan gerakan yang gesit. Rangga
menghindar sambil bersalto beberapa kali ke belakang
punggung lawan. Layang Seta terus mengejar sambil
membalikkan tubuh. Kepalan tangan dan tendangan kakinya
bergerak seiring menghantam tubuh lawan.

“Yeaaat...!”

“Plak!”

“Uts!” Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Angin serangan


lawan hebat luar biasa dan sempat membuat tubuhnya
bergetar. Belum lagi serangan keris di tangannya yang
membuat kulit tubuhnya seperti diiris-iris.

Rangga menyadari bahwa ilmu silat lawan mempunyai


gerakan yang cepat dan terarah langsung pada tujuan tanpa
adanya bunga-bunga untuk mengecoh lawan. Hal itu
sebenarnya mudah ditebak. Tapi yang terjadi justru
membuat dia sedikit kecewa karena gerakan Layang Seta
sulit diterka.

Dalam waktu sejurus lagi kalau dia terus menggunakan


tangan kosong untuk menghadapi lawan, pastilah dia akan
tewas atau paling tidak terkena senjata lawan yang
mengerikan seperti hendak menyedot darahnya ketika
berdekatan. Mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti terpaksa
mencabut pedang pusakanya.

“Sriiing!”

“Hiyaaat...!” Bersamaan dengan itu Layang Seta menjerit


keras sambil mengayunkan keris sakti ke arah Pendekar
Rajawali. Seberkas cahaya biru yang ke luar dari pedang
pusaka di tangan Rangga berkelebat cepat memapaki.
“Trang!”

Keduanya tersentak kaget ketika senjata itu beradu.


Percikan bunga api mengiringi suara berdenting kencang.
Tubuh keduanya bergetar hebat. Tapi Layang Seta sudah
langsung menyerang lawan kembali ketika Pendekar
Rajawali Sakti bersiap menggunakan jurus Sembilan
Langkah Ajaib untuk menghindari serangan lawan.

“Yeaaa...!”

Pada saat Rangga mencabut pedangnya tadi, barulah


kelima tokoh persilatan yang berada disitu tersentak kaget.

“Pendekar Rajawali Sakti!” desis Ki Manuk Srengseng.

“Sial! Kukira dia sudah berusia lanjut. Rupanya masih bocah!


Tapi kurang ajar sekali bocah itu, masih muda sudah
memiliki ilmu silat setinggi itu!” maki Nyai Loyang Kuring tak
karuan seperti pada dirinya sendiri.

“Kenapa rupanya. Nyai? Apakah kalau dia sebaya denganmu


kau akan jatuh cinta?” ejek salah seorang dari Sepasang
Penari Bukit Kemukus sambil tersenyum.

“Diam kau, Banci! Siapa yang bertanya padamu?!” bentak


Nyai Loyang Kuring galak.

Orang itu langsung membungkam mulutnya mendengar


bentakan Nyi Loyang Kuring.

Sementara itu pertarungan antara Layang Seta dan


Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung alot. Layang
Seta yang sebenarnya cuma memiliki tiga jurus ilmu silat
yang berasal dari tulisan yang ada di badan keris itu,
mampu mengembangkannya menjadi beberapa gerakan
lain yang sama kuatnya dengan gerakan inti. Kali ini dia
telah menggunakan jurus ketiga untuk mendesak lawan.

Pendekar Rajawali Sakti bukannya tak menyadari tekanan


lawan. Berkali-kali nyaris tubuhnya disambar keris lawan
yang bergerak bagai iblis dan mempunyai kekuatan hitam
dan bersifat menyedot darah manusia.

“Kisanak, terimalah kematianmu!” teriak Layang Seta sambil


menyorongkan telapak tangannya ketika Pendekar Rajawali
Sakti sibuk menghindari serangannya yang tadi beruntun.

Dari telapak tangannya itu melesat seberkas sinar berwarna


hitam pekat bercampur merah. Itulah pukulan maut Layang
Seta yang diberi nama Sinar Maut Warisan Setan. Siapa pun
yang terkena pukulan itu tak akan selamat. Bukan saja
tubuhnya akan hancur tanpa bentuk, tapi meski benda
sekeras apapun selagi makhluk bernyawa tak akan luput
dari racun maut pukulan itu.

“Semua menjauh! Awas, pukulan ini beracun...!” teriak


Rangga memperingatkan orang-orang yang berada disitu
sambil melompat menghindari pukulan lawan.

Bersamaan dengan orang-orang yang lari serabutan


menyelamatkan diri, termasuk kelima tokoh persilatan dan
Puspita Sari, saat itu juga terdengar ledakan keras yang
disusul sebatang pohon besar tumbang terkena hajaran
pukulan Layang Seta.

“Huh! Keparat! Memang kau bisa meloloskan diri tapi kali ini
tidak lagi. Tubuhmu akan hancur tanpa bentuk. Kalaupun
kau mampu menahannya, umurmu tak akan lama!” desis
Layang Seta garang.

Bersamaan dengan itu wajah Layang Seta tampak berkerut.


Tangan kanannya disorongkan kedepan dengan telapak
tangan terbuka. Pendekar Rajawali Sakti mengetahui bahwa
lawan akan mengerahkan pukulan seperti tadi, maka dia
pun telah bersiap-siap sejak tadi.

Dari telapak tangan sampai siku Pendekar Rajawali Sakti


tampak bayangan halus seberkas sinar berwarna biru yang
menyelubunginya. Agaknya dia telah bersiap menghadapi
lawan dengan menggunakan aji Cakra Buana Sukma, dan
mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk
menandingi serangan lawan.

“Yeaaa...!”

“Hiyaaaat...!” Sambil berteriak nyaring tubuh Layang Seta


mencelat cepat bagaikan kilat sambil menghantamkan
pukulan kearah Pendekar Rajawali Sakti.

Tubuh Rangga bersalto beberapa kali menghindari.


Kemudian sambil membentak nyaring kedua telapak
tangannya disorongkan kedepan sambil bergerak cepat
kearah lawan. Layang Seta tak sempat menghindar lagi.
Satu-satunya jalan adalah menangkis sambil menyambut
serangan lawan.

“Tap!”

Kedua telapak tangan mereka bertemu. Pendekar Rajawali


Sakti kemudian meremas jari-jari tangan lawan dengan
wajah berkerut menahan geram. Sebaliknya Layang Seta
terus mengerahkan tenaga dalamnya untuk menekan hawa
dorongan yang terpancar dari kedua telapak tangan lawan.

Namun alangkah terkejutnya dia manakala merasakan rasa


sakit mulai menyerang tubuhnya akibat pengaruh hawa
panas yang datang dari aji Cakra Buana Sukma. Kemudian
hawa panas itu seperti berputar-putar dibawah pusarnya
dengan leluasa. Layang Seta dengan sekuat tenaga
berusaha menghentikan gerakan hawa itu, namun
sepertinya dia tak mempunyai kekuatan dan daya sama
sekali. Perlahan-lahan hawa panas itu kembali keluar lewat
telapak tangannya dan mengalir kencang ketubuh lawan.

“Heh?!” Layang Seta berseru kaget.

Tenaga dalamnya seperti terus tersedot seiring dengan


hawa panas yang tadi melesat cepat keluar dari bawah
pusarnya. Sekuat tenaga dia berusaha mencegah. Tapi
makin keras dia menahan agar tenaga dalamnya jangan
sampai tersedot, semakin deras hawa murninya terus
berpindah ketubuh Pendekar Rajawali Sakti.

“Keparat! Hentikan! Hentikaaaan...!” teriaknya kalap.

Namun cengkeraman kedua telapak tangan Pendekar


Rajawali Sakti seperti tak tergoyahkan walaupun dia
berusaha berontak sekuat tenaganya.

“Aaah...!” Layang Seta terpekik nyaring. Tubuhnya terasa


lemas, namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tak berhenti
melepaskannya meski lawan telah memekik kesakitan.
Sampai ketika terjadi ledakan hebat, barulah tubuh
Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil membuat
beberapa lompatan.

“Glaaaar...!”

“Hiyaaaat...!”

Orang-orang yang berada disitu terperanjat kaget seperti tak


percaya pada apa yang mereka lihat. Tubuh Layang Seta
hancur seperti terkena ledakan hebat. Tak jauh dari situ
tampak Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak sambil
memandang tajam kearah tubuh lawan yang telah tercerai
berai.

“Rangga! Kau tak apa-apa?” jerit Puspita Sari cemas sambil


berlari kecil menghampiri pemuda itu.

“Aku tak apa-apa....”

“Aku cemas sekali. Kukira kau tak akan mampu menghadapi


si Keparat itu. Syukurlah dia sudah mampus. Dia telah
mendapat ganjaran yang setimpal atas perbuatannya,”
sahut Puspita Sari sambil menggeram puas.

Gadis itu belum lagi sempat menumpahkan kecemasannya


ketika beberapa orang penduduk desa mengerubungi
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengucapkan terima
kasih dan memuji-muji kehebatan pemuda itu. Tapi hal itu
malah membuat Rangga menjadi jengah. Dengan berbagai
alasan akhirnya dia berhasil menghindar dari mereka dan
meninggalkan tempat itu diiringi Puspita Sari.

“Lho, kau tak pulang bersama kakekmu?”

“Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa pulang sendiri


nantinya.”

“Bukankah beliau berkelana ingin mencari mu?”

“Ya, tapi kakek ada sedikit keperluan dulu di desa itu.


Kebetulan ada salah seorang kenalannya yang mengundang
beliau. Sedang yang lainnya telah meninggalkan tempat itu
ketika mereka merasa yakin bahwa kau mampu
mengalahkan lawanmu,” sahut Puspita Sari.

“Sekarang kau mau ke mana?”

“Aku akan mengembara lagi!”

Rangga menggelengkan kepala sambil mendecah.


“Tidakkah kau belajar banyak dari pengalamanmu
sekarang?”

“Apa?”

“Banyak orang jahat yang berkepandaian tinggi didunia ini.


Kalau kau tak pintar dan membawa perasaan sendiri, maka
kau akan menjadi mangsa yang empuk!”

“Tapi dengan adanya kau, mana mungkin ada orang yang


berani menggangguku.”

“Apa maksudmu?!” tanya Pendekar Rajawali Sakti kaget.

“Aku mau ikut kau kemana saja berkelana!”

“Tidak bisa!”

“Aku tak peduli kau mau mengajakku atau tidak. Aku akan
terus menguntitmu dari belakang.”

“Bandel! Aku tetap tak bisa mengajak siapa-siapa untuk


berkelana. Tak peduli kau mau mengikuti atau tidak. Aku
pergi!” sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil melesat cepat
dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.

Tapi Puspita Sari sudah menduga hal itu. Makanya dia pun
langsung sigap dan melesat cepat mengikuti pemuda itu
dari belakang. Tapi setelah beberapa lama dia musti
mengakui bahwa ilmu lari cepat pemuda itu sungguh luar
biasa. Beberapa saat saja dia telah kehilangan jejak. Namun
ketika telinganya tiba-tiba mendengar suara suitan sayup-
sayup dikejauhan, dia langsung memburu ke sana.

Gadis itu dibuat kecewa dan kesal habis-habisan. Tak ada


siapa-siapa di tempat itu. Yang ada cuma seekor rajawali
raksasa yang terbang semakin tinggi membumbung ke
angkasa. Dia memandang agak lama seolah ingin
meyakinkan bahwa hewan itu peliharaan pemuda yang
bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Kalau benar, pastilah dia
telah melayang entah ke mana.

Dengan wajah masghul dan langkah ragu, gadis itu


meninggalkan tempat itu dan kembali ke desa tadi
menemui kakeknya.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: SILUMAN TENGKORAK GANTUNG


Is Hemsworth's Career
Over?
Why He Is Leaving Film World
Chris want to help as many Aussies as
possible before they take it down
mydeskcollective.com

OPEN

Pendekar Rajawali Sakti

0 5 0 0 0

) Previous Next (
Neraka Kematian Siluman Tengkorak Gantung

COPYRIGHT © 2020 · SONNY OGAWA ALL RIGHT RESERVED

Anda mungkin juga menyukai