Anda di halaman 1dari 57

HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian

adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-

mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 1 Ada tiga tahap

dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu :

1. Tahap Pra-Contractual, yaitu tahap terjadinya penawaran dan penerimaan.

2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,

3. Tahap Post-Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPdt yang berbunyi :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Berdasarkan KUHPerdata ini pengertian perjanjian diartikan hanya mengikatkan diri

terhadap satu orang atau lebih, berbeda dengan pendapat dari Soebekti yang mengemukakan

pengertian perjanjian yang lebih luas, yaitu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang

berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal.2 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian itu adalah suatu

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal di

lingkungan lapangan harta kekayaan.3

Jika ditelaah secara baik-baik pada Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu

1
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (buku kesatu), Jakarta, Sinar Grafika,2014,
hlm. 15-16
2
R. Soebekti, Hukum Perjanjian, Op. cit, hlm. 1.
3
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hlm. 76.
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain, hal ini berarti dari

sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih

pihak kepada salah satu atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut.

Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan

kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor disatu sisi menjadi kreditor pada sisi

yang lain juga pada saat yang bersamaan, dan ini merupakan suatu karakteristik khusus dari

perikatan yang lahir dari suatu perjanjian.

Dari ketiga definisi tentang perjanjian tersebut, dapat diartikan bahwa perjanjian adalah

perbuatan/tindakan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk melakukan suatu hal hingga

tercapainya kata sepakat dari para pihak di lingkungan harta kekayaan. Untuk melihat apakah

berhadapan dengan suatu perjanjian atau bukan, perlunya mengenali unsur-unsur perjanjian,

menurut Herlien Budiono unsur-unsur dari perjanjian tersebut ialah, sebagai berikut:4

- Kata sepakat dari dua pihak atau lebih;

- Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak;

- Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;

- Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal

balik, dan;

- Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.

B. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum

tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam hal ini asas hukum bukanlah

4
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2011, hlm. 5
peraturan hukum yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. Pada

umumnya asas hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat terpengaruh pada

waktu dan tempat. Handri Raharjo menyatakan bahwa terdapata lima asas dalam perjanjian,

yaitu:5

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka, hal ini berarti hukum memberikan

kebebasan untuk mengadakan perjanjian yang dikehendaki asal tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.6 Dengan diaturnya sistem terbuka, maka

hukum perjanjian menyiratkan asas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari Pasal

1338 (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan disebutkan secara

tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam

Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang

diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan

perjanjian.

Arti luas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul

karenanya itu sudah dilahirkan sejak detiktercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,

perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidaklah

diperuntukan suatu formalitas. Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya

“konsensuil”. Adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

5
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Jakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 43-46
6
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty,
2004, hlm. 9.
diharuskan perjanjian itu dilakukan secara tertulis (perjanjian “perdamaian”) atau dengan akta

notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu

kekecualian. Yang lazim, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat, apabila

sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Jual beli, tukar

menukar, sewa-menyewa adalah perjanjian yang konsensuil.7

Asas Konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari

kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak

mewujudkan kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya kecacatan kehendak

(wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak meliputi

tiga hal, yaitu :

a. Kesesatan atau dwaling.

b. Penipuan atau bedrog.

c. Paksaan atau dwang.

d. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas

keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan

untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut perlunasan prestasi melalui

kekayaan debitur, namun debitur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan

itikad baik. Dapat dilihat disini kedudukan kreditur yang kuat seimbang dengan kewajibannya

untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.8

3. Asas Kepercayaan.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan kepercayaan di

7
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit, hlm. 15
8
Mariam Firdaus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009, hlm, 88.
antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi

prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin

diadakan para pihak.

4. Asas Kebiasaan

Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata jo Pasal 1347 KUHPerdata. Menurut

asas ini perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-hal

yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.

5. Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa segala

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Sebenarnya dimaksudkan oleh Pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap

perjanjian mengikat kedua belah pihak,9 yang tersirat pula ajaran asas kekuatan mengikat yang

dikenal juga adagium-adagium “Pacta sunt servanda” yang berarti janji yang mengikat.

6. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap

dari kekuasaan mengikat perjanjian tersebut yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

7. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang

menimbulkan hak baginya untuk membuat kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat

dari zaakwaarneming, dimana seseorang yang akan melakukan suatu perbutan dengan sukarela

(moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan

menyelesaikan perbuatannya juga, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-

faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan yang melakukan berbuatan hukum itu
9
R. Subekti, Op. cit, hlm. 127
berdasarkan pada kesusilaan, sebagai panggilan dari hati nuraninya.

8. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan disini berkaitan dengan

kekuatan mengenai isi dari perjanjian.

9. Asas Itikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik maksudnya perjanjian itu dilaksanakan

menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

bersifat dinamis, artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati

sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat

harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta

pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu

memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain yang

menguntungkan diri pribadi.

Pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. tidak harus

diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada pelaksaan

perjanjian. Itikad baik harus dimaknai dalam seluruh proses perjanjian, artinya itikad baik harus

melandasi hubungan para pihak pada tahap pra perjanjian, perjanjian dan pelaksanaan perjanjian.

Dengan demikian fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. mempunyai sifat

dinamis melingkupi keseluruhan proses perjanjian tersebut.10

C. Syarat-syarat Sah Perjanjian


10
Ibid, hlm. 139.
Dalam membuat perjanjian para pihak dapat memuat segala macam perikatan, sesuai dengan

asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata, akan tetapi asas

kebebasan berkontrak yang bukan berarti boleh memuat perjanjian secara bebas, melainkan

harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk syahnya perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak

bebas untuk menentukan isi dan macamnya perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum seperti yang tertuang dalam Pasal 1337

KUHPerdata. Dengan kata lain, para pihak membuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas

dalam arti tetap selalu dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku. Suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang

diatur oleh undang-undang. Perjanjian tersebut diakui sah dan mendapat akibathukum (legally

concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, sayarat-sayarat sah

perjanjian:11

1. Ada persetujuan kehendak (consensus).

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan/kesetujuan para pihak mengenai pokok-pokok

isi perjanjian yang dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki oleh pihak lainya.

Persetujuan tersebut sudah final, tidak lagi dalam proses perundingan. Sebelum ada persetujuan,

biasanya para pihak mengadakan perundingan, pihak yang satu menyampaikan keinginan dan

syarat-syaratnya mengenai objek perjanjian kepada pihak yang lain dan pihak yang lainya

menyatakan juga kehendaknya mengenai objek perjanjian sehingga tercapai persetujuan yang

mantap bagi kedua pihak. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan

ataupun tekanan dari pihak manapun juga, sepenuhnya atas kemauan sukarela para pihak. Juga

termasuk persetujuan kehendak tidak dikarenakan ada kehilafan dan tidak ada penipuan.

2. Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity)


11
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hlm: 225
Kecakapan bertindak merupakan salah satu cakap hukum yaitu kemampuan untuk

melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat

hukum. Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah

dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21

tahun. Orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:12

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan; dan

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan

pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu. (ketentuan ini telah dicabut oleh Surat Edaran

Mahkamah Agung)

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian adalah perjanjian yang telah dibuat dapat

dimintakan pembatalan perjanjian kepada Hakim. Jika tidak dimintakan pembatalan maka

perjanjian tersebut tetap berlaku bagi para pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut.

3. Ada suatu hal tertentu (objek)

Suatu hal tertentu yang terdapat dalam isi perjanjian yang wajib dipenuhi/prestasi disebut

sebagai objek perjanjian. Kejelasan mengenai isi pokok perjanjian atau objek perjanjian adalah

untuk memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika isi pokok perjanjian, atau

objek perjanjian, atau prestasi perjanjian tidak jelas, sulit bahkan bila tidak mungkin dapat

dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig,void).

4. Ada suatu sebab yang halal (causa halal)

Causa atau sebab adalah suatu hal yang menyebabkan/mendorong orang untuk membuat

12
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita. Cetakan ke-
37, 2006, hlm: 341
perjanjian. Menurut KUHPerdata Pasal 1335 disebutkan bahwa ”suatu perjanjian tanpa sebab,

atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

Tapi dalam Pasal 1336 KUH Perdata disebutkan “jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada

sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang dinyatakan, perjanjianya

namun demikian adalah sah”. Sebab yang halal menurut Pasal 1337 KUHPerdata adalah sebab

yang tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban

umum.13

D. Jenis-Jenis Perjanjian

Secara garis besar KUHPerdata mengklasifikasikan jenis-jenis perjanjian adalah:14

1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak: Perjanjian timbal balik adalah perjanjian

yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian

sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada

pihak lainnya.

2. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak Membebani Perjanjian percuma

adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan

perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi

dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua

prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian Bernama dan tidak Bernama: Perjanjian bernama adalah perjanjian yang

mempunyai nama sendiri, yang terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan

perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan

13
Ibid, hlm. 342
14
Abdul Kadir Muhamad, Op. cit,, hlm.86.
jumlahnya tidak terbatas.

4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian

untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini

sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir sendiri adalah

perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiban para

pihak.

5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real: Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang

timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Sedangkan perjanjian real

adalah perjanjian disamping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada

penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan.

E. Subyek Dalam Perjanjian

Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan

lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian

itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu

perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut

yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang

atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang atau pihak

yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian

tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukandengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian

dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan

sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian. Berperan sebagai subyek dalam

suatu perjanjian, kreditur dan debitur pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama-
sama harus dilaksanakan, dan sesungguhnya posisi kreditur dan debitur dapat berubah dengan

tergantung dari sisi mana melihatnya.

F. Obyek Dalam Perjanjian

Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek dan

obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa

sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan

perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu

perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang

debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut.

Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari jasa

sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu yang

di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan sebagai

obyek perjanjian. Namun dalam KUHPerdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif dapat

menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu, begitu

juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian.15

Sahnya perjanjian diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara

lain:

1. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 KUHPerdata sub 3

dijelaskan bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.

2. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang

diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi,

15
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian
Kedalam Perancangan Kontrak, Denpasar, Udayana University Press, 2010, hlm. 33
karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil

untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kondisi yang ditentukan maka obyek tersebut

tidaklah dapat dijadikan suatu obyek perjanjian.

3. Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo.

1337 KUHPerdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika

obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek

tersebut dilarang oleh undang-undang ,ataupun bertentangan dengan kesusilaan ataupun

ketertiban umum.

4. Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang

ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang

lingkupnya dalam harta kekayaan. 16

G. Isi dari Perjanjian

Isi perjanjian pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah

diperjanjikan oleh pihak-pihak. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat ini berisi hak dan

kewajiban yang harus mereka penuhi. Menurut Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata,

elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi: (1) Isi perjanjian itu sendiri, (2) kepatutan, (3)

kebiasaan, dan (4) Undang-Undang. Tetapi dalam praktek peradilan menurut Mariam Darus

Badrulzaman, dkk. Urutan tersebut mengalami perubahan. Simpulan peradilan yang diambil dari

Pasal 3 Algemene Bepalingen (AB), menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumber

hukum, apabila ditunjuk oleh Undang-Undang. Dengan demikian peradilan menempatkan

Undang-Undang di atas kebiasaan, sehingga isi perjanjian menjadi: (1) hal yang tegas yang

diperjanjikan; (2) Undang-Undang; (3) kebiasaan; dan (.4) Kepatutan.


16
Patrik Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandung, Mandar Maju, 1994, hlm.3-4
1. Hal yang tegas yang diperjanjikan

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, yang dimaksud dengan isi perjanjian adalah apa yang

dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam

perjanjian tersebut baik secara terturis maupun tidak tertulis.

Tidak semua perjanjian harus dinyatakan secara tegas, apabila menurut kebiasaan selamanya

dianggap diperjanjikan (Pasal 1347KUHPerdata). Walaupun tidak dinyatakan secaca tegas, para

pihak pada dasarnya mengakui syarat-syarat demikian itu, kerena memberi akibat komersial

terhadap masud para pihak. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa syarat atau kewajiban yang

dinyatakan tidak tegas dalam perjanjian hanya timbul dalam keadaan tidak ada ketentuan yang

tegas mengenai persoalan tersebut.

2. Undang-Undang

Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua persetujuan tidak dapat

ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh

Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Berdasarkan ketentuan di atas, maka pembentuk

Undang-Undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat

sebagai Undang-Undang terhadap para pihak. Di sini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.

3. Kebiasaan

Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan: Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang

secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut perjanjian,

diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-Undang.

Kebiasaan yang dimaksud dalam ketentuan di atas adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte)

yaitu kebiasaan setempat atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu
(bestending gebruikelijkbeding).

4. Kepatutan

Pada dasarnya kepatutan ini merujuk pada ukuran tentang hubungan rasa keadilan dalam

masyarakat. Falsafah Negara Pancasila menampilkan ajaran bahwa harus ada keselarasan,

keserasian, dan keseimbangan antara penggunaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Dengan kata

lain di dalam kebebasan terkandung tanggung jawab. Selanjutnya berdasarkan Tap MPR Nomor

II/MPR/1978 menyatakan: Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan

kewajiban asasinyatanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan kepercayaan, jenis

kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkan sikap saling

mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa „tepo seliro’ serta sikap tidak semena-mena

terhadap orang lain.

H. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian

Syarat-syarat objek sebagaimana yang diuraikan pada bagian yang terdahulu merupakat isi

perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Masing-masing pihak dalam perjanjian

mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Kewajiban pihak pertama merupakan hak pihak kedua,

dan sebaliknya hak pihak pertama merupakan kewajiban bagi pihak kedua. Itu sebabnya

dikatakan bahwa inti sari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri.

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi yang dijanjikan itu adalah:

1. Untuk member sesuatu (to given)

2. Untuk membuat sesuatu (to doen)

3. Untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen)


Prestasi ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, prestasi

memberikan sesuatu (to given) maka pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan

(levering) sesuatu/benda dan pihak yang lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di

dalam Pasal 1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi merupakan kewajiban,

prestasi tidak hanya menimbulkan hak kepada satu pihak lalu kewajiban kepada pihak lain, tetapi

prestasi memberikan hak sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak.

I. Hapusnya Perjanjian

Berdasarkan KUHPerdata tidak diatur secara khusus tentang berakhirnya perjanjian, tetapi

yang diatur dalam Bab IV Buku III KUHPerdata hanya hapusnya perikatan-perikatan. Walaupun

demikian, ketentuan tentang hapusnya perikatan tersebut juga merupakan ketentuan tentang

hapusnya perjanjian karena perikatan yang dimaksud dalam BAB IV Buku III KUHPerdata

adalah perikatan pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun lahir dari perbuatan

melanggar hukum.17

Berakhirnya perjanjian yang diatur di dalam Bab IV Buku III KUHPerdata Pasal 1381

KUHPerdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perikatan yaitu: Pembayaran, penawaran

tunai disertai dengan penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang, percampuran hutang,

pembebasan hutang, musnahnya benda yang terhutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya

syarat batal, kadaluarsa atau lewat waktu.

Hapusnya perjanjian, harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya perikatan, karena

suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap

ada. Misalnya pada perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga, maka perikantan pembayaran

menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang
17
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 87.
belum terlaksana. Apabila, semua perikatan-perikatan daripada perjanjian telah hapus

seluruhnya, maka perjanjianpun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya perjanjian, sebagai

akibat hapusnya perikatan-perikatannya. Sebaliknya hapusnya perjanjian, dapat pula

mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatannya yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan

berlaku surut, misalnya sebagai daripada akibat pembatalan berdasarkan wanprestasi(Pasal 1266

KUHPerdata), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-perikatan

tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Akan tetapi,

dapat terjadi bahwa harus pula berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi kewajiban-

kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan pernyataan mengakhiri perjanjian, perjanjian sewa

menyewa dapat diakhiri, akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa yang telah dinikmati

tidak menjadi hapus karenanya.18

Perjanjian dapat hapus, karena :19

1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku untuk

waktu tertentu;

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian;

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa

tertentu, maka perjanjian akan hapus;

4. Menyatakan menghentikan perjanjian (opzegging);

5. Perjanjian hapus karena putusan hakim;

6. Tujuan perjanjian telah tercapai; dan

7. Dengan persetujuan para pihak (herrooeping)

Hal-hal yang mengakibatkan berakhirnya perjnajian, dalam KUHPerdata, terdapat dalam

18
R. Setiawan, Op.cit, hlm. 68.
19
Ibid
Pasal 1381, yaitu :20

a. Karena pembayaran;

b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

c. Karena pembaharuan utang;

d. Karena perjumpaan utang atau konpensasi;

e. Karena pencampuran utang;

f. Karena pembebasan utangnya;

g. Karena musnahnya barang yang terutang;

h. Karena kebatalan atau pembatalan;

i. Karena berlakunya syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini;

j. Karena liwatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Hubungan Kerja

2.1.1 Pengertian Hubungan Kerja Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 50 Undang-Undang

20
Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Presfektif Sekretaris, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005, hlm. 20.
No. 13 Tahun 2003, disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja

antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Jadi,

hubungan kerja adalah hubungan (hukum) antara pengusaha dengan buruh/pekerja berdasarkan

perjanjian kerja. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrack,

sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjajian

kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan lain, ikatan karena

adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.1 1 Adrian Sutedi, 2009. Hukum

Perburuhan, Sinar Grafika , Jakarta. hlm 45 9 2.1.2 Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian kerja

yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal

1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : ”Perjanjian kerja ialah suatu

persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya

kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”. Undang-Undang

No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni :

“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja

yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Selain pengertian normatif

seperti di atas, Imam Soepomo ( 53 : 1983 ) sebagaimana dikutip oleh Lalu Husni; berpendapat

bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengingatkan diri

untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan

diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.2 2.1.3 Unsur-unsur Perjanjian Kerja

Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai dengan ketentuan pasal 1

angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah : 1) Adanya

pekerjaan (arbeid); 2 Lalu Husni, 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, . hlm 64 10 2) Dibawah perintah/gejag verhouding (maksudnya


buruh melakukan pekerjaan atas perintah majikan,sehingga bersifat subordinasi); 3) Adanya

upah tertentu/loan; 4) Dalam waktu (tjid) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun atau

berdasarkan waktu tertentu. Unsur yang pertama, adalah Adanya pekerjaan (arbeid), yaitu

pekerjaan bebas sesuai dengan kesepakatan buruh dan majikan,asalkan tidak bertentangan

dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur

kedua, yaitu dibawah perintah (gejag verhouding), di dalam hubungan kerja kedudukan majikan

adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberikan

perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaanya. Kedudukan buruh sebagai pihak yang

menerima perintah untuk melaksanakan pekerjaan Unsur ketiga, adanya upah (loan) tertentu

yang menjadi imbalan atas pekerjaan yag telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah

berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah hak

pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha

atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu

perjanjian kerja. Unsur yang keempat adalah waktu (tjid) artinya buruh bekerja untuk waktu

yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak tertetu atau selama-lamanya.3 3 Asri Wijayanti,

2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 36-37 11 2.1.4

Syarat sahnya Perjanjian Kerja Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian

kerja harus memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.

13 Tahun 2003, perjanjian kerja dibuat secara tertulis dan lisan. Perjanjian kerja yang

dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW suatu perjanjian dikatakan sah apabila

memenuhi unsur-unsur : 1) Adanya sepakat ; 2) Kecakapan berbuat hukum ; 3) Hal tertentu ; 4)


Causa yag dibenarkan. Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi

yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja

harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki

pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang

ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerjaan tersebut untuk dipekerjakan. Kecakapan

berbuat hukum maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha haruslah cakap membuat

perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup

umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 Tahun (Pasal 1

angka 26 Undang-Undang 12 No. 13 Tahun 2003). Selain itu seorang dikatakan cakap membuat

perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya/waras. Hal tertentu artinya ada objek yang

diperjanjikan yaitu antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan

kewajiban para pihak. Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjan yang diperjanjikan

merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat

tersebut bersifat komulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa

perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas dari kedua belah pihak dan kemampuan atau

kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai

syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat

adanya pekerjaan yang diperjanjikandan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai

syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi, maka

perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jika

yang tidak dipenuhi syarat subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat

dibatalkan, pihak- pihak yang tidak memeberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga
oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat

meminta pembatalan perjnjian itu kepada hakim. 13 Dengan demikian perjanjian tersebut

mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.4 2.1.5 Bentuk dan Jangka

Waktu Perjanjian Kerja Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan‟/atau tertulis (Pasal

1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak

dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses

pembuktian. Dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurangkurangnya memuat

keterangan : 1) Nama, alamat, perusahaan dan jenis usaha; 2) Nama, jenis kelamin, umur, dan

alamat pekerja/buruh; 3) Jabatan atau jenis pekerjaan; 4) Tempat pekerjaan; 5) Besarnya upah

dan cara pembayaran; 6) Syarat-syarat kerja yang memua hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh; 7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; 8) Tempat dan tanggal

perjanjian kerja dibuat; 9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang

dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kontrak atau perjanjian kerja

tidak tetap. Status pekerjaanya adalah pekerjaan tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan

perjanjian kerja yang 4 Husni, Lalu, 2012. op.cit, hlm 68-69 14 dibuat untuk waktu tidak tertentu

biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjaan adalah pekerja tetap. 2.2

Kedudukan PDAM Sebagai BUMD Badan Usaha Milik Negara yang dikelola oleh pemerintah

daerah disebut badan usaha milik daerah (BUMD).Perusahaan daerah adalah perusahaan yang

didirikan oleh pemerintah daerah yang modalnya sebagian besar/seluruhnya adalah milik

pemerintah daerah. Adapun tujuan Perusahaan daerah menurut Pasal 5 ayat (2) UU Perusahan

Daerah ialah untuk turut serta melaksanakan pembangunan Daerah khususnya dan pembangunan

ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan
rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta kesenangan kerja dalam

perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur. PDAM adalah badan usaha milik daerah

(BUMD) yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD), di mana berdasarkan UU No. 5 Tahun 1962

tentang Perusahaan Daerah menyatakan bahwa PD adalah badan hukum. Sehingga sebagai badan

hukum (recht persoon), maka PDAM adalah sama halnya dengan subjek hukum manusia

(naturlijk persoon) yang menyandang hak dan kewajiban. Dengan kata lain, secara teoritis

kedudukannya adalah entitas yang otonom. Namun perlu dicermati bahwa secara filosofis

kehadiran PD adalah dalam rangka mengemban misi pembangunan Daerah pada khususnya dan

pembangunan ekonomi nasional pada umumnya. 15 Dengan demikian dapat dilihat bahwa

PDAM memiliki dua fungsi, yang mana di satu sisi sebagai badan usaha yang memiliki

kepentingan ekonomi yakni memperoleh laba guna pembiayaan gaji karyawan, operasional, dan

tentunya menambah pendapatan daerah, dan di sisi lain PDAM sebagai badan yang berorientasi

pada pelayanan masyarakat khususnya pemenuhan kebutuhan air bersih. Kedua fungsi tersebut

saling mengisi satu sama lain dengan menitik beratkan pada fungsi pelayanan kepada

masyarakat.5 Peranan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam memberikan kontribusi

terhadap PAD dilakukan dengan: a) Pelaksanaan program kerja internal yaitu memaksimalkan

potensi SDM dengan analisa jabatan terhadap kemampuan karyawan untuk ditetapkan deskripsi

jabatan dan spesifikasi jabatan, pengembangan kompetensi karyawan melalui pelatihan internal

maupun eksternal dan meningkatkan motivasi dan disiplin kerja karyawan dalam melaksanakan

tugas-tugasnya melalui penerapan sistem penggajian yang baik, sistem penghargaan dan sanksi

yang adil. b) Pelaksanaan Program Kerja Eksternal, yaitu meningkatkan cakupan pelayanan

sebagai ukuran keberhasilan perusahaan dalam mengembangkan usaha, meningkatkan

kontinuitas dan produktivitas air agar tidak terjadi kemacetan aliran air kepada pelanggan dan
distribusi air dapat berjalan secara normal; meminimalisasi tingkat kehilangan air dengan

melakukan metode kontrol tekanan, pengendalian kebocoran secara pasif, sounding 5

http://www.mediakonstruksintt.com/pertanggungjawaban-tata-kelola-pdam/ diakses pada 11

januari 2015 16 secara teratur, pengukuran wilayah dan pengukuran waste; peneraan meter air

yaitu upaya perbaikan atau penggantian meteran air (water meter); mempercepat proses

penyambungan pelanggan baru; meningkatkan perolehan laba dan memberikan kontribusi

terhadap Pendapatan Asli Kota Bandar Lampung.6 2.3 Kedudukan Hukum Pegawai BUMD

dalam Hubungan Kerja Perusahaan Daerah Air Minum yang selanjutnya disingkat PDAM adalah

Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pelayanan air minum. Sebagai BUMD

tentunya PDAM Way Rilau Harus memberikan konstribusi yang besar bagi PAD didaerahnya.

Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah

dijelaskan yaitu “Kedudukan hukum, gaji, pensiun dan sokongan serta penghasilan lain dari

Direksi dan pegawai/pekerja Perusahaan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah yang berlaku

setelah mendapat pengesahan instansi atasan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pokok

peraturan gaji Daerah yang berlaku”. Dalam penjelasan UU tersebut ditegaskan sebagai berikut :

a) Bahwa Dalam Perusahaan Daerah tidak ada pengertian buruh dan majikan, semuanya adalah

pegawai/pekerja perusahaan. b) Perusahaan Daerah disingkat (PERUSDA) status pegawainya

adalah pegawai perusahaan daerah atau bisa disebut sebagai pegawai BUMD 6

http://www.pdamwayrilau.com/c2.php?pid=5 diakses pada tanggal 10 januari 2015 17 yang

diatur tersendiri diluar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri atau perusahaan

swasta. Ketentuan mengenai ketenagakerjaan di BUMN/BUMD sudah tunduk pada ketentuan

hukum korporasi sebagaimana diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara dan UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah artinya segala peraturan
yang ada didalamnya harus ditaati oleh pegawai yang bekerja di BUMD. Dalam Pasal 87 ayat (1)

UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dijelaskan„ Karyawan BUMN

merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan

kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.” Artinya segala hal yang menyangkut

dibidang ketenagakerjaan harus merujuk atau tunduk kepada UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. 2.4 Hak dan Kewajiban Pegawai PDAM Hak dan Kewajiban Pegawai PDAM

diatur dalam Perda Kota Bandar Lampung No.5 Tahun 2013 tentang Organ Dan Kepegawaian

PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung. 2.4.1 Hak Pegawai PDAM Dalam Pasal 39 dijelaskan

setiap pegawai berhak : a) Setiap pegawai berhak atas pensiun yang pelaksanaannya ditetapkan

dengan Keputusan Direksi; 18 b) Direksi dan pegawai Perusahaan Daerah Air Minum wajib

diikutsertakan pada program pensiun yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Bersama

Perusahaan Daerah Air Minum Seluruh Indonesia (Dapenma Pamsi) atau Dana Pensiun

Lembaga Keuangan; c) Penyelengaraan program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan atas pertimbangan optimalisasi dan kepastian manfaat bagi Direksi dan pegawai

Perusahaan Daerah Air Minum sesuai dengan Perundang-undangan; d) Pegawai yang pensiun

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak atas uang pensiun yang besarnya ditetapkan dalam

peraturan Dana Pensiun Pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (Dapenma Pamsi). e) Selain

uang pensiun pegawai diberikan pesangon yang besarnya minimal 3 kali penghasilan terakhir. f)

Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan kepada pegawai yang pensiun

karena mencapai usia pensiun normal (56 tahun), pensiun dipercepat yang telah bekerja

sekurang-kurangnya 15 tahun dan karyawan yang pensiun karena meninggal dunia. 2.4.2

Kewajiban Pegawai PDAM Dalam pasal 43 ayat (1) disebutkan Setiap pegawai wajib : a) Setia
dan taat sepenuhnya pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah; b)

Mengutamakan kepentingan Negara, Pemerintah dan Perusahaan atas kepentingan golongan atau

diri sendiri; c) Menjunjung tinggi kehormatan atau martabat Perusahaan; d) Menyimpan rahasia

perusahaan atau rahasia jabatan dengan sebaikbaiknya; e) Melakukan tugas kedinasan dengan

sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab; f) Bekerja dengan jujur,tertib,cermat dan

bersemangat untuk kepentingan perusahaan; 19 g) Memelihara dan meningkatkan keutuhan

kerjasama Perusahaan; h) Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik; i)

Menggunakan dan memelihara barang-barang milik perusahaan sebaikbaiknya; j) Memberikan

pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidangnya masing-masing; k)

Bertindakdan bersikap tegas tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya; l) Membimbing

bawahannya dalam melaksanakan tugasnya; m) Menghormati atasan dalam melaksanakan tugas-

tugas kedinasannya; n) Melaksanakan semua peraturan perusahaan yang berlaku. 2.5 Tinjauan

Tentang Pemutusan Hubungan Kerja 2.5.1 Pengertian Tentang Pemutusan Hubungan Kerja

Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan

(pengusaha) lazimnya dikenal dengan dengan PHK atau pengakhiran hubungan kerja, yang dapat

terjadikarena telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya

dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara buruh dan majikan, meninggalnya buruh

atau karena sebab lainya. Undang-undang No 13 tahun 2003 Pasal 1 angka 25 menjelaskan

bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu

yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.

Pemutusan kerja bagi pihak buruh dapat memberikan pengaruh psikologis, ekonomis, finansial

sebab : 20 a) Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi buruh telah kehilangan mata

pencaharian; b) Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak
mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan, di samping biaya-biaya lain seperti pembuatan

surat-surat untuk keperluan lamaran dan foto copy suratsurat lain).; c) Kehilangan biaya hidup

untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.7

Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan berlakukan UU

PPHI 2004 tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan

Kerja di Perusahaan Swasta dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan

kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU

PPHI 2004.UU PPHI 2004, istilah sengketa yang digunakan adalah perselisihan atau perselisihan

hubungan industrial.8 2.5.2 Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja Dalam literatur hukum

ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu sebagai

berikut : 7Zainal Asikin, 2010. Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Rajagrafindo Persada,

Jakarta, . hlm 174 8Asri Wijayanti, 2020. Op-cit, Hlm 07. 21 a. PHK oleh majikan/pengusaha,

yaitu PHK oleh pihak pengusaha terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan

alasan,persyaratan, dan prosedur tertentu. 1) PHK setelah melalui surat peringatan (SP) pertama,

kedua, dan ketiga (Pasal 161 ayat (3)). 2) PHK oleh pengusaha yang tidak bersedia lagi

menerima pekerja/buruh (melanjutkan hubungan kerja) karena adanya perubahan status

penggabungan dan peleburan perusahaan (Pasal 163 ayat (2)). 3) PHK karena perusahaan tutup

(likuidasi) bukan karena perusahaan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (2)). 4) PHK karena

mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri (Pasal 168 ayat (3)). 5) PHK atas pengaduan

pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak yang berwajib)

melakukan“kesalahan”dan (ternyata) tidak benar (Pasal 169 ayat (3)). 6) PHK karena pengusaha
(orang-peroranagan) meninggal dunia Pasal 61 ayat (4)). b. PHK oleh pekerja/buruh,yaitu PHK

oleh pihak pekerja terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur

tertentu. 1) PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162 ayat (2)). 2) PHK karena

pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan oleh adanya perubahan

status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan (Pasal 163 ayat (1)). 3)

PHK atas permohonan pekerja/buruh kepada lembaga PPHI karena pengusaha

melakukan”kesalahan”dan (ternyata) benar (Pasal 169 ayat (2)). 4) PHK atas permohonan

pekerja/buruh karena sakit berkepanjangan, mengalami cacat (total-tetap) akibat kecelakaan

kerja (Pasal 172). 22 c. PHK demi hukum, yaitu PHK yang terjadi tanpa perlu adanya suatu

tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena

meninggalnya pekerja. 1) PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan mengalami

kerugian (Pasal 164 ayat (1)). 2) PHK karena pekerja/buruh meninggal (Pasal 166). 3) PHK

karena memasuki usia pensiun (Pasal 167 ayat (5)). 4) PHK karena berakhirnya PKWT pertama

(154 huruf b kalimat kedua). d. PHK oleh pengadilan (PPHI), yaitu PHK oleh putusan

pengadilan terjadi karena alasan-alasan tertentu yang mendesak dan penting,misalnya

terjadiperalihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit. 1) PHK karena perusahaan pailit

(berdasarkan putusan Pengadilan Niaga) (Pasal 165). 2) PHK terhadap anak yang tidak

memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI (Pasal 68). 3) PHK karena

berakhirnya PK (154 huruf b kalimat kedua).9 (UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan). 2.5.3 Penyebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Didalam Perda Kota

Bandar Lampung No.5 Tahun 2013 tentang Organ Dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air

Minum Way Rilau Kota Bandar Lampung penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja telah

dijelaskand dalam Pasal 49 : 1) Direksi berwenang memberhentikan dengan hormat pegawai


karena : 9Adrian Sutedi, op-cit. Hlm 66-69. 23 a. Telah mencapai usia 56 Tahun (usia pensiun

normal); b. Permintaan sendiri; c. Kesehatan tidak mengizinkan untuk dapat melaksanakan tugas

yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter; d. Meninggal dunia; e. Pengurangan pegawai;

2) Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat

hak pensiun yang ditetapkan dengan peraturan Dapenma Pamsi; 3) Bagi pegawai yang

diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pemberhentiannya

ditetapkan 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan berhenti. 4) Direksi berwenang

memberhentikan tidak dengan hormat pegawai karena : a. Melanggar sumpah janji karyawan dan

atau sumpah/janji jabatan; b. Sesudah mendapat petunjuk-petunjuk yang meyakinkan bahwa ia

telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya berdasarkan laporan tertulis hasil

pemeriksaan yang telah ditetapkan; c. Dalam waktu 1 (satu) bulan terus menerus meninggalkan

tugasnya secara tidak syah; d. Apabila tidak masuk kerja/meninggalkan tugas selama 46 hari

tanpa keterangan secara berturut-turut atau berselang dalam 1 (satu) tahun; e. Merugikan

keuangan PDAM; f. Dihukum berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara pidana yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam perda tersebut tidak dijelaskan perbedaan secara rinci

tentang pembedaan antara pekerja yang di-PHK dengan hormat dan tidak dengan hormat. 24

Sedangkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan juga dijelaskan mengenai penyebab

terjadinya PHK dengan kesalahan berat, hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 158 Undang-Undang

tentang Ketenagakerjaan: 1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a)

melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b)

memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c) mabuk,

meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika,


psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d) melakukan perbuatan asusila atau

perjudian di lingkungan kerja; e) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi

teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f) membujuk teman sekerja atau pengusaha

untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g)

dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik

perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h) dengan ceroboh atau sengaja

membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i)

membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk

kepentingan negara; atau j) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang

diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah

melakukan kesalahan berat harus didukung dengan bukti sebagai berikut: 1) pekerja/buruh

tertangkap tangan; 25 2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 3) bukti lain

berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang

bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Pengusaha dilarang

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan sebagai berikut: 1)

pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu

tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; 2) pekerja/buruh berhalangan

menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; 3) pekerja/buruh menjalankan ibadah

ibadah yang diperintahkan agamanya; 4) pekerja/buruh menikah; 5) pekerka/buruh perempuan

hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; 6) pekerja/buruh mempunyai

pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu

perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peratauran perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama; 7) pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja,

atau di dalam jam kerja atas kesepakatan mengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 8) pekerja/buruh

yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang

melakukan tindak pidana kejahatan; 9) karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,

warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; 26 10) pekerja/buruh

dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang

menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya berlum dapat dipastikan.

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi

hukum dan pengusaha waajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.10

2.5.4 Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Abdul Khakin dalam bukunya menyatakan

bahwa prosedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut : a. Sebelumnya semua

pihak,yaitu pengusaha , pekerja, serikat pekerja harus melakukan upaya untuk meenghindari

terjadinya PHK; b. Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja

mengadakan perundingan bersama; c. Jika perundingan berhasil, dibuat persetujuan bersama d.

Bila tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan disertai dasar dan alasan-

alasanya kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; e. Selama belum ada

penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kedua pihak

tetap melaksanakan segala kewajiban masing-masing, dimana pekerja/buruh tetap menjalankan

pekerjaanya dan pengusaha membayar upah.11 10 http://www.hukumtenagakerja.com/sebab-

sebab-terjadinya-pemutusan-hubungan-kerja/.diakses pada 13 januari 2015. 11 Abdul Khakim.

2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UndangUndang Nomor 13


Tahun 2003. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. hlm 115 27 Pemutusan hubungan kerja terpaksa

dilakukan apabila upaya-upaya tersebut diatas tidak berhasil memperbaiki keadaan perusahaan,

maka pengusaha terpaksa melakukan PHK dengan cara: a. Harus diadakan perundingan dan

penjelasan tentang keadaan perusahaan secara riil kepada serikat pekerja/serikat buruh; b.

Bersama serikat pekerja/serikat buruh merumuskan jumlah dan kriteria pekerja yang diputus

hubungan kerjanya; c. Merundingkan persyaratan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja

secara terbuka dan dilandasi itikad baik; d. Setelah persyaratan PHK telah disetujui bersama,

kemudian dilakukan sosialisasi agar dapat diketahui oleh seluruh pekerja/buruh sebagai dasar

diterima tidaknya syarat-syarat tersebut. e. Bila ada persetujuan dari masing-masing

pekerja/buruh, ditetapkan prioritas pelaksanaan pemutusan hubungan kerja secara bertahap f.

Pada saat penyelesaian PHK dibuat persetujuan bersama, dengan menyebutkan besarnya uang

pesangon.12 Dalam Pasal 150 UU Ketenagakerjaan dijelaskan Ketentuan mengenai pemutusan

hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di

badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau

milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan

usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar

upah atau imbalan dalam bentuk lain. 12 Abdul Hakim, Ibid, hlm 117 28 Pasal 151 UU

Ketenagakerjaan (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah,

dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2)

Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,

maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak

menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat

memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pasal 152 UU Ketenagakerjaan (1) Permohonan

penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan

penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan

oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk

memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan

kesepakatan. 2.6 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dalam UU No. 2 Tahun 2004

penyelesaian secara wajib dimulai dengan bipatrite (perundingan antar kedua belah pihak yang

berselisih). Kalau perundingan tersebut tidak selesai, baru dilanjutkan secara mediasi oleh

seorang mediator yang 29 ada di kantor yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

Kemudia kalau juga tidak selesai, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan

hubungan industrial. 2.6.1 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Bipatrite Pasal

3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa setiap perselisihan hubungan industrial wajib

diupayakan penyelesaianya terlebih dahulu melalui perundingan bipatride secara musyawarah

untuk mencapai mufakat. Undang-Undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap

perselisihan yang terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan PHK dan

perselisihan antar serikat pekerja) antar pekerja dan pengusaha wajib hukumnya untuk

diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secara bipaatrit sebelum menempuh

jalur penyelesaian yang lainya sebab tanpa adanya campur tangan dari pihak yang lain sehingga
dapat hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.13 Penyelesaian perselisihan melalui

bipatride harus mampu diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya

perundingan. Apabila pada jangka waktu tersebut belum mencapai kesepakatan, perundingan

bipatride dianggap gagal. Perundingan tersebut harus dibuat dalam bentuk suatu risalah yang

yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak.Risalah tersebut antara lain harus memuat : 1)

nama lengkap dan alamat para pihak; 2) tanggal dan tempat perundingan; 13 Ugo,S.H,

M.H.Pujiyo,S.H, M.H, 2011, Huukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

Sinar Grafika, Jakarta. hlm 54 30 3) pokok masalah atau alasan perselisihan; 4) pendapat para

pihak; 5) kesimpulan atau hasil perundingan; dan 6) tanggal serta tanda tangan para pihak yang

melakukan perundingan. (Pasal 6 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004). Jika perundingan tersebut

mencapai kesepakatan, hasil perundingan harus dituangkan ke dalam suatu perjanjian bersama

(PB) yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut, sebagaimana ketentuan

pasal 1385 KUHPerdata akan mengikat para phak sebagai undang-undang. Dan menurut pasal 7

ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 perjanjian bersama tersebut menjadi hukum yang wajib

dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Perjanjian Bersama tersebut harus didaftarkan

dipengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diwilayah para pihak mengadakan

perjanjian bersama. Dalam hal perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah ssatu pihak,

pihak yang dirugikan dapat mengajukan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada

pengadila negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.

Dalam hal penyelesaian secara bipatrite tersebut gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak

mencatatkan perselisihanya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerajaan

setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipatride telah

dilakukan.14 14 Zaeni Asyhadie, 2008. Hukum kerja: hukum ketenagakerjaan bidang hubungan
kerja, Rajawali Pers, Jakarta. hlm 159-160 31 2.6.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial Melalui Mediasi Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselessaikan melalui

mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungna industrial yang dikenal dalam UU. No. 2

Tahun 2004. Perselisihan hubungan industrial tersebut diselesaikan melalui musyawarah dengan

ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Apabila proses penyelesaian mediasi

tidak tercapai kesepakatan,mediator menyampaikan anjuran secara tertulis untuk memberikan

pendapat dalam enyelesaianya. Selanjutnya para pihak harus memberikan jawaban tertulis atas

anjuran tersebut, yang berisi setuju atau menolak anjuran. Pihak yang tidak memberikan

jawaban, dianggap menolak anjuran. Selanjutnya apabila anjuran pegawai perantara diterima

maka dibuat perjnjian bersama untuk didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial guna

mendapatkan akta bukti pendaftaran. Pemerintah dapat mengangkat seorang mediator yang

memenuhi syaratsyarat sebagaimana dituangkan dalam pasal 9 Undang-undang No. 2 Tahun

2004 dan minimal berpendidikan S- 1. Mediator sendiri adalah instansi pemerintah yang

bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator

yang memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk melakukan mediasi

dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih untuk

menyelesaikan perselisihan hak , perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar

serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 32 Dalam waktu selambat-lambat nya tujuh

hari kerja setelah menerima permintan tertulis, mediator harus sudah mengadakan penelitian

tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Dalam hal tercapai mediasi

kesepakatan penyelesaian melalui mediasi, dibuat perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani

para pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama. Dalam hal mediasi tidak mencapai

kesepakatan, mediator mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak


sidang mediasi pertama kepada para pihak. Para pihak harus memberikan pendapatnya secara

tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak menerima anjuran. Pihak yang

tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis, dan selanjutnya penyelesaian

perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri

setempat dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak. Mediator harus menyelesaikan

tugasnya paling lama 30 hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan.15 2.6.3

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Konsiliasi Konsiliasi adalah

penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang

atau lebih konsiliator yang netral. Prosedur konsiliasi tidak berbeda dengan mediasi, yaitu

menyelesaikan perselisihan diluar pengadilan untuk tercapainya kesepakatan, menyangkut

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan oleh 15Adrian Sutedi, Op.cit, hlm 110-112 33

konsiliator.16 Konsiliator berwenang untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat oekerja/buruh dalam satu

perusahaan, yang hanya bisa dilakukan setelah para pihak yang berselisih mengajukan

permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh

para pihak dan telah dilegitimasi pada wilayah kerjanya yang meliputi tempat pekerja/buruh

pekerja. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah menerima permintaan

penyelesaian secara tertulis, konsiliator sudah harus mengadakan penelitian tentang duduk

perkaranya dan selambat-lambatnya pada hari ke-8 harus sudah dilakukan sidang konsiliasi.

Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi,

maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikanoleh

konsiliator serta didaftar dipengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diwilayah
hukum pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti

pendaftaranya. Sebaliknya, dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan

industrial melalui konsiliasi, maka : a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis, Anjuran tertulis

tersebut paling tidak harus memuat : 1) Keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat

pekerja/serikat buruh; 2) Keterangan pengusaha; 3) Keterangan saksi atau saksi ahli apabila ada;

4) Pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator; 5) Isi anjuran. 16 Adrian Sutedi, ibid, hlm

112. 34 (Pasal 10 ayat (7) Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. PER-

10/MEN/V/2005). b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu

selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan

kepada para pihak; c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada

konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dlam waktu selambat-lambatnya

10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis. d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya

sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis. e. Dalam hal para pihak

menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-

lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu

para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan

Industrial pada pengadilan Negeri diwilayah hukum pihakpihak yang mengadakan Perjanjian

bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.17 2.6.4 Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Melalui Arbitrase Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial

melalui arbitrase juga merupakan salah satu alternatif, artinya upaya ini sama dengan konsiliasi

yang bersifat pilihan sukarela (voluntary), bukan wajib (mandatory). Penyelesaian melalui

arbitrase dilakukan oleh arbiter atas dasar kesepakatan parah pihak yang 17Zaeni. Op.cit. hlm

169-171. 35 berselisih. Arbiter dipilih dan ditunjuk oleh parah pihak dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh menteri. Lingkup penyelesaian melalui arbitase mencakup hanya dua jenis

perselisihan hubungan industri, yaitu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat

pekerja dalam satu perusahaan. Jangka waktu upaya penyelesaian melalui arbitrase sama dengan

bipartit atau konsiliasi paling lama tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian

penunjukan arbiter. Berdasarkan ketentuan UndangUndang No 2 Tahun 2004 mekanisme

penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitase diatur sebagai berikut; a.

Penyelesaian perselisihan melalui arbiter dilakukan oleh arbiter (Pasal 29). b. Penyelesaian

melalui arbitase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih (Pasal 32 ayat

(1)). c. Kesepakatan parah pihak yang berselisih tersebut dinyatakan secara tertulis dalam surat

perjanjian arbitrase, yang dibuat rangkap tiga (Pasal 32 ayat (2)). d. Apabilah parah pihak telah

menandatangani surat perjanjian arbitrase, parah pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter

yang ditetapkan menteri (Pasal 33 ayat (1)). e. Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk para pihak

yang berselisih membut perjanjian penunjukan arbiter dengan parah pihak yang berselisih terebut

(Pasal 34 ayat (1)). 36 f. Apabila arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat

perjanjian penunjukan, arbiter yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas

persetujuan parah pihak (Pasal 35 ayat (1)). g. Arbiter wajib menyelesaikan tugas arbitrase

selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan

arbiter (Pasal 40 ayat (1)). h. Arbiter harus memulai pemeriksaan atas perselisihan selambat-

lambatnya tiga hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter (Pasal 40

ayat (2)). i. Atas kesepakatan parah pihak, arbiter berwenang memperpanjang jangka waktu

penyelesaian perselisihan hubungan industrial satu kali perpanjangan selambat-lambatnya empat

belas hari kerja (Pasal 40 ayat (3)). j. Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan

secara tertutup, kecuali parah pihak yang berselisih menghendaki lain (Pasal 41). k. Dalam sidan
arbitase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasakhusus

(Pasal42). l. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya

mendamaikan kedua pihak yang berselisih (Pasal 44 ayat (1)). m. Apabila perdamaian tercapai,

arbiter atau majelis arbiter membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh parah pihak yang

berselisih dan arbiter atau majelis arbiter, kemudian didaftarkan di pengadilan 37 hubungan

industrial pada pengadilan negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian (Pasal 44 ayat (2)

dan ayat (3)). n. Apabila upaya perdamaian tersebut gagal, arbiter atau majelis arbiter

meneruskan sidang arbitrase (Pasal 44 ayat (5)). o. Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan

sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter (Pasal 48). p.

Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat parah pihak yang berselisih dan

merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (Pasal 51 ayat (1)). q. Putusan arbitrase

didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah arbiter

menetapkan putusan (Pasal 51 ayat (2)). r. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat

mengajukan permohonan pembatalan kepada mahkamah agung dalam waktu selambat-

lambatnya tiga puluh hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter, apabila putusan diduga

mengandung unsur-unsur sebagai berikut; 1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam

pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; 2) Setelah putusan

diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;

3) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan

perselisihan; 4) Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau 5) Putusan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 52 ayat (1)). - Perselisihan hubungan

industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke

pengadilan industrial (Pasal 53). 38 2.6.5 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan Yang dimaksud dengan penyelesaian melalui pengadilan adalah pengadilan

hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pengadilan hubungan industrial

merupakan cara terakhir yang dapat ditempuh oleh parah pihak dalam penyelesaian hubungan

industrial, jika dengan cara perundingan bipartit, konsiliasi, atau arbitrase dan mediasi tidak

berhasil dicapai kata mufakat, maka langkah terakhir adalah melalui pengadilan hubungan

industrial. Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial pada

UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 115.

Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan

peradilan umum. Disebut sebagai pengadilan khusus karena memiliki karakteristik khusus dalam

hal; a) Kewenanganya terbatas atau khusus b) Adanya hakim ad-hoc c) Adanya aturan-aturan

khusus (les specialis), seperti kuasa hukum, pengajuan gugatan, hukum acara, pemeriksaan,

jangka waktu penyelesaian, biaya perkara, dan upaya hukum. Kewenangan terbatas atau khusus,

Kewenangan pengadilan hubungan industrial hanya terbatas atau khusus memeriksa, mengadili

dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial, yakni perselisihan hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan kerja , dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 39 Adanya hakim ad-hoc, Hakim yang diadakan

khusus untuk keperluan memeriksa, mengadili, dan memberi putusan tehadap perselisihan

hubungan industrial. - Kuasa hukum, Sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum

dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan Organisasi

Advokat, berhak mewakili pekerja/buruh dalam beracara di pengadilan. Pengajuan gugatan,

Pengajuan gugatan di pengadilan hubungan industrial khusus pengajuan gugatan oleh

pekerja/buruh hanya dapat dilakukan dalam waktu paling lama satu tahun sejak tanggal
pemutusan hubungan kerja (Pasal 171 UU No 13 Tahun 2003), disamping itu, pengajuan

gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi. Hukum

acara, Hukum acara yang belaku di pengadilan hubungan industrial adalah hukum acara perdata

yang berlaku pada peradilan umum, kecuali secara khusus diatur dalam

undangundang.Kekhususan beracara di pengadilan hubungan industrial terletak antara lain pada

pemeriksaan, jangka waktu perselisihan, biaya perkara, dan upaya hukum. Pemeriksaan dan

jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan perkara di pengadilan hubungan industrial dibagi dalam

tiga macam pemeriksaan, yaitu pemeriksaan isi gugatan, pemeriksaan dengan acara biasa, dan

pemeriksaan dengan acara cepat. Biaya perkara, Pada asasnya beracara perdata di pengadilan

dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2 UU No 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial). Biaya perkara tersebut untuk biaya kepaniteraan, untuk

pemanggilan/pemberitahuan, dan biaya meterai. 40 Pengadilan hubungan industrial dalam hal

menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, oleh UU PPHI 2004 diberikan kewenangan

untuk memeriksa dan memutuskan hal-hal berikut; 1) Di tingkat pertama mengenai perselisihan

hak 2) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan 3) Di tingkat pertama

mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja 4) Di tingkat pertama dan terahkir mengenai

perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Dalam menjalankan kewenangannya

tersebut, pengadilan hubungan industrial menggunakan hukum acara perdata, kecuali yang diatur

khusus dalamUU PPHI 2004. UU PPHI 2004 juga memerintahkan kepada hakim untuk

membantu parah penggugat dalam mengajukan suatu surat gugatan.18 18 8Lalu Husni,2004,

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan. PT

Rajagrafindo Persada, Mataram,. hlm 82


BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN KERJA SECARA YURIDIS

A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja

Dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan perjanjian kerja sebagai pegangan yuridis dalam

hubungan kerja, telah mempunyai landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-

undang tersebut hanya diatur secara parsial tentang perjanjian kerja, tetapi paling tidak

keberadaan perjanjian kerja, telah diatur tersendiri di dalam undang-undang tersebut, yaitu dalam

Bab IX yang mengatur tentang Hubungan Kerja1 .

Di dalam Pasal 1 angka 15 UUKK ditegaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah, dan perintah2 . Dengan demikian jelaslah bahwa berarti perjanjian kerja

merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja.

1. Dasar Hukum Perjanjian Kerja

a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam pasal 27 ayat (2) Undang-

undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

peghidupan yang layak”3 .

1Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006),

Cet. Ke-6, h. 122

2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, ( Jakarta : Sinar Grafika),

Pasal 1 angka 15.

Afnil Guza, Himpunan Undang-Undang Tenaga Kerja, (tt : Asa Mandiri, 2008), Cet. Ke-2, h. 4 3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Surabaya : APOLLO), Pasal 27

ayat 1 35

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Ketentuan perburuhan dalam KUH Perdata diatur

dalam buku III, Bab 7A, bagian pertama mengenai ketentuan umum (Pasal 1601- 1601c), bagian

kedua tentang persetujuan perburuhan umumnya (Pasal 1601d-1601x), bagian ketiga tentang
kewajiban majikan (pasal 1602a- 1602z), bagian keempat tentang kewajiban buruh (pasal 1603a-

1603d), bagian kelima tentang tata cara berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan dari

persetujuan (pasal 1603e-1603w), dan ketentuan penutup (pasal 1603x-1603z)4 . c. Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Adapun peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang perjanjian kerja sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain 5 : 1) Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia

Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsdblad Tahun 1887 Nomor 8); 2)

Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja

Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 3) Ordonansi Tahun 1926 Peraturan

mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Taahun 1926 Nomor

87); 4 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo

Persada, 2008), Cet. Ke-8, h. 10 5 Lalu Husni, op.cit., h. 13 36 4) Ordonansi tanggal 4 Mei 1936

tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936

Nomor 208); 5) Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari

Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 6) Ordonansi Nomor 9 Tahun tentang

Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); 7) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari

Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); 8)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh

Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor

598a); 9) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran

Negara Tahun 1958 Nomor 8); 10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 Nomor 207,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11) Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963
tentang Pengesahan Pemogokan dan/ atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, 37 Jawatan, dan

Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12) Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1969 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara

Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13) Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Nomor 3702); 14) Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997

tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3791); 15) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penerapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1997 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1997 tentag Ketenagakerjaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000

Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan dapat dikatakan sebagai kompilasi dari ketentuan Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia, sehingga memudahkan para pihak yang berkepentingan untuk

mempelajarinya. Dengan 38 berlakunya undang-undang ini beberapa ketentuan perundang-

undangan peninggalan Belanda dan perundang-undangan nasional tersebut di atas dinyatakan

tidak berlaku lagi6 . Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan terdiri dari

XVIII BAB, dan 193 Pasal. Dalam Bab IX mengatur tentang Hubungan Kerja. Pasal 50

disebutkan bahwa Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan

pekerja/ buruh7 . Hal ini berarti bahwa perjanjian kerja merupakan dasar lahirnya hubungan

kerja. ketentuan mengenai perjanjian kerja diatur dalam Pasal 51-Pasal 66. d. Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) terdiri dari XI BAB,
dan 35 Pasal8 . Dalam BAB I mengatur tentang Penyelenggaran JAMSOSTEK , yang dalam

Pasal 3 disebutkan: 1) bahwa untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja

diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan

dengan mekanisme asuransi. 6 Lalu Husni, loc.cit. 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50 8Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) 39 2) Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga

kerja9 . Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini10 . e. Kepmenakertrans No. Kep. 102/Men/

VI/2004 tentang Waktu Kerja dan Lembur. Kepmenakertrans No. Kep. 102/Men/ VI/2004

tentang Waktu Kerja dan Lembur terdiri atas 16 Pasal. Pasal 3, Kepmenakertrans No. Kep.

102/Men/ VI/2004, disebutkan11 : (1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak

3 jam dalam 1 hari kerja dan 14 jam dalam 1 minggu (2) Ketentuan waktu lembur sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1 tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat

mingguan atau hari libur resmi. f. Kepmenakertrans No. Kep.100/Men/VI/2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Kepmenakertrans No.

Kep.100/Men/VI/2004 terdiri dari XI BAB dan 18 Pasal. Pasal 3, Kepmenakertrans No.

Kep.100/Men/VI/2004, yaitu 12: 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Pasal 3 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Pasal 4 ayat 1 11Kepmenakertrans No. Kep.

102/Men/ VI/2004 tentang Waktu Kerja dan Lembur, Pasal 3 40 (1) PKWT untuk pekerjaan

yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya

pekerjaan tertentu. (2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuat untuk paling lama 3
tahun. (3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan maka dalam PKWT sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1 dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT

tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. (4) Dalam hal PKWT yang

didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan

dinyatakan selesai. (5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu

namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan

pembaharuan PKWT. (6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dilakukan setelah

melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. (7) Selama tenggang

waktu 30 hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/

buruh dan pengusaha. (8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat 5 dan ayat 6

yang dituangkan dalam perjanjian. 12 Kepmenakertrans No. Kep.100/Men/VI/2004 tetang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pasal 3 41 g. Peraturan Daerah

Provinsi Riau Nomor : 4 Tahun 2013 Tentang Pelayanan, Penempatan, Dan Perlindungan

Ketenagakerjaan Provinsi Riau Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor : 4 Tahun 2013 Tentang

Pelayanan, Penempatan, Dan Perlindungan Ketenagakerjaan Provinsi Riau ini terdiri dari XIX

Bab dan 73 Pasal. Fungsi dari Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2013 ini adalah

sebagai Juklak dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang

dalam Pasal 51 juga mengatur tentang ketentuan waktu kerja13 . 2. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa

pengertian14. Pasal 1601 a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut : “Perjanjian

kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di

bawah perintah pihak lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan

menerima upah15 .” Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata tersebut di atas
tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah di bawah perintah pihak lain, di bawah perintah

ini menunjukkan bahwa hubungan 13Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor : 4 Tahun 2013

Tentang Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Ketenagakerjaan Provinsi Riau, Pasal 51 14

Lalu Husni, op.cit., h. 54. Djumadi, op.cit., h. 29 15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Pasal 1601 huruf a 42 pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan

(subordinasi)16 . Sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

dalam Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian lebih umum yakni : “Perjanjian kerja adalah

suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”17. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada

hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban

para pihak18 . Iman Soepomo19 , sebagaimana yang dikutip oleh Djumadi dalam bukunya

Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja juga mengemukakan bahwa “perjanjian kerja adalah suatu

perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah

pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan

membayar upah”. Pengertian mengenai perjanjian kerja yang dikemukakan oleh Iman Soepomo,

sebagaimana ynag dikutip oleh Djumadi dalam bukunya Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja

tersesbut, selaras dengan pengertian perjanjian kerja yang diketengahkan oleh A. Ridwan Halim,

Wiwoho 16 Lalu Husni, op.cit., h. 55 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14. Afnil Guza, op.cit., h. 4 18 Lalu Husni, loc.cit. 19 Iman

Soepomo adalah seorang pakar Hukum Perburuhan Indonesia. Lihat Djumadi, loc.cit. 43

Soedjono, serta oleh Soebekti, sebagaimana yang dikutip oleh Djumadi dalam bukunya Hukum

Perburuhan Perjanjian Kerja20 . 3. Subjek dan Objek Perjanjian Kerja Subjek hukum perjanjian

kerja adalah para pihak di dalam perjanjian kerja21. Kepada para pihak inilah diletakkan hak dan
kewajiban. Dengan pengertian ini maka subjek perjanjian kerja adalah pengusaha dan pekerja/

buruh22. Subjek hukum dalam perjanjian kerja pada hakikatnya adalah subjek hukum dalam

hubungan kerja. Objek perjanjian adalah isi dari perjanjian itu, yang menyangkut hak-hak dan

kewajiban para pihak yang membuat perjanjian itu23.Yang menjadi objek dalam perjanjian kerja

adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja24. Atas dasar tenaga telah dikeluarkan oleh

pekerja/ buruh maka ia akan mendapatkan upah. 4. Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja

Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja

yakni : a. Adanya unsur pekerjaan 20 Djumadi, op.cit., h.33 21 Abdul R. Budiono, Hukum

Perburuhan, (Jakarta : PT Indeks, 2009), Cet. Ke-1, h. 36 22Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja :

Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : PT RajaGrafindoPersada, 2007),

Cet. Ke-1, h.49 23 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : PT RajaGrafindo

Persada, 2008), Cet. Ke- 7, h. 74 24 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2010), Ed. 1, Cet. 2, h. 41 44 Dalam suatu perjanjian kerja harus ada

pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri

oleh pekerja, dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain25. Hal ini dijelaskan

dalam KUHPerdata Pasal 1603 yang berbunyi: “buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya,

hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”26 . b. Adanya

unsur perintah Di dalam hubungan kerja kedudukan pengusaha/ majikan adalah sebagai pemberi

kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberi perintah-perintah yang

berkaitan dengan pekerjaannya27. Kewajiban pekerja/ buruh sebagai pihak yang menerima

perintah untuk melaksanakan pekerjaan. Pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah

pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan28 . c. Adanya upah
Menurut pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 upah adalah hak pekerja/

buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau

pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian

kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, 25 Lalu Husni, op.cit., h. 56 26 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1603 27 Asri Wijayanti, op.cit., h. 37 28 Lalu Husni,

loc.cit. 45 termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/

atau jasa yang telah dilakukan29 . Upah memegang peranan penting dalam perjanjian kerja,

bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang bekerja pada pengusaha adalah untuk

memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada upah, maka suatu hubungan bukan merupakan

hubungan kerja30 . d. Dalam waktu yang ditentukan Waktu yang ditentukan, artinya buruh

bekerja untuk waktu yang ditentukan atau waktu yang tidak tertentu atau selama-lamanya31 .

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam Pasal 77 dan Pasal 78 jo Pasal 3 ayat (2)

Kepmenakertrans No. KEP- 102/MEN/VI/2004 jo Pasal 51 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan

Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan

Ketenagakerjaan Provinsi Riau ditentukan bahwa waktu kerja pekerja dalam satu minggu adalah

40 jam/ minggu32 . Untuk 6 hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam lima hari dan 5

jam dalam 1 hari33. Adapun untuk 5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari34.

Apabila kebutuhan proses produksi 29 Abdul R. Budiono, op.cit., h. 29. Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 30 30 Lalu Husni, loc.cit. 31 Asri

Wijayanti, op.cit., h. 37 32Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan,

Pasal 77 dan Pasal 78 jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 jo Pasal

51 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelayanan,

Penempatan, dan Perlindungan Ketenagakerjaan Provinsi Riau. Afnil Guza, op.cit., h. 30 33 Ibid.
34 Ibid. 46 menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maksimal 3 jam perhari

atau 14 jam perminggu35 . 5. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja a. Kewajiban

Pekerja/ Buruh Dalam peraturan perundang-undangan, perihal kewajiban pekerja atau buruh,

ketentuannya bisa dilihat pada pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c KUHPerdata, yang pada

prinsipnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Pekerja/ Buruh wajib melakukan pekerjaan

Pekerja/ buruh dalam melaksanakan isi dari perjanjian kerja, yaitu pekerjaan, pada prinsipnya

wajib dilakukan sendiri36 . Akan tetapi di dalam Pasal 1603 a KUHPerdata disebutkan karena

alasan-alasan tertentu, ketentuan tersebut dapat dikesampingkan dengan seizin pengusaha dapat

diwakilkan37 . 2) Pekerja/ buruh wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/ pengusaha Dalam

melakukan pekerjaan pekerja/ buruh wajib menaati perintah-perintah yang diberikan oleh

pengusaha. Aturan-aturan yang wajib ditaati oleh pekerja tersebut sebaiknya dituangkan dalam

peraturan perusahaan. Yang perlu diperhatikan di sini adalah pekerja wajib menaati perintah-

perintah yang diberikan oleh pengusaha/ majikan sepanjang diatur di dalam perjanjian kerja, dan

35 Ibid. 36 Djumadi, op.cit., h. 47. Lalu Husni, op.cit., h. 62. 37 KUHPerdata, Pasal 1603 a 47

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, norma susila, kebiasaan dan ketertiban

umum38 . 3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda Jika buruh melakukan perbuatan yang

merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip

hukum pekerja wajib membayar ganti rugi39 . b. Kewajiban Pengusaha 1) Membayar Upah

Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan kerja dengan pekerja/ buruh adalah

membayar upah tepat pada waktunya40. Menurut pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 upah adalah “hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang

sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan

dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau perundang-undangan termasuk


tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah

atau akan lakukan”41 . Dengan demikian, menurut UU No. 13 Tahun 2003, upah merupakan hak

dari pekerja/ buruh yang harus ditentukan sedemikian rupa sehingga merupakan salah satu

bentuk kebijakan 38 Djumadi, loc.it., 39 Lalu Husni, loc.cit., 40 Zaeni Ashadie, op.cit., h. 66 41

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 30. Afnil

Guza, op.cit., h. 4 48 perlindungan bagi pekerja/ buruh. Oleh karena itu, menurut UU No. 13

Tahun 2003 dalam Pasal 88 ayat (3), kebijakan perlindungan pengupahan meliputi 42: a) Upah

minimum; b) Upah kerja lembur; c) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d) Upah tidak

masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e) Upah karena menjalankan

hak waktu istirahat kerjanya; f) Bentuk dan cara pembayaran upah; g) Denda dan potongan upah;

h) Hal - hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i) Struktur dan skala pengupahan yang

proporsional; j) Upah untuk pembayaran pesangon; dan k) Upah untuk perhitungan pajak

penghasilan. 2) Memberikan istirahat/ cuti Pihak pengusaha/ majikan diwajibkan untuk

memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya

untuk menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Dengan demikian

diharapkan gairah kerja akan tetap stabil. Cuti tahunan lamanya 12 hari kerja. Selain itu pekerja

juga berhak atas cuti panjang selama 2 bulan setelah 42 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 ayat (3). Zaeni Asyhadie, op.cit., h. 67 49 bekerja terus-

menerus selama 6 tahun pada suatu perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun

2003)43 . 3) Mengurus perawatan dan pengobatan Pengusaha/ majikan wajib mengurus

perawatan/ pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan (Pasal 1602

KUHPerdata)44. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya

terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang
tidak bertempat tinggal di rumah majikan45. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit,

kecelakaan, kematian, telah dijamin melalui perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek46 . 4) Memberikan surat keterangan

Kewajiban memberikan surat keterangan dapat dikatakan sebagai kewajiban tambahan dari

seorang pengusaha/ majikan47 . Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 a

KUHPerdata yang menentukan bahwa pengusaha/ majikan wajib memberikan surat keterangan

yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan dalam surat keterangan tersebut dijelaskan

mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, dan lamanya hubungan kerja (masa 43 Lalu Husni,

op.cit., h. 63. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 79 ayat

(2) 44 Lalu husni, loc.cit. 45 Ibid. 46 Ibid. 47 Zainal Asikin, op.cit., h. 93 50 kerja)48. Surat

keterangan itu juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak

pekerja49. Surat keterangan ini sangat penting artinya sebagai bekal pekerja dalam mencari

pekerjaan baru sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya50 . 5) Kewajiban

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu Dalam hal membicarakan kewajiban ini, si majikan

haruslah bertindak sebijaksana mungkin, yaitu 51: a) Apa yang sebenarnya berdasarkan

ketentuan hukum harus dilakukan, dibiasakan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya. b) Apa

yang sebenarnya berdasarkan ketentuan hukum harus dicegah atau dihindari, dibiasakan untuk

dilakukan pencegahannya dengan penuh ketaatan. 6. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja a. Syarat

Materiil Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang- Undang No. 13 Tahun

200352, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan

secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 48 Lalu

Husni, op.cit., h. 64 49 Ibid. 50 Ibid. 51 Djumadi, op.cit., h. 49 52 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 51 ayat (1) dan (2) 51 Syarat materil dari
perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang

diadopsi dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dibuat atas dasar53 : 1) Kesepakatan kedua

belah pihak; 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3) Adanya pekerjaan

yang diperjanjikan; 4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila perjanjian kerja yang

dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja

itu dapat dibatalkan. Apabila bertentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat

hukumnya perjanjian kerja itu adalah batal demi hukum54 . b. Syarat Formil Selanjutnya suatu

perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54

Undang-undang No. 13 Tahun 2003, yaitu 55: (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis

sekurang-kurangnya memuat : a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b) Nama, jenis

kelamin, umur, dan alamat pekerja; 53Asri Wijayanti, op.cit., h. 42. Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 52 54Asri Wijayanti, loc.cit. 55Asri Wijayanti,

op.cit., h. 46. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 54 52 c)

Jabatan atau jenis pekerjaan; d) Tempat pekerjaan; e) Besarnya upah dan cara pembayarannya; f)

Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja; g) Mulai dan jangka

waktu berlakunya perjanjian kerja; h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i) Tanda

tangan dalam perjanjian kerja. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian

kerja bersama, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (3) Perjanjian kerja

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang

mempunyai kekuatan hukum sama, serta pekerja/ buruh dan masing-masing mendapat 1 (satu)

perjanjian kerja. Selain itu ketentuan mengenai perjanjian kerja diatur dalam Pasal 55 UU No. 13
Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali/ diubah, kecuali atas persetujuan

para pihak56 . 7. Jangka Waktu Perjanjian Kerja a. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu 56

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 55. Afnil Guza, op.cit.,

h. 21 53 Definisi perjanjian kerja untuk waktu tertentu ditegaskan di dalam keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri ini

menegaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antar pekerja/ buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan

tertentu57 . Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dan menggunakan

bahasa Indonesia dan huruf latin, serta harus memenuhi syarat-syarat, antara lain 58: 1) Harus

mempunyai jangka waktu tertentu; atau 2) Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu

tertentu; 3) Tidak mempunyai syarat masa percobaan. Jika perjanjian kerja untuk waktu tertentu

ini bertentangan dengan ketentuan di atas, perjanjian tersebut akan dianggap perjanjian kerja

untuk waktu tidak tertentu59 . Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam

waktu tertentu, yakni60: 1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 57

Kepmenakertrans No. Kep. 100/Men/VI/2004, Pasal 1 angka (1) 58 Zaeni Asyhadie, op.cit., h.

56 59 Ibid. 60 Ibid. 54 2) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama tiga tahun; 3) Pekerjaan yang bersifat musiman; 4) Pekerjaan yang

berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam

percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu

tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh diperpanjang atau diperbarui satu

kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun61 . Pengusaha yang bermaksud memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian waktu kerja

tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja yang

bersangkutan62 . Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah

melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang

lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama

dua tahun63 . b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu Perjanjian kerja untuk waktu tidak

tertentu ini adalah suatu jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, 61

Ibid. 62 Ibid. 63Ibid. 55 yang tidak memiliki jangka waktu berlakunya64 . Dengan demikian,

perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu berlaku terus. Ditegaskan dalam Pasal 61 Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa 65 : (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : (a) Pekerja

meninggal dunia; (b) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja ; (c) Adanya putusan pengadilan

dan / atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau (d) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang

dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang

dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) perjanjian kerja tidak berakhir karena

meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,

pewarisan atau hibah. (3) dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/ buruh

menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan

yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/ buruh. 64 Zaenal Asyhadie, op.cit., h. 57 65 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 61. Afnil Guza, op.cit., h. 23 56

(4) dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat

mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/ buruh. (5) dalam hal pekerja/

buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja untuk

waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan

pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum dalam masa percobaan. Ketentuan

tersebut diatur dalam Pasal 60 Undang-undang No. 13 Tahun 200366 . Perjanjian kerja untuk

waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulis dan lisan. Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 menegaskan dalam Pasal 63 menerangkan bahwa67 : (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu

tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi

pekerja/ buruh yang bersangkutan. (2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud sekurang-

kurangnya memuat keterangan : 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 60. Afnil Guza, op.cit., h.23 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 63. Afnil Guza, loc.cit. 57 (a) Nama dan alamat pekerja/ buruh;

(b) Tanggal mulai bekerja; (c) Jenis pekerjaan; dan (d) Besarnya upah B. Kedudukan Peraturan

Perusahaan di dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian Peraturan Perusahaan Pasal 1 ayat (20)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian bahwa

peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat

syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan68 . Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa

peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang berisikan tentang syarat kerja,

hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaan. dengan kata lain peraturan

perusahaan merupakan petunjuk teknis dari perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/ buruh

dengan pengusaha69 . Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh sekurang- kurangnya 10

(sepuluh) orang wajib membuat peraturan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau

pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 ayat 1 undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003)70 . 68 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat (20). Lalu Husni, op.cit.,

h. 79 69 Lalu Husni, loc.cit. 70 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang

Ketenagakerjaan, Pasal 108 ayat (1). Afnil Guza, op.cit., h.42 58 2. Syarat-syarat yang harus

dimuat dalam Peraturan Perusahaan Dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa peraturan perusahaan sekurang-

kurangnya memuat71 : a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Hak dan kewajiban pekerja/ buruh;

c. Syarat kerja; d. Tata tertib perusahaan; e. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan

Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perjanjian

kerja, perjanjian kerja bersama, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku72 . 3. Jangka

Waktu Berlakunya Peraturan Perusahaan Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)

tahun dan wajib diperbarui setelah habis masa berlakunya (Pasal 111 ayat 3 UUKK)73 .

Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) UUKK harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30

hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima (Pasal 112 ayat (1) UUKK)74 . 71

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 111 ayat (1). Afnil

Guza, op.cit., h. 43 72 Lalu Husni, op.cit., h. 81 73 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 111 ayat (3). Afnil Guza, op.cit., h. 43 74 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 112 ayat (1)

Anda mungkin juga menyukai