A. Pengertian Perjanjian
Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian
adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-
mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 1 Ada tiga tahap
2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
terhadap satu orang atau lebih, berbeda dengan pendapat dari Soebekti yang mengemukakan
pengertian perjanjian yang lebih luas, yaitu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seseorang lain atau dimana orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.2 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian itu adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal di
Jika ditelaah secara baik-baik pada Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu
1
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (buku kesatu), Jakarta, Sinar Grafika,2014,
hlm. 15-16
2
R. Soebekti, Hukum Perjanjian, Op. cit, hlm. 1.
3
Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hlm. 76.
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain, hal ini berarti dari
sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih
pihak kepada salah satu atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut.
Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan, dengan
kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor disatu sisi menjadi kreditor pada sisi
yang lain juga pada saat yang bersamaan, dan ini merupakan suatu karakteristik khusus dari
Dari ketiga definisi tentang perjanjian tersebut, dapat diartikan bahwa perjanjian adalah
perbuatan/tindakan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk melakukan suatu hal hingga
tercapainya kata sepakat dari para pihak di lingkungan harta kekayaan. Untuk melihat apakah
berhadapan dengan suatu perjanjian atau bukan, perlunya mengenali unsur-unsur perjanjian,
menurut Herlien Budiono unsur-unsur dari perjanjian tersebut ialah, sebagai berikut:4
- Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal
balik, dan;
B. Asas-Asas Perjanjian
Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum
tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam hal ini asas hukum bukanlah
4
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2011, hlm. 5
peraturan hukum yang konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya. Pada
umumnya asas hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat terpengaruh pada
waktu dan tempat. Handri Raharjo menyatakan bahwa terdapata lima asas dalam perjanjian,
yaitu:5
Hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka, hal ini berarti hukum memberikan
kebebasan untuk mengadakan perjanjian yang dikehendaki asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.6 Dengan diaturnya sistem terbuka, maka
hukum perjanjian menyiratkan asas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari Pasal
1338 (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan disebutkan secara
tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam
Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan
perjanjian.
Arti luas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul
karenanya itu sudah dilahirkan sejak detiktercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidaklah
diperuntukan suatu formalitas. Dikatakan juga, bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya
5
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Jakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 43-46
6
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Yogyakarta, Liberty,
2004, hlm. 9.
diharuskan perjanjian itu dilakukan secara tertulis (perjanjian “perdamaian”) atau dengan akta
notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu
kekecualian. Yang lazim, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti sudah mengikat, apabila
sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Jual beli, tukar
Asas Konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari
kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak
mewujudkan kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya kecacatan kehendak
d. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas
keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut perlunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun debitur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan
itikad baik. Dapat dilihat disini kedudukan kreditur yang kuat seimbang dengan kewajibannya
untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.8
3. Asas Kepercayaan.
7
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit, hlm. 15
8
Mariam Firdaus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2009, hlm, 88.
antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang janjinya untuk memenuhi
prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin
4. Asas Kebiasaan
Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata jo Pasal 1347 KUHPerdata. Menurut
asas ini perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga hal-hal
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa segala
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sebenarnya dimaksudkan oleh Pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap
perjanjian mengikat kedua belah pihak,9 yang tersirat pula ajaran asas kekuatan mengikat yang
dikenal juga adagium-adagium “Pacta sunt servanda” yang berarti janji yang mengikat.
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap
dari kekuasaan mengikat perjanjian tersebut yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
7. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang
menimbulkan hak baginya untuk membuat kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat
dari zaakwaarneming, dimana seseorang yang akan melakukan suatu perbutan dengan sukarela
menyelesaikan perbuatannya juga, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-
faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan yang melakukan berbuatan hukum itu
9
R. Subekti, Op. cit, hlm. 127
berdasarkan pada kesusilaan, sebagai panggilan dari hati nuraninya.
8. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan disini berkaitan dengan
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik maksudnya perjanjian itu dilaksanakan
menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
bersifat dinamis, artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati
sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat
harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta
pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu
memperhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain yang
Pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. tidak harus
diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada pelaksaan
perjanjian. Itikad baik harus dimaknai dalam seluruh proses perjanjian, artinya itikad baik harus
melandasi hubungan para pihak pada tahap pra perjanjian, perjanjian dan pelaksanaan perjanjian.
Dengan demikian fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. mempunyai sifat
asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUHPerdata, akan tetapi asas
kebebasan berkontrak yang bukan berarti boleh memuat perjanjian secara bebas, melainkan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk syahnya perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak
bebas untuk menentukan isi dan macamnya perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum seperti yang tertuang dalam Pasal 1337
KUHPerdata. Dengan kata lain, para pihak membuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas
dalam arti tetap selalu dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
diatur oleh undang-undang. Perjanjian tersebut diakui sah dan mendapat akibathukum (legally
perjanjian:11
isi perjanjian yang dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki oleh pihak lainya.
Persetujuan tersebut sudah final, tidak lagi dalam proses perundingan. Sebelum ada persetujuan,
biasanya para pihak mengadakan perundingan, pihak yang satu menyampaikan keinginan dan
syarat-syaratnya mengenai objek perjanjian kepada pihak yang lain dan pihak yang lainya
menyatakan juga kehendaknya mengenai objek perjanjian sehingga tercapai persetujuan yang
mantap bagi kedua pihak. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan
ataupun tekanan dari pihak manapun juga, sepenuhnya atas kemauan sukarela para pihak. Juga
termasuk persetujuan kehendak tidak dikarenakan ada kehilafan dan tidak ada penipuan.
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21
tahun. Orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:12
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
Mahkamah Agung)
Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian adalah perjanjian yang telah dibuat dapat
dimintakan pembatalan perjanjian kepada Hakim. Jika tidak dimintakan pembatalan maka
perjanjian tersebut tetap berlaku bagi para pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut.
Suatu hal tertentu yang terdapat dalam isi perjanjian yang wajib dipenuhi/prestasi disebut
sebagai objek perjanjian. Kejelasan mengenai isi pokok perjanjian atau objek perjanjian adalah
untuk memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika isi pokok perjanjian, atau
objek perjanjian, atau prestasi perjanjian tidak jelas, sulit bahkan bila tidak mungkin dapat
Causa atau sebab adalah suatu hal yang menyebabkan/mendorong orang untuk membuat
12
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita. Cetakan ke-
37, 2006, hlm: 341
perjanjian. Menurut KUHPerdata Pasal 1335 disebutkan bahwa ”suatu perjanjian tanpa sebab,
atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Tapi dalam Pasal 1336 KUH Perdata disebutkan “jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada
sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang dinyatakan, perjanjianya
namun demikian adalah sah”. Sebab yang halal menurut Pasal 1337 KUHPerdata adalah sebab
yang tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban
umum.13
D. Jenis-Jenis Perjanjian
1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak: Perjanjian timbal balik adalah perjanjian
yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada
pihak lainnya.
2. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak Membebani Perjanjian percuma
adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan
perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi
dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua
3. Perjanjian Bernama dan tidak Bernama: Perjanjian bernama adalah perjanjian yang
mempunyai nama sendiri, yang terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan
perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan
13
Ibid, hlm. 342
14
Abdul Kadir Muhamad, Op. cit,, hlm.86.
jumlahnya tidak terbatas.
untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini
perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiban para
pihak.
5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real: Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang
timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Sedangkan perjanjian real
adalah perjanjian disamping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada
Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan
lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian
itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu
perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut
yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang
atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang atau pihak
yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian
tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukandengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian
dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan
sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian. Berperan sebagai subyek dalam
suatu perjanjian, kreditur dan debitur pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama-
sama harus dilaksanakan, dan sesungguhnya posisi kreditur dan debitur dapat berubah dengan
Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek dan
obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa
sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan
perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu
perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang
debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut.
Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari jasa
sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu yang
di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan sebagai
obyek perjanjian. Namun dalam KUHPerdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif dapat
menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu, begitu
juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian.15
Sahnya perjanjian diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara
lain:
1. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 KUHPerdata sub 3
dijelaskan bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.
2. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang
diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi,
15
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian
Kedalam Perancangan Kontrak, Denpasar, Udayana University Press, 2010, hlm. 33
karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil
untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kondisi yang ditentukan maka obyek tersebut
3. Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo.
1337 KUHPerdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika
obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek
ketertiban umum.
4. Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang
ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang
Isi perjanjian pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat ini berisi hak dan
kewajiban yang harus mereka penuhi. Menurut Pasal 1339 dan Pasal 1347 KUH Perdata,
elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi: (1) Isi perjanjian itu sendiri, (2) kepatutan, (3)
kebiasaan, dan (4) Undang-Undang. Tetapi dalam praktek peradilan menurut Mariam Darus
Badrulzaman, dkk. Urutan tersebut mengalami perubahan. Simpulan peradilan yang diambil dari
Pasal 3 Algemene Bepalingen (AB), menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumber
Undang-Undang di atas kebiasaan, sehingga isi perjanjian menjadi: (1) hal yang tegas yang
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, yang dimaksud dengan isi perjanjian adalah apa yang
dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam
Tidak semua perjanjian harus dinyatakan secara tegas, apabila menurut kebiasaan selamanya
dianggap diperjanjikan (Pasal 1347KUHPerdata). Walaupun tidak dinyatakan secaca tegas, para
pihak pada dasarnya mengakui syarat-syarat demikian itu, kerena memberi akibat komersial
terhadap masud para pihak. Hal yang perlu diperhatikan, bahwa syarat atau kewajiban yang
dinyatakan tidak tegas dalam perjanjian hanya timbul dalam keadaan tidak ada ketentuan yang
2. Undang-Undang
Sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua persetujuan tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh
Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Berdasarkan ketentuan di atas, maka pembentuk
ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat
sebagai Undang-Undang terhadap para pihak. Di sini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.
3. Kebiasaan
Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan: Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut perjanjian,
Kebiasaan yang dimaksud dalam ketentuan di atas adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte)
yaitu kebiasaan setempat atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu
(bestending gebruikelijkbeding).
4. Kepatutan
Pada dasarnya kepatutan ini merujuk pada ukuran tentang hubungan rasa keadilan dalam
masyarakat. Falsafah Negara Pancasila menampilkan ajaran bahwa harus ada keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara penggunaan hak asasi dengan kewajiban asasi. Dengan kata
lain di dalam kebebasan terkandung tanggung jawab. Selanjutnya berdasarkan Tap MPR Nomor
II/MPR/1978 menyatakan: Manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang sama hak dan
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya. Karena itu dikembangkan sikap saling
mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa „tepo seliro’ serta sikap tidak semena-mena
Syarat-syarat objek sebagaimana yang diuraikan pada bagian yang terdahulu merupakat isi
perjanjian yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Masing-masing pihak dalam perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban sendiri. Kewajiban pihak pertama merupakan hak pihak kedua,
dan sebaliknya hak pihak pertama merupakan kewajiban bagi pihak kedua. Itu sebabnya
dikatakan bahwa inti sari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri.
memberikan sesuatu (to given) maka pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan
(levering) sesuatu/benda dan pihak yang lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di
dalam Pasal 1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi merupakan kewajiban,
prestasi tidak hanya menimbulkan hak kepada satu pihak lalu kewajiban kepada pihak lain, tetapi
I. Hapusnya Perjanjian
Berdasarkan KUHPerdata tidak diatur secara khusus tentang berakhirnya perjanjian, tetapi
yang diatur dalam Bab IV Buku III KUHPerdata hanya hapusnya perikatan-perikatan. Walaupun
demikian, ketentuan tentang hapusnya perikatan tersebut juga merupakan ketentuan tentang
hapusnya perjanjian karena perikatan yang dimaksud dalam BAB IV Buku III KUHPerdata
adalah perikatan pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun lahir dari perbuatan
melanggar hukum.17
Berakhirnya perjanjian yang diatur di dalam Bab IV Buku III KUHPerdata Pasal 1381
KUHPerdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perikatan yaitu: Pembayaran, penawaran
tunai disertai dengan penitipan, pembaharuan hutang, perjumpaan hutang, percampuran hutang,
pembebasan hutang, musnahnya benda yang terhutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya
suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap
ada. Misalnya pada perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga, maka perikantan pembayaran
menjadi hapus, sedangkan persetujuannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan barang
17
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 87.
belum terlaksana. Apabila, semua perikatan-perikatan daripada perjanjian telah hapus
seluruhnya, maka perjanjianpun akan berakhir. Dalam hal ini, hapusnya perjanjian, sebagai
berlaku surut, misalnya sebagai daripada akibat pembatalan berdasarkan wanprestasi(Pasal 1266
KUHPerdata), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-perikatan
tersebut tidak perlu lagi dipenuhi dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan. Akan tetapi,
dapat terjadi bahwa harus pula berakhir atau hapus untuk waktu selanjutnya, jadi kewajiban-
kewajiban yang telah ada tetap ada. Dengan pernyataan mengakhiri perjanjian, perjanjian sewa
menyewa dapat diakhiri, akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa yang telah dinikmati
1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku untuk
waktu tertentu;
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
18
R. Setiawan, Op.cit, hlm. 68.
19
Ibid
Pasal 1381, yaitu :20
a. Karena pembayaran;
i. Karena berlakunya syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini;
j. Karena liwatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian Hubungan Kerja Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam Pasal 50 Undang-Undang
20
Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Presfektif Sekretaris, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005, hlm. 20.
No. 13 Tahun 2003, disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Jadi,
hubungan kerja adalah hubungan (hukum) antara pengusaha dengan buruh/pekerja berdasarkan
perjanjian kerja. Dengan demikian, hubungan kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrack,
sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjajian
kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan lain, ikatan karena
adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.1 1 Adrian Sutedi, 2009. Hukum
Perburuhan, Sinar Grafika , Jakarta. hlm 45 9 2.1.2 Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian kerja
yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal
1601a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : ”Perjanjian kerja ialah suatu
persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya
kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”. Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian yakni :
“Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Selain pengertian normatif
seperti di atas, Imam Soepomo ( 53 : 1983 ) sebagaimana dikutip oleh Lalu Husni; berpendapat
bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengingatkan diri
untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan
diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.2 2.1.3 Unsur-unsur Perjanjian Kerja
Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai dengan ketentuan pasal 1
pekerjaan (arbeid); 2 Lalu Husni, 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.
upah tertentu/loan; 4) Dalam waktu (tjid) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun atau
berdasarkan waktu tertentu. Unsur yang pertama, adalah Adanya pekerjaan (arbeid), yaitu
pekerjaan bebas sesuai dengan kesepakatan buruh dan majikan,asalkan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur
kedua, yaitu dibawah perintah (gejag verhouding), di dalam hubungan kerja kedudukan majikan
adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberikan
perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaanya. Kedudukan buruh sebagai pihak yang
menerima perintah untuk melaksanakan pekerjaan Unsur ketiga, adanya upah (loan) tertentu
yang menjadi imbalan atas pekerjaan yag telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah
berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja. Unsur yang keempat adalah waktu (tjid) artinya buruh bekerja untuk waktu
yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak tertetu atau selama-lamanya.3 3 Asri Wijayanti,
2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 36-37 11 2.1.4
Syarat sahnya Perjanjian Kerja Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian
kerja harus memenuhi syarat sah nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.
13 Tahun 2003, perjanjian kerja dibuat secara tertulis dan lisan. Perjanjian kerja yang
berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW suatu perjanjian dikatakan sah apabila
yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja
harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki
pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang
ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerjaan tersebut untuk dipekerjakan. Kecakapan
berbuat hukum maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha haruslah cakap membuat
perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup
umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 Tahun (Pasal 1
angka 26 Undang-Undang 12 No. 13 Tahun 2003). Selain itu seorang dikatakan cakap membuat
perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya/waras. Hal tertentu artinya ada objek yang
diperjanjikan yaitu antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan
kewajiban para pihak. Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat
tersebut bersifat komulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa
perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas dari kedua belah pihak dan kemampuan atau
kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai
syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat
adanya pekerjaan yang diperjanjikandan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai
syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jika
yang tidak dipenuhi syarat subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, pihak- pihak yang tidak memeberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga
oleh orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat
meminta pembatalan perjnjian itu kepada hakim. 13 Dengan demikian perjanjian tersebut
mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.4 2.1.5 Bentuk dan Jangka
Waktu Perjanjian Kerja Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan‟/atau tertulis (Pasal
1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak
dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses
menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurangkurangnya memuat
keterangan : 1) Nama, alamat, perusahaan dan jenis usaha; 2) Nama, jenis kelamin, umur, dan
alamat pekerja/buruh; 3) Jabatan atau jenis pekerjaan; 4) Tempat pekerjaan; 5) Besarnya upah
dan cara pembayaran; 6) Syarat-syarat kerja yang memua hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh; 7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; 8) Tempat dan tanggal
perjanjian kerja dibuat; 9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang
dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan perjanjian kontrak atau perjanjian kerja
tidak tetap. Status pekerjaanya adalah pekerjaan tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan
perjanjian kerja yang 4 Husni, Lalu, 2012. op.cit, hlm 68-69 14 dibuat untuk waktu tidak tertentu
biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjaan adalah pekerja tetap. 2.2
Kedudukan PDAM Sebagai BUMD Badan Usaha Milik Negara yang dikelola oleh pemerintah
daerah disebut badan usaha milik daerah (BUMD).Perusahaan daerah adalah perusahaan yang
didirikan oleh pemerintah daerah yang modalnya sebagian besar/seluruhnya adalah milik
pemerintah daerah. Adapun tujuan Perusahaan daerah menurut Pasal 5 ayat (2) UU Perusahan
Daerah ialah untuk turut serta melaksanakan pembangunan Daerah khususnya dan pembangunan
ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan
rakyat dengan mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta kesenangan kerja dalam
perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur. PDAM adalah badan usaha milik daerah
(BUMD) yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD), di mana berdasarkan UU No. 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah menyatakan bahwa PD adalah badan hukum. Sehingga sebagai badan
hukum (recht persoon), maka PDAM adalah sama halnya dengan subjek hukum manusia
(naturlijk persoon) yang menyandang hak dan kewajiban. Dengan kata lain, secara teoritis
kedudukannya adalah entitas yang otonom. Namun perlu dicermati bahwa secara filosofis
kehadiran PD adalah dalam rangka mengemban misi pembangunan Daerah pada khususnya dan
pembangunan ekonomi nasional pada umumnya. 15 Dengan demikian dapat dilihat bahwa
PDAM memiliki dua fungsi, yang mana di satu sisi sebagai badan usaha yang memiliki
kepentingan ekonomi yakni memperoleh laba guna pembiayaan gaji karyawan, operasional, dan
tentunya menambah pendapatan daerah, dan di sisi lain PDAM sebagai badan yang berorientasi
pada pelayanan masyarakat khususnya pemenuhan kebutuhan air bersih. Kedua fungsi tersebut
saling mengisi satu sama lain dengan menitik beratkan pada fungsi pelayanan kepada
masyarakat.5 Peranan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dalam memberikan kontribusi
terhadap PAD dilakukan dengan: a) Pelaksanaan program kerja internal yaitu memaksimalkan
potensi SDM dengan analisa jabatan terhadap kemampuan karyawan untuk ditetapkan deskripsi
jabatan dan spesifikasi jabatan, pengembangan kompetensi karyawan melalui pelatihan internal
maupun eksternal dan meningkatkan motivasi dan disiplin kerja karyawan dalam melaksanakan
tugas-tugasnya melalui penerapan sistem penggajian yang baik, sistem penghargaan dan sanksi
yang adil. b) Pelaksanaan Program Kerja Eksternal, yaitu meningkatkan cakupan pelayanan
kontinuitas dan produktivitas air agar tidak terjadi kemacetan aliran air kepada pelanggan dan
distribusi air dapat berjalan secara normal; meminimalisasi tingkat kehilangan air dengan
januari 2015 16 secara teratur, pengukuran wilayah dan pengukuran waste; peneraan meter air
yaitu upaya perbaikan atau penggantian meteran air (water meter); mempercepat proses
terhadap Pendapatan Asli Kota Bandar Lampung.6 2.3 Kedudukan Hukum Pegawai BUMD
dalam Hubungan Kerja Perusahaan Daerah Air Minum yang selanjutnya disingkat PDAM adalah
Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pelayanan air minum. Sebagai BUMD
tentunya PDAM Way Rilau Harus memberikan konstribusi yang besar bagi PAD didaerahnya.
Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah
dijelaskan yaitu “Kedudukan hukum, gaji, pensiun dan sokongan serta penghasilan lain dari
Direksi dan pegawai/pekerja Perusahaan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah yang berlaku
peraturan gaji Daerah yang berlaku”. Dalam penjelasan UU tersebut ditegaskan sebagai berikut :
a) Bahwa Dalam Perusahaan Daerah tidak ada pengertian buruh dan majikan, semuanya adalah
adalah pegawai perusahaan daerah atau bisa disebut sebagai pegawai BUMD 6
diatur tersendiri diluar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri atau perusahaan
hukum korporasi sebagaimana diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara dan UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah artinya segala peraturan
yang ada didalamnya harus ditaati oleh pegawai yang bekerja di BUMD. Dalam Pasal 87 ayat (1)
UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dijelaskan„ Karyawan BUMN
dibidang ketenagakerjaan harus merujuk atau tunduk kepada UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. 2.4 Hak dan Kewajiban Pegawai PDAM Hak dan Kewajiban Pegawai PDAM
diatur dalam Perda Kota Bandar Lampung No.5 Tahun 2013 tentang Organ Dan Kepegawaian
PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung. 2.4.1 Hak Pegawai PDAM Dalam Pasal 39 dijelaskan
setiap pegawai berhak : a) Setiap pegawai berhak atas pensiun yang pelaksanaannya ditetapkan
dengan Keputusan Direksi; 18 b) Direksi dan pegawai Perusahaan Daerah Air Minum wajib
diikutsertakan pada program pensiun yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Bersama
Perusahaan Daerah Air Minum Seluruh Indonesia (Dapenma Pamsi) atau Dana Pensiun
Lembaga Keuangan; c) Penyelengaraan program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas pertimbangan optimalisasi dan kepastian manfaat bagi Direksi dan pegawai
Perusahaan Daerah Air Minum sesuai dengan Perundang-undangan; d) Pegawai yang pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak atas uang pensiun yang besarnya ditetapkan dalam
peraturan Dana Pensiun Pegawai Perusahaan Daerah Air Minum (Dapenma Pamsi). e) Selain
uang pensiun pegawai diberikan pesangon yang besarnya minimal 3 kali penghasilan terakhir. f)
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan kepada pegawai yang pensiun
karena mencapai usia pensiun normal (56 tahun), pensiun dipercepat yang telah bekerja
sekurang-kurangnya 15 tahun dan karyawan yang pensiun karena meninggal dunia. 2.4.2
Kewajiban Pegawai PDAM Dalam pasal 43 ayat (1) disebutkan Setiap pegawai wajib : a) Setia
dan taat sepenuhnya pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah; b)
Mengutamakan kepentingan Negara, Pemerintah dan Perusahaan atas kepentingan golongan atau
diri sendiri; c) Menjunjung tinggi kehormatan atau martabat Perusahaan; d) Menyimpan rahasia
perusahaan atau rahasia jabatan dengan sebaikbaiknya; e) Melakukan tugas kedinasan dengan
sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab; f) Bekerja dengan jujur,tertib,cermat dan
Bertindakdan bersikap tegas tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya; l) Membimbing
tugas kedinasannya; n) Melaksanakan semua peraturan perusahaan yang berlaku. 2.5 Tinjauan
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja 2.5.1 Pengertian Tentang Pemutusan Hubungan Kerja
Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara buruh dengan majikan
(pengusaha) lazimnya dikenal dengan dengan PHK atau pengakhiran hubungan kerja, yang dapat
dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan antara buruh dan majikan, meninggalnya buruh
atau karena sebab lainya. Undang-undang No 13 tahun 2003 Pasal 1 angka 25 menjelaskan
bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena satu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dan pengusaha.
Pemutusan kerja bagi pihak buruh dapat memberikan pengaruh psikologis, ekonomis, finansial
sebab : 20 a) Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi buruh telah kehilangan mata
pencaharian; b) Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak
mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan, di samping biaya-biaya lain seperti pembuatan
surat-surat untuk keperluan lamaran dan foto copy suratsurat lain).; c) Kehilangan biaya hidup
untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.7
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
PPHI 2004 tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan
kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU
PPHI 2004.UU PPHI 2004, istilah sengketa yang digunakan adalah perselisihan atau perselisihan
hubungan industrial.8 2.5.2 Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja Dalam literatur hukum
ketenagakerjaan, dikenal adanya beberapa jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu sebagai
Jakarta, . hlm 174 8Asri Wijayanti, 2020. Op-cit, Hlm 07. 21 a. PHK oleh majikan/pengusaha,
yaitu PHK oleh pihak pengusaha terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan
alasan,persyaratan, dan prosedur tertentu. 1) PHK setelah melalui surat peringatan (SP) pertama,
kedua, dan ketiga (Pasal 161 ayat (3)). 2) PHK oleh pengusaha yang tidak bersedia lagi
penggabungan dan peleburan perusahaan (Pasal 163 ayat (2)). 3) PHK karena perusahaan tutup
(likuidasi) bukan karena perusahaan mengalami kerugian (Pasal 164 ayat (2)). 4) PHK karena
mangkir yang dikualifikasi mengundurkan diri (Pasal 168 ayat (3)). 5) PHK atas pengaduan
pekerja/buruh yang menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak yang berwajib)
melakukan“kesalahan”dan (ternyata) tidak benar (Pasal 169 ayat (3)). 6) PHK karena pengusaha
(orang-peroranagan) meninggal dunia Pasal 61 ayat (4)). b. PHK oleh pekerja/buruh,yaitu PHK
oleh pihak pekerja terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur
tertentu. 1) PHK karena pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal 162 ayat (2)). 2) PHK karena
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja disebabkan oleh adanya perubahan
status, penggabungan, peleburan dan perubahan kepemilikan perusahaan (Pasal 163 ayat (1)). 3)
melakukan”kesalahan”dan (ternyata) benar (Pasal 169 ayat (2)). 4) PHK atas permohonan
kerja (Pasal 172). 22 c. PHK demi hukum, yaitu PHK yang terjadi tanpa perlu adanya suatu
tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena
meninggalnya pekerja. 1) PHK karena perusahaan tutup (likuidasi) yang disebabkan mengalami
kerugian (Pasal 164 ayat (1)). 2) PHK karena pekerja/buruh meninggal (Pasal 166). 3) PHK
karena memasuki usia pensiun (Pasal 167 ayat (5)). 4) PHK karena berakhirnya PKWT pertama
(154 huruf b kalimat kedua). d. PHK oleh pengadilan (PPHI), yaitu PHK oleh putusan
terjadiperalihan kepemilikan, peralihan aset atau pailit. 1) PHK karena perusahaan pailit
(berdasarkan putusan Pengadilan Niaga) (Pasal 165). 2) PHK terhadap anak yang tidak
memenuhi syarat untuk bekerja yang digugat melalui lembaga PPHI (Pasal 68). 3) PHK karena
berakhirnya PK (154 huruf b kalimat kedua).9 (UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan). 2.5.3 Penyebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Didalam Perda Kota
Bandar Lampung No.5 Tahun 2013 tentang Organ Dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air
Minum Way Rilau Kota Bandar Lampung penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja telah
normal); b. Permintaan sendiri; c. Kesehatan tidak mengizinkan untuk dapat melaksanakan tugas
yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter; d. Meninggal dunia; e. Pengurangan pegawai;
2) Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat
hak pensiun yang ditetapkan dengan peraturan Dapenma Pamsi; 3) Bagi pegawai yang
diberhentikan dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pemberhentiannya
memberhentikan tidak dengan hormat pegawai karena : a. Melanggar sumpah janji karyawan dan
telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya berdasarkan laporan tertulis hasil
pemeriksaan yang telah ditetapkan; c. Dalam waktu 1 (satu) bulan terus menerus meninggalkan
tugasnya secara tidak syah; d. Apabila tidak masuk kerja/meninggalkan tugas selama 46 hari
tanpa keterangan secara berturut-turut atau berselang dalam 1 (satu) tahun; e. Merugikan
keuangan PDAM; f. Dihukum berdasarkan putusan pengadilan dalam perkara pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam perda tersebut tidak dijelaskan perbedaan secara rinci
tentang pembedaan antara pekerja yang di-PHK dengan hormat dan tidak dengan hormat. 24
terjadinya PHK dengan kesalahan berat, hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 158 Undang-Undang
pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut: a)
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b)
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c) mabuk,
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f) membujuk teman sekerja atau pengusaha
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; h) dengan ceroboh atau sengaja
membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i)
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Pembuktian bahwa pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat harus didukung dengan bukti sebagai berikut: 1) pekerja/buruh
tertangkap tangan; 25 2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 3) bukti lain
berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang
bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan sebagai berikut: 1)
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; 2) pekerja/buruh berhalangan
pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peratauran perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama; 7) pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja,
atau di dalam jam kerja atas kesepakatan mengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 8) pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang
melakukan tindak pidana kejahatan; 9) karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku,
warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; 26 10) pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya berlum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan tersebut di atas adalah batal demi
2.5.4 Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Abdul Khakin dalam bukunya menyatakan
bahwa prosedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut : a. Sebelumnya semua
pihak,yaitu pengusaha , pekerja, serikat pekerja harus melakukan upaya untuk meenghindari
terjadinya PHK; b. Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja
Bila tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan penetapan disertai dasar dan alasan-
alasanya kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; e. Selama belum ada
dilakukan apabila upaya-upaya tersebut diatas tidak berhasil memperbaiki keadaan perusahaan,
maka pengusaha terpaksa melakukan PHK dengan cara: a. Harus diadakan perundingan dan
penjelasan tentang keadaan perusahaan secara riil kepada serikat pekerja/serikat buruh; b.
Bersama serikat pekerja/serikat buruh merumuskan jumlah dan kriteria pekerja yang diputus
secara terbuka dan dilandasi itikad baik; d. Setelah persyaratan PHK telah disetujui bersama,
kemudian dilakukan sosialisasi agar dapat diketahui oleh seluruh pekerja/buruh sebagai dasar
Pada saat penyelesaian PHK dibuat persetujuan bersama, dengan menyebutkan besarnya uang
hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di
badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan
usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain. 12 Abdul Hakim, Ibid, hlm 117 28 Pasal 151 UU
dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. (2)
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari,
maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya. (2) Permohonan
penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (2). (3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan
oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan. 2.6 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dalam UU No. 2 Tahun 2004
penyelesaian secara wajib dimulai dengan bipatrite (perundingan antar kedua belah pihak yang
berselisih). Kalau perundingan tersebut tidak selesai, baru dilanjutkan secara mediasi oleh
seorang mediator yang 29 ada di kantor yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.
Kemudia kalau juga tidak selesai, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
hubungan industrial. 2.6.1 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Bipatrite Pasal
3 UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa setiap perselisihan hubungan industrial wajib
untuk mencapai mufakat. Undang-Undang telah menentukan secara tegas bahwa setiap
perselisihan yang terjadi (perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan PHK dan
perselisihan antar serikat pekerja) antar pekerja dan pengusaha wajib hukumnya untuk
diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, yaitu secara bipaatrit sebelum menempuh
jalur penyelesaian yang lainya sebab tanpa adanya campur tangan dari pihak yang lain sehingga
dapat hasil yang menguntungkan kedua belah pihak.13 Penyelesaian perselisihan melalui
bipatride harus mampu diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan. Apabila pada jangka waktu tersebut belum mencapai kesepakatan, perundingan
bipatride dianggap gagal. Perundingan tersebut harus dibuat dalam bentuk suatu risalah yang
yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak.Risalah tersebut antara lain harus memuat : 1)
nama lengkap dan alamat para pihak; 2) tanggal dan tempat perundingan; 13 Ugo,S.H,
Sinar Grafika, Jakarta. hlm 54 30 3) pokok masalah atau alasan perselisihan; 4) pendapat para
pihak; 5) kesimpulan atau hasil perundingan; dan 6) tanggal serta tanda tangan para pihak yang
melakukan perundingan. (Pasal 6 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004). Jika perundingan tersebut
mencapai kesepakatan, hasil perundingan harus dituangkan ke dalam suatu perjanjian bersama
(PB) yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut, sebagaimana ketentuan
pasal 1385 KUHPerdata akan mengikat para phak sebagai undang-undang. Dan menurut pasal 7
ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 perjanjian bersama tersebut menjadi hukum yang wajib
dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Perjanjian Bersama tersebut harus didaftarkan
dipengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diwilayah para pihak mengadakan
perjanjian bersama. Dalam hal perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah ssatu pihak,
pihak yang dirugikan dapat mengajukan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada
pengadila negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
Dalam hal penyelesaian secara bipatrite tersebut gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak
setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipatride telah
dilakukan.14 14 Zaeni Asyhadie, 2008. Hukum kerja: hukum ketenagakerjaan bidang hubungan
kerja, Rajawali Pers, Jakarta. hlm 159-160 31 2.6.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Melalui Mediasi Perselisihan hubungan industrial yang bisa diselessaikan melalui
mediasi adalah semua jenis perselisihan hubungna industrial yang dikenal dalam UU. No. 2
Tahun 2004. Perselisihan hubungan industrial tersebut diselesaikan melalui musyawarah dengan
ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Apabila proses penyelesaian mediasi
pendapat dalam enyelesaianya. Selanjutnya para pihak harus memberikan jawaban tertulis atas
anjuran tersebut, yang berisi setuju atau menolak anjuran. Pihak yang tidak memberikan
jawaban, dianggap menolak anjuran. Selanjutnya apabila anjuran pegawai perantara diterima
maka dibuat perjnjian bersama untuk didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial guna
mendapatkan akta bukti pendaftaran. Pemerintah dapat mengangkat seorang mediator yang
2004 dan minimal berpendidikan S- 1. Mediator sendiri adalah instansi pemerintah yang
yang memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk melakukan mediasi
dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak , perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 32 Dalam waktu selambat-lambat nya tujuh
hari kerja setelah menerima permintan tertulis, mediator harus sudah mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Dalam hal tercapai mediasi
kesepakatan penyelesaian melalui mediasi, dibuat perjanjian bersama (PB) yang ditandatangani
para pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama. Dalam hal mediasi tidak mencapai
tertulis kepada mediator selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak menerima anjuran. Pihak yang
tidak memberikan pendapatnya dianggap menolak anjuran tertulis, dan selanjutnya penyelesaian
setempat dengan mengajukan gugatan oleh salah satu pihak. Mediator harus menyelesaikan
tugasnya paling lama 30 hari kerja sejak tanggal permintaan penyelesaian perselisihan.15 2.6.3
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih konsiliator yang netral. Prosedur konsiliasi tidak berbeda dengan mediasi, yaitu
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan oleh 15Adrian Sutedi, Op.cit, hlm 110-112 33
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat oekerja/buruh dalam satu
perusahaan, yang hanya bisa dilakukan setelah para pihak yang berselisih mengajukan
permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh
para pihak dan telah dilegitimasi pada wilayah kerjanya yang meliputi tempat pekerja/buruh
penyelesaian secara tertulis, konsiliator sudah harus mengadakan penelitian tentang duduk
perkaranya dan selambat-lambatnya pada hari ke-8 harus sudah dilakukan sidang konsiliasi.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi,
maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikanoleh
konsiliator serta didaftar dipengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diwilayah
hukum pihak-pihak yang mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti
industrial melalui konsiliasi, maka : a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis, Anjuran tertulis
tersebut paling tidak harus memuat : 1) Keterangan pekerja/buruh atau keterangan serikat
pekerja/serikat buruh; 2) Keterangan pengusaha; 3) Keterangan saksi atau saksi ahli apabila ada;
4) Pertimbangan hukum dan kesimpulan konsiliator; 5) Isi anjuran. 16 Adrian Sutedi, ibid, hlm
112. 34 (Pasal 10 ayat (7) Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No. PER-
selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan
kepada para pihak; c. Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dlam waktu selambat-lambatnya
10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis. d. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya
sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis. e. Dalam hal para pihak
menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dalam waktu selambat-
lambatnya 3 hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu
para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan
Industrial pada pengadilan Negeri diwilayah hukum pihakpihak yang mengadakan Perjanjian
melalui arbitrase juga merupakan salah satu alternatif, artinya upaya ini sama dengan konsiliasi
yang bersifat pilihan sukarela (voluntary), bukan wajib (mandatory). Penyelesaian melalui
arbitrase dilakukan oleh arbiter atas dasar kesepakatan parah pihak yang 17Zaeni. Op.cit. hlm
169-171. 35 berselisih. Arbiter dipilih dan ditunjuk oleh parah pihak dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh menteri. Lingkup penyelesaian melalui arbitase mencakup hanya dua jenis
perselisihan hubungan industri, yaitu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat
pekerja dalam satu perusahaan. Jangka waktu upaya penyelesaian melalui arbitrase sama dengan
bipartit atau konsiliasi paling lama tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian
Penyelesaian perselisihan melalui arbiter dilakukan oleh arbiter (Pasal 29). b. Penyelesaian
melalui arbitase dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih (Pasal 32 ayat
(1)). c. Kesepakatan parah pihak yang berselisih tersebut dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, yang dibuat rangkap tiga (Pasal 32 ayat (2)). d. Apabilah parah pihak telah
menandatangani surat perjanjian arbitrase, parah pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter
yang ditetapkan menteri (Pasal 33 ayat (1)). e. Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk para pihak
yang berselisih membut perjanjian penunjukan arbiter dengan parah pihak yang berselisih terebut
(Pasal 34 ayat (1)). 36 f. Apabila arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat
perjanjian penunjukan, arbiter yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas
persetujuan parah pihak (Pasal 35 ayat (1)). g. Arbiter wajib menyelesaikan tugas arbitrase
selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan
arbiter (Pasal 40 ayat (1)). h. Arbiter harus memulai pemeriksaan atas perselisihan selambat-
lambatnya tiga hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter (Pasal 40
ayat (2)). i. Atas kesepakatan parah pihak, arbiter berwenang memperpanjang jangka waktu
belas hari kerja (Pasal 40 ayat (3)). j. Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan
secara tertutup, kecuali parah pihak yang berselisih menghendaki lain (Pasal 41). k. Dalam sidan
arbitase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasakhusus
(Pasal42). l. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya
mendamaikan kedua pihak yang berselisih (Pasal 44 ayat (1)). m. Apabila perdamaian tercapai,
arbiter atau majelis arbiter membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh parah pihak yang
berselisih dan arbiter atau majelis arbiter, kemudian didaftarkan di pengadilan 37 hubungan
industrial pada pengadilan negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian (Pasal 44 ayat (2)
dan ayat (3)). n. Apabila upaya perdamaian tersebut gagal, arbiter atau majelis arbiter
meneruskan sidang arbitrase (Pasal 44 ayat (5)). o. Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan
sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter (Pasal 48). p.
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat parah pihak yang berselisih dan
merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap (Pasal 51 ayat (1)). q. Putusan arbitrase
menetapkan putusan (Pasal 51 ayat (2)). r. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat
lambatnya tiga puluh hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter, apabila putusan diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut; 1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; 2) Setelah putusan
diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
3) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke
pengadilan industrial (Pasal 53). 38 2.6.5 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan Yang dimaksud dengan penyelesaian melalui pengadilan adalah pengadilan
merupakan cara terakhir yang dapat ditempuh oleh parah pihak dalam penyelesaian hubungan
industrial, jika dengan cara perundingan bipartit, konsiliasi, atau arbitrase dan mediasi tidak
berhasil dicapai kata mufakat, maka langkah terakhir adalah melalui pengadilan hubungan
UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 115.
Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan
peradilan umum. Disebut sebagai pengadilan khusus karena memiliki karakteristik khusus dalam
hal; a) Kewenanganya terbatas atau khusus b) Adanya hakim ad-hoc c) Adanya aturan-aturan
khusus (les specialis), seperti kuasa hukum, pengajuan gugatan, hukum acara, pemeriksaan,
jangka waktu penyelesaian, biaya perkara, dan upaya hukum. Kewenangan terbatas atau khusus,
Kewenangan pengadilan hubungan industrial hanya terbatas atau khusus memeriksa, mengadili
dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial, yakni perselisihan hak,
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 39 Adanya hakim ad-hoc, Hakim yang diadakan
khusus untuk keperluan memeriksa, mengadili, dan memberi putusan tehadap perselisihan
hubungan industrial. - Kuasa hukum, Sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan Organisasi
pekerja/buruh hanya dapat dilakukan dalam waktu paling lama satu tahun sejak tanggal
pemutusan hubungan kerja (Pasal 171 UU No 13 Tahun 2003), disamping itu, pengajuan
gugatan harus dilampiri risalah penyelesaian perselisihan melalui mediasi atau konsiliasi. Hukum
acara, Hukum acara yang belaku di pengadilan hubungan industrial adalah hukum acara perdata
yang berlaku pada peradilan umum, kecuali secara khusus diatur dalam
pemeriksaan, jangka waktu perselisihan, biaya perkara, dan upaya hukum. Pemeriksaan dan
jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan perkara di pengadilan hubungan industrial dibagi dalam
tiga macam pemeriksaan, yaitu pemeriksaan isi gugatan, pemeriksaan dengan acara biasa, dan
pemeriksaan dengan acara cepat. Biaya perkara, Pada asasnya beracara perdata di pengadilan
untuk memeriksa dan memutuskan hal-hal berikut; 1) Di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak 2) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan 3) Di tingkat pertama
mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja 4) Di tingkat pertama dan terahkir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Dalam menjalankan kewenangannya
tersebut, pengadilan hubungan industrial menggunakan hukum acara perdata, kecuali yang diatur
khusus dalamUU PPHI 2004. UU PPHI 2004 juga memerintahkan kepada hakim untuk
membantu parah penggugat dalam mengajukan suatu surat gugatan.18 18 8Lalu Husni,2004,
hubungan kerja, telah mempunyai landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-
undang tersebut hanya diatur secara parsial tentang perjanjian kerja, tetapi paling tidak
keberadaan perjanjian kerja, telah diatur tersendiri di dalam undang-undang tersebut, yaitu dalam
Di dalam Pasal 1 angka 15 UUKK ditegaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah, dan perintah2 . Dengan demikian jelaslah bahwa berarti perjanjian kerja
a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam pasal 27 ayat (2) Undang-
undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
1Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006),
Afnil Guza, Himpunan Undang-Undang Tenaga Kerja, (tt : Asa Mandiri, 2008), Cet. Ke-2, h. 4 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Surabaya : APOLLO), Pasal 27
ayat 1 35
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Ketentuan perburuhan dalam KUH Perdata diatur
dalam buku III, Bab 7A, bagian pertama mengenai ketentuan umum (Pasal 1601- 1601c), bagian
kedua tentang persetujuan perburuhan umumnya (Pasal 1601d-1601x), bagian ketiga tentang
kewajiban majikan (pasal 1602a- 1602z), bagian keempat tentang kewajiban buruh (pasal 1603a-
1603d), bagian kelima tentang tata cara berakhirnya hubungan kerja yang diterbitkan dari
yang mengatur tentang perjanjian kerja sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, antara lain 5 : 1) Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia
Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsdblad Tahun 1887 Nomor 8); 2)
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja
Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 3) Ordonansi Tahun 1926 Peraturan
mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad Taahun 1926 Nomor
87); 4 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2008), Cet. Ke-8, h. 10 5 Lalu Husni, op.cit., h. 13 36 4) Ordonansi tanggal 4 Mei 1936
tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936
Nomor 208); 5) Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari
Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 6) Ordonansi Nomor 9 Tahun tentang
Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8); 7) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari
Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); 8)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh
Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor
598a); 9) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8); 10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 Nomor 207,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 11) Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963
tentang Pengesahan Pemogokan dan/ atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, 37 Jawatan, dan
Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 12) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1969 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); 13) Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Nomor 3702); 14) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3791); 15) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penerapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-
Tahun 1997 tentag Ketenagakerjaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tidak berlaku lagi6 . Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan terdiri dari
XVIII BAB, dan 193 Pasal. Dalam Bab IX mengatur tentang Hubungan Kerja. Pasal 50
disebutkan bahwa Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/ buruh7 . Hal ini berarti bahwa perjanjian kerja merupakan dasar lahirnya hubungan
kerja. ketentuan mengenai perjanjian kerja diatur dalam Pasal 51-Pasal 66. d. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) terdiri dari XI BAB,
dan 35 Pasal8 . Dalam BAB I mengatur tentang Penyelenggaran JAMSOSTEK , yang dalam
diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan
dengan mekanisme asuransi. 6 Lalu Husni, loc.cit. 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) 39 2) Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga
kerja9 . Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa program jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja
VI/2004 tentang Waktu Kerja dan Lembur. Kepmenakertrans No. Kep. 102/Men/ VI/2004
tentang Waktu Kerja dan Lembur terdiri atas 16 Pasal. Pasal 3, Kepmenakertrans No. Kep.
102/Men/ VI/2004, disebutkan11 : (1) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak
3 jam dalam 1 hari kerja dan 14 jam dalam 1 minggu (2) Ketentuan waktu lembur sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Pasal 3 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Pasal 4 ayat 1 11Kepmenakertrans No. Kep.
102/Men/ VI/2004 tentang Waktu Kerja dan Lembur, Pasal 3 40 (1) PKWT untuk pekerjaan
yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya
pekerjaan tertentu. (2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuat untuk paling lama 3
tahun. (3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan maka dalam PKWT sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT
tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. (4) Dalam hal PKWT yang
didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan
dinyatakan selesai. (5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu
namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan
pembaharuan PKWT. (6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dilakukan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. (7) Selama tenggang
waktu 30 hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/
buruh dan pengusaha. (8) Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat 5 dan ayat 6
Provinsi Riau Nomor : 4 Tahun 2013 Tentang Pelayanan, Penempatan, Dan Perlindungan
Ketenagakerjaan Provinsi Riau Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor : 4 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan, Penempatan, Dan Perlindungan Ketenagakerjaan Provinsi Riau ini terdiri dari XIX
Bab dan 73 Pasal. Fungsi dari Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2013 ini adalah
sebagai Juklak dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang
dalam Pasal 51 juga mengatur tentang ketentuan waktu kerja13 . 2. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa
pengertian14. Pasal 1601 a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut : “Perjanjian
kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di
bawah perintah pihak lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah15 .” Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata tersebut di atas
tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah di bawah perintah pihak lain, di bawah perintah
ini menunjukkan bahwa hubungan 13Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor : 4 Tahun 2013
Lalu Husni, op.cit., h. 54. Djumadi, op.cit., h. 29 15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Pasal 1601 huruf a 42 pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan
dalam Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian lebih umum yakni : “Perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”17. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada
hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban
para pihak18 . Iman Soepomo19 , sebagaimana yang dikutip oleh Djumadi dalam bukunya
Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja juga mengemukakan bahwa “perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian di mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah
pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan
membayar upah”. Pengertian mengenai perjanjian kerja yang dikemukakan oleh Iman Soepomo,
sebagaimana ynag dikutip oleh Djumadi dalam bukunya Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja
tersesbut, selaras dengan pengertian perjanjian kerja yang diketengahkan oleh A. Ridwan Halim,
Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14. Afnil Guza, op.cit., h. 4 18 Lalu Husni, loc.cit. 19 Iman
Soepomo adalah seorang pakar Hukum Perburuhan Indonesia. Lihat Djumadi, loc.cit. 43
Soedjono, serta oleh Soebekti, sebagaimana yang dikutip oleh Djumadi dalam bukunya Hukum
Perburuhan Perjanjian Kerja20 . 3. Subjek dan Objek Perjanjian Kerja Subjek hukum perjanjian
kerja adalah para pihak di dalam perjanjian kerja21. Kepada para pihak inilah diletakkan hak dan
kewajiban. Dengan pengertian ini maka subjek perjanjian kerja adalah pengusaha dan pekerja/
buruh22. Subjek hukum dalam perjanjian kerja pada hakikatnya adalah subjek hukum dalam
hubungan kerja. Objek perjanjian adalah isi dari perjanjian itu, yang menyangkut hak-hak dan
kewajiban para pihak yang membuat perjanjian itu23.Yang menjadi objek dalam perjanjian kerja
adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja24. Atas dasar tenaga telah dikeluarkan oleh
pekerja/ buruh maka ia akan mendapatkan upah. 4. Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja
yakni : a. Adanya unsur pekerjaan 20 Djumadi, op.cit., h.33 21 Abdul R. Budiono, Hukum
Perburuhan, (Jakarta : PT Indeks, 2009), Cet. Ke-1, h. 36 22Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja :
Cet. Ke-1, h.49 23 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 2008), Cet. Ke- 7, h. 74 24 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2010), Ed. 1, Cet. 2, h. 41 44 Dalam suatu perjanjian kerja harus ada
pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri
oleh pekerja, dan hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain25. Hal ini dijelaskan
dalam KUHPerdata Pasal 1603 yang berbunyi: “buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya,
hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”26 . b. Adanya
unsur perintah Di dalam hubungan kerja kedudukan pengusaha/ majikan adalah sebagai pemberi
kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberi perintah-perintah yang
berkaitan dengan pekerjaannya27. Kewajiban pekerja/ buruh sebagai pihak yang menerima
perintah untuk melaksanakan pekerjaan. Pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah
pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan28 . c. Adanya upah
Menurut pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 upah adalah hak pekerja/
buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1603 27 Asri Wijayanti, op.cit., h. 37 28 Lalu Husni,
loc.cit. 45 termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/
atau jasa yang telah dilakukan29 . Upah memegang peranan penting dalam perjanjian kerja,
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang bekerja pada pengusaha adalah untuk
memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada upah, maka suatu hubungan bukan merupakan
hubungan kerja30 . d. Dalam waktu yang ditentukan Waktu yang ditentukan, artinya buruh
bekerja untuk waktu yang ditentukan atau waktu yang tidak tertentu atau selama-lamanya31 .
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam Pasal 77 dan Pasal 78 jo Pasal 3 ayat (2)
Kepmenakertrans No. KEP- 102/MEN/VI/2004 jo Pasal 51 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan
Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan
Ketenagakerjaan Provinsi Riau ditentukan bahwa waktu kerja pekerja dalam satu minggu adalah
40 jam/ minggu32 . Untuk 6 hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam lima hari dan 5
jam dalam 1 hari33. Adapun untuk 5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari34.
Apabila kebutuhan proses produksi 29 Abdul R. Budiono, op.cit., h. 29. Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 30 30 Lalu Husni, loc.cit. 31 Asri
Pasal 77 dan Pasal 78 jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 jo Pasal
51 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 4 Tahun 2013 tentang Pelayanan,
Penempatan, dan Perlindungan Ketenagakerjaan Provinsi Riau. Afnil Guza, op.cit., h. 30 33 Ibid.
34 Ibid. 46 menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maksimal 3 jam perhari
atau 14 jam perminggu35 . 5. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja a. Kewajiban
Pekerja/ Buruh Dalam peraturan perundang-undangan, perihal kewajiban pekerja atau buruh,
ketentuannya bisa dilihat pada pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c KUHPerdata, yang pada
prinsipnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Pekerja/ Buruh wajib melakukan pekerjaan
Pekerja/ buruh dalam melaksanakan isi dari perjanjian kerja, yaitu pekerjaan, pada prinsipnya
wajib dilakukan sendiri36 . Akan tetapi di dalam Pasal 1603 a KUHPerdata disebutkan karena
alasan-alasan tertentu, ketentuan tersebut dapat dikesampingkan dengan seizin pengusaha dapat
diwakilkan37 . 2) Pekerja/ buruh wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/ pengusaha Dalam
melakukan pekerjaan pekerja/ buruh wajib menaati perintah-perintah yang diberikan oleh
pengusaha. Aturan-aturan yang wajib ditaati oleh pekerja tersebut sebaiknya dituangkan dalam
peraturan perusahaan. Yang perlu diperhatikan di sini adalah pekerja wajib menaati perintah-
perintah yang diberikan oleh pengusaha/ majikan sepanjang diatur di dalam perjanjian kerja, dan
35 Ibid. 36 Djumadi, op.cit., h. 47. Lalu Husni, op.cit., h. 62. 37 KUHPerdata, Pasal 1603 a 47
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, norma susila, kebiasaan dan ketertiban
umum38 . 3) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda Jika buruh melakukan perbuatan yang
merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip
hukum pekerja wajib membayar ganti rugi39 . b. Kewajiban Pengusaha 1) Membayar Upah
Kewajiban utama pengusaha dengan adanya hubungan kerja dengan pekerja/ buruh adalah
membayar upah tepat pada waktunya40. Menurut pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 upah adalah “hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan
atau akan lakukan”41 . Dengan demikian, menurut UU No. 13 Tahun 2003, upah merupakan hak
dari pekerja/ buruh yang harus ditentukan sedemikian rupa sehingga merupakan salah satu
bentuk kebijakan 38 Djumadi, loc.it., 39 Lalu Husni, loc.cit., 40 Zaeni Ashadie, op.cit., h. 66 41
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 30. Afnil
Guza, op.cit., h. 4 48 perlindungan bagi pekerja/ buruh. Oleh karena itu, menurut UU No. 13
Tahun 2003 dalam Pasal 88 ayat (3), kebijakan perlindungan pengupahan meliputi 42: a) Upah
minimum; b) Upah kerja lembur; c) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d) Upah tidak
masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e) Upah karena menjalankan
hak waktu istirahat kerjanya; f) Bentuk dan cara pembayaran upah; g) Denda dan potongan upah;
h) Hal - hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i) Struktur dan skala pengupahan yang
proporsional; j) Upah untuk pembayaran pesangon; dan k) Upah untuk perhitungan pajak
memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya
diharapkan gairah kerja akan tetap stabil. Cuti tahunan lamanya 12 hari kerja. Selain itu pekerja
juga berhak atas cuti panjang selama 2 bulan setelah 42 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 88 ayat (3). Zaeni Asyhadie, op.cit., h. 67 49 bekerja terus-
menerus selama 6 tahun pada suatu perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun
perawatan/ pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan (Pasal 1602
terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang
tidak bertempat tinggal di rumah majikan45. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit,
kecelakaan, kematian, telah dijamin melalui perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam
Kewajiban memberikan surat keterangan dapat dikatakan sebagai kewajiban tambahan dari
seorang pengusaha/ majikan47 . Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 a
KUHPerdata yang menentukan bahwa pengusaha/ majikan wajib memberikan surat keterangan
yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan dalam surat keterangan tersebut dijelaskan
mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, dan lamanya hubungan kerja (masa 43 Lalu Husni,
op.cit., h. 63. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 79 ayat
(2) 44 Lalu husni, loc.cit. 45 Ibid. 46 Ibid. 47 Zainal Asikin, op.cit., h. 93 50 kerja)48. Surat
keterangan itu juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak
pekerja49. Surat keterangan ini sangat penting artinya sebagai bekal pekerja dalam mencari
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu Dalam hal membicarakan kewajiban ini, si majikan
haruslah bertindak sebijaksana mungkin, yaitu 51: a) Apa yang sebenarnya berdasarkan
ketentuan hukum harus dilakukan, dibiasakan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya. b) Apa
yang sebenarnya berdasarkan ketentuan hukum harus dicegah atau dihindari, dibiasakan untuk
dilakukan pencegahannya dengan penuh ketaatan. 6. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja a. Syarat
Materiil Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang- Undang No. 13 Tahun
200352, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan
secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 48 Lalu
Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 51 ayat (1) dan (2) 51 Syarat materil dari
perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang
diadopsi dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, dibuat atas dasar53 : 1) Kesepakatan kedua
belah pihak; 2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3) Adanya pekerjaan
yang diperjanjikan; 4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila perjanjian kerja yang
dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja
itu dapat dibatalkan. Apabila bertentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat
hukumnya perjanjian kerja itu adalah batal demi hukum54 . b. Syarat Formil Selanjutnya suatu
perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan syarat formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54
Undang-undang No. 13 Tahun 2003, yaitu 55: (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
sekurang-kurangnya memuat : a) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b) Nama, jenis
kelamin, umur, dan alamat pekerja; 53Asri Wijayanti, op.cit., h. 42. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 52 54Asri Wijayanti, loc.cit. 55Asri Wijayanti,
Jabatan atau jenis pekerjaan; d) Tempat pekerjaan; e) Besarnya upah dan cara pembayarannya; f)
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja; g) Mulai dan jangka
waktu berlakunya perjanjian kerja; h) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i) Tanda
tangan dalam perjanjian kerja. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian
kerja bersama, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (3) Perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang
mempunyai kekuatan hukum sama, serta pekerja/ buruh dan masing-masing mendapat 1 (satu)
perjanjian kerja. Selain itu ketentuan mengenai perjanjian kerja diatur dalam Pasal 55 UU No. 13
Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali/ diubah, kecuali atas persetujuan
para pihak56 . 7. Jangka Waktu Perjanjian Kerja a. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu 56
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 55. Afnil Guza, op.cit.,
h. 21 53 Definisi perjanjian kerja untuk waktu tertentu ditegaskan di dalam keputusan Menteri
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri ini
menegaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antar pekerja/ buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu57 . Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dan menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin, serta harus memenuhi syarat-syarat, antara lain 58: 1) Harus
mempunyai jangka waktu tertentu; atau 2) Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu
tertentu; 3) Tidak mempunyai syarat masa percobaan. Jika perjanjian kerja untuk waktu tertentu
ini bertentangan dengan ketentuan di atas, perjanjian tersebut akan dianggap perjanjian kerja
untuk waktu tidak tertentu59 . Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yakni60: 1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 57
Kepmenakertrans No. Kep. 100/Men/VI/2004, Pasal 1 angka (1) 58 Zaeni Asyhadie, op.cit., h.
56 59 Ibid. 60 Ibid. 54 2) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama tiga tahun; 3) Pekerjaan yang bersifat musiman; 4) Pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan boleh diperpanjang atau diperbarui satu
kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun61 . Pengusaha yang bermaksud memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari sebelum perjanjian waktu kerja
tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja yang
bersangkutan62 . Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah
melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang
lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan satu kali dan paling lama
dua tahun63 . b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu Perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu ini adalah suatu jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, 61
Ibid. 62 Ibid. 63Ibid. 55 yang tidak memiliki jangka waktu berlakunya64 . Dengan demikian,
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu berlaku terus. Ditegaskan dalam Pasal 61 Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa 65 : (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : (a) Pekerja
meninggal dunia; (b) Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja ; (c) Adanya putusan pengadilan
dan / atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau (d) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) perjanjian kerja tidak berakhir karena
meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan atau hibah. (3) dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/ buruh
menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/ buruh. 64 Zaenal Asyhadie, op.cit., h. 57 65 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 61. Afnil Guza, op.cit., h. 23 56
(4) dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/ buruh. (5) dalam hal pekerja/
buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan
pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum dalam masa percobaan. Ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 60 Undang-undang No. 13 Tahun 200366 . Perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu dapat dibuat secara tertulis dan lisan. Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 menegaskan dalam Pasal 63 menerangkan bahwa67 : (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu
tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerja/ buruh yang bersangkutan. (2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud sekurang-
Ketenagakerjaan, Pasal 60. Afnil Guza, op.cit., h.23 67 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 63. Afnil Guza, loc.cit. 57 (a) Nama dan alamat pekerja/ buruh;
(b) Tanggal mulai bekerja; (c) Jenis pekerjaan; dan (d) Besarnya upah B. Kedudukan Peraturan
Perusahaan di dalam Perjanjian Kerja 1. Pengertian Peraturan Perusahaan Pasal 1 ayat (20)
peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan68 . Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa
peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang berisikan tentang syarat kerja,
hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaan. dengan kata lain peraturan
perusahaan merupakan petunjuk teknis dari perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/ buruh
(sepuluh) orang wajib membuat peraturan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 ayat 1 undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003)70 . 68 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat (20). Lalu Husni, op.cit.,
Ketenagakerjaan, Pasal 108 ayat (1). Afnil Guza, op.cit., h.42 58 2. Syarat-syarat yang harus
dimuat dalam Peraturan Perusahaan Dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor
kurangnya memuat71 : a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Hak dan kewajiban pekerja/ buruh;
c. Syarat kerja; d. Tata tertib perusahaan; e. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan
Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perjanjian
kerja, perjanjian kerja bersama, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku72 . 3. Jangka
Waktu Berlakunya Peraturan Perusahaan Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua)
tahun dan wajib diperbarui setelah habis masa berlakunya (Pasal 111 ayat 3 UUKK)73 .
Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) UUKK harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30
hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima (Pasal 112 ayat (1) UUKK)74 . 71
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 111 ayat (1). Afnil
Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 111 ayat (3). Afnil Guza, op.cit., h. 43 74 Undang-Undang