Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka

mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang

termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda

dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. 1

Seorang pasien yang menderita gagal jantung biasanya sering kembali datang

ke rumah sakit karena kekambuhan yang tinggi dan peningkatan angka kematian

yang tinggi pada penyakit ini. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat

ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan

pertama.2

Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%,

tergantung dari studi populasi.2 Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak

perawatan di rumah sakit pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di

Eropa dari data-data Scottish memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal

jantung, apakah sebagai serangan pertama atau sebagai gejala utama atau sebagai

gejala ikutan dengan gagal jantung. Peningkatan ini sangat erat hubungannya dengan

semakin bertambahnya usia seseorang.1,3 Di Indonesia, prevalensi penyakit gagal jant

ung berdasarkan diagnosis dokter tahun 2013 sebesar 0.13% atau diperkirakan sekitar

229.696 orang dan berdasarkan diagnosis dokter / gejala sebesar 0.3% atau diperkirak

1
an sekitar 530.068 orang. Pada tahun 2005 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita

gagal jantung yang pada umumnya adalah lansia. Sebagian besar lansia yang

didiagnosis ganggal jantung tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun. Berdasarkan data

rekam medis RSUP. dr.Wahidin Sudirohusodo, jumlah pasien baru rawat inap gagal

jantung mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir, yaitu sebanyak 238 pasien

pada tahun 2008, 248 pasien pada tahun 2009 dan sebanyak 295 pasien pada tahun

2010.2

Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai dengan  gejala gagal jantun

g (sesak nafas saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak kelelaha

n); tanda-tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bu

kti objektif kelainan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.4 

Penyebab dari gagal jantung adalah seluruh spektrum kerusakan pada jantung b

aik secara struktural maupun fungsional yang tidak tertangani dengan baik yang dala

m waktu tertentu akan bermanifestasi sebagai gagal jantung pada saat jantung tidak m

ampu lagi mengkompensasi kerusakan tersebut. Penyebab-penyebab ini jika diklasifi

kasikan bisa berupa kelainan mekanik, kelainan miokardium, maupun kelainan irama

jantung. Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70

% pasien terutama pada pasien usia lanjut, sedangkan pada usia muda, gagal jantung

akut diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital ata

u valvular dan miokarditis.3,5

Gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik sering merupakan kombinasi k

elainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik. 3,5 Boleh dikatakan

2
bahwa gagal jantung adalah bentuk terparah atau fase terminal dari setiap penyakit ja

ntung.6 Oleh sebab itu, gagal jantung di satu sisi akan dapat dengan mudah dipahami

sebagai suatu sindrom klinis, namun di sisi lain gagal jantung merupakan suatu kondi

si dengan patofisiologis yang sangat bervariasi dan kompleks.7

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis

mengenai gagal jantung kongestif

1.3 Batasan Masalah

Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofi

siologi/patogenesis, manifestasi/gejala klinik, pemeriksaan penunjang, diagnosis,

diagnosis banding, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis gagal jantung kon

gestif.

1.4 Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk da

ri berbagai literatur.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien

harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek yang tipikal saat

istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda retensi cairan

(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan

struktur atau fungsi jantung saat istirahat.1

Definisi gagal jantung

Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan seperti :

Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istirahat atau aktifitas, kelelahan, edema

tungkai

dan

Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura, peningkatan

tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.

dan

Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat, kardiomegali, suara

jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan

konsentrasi peptida natriuretic

4
2.2 Epidemiologi

Gagal jantung akut telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia

sekaligus penyebab signifikan jumlah perawatan di rumah sakit dengan

menghabiskan biaya yang tinggi. Prevalensi kasus gagal jantung di komunitas

meningkat seiring dengan meningkatnya usia: 0,7 % (40-45 tahun), 1,3 % (55-64

tahun), dan 8,4 % (75 tahun ke atas). Lebih dari 40% pasien kasus gagal jantung

memiliki ejeksi fraksi lebih dari 50%. Pada usia 40 tahun, risiko terjadinya gagal

jantung sekitar 21% untuk lelaki dan 20.3 % pada perempuan.3

Prevalensi gagal jantung terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun.

Tahun 2008, diperkirakan terdapat 5,7 juta orang Amerika berusia >20 tahun (2,4%)

menderita gagal jantung. Pada tahun 2010, terdapat sekitar 6,6 juta orang Amerika

berusia > 18 tahun (2,8%) yang mengalami gagal jantung. Tahun 2030 diperkirakan

akan terdapat peningkatan prevalensi dibandingkan tahun 2010, yakni penambahan

penderita gagal jantung sekitar 3 juta orang (25%).6

Menurut Hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung di Sumatera

Barat sama dengan di Indonesia, yakni sebesar 0,3% berdasarkan gejala, atau yang

terdiagnosis dokter. 5

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

2.3.1 Heart Failure Reduced Ejection Fraction

5
 Penyakit arteri koroner : infark miokard, iskemia miokard

 Overload tekanan kronis : hipertensi, penyakit katup obstruktif

 Overload volume kronis : penyakit katup regurgitasi, shunt interkardiak

(kiri ke kanan)

 Kerusakan akibat toksin atau obat: penyakit metabolic, virus.7

2.3.2 Heart failure-preserved ejection fraction

 Hipertrofi patologis : primer (kardiomiopati hipertrofi), sekunder

(hipertensi)

 Penuaan

 Fibrosis jantung

 Penyakit jantung pulmonal : cor pulmonal

 Kelainan endomiokardial.7

2.4 Patofisiologi Gagal Jantung

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu

gangguan kontraktilitas, peningkatan afterload dan gangguan pengisian diastol.8

6
1. Gangguan kontraktilitas

Pada keadaan gangguan kontraktilitas ini dapat disebabkan oleh Coronary

artery Disease baik yang telah terjadi infark miokard atau miocardial

iskemi. Gangguan kontraktilitas juga dapat disebabkan oleh volume

berlebihan dalam keadaan kronik contohnya padaa mitral regurgitasi atau

aorta regurgitasi. Dilatasi kardiomiopati juga dapat mempengaruhi

gangguan kontraktilitas.8

2. Peningkatan afterload

Peningkatan afterload terdapat pada keadaan hipertensi yang tidak

terkontrol atau stenosis aorta yang berat.8

3. Gangguan pengisian fase diastole

Keadaan yang dapat mengganggu pengisian saat diastol adalah hipertofi

ventrikel kiri, tamponade jantung, iskemi ataupun fibrosis miokardial.8

Beban pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel yang

mengalami dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi

jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung

yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah

meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung.

Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun,

maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan

oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik

7
vena (venous return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir

diastolic dan menaikkan kembali curah jantung.7

Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan merupakan mekanisme

kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan

sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung tersebut di

atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga

terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.9

Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya

gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun

dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole

dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam

kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya

kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang

meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena

pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam

paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-

tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir

ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk

sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,

maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan

mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban

8
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada

akhirnya terjadi akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan.10

Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada

daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului

oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan

dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban

atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan

akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan

yang meningkat akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena

kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan

adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis

dan bendungan hepar) dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang

meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi

bendungan sistemik yang lebih berat dengan aakibat timbulnya edema tumit atau

tungkai bawah dan asites.10

Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung

dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada

respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke jaringan.

Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan stroke

volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.

Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi.

9
Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam peranannya

dalam kegagalan jantung.4

Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh

jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jamtung, sedangkan

afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk memompa

darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi juga

dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic

ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana merupakan

fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini merupakan

proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri untuk

relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel

kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian

ventrikel (preload). Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung,

Pada jantung normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-

55%. Infark myokard akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik,

hal ini dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang

infark dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa

hal yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik

(calcium-channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah. Variabel terakhir

dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload biasanya dilihat dengan

pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-sama ketiga komponen ini saling

10
mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada kondisi dimana terjadi penurunan

cardiac output, maka heart rate atau stroke volume harus berubah untuk menjaga

kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart rate harus

ditingkatkan untuk menjaga cardiac output.4

Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan

cardiac output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan

ventrikel kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada medula,

yang mana kemudian mengaktivasisystem saraf simpatis, arginin vasopressin, dan

rennin-angiotensin aldosteron system. Aktivasi system saraf simpatis dapat terlihat

dari adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma, hasilnya dapat terlihat dari

peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium, vasokonstriksi perifer. Renin

angiotensin system teraktivasi pada kegagalan jantung, melalui mekanisme intrarenal,

yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau perubahan pada kadar sodium pada

macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya retensi sodium dan cairan.11

Mekanisme kompensasi gagal jantung

a. Mekanisme Frank Starling

Mekanisme Frank Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi

peningkatan volume ventrivuler end diastolic. Bila terjadi peningkatan pengisian

diastolic, berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal

pada filament aktin dan myosin, dan hasilnya meningkatkan tekanan pada kontraksi

11
berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank Starling mencocokkan output

dari dua ventrikel.12

Pada gagal jantung, mekanisme Frank Starling membantu mendukung cardiac

output. Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal jantung yang

sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan volume ventricular end

diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme ini menjadi tidak efektif ketika

jantung mengalami pengisian yang berlebihan dan serat otot mengalami peregangan

yang berlebihan. Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung adalah

ketegangan dari dinding ventricular. Pengisian ventrikel yang berlebihan menurunkan

ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan ketegangan dinding pembuluh

darah. Peningkatan ketegangan dinding pembuluh darah akan meningkatkan

kebutuhan oksigen otot jantung yang menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi

adanya gangguan fungsi jantung.13

b. Aktivasi neurohormonal yang mempengaruihi sistem saraf simpatetik

Stimulasi sistem saraf simpatik berperan penting dalam respon kompensasi

menurun cardiac output dan patogenesis gagal jantung. Baik cardiac sympathetic tone

dan katekolamin (epinephrine dan norepinephrin) meningkat selama tahap akhir dari

hamper semua bentuk gagal jantung. Stimulasi lansung irama jantung dan

kontraktilitas otot jantung oleh pengaturan vascular tone, sistem saraf simpatetik

membantu memelihara perfusi berbagai organ, terutama otak dan jantung.13

12
Aspek negatif dari peningkatan aktivitas system saraf simpatetik melibatkan

peningkatan tahanan sistem vaskular dan kelebihan kemampuan jantung dalam

memompa. Stimulasi simpatetik yang berlebihan juga menghasilkan penurunan aliran

darah ke kulit, otot, ginjal, dan organ abdominal. Hal ini tidak hanya menurunkan

perfusi jaringan tetapi juga berkontribusi meningkatkan sistem tahanan vaskular dan

stress berlebihan dari jantung.9

c. Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron

Salah satu efek yang paling penting dalam menurunkan cardiac output dalam

gagal jantung adalah reduksi aliran darah pada ginjal dan kecepatan filtrasi

glomerulus, yang menyebabkan retensi garam dan air. Penurunan aliran darah ke

ginjal, meningkatkan sekresi renin oleh ginjal yang secara paralel akan meningkatkan

pula angiotensin II. Peningkatan konsentrasi angiotensin II berkontribusi pada

keadaan vasokonstriksi dan menstimulasi produksi aldosteron dari adrenal korteks.

Aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi natrium dengan meningkatkan retensi air.11

Selain itu angiotensin II dan aldosteron juga terlibat dalam inflamasi proses

perbaikan karena adanya kerusakan jaringan. Keduanya menstimulasi produksi

sitokin, adhesi sel inflamasi (contoh neutrofil dan makrofag) dan kemotaksis;

mengaktivasi makrofag pada sisi kerusakan dan perbaikan; dan menstimulasi

pertumbuhan fibroblas dan sintesis jaringan kolagen.13

d. Hipertrofi otot jantung dan remodeling

13
Perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodeling merupakan salah satu

mekanisme akibat meningkatnya kerja yang berlebih. Meskipun hipertrofi ventrikel

memperbaiki kerja jantung, ini juga merupakan faktor risiko yang penting bagi

morbiditas dan mortalitas. Keadaan hipertrofi dan remodeling dapat menyebabkan

perubahan dalam struktur (massa otot, dilatasi chamber) dan fungsi (gangguan fungsi

sistolik dan diastolik). Ada 2 tipe hipertrofi, yaitu pertama Concentric hypertrophy,

terjadi penebalan dinding pembuluh darah, disebabkan oleh hipertensi.dan kedua

Eccentric hypertrophy, terjadi peningkatan panjang otot jantung disebabkan oleh

dilated cardiomyopathy.8,14

2.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis

Berdasarkan presentasinya gagal jantung dibagi sebagai berikut.

1. Gagal jantung akut

2. Gagal jantung menahun

3. Acute on Chronic Heart Failure

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napas secara cepat (<

24 jam) akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic atau

irama jantung, atau kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload), atau

kontraktilitas dan keadaan ini mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan tepat.15

14
Gagal jantung menahun didefinisikan sebagai sindrom klinis yang kompleks

akibat kelainan structural atau fungsional yang menganggu kemampuan pompa

jantung atau menganggu pengisian jantung.15

Pasien gagal jantung akut dapat datang dengan berbagai kondisi klinis, yaitu:

1. Acute decompensated hearth failure (ADHF)

- Baru pertama kali (de novo)

- Dekompensasi dari gagal jantung menahun

Kedua keadaan ini masih lebih ringan dan tidak termasuk syok

kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi.

2. Hypertensive acute heart failure

Gejala dan tanda gagal jantung disertai dengan tekanan darah tinggi dan

fungsi ventrikel yang masih baik.

3. Edema paru

Sesak napas hebat, dengan ronki basah kasar di hampir semua lapangan paru,

ortopnu, saturasi oksigen < 90% sebelum mendapat terapi oksigen.

4. Syok kardiogenik

15
Terdapat hipoperfusi jaringan meskipun preload sudah dikoreksi. Tekanan

darah sistolik < 90 mmHg, produksi urin 0,5 cc/kgbb/jam, laju nadi > 60

x/menit dengan atau tanpa kongesti organ/paru.

5. Gagal jantung kanan

Dengan gejala curah jantung rendah, peningkatan JVP, hepatomegali dan

hipotensi.15

6. Sindrom Koroner Akut (SKA) dan Gagal Jantung: sebagian besar pasien

gagal jantung akut memiliki gambaran dari SKA. Sekitar 15% pasien SkA

memiliki tanda dan gejala dari gagal jantung.

Pada gagal jantung kronis, derajat penyakit secara klinis fungsional dapat

dikategorikan berdasarkan The New York Heart Association (NYHA) dan American

Heart Association (AHA) yang berfokus pada faktor resiko dan abnormalitas struktur

jantung. Berdasarkan American Heart Association klasifikasi dari gagal jantung

kongestif yaitu sebagai berikut:

1. Stage A

Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi

belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya

tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal

jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit

jantung koroner, diabetes mellitus.

16
2. Stage B

Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya

kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala

dari gagal jantung tersebut.

3. Stage C

Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit structural

jantung yang mendasari.

4. Stage D

Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat

bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal

(refrakter).

Klasifikasi dari gagal jantung berdasarkan The New York Heart Association

(NYHA)

1. Kelas I

17
Tidak ada gejala dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari, seperti berjalan,

menaiki tangga. Aktivitas fisik tidak menyebabkan dispnea, kelelahan, atau

palpitasi.

2. Kelas II

Gejala ringan (sesak napas ringan dan/ angina) serta terdapat keterbatasan

ringan dalam aktifitas fisik sehari-hari.

3. Kelas III

Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari misalnya berjalan 20-100

meter pasien menjadi sesak. Pasien hanya nerasa nyaman saat istirahat.

4. Kelas IV

Terdapat keterbatasan aktifitas yang berat, gejala dapat muncul saat istirahat,

keluhan meningkat saat beraktifitas.15

18
Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Gagal Jantung6

Manifestasi klinis dapat berdasarkan dari pemeriksaan fisik dengan

ditemukannya tanda dan gejala dari kongesti (wet vs dry) dan hipoperfusi perifer

(cold vs warm).16

19
Tabel 2.2 Gambaran pasien dengan gagal jantung berdasarkan kongesti dan

hipoperfusi16

Congestion (-) Congestion (+)

Pulmonary congestion

Orthopnoea/PND

Peripheral oedema

Jugular venous dilatation

Congested hepatomegaly

Gut congestion, ascites

Hepatojugular reflux

Hypoperfusion (-) Warm – dry Warm – wet

Hypoperfusion (+) Cold – dry Cold – wet

Cold sweated extremities

Oliguria

Mental confusion

20
Dizziness

Narrow pulse pressure

Pasien dengan gagal jantung disertai komplikasi AMI dapat diklasifikasikan

berdasarkan Killip and Kimball yaitu kelas 1, tidak ada gejala ; kelas 2, gagal jantung

dengan ronki dan S3 gallop ; kelas 3, udem pulmonal akut ; kelas 4, syok

kardiogenik, hipotensi (SBP <90 mmHg) dan berdasarkan vasokontriksi perifer

seperti oliguria, sianosis, dan berkeringat.16

Gambar 2.1 Klasifikasi Forrester 17

21
Berdasarkan Klasifikasi Forrester, gagal jantung akut dibagi dalam 4

kelompok berdasarkan manifestasi klinis dan status hemodinamik, yaitu normal,

edema pulmonal, syok hipovolemik, dan syok kardiogenik.13

2.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas

yang terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal lain

seperti yang terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa didapatkan

peningkatan JVP, pembesaran hepar, edema tungkai, refleks hepatojugular,

pergeseran apeks jantung ke lateral, maupun bising jantung. Dapat digunakan kriteria

klinis menggunakan kriteria klasik Framingham, paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2

kriteria minor.18

Kriteria mayor

- Paroxysmal nocturnal dyspnea

- Distensi vena-vena leher

- Peningkatan tekanan vena jugularis

- Ronki

- Kardiomegali

22
- Edema paru akut

- Gallop bunyi jantung III

- Refluks hepatojugular positif

Kriteria minor

- Edema ekstremitas

- Batuk malam

- Sesak saat aktifitas

- Hepatomegali

- Efusi pleura

- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

- Takikardi (> 120 kali/menit)

23
Gambar 2.2. Skema diagnostik untuk pasien yang dicurigai gagal jantung19

Pemeriksaan penunjang

 Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga

gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung, namun

memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG

normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<

10%).

24
 Foto Toraks

Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks

dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi

penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas.

 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah

perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi

glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain

dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang

bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang

belum diterapi.

 Pemeriksaan biomarker

Brain natriuretic peptide (BNP) cukup sensitif untuk mendeteksi adanya gagal

jantung. Dikatakan gagal jantung bila nilai BNP ≥ 100 pg/mL atau NT-proBNP≥ 300

pg/mL. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai respon terhadap peningkatan

tekanan dinding ventrikel.

25
 Troponin I atau T

Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran

klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin

kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal

jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

 Ekokardiografi

Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan

pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien

dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara

pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi

ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagaljantung

dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tigakriteria:

1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung

2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikitterganggu (fraksi ejeksi >

45 - 50%)

26
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiriabnormal / kekakuan

diastolik).1,18,20

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif

Prognosis menurunkan mortalitas


Morbiditas Meringankan gejala dan tanda

Memperbaiki kualitas hidup

Menghilangkan edema dan retensi cairan

Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik

Mengurangi kelelahan dan sesak nafas

Mengurangi kebutuhan rawat inap

Menyediakan perawatan akhir hayat


Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard

Perburukan kerusakan miokard

Remodelling miokard

Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan

Rawat inap

27
2.7.1 Tatalaksana non-farmakologi

 Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup

pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi

farmakologi maupun non-farmakologi.

 Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat

badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertimbangan

dokter.

 Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan

gejala berat yang disertai hiponatremia.

 Pengurangan berat badan

28
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung

dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan

meningkatkan kualitas hidup.

 Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.

Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit

atau di rumah.

2.7.2 Tatalaksana farmakologi

 Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE-I)

Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan

sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang dapat

mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat mengurangi

kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam. ACEI harus diberikan pada

semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali kontraindikasi) dan fraksi ejeksi

ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,

mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan

meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan

perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema

29
(jarang), oleh sebab itu ACEI haya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal

adekuat dan kadar kalium normal.1

 Beta bloker

β-blocker harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik (kecuali

kontraindikasi) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. β-blocker memperbaiki fungsi

ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan

gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. β-blocker boleh

diberikan pada pasien yang stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik,

tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat).

Mekanisme kerja dari β-blocker sendiri yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta

(beta-bloker) di jantung, pembuluh darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai.

Beta bloker dapat memperlambat konduksi dari sel jantung dan juga mampu

meningkatkan periode refractory.

 Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)

Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe AT1.

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan

fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan

ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron.

Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi

30
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan

sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI.

 Diuretik

Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan

meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik sistemik

maupun paru. Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda

klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai

status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu

harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.

Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena

efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.

Tabel 2.3. dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung.

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)


Diuretik Loop
Furosemid 20 – 40 40 – 240

Bumetanid 0.5 – 1 1–5


Tiazid
Hidroklorotiazid 25 12.5 – 100

Metolazon 2.5 2.5 – 10


Diuretik hemat kalium
Spironolakton (+ ACEI/ARB) 12.5 – 25 (+ ACEI/ARB) 50

31
(-ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100-200

 Digoksin

Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat inotropik

positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan meningkatkan dari

kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang berarti dalam penggunaan

dosis rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian

pada penggunaan digoxin dan diperlukan monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi

toksik. Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan

untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat

beta) lebih diutamakan.

Tabel 2.4. dosis obat yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung

Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


ACEI
Captopril 6.25 (3x/hari) 50 – 100 (3x/hari)

Enalapril 2.5 (2x/hari) 10 – 20 (2x/hari)

Ramipril 2.5 (1x/hari) 5 (2x/hari)


ARB
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)

Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)


Antagonis aldosterone

32
Spironolakton 25 (1x/hari) 25 – 50 (1x/hari)
Penyekat beta
Bisoprolol 1.25 (1x/hari) 10 (1x/hari)

Carvedilol 3.125 (2x/hari) 25 – 50 (2x/hari)

33
34
BAB 3
KESIMPULAN
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang

pasien harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung (napas pendek yang

tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai/tidak kelelahan); tanda

retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif

dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

Penegakan diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak

napas yang terutama meningkat dengan aktifitas, terbatasnya aktifitas dan hal-hal

lain seperti yang terdapat pada gejala klinis. Dari pemeriksaan fisik, bisa

didapatkan peningkatan JVP, pembesaran hepar, edema tungkai, refleks

hepatojugular, pergeseran apeks jantung ke lateral, maupun bising jantung. Dapat

digunakan kriteria klinis menggunakan kriteria klasik Framingham, paling sedikit

1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pemeriksaan penunjang dapat berupa foto

toraks, EKG pemerksaan laboratorium, biomarka jantung, dan ekokardiografi.

Gagal jantung ditatalaksana secara non farmakologi dengan edukasi gaya

hidup dan ketaatan dalam berobat serta secara farmakologi dengan ACE-I, beta

bloker, ARB, dan diuretik.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia). Pedoman

Tatalaksana Gagal Jantung. 2015.

2. Gita, Naindy S. Hubungan Antara gagal jantung kongestif dengan

pemanjangan durasi kompleks QRS di rsud provinsi nusa tenggara barat,

2017;2.

3. Permenkes no 5 tahun 2014: panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas

pelayanan kesehatan primer, 2014.

4. Figueroa MS and Peters JI. Congestive Heart Failure: Diagnosis,

Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respir

Care. 2006. 51(4), pp. 403– 412.

5. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan

Kementerian RI tahun 2013. 2013.

6. American Heart Association (AHA). Heart disease and stroke statistics-2012

update. 2012.

7. Yuniadi Y, Hermanto DY, Rahajoe AU. Buku Ajar Kardiovaskular. Jilid 1.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2017.

8. Leonard, S. Lilly (editor) Patophysiology of the heart: a collaborative project

of medical students and faculty 5th Ed. : Lippicont Williams &Wikkins, a

WolterKhower Business, 2011.

9. Rang, HP. Pharmacology. Edinburgh: Churchill Livingstone. 2003. p. 127.

36
10. Osama GMD. Topic Review – Heart Failure. Albany Medical Review.

January 2002. p.1.

11. Tsutsui H, Matsushima S, Kinugawa S, et al. Angiotensin II type 1 receptor

blocker attenuates myocardial remodeling and preserves diastolic function in

diabetic heart. Hypertens. Res. 2007. 30(5): 439–49.

12. Boron, Walter F.; Boulpaep, Emile L. Medical Physiology: A Cellular and

Molecular Approach (Updated ed.). Saunders. 2005 p. 533.

13. Loscalzo, Joseph; Fauci, Anthony S.; Braunwald, Eugene; Dennis L. Kasper;

Hauser, Stephen L; Longo, Dan L. Harrison's Principles of Internal

Medicine(17 ed.). McGraw- Hill Medical. 2008. p. 279.

14. Shigeyama J, Yasumura Y, Sakamoto A, et al. Increased gene expression of

collagen Types I and III is inhibited by beta-receptor blockade in patients with

dilated cardiomyopathy. Eur. Heart J. 2005. 26 (24): 2698–705.

15. Rilantono L. Penyakit Kardiovaskuler (2016). Jakarta: BadanPenerbit FKUI.

Edisi 1, pp:269-276.

16. Ponikowski P, Voors A, Huker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coast AJS, et al.

ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic HF.

European Heart Journal:2016. 43-47.

17. European society of cardiology. Guideline on the Diagnosis and Treatment of

Acute Heart Failure. European Heart Journal; 2005. pp. 4-5.

18. Wardhani DP, Eka AP, Anna U (2014). Gagaljantung: Dalam Chris T, Frans

L, Sonia H, Eka AP. KapitaSelektaKedokteran Essential of Medicine. Media

Aesculapius, Vol. 2, Edisi 4, pp: 811-813.

37
19. ESC (European Society of Cardiology) Guidelines(2016). ESC Guidelines for

the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European

Heart Journal. Pp: 43-50.

20. Houn HG, et al (2005).Lecture NoteKardiologi. Jakarta: Erlangga. Edisi4,

pp: 80-97.

38

Anda mungkin juga menyukai