Anda di halaman 1dari 11

Eutrofikasi adalah masalah lingkungan hidup yang mengakibatkan kerusakan ekosistem perrairan

khususnya di air tawar.

Hal tersebut disebabkan oleh

limbah fosfat (PO3-)

limbah nitrat (NO3-)

Dimana fosfat dan nitrat tersebut dihasilkan oleh limbah rumah tangga seperti detergen, selain itu limbah
tersebut juga dapat dihasilkan dari limbah peternakan, limbah industri, dan berasal dari pertanian pupuk
buatan

Pada dasarnya Eutrofikasi adalah pencemaran terhadap air yang terjadi dikarenakan terakumulasinya
nutrient yang berlebihan didalam ekosistem air. (OK)

Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus , nitrat dalam air berada dalam rentang 35-100
µg/L. 0

senyawa dengan jomposisi unsur diatas tentu merupakan bahan itu sangat dibutuhkan tanaman untuk
unsur hara , dan unsur hara sangat penting untuk mendukung pertumbuhannya ,

Akibatnya perairan tersebut terjading blooming akibat akumulasi bahan bahan itu .

Blooming algae , Blooming enceng gondok yang terlihat di gambar , kehidupann yang blooming -
eutrofikasi ini dampaknya jelas

jika daun daun pada tanaman diatas tersebut tua secara bertahap PASTI akan diuraiakan organiknya oleh
bakteri pengurai .

dan SAYANGNYA proees pengurain bahan yang mati itu harus berjalan secara AEROB , maka
dipastikan DO ( Desolve Oksigen ) perairan menjadi berkurang maka organisme yaang bada di perairan
akan mati karena defisiensi oksigen ,

kasus eutrofikasi sebenarnya kasusnya sama dengan banyaknya sampah organik di perairan yang juga
mengurangi DO air turun dan BOD naik ,

Semakin banyak sampah tentu semakin banyak oksigen digunakan untuk menguraikan sampah atau hasil
tanaman yang mati ,

Maka tidaklah mengherankan jika eutrofikasi menjadi masalah di hampir ribuan danau di muka Bumi,
sebagaimana dikenal lewat fenomena alga bloom.

Maka dari uraian ini jangan lagi buang sampah di perairan yang menyebabkan organisme air seperti ikan
akan mati.OK

Jadi kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro maupun makro (enceng
gondok) untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat dan nitrat
yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai.

Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap (karena terjadi
penguraian secara aerob dan terbentuk amoniak/NH3), dan kekeruhannya yang menjadi semakin
meningkat.

Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan fosfat dan
nitrat yang sangat berlebihan ini.
Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen
terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak
bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati.

Kenapa penguraian sisa kehidupan yang blooming itu memerlukan Oksigen ?

Jawabannya

Karena penguraian ini dilakukan oleh bakteri nitrifikasi Nitrocoocus, Nitrosomonas dan Nitrobacter yang
prosesnya berjalan secara aerob

maka DIPASTIKAN oksigen di perairan berkurang , dan selain itu hasil uraian bahan sisa sia itu akan
membentuk mineral lumpur yang bisa menyebabkan pendangkalan secara tidak langsung.

-->

Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem air.

Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga


membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan.

Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata
sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya.

Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau
dan ekosistem air lainnya.

Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik.

Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam
munculnya eutrofikasi ini.

Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa
menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C),
nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.

Sebuah percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap Lake Erie (ELA Lake
226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa bagian danau yang hanya ditambahkan karbon dan
nitrogen tidak mengalami fenomena algal bloom selama delapan tahun pengamatan.

Sebaliknya, bagian danau lainnya yang ditambahkan fosfor (dalam bentuk senyawa fosfat dan nitrat )-di
samping karbon dan nitrogen-terbukti nyata mengalami algal bloom.

Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para
saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan
ini.

Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang
mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang
keberadaan fosfor dalam detergen.
Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St Lawrence Great Lakes Basin di AS untuk
mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air.

Sebagai implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan


fosfat, pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman.

Upaya untuk menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program tersebut.

Penanganan eutrofikasi

Eutrofikasi merupakan contoh kasus dari problem yang menuntut pendekatan lintas disiplin ilmu dan
lintas sektoral.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit membuahkan hasil
yang memuaskan.

Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan
kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan, pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin
cepat, urbanisasi yang semakin tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi
dalam sedimen menuju badan air.

Lalu apa solusi yang mungkin diambil? Menurut Forsberg, yang utama adalah dibutuhkan kebijakan
yang kuat untuk mengontrol pertumbuhan penduduk (birth control).

Karena apa? Karena sejalan dengan populasi warga Bumi yang terus meningkat, berarti akan meningkat
pula kontribusi bagi lepasnya fosfat ke lingkungan air dari sumber-sumber yang disebutkan di atas.

Pemerintah juga harus mendorong para pengusaha agar produk detergen tidak lagi mengandung fosfat.

Begitu pula produk makanan dan minuman diusahakan juga tidak mengandung bahan aditif fosfat.

Di samping itu, dituntut pula peran pemerintah di sektor pertanian agar penggunaan pupuk fosfat tidak
berlebihan, serta perannya dalam pengelolaan sektor peternakan yang bisa mencegah lebih banyaknya
lagi fosfat lepas ke lingkungan air.

Bagi masyarakat dianjurkan untuk tidak berlebihan mengonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung aditif fosfat.

Di negara-negara maju masyarakat yang sudah memiliki kesadaran lingkungan (green consumers) hanya
membeli produk kebutuhan rumah sehari-hari yang mencantumkan label phosphate free atau
environmentally friendly.

Indonesia bagaimana ? tenang nanti kalau udah jadi negara yang tidak korup pasti terselesaikan.

Negara-negara maju telah menjadikan problem eutrofikasi sebagai agenda lingkungan hidup yang harus
ditangani secara serius.

Sebagai contoh, Australia sudah mempunyai program yang disebut The National Eutrophication
Management Program, yang didirikan untuk mengoordinasi, mendanai, dan menyosialisasi aktivitas riset
mengenai masalah ini.

AS memiliki organisasi seperti North American Lake Management Society yang menaruh perhatian
besar terhadap kelestarian danau melalui aktivitas sains, manajemen, edukasi, dan advokasi.

DETAIL SECOND REFRENSI

Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan
pertumbuhan yang normal.

Proses ini juga sering disebut dengan blooming.


Dengan kata lain merupakan pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan
ke dalam ekosistem air.

Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100
µg/L.

Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah dimana danau mengalami penuaan secara
bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa.

Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik.

Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau
dan ekosistem air lainnya.

Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik.

Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam
munculnya eutrofikasi ini.

Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa
menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C),
nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.

Sebuah percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap Danau Erie (ELA
Lake 226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa bagian danau yang hanya ditambahkan karbon dan
nitrogen tidak mengalami fenomena algal bloom selama delapan tahun pengamatan. Sebaliknya, bagian
danau lainnya yang ditambahkan fosfor (dalam bentuk senyawa fosfat)-di samping karbon dan nitrogen-
terbukti nyata mengalami algal bloom.

Sumber Eutrofikasi

Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap
lingkungan.

Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang pertanian.

Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar
tanaman tidak rusak.

Akan tetapi botol - botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian
atau daerah irigasi.

Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena
mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai - sungai atau danau di sekitarnya

Eutrofikasi

10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source)

7 persen dari industri

11 persen dari detergen

17 persen dari pupuk pertanian

23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar

32 persen, dari limbah peternakan.


Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana
berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin besarnya jumlah populasi manusia menjadi
penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air.

Jadi manusia memang berperan besar sebagai penyumbang limbah fosfat.

Secara fisiologis, jumlah fosfat yang dikeluarkan manusia sebanding dengan jumlah yang
dikonsumsinya.

Limbah organik

Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri,
pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun
oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya

Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi
dan terlarut.

Pada umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan;
sedangkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob.

Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan,
kepiting, bentos dan lainnya; maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba; baik mikroba aerobik
(mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba anaerobik (mikroba yang hudupnya tidak
memerlukan oksigen) dan mikroba .fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobik dan
anaerobik).

Limbah organik yang ada di badan air aerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba
aerobik jadi makin banyak limbah organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin
besar pula kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika keperluan oksigen bagi
mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen terlarut maka oksigen terlarut bisa menjadi nol dan
mikroba aerobpun akan musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas
hidupnya tidak memerlukan oksigen.

Proses Eutrofikasi

Limbah organic kebanyakan akan mengair ke sungai, danau atau perairan lainnya melalui aliran air
hujan. Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai
(dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif

Bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel
mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya
seperti amin, PH3 dan komponen fosfor.

Asam sulfide (H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat
yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa
NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat
membahayakan organisme lain, termasuk ikan.

Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut diatas, hasil
dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai oleh organisme
perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi.

Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah
terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air.

Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat
gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna.

Secara umum diketahui bahwa kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih tinggi daripada ikan dan
kebutuhan oksigen fase larva/juvenil suatu jenis fauna lebih tinggi dari fase dewasanya.

Dengan demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen terlarut menurun akibat dekomposisi; larva
udang-udangan akan lebih menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya.

Fenomena seperti itulah yang diduga menjadi sebab kenapa akhir-akhir ini di sepanjang pantai utara P.
Jawa yang padat penduduk dan tinggi pemasukan limbah organiknya tidak mudah lagi ditemukan bibit-
bibit udang dan bandeng (nener); padahal pada masa lalu dengan mudahnya ditemukan..

Kesulitan fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika
jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik
memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa
habis sehingga badan air menjadi anaerob

Jika fenomena ini terjadi pada seluruh bagian badan air maka fauna air akan mati masal karena tidak bisa
menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah badan air maka fauna air, termasuk ikan masih
bisa menghindar ke permukaan hingga terhindar dari kematian.

Secara alamiah kejadian anaerob di semua lapisan badan air memang sangat sulit terjadi karena bagian
atas air selalu berhubungan dengan udara bebas yang selalu mensupplainya, namun demikian kalau
sebagian badan air anaerob sangatlan sering; misal di teluk-teluk waduk dan pantai yang relatip
menggenang sering muncul gelembung-gelembung gas yang mengisaratkan bahwa bagian air yang
anaerob dekat dengan permukaan air.

Telah diuraikan bahwa pada badan air yang anaerob dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas,
seperti H2S, metan dan amoniak yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti
penurunan oksigen terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu akan dapat
membunuh fauna air yang ada.

Selain menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan senyawa beracun yang
selalu merugikan dan dapat menyebabkan kematian fauna; dekomposisi juga dapat menghasilkan kondisi
perairan yang cocok bagi kehidupan mikroba fatogen yang terdiri dari mikroba, virus dan protozoa
(Polprasert, 1989), yang setelah berkembang-biak, setiap saat dapat menyerang dan menjadi penyakit
yang mematikan ikan, udang dan fauna lainnya.

Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang
mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton tertentu yang pada
umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air terutama zooplankton dan ikan; termasuk karena beracun.

Dampak Eutrofikasi

Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat
hidup mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien
(nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga
(fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya (Hutchinson, 1944; Margalef, 1958 dan Frost, 1980).
Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan
meningkatkan produktivitas perairan (Garno, 1995); karena nutrien yang larut dalam badan air langsung
dimanfaatkan oleh fitoplankton (reaksi no 5) untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan
kelimpahannya meningkat (Garno, 1992). Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan
peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton (Garno, 1998).
Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan; maka kenaikan kelimpahan
keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.
Sangat disayangkan bahwa jika peningkatan nutrien terus berlanjut maka dampak positif seperti itu
hanya bersifat sementara bahkan akan terjadi proses yang berdampak negatif bagi kualitas badan air
(Anonim, 2001). Peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi dalam
jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik (Henderson,
1987). Proses peningkatan kesuburan air yang berlebihan yang disebabkan oleh masuknya nutrien dalam
badan air, terutama fosfat inilah yang disebut.

Publikasi yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mgP·l-1 dan nitrogen > 0,300 mgN·l-1
dalam badan air akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat
(Henderson dan Markland, 1987), sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal
dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut (Garno, 1992). Sehubungan dengan
peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam memanfaatkannya sehingga kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda
(Henderson dan Markland 1987; Margalef, 1958;. Selain itu setiap jenis fitoplankton juga mempunyai
respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan
Kilham, 1978). Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai
struktur dan dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya (Hutchinson, 1944; Margalef., 1958
Reynolds, 1989).

Perbedaan struktur dan dominasi jenis fitoplankton tersebut diatas juga dipengaruhi oleh karakteristik
fitoplankton dan zooplankton yang ada. Diketahui beberapa jenis fitoplankton tidak dapat dimakan oleh
zooplankton karena bentuk morpologi, fisiologi (Horn, 1981; Garno, 1993; Geller, 1975, Downing dan
Petter, 1980) komposisi fitoplankton; dan mekanisme makan zooplankton (DeMott, 1982; Frost, 1980;
James &. Forsynth 1990) serta faktor abiotik lainnya. Selanjutnya dalam kondisi persediaan makanan
(fitoplankton) banyak dan beragam; zooplankton melakukan pemilihan terhadap jenis, bentuk dan ukuran
fitoplankton yang hendak dimakan atau selective feeding (Garno, 1993).

Selain merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna akibat dominasi fito-plankton yang tidak dapat
dimakan dan beracun; blooming yang menghasilkan biomasa (organik) tinggi juga merugikan fauna;
karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen terlarut secara drastis akibat pe-
manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk de-komposisi biomasa (organik) yang mati. Seperti pada
analisis dampak langsung tersebut diatas maka rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika
sampai batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan mati.
Selain menekan oksigen terlarut proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti
NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan.

Selain badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan seperti tersebut diatas,
eutrofikasi juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup di tepian (eceng gondok)
maupun dalam badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan danau-danau yang telah
mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur oleh tanaman air seperti eceng gondok
(Eichhornia crassipes), Hydrilla dan rumput air lainnya.

Akhirnya, yang harus dimengerti dan disadari adalah bahwa karena Indonesia merupakan negara tropis
yang mendapatkan cahaya Matahari sepanjang tahun; maka blooming (dalam arti biomasa alga tinggi)
dapat terjadi sepanjang tahun. Artinya kapan saja (asal tidak mendung/hujan) dan dari manapun asalnya
kalau konsentrasi nutrien dalam badan air meningkat maka akan meningkat pula aktifitas fotosintesa
fitoplankton yang ada; dan jika peningkatan nutrien cukup besar alau lama akan terjadi blooming.
Fenomena itulah yang menyebabkan badan-badan air (waduk, danau dan pantai) di Indonesia yang telah
menjadi hijau warnanya tidak pernah atau jarang sekali menjadi jernih kembali; tidak seperti di negeri 4
musim seperti Kanada dan Jepang yang blooming hanya terjadi di akhir musim semi dan panas.

Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran mikro, untuk tumbuh berkembang
biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat yang berlebihan serta kondisi lain yang
memadai.
Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang
menjadi semakin meningkat.

Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga disebabkan fosfat yang
sangat berlebihan ini.

Akibatnya, kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun.

Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup air
seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan
dan hewan lainnya dalam mata rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem
air.

Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga


membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan.

Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata
sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya

Penanganan Eutrofikasi

Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para
saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan
ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair
yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas
melarang keberadaan fosfor dalam detergen. Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi
St Lawrence Great Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air. Sebagai
implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan fosfat,
pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk menyubstitusi pemakaian
fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program tersebut.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem ini sulit membuahkan hasil
yang memuaskan.

Faktor-faktor tersebut adalah aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi bahan
kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan, pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin
cepat, urbanisasi yang semakin tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi
dalam sedimen menuju badan air.

NOTE

DESOLVE OKSIGEN OKSIGEN TERLARUT (DO)

Oksigen dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat
yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.

Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses
aerobik.

Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil
fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.

Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu,
salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut.
ODUM (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin
rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.

Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan
udara bebas serta adanya proses fotosintesis.

Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses
fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan
oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik

Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya.

Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan
ikan pada saat bergerak atau memijah.

Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang
lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut.

Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh
senyawa beracun (toksik).

Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme.

Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan
sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 %. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut
adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut.

Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan
dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.

Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau
anaerobik.

Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik
dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan.

Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas.

Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang
ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga.

Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia
beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun.

Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan.

Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia
beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun.

Karena peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan
umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.

ANALISIS OKSIGEN TERLARUT (DO)

Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu :
Metoda titrasi dengan cara WINKLER

Metoda elektrokimia

1. Metoda titrasi dengan cara WINKLER

Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen
terlarut.

Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri.

Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den Na0H – KI, sehingga akan
terjadi endapan Mn02.

Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan
membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut.

Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S203) dan
menggunakan indikator larutan amilum (kanji).

2. Metoda elektrokimia

Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara langsung untuk menentukan
oksigen terlarut dengan alat DO meter.

Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam
dalarn larutan elektrolit.

Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb).

Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semi permeable terhadap
oksigen.

Aliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada katoda.

Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap konsentrasi oksigen terlarut.

Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi berdasarkan metoda WINKLER lebih analitis
apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter.

Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi
larutan tiosulfat dan pembuatan larutan standar kaliumbikromat yang tepat.

Dengan mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan
diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat.

Sedangkan penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas
sampel yang akan diperiksa.

Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO
meter.

Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan
akurasinya hasil penentuan.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, penentuan oksigen terlarut dengan cara titrasi lebih dianjurkan
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

Alat DO meter masih dianjurkan jika sifat penentuannya hanya bersifat kisaran.
KEBUTUHAN OKSIGEN BIOLOGI (BOD)

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh
organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik.

Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan
makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi.

Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan.

Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara.

Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran
banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan
organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di
alam.

Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah
kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas.

Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal
ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan.

Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm
pads suhu 20°C.

Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-macam organisme dan
menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).

Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak
sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O.

Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan kecepatan
reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu.

Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang merupakan suhu
yang umum di alam.

Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik
terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas.

Dalam prakteknya dilaboratoriurn, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama
waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD.

Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 – 80% dari nilai
BOD total.

Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil oksidasi ammonia (NH3)
yang cukup tinggi.

Sebagaimana diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi nitrit dan
nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD.

Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga perlu diperhitungkan.

Dalam praktek untuk penentuan BOD yang berdasarkan pada pemeriksaan oksigen terlarut (DO),
biasanya dilakukan secara langsung atau dengan cara pengenceran.

Prosedur secara umum adalah menyesuaikan

Anda mungkin juga menyukai