Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan inklusif merujuk pada kebutuhan belajar semua peserta didik,
dengan suatu fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinaliasasi
dan pemisahan. Dengan pendidikan inklusif berarti sekolah harus
mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual,
sosial, emosi, bahasa, atau kondisi lainnya dengan dasar layanan yang
kooperatif, toleransi, penerimaan, dan fleksibilitas.
Pendidikan Inklusif adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka
untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan dan merupakan
implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural yang dapat
membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menghargai orang lain
yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik
maupun psikologis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan inklusif
berarti sekolah harus mengakomodasikan semua anak tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Hal
ini berarti harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat, anak-
anak jalanan dan pekerja, anak-anak yang berasal dari populasi terpencil atau
yang berpindah-pindah, anak-anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik
atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung
atau dimarjinalisasi.
Pendidikan inklusif merupakan Filosofi Pendidikan, bukan istilah
kebijakan atau legislasi dalam pendidikan, yang memungkinkan semua peserta
didik memperoleh pendidikan yang terbaik. Berbicara tentang landasan
filosofis pendidikan berarti berkenaan dengan tujuan filosofis suatu praktik
pendidikan sebagai sebuah ilmu. Landasan filosofis pendidikan inklusif adalah
keyakinan bahwa setiap anak, baik karena gangguan perkembangan
fisik/mental maupun cerdas/bakat istimewa berhak untuk memperoleh
pendidikan seperti layaknya anak-anak “normal” lainnya dalam lingkungan

1
yang sama (Education for All). Secara lebih luas, ini bisa diartikan bahwa
anak-anak yang “normal” maupun yang dinilai memiliki kebutuhan khusus
sudah selayaknya dididik bersama-sama dalam sebuah keberagaman yang ada
di dalamnya. Di sini, mereka tidak semata mengejar kemampuan akademik,
tetapi lebih dari itu, mereka belajar tentang kehidupan itu sendiri.
Oleh karena itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai “Landasan
Filosofis Pendidikan Inklusif”.

B. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah “Landasan Filosofis Pendidikan
Inklusif” ini antara lain :
1. Memberikan informasi mengenai landasan filosofis pendidikan inklusif,
dan
2. Menjadi bahan atau sumber referensi yang berhubungan dengan landasan
filosofis pendidikan inklusif.
Manfaat penulisan makalah “Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif”,
antara lain sebagai berikut :
1. Dapat membantu pembaca dalam memahami landasan filosofis pendidikan
inklusif, dan
2. Dapat mengajak pembaca untuk turut berpartisipasi aktif di dalam
pendidikan inklusif.

C. Ruang Lingkup Penulisan


Ruang lingkup penulisan makalah “Landasan Filosofis Pendidikan
Inklusif” antara lain :
1. Pendidikan sebagai hak asasi anak
2. Anak sebagai individu yang unik
3. Keberagaman sebagai sesuatu yang alami
4. Sekolah harus responsif terhadap keunikan setiap anak
5. Sekolah harus memenuhi kebutuhan khusus setiap anak
6. Inklusif sebagai alat yang efektif untuk memerangi diskriminasi
7. Pendidikan inklusif meningkatkan efesiensi pendidikan bagi semua

2
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan dan Manfaat Penulisan
C. Ruang Lingkup Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Landasan Filosofis Pendidikan
B. Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif
C. Pendidikan sebagai Hak Asasi Anak
D. Anak sebagai Individu yang Unik
E. Keberagaman sebagai Sesuatu yang Alami
F. Sekolah Harus Responsif terhadap Keunikan Setiap Anak
G. Sekolah Harus Memenuhi Kebutuhan Khusus Setiap Anak
H. Inklusif sebagai Alat yang Efektif untuk Memerangi
Diskriminasi
I. Pendidikan Inklusif Meningkatkan Efesiensi Pendidikan bagi
Semua
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Landasan Filosofis Pendidikan


Landasan filosofis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber
dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
Landasan filosofis pendidikan berisi tentang gagasan-gagasan atau
konsep-konsep yang bersifat normatif dan preskriptif. Landasan filosofis
pendidikan dikatakan bersifat normatif atau preskriptif, sebab landasan
filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa adanya
(faktual), melainkan berisi tentang konsep-konsep pendidikan yang seharusnya
atau yang dicita-citakan (ideal), yang disarankan oleh filsuf tertentu untuk
dijadikan titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan/atau studi
pendidikan.

B. Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif


1. Pernyataan Salamanca (1994) yang menyatakan bahwa:
 Setiap anak mempunyai hak mendasar untuk memperoleh pendidikan,
dan harus diberi kesempatan untuk mencapai serta mempertahankan
tingkat pengetahuan yang wajar.
 Setiap anak mempunyai karakteristik, minat, kemampuan dan
kebutuhan belajar yang berbeda-beda
 Sistem pendidikan seyogyanya dirancang dan program pendidikan
dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik
dan kebutuhan tersebut
 Mereka yang menyandang kebutuhan pendidikan khusus harus
memperoleh akses ke sekolah reguler yang harus mengakomodasi
mereka dalam rangka pedagogi yang berpusat pada diri anak yang
dapat memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut
 Sekolah reguler dengan orientasi inklusif tersebut merupakan alat yang
paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan

4
mencapai Pendidikan bagi Semua; lebih jauh, sekolah semacam ini
akan memberikan pendidikan yang lebih efektif kepada mayoritas anak
dan meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya akan menurunkan biaya
bagi seluruh sistem pendidikan
2. Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994)
mengakui prinsip bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi semua anak
tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik
ataupun kondisi-kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak cacat dan
anak berbakat, anak jalanan dan anak kaum buruh, anak dari penduduk
terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok masyarakat minoritas
secara linguistik, etnik ataupun budaya. Kondisi-kondisi tersebut
menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem persekolahan.

C. Pendidikan sebagai Hak Asasi Anak


Hak setiap anak atas pendidikan dinyatakan dalam Deklarasi Universal
tentang Hak Azazi Manusia (PBB, 1948) dan secara kuat dipertegas oleh
Deklarasi Dunia tentang Pendidikan bagi Semua (UNESCO, 1990), yang
antara lain mengatakan bahwa setiap penyandang cacat berhak menyatakan
keinginannya sehubungan dengan pendidikannya, sejauh hal tersebut dapat
difahami; dan orang tua berhak untuk dikonsultasi mengenai bentuk
pendidikan yang paling sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan aspirasi
anaknya.
Banyaknya anak-anak yang tidak bersekolah menjadi sebuah
permasalahan yang kompleks. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya
tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anaknya. Tanggung jawab
orangtua terhadap anak-anak seharusnya sudah terjadi sejak dalam kandungan
hingga embrio itu lahir sebagai anak manusia. Tanggung jawab ini mencakup
kehidupan, pertumbuhan, kesehatan, pendidikan, dan bekal-bekal yang mereka
perlukan supaya bisa berdikari di masa depan. Anak-anak tidak bisa dibiarkan
bertumbuh dan berkembang secara alami. Pendidikan amat diperlukan. Bukti
tanggung jawab ini seharusnya tampak dalam pola pikir dan perilaku orangtua
yang telah melahirkan mereka. Meminta-minta sambil menggendong anak-

5
anak yang baru berusia 2-3 tahun agaknya memperalat pribadi anak-anak
manusia yang bermartabat luhur.
Namun, jalan keluar tetap bisa ditemukan, bila terjalin kerja sama yang
baik dalam menyiapkan anak-anak menghadapi dan mengisi masa depan
keluarga, masyarakat, dan negara kita. Pelalaian tanggung jawab orangtua
terhadap anak merupakan pelalaian tanggung jawab keluarga dalam
menyiapkan "sel-sel baru" hidup masyarakat. Peran keluarga sebagai tempat
pembentukan kesatuan sosial, sel yang menjadikan organisme masyarakat
(Bdk Auguste Comte:1798-1857) mulai dilupakan banyak pihak dalam dunia
modern.
Selain adanya tanggung moral orangtua, anak-anak yang baru dilahirkan
sudah memiliki hak-hak asasi kodrati yang sama sekali bukan pemberian atau
hadiah penguasa negara. Pemilikan hak-hak dasar ini, antara lain, telah
dijamin Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Asasi Anak tahun 1924 dan
Deklarasi Hak-hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB tahun 1959. Hak-
hak ini juga diakui dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia.
Ketentuan Pasal 2 Konvensi Hak-hak Anak yang diterima Majelis Umum
PBB, 20 November 1989, misalnya, menggarisbawahi pentingnya dan
perlunya menegakkan kembali hak-hak asasi yang dimiliki anak-anak. Negara-
negara peserta Konvensi ini berjanji akan menghormati dan menjamin hidup
dan hak-hak tiap anak yang ditetapkan dalam Konvensi tanpa diskriminasi
dalam bentuk apa pun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, suku
bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat kelahiran atau status lain dari anak
atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum.
Tanggung jawab atas perwujudan hak-hak asasi ini mencakup tindak
perlindungan, pemeliharaan hidup, pertolongan dan penyediaan fasilitas yang
memungkinkan anak-anak untuk berkembang dan menjadi manusia yang
sanggup berdikari dan menentukan masa depan dengan bebas dan bertanggung
jawab. Kemerdekaan dalam bidang berpikir, bertindak sesuai dorongan hati
nurani dan memeluk agama. Pemenuhan kebutuhan pokok dalam bidang
kesehatan dan pendidikan termasuk prasyarat yang sama sekali tak bisa

6
dilalaikan. Wujud tanggung jawab ini terutama terletak pada bahu orangtua
yang telah melahirkan anak. Pelalaian atas tanggung jawab hakiki ini hanya
akan menyengsarakan hidup anak di masa depan, yang juga berarti
menyengsarakan masa depan masyarakat kita.
Tiap penegak hukum dan pencinta keadilan sebenarnya bisa berperan
banyak dalam membela dan memperjuangkan hak-hak asasi anak-anak sebagai
golongan tak berdaya. Bahkan, tiap orang dewasa seharusnya menjadi
pembela utama hak-hak asasi anak-anak. Pendekatan hukum positif saja
rasanya tidak memadai, tetapi suatu pendekatan sosiologis akan amat penting
dalam memperjuangkan perwujudan hak-hak asasi anak-anak. Penyuluhan-
penyuluhan yang berkenaan dengan masalah pembentukan keluarga dan
tanggung jawab orangtua akan ikut membantu banyak pihak lebih menyadari
tanggung jawab kodrati mereka yang telah melahirkan anak. Mungkin, melalui
kegiatan itu, kasus-kasus aborsi bisa direduksi, karena penyuluhan ini akan
menekankan dimensi kesadaran akan tanggung jawab orangtua. Barangkali,
mutu hidup anak-anak kita sebagai generasi masa depan bangsa akan lebih
baik.
Tanggung jawab bersama menyiapkan generasi muda dalam mengarungi
masa depan nusa dan bangsa kita termasuk tugas luhur dan berat. Langkah
awal perwujudan tanggung jawab ini adalah memperjuangkan dan membela
hak-hak asasi anak-anak yang sering di-"obyek"-kan, dieksploatasi,
diperdagangkan, diselundupkan, bahkan dibunuh melalui proses pengguguran.
Diperlukan suatu lahan baru bagi kelahiran suatu generasi baru yang tidak lagi
buta huruf, yang tidak mudah dibodohi, dibohongi, dan ditipu oleh mereka
yang pintar, berduit dan berkuasa amat diperlukan oleh bangsa kita yang baru
akan mulai bereformasi. Reformasi yang dicanangkan bangsa kita tampaknya
perlu segera dimulai dari generasi anak-anak, karena telah muncul aura,
reformasi di kalangan generasi "orang dewasa" sedang mengalami krisis.

D. Anak sebagai Individu yang Unik


Individu berasal dari kata in dan divided. Dalam bahasa inggris in berarti
tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi,

7
atau suatu kesatuan. Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individium
yang berarti yang tak terbagi, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai
untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas.
Manusia sebagai mahkluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani,
unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai
manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika
unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi
sebagai individu.
Setiap manusia memiliki keunikan atau ciri khas tersendiri, tidak ada
manusia yang persis sama dari sekian banyak manusia, ternyata masing-
masing memiliki keunikan tersendiri. Sekalipun orang itu terlahir secara
kembar, mereka tidak ada yang memiliki ciri fisik dan psikis yang persis sama.
Perbedaan itu terletak pada bentuk, ukuran, sifat dan lain-lain. Ciri seorang
individu tidak hanya mudah dikenali lewat ciri fisik atau biologisnya. Sifat,
karakter, perangai, atau gaya dan selera orang juga berbeda-beda.
Karakteristik yang khas dari seseorang ini sering kita sebut dengan
kepribadian. Setiap orang memiliki kepribadian yang membedakan dirinya
dengan yang lain. Kepribadian seseorang itu dipengaruhi faktor bawaan
(genotip) dan faktor lingkungan (fenotip).  Menurut Horton dan Hunnet,
kepribadian adalah “keseluruhan perilaku seseorang yang merupakan interaksi
antara kecenderungan-kecenderungan yang diwariskan (secara biologis)
dengan rentetan-rentetan situasi (lingkungan)”
Setiap orang diciptakan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sidik
jari yang dimiliki setiap orang tidak ada yang sama. Pola retina mata setiap
orang juga unik, tidak ada dua orang yang memiliki sidik jari atau retina yang
betul-betul identik. Setiap orang juga mempunyai bakat alami yang hanya
dimiliki oleh dia sendiri, yang berbeda dengan bakat orang lain. Memang
terdapat kemiripan dengan orang lain, tetapi sama sekali tidak sama.
Perkembangan bagi setiap anak sebagai individu mempunyai sifat yang
unik. Dalam hal ini Saufrock dan Yussen (1972:17) mengatakan bahwa
masing-masing individu berkembang dengan cara-cara tertentu, seperti semua
individu yang lain, seperti beberapa individu yang lain, dan seperti tidak ada

8
individu yang lain. Jadi di samping adanya kesamaan-kesamaan umum dalam
pola-pola perkembangan yang dialami oleh setiap individu, terjadinya vanasi
individual dalam perkembangan anak bisa terjadi pada setiap saat. Hal ini
terjadi karena perkembangan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan
yang kompleks, melibatkan berbagai unsur yang saling berpengaruh satu sama
lain.
Secara garis besar, proses perkembangan individu dapat dikelompokan ke
dalam tiga domain; proses biologis, kognitif, dan psikososial (Santrock dan
Yussen, 1992; Seifert dan Hoffnung, 1991). Ketiga domain proses
perkembangan tersebut merupakan sesuatu yang terpadu dan saling
berpengaruh satu sama lain.
Proses-proses biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahan-
perubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem saraf,
struktur tulang, hormon, organ-organ indrawi, dan sejenisnya. Selain dari pada
yang termasuk perkembangan biologis adalah perubahan-perubahan dalam
cara menggunakan tubuh atau keterampilan motorik, perkembangan seksual,
dan perubahan dalam kemampuan fisik.
Proses kognitif melibatkan perubahan-perubahan dalam kemampuan dan
pola berfikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh
pengetahuan dari lingkungannya. Perkembangan kognitif anak akan
menfasilitasi atau membatasi kemampuan belajar anak, sebaliknya
pengalaman belajar anak akan sangat menfasilitasi perkembangan kognitifnya.
Proses-proses psikososial melibatkan perubahan-perubahan dalam aspek
perasaan, emosi, dan kepribadian individu serta cara yang bersangkutan
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian perkembangan identitas diri
dan krisis-krisis yang menyertainya serta perkembangan cara dan pola
hubungan dengan anggota keluarga, teman sebaya, guru-guru, dan yang
lainnya dapat dikelompokkan ke dalam domain perkembangan ini. Contoh
dari proses-proses, psikososial antara lain: perilaku agresif anak terhadap
teman bermain, rasa percaya diri dan keberanian anak, juga perkembangan
hubungan pertemanan di antara anak.

9
Pengelompokan aspek perkembangan anak sebagai individu menjadi 3
domain di atas memberikan suatu gambaran bahwa ketiga domain tersebut,
proses biologis, proses kognitif, serta proses psikososial saling berpengaruh
satu sama lainnya serta secara terpadu dan menyeluruh membentuk suatu
karakteristik individu yang unik yang membedakan dengan individu yang
lainnya. Berkaitan dengan hal ini anak sebagai individu yang unik dapat
dibedakan dengan orang dewasa dalam segala aspek bukan hanya aspek fisik
saja melainkan keseluruhan aspek dalam dirinya sehingga anak bukan
miniaturnya orang dewasa.
Secara fisik anak sedang mengalami pertumbuhan yang pesat sedangkan
pada orang dewasa proses pertumbuhan fisik relatif tak berkembang lagi,
demikian juga secara kognitif pola fikir seorang anak masih terbatas pada hal-
hal yang kongkret tak seperti orang dewasa yang sudah mampu berfikir
abstrak, dari segi emosional seorang anak tentunya masih bersifat egosentris
sedangkan orang dewasa lebih mampu berfikir empatik dan sosial.
Pembahasan mengenai perbedaan anak sebagai pribadi yang unik akan
lebih jelas bila dikaji lebih dalam mengenai bidang-bidang perbedaannya. Di
dalam diri individu terdapat perbedaan dalam bermacam-macam aspek dari
keseluruhan kepribadiannya. Tetapi karena tidak ada satu sifatpun yang berdiri
sendiri, berfungsinya satu sifat akan mempengaruhi keseluruhan pola tingkah
laku individu. Sebagai contoh, seorang anak yang telah mengetahui makna
tentang kerajinan bagi dirinya dan orang lain, anak tersebut akan
mempraktekan berbuat rajin di sekolah maupun di rumah.
Carry 1963 (Oxendine, 1984:317) mengkategorikan perbedaan individual
ke dalam bidang-bidang berikut:
1) Perbedaan fisik; usia, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
2) Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga,
suku.
3) Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.
4) Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.
5) Perbedaan kecakapan dan kepandaian di sekolah. (Sunarto, 1994:8).

10
Perbedaan fisik, di samping ciri yang dapat diamati oleh panca indera,
seperti tinggi badan, warna kulit, jenis kelamin, nada suara, dan bau keringat,
juga ciri yang hanya dapat diketahui setelah diperoleh informasi atau diadakan
pengukuran, seperti usia, berat badan, kecepatan lari, golongan darah,
pendengaran, penglihatan, dan sebagainya.
Dalam kehidupannya, setiap manusia berhubungan dengan manusia lain
dan lingkungan di luar dirinya. Tiap manusia berhubungan dengan manusia
lain, dengan sesamanya, manusia bersosialisasi, maka terjadilah perbedaan
status sosial dan ekonomi manusia. Manusia juga behubungan dengan
Tuhannya, maka manusia beragama. Manusia hidup berkelompok dan
berkeluarga, sesuai dengan sifat genetik orang tuanya, mengenal
kelompok/suku yang berbeda. Semua itu merupakan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya perbedaan individu.
Secara kodrati, manusia memiliki potensi dasar yang secara esensial
membedakan manusia dengan hewan, yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak.
Walaupun demikian, potensi dasar yang dimilikinya itu tidaklah sama bagi
masing-masing manusia. Oleh karena itu sikap, minat, kemampuan berpikir,
watak, perilakunya, hasil belajarnya berbeda-beda antara manusia satu dengan
yang lainnya.
Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perilaku manusia di rumah
maupun di sekolah. Gejala yang dapat diamati adalah bahwa manusia menjadi
lebih atau kurang dalam bidang tertentu dibandingkan dengan orang lain.
Sebagian manusia lebih mampu dalam bidang seni atau bidang ekspresi yang
lain, seperti olah raga dan keterampilan, sebagian lagi dapat lebih mampu
dalam orang lain. Sebagian manusia lebih mampu dalam bidang seni atau
bidang ekspresi yang lain, seperti olah raga dan keterampilan, sebagian lagi
dapat lebih mampu dalam bidang kognitif atau yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan.
Dari bidang-bidang perbedaan di atas, dapat diamati suatu gejala yaitu
apakah mereka itu menjadi lebih atau kurang dalam bidang tertentu
dibandingkan dengan orang lain, di sini potensi dasar yang dimiliki tiap orang
berbeda.

11
Bidang perbedaan lain yang menarik untuk dipelajari sehingga dapat
membentuk suatu pribadi yang unik adalah :
- Perbedaan Koginitif; Kemampuan ini merupakan hasil belajar yang
merupakan perpaduan antara faktor pembawaan dan pengaruh lingkungan.
Faktor kecerdasan masing-masing anak berbeda dan sangat mempengaruhi
kemampuan kognitifnya.
- Perbedaan dalam kecakapan berbahasa; Kecakapan berbahasa merupakan
kemampuan untuk menyatakan buah pikiran dalam bentuk ungkapan
kata/kalimat. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kecerdasan dan faktor
lingkungan.
- Perbedaan dalam kecakapan motorik; Kemampuan ini merupakan
kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja syaraf motorik dan
dikoordinir oleh syaraf pusat. Kecakapan motorik seseorang menunjukkan
fungsi fisik semakin matang sehingga mampu menunjukkan kemampuan
yang lebih baik di samping itu kemampuan ini dipengaruhi juga oleh
kemampuan berfikir.
- Perbedaan dalam Latar Belakang; Disini perbedaan dalam latar belakang
dapat memperlancar atau menghambat prestasi siswa, teriepas dari potensi
dasarnya. Dengan latar belakang yang berbeda akan menghasilkan sikap,
minatdan motivasi yang berbeda pula.
- Perbedaan dalam Bakat. Bakat adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir
yang akan berkembang bila mendapat rangsangan dan pemupukan yang
tepat.
- Perbedaan dalam Kesiapan belajar; Perbedaan ini bukan hanya
dipengaruhi oleh keragaman dalam hal kematangan namun juga
dipengamhi oleh keragaman di dalam sosio ekonomi dan sosio kultural.
Dengan demikian kesimpulannya : Individu adalah manusia yang
berkedudukan sebagai pribadi yang utuh, tunggal dan khas. Manusia sebagai
subyek yang merupakan suatu kesatuan psikofisik dengan berbagai
kemampuannya untuk berhubungan dengan lingkungan, dengan sesama dan
dengan Tuhan yang menciptakannya.

12
Manusia mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis.
Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dialami semenjak manusia masih di
dalam kandungan.
Perkembangan anak sebagai pribadi yang unik dimaksudkan bahwa
masing-masing anak berkembang dengan cara-cara tertentu sesuai dengan
karakteristiknya.
Perkembangan anak itu secara holistik dimaksudkan bahwa perkembangan
merupakan suatu proses yang sifatnya menyeluruh, tidak hanya terjadi dalam
aspek tertentu saja, melainkan melibatkan keseluruhan aspek yang sating
terjalin, yaitu proses biologis, kognitifdan psikososial.

E. Keberagaman sebagai Sesuatu yang Alami


Di masa lalu, kita telah mengembangkan masyarakat yang menganut strata
sosial melalui penyeleksian, pengelompokkan dan pemisahan orang-orang
dari lingkungan sosial, budaya dan fisik alaminya. Kini kita menyadari bahwa
dengan melakukan hal tersebut masyarakat kita telah kehilangan beberapa
dimensi penting dan kita mencoba untuk menemukan cara menyadarkan
masyarakat bahwa keragaman – semua keragaman – akan dipandang “normal”
dan memperkaya semua yang terlibat di dalamnya. Suatu masyarakat yang
“normal” akan mencakup anggota-anggota dengan kebutuhan, minat, bakat
dan pendapat yang berbeda-beda. Masyarakat seperti ini akan memberikan
pengharggan, kondisi dan pertimbangan yang diperlukan untuk semua
anggotanya, memberi mereka kesempatan untuk mengalami kesetaraan dan
rasa harga diri.
Kadang-kadang bila berbicara tentang meningkatkan kualitas hidup orang
yang menyandang kecacatan, kita membicarakan tentang “normalisasi”. Ini
tidak hanya berarti bahwa orang yang menyandang kecacatan harus diberi
kesempatan untuk hidup “normal”. Ini berarti masyarakat harus menjadi
“normal”, menerima keragaman dan memandang keragaman sebagai sesuatu
yang alami dan bukan sebagai beban. Ini artinya masyarakat harus melakukan
penyesuaian yang diperlukan dan tidak hanya berharap bahwa anak dan orang
dewasa penyandang cacat saja yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan

13
kita. Hanya dengan begitulah kita akan dapat mempunyai masyarakat yang
inklusif dan orang yang menyandang kecacatan serta kelompok minoritas
lainnya akan mendapatkan kesempatan untuk hidup “normal”.
Pendidikan yang dimaksudkan ini mengacu pada pendidikan dirumah, di
sekolah, dan di masyarakat. Dengan kata lain mencakup pendidikan formal
dan informal, dan mengacu pada setting inklusif. Oleh karena itu, makalah ini
dialamatkan kepada semua yang menginginkan anak dan orang dewasa
penyandang cacat mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dan
memberikan konstribusi kepada masyarakat inklusif.

F. Sekolah Harus Responsif terhadap Keunikan Setiap Anak


PERMENDIKNAS RI No. 70 tahun 2009 Pasal 1 Pendidikan Inklusif
didefinisikan “sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama
dengan peserta didik pada umumnya”.
Menumbuhkan sikap toleransi
Keberbedaan masing-masing peserta didik ini dalam mengikuti pendidikan
seharusnya direspon oleh para pelaku pendidikan secara bijak dan
proporsional. Artinya, guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mampu
bereksplorasi dengan kreativitas dan inovasinya dalam pembelajaran, sehingga
peserta didik dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan
potensinya. Pelayanan individual dalam proses pembelajaran menjadi sangat
signifikan untuk memaksimalkan seluruh kemampuan anak.
Tidak hanya guru, kepala sekolah, dan pihak penyelenggara pendidikan
saja yang harus menyesuaikan dengan perbedaan-perbedaan setiap individu
peserta didik, melainkan siswa, orang tua dan masyarakat pada umumnya.
Diharapkan, anak didik pun mengerti bahwa dalam kehidupan di dunia ini,
mereka akan menemui banyak perbedaan, termasuk yang dilihat dari teman-
teman sebayanya di sekolah, termasuk anak yang memiliki kecacatan. Suasana
yang berbeda-beda inilah yang kelak juga dirasakan oleh anak-anak ketika

14
terjun di masyarakat. Lingkungan yang beragam ini akan bermanfaat juga bagi
anak-anak untuk lebih peka dan menumbuhkan sikap toleransi terhadap anak-
anak lain yang memiliki kebutuhan khusus. Sehingga akan muncul kepedulian,
rasa kasih sayang, rasa hormat dan menghargai setiap teman pergaulannya.

Karakteristik sekolah yang ramah anak


 Berbasis pada visi dan nilai-nilai
 Melindungi SEMUA anak dari kekerasan, pelecehan, dan penyiksaan
 Melibatkan SEMUA anak tanpa memandang perbedaan
 Peka budaya, menghargai perbedaan, dan menstimulasi pembelajaran
untuk SEMUA anak
 Keadilan jender dan Nondiskriminasi
 Meningkatkan partisipasi dan kerjasama
 Menerapkan pola hidup sehat
 Keluarga, guru, dan masyarakat terlibat dalam pembelajaran anak
 Belajar disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari anak
 Anak bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri
 Memberikan kesempatan bagi guru untuk belajar, dan mengambil manfaat
dari pembelajaran itu

Pembelajaran responsif di sekolah inklusi


1. Menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan
Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang
menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial
kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi
fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya. Dengan demikian
pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan
penuh dengan perbedaan-perbedaan individual memerlukan perubahan
kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusi secara konsisten akan
bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi

15
biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik,
dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.
2. Pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan
berpusat pada anak
Pendidikan inklusif berarti menuntut penerapan kurikulum yang
multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusi berarti pembelajaran
tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan
konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan layanan
program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi
kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
3. Pembelajaran secara kooperatif
Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode
pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara
sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas
harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid-murid bekerja
sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam
pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara,
pembelajaran. kooperatif dan kelas inklusi sekarang jelas, semua anak
berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama
dan saling belajar dari yang lain. Konsep multiple intelligence (intelegensi
terdiri dari berbagai dimensi) sangat tepat dalam implikasinya di kelas
yang inklusi. Seseorang yang kuat di satu dimensi mungkin lemah pada
dimensi lain. Dengan demikian, seorang anak tidak akan selamanya
menjadi tutor atau pembimbing teman-temannya, suatu saat dia akan
berbalik menjadi anak yang membutuhkan orang lain.
4. Dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan
penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi
Memaknai prinsip ini berarti aspek terpenting dari pendidikan
inklusif meliputi proses pembelajaran dengan kolaborasinya berbagai
profesi atau dalam sebuah tim, baik guru kelas, guru pembimbing khusus,
dan ahli-ahli lainnya baik dalam kolaborasi perencanaan, pelaksanaan
maupun penanganannya.

16
5. Melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan
Pendidikan inklusi sangat bergantung kepada masukan orang tua
pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam
penyusunan program pengajaran. individual.. Orang tua dan masyarakat
sebagai komponen pendidikan juga harus turut mendukung terciptanya
education for all atau pendidikan untuk semua ini.

G. Sekolah Harus Memenuhi Kebutuhan Khusus Setiap Anak


Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa, selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada diri mereka.
Sekolah inklusif harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang
berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan
kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas
kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat,
pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat,
pemanfaatan sumber-sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan
kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.
Di dalam sekolah inklusif, anak yang menyandang kebutuhan pendidikan
khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka
perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka. Pendidikan inklusif
merupakan alat yang paling efektif untuk membangun solidaritas antara anak
penyandang kebutuhan khusus dengan teman-teman sebayanya. Pengiriman
anak secara permanen ke sekolah luar biasa - atau kelas khusus atau unit
khusus di sebuah sekolah reguler - seyogyanya merupakan suatu kekecualian,
yang direkomendasikan hanya pada kasus-kasus tertentu di mana terdapat
bukti yang jelas bahwa pendidikan di kelas reguler tidak dapat memenuhi
kebutuhan pendidikan atau sosial anak, atau bila hal tersebut diperlukan demi
kesejahteraan anak yang bersangkutan atau kesejahteraan anak-anak lain di
sekolah itu.

17
H. Inklusif sebagai Alat yang Efektif untuk Memerangi Diskriminasi
Tantangan yang dihadapkan pada sekolah inklusif adalah bahwa sekolah
harus mengembangkan satu pedagogi yang berpusat pada diri anak, yang
mampu berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki
kekurangan dan kecacatan yang parah. Keuntungan dari sekolah semacam ini
bukan hanya mampu memberikan pendidikan yang berkualitas kepada semua
anak; penyelenggaraan sekolah tersebut juga merupakan langkah yang sangat
penting dalam membantu mengubah sikap diskriminasi, menciptakan
masyarakat yang ramah dan menciptakan masyarakat inklusif. Perubahan
dalam pandangan sosial merupakan satu keharusan. Sudah terlalu lama
permasalahan yang dihadapi para penyandang cacat diperparah oleh sikap
negatif masyarakat yang perhatiannya lebih difokuskan pada kecacatannya,
bukan pada potensinya.
Konsep-konsep tentang keberagamaan dan diskriminasi :
 Memberantas diskriminasi dan tekanan untuk mempraktekan eksklusi
 Merespon/merangkul keberagamaan sebagai sumber kekuatan, bukan
masalah
 Pendidikan inklusif mempersiapkan siswa untuk masyarakat yang
menghargai dan menghormati perbedaan

I. Pendidikan Inklusif Meningkatkan Efesiensi Pendidikan bagi Semua


Pernyataan “pendidikan inklusif meningkatkan efesiensi pendidikan bagi
semua” tertuang pada kalimat terakhir di Pernyataan Salamanca Pasal 2 yang
menyebutkan bahwa “Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan
cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan
masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif dan
mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusif memberikan
pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi
sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.”
Pengalaman menunjukkan bahwa sistem pendidikan segregasi (SLB)
menuntut biaya tinggi dan hanya mampu melayani sebagian kecil saja anak
penyandang kebutuhan khusus. Di pihak lain, pengalaman di banyak negara

18
menunjukkan bahwa sekolah inklusif yang melayani semua anak di
lingkungan masyarakatnya, sangat berhasil dalam menggalang dukungan dari
masyarakat dan dalam menemukan cara-cara yang imaginatif dan inovatif
untuk memanfaatkan sumber-sumber terbatas secara lebih efektif dan lebih
efisien.
Peningkatan efesiensi pendidikan bagi semua dapat memberikan
kemaslahatan baik bagi anak berkebutuhan khusus dan pemerintah. Bagi anak
berkebutuhan khusus. Dengan adanya pendidikan inklusif, anak berkebutuhan
khusus, khususnya di pedesaan, tidak perlu mencari susah payah Sekolah Luar
Biasa yang kebanyakan berada di daerah perkotaan.
Bagi pemerintah. Sekolah inklusif dapat menghemat anggaran belanja
pemerintah. Logikanya, pemerintah tidak perlu membangun Sekolah Luar
Biasa baru, cukup mengoptimalkan sekolah reguler berorientasi inklusif.

19
BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan kebutuhan khusus menganut prinsip-prinsip pedagogi yang sehat


yang dapat menguntungkan semua anak. Pendidikan kebutuhan khusus berasumsi
bahwa perbedaan-perbedaan manusia itu normal adanya dan bahwa oleh
karenanya pembelajaran itu harus disesuaikan dengan kebutuhan anak bukannya
anak yang disesuaikan dengan kecepatan dan hakikat proses belajar. Pedagogi
yang berpusat pada diri anak itu menguntungkan bagi semua siswa dan pada
gilirannya menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman telah
menunjukkan bahwa hal tersebut dapat sangat mengurangi angka putus sekolah
dan tinggal kelas, dan sekaligus juga menjamin tercapainya tingkat prestasi rata-
rata yang lebih tinggi. Suatu pedagogi yang berpusat pada diri anak dapat
membantu menghindarkan penghamburan sumber-sumber dan mencegah
pudarnya harapan-harapan yang sangat sering merupakan konsekuensi dari
kualitas pengajaran yang buruk dan mentalitas pendidikan "satu ukuran pas untuk
semua". Lebih jauh, sekolah yang berpusat pada diri anak merupakan tempat
berlatih yang baik bagi masyarakat untuk menghargai adanya perbedaan-
perbedaan serta menjunjung harga diri semua umat manusia.
Secara garis besar, sistem pendidikan inklusif memiliki keuntungan-
keuntungan sebagai berikut:
1. Sekolah inklusif akan merupakan inti pengembangan masyarakat inklusif
yang non-diskriminatif, kooperatif, solider dan saling menghargai sesama
anggota masyarakat tanpa memandang perbedaan-perbedaan individual,
termasuk perbedaan yang diakibatkan oleh kecacatan, sehingga akan
tercipta masyarakat yang ramah bagi semua orang.
2. Penyelenggaraan sekolah inklusif dapat memberikan layanan pendidikan
kepada lebih banyak anak penyandang kebutuhan khusus dengan biaya
yang lebih efisien.

20

Anda mungkin juga menyukai